Anda di halaman 1dari 14

Nama : Endang Estiyati

NIM : 044091791
UPBJJ UT : Yogyakarta
Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mata Kuliah : Pendidikankewarganegaraan / MKDU4111

1. Faktor Keberhasilan Otonomi Daerah


Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan berbagai harapan baik bagi masyarakat,
swasta bahkan pemerintah sendiri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
Pemerintah Daerah, terutama Kabupaten dan atau Kota dalam menjalankan kebijakan
otonominya. Disinilah perlunya mengidentifikasi berbagai dimensi/faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tujuan pemberian otonomi daerah
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena
itu, pelaksanaan otonomi daerah dikatakan berhasil atau sukses jika mampu mencapai
(mewujudkan) tujuan-tujuan tersebut.
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai
berikut:
a. Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan
tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit
cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab
yang cukup jelas.
b. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling
menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan
untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
d. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan
pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari
PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal
yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor
peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang
esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam
setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme
dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup
penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah
otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya.
Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk
memperlancar kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi
daerah dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan
otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang
paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan
penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar mekanisme
pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka
manusia atau subyek harus baik pula.
Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya
dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila
manusia sebagai subyek sudah baik pula.
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat
mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam
kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik
keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam
negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah
akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala
kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah,
sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi
rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka yang
bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik untuk
melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik pula.
Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan
untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik
akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya, seperti
alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian,
peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang
dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.
Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam
struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas
dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha
kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti penting
dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah
(1995:34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah
tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada
Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.
2. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
a. Perbedaan Konsep dan Paradigma Otonomi Daerah
 Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan
cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan
otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai
riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof.
Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah
sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang
untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga
mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan
dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat
beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat
kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam
segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi
ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap
sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas
kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi
masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas
semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah
Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah
pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan
politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional
pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi
negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber
daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta
konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme
empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus
lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu
diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan
yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi
teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian
menimbulkan berbagai interpretasi.
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan
Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957,
Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk
memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan
yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992,
melihat otonomi sebagai salah satu strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di
mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi
daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan
kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron,
sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi
(lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki
dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi
juga diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and Organization Has Power
With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini,
dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini diinterpretasikan
sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah
diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol
kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh
lingkungannya.
Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai
keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu
saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos”
yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah dapat
diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian.
Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional
atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita
bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara kesatuan” namun di
dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut muncul semangat
federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan pusat,
sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan
daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang mungkin bisa
diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di
pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota)
terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini
membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah.
Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di
Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan
”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah
negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara
federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan
otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal
lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien
dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999 berisikan kebijakan yang
mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan khitah
negara kesatuan yang terlanjur kita anut. Memang tidak ada salahnya atau sah-sah
saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak
efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya
menggunakan pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti;
mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut
diambil komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan
kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi
satu. Metode ini mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang
kuat dan dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada
inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sangat berpengaruh pada manajerial,
lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara
masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri
dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten -
kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi
tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja
diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural.
Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI
mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota.
Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini suatu hal yang
luar biasa. Rentang kendali (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat
dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat
lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala
Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat yang
mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh
masyarakat Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara
Kesatuan”, di mana hubungan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik,
sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11
UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif,
yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik
teori penyerahan kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele
Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan
penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika
yang hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI.
Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
dan “tiadanya hubungan hierarki” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
dan Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem
dalam Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari
konsep “devolution” ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat
yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang
otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah
diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu. Malangnya
UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat
waktu (deadline), yaitu UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2
tahun sejak diundangkan. Presiden B. J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal
4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut
berlaku resmi.
Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda
dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi
UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan Administrasi
Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya
belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak
hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level pusat
pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari kambing
hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena itu, otonomi
daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep otonomi di
atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas
mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol,
empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini
menimbulkan interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan
tentang konsep otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan
atas kebijakan.
 Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya
dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa
pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak
akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim
ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan
sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah
pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut
paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga
merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa
pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”.
Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas
harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu
memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada
otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya
sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi
untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya,
akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan
subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar
otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut
dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat
dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik
yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks
otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan
persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk
merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi
masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan
“kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah
otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat
tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan
otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang
terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi
untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah
bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah
pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya
sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan
politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat
otonomi itu sendiri.
b. Kuatnya Paradigma Birokrasi
Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang
dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma
birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan
tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang
tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,
standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah
pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang
manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam
menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang
kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan
harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di
daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang
sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu
dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-
kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi
paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992) atau reinventing
government, 1992, 1997).
c. Lemahnya Kontrol Wakil Rakyat dan Masyarakat
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di
daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani
kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga
legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita
sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde
baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan
proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun
terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di
era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas
wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya
melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang
bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur
mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.
d. Kesalahan Strategi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah
daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan
sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.
Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan
kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model
pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat
penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai
sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan
otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat
lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas
lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada
enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni
persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Dari uraian tersebut maka dapat kita rincikan kendala pelaksanaan otonomi daerah
seperti terlihat dalam peta konsep berikut ini.
Peta Konsep Hambatan Otonomi Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung
kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi
dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke
paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi
kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan
“desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model,
yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang
memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat
sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang
adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan
talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara
“otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu
sendiri.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa
“memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi
mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud
dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat.
Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama
memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.
3. Penyelesaian masalah otonomi daerah di Indonesia pada intinya, masalah-masalah
tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan
implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui
intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak
lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan
sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan
untuk itu. Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya
bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung
membebani rakyat dan menjadi
disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi
perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah
mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan
kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa
pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong
will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di
samping itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros menjadi
hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai
karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa
pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan
tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang
bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara
untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan
pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.
Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah
baru. Di bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi
Daerah tanpa harus mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan
masyarakat bersinergi mengatasi masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat
segera terwujud.
a. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi
Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan
membuat pemerataan pembangunan antar daerah.
Jurnal Akuntansi, Vol. 4, No. 2, April 2016 : 206-215 ISSN 2337-4314 214
b. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan
mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan
bendera merah putih.
c. Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi
yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat
kepala daerah melakukan korupsi.
d. Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan
peraturan diatasnya yang lebih tinggi.
e. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah
untuk mencegah pembentukan dinasti politik.
f. Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri
yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.
g. Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi
birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi
anggaran.
h. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari
dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

4. Praktek Good Governance merupakan penggunaan kewenangan ekonomi, administrasi,


dan politik demi mengelola kepentingan negara di semua tingkat pemerintahan. Semua
mekanisme, lembaga-lembaga dan proses dimana warga masyarakat mengutarakan
kepentingan dengan menggunakan hak hukum, menjembatani perbedaan, dan memenuhi
kewajiban. Salah satu yang menjadi persoalan yang merebak adalah good governance agenda
reformasi di Indonesia. Dalam rangka tata kelola pemerintahan yang baik perlu adanya
penataan diri dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Praktek Good Governance Tentang
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik tersebut maka perlu melaksanakan prinsip-prinsip good governance yang dianut
Indonesia yakni :

a. Partisipasi
Konsep partisipasi adalah konsep yang berhubungan langsung dengan kedudukan
rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Institusi negara dipahami sebagai institusi
yang dimiliki oleh semua masyarakat atau warga negara. Karena mereka memiliki hak
berpartisipasi dalam pemerintahan. Konsep partisipasi tidak berhenti pada sejauh
mana partisipasi dalam pemerintahan saja. Namun sejauh mana pemerintah membuka
jalur partisipasi tersebut. Konepnya, semakin terbuka lebar kesempatan berpartisipasi
maka semakin baik tata kelola pemerintahan yang dijalankan setiap daerah.
b. Transparansi Kelola
Pada dasarnya Praktek Good Governance yang baik harus mampu menjamin
transparansi semua bidang tentang pengelolaan informasi. Terutama transparansi
penyusunan rencana anggaran, pemilihan pejabat, penggunaan anggaran, serta proses
pemilihan umum. Prinsip transparansi ini adalah prinsip demokrasi. Tata kelola
pemerintah harus dapat diketahui semua warga negara. Prinsip demokrasi didasarkan
pada asumsi bahwa negara merupakan milik rakyat.
c. Taat Hukum
Kedudukan yang paling penting adalah hukum. Hukum merupakan manifestasi dari
konsensus dari warga negara. Hukum haruslah berjalan adil dan berjalan tanpa
diskriminasi untuk mewujudkan harkat dan martabat suatu negara. Hukum yang adil
maka warga negara merasakan jaminan hukum yang jelas. Hal ini menjadi hal utama
karena penghormatan warga negara pada penegakan hukum menjadi penentu
penghormatan warga itu sendiri.
Begitu juga dengan tata kelola pemerintahan yang baik sangat ditentukan dari
kecepatan respon pemerintah di berbagai macam persoalan di masyarakat. Responsif
terhadap permasalahan baik ringan maupun berat sangatlah penting. Hal ini menjadi
poin penting pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik. Semakin cepat
pemerintah dalam menangani permasalahan maka semakin baik tata kelola
pemerintahan tersebut.
Peran mahasiswa dalam mengawal transparansi dan tata kelola pemerintahan
sangatlah penting dalam memahami jalannya roda pemerintahan. Mahasiswa
memiliki peran penting dalam partisipasi publik dan membangun pemerintahan
menjadi lebih baik lagi. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban, peran perguruan tinggi sangat strategis mendukung upaya
penataan dan kelola pemerintahan. Dengan melakukan perubahan yakni
mengkonstruksi pikiran positif dalam rangka praktik good governance.

Anda mungkin juga menyukai