Anda di halaman 1dari 39

Makalah Otonomi Khusus Papua

Posted on Januari 15, 2013 by Andhika Pratama

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BALAKANG

Negara Indonesia, dijelaskan dalam pasal 18B ayat 1 UUD 1945, mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Provinsi
Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh)
bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia.

Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi
Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan
pada hampir semua sector kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan,
ekonomi, kebudayaan dan sosial politik.2 Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar
penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan
aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan
ketidakpuasan.

Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan


kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam
menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlunya pemberian status
Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan
MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang
Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain
menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui
penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif
dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan
langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang
perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun perumusan masalah yang kami ambil adalah :


1. Apa yang dimaksud otonomi khusus papua?

2. Apa yang di maksud nilai-nilai dasar dari otonomi khusus papua?

3. Bagaimana garis-garis besar pokok pikiran otonomi khusus papua?

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN OTONOMI KHUSUS PAPUA

Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat
Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk
berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut
serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia
yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk
menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan
karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang
Papua.

Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang
ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya – termasuk dengan dimilikinya
simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah “khusus” hendaknya
diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang
dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi
masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususnya
otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin
tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain yang
tidak diterapkan di Papua.

B. NILAI-NILAI DASAR OTONOMI KHUSUS PAPUA

Dalam rangka mewujudkan terpenuhi hak dan kewajiban dasar rakyat Papua, Rancangan
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dikembangkan dan dilaksanakan dengan
berpedoman pada sejumlah nilai-nilai dasar. Nilainilai dasar ini bersumber dari adat istiadat
rakyat Papua, nasionalisme yang4 bertumpu pada prinsip-prinsip manusia universal, dan
penghormatan akan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Karena itulah, nilai-nilai dasar
yang dimaksudkan merupakan prinsip-prinsip pokok dan suasana kebatinan yang melatar
belakangkangi penyusunan kerangka dasar Rancangan UndangUndang Otonomi Khusus
Provinsi Papua yang selanjutnya diharapkan akan berfungsi sebagai pedoman dasar bagi
pelaksanaan berbagai aspek Otonomi Khusus Papua di masa mendatang. Ada tujuh butir
Nilai-nilai Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah :

1. Perlindungan terhadap Hak-hak Dasar Penduduk Asli Papua


2. Demokrasi dan Kedewasaan Berdemokrasi

3. Penghargaan tehadap Etika dan Moral

4. Penghargaan terhadap Hak-hak Asasi Manusia

5. Penegakan Supremasi Hukum

6. Penghargaan terhadap Pluralisme

7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara

C. Garis-garis Besar Pokok Pikiran Otonomi Khusus Papua

Garis-garis besar pokok pikiran merupakan kerangka dasar yang dimasukan kedalam
Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Pokok-pokok pikiran tersebut dikembangkan
dengan memadukan nilai-nilai dasar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dengan
pendekatan-pendekatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil dan
mendasar rakyat Papua dalam pengertian yang seutuhnya dan seluas-luasnya. Garis-garis
Besar Pokok pikiran tersebut meliputi aspek-aspek berikut ini :

1. Pembagian kewenangan antara pemerintah antara pusat dan provinsi papua

2. Pembagian Daerah Provinsi Papua

3. Pembagian Kewenangan Dalam Provinsi Papua

4. Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli

5. Bendera, Lambang dan Lagu

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

1. Pembagian kewenangan antara pemerintah antara pusat dan provinsi papua

Salah satu inti pelaksanaan Otonomi Khusus Papua adalah pembagian kewenangan
pemerintah antara Pusat dan Provinsi Papua. Pembagian kekuasaan dan kewenangan ini
bukan semata-mata sebagai konsekuensi pemberian status otonomi khusus, tetapi yang tidak
kalah pentingnya adalah pelaksanaan prinsip-prinsip demokratisasi penyelenggaraan negara
dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat dan daerah untuk mengatur
dan mengurus dirinya sendiri secara nyata. Pendekatan seperti ini akan memungkinkan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menjadi lebih relevan, efesien, efektif dan
tetap sasaran. Dalam kaitannya itulah perlu ditetapkan dengan jelas hal-hal apa saja yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi Papua.

2. Pembagian Kewenangan Dalam Provinsi Papua

a. Otonomi di dalam Provinsi Papua


Pembagian kekuasaan (sharing of power) dalam konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua
tidak saja menyangkut hubungan pusat dan daerah, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana kekuasaan dan kewenangan itu dibagi secara baik di dalam Provinsi Papua
sendiri. Dalam kaitan itu, otonomi khusus Papua berarti bahwa ada hubungan hirarkis antara
pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota, namun pada saat yang sama provinsi,
kabupen/kota dan kampung masing-masing adalah daerah otonomi yang memiliki
kewenangannya sendiri-sendiri.

Prinsip yang dianut adalah bahwa kewenangan perlu diberikan secara proposional ke bawah,
terutama untuk berbagai hal yang langsung berkaitan dengan masyarakat. Hal ini konsiten
dengan salah satu prinsip dasar otonomi yaitu menempatkan sedekat-dekatnya
penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan ke subjek, yaitu rakyat. Karena itu, di dalam
konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua, fungsi-fungsi pengaturan pengaturan berada di
tingkat Provinsi sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan masyarakat diberikan
sebesar-besarnya kepada kabupaten/kota dan kampung.

b. Pembagian Kewenangan yang Tegas antara Badan-badan Legislatif, Eksekutif dan


Yudikatif

Untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, profesional dan bersih, dan


sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati diri rakyat Papua, serta mengakomodasikan
sebanyak mungkin kepentingan penduduk asli Papua, perlu dibentuk empat badan/lembaga,
yaitu :

1. Lembaga Eksekutif (Bagian Ketiga UU No.21 tahun 2001) Lembaga ini di tingkat provinsi
dipimpin oleh seorang gubernur dan di tingkat Kabupaten/kota dipimpin oleh Bupati atau
Walikota. Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih oleh Lembaga Legislatif. Lembaga
Eksekutif berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Gubernur dipilh oleh
Lembaga Legislatif. Kewajiban, Tugas dan wewenang seorang Gubernur (pasal 14 dan 15
UU No. 21 tahun 2001 tentang Propinsi Papua)

1. Kewajiban Gubernur adalah :

memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; mempertahankan dan


memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memajukan demokrasi;

menghormati kedaulatan rakyat;

menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan perundangundangan;

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;

memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

mengajukan Rancangan Perdasus, dan menetapkannya sebagai Perdasus bersama-sama


dengan DPRP setelah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRP;
mengajukan Rancangan Perdasi dan menetapkannya sebagai Perdasi bersama-sama dengan
DPRP; dan

menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangun-an sesuai dengan Pola


Dasar Pembangunan Provinsi Papua secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab.

2. Tugas dan wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah adalah:

 Melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta


penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan pemerintahan antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota;
 Meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota;
 Melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan
pengangkatan, dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
serta penilaian atas laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota;
 Melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama
Presiden;
 Menyosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan peraturan
perundang-undangan di Provinsi Papua;
 Melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan pembinaan
karier pegawai di wilayah Provinsi Papua;

3. Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli

Salah satu pokok permasalahan yang dihadapi selama ini di Papua adalah dilanggarnya hak-
hak adat penduduk asli. Ada tiga hal pokok yang yang terkait dengan hal tersebut, yaitu :

a. Dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli Papua dalam kaitannya dengan eksploitasi
sumber daya alam.

b. Diabaikannya hak-hak adat penduduk asli dalam kaitannya dengan representasi penduduk
asli Papua dalam badan-badan perwakilan rakyat.

c. Diabaikannya atau kurang diperhatikannya, keputusan-keputusan yang diambil oleh


peradilan adat oleh badan-badan Yudikatif Negara. Keadaan ini merupakan salah satu faktor
utama penyebab timbulnya berbagai ketimpangan sosial dan bahkan perlawanan sosial yang
ditunjukkan oleh rakyat Papua yang tidak jarang dihadapi dengan kekerasan senjata oleh
aparat negara. Maka didalam Otonomi Khusus Papua, hak-hak penduduk asli Papua
ditempatkan pada posisi yang wajar dan terhormat. Hak-hak adat itu mencakup :

[1] Hak milik perorangan dan hak milik bersama (hak ulayat) atas tanah, air atau laut pada
batas-batas tertentu, serta hutan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

[1] Hak-hak dalam bidang kesenian maupun hak-hak yang terkait dengan sistem pengetahuan
dan teknologi yang dikembangan oleh masyarakat asli Papua, misalkan obat-obat tradisional
dan yang sejenisnya.

[1] Hak untuk memberikan pertimbangan kepada Parlemen Provinsi ataupun badan
pemerintahan terkait dengan perlindungan hak-hak peduduk asli Papua.
[1] Hak memperhatikan dan menyalurkan aspirasi. Dan hak-hak yang lainnya yang harus
diberikan perlindungan oleh pemerintahan Daerah/Provinsi maupun pemerintahan Negara.

4. Bendera, Lambang dan Lagu Bendera, lambang dan lagu

sebagaimana yang diusulkan oleh rakyat Papua untuk dimasukkan ke dalam RUU Otonomi
Khusus Papua perlu dilihat dalam konteks kebudayaan dan bukan persoalan politik negara.
Dalam konteks kebudayaan seperti ini, bendera, lambang, dan lagu merupakan simbol
identitas daerah dan simbol kebesaran, keagungan dan keluhuran jati diri orang Papua.
Simbol-simbol itu diyakini sebagai perekat rakyat Papua dan sekaligus sebagai stimulan
untuk memotifasi rakyat Papua agar terus bahu membahu dan bekerja sama untuk mencapai
cita-cita kesejahteraan bersama.

Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural
bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang
tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian yang terdapat dalam Bab Pembahasan, maka dapat disimpulkan menjadi beberapa
poin, yaitu :

Bahwa Otonomi Khusus Papua adalah kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung
penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang
kekurangan, dan diberikannya perlakuan yang berbeda karena kekhususan yang dimilikinya.

Dalam Otonomi Khusus di Papua terdapat Nilai-nilai Dasar yang bersumber dari adat
istiadat rakyat Papua, nasionalisme yang bertumpu pada prinsip-prinsip manusia universal,
dan penghormatan akan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. 7 butir nilai dasar otonomi
Papua
1. Perlinduan hak-hak dasar penduduk asli papua

2. Demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi

3. Penghargaan terhadap etika dan moral

4. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia

5. Supremasi hukum

6. Penghargaan terhadap plurarisme

7. Persamaan kedudukan, dan kewajiban sebagai warga negara


B. RUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang dapat kami ambil :
1. Apa yang menjadi latar belakang pemberian otonomi khusus papua ?
2. Apa yang menjadi landasan otonomi khusus papua ?
3. Bagaimana pelaksanaan otonomi khusus papua ?
4. Bagaimana analisa dari otonomi khusus papua ?

C. TUJUAN
Secara umum, tujuan dari makalah ini adalah menjawab beberapa hal yang
menjadi pokok pembahasan kami :
1. Mengetahui apa saja masalah-masalah pada level kebijakan yang perlu mendapat perhatian,
sebagai bahan pertimbangan perbaikan ke depan.
2. Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan khusus,
lembaga khusus dan kekhususan lainnya.
3. Mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus
Papua dan Papua Barat, khususnya terkait pengelolaan keuangan dan pelaksanaan
kewenangan khusus.
4. Mengembangkan strategi perbaikan untuk memperkuat operasional kebijakan dan
implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN OTONOMI KHUSUS PAPUA


Istilah “ otonomi “ dalam Otonomi Khusus Papua diartikan sebagai
kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula
berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam
Papua untuk kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk
ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain
di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain tidak kalah penting adalah kebebasan untuk
menentukan strategis pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sesuai dengan
karakteristik dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang
papua.
Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang
seutuhnya ditunjukkan dengan penegasan identitas dan Adat istiadat yang dimilikinya. Istilah
“khusus “ diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada papua karena
kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial
ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian
praktisnya, kekhususan Otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang
hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan hal-hal
yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.

B. PERMASALAHAN YANG MELATARBELAKANGI OTONOMI KHUSUS


PAPUA
Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi
Propinsi Papua menurut Tim Asistensi Otsus Papua (Sumule, 2002: 39-40) berawal dari
belum berhasilnya pemerintah Jakarta memberikan Kesejahteraan, Kemakmuran, dan
pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang
pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih memprihatinkan. Sebagian di
antara mereka masih hidup seperti di zaman batu. Selain itu, persoalan persoalan mendasar
seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan
rakyat papua masih juga belum diselesaikan secara adil dan bermartabat (lihat Maniagasi,
2001: 65). Keadaan ini telah mengakibatkan munculnya berbagai ketidakpuasan yang
tersebar di seluruh tanah Papua dan diekspresikan dalam bermacam bentuk. Banyak diantara
ekspresi ekspresi tersebut dihadapi pemerintah pusat dengan cara-cara kekerasan bahkan
tidak jarang menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Puncaknya adalah semakin
banyaknya rakyat Papua ingin melepaskan diri dari NKRI sebagai suatu alternatif
memperbaiki kesejahteraan.
Dilihat dari penetapan masalah dalam kebijakan Otonomi Khusus Papua No.
21 Tahun 2001, seperti yang telah dipaparkan diatas. Maka sasaran kebijakan in tak jauh dari
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat papua dan keinginan rakyat Papua, yang antara
lain adalah, peningkatan kesejahteraan rakyat papua, penghormatan terhadap hak-hak sipil
dan hak asasi atau dasar rakyat papua, kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri,
serta pembagian hasil alam yang adil bagi rakyat Papua.
Setidaknya ada 3 masalah, yaitu :
1. Masalah ketidaksiapan sistem pemerintahan daerah, dapat dilihat dari kualitas sumber daya
manusia yang ada.
2. Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3. Saling tidak percaya antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat, disebabkan oleh adanya
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan intimidasi pada rakyat Papua serta telah
menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam sehingga mereka memilih alternatif untuk
melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

C. LANDASAN OTONOMI KHUSUS PAPUA


Pemerintah sebagai penanggung jawab akhir pelaksanaan otonomi daerah
telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Untuk
itu, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara (Pusat Kajian Kinerja
Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia
bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan Evaluasi otonomi Khusus Papua dan
Papua Barat. Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan,
diantaranya :
Pertama, Implikasi dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, Inpres Nomor 5 Tahun 2007
Tentang Pembangunan Papua dan Papua Barat telah memberi ruang kewenangan yang lebih
kepada Provinsi tersebut. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu
melekat berbagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan
mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan
berbagai kajian terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi
ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kinerja yang
dipengaruhi
Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi
pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan,
yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana
interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi
terselenggaranya otonomi khusus dengan baik.
Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang
harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan
yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis.
Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih
perlu untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan
berkelanjutan untuk perbaikan pelaksana Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan
Papua dan Papua Barat.
Kebiajakan Otonomi Khusus papua dan Papua Barat diatur dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
menjadi undang-Undang. Oleh karena hanya bersifat “ menetapkan “ maka pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintah daerah terdapat dalam Perpu, dimana setidaknya
terdapat 2 pasal yang mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
yaitu :
a) Perubahan (penambahan) nama provinsi dari semula hanya Papua, menjadi Papua dan Papua
Barat, sebagaimana terdapat pada pasal 1 huruf a, “ Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya
yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b) Penghapusan ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf l, huruf a mengenai tugas memilih
gubernur dan wakil gubernur yang dihapus karena dipilih melalui Pilkada, sedangkan
dihapusnya huruf l karena tidak ada utusan provinsi menjadi anggota MPR RI.

Dengan kata lain, Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 menjadi Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2008 pada 25 Juli 2008 memberikan landasan hukum bagi
Pemerintah Provinsi Papua.

D. KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA


Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, setelah pemerintah Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat menerima mandat dan tanggung jawab baru tersebut yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaannya (implemantasinya). Oleh karena itu dalam
perspektif para pelaksana di daerah, desentralisasi tidak hanya berarti sebuah tanggung
jawab baru yang kompleks, namun juga suatu bentuk hubungan yang berbeda dengan
berbagai tingkatan pemerintahan yang harus dikelola secara simultan. Bagi mereka, hal ini
menjadi arena baru dengan mandat, aturan, tingkat kesulitan yang baru, dimana mereka
dituntut untuk berkinerja. Hal ini bisa saja menjadikan seperti apa bentuk desentralisasinya
tidak terlalu diambil pusing. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah
beradaptasi dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengelola kompleksitas
tanggung jawab yang didesentralisasikan.
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat berlaku sah tahun 2008 setelah
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua. Perpu diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Propinsi Papua menjadi Undang-Undang. Peraturan tersebut merupakan landasan hukum
untuk pelaksanaan otonomi khusus agar tidak menimbulkan hambatan percepatan
pembangunan khususnya di bidang sosial,.ekonomi dan politik, serta infrastruktur. Hal
tersebut dikarenakan Provinsi Papua Barat telah menjalankan urusan pemerintahan dan
pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun
belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

E. PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS PAPUA


1. Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Lambatnya penyusunan Perdasi dan Perdasus melahirkan sejumlah persoalan salah satunya
antara lain masih belum jelasnya koordinasi diantara tiga pelaksana Otsus: DPRP, MRP dan
Pemda Propinsi Papua, selain itu didalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua di
sebutkan bahwa ada 4 bidang yang menjadi prioritas pembangunan di Papua yaitu
Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrastruktur. Dari 4 (empat) bidang tersebut. Perdasi
pendidikan, kesehatan, Perdasi tentang tata cara pemilihan anggota MRP dan Perdasus
pengelolaan dan pembagian dana Otsus yang baru saja disahkan di DPRP. belum lagi
sejumlah aspek lain yang tersirat dalam UU tersebut membutuhkan Perdasi dan Perdasus
tertentu. Jika proses penyusunan Perdasi dan Perdasus tidak dikerjakan secara serius maka
bisa dipastikan peluang untuk menjadikan Otsus sebagai "tuan" di tanah sendiri bagi orang
asli Papua tidak akan menjadi sebuah kenyataan karena Perdasi dan perdasus merupakan
gambaran atau ekspresi pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat asli Papua., disisi lain keunikan UU Otsus Papua adalah
Proses pembangunan di Papua yang diperuntukkan bagi masyarakat asli Papua cukup dalam
bentuk Perdasi dan Perdasus tanpa harus membutuhkan Peraturan Pemerintah Pusat.

2. Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua


a. Penyelenggaraan tugas pemerintah provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi
Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
b. Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota berasal dari komponen:
- Pendapatan Asli Provinsi, Kabupaten/Kota
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas :
a) Pajak Daerah, antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak
Balik Nama, Pajak Bahan Bakar. Pajak Daerah ini diatur oleh UU Nomor 34/2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001 tentang Pajak
Daerah.
b) Retribusi Daerah, antara lain: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Parkir di Tepi Jalan,
Retribusi pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemadam Kebakaran,
dll. Retribusi ini diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
- Dana Perimbangan
Komponen Dana Perimbangan yang terdiri dari
a. Bagi Hasil Pajak antara lain Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), dan pajak Penghasilan Badan ataupun pribadi
b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam
 Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen).
 Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen).
 Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen).
 Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen).
 Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).
c. DAU yang ditetapkan dengan undang-undang.
d. Dana Alokasi Khusus
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara dengan
2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi
khusus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi
pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur.

3. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua


Menurut catatan sementara yang dimiliki oleh ELS-HAM (Lembaga Studi dan
Advokasi Hak Asasi Manusia) Papua, terdapat sejumlah pelanggaran HAM di Papua seperti
berikut ini :
a. Di Kabupaten Paniai, sejak tahun 1969-1997 diketahui korban meninggal dunia adalah
sebanyak 614 orang akibat pembunuhan oleh aparat negara. Korban hilang mencapai 13
orang. Korban pemerkosaan dari tahun 1980 sampai1995 sebanyak 80 orang yang mencakup
pelajar SD, SMTP, SMTA sampai ibu rumah tangga.
b. Di Kabupaten Jayawijaya terjadi pula pelanggaran HAM dalam skala signifikan. Di
Kecamatan Kelila, pada tahun 1979 diketahui korban meninggal sebanyak 201 orang. Di
Kecamatan Assologaima pada tahun 1977 diketahui korban meninggal sebanyak 126 orang.
Di Kecamatan Wasi pada tahun 1977 meninggal sebanyak 126 orang. Semua korban ini
diakibatkan oleh pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara.
c. Di Kabupaten Biak Numfor, dari tauhn 1969 sampai tahun 1997 diketahui telah timbul korban
kekerasan oleh aparat negara sebanyak 62 orang.
d. Di Kabupaten Sorong, dari tahun 1969 sampai tahun 1972 diketahui korban meninggal
sebanyak 7 orang, hilang 5 orang, dan korban pemerkosaan sebanyak 7 orang. Sebagaimana
di kabupaten lain, mereka ini adalah korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara.

F. ANALISA OTONOMI KHUSUS PAPUA


1. Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Pemerintahan yang ada di Papua masih belum terealisasi dengan maksimal karena
ketidakseriusan pengurusan dari perdasi dan perdasus, dan lembaga tersebut merupakan
pencerminan kearifan dan karakteristik masyarakat papua, sehingga cita-cita untuk mencapai
Otonomi Khusus tidak akan pernah tercapai.

2. Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua


Dari pemerintah terus adanya Penambahan Dana Otsus tetapi kemiskinan di Provinsi
Papua tak kunjung berkurang, hal ini perlu di pertanyakan. Pada saat ini pembagian dana
untuk kabupaten atau kota sudah mencapai 60% dan untuk provinsi 40% sesuai yang di
anggarkan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebelumnya.
Untuk tahun 2014 gubernur mempunyai rencana untuk pengalokasian dana untuk
kabupaten atau kota 80% sedangkan untuk provinsi 20%, harapannya agar kemiskinan dan
kesejahteraan masyarakat papua lebih baik.
Untuk saat ini Perdasus belum mempunyai badan lembaga yang mengatur tentang
pengalokasian dana otsus, yang ada sampai saat ini hanya Peraturan Gubernur. Pemerintah
sudah mengalokasikan anggaran APBD dan telah mengalokasikan dana tambahan sesuai
yang diusulkan oleh provinsi yang tujuannya untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

3. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua


Masih banyak terjadinya pelanggaran yang terjadi di Papua, masih adanya pemerkosaan,
masih kurangnya penegakan hukum, masih terjadinya kasus penyiksaan serta serangkaian
kasus kekerasan yang masih kerap terjadi tapi actor dan pelakunya tidak pernah terungkap,
dan seringkali terjadi penembakan terhadap warga sipil namun polisi tidak pernah bisa
menangkap para pelakunya.

G. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


1. Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Lambatnya penyusunan peraturan pelaksanaan Perdasi, Perdasus, dan Peraturan
Pemerinah karena Tim Asistensi Otonomi Papua, yang anggotanya terdiri dari para
Intelektual Papua tidak dilibatkan secara penuh dan utuh dalam penyusunan rancangan
peraturan pelaksanaan. Tanpa keterlibatan tim ini, tidak hanya prosesnya menjadi lambat,
tetapi juga dapat terjadi “missing link” antara nilai dan norma dasar yang diatur dalam
undang-undang Otonomi Khusus.

2. Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua


a. Sejauh ini pembagian dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati atau
Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri
(terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran.
b. Dalam struktur APBD Papua sejak pemberlakuan Otsus juga tidak ditemukan kuota dana
sebesar 30 persen untuk pendidikan dan 15 persen untuk kesehatan. Pembagian dana Otsus
yang besarnya 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat sejak tahun 2008 juga
dilakukan dengan tanpa dasar hukum.

3. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua


Perlunya jalan dialog yang melibatkan komponen-komponen di Papua dengan
Pemerintah Pusat seperti yang pernah dilakukan kepada Aceh. Perlunya jalan rekonsiliasi
diantara pengadilan HAM dan pengungkapan kebenaran kejahatan aparat keamanan negara
terhadap orang Papua di masa lalu demi penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama
korban, keluarganya dan warga Indonesia secara umum. Sebagai tindak lanjut dari hasil
penelitian itu, Muridan S. Widjojo bersama tokoh intelektual Papua, Dr.Neles Tebay lebih
jauh telah menggagas wacana Dialog Papua-Jakarta. Hanya saja, wacana dialog itu sampai
saat ini belum direspon positif oleh para pihak di Papua dan Jakarta.

H. SOLUSI
1) Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
a. Perlu pengaturan yang jelas, mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang otonomi khusus dan mana yang diatur Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah seperti pengaturan bidang pendidikan, kesehatan, sosial dimana
bidang-bidang tersebut juga sudah ada Standar Pelayanan Minimal, dengan memperhatikan
situasi dan kondisi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
b. Perdasi-perdasus perlu lebih disosialisasikan oleh pemerintah provinsi dan diikuti dengan
upaya-upaya konkrit dari pemerintah kabupaten/kota.

2. Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua


 Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otonomi khusus mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, koordinasi, sampai pada tahapan monitoring dan evaluasi sesuai dengan sistem
pengelolaan keuangan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi
Papua, untuk terciptanya akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otonomi khusus.
Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian dana otonomi
khusus Papua dengan lebih memperhatikan jumlah penduduk asli Papua dan kondisi
ketertinggalan di setiap kabupaten atau kota. Selain itu perlu adanya perbaikan dalam
mekanisme transfer dari pusat ke provinsi.
 Peningkatan kapasitas yang berkesinambungan terhadap sumber daya yang ada bukan hanya
lembaga khusus tetapi juga seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam
penyelenggaraan otonomi khusus Papua, seperti halnya Anggota DPRP/DPRPB dan Aparatur
Pemerintah Provinsi Papua.
 Pengelolaan dana otonomi khusus harus dilakukan secara transparan melalui laporan
pertanggungjawaban publik dengan demikian fungsi kontrol akan berjalan efektif, sesuai
dengan mekanisme yang berlaku untuk pengelolaan keuangan daerah.

3. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua


Ada dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan
bermartabat masalah-masalah pelanggaran HAM di Provinsi Papua. Yang pertama adalah
mendirikan institusi penegakan hukum yang terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM,
seperti cabang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Peradilan HAM. Yang
kedua adalah dengan melakukan penelitian oleh suatu badan independen tentang sejarah
integerasi Papua ke dalam NKRI. Selain kedua pendekatan tersebut, pendekatan nilai-nilai
budaya masyarakat Papua juga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah HAM ini.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
 Tidak adanya petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis mengakibatkan pelaksanaan
kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan dan Lingkungan
Hidup yang berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang harus dikelola sebagai
penjabaran kewenangan khusus tersebut dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelolaan
kewenangan tersebut.
 Belum terbangunnya pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi strategis
(DPRP atau DPRPB, Pemerintah Provinsi, dan MRP) mengakibatkan kinerjanya yang tidak
optimal, ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara lembaga-lembaga ini
mengakibatkan munculnya “ konflik kepentingan ”.
 Dalam lembaga khusus, DPRP tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dalam
mewujudkan perlindungan hak–hak asli orang Papua, keterberpihakan kepada masyasarkat
asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) yang melibatkan hubungan kerja antara DPRP, MRP dan Gubernur.

2. Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua


 Pengelolaan dana dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dalam
prakteknya belum berjalan secara optimal.
 Belum adanya acuan yang jelas dalam pengelolaaan dana otonomi khusus tersebut, sehingga
pemerintah kabupaten atau kota dalam pelaksanaannya seringkali mengalami kebingungan
dalam hal pengalokasiannya. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur
pengelolaan dana otonomi khusus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor
prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum optimal dan masih dijumpai
ketidaksesuaian pengelolaan dana dengan prioritas otonomi khusus.

3. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua


Untuk Hak Asasi Manusia di Papua masih banyak terjadi pelanggaran, karena kurang
pedulinya pemerintah pusat terhadap masyarakat dan kurangnya hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat sehingga timbul banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia.

B. SARAN
1. Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Untuk menjamin agar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua berjalan secara lancar
khususnya dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah disarankan dilakukan komunikasi dan
koordinasi internal maupun eksternal dari semua pemangku kepentingan (Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat,
Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota) perlu ditingkatkan.

2. Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua


Selama ini penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara
provinsi dan daerah kabupaten/kota, hal inilah yang menimbulkan kerancuan dalam
pengalokasiannya kepada masyarakat dan juga dibutuhkan penyempurnaan berbagai perdasus
dan perdasi sehingga dapat lebih berpihak kepada masyarakat asli Papua seperti Perdasi
Kependudukan harus lebih menitik beratkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar
dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pendatang dalam hal pemenuhan lapangan
pekerjaan.
3. Perlindungan Hak Asasi manusia (HAM) Provinsi Papua
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi perlu memberikan kompensasi dan
rehabilitasi kepada korban, keluarga korban, atau ahli waris korban pelanggaran HAM di
Tanah Papua menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam adat istiadat suku-suku di Papua; dan Upaya untuk
terus membuka pintu bagi dialog-dialog dalam bentuk persuasif bukan dengan cara
konfrontatif yang bertujuan meluruskan sejarah politik Papua di masa lalu merupakan hal
penting. Pelurusan sejarah ini perlu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran hakiki yang
hingga kini terus dipertanyakan banyak pihak di Tanah Papua. Pelaksanaan Otonomi Khusus
harus mampu mewadahi proses secara damai dan bermartabat, sekaligus mampu membangun
kerangka-kerangka dasar penyelesaian berbagai masalah terkait
1. Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua.
Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang
antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai
akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama,
sebagai berikut:
a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat
Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,
padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil
keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas
pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak
adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya sendiri. Masyarakat
Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi,
karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.
Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah
mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat
kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api,
rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat
lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga
memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport,
limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein
masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.
b. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan
Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang
pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru,
orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu
diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk
sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang
Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan
dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM.
Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada
sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi
sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari
luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan
pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh
pekerja dari kaum pendatang.
c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal
Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan
lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap
berusaha untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi,
kelihatannya penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai
ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan
kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan
nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
d. Tindakan Represif oleh Militer
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror,
penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan
pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai
keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa
wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka
diintimidasi dan diteror.
Penyebab lainnya adalah:
Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal
lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di
dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang
mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan
Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong
praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda
dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai
bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti-
Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada masa Orde Baru
tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru memperkuatnya.
2. Sejarah Konflik Papua
1960 - 2000

 1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak


 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru,
Teminabuan dan Inanuatan.
 Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi
melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan
pak bibi bayi-diperkosa.
 Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak
Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak

 Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk
menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan
batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125
penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
 pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk
115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang,
desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa,
dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman
makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.

2000 - 2010

 Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor


dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM
bertanggung jawab.
 Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera
separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
 Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang
dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos
polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh
seseorang.
 Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT
Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.

3. Dampak dari konflik Papua


Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi
keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari
NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini
ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur
Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah
meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan
Polisi, namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak
mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak
dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua.
Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya
ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap
miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme
mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di
Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua
asli merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan
agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau
bahkan pengusiran.
Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak
masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di Manokwari
dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi.
Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para
pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus
berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya penyerangan-
penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan melihat
Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran
agama.
4. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua
Hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:
a) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal
dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas
setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua
yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan itu
dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan
dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
b) Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka
kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan
posisi petugas Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini
dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan.
Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh
Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti
halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan
konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil.
Untuk itu ada beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:
1. Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki
agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan
menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang bertugas di
Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di
tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang
seringkali tidak efektif.
3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-
kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen, dimana informasi
mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di
dokumen publik.
4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau
permusuhan terhadap agama lain.
5. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan
dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui
pembagian daerah administratif lebih lanjut.
6. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang
memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang
papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik.
8. Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar
terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan,
Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam
mengatasi konflik yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi,
umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan
kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan
secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi
bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk
kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para
pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan
keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh
para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu
penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu
penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi
militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta
yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat,
kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi.
5. Bentuk konflik di Papua
1. Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat adanya
kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat Papua
2. Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah
paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
3. Konflik politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi
atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigran-
imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik.

6. Argumentasi Terhadap Konflik Papua


Dari semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di
Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar belakang serta faktor
penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di
Papua terkait dengan konflik antar warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses
dan hasil pembangunan di Papua selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh
orang asli Papua, terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah
garis kemiskinan dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh
dengan kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan
diabaikan.

Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat,
kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya tingkat
pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang berpotensi
menimbulkan konflik.

Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu
penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan
daerah serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini
jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog
atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa
institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah
papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi
di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti
yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari
setiap kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap
membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan
benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat
akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan
mereka saja.

Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang
terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan
pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa
dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau
berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit
konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin masyarakat
akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan-
angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.
LATAR BELAKANG KONFLIK PAPUA Ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia
Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap
wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah
lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papuanegara
merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang
hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini
kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional.
Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai
keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akandibicarakan kembali
dalam jangka waktu satu tahun. Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua
Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73ePiagam PBB. Karena Indonesia
mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah
Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia
beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua
Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan
laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 1956
Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau
Halmahera, dengan gubernurpertamanya, Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6Maret 1959,
harianNew York Times melaporkan penemuan emas olehpemerintah Belanda di dekatlaut
Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun
tidakmenyebut kandungan emas ataupun tembaga.
BenderaPapua’Barat,sekarangdigunakansebagaibenderaOrganisasiPapuaMerdeka
Karenausaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi,
arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai
meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai 1961. Selain itu
juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam
pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di
antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur
Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru.
Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober
1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang
negara, lagu kebangsaan ("Hai Tanahkoe Papua"), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober
1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan
kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada
tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Desember 1961. Pada 19Desember1961,Soekarnomenanggapi’pembentukan DewanPapuaini
denganmenyatakanTrikora di Yogyakarta, yang isinya adalah: Gagalkan pembentukan negara
boneka Papua buatan kolonial Belanda. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian
Barat Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuantanah
air bangsa.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rimun.solowat/latar-belakang-konflik-
papua_55289030f17e61ba628b45c2
Selasa, 15 November 2011
Penyelesaian konflik papua dan cara Penyelesaiannya.

Penyelesaian konflik papua dan cara Penyelesaiannya.

Jakarta, CyberNews. Penyelesaian konflik di Papua terhambat oleh masih adanya ‘tembok’ yang
memisahkan Papua dengan Jakarta. Persoalan tersebut adalah masalah ketidakpercayaan.
"Hal itu membuat apapun upaya yang selama ini diinisiasi pemerintah, gagal dan membutuhkan
dialog sebagai pembuka jalur penyelesaian," kata peneliti LIPI Muridan S Widjojo dalam diskusi
bertema ‘NKRI, Papua, dan Freeport’ di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (4/11).
Menurutnya, ketidakpercayaan rakyat Papua telah lama terjadi. Hal itu juga dipicu oleh langkah
pemerintah sendiri dalam merespons konflik Papua. Dia mengatakan, masyarakat Papua bersandar
pada sejarah.
"Misalnya, keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965, yang dijawab pemerintah
dengan menurunkan tentara. Sayangnya, tentara saat itu tidak hanya menembaki para anggota
OPM, melainkan juga membakar kampung-kampung dalam rangka mendukung upaya tersebut,"
ujarnya.
Dikatakan, cerita tentang pelanggaran HAM di Papua cukup panjang. Cara-cara demikian, lanjutnya,
terpelihara dan membuat konflik yang ada menjadi tidak terselesaikan serta memunculkan trauma.

Keritikan : "Untuk keluar dari konflik berkepanjangan ini, pemerintah jangan lagi menggunakan
pendekatan keamanan. Sebab, harus menempuh dialog berlapis. Mulai dari dialog di internal Papua,
dialog antara pemerintah, serta yang terpenting adalah dialog antara Papua dengan Jakarta,"

Penyelesaian Konflik papua dari segi Budaya

JUBI --- Diaz Gwijangge, Anggota Komisi X DPR RI memberikan perspektif dalam penyelesaian konflik
Papua akibat berkibarnya Bintang Kejora (BK) yang telah menelan banyak korban jiwa, baik di pihak
rakyat sipil maupun di pihak aparat keamanan.

“Kalau misalnya sekarang, kita lihat fakta yang sedang bergulir, JDP di bawah pimpinan Pater Neles
Tebay dan kelompok sosial masyarakat lain yang juga tergabung di dalamnya sudah memulai proses
ini agar tidak deadlock seperti BK dan Merah Putih karena sudah begitu banyak korban yang jatuh di
kedua belah pihak setiap tahun jadi kita coba cari jalan/solusi damai,” tutur Gwijangge pada JUBI
hari ini, Selasa (16/7).

Dalam sejarahnya, BK resmi dikibarkan pada Tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia berdampingan
dengan Bendera Belanda. Hollandia adalah nama Kota Jayapura pada jaman kependudukan Belanda
di Papua.

Di sisi lain, Gwijangge juga mempertanyakan kesanggupan Pemerintah Indonesia untuk duduk sama
rendah atau berdiri sama tinggi dengan Rakyat Papua dalam menyelesaikan berbagai konflik yang
disebabkan oleh BK.
“Di sisi yang lain juga, pertanyaan saya adalah apakah Rakyat Papua mau atau tidak untuk duduk
bersama-sama dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan?” Tanya
Gwijangge.

Gwijangge juga mengaku bahwa dirinya tidak memahami dengan baik makna dari setiap simbol di
dalam BK itu sendiri hingga saat ini tetapi secara umum ada filosofis dan mitologi dari tiap suku di
Papua tentang BK itu sendiri. Hal itulah yang membuat Orang papua merasa BK tidaklah jauh dari
dirinya sendiri.

Bintang Kejora yang juga disebut Bintang Pagi ini biasanya dijadikan para nelayan sebagai penuntun.
Sebagai penunjuk arah ketika mereka berada di tengah lautan tanpa kompas navigasi. Bintang Kejora
adalah harapan bagi para nelayan yang sedang menanti datangnya pagi. Bintang Kejora adalah
pedoman arah bagi masa depan yang cerah, secerah matahari terbit.

NEGERI YANG TAK PERNA ADA KEDAMAIN.


Penulis sengaja katakan negeri yang tak perna ada kedamain karena Papua kapan saja dimana saja
bisa damai, bisa senang dan bisa mencekam hal itu bukan menjadi hal yang tabu setiap tanggal 1
Desember Rakyat Papua tau mereka akan terusik, sebelum HUT RI 17 Agustus pasti ada upaya
pengibaran bintang kejora dan berbagai macam cara dan bentuk Papua tidak aman, serta berbagai
aksi penembakan sewaktu-waktu bisa kembali terjadi oleh Orang Tak di kenal. Dan terlebih
stikmanisasi orang Papua yang terus membunuh karakter bangsa Papua, Ini bukan kali pertama
terjadi konflik ini telah dimulai sejak Indonesia menguasai Papua sejak tanggal 1 Mei 1963 dan
hingga kini, persoalan Otsus banyak belum dituntaskan secara komperhensif dan menyeluruh. Baik
itu persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), persoalan ekonomi, dan masih banyak persoalan lainya dan
rentetan dari persoalan-persoalan inilah yang menimbulkan stigma orang Papua mungkin bukan
orang Indonesia, layaknya seperti orang Indonesia lain sehingga rasa ketidak percayaan orang Papua
semakin tinggi, ketidakpercayaan ini diperlihatkan melalui beberapa cara. Yaitu mendesak perlu ada
dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua dan tuntutan referendum yang dimunculkan
terutama dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai forum-forum
ekstrim di papua.

Buntutnya pergolakan demi pergolakan terus dilakukan untuk meminta pengakuan yang sama
sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua,
telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di tanah Papua. Operasi militer yang
menewaskan warga atau masyarakat sipil, merusak fasilitas tidak dapat ditolelir sebagai kelasiman
prosedur militer, rasanya tidak ada prosedur baku seperti itu, ini cara-cara tersebut merupakan
pelanggaran berat atas HAM, terlebih kepada masyarakat sipil, dan juga melanggar aturan sebagai
operasi militer, mereka harus melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik yang berlarut-larut.
Banyak kalangan menilai operasi militer yang kurang selektif dan diskriminatif, telah menumbuhkan
perasaan tidak senang yang meluas.

Padahal untuk menyelesaikan masalah Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
“pemerintah perlu suatu strategi untuk identifikasi susber-sumber komflikya lebih dulu secara jelas.
Upaya penyelasaian dengan jalan kekerasan tentu tidak akan menyelesaikan konflik Papua, selain
dengan jalan damai. Banyak pihak sudah mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah
dan orang Papua atau dialog Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan konfilk secara damai
karena pengalaman dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah
menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak
masalah. Maka penyelesaian konflik Papua hanya melalui jalan damai yakni dialog, Baik itu dialog
internal orang Papua, warga Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam dan di luar negeri dan dialog
pemerintah Indonesia dengan orang Papua karena. Dialog merupakan suatu kebutuhan yang
mendesak untuk mencegah pertumpahan darah di masa depan.

Pernyataan ini (Dialog) merupakan satu topik utama yang selalu muncul sebagai tuntutan disetiap
aksi-aksi (Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang Papua. Namun tidak pernah terealisai. padahal
komitmen Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara dialog sudah dinyatakan secara
publik. Oleh berbagai pihak seperti pernyataan Mentri Luar Negeri Hasan Wirayuda yang
mengumumkan niat pemerintah yang mengutamakan solusi tanpa kekerasan. dan DPR RI selaku
pihak legislatif telah memperlihatkan pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik Papua.
Pandangan DPR ini diungkapkan oleh Komisi I yang membidangi Pertahanan dan Masalah Luar
Negeri melalui Ketuanya Teo L Sambuaga, yang mendorong pemerintah sebaga pihak legislatif agar
segera mengadakan dialog nasional dan lokal untuk menyelesaikan konflik Papua.

Semua komiten pemerintah ini sesuai dengn niat atau komitmen pribadi Presiden Susilo Bambang
Yudoyono yang berkehendak mengatasi berbagai persoalan di Indonesi dengan tiga pendekatan
utama, masing-masing keadilan, demokrasi dan damai. Untuk menyelesaikan konflik Papua harus
secara damai dan demokratis seperti penyelesaian konflik di Nanggroe Aceh Darussalam “Papua
sudah sangat jelas, Kita akan mengedepankan cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh” .
Banyak pihak sudah mengumandangkan dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog
Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai. Namun hingga kini belum ada suatu
suatu konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua yang dikehendaki oleh pemerintah dan orang
Papua.

Desakan dialog yang kuat dari berbagai kalangan yang dituangkan dalam suatu konsep tertulis untuk
menyelesaikan konflik Papua dengan cara dialog dan TIDAK BERBICARA SOAL MERDEKA

Diposkan oleh Caesar Angga Wibowo di 06.26


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

1 komentar:
HUKUM PENEGAKAN LINGKUNGAN

B. Isu Hukum

1. Akibat dari konflik Sosial yang terjadi Papua ?

2. Solusi dari konflik Sosial yang terjadi Papua ?

1. a. Fakta Hukum.

Adanya Pandangan Masyarakat Asli Papua yang Menganggap Bukan Dari Budaya
Masyarakat Indonesia

Masyarakat Papua secara fisik maupun sosial menganggap berbeda dari masyarakat
Indonesia di daerah-daerah lain. Jika mayoritas orang Indonesia tergolong rumpun Melayu
yang berasal dari Yunan Kamboja, maka secara fisik orang Papua adalah rumpun Melanesia
ras Negroid di Pasifik. Demikian pula, secara sosial orang Papua merasa memiliki pandangan
dan cara hidup tersendiri yang sangat berbeda dari mayoritas rakyat Indonesia di provinsi-
provinsi lain. Orang Papua memiliki otoritas yang bersifat khas dalam mengatur,
mengembangkan kebutuhan, dan menyelesaikan masalah berdasarkan hukum adat yang
membebani hak dan kewajiban adat pada para individunya, sehingga sulit untuk bertemu
dalam suatu Negara Kesatuan RI.

Peniadaan identitas masyarakat Papua, khususnya pada masa Trikora, UNTEA dan
menjelang PEPERA merupakan bagian dari proses yang mematangkan evolusi nasionalisme
Papua. Bagi orang Papua, tuntutan identitas dan menguatnya nasionalisme Papua adalah
proses panjang dari tahun 1948 saat John Ariks kampanye menolak pikiran integrasi Papua
ke dalam NKRI sampai pada tanggal 26 Februari 1999 saat 100 anggota tokoh wakil
masyarakat asli Papua yang lebih dikenal dengan sebutan tim 100, menyampaikan aspirasi
tuntutan Merdeka dari masyarakat Papua kepada Presiden Habi

b.Konsep Hukum

PEMERINTAHAN DAERAH

Pasal 18

1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah


provinsi, kabupaten, dan kota dipilih melalui Pemilihan Umum. (5) Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.

5) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan


lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

6) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang.

Pasal 18 A

1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,


kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,diatur dengan undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

. Peraturan Perundangan Pelaksana Konstitusi yang Berkaitan dengan Pemberian


Otonomi Khusus Papua.

1. Berbentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat


1. Tap MPR No.IV/MPR/1999.

Mengatur tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, di dalam lampiran
Bab IV Huruf G angka 2, antara lain menyatakan sebagai berikut;

1. Khusus.

Dalam rangka pembangunan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah
yang memerlukan penanganan segera dan sungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-
langkah sebagai berikut:
Irian Jaya.

1. Mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik


Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial
budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur
dengan undang-undang.
2. Menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses
pengadilan yang jujur dan bermartabat.

. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dari berbagai pasal
yang termuat dalam undang-undang tersebut, maka masalah pembentukan dan susunan
daerah dirumuskan dalam pasal-pasal antara lain:

Pasal 4

Dalam rangka pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Pasal 5

1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah,


sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 125

1) Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak jaya, Kabupaten Mimika,


Kabupaten Simeulue, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi Daerah
Otonom dengan memperhatikan Pasal 5 undang-undang ini.

2) Selambat-lambatnya dua tahun setelah tanggal ditetapkannya undang-undang ini,


Kotamadya, Kabupaten, dan Kota Administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sudah
harus berubah statusnya menjadi Kabupaten/Kota jika memenuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam Pasal 5 undang-undang ini.

. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi


Papua antara lain menetapkan sebagai berikut:

Pasal 3
1) Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing
sebagai Daerah Otonom.

2) Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah distrik.

3) Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain.

4) Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten/ Kota,


ditetapkan dengan undang-undang atas usul Provinsi Papua.

Pasal 74

Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua
sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 76

Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan
DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan
Sumber Daya Manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

Analisa Kasus

1. Konflik Kekerasan Sosial di Papua.

Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang
antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai
akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama,
sebagai berikut:

a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)

Pembangunan yang hanya mengejar kemajuan material, atau kemajuan fisik dengan memakai
indikator ekonomi semata-mata, telah menempatkan masyarakat Papua pada posisi marginal
di Papua Barat. Pembangunan diarahkan pada eksploitasi sumber daya alam, seperti tanah,
hutan, tambang dan laut untuk kepentingan yang kurang jelas maksudnya. Sedangkan untuk
kepentingan masyarakat Papua sebagai pemegang hak adat atas SDA justru kurang mendapat
perhatian yang layak.

Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat


Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,
padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil
keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas
pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak
adat. Sebaliknya, agen-agen pembangunan yang mengeksploitasi SDA justru tidak
memberikan pengakuan yang memadai terhadap hak-hak masyarakat asli Papua dan tidak
memikirkan alternatif.

Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah
mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat
kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api,
rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat
lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga
memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport,
limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein
masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita. Demikian pula eksploitasi sumber daya laut seperti
di Biak, Sorong, Merauke dan Fak-Fak juga merusak ekosistem dan mengganggu populasi
ikan, penduduk lokal yang masih menggunakan teknologi penangkapan tradisional, makin
sulit mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut bagi kesejahteraannya.

Eksploitasi SDA oleh para investor di bawah fasilitasi pemerintah, berlangsung secara cepat.
Sementara, persiapan sosial yang dapat membantu menyiapkan dan memfasilitasi penduduk
asli agar mengakses program-program atau proyek-proyek yang berhubungan dengan
pengelolaan SDA tidak terjadi. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di
tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.

b. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan

Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang
pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru,
orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu
diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk
sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang
Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan
dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM.

Adanya kepentingan politik dari sejumlah elite di pemerintahan agar penduduk asli tidak
memiliki akses dan duduk di pemerintahan, tidak bisa bersuara untuk membela hak-hak dan
kekayaan SDA-nya dengan menggunakan tuduhan OPM sebagai stigma. Tuduhan OPM ini,
dijadikan stigma supaya orang Papua dapat dihambat untuk memiliki akses di pemerintahan
atau jika mereka bereaksi dapat ditangkap demi suatu proyek menaikkan kegiatan atau
anggaran militer di Irian Jaya.

Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada
sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi
sumber daya alam (SDA) eksploitasi sumber daya alam sebagai bahan baku lebih banyak
menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik
Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor
perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang. Jika kondisi itu dipertanyakan,
jawaban yang lazim adalah orang Irian belum siap. Tetapi kenapa belum siap dan bagaimana
menyiapkan kesiapan itu, sejauh ini belum mendapat perhatian yang serius dari para
pengambil kebijakan. Dominasi dan tekanan-tekanan tersebut makin mematangkan
nasionalisme Papua dan memungkinkan tuntutan Papua Merdeka makin gencar di era
reformasi.

c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal

Kekuasaan pemerintah Indonesia melalui para petugas negara yang didatangkan dan migran
spontan dari luar Papua sebagai agen-agen pembangunan. Mereka melihat dan mengukur
budaya orang Papua dari sudut budaya, kepentingan dan ideologi pembangunan. Unsur
kebudayaan lokal menjadi salah satu sasaran yang harus “diamankan” supaya sesuai dengan
kepentingan budaya dan ideologi pembangunan dan kepentingan pusat. Pengembangan SDM
pun diarahkan kepada kepentingan ini.

Kepemimpinan modern juga diintroduksikan kepada masyarakat Papua untuk menggantikan


kepemimpinan tradisional dan diharapkan membawa dampak positif bagi penduduk lokal.
Tetapi yang terjadi, justru menjadi sumber ketidakpastian dan kekacauan. Padahal pada masa
sebelumnya kepemimpinan adat pada umumnya telah menciptakan ketertiban.

Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan
lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap
berusaha untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi,
kelihatannya penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai
ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan
kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan
nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.

d. Tindakan Represif oleh Militer

Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror,
penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan
pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai
keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa
wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka
diintimidasi dan diteror.

Dominasi tentara atau militer dalam jangka waktu yang lama dalam arena politik dan jabatan
pemerintahan sipil, telah mengakibatkan tumbuhnya budaya kontra produktif bagi rakyat
yang beranggapan bahwa militer adalah representasi kekuasaan, militer adalah warga negara
kelas satu yang dapat berbuat apa saja tanpa pertanggungjawaban hukum yang jelas pada
publik, akibatnya muncul budaya “militerisme” di berbagai kalangan partai politik maupun
masyarakat luas lainnya.

Berbagai konflik horizontal yang terjadi maupun konflik politik vertikal yang
dimanifestasikan dengan tuntutan Papua merdeka sebagai reaksi atas pelaksanaan PEPERA
yang tidak demokratis maupun atas dominasi pusat pada daerah, dalam kurun waktu lama
dilakukan melalui kebijakan dalam mengelola konflik yang represif dan kontra produktif,
yaitu dengan cara mengirim pasukan militer dan merekayasa para tokoh atau elit masyarakat
untuk berdamai secara seremonial.

2. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua

Hasil eksplorasi terhadap berbagai kebijakan dan peristiwa dalam konteks penyelesaian
konflik di Papua, terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:

a. Pendekatan Kekerasan

Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal
dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas
setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua
yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kebijakan
operasi militer untuk menumpas OPM dilakukan dengan nama operasi tersendiri sesuai
dengan kebijakan pimpinan militer Indonesia atau ABRI, dan kegiatan itu dilakukan dengan
menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan dengan Negara Papua
New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Beberapa tindakan yang menjadi ciri mengawali adanya suatu operasi militer, dilakukan
dengan mengumpulkan kepala-kepala suku untuk dimintai pendapat, saran serta sekaligus
memberikan penerangan, menyiapkan pasukan cadangan yang diperlukan; mengadakan
penangkapan dan pengusutan terhadap orang-orang yang tersangkut dalam gerakan OPM;
melakukan pencatatan terhadap orang-orang yang termasuk mengikuti gerakan OPM,
mengadakan peringatan-peringatan dengan jalan melalui keluarga yang ditinggalkan untuk
memanggil mereka yang melarikan diri agar kembali melaporkan diri.

b. Pendekatan Non kekerasan

Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka
kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan
posisi petugas Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini
dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan.
Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh
Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti
halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.

Konsep miskin, tertindas, dan melarat untuk Papua menjadi tidak tepat, sebab Belanda telah
mengubah sistem penjajahannya sehingga rakyat di Papua tidak mengalami hal yang dialami
oleh daerah lain. Malah justru sebagian besar masyarakat simpati dan mendukung OPM
justru menilai dan mempunyai opini bahwa pemerintah Indonesia adalah penjajah baru.
Indonesia merupakan penjajah adalah hasil generalisasi yang dibuat atas pengalaman dan
pengamatan terhadap berbagai tindakan personal ABRI yang tidak terpuji. Seperti,
mengambil dengan paksa barang-barang milik rakyat yang ditinggalkan oleh Belanda,
menyiksa rakyat di depan umum tanpa melalui proses hukum yang pasti, menghina
masyarakat dengan ucapan di depan umum dengan memberikan stigma OPM untuk
membenarkan tindakan kekerasan tersebut.

Dalam rangka “meng-Indonesiakan” orang Papua atau memantapkan integrasi politik di


Papua maka tema yang tepat dan dapat diterima oleh orang Papua adalah tema
“ketertinggalan” atau tema “keterbelakangan” karena tema dianggap tepat dengan
pengalaman dan keadaan nyata di Papua. Kebijakan tersebut bermaksud untuk menjadikan
orang asli Papua sebagai pimpinan atau kepala dalam berbagai struktur dalam jajaran
pembangunan di Papua. Sebab sebelumnya masyarakat Papua merasa adanya
ketidakpercayaan Pemerintah Pusat terhadap orang asli Papua untuk diberikan kesempatan
memimpin dengan berbagai alasan yang sebenarnya direkayasa untuk kepentingan pribadi
para pejabat migran. Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam
upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif
atau tidak berhasil. Penyebab utamanya adalah karena kebijakan tersebut dilakukan secara
parsial dan reaktif terhadap kasus-kasus tertentu. Sedangkan secara makro masih tetap
berlaku kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang sangat sentralistis atau Jakarta
sentries serta masih tetap berlangsungnya kebijakan penyeragaman penyelenggaraan
pemerintahan lokal, yang sangat bertentangan dengan kondisi keragaman pemerintahan adat
sebagai representasi pemerintahan lokal di Papua.

KESIMPULAN

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelesaian konflik sangatlah besar
peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam penyelesaian konflik
tersebut.

Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang jelas dalam
Keputusan Bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga
perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga
jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang
terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif
dalam melakukan pengawasan sehingga konflik yang terjadi di papua dapat diselesaikan
sacara baik tanpa menggunakan kekerasan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah

SARAN

Konflik yang terjadi di papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi di negeri ini maka dari
pada itu di harapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus fleksibel dalam
mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salasatu daerah saja karna akan
menimbulkan kecemburuan sosial tiap daerah sehingga mengakibatkan konflik yang
berkepanjangan.

Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi,
umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan
kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan
secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi
bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk
kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para
pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan
keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.

Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh
para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu
penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu
penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi
militer, Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta
yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat,
kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi.

Anda mungkin juga menyukai