BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BALAKANG
Negara Indonesia, dijelaskan dalam pasal 18B ayat 1 UUD 1945, mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Provinsi
Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh)
bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia.
Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi
Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan
pada hampir semua sector kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan,
ekonomi, kebudayaan dan sosial politik.2 Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar
penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan
aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan
ketidakpuasan.
B. PERUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat
Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk
berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut
serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia
yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk
menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan
karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang
Papua.
Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang
ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya – termasuk dengan dimilikinya
simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah “khusus” hendaknya
diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang
dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi
masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususnya
otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin
tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain yang
tidak diterapkan di Papua.
Dalam rangka mewujudkan terpenuhi hak dan kewajiban dasar rakyat Papua, Rancangan
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dikembangkan dan dilaksanakan dengan
berpedoman pada sejumlah nilai-nilai dasar. Nilainilai dasar ini bersumber dari adat istiadat
rakyat Papua, nasionalisme yang4 bertumpu pada prinsip-prinsip manusia universal, dan
penghormatan akan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Karena itulah, nilai-nilai dasar
yang dimaksudkan merupakan prinsip-prinsip pokok dan suasana kebatinan yang melatar
belakangkangi penyusunan kerangka dasar Rancangan UndangUndang Otonomi Khusus
Provinsi Papua yang selanjutnya diharapkan akan berfungsi sebagai pedoman dasar bagi
pelaksanaan berbagai aspek Otonomi Khusus Papua di masa mendatang. Ada tujuh butir
Nilai-nilai Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah :
Garis-garis besar pokok pikiran merupakan kerangka dasar yang dimasukan kedalam
Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Pokok-pokok pikiran tersebut dikembangkan
dengan memadukan nilai-nilai dasar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dengan
pendekatan-pendekatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil dan
mendasar rakyat Papua dalam pengertian yang seutuhnya dan seluas-luasnya. Garis-garis
Besar Pokok pikiran tersebut meliputi aspek-aspek berikut ini :
Salah satu inti pelaksanaan Otonomi Khusus Papua adalah pembagian kewenangan
pemerintah antara Pusat dan Provinsi Papua. Pembagian kekuasaan dan kewenangan ini
bukan semata-mata sebagai konsekuensi pemberian status otonomi khusus, tetapi yang tidak
kalah pentingnya adalah pelaksanaan prinsip-prinsip demokratisasi penyelenggaraan negara
dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat dan daerah untuk mengatur
dan mengurus dirinya sendiri secara nyata. Pendekatan seperti ini akan memungkinkan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menjadi lebih relevan, efesien, efektif dan
tetap sasaran. Dalam kaitannya itulah perlu ditetapkan dengan jelas hal-hal apa saja yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi Papua.
Prinsip yang dianut adalah bahwa kewenangan perlu diberikan secara proposional ke bawah,
terutama untuk berbagai hal yang langsung berkaitan dengan masyarakat. Hal ini konsiten
dengan salah satu prinsip dasar otonomi yaitu menempatkan sedekat-dekatnya
penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan ke subjek, yaitu rakyat. Karena itu, di dalam
konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua, fungsi-fungsi pengaturan pengaturan berada di
tingkat Provinsi sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan masyarakat diberikan
sebesar-besarnya kepada kabupaten/kota dan kampung.
1. Lembaga Eksekutif (Bagian Ketiga UU No.21 tahun 2001) Lembaga ini di tingkat provinsi
dipimpin oleh seorang gubernur dan di tingkat Kabupaten/kota dipimpin oleh Bupati atau
Walikota. Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih oleh Lembaga Legislatif. Lembaga
Eksekutif berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Gubernur dipilh oleh
Lembaga Legislatif. Kewajiban, Tugas dan wewenang seorang Gubernur (pasal 14 dan 15
UU No. 21 tahun 2001 tentang Propinsi Papua)
Salah satu pokok permasalahan yang dihadapi selama ini di Papua adalah dilanggarnya hak-
hak adat penduduk asli. Ada tiga hal pokok yang yang terkait dengan hal tersebut, yaitu :
a. Dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli Papua dalam kaitannya dengan eksploitasi
sumber daya alam.
b. Diabaikannya hak-hak adat penduduk asli dalam kaitannya dengan representasi penduduk
asli Papua dalam badan-badan perwakilan rakyat.
[1] Hak milik perorangan dan hak milik bersama (hak ulayat) atas tanah, air atau laut pada
batas-batas tertentu, serta hutan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
[1] Hak-hak dalam bidang kesenian maupun hak-hak yang terkait dengan sistem pengetahuan
dan teknologi yang dikembangan oleh masyarakat asli Papua, misalkan obat-obat tradisional
dan yang sejenisnya.
[1] Hak untuk memberikan pertimbangan kepada Parlemen Provinsi ataupun badan
pemerintahan terkait dengan perlindungan hak-hak peduduk asli Papua.
[1] Hak memperhatikan dan menyalurkan aspirasi. Dan hak-hak yang lainnya yang harus
diberikan perlindungan oleh pemerintahan Daerah/Provinsi maupun pemerintahan Negara.
sebagaimana yang diusulkan oleh rakyat Papua untuk dimasukkan ke dalam RUU Otonomi
Khusus Papua perlu dilihat dalam konteks kebudayaan dan bukan persoalan politik negara.
Dalam konteks kebudayaan seperti ini, bendera, lambang, dan lagu merupakan simbol
identitas daerah dan simbol kebesaran, keagungan dan keluhuran jati diri orang Papua.
Simbol-simbol itu diyakini sebagai perekat rakyat Papua dan sekaligus sebagai stimulan
untuk memotifasi rakyat Papua agar terus bahu membahu dan bekerja sama untuk mencapai
cita-cita kesejahteraan bersama.
Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural
bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang
tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian yang terdapat dalam Bab Pembahasan, maka dapat disimpulkan menjadi beberapa
poin, yaitu :
Bahwa Otonomi Khusus Papua adalah kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung
penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang
kekurangan, dan diberikannya perlakuan yang berbeda karena kekhususan yang dimilikinya.
Dalam Otonomi Khusus di Papua terdapat Nilai-nilai Dasar yang bersumber dari adat
istiadat rakyat Papua, nasionalisme yang bertumpu pada prinsip-prinsip manusia universal,
dan penghormatan akan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. 7 butir nilai dasar otonomi
Papua
1. Perlinduan hak-hak dasar penduduk asli papua
5. Supremasi hukum
C. TUJUAN
Secara umum, tujuan dari makalah ini adalah menjawab beberapa hal yang
menjadi pokok pembahasan kami :
1. Mengetahui apa saja masalah-masalah pada level kebijakan yang perlu mendapat perhatian,
sebagai bahan pertimbangan perbaikan ke depan.
2. Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan khusus,
lembaga khusus dan kekhususan lainnya.
3. Mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus
Papua dan Papua Barat, khususnya terkait pengelolaan keuangan dan pelaksanaan
kewenangan khusus.
4. Mengembangkan strategi perbaikan untuk memperkuat operasional kebijakan dan
implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan kata lain, Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 menjadi Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2008 pada 25 Juli 2008 memberikan landasan hukum bagi
Pemerintah Provinsi Papua.
H. SOLUSI
1) Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
a. Perlu pengaturan yang jelas, mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang otonomi khusus dan mana yang diatur Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah seperti pengaturan bidang pendidikan, kesehatan, sosial dimana
bidang-bidang tersebut juga sudah ada Standar Pelayanan Minimal, dengan memperhatikan
situasi dan kondisi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
b. Perdasi-perdasus perlu lebih disosialisasikan oleh pemerintah provinsi dan diikuti dengan
upaya-upaya konkrit dari pemerintah kabupaten/kota.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Tidak adanya petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis mengakibatkan pelaksanaan
kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan dan Lingkungan
Hidup yang berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang harus dikelola sebagai
penjabaran kewenangan khusus tersebut dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelolaan
kewenangan tersebut.
Belum terbangunnya pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi strategis
(DPRP atau DPRPB, Pemerintah Provinsi, dan MRP) mengakibatkan kinerjanya yang tidak
optimal, ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara lembaga-lembaga ini
mengakibatkan munculnya “ konflik kepentingan ”.
Dalam lembaga khusus, DPRP tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dalam
mewujudkan perlindungan hak–hak asli orang Papua, keterberpihakan kepada masyasarkat
asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) yang melibatkan hubungan kerja antara DPRP, MRP dan Gubernur.
B. SARAN
1. Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Untuk menjamin agar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua berjalan secara lancar
khususnya dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah disarankan dilakukan komunikasi dan
koordinasi internal maupun eksternal dari semua pemangku kepentingan (Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat,
Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota) perlu ditingkatkan.
Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk
menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan
batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125
penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk
115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang,
desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa,
dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman
makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
2000 - 2010
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat,
kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya tingkat
pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang berpotensi
menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu
penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan
daerah serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini
jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog
atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa
institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah
papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi
di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti
yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari
setiap kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap
membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan
benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat
akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan
mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang
terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan
pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa
dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau
berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit
konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin masyarakat
akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan-
angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.
LATAR BELAKANG KONFLIK PAPUA Ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia
Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap
wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah
lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papuanegara
merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang
hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini
kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional.
Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai
keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akandibicarakan kembali
dalam jangka waktu satu tahun. Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua
Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73ePiagam PBB. Karena Indonesia
mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah
Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia
beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua
Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan
laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 1956
Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau
Halmahera, dengan gubernurpertamanya, Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6Maret 1959,
harianNew York Times melaporkan penemuan emas olehpemerintah Belanda di dekatlaut
Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun
tidakmenyebut kandungan emas ataupun tembaga.
BenderaPapua’Barat,sekarangdigunakansebagaibenderaOrganisasiPapuaMerdeka
Karenausaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi,
arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai
meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai 1961. Selain itu
juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam
pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di
antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur
Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru.
Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober
1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang
negara, lagu kebangsaan ("Hai Tanahkoe Papua"), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober
1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan
kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada
tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Desember 1961. Pada 19Desember1961,Soekarnomenanggapi’pembentukan DewanPapuaini
denganmenyatakanTrikora di Yogyakarta, yang isinya adalah: Gagalkan pembentukan negara
boneka Papua buatan kolonial Belanda. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian
Barat Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuantanah
air bangsa.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rimun.solowat/latar-belakang-konflik-
papua_55289030f17e61ba628b45c2
Selasa, 15 November 2011
Penyelesaian konflik papua dan cara Penyelesaiannya.
Jakarta, CyberNews. Penyelesaian konflik di Papua terhambat oleh masih adanya ‘tembok’ yang
memisahkan Papua dengan Jakarta. Persoalan tersebut adalah masalah ketidakpercayaan.
"Hal itu membuat apapun upaya yang selama ini diinisiasi pemerintah, gagal dan membutuhkan
dialog sebagai pembuka jalur penyelesaian," kata peneliti LIPI Muridan S Widjojo dalam diskusi
bertema ‘NKRI, Papua, dan Freeport’ di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (4/11).
Menurutnya, ketidakpercayaan rakyat Papua telah lama terjadi. Hal itu juga dipicu oleh langkah
pemerintah sendiri dalam merespons konflik Papua. Dia mengatakan, masyarakat Papua bersandar
pada sejarah.
"Misalnya, keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965, yang dijawab pemerintah
dengan menurunkan tentara. Sayangnya, tentara saat itu tidak hanya menembaki para anggota
OPM, melainkan juga membakar kampung-kampung dalam rangka mendukung upaya tersebut,"
ujarnya.
Dikatakan, cerita tentang pelanggaran HAM di Papua cukup panjang. Cara-cara demikian, lanjutnya,
terpelihara dan membuat konflik yang ada menjadi tidak terselesaikan serta memunculkan trauma.
Keritikan : "Untuk keluar dari konflik berkepanjangan ini, pemerintah jangan lagi menggunakan
pendekatan keamanan. Sebab, harus menempuh dialog berlapis. Mulai dari dialog di internal Papua,
dialog antara pemerintah, serta yang terpenting adalah dialog antara Papua dengan Jakarta,"
JUBI --- Diaz Gwijangge, Anggota Komisi X DPR RI memberikan perspektif dalam penyelesaian konflik
Papua akibat berkibarnya Bintang Kejora (BK) yang telah menelan banyak korban jiwa, baik di pihak
rakyat sipil maupun di pihak aparat keamanan.
“Kalau misalnya sekarang, kita lihat fakta yang sedang bergulir, JDP di bawah pimpinan Pater Neles
Tebay dan kelompok sosial masyarakat lain yang juga tergabung di dalamnya sudah memulai proses
ini agar tidak deadlock seperti BK dan Merah Putih karena sudah begitu banyak korban yang jatuh di
kedua belah pihak setiap tahun jadi kita coba cari jalan/solusi damai,” tutur Gwijangge pada JUBI
hari ini, Selasa (16/7).
Dalam sejarahnya, BK resmi dikibarkan pada Tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia berdampingan
dengan Bendera Belanda. Hollandia adalah nama Kota Jayapura pada jaman kependudukan Belanda
di Papua.
Di sisi lain, Gwijangge juga mempertanyakan kesanggupan Pemerintah Indonesia untuk duduk sama
rendah atau berdiri sama tinggi dengan Rakyat Papua dalam menyelesaikan berbagai konflik yang
disebabkan oleh BK.
“Di sisi yang lain juga, pertanyaan saya adalah apakah Rakyat Papua mau atau tidak untuk duduk
bersama-sama dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan?” Tanya
Gwijangge.
Gwijangge juga mengaku bahwa dirinya tidak memahami dengan baik makna dari setiap simbol di
dalam BK itu sendiri hingga saat ini tetapi secara umum ada filosofis dan mitologi dari tiap suku di
Papua tentang BK itu sendiri. Hal itulah yang membuat Orang papua merasa BK tidaklah jauh dari
dirinya sendiri.
Bintang Kejora yang juga disebut Bintang Pagi ini biasanya dijadikan para nelayan sebagai penuntun.
Sebagai penunjuk arah ketika mereka berada di tengah lautan tanpa kompas navigasi. Bintang Kejora
adalah harapan bagi para nelayan yang sedang menanti datangnya pagi. Bintang Kejora adalah
pedoman arah bagi masa depan yang cerah, secerah matahari terbit.
Buntutnya pergolakan demi pergolakan terus dilakukan untuk meminta pengakuan yang sama
sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua,
telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di tanah Papua. Operasi militer yang
menewaskan warga atau masyarakat sipil, merusak fasilitas tidak dapat ditolelir sebagai kelasiman
prosedur militer, rasanya tidak ada prosedur baku seperti itu, ini cara-cara tersebut merupakan
pelanggaran berat atas HAM, terlebih kepada masyarakat sipil, dan juga melanggar aturan sebagai
operasi militer, mereka harus melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik yang berlarut-larut.
Banyak kalangan menilai operasi militer yang kurang selektif dan diskriminatif, telah menumbuhkan
perasaan tidak senang yang meluas.
Padahal untuk menyelesaikan masalah Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
“pemerintah perlu suatu strategi untuk identifikasi susber-sumber komflikya lebih dulu secara jelas.
Upaya penyelasaian dengan jalan kekerasan tentu tidak akan menyelesaikan konflik Papua, selain
dengan jalan damai. Banyak pihak sudah mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah
dan orang Papua atau dialog Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan konfilk secara damai
karena pengalaman dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah
menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak
masalah. Maka penyelesaian konflik Papua hanya melalui jalan damai yakni dialog, Baik itu dialog
internal orang Papua, warga Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam dan di luar negeri dan dialog
pemerintah Indonesia dengan orang Papua karena. Dialog merupakan suatu kebutuhan yang
mendesak untuk mencegah pertumpahan darah di masa depan.
Pernyataan ini (Dialog) merupakan satu topik utama yang selalu muncul sebagai tuntutan disetiap
aksi-aksi (Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang Papua. Namun tidak pernah terealisai. padahal
komitmen Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara dialog sudah dinyatakan secara
publik. Oleh berbagai pihak seperti pernyataan Mentri Luar Negeri Hasan Wirayuda yang
mengumumkan niat pemerintah yang mengutamakan solusi tanpa kekerasan. dan DPR RI selaku
pihak legislatif telah memperlihatkan pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik Papua.
Pandangan DPR ini diungkapkan oleh Komisi I yang membidangi Pertahanan dan Masalah Luar
Negeri melalui Ketuanya Teo L Sambuaga, yang mendorong pemerintah sebaga pihak legislatif agar
segera mengadakan dialog nasional dan lokal untuk menyelesaikan konflik Papua.
Semua komiten pemerintah ini sesuai dengn niat atau komitmen pribadi Presiden Susilo Bambang
Yudoyono yang berkehendak mengatasi berbagai persoalan di Indonesi dengan tiga pendekatan
utama, masing-masing keadilan, demokrasi dan damai. Untuk menyelesaikan konflik Papua harus
secara damai dan demokratis seperti penyelesaian konflik di Nanggroe Aceh Darussalam “Papua
sudah sangat jelas, Kita akan mengedepankan cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh” .
Banyak pihak sudah mengumandangkan dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog
Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai. Namun hingga kini belum ada suatu
suatu konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua yang dikehendaki oleh pemerintah dan orang
Papua.
Desakan dialog yang kuat dari berbagai kalangan yang dituangkan dalam suatu konsep tertulis untuk
menyelesaikan konflik Papua dengan cara dialog dan TIDAK BERBICARA SOAL MERDEKA
1 komentar:
HUKUM PENEGAKAN LINGKUNGAN
B. Isu Hukum
1. a. Fakta Hukum.
Adanya Pandangan Masyarakat Asli Papua yang Menganggap Bukan Dari Budaya
Masyarakat Indonesia
Masyarakat Papua secara fisik maupun sosial menganggap berbeda dari masyarakat
Indonesia di daerah-daerah lain. Jika mayoritas orang Indonesia tergolong rumpun Melayu
yang berasal dari Yunan Kamboja, maka secara fisik orang Papua adalah rumpun Melanesia
ras Negroid di Pasifik. Demikian pula, secara sosial orang Papua merasa memiliki pandangan
dan cara hidup tersendiri yang sangat berbeda dari mayoritas rakyat Indonesia di provinsi-
provinsi lain. Orang Papua memiliki otoritas yang bersifat khas dalam mengatur,
mengembangkan kebutuhan, dan menyelesaikan masalah berdasarkan hukum adat yang
membebani hak dan kewajiban adat pada para individunya, sehingga sulit untuk bertemu
dalam suatu Negara Kesatuan RI.
Peniadaan identitas masyarakat Papua, khususnya pada masa Trikora, UNTEA dan
menjelang PEPERA merupakan bagian dari proses yang mematangkan evolusi nasionalisme
Papua. Bagi orang Papua, tuntutan identitas dan menguatnya nasionalisme Papua adalah
proses panjang dari tahun 1948 saat John Ariks kampanye menolak pikiran integrasi Papua
ke dalam NKRI sampai pada tanggal 26 Februari 1999 saat 100 anggota tokoh wakil
masyarakat asli Papua yang lebih dikenal dengan sebutan tim 100, menyampaikan aspirasi
tuntutan Merdeka dari masyarakat Papua kepada Presiden Habi
b.Konsep Hukum
PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 18
1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
6) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang.
Pasal 18 A
2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Mengatur tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, di dalam lampiran
Bab IV Huruf G angka 2, antara lain menyatakan sebagai berikut;
1. Khusus.
Dalam rangka pembangunan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah
yang memerlukan penanganan segera dan sungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-
langkah sebagai berikut:
Irian Jaya.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dari berbagai pasal
yang termuat dalam undang-undang tersebut, maka masalah pembentukan dan susunan
daerah dirumuskan dalam pasal-pasal antara lain:
Pasal 4
Dalam rangka pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pasal 5
2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 125
Pasal 3
1) Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing
sebagai Daerah Otonom.
3) Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain.
Pasal 74
Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua
sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 76
Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan
DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan
Sumber Daya Manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Analisa Kasus
Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang
antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai
akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama,
sebagai berikut:
Pembangunan yang hanya mengejar kemajuan material, atau kemajuan fisik dengan memakai
indikator ekonomi semata-mata, telah menempatkan masyarakat Papua pada posisi marginal
di Papua Barat. Pembangunan diarahkan pada eksploitasi sumber daya alam, seperti tanah,
hutan, tambang dan laut untuk kepentingan yang kurang jelas maksudnya. Sedangkan untuk
kepentingan masyarakat Papua sebagai pemegang hak adat atas SDA justru kurang mendapat
perhatian yang layak.
Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah
mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat
kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api,
rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat
lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga
memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport,
limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein
masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita. Demikian pula eksploitasi sumber daya laut seperti
di Biak, Sorong, Merauke dan Fak-Fak juga merusak ekosistem dan mengganggu populasi
ikan, penduduk lokal yang masih menggunakan teknologi penangkapan tradisional, makin
sulit mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut bagi kesejahteraannya.
Eksploitasi SDA oleh para investor di bawah fasilitasi pemerintah, berlangsung secara cepat.
Sementara, persiapan sosial yang dapat membantu menyiapkan dan memfasilitasi penduduk
asli agar mengakses program-program atau proyek-proyek yang berhubungan dengan
pengelolaan SDA tidak terjadi. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di
tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.
Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang
pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru,
orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu
diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk
sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang
Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan
dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM.
Adanya kepentingan politik dari sejumlah elite di pemerintahan agar penduduk asli tidak
memiliki akses dan duduk di pemerintahan, tidak bisa bersuara untuk membela hak-hak dan
kekayaan SDA-nya dengan menggunakan tuduhan OPM sebagai stigma. Tuduhan OPM ini,
dijadikan stigma supaya orang Papua dapat dihambat untuk memiliki akses di pemerintahan
atau jika mereka bereaksi dapat ditangkap demi suatu proyek menaikkan kegiatan atau
anggaran militer di Irian Jaya.
Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada
sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi
sumber daya alam (SDA) eksploitasi sumber daya alam sebagai bahan baku lebih banyak
menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik
Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor
perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang. Jika kondisi itu dipertanyakan,
jawaban yang lazim adalah orang Irian belum siap. Tetapi kenapa belum siap dan bagaimana
menyiapkan kesiapan itu, sejauh ini belum mendapat perhatian yang serius dari para
pengambil kebijakan. Dominasi dan tekanan-tekanan tersebut makin mematangkan
nasionalisme Papua dan memungkinkan tuntutan Papua Merdeka makin gencar di era
reformasi.
Kekuasaan pemerintah Indonesia melalui para petugas negara yang didatangkan dan migran
spontan dari luar Papua sebagai agen-agen pembangunan. Mereka melihat dan mengukur
budaya orang Papua dari sudut budaya, kepentingan dan ideologi pembangunan. Unsur
kebudayaan lokal menjadi salah satu sasaran yang harus “diamankan” supaya sesuai dengan
kepentingan budaya dan ideologi pembangunan dan kepentingan pusat. Pengembangan SDM
pun diarahkan kepada kepentingan ini.
Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan
lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap
berusaha untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi,
kelihatannya penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai
ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan
kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan
nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror,
penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan
pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai
keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa
wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka
diintimidasi dan diteror.
Dominasi tentara atau militer dalam jangka waktu yang lama dalam arena politik dan jabatan
pemerintahan sipil, telah mengakibatkan tumbuhnya budaya kontra produktif bagi rakyat
yang beranggapan bahwa militer adalah representasi kekuasaan, militer adalah warga negara
kelas satu yang dapat berbuat apa saja tanpa pertanggungjawaban hukum yang jelas pada
publik, akibatnya muncul budaya “militerisme” di berbagai kalangan partai politik maupun
masyarakat luas lainnya.
Berbagai konflik horizontal yang terjadi maupun konflik politik vertikal yang
dimanifestasikan dengan tuntutan Papua merdeka sebagai reaksi atas pelaksanaan PEPERA
yang tidak demokratis maupun atas dominasi pusat pada daerah, dalam kurun waktu lama
dilakukan melalui kebijakan dalam mengelola konflik yang represif dan kontra produktif,
yaitu dengan cara mengirim pasukan militer dan merekayasa para tokoh atau elit masyarakat
untuk berdamai secara seremonial.
Hasil eksplorasi terhadap berbagai kebijakan dan peristiwa dalam konteks penyelesaian
konflik di Papua, terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:
a. Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal
dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas
setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua
yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kebijakan
operasi militer untuk menumpas OPM dilakukan dengan nama operasi tersendiri sesuai
dengan kebijakan pimpinan militer Indonesia atau ABRI, dan kegiatan itu dilakukan dengan
menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan dengan Negara Papua
New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Beberapa tindakan yang menjadi ciri mengawali adanya suatu operasi militer, dilakukan
dengan mengumpulkan kepala-kepala suku untuk dimintai pendapat, saran serta sekaligus
memberikan penerangan, menyiapkan pasukan cadangan yang diperlukan; mengadakan
penangkapan dan pengusutan terhadap orang-orang yang tersangkut dalam gerakan OPM;
melakukan pencatatan terhadap orang-orang yang termasuk mengikuti gerakan OPM,
mengadakan peringatan-peringatan dengan jalan melalui keluarga yang ditinggalkan untuk
memanggil mereka yang melarikan diri agar kembali melaporkan diri.
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka
kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan
posisi petugas Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini
dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan.
Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh
Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti
halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Konsep miskin, tertindas, dan melarat untuk Papua menjadi tidak tepat, sebab Belanda telah
mengubah sistem penjajahannya sehingga rakyat di Papua tidak mengalami hal yang dialami
oleh daerah lain. Malah justru sebagian besar masyarakat simpati dan mendukung OPM
justru menilai dan mempunyai opini bahwa pemerintah Indonesia adalah penjajah baru.
Indonesia merupakan penjajah adalah hasil generalisasi yang dibuat atas pengalaman dan
pengamatan terhadap berbagai tindakan personal ABRI yang tidak terpuji. Seperti,
mengambil dengan paksa barang-barang milik rakyat yang ditinggalkan oleh Belanda,
menyiksa rakyat di depan umum tanpa melalui proses hukum yang pasti, menghina
masyarakat dengan ucapan di depan umum dengan memberikan stigma OPM untuk
membenarkan tindakan kekerasan tersebut.
KESIMPULAN
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelesaian konflik sangatlah besar
peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam penyelesaian konflik
tersebut.
Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang jelas dalam
Keputusan Bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga
perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga
jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang
terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif
dalam melakukan pengawasan sehingga konflik yang terjadi di papua dapat diselesaikan
sacara baik tanpa menggunakan kekerasan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
SARAN
Konflik yang terjadi di papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi di negeri ini maka dari
pada itu di harapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus fleksibel dalam
mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salasatu daerah saja karna akan
menimbulkan kecemburuan sosial tiap daerah sehingga mengakibatkan konflik yang
berkepanjangan.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi,
umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan
kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan
secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi
bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk
kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para
pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan
keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh
para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu
penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu
penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi
militer, Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta
yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat,
kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi.