ANTRAKS
Disusun Oleh :
Kelompok 5
Annisa Fitriyani 25010116120009
M. Wahyu Nugraha Ajie 25010116130152
Sabrina Daniswara 25010116130217
Disusun Oleh :
Kelompok 5
Annisa Fitriyani 25010116120009
M. Wahyu Nugraha Ajie 25010116130152
Sabrina Daniswara 25010116130217
2
DAFTAR ISI
BAB I................................................................................................................................ 4
Tujuan ........................................................................................................................... 5
BAB II .............................................................................................................................. 7
Simpulan ..................................................................................................................... 16
Saran ......................................................................................................................... 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit antraks merupakan zoonosis yang penting di Indonesia. Penyakit
antraks dapat menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Hewan herbivora
sangat rentan terhadap penyakit antraks, sedangkan karnivora, burung dan reptil lebih
tahan terhadap penyakit ini. Infeksi biasanya akut pada ternak yang mengakibatkan
kematian dalam waktu satu sampai tiga hari (Parker et al., 2002).
Anthrax merupakan salah satu penyakit tertua yang dikenal. Penyakit ini
pemah menjadi beberapa epidemi. Di Eropa pada tahun 1600-an dan dikenal sebagai
" black bane disease ". epidemi di Zimbabwe (1976) sekitar 6000 penderita karena
mengkonsumsi daging dari hewan yang terkena serangan penyakit Anthrax.
Penyebabnya, kuman Anthrax yang berhasil diisolasi dan dibuktikan sebagai
penyebab penyakit. Kuman Anthrax pertama kali diisolasi oleh Robert Koch pada
tahun 1877, sedangkan vaksinnya pertama kali dikembangkan oleh Louis Pasteur
pada tahun 1881. Anthrax kembali menarik perhatian Dunia Internasional karena
dapat digunakan sebagai senjata biologis yang sangat ampuh.
Di Indonesia penyakit ini merupakan zoonosis penting sejak tahun 1884 di
Telukbetung, Bali dan Palembang (1885). Kejadian di Citeureup, Bogor (2001 dan
2004) menunjukkan daerah endemis Anthrax di Jabar khususnya dan Indonesia pada
umumnya merupakan ancaman bagi kesehatan ternak dan manusia. Anthrax pada
ternak ditemukan di sebelas propinsi, tetapi dalam kurun waktu 1996-2001, hanya
empat propinsi yang melaporkan Anthrax pada manusia, yaitu Jabar, Jateng, NTB dan
NTT. Hubungan antara Anthrax pada manusia dan pada hewan erat sekali dan adanya
Anthrax karena kebiasaan penduduk dalam memasak atau makan daging (food habit),
misalnya ada kebiasaan di daerah di Sulawesi untuk “mematangkan” daging dengan
membiarkannya di suhu kamar selama dua hari (Ressang dan Umboh 1962).
Penularan dari manusia ke manusia lainnya umumnya jarang terjadi karena status
carrier penyakit ini tidak dijumpai. Berulangnya wabah anthrax karena kecilnya
manfaat usaha perlindungan terhadap ternak melalui pengebalan dengan Vaksin
Anthrax (VAN) dan minimnya, pengetahuan peternak tentang penanganan anthrax
4
yaitu dengan dibakar dan dikuburkannya kambing penderita anthrax di lubang tanpa
dicor semen terlebih dahulu. Cara penguburan yang salah ini berakibat bakteri anthrax
menyebar kembali melalui tanah dan makin lama tumbuh menjadi spora. Hal ini
menunjukkan minimnya, pengetahuan peternak tentang penanganan anthrax.
Dinas Peternakan harus memberi penyuluhan terhadap para peternak.
terutama tentang indikasi atau gejala hewan yang terjangkit anthrax sekaligus upaya
pencegahan penyakit mematikan itu kepada para peternak yang telah menelan korban
jiwa itu. Selain itu juga perlunya pos-pos pemantau dibangun di Babakan Madang
Pos-pos ini digunakan untuk memantau perkembangan wabah anthrax di daerah
endemi itu. Peraturan penyembelihan ternak harus dilaksanakan dan diawasi agar
masyarakat terhindar penularan penyakit anthrax dari hewan sembelihan. Pendidikan
kesehatan masyarakat tentang anthrax mutlak diperlukan terutama di daerah endemis
anthrax, demikian juga 4 kesiapan petugas kesehatan di Puskesmas perlu ditingkatkan
baik dalam usaha pencegahan dan pemberantasan maupun dalam pengobatan
penderita anthrax demi menghindari kematian karena penyakit anthrax. Tulisan ini
mencoba menggambarkan Apa dan bagaimana, serta yang perlu diketahui tentang
wabah penyakit anthrax tersebut karena menunjukkan miinimnya, pengetahuan
peternak tentang penanganan Anthrax.
1.2.Rumusan Masalah
1.3.Tujuan
5
2. Mengetahui epidemiologi penyakit Antraks.
3. Mengetahui gejala penyakit penyakit Antraks.
4. Mengetahui cara penularan penyakit Antraks.
5. Mengetahui patogenesis penyakit Antraks.
6. Mengetahui gejala penyakit Antraks.
7. Mengetahui pengobatan penyakit Antraks.
8. Mengetahui pencegahan penyakit Antraks.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Bacillus anthracis berasal dari bahasa Yunani dari kata batu bara: anthrakis,
karena penyakit ini menimbulkan warna hitam atau gambaran batu bara (coal like)
pada lesi kulit. Kuman ini bersifat nonhemolitik pada agar darah domba, dapat
tumbuh pada suhu 37°C dengan gambaran seluler joint bamboo-rod dan membentuk
gambaran koloni curled hair yang unik.
Endospora tidak terbagi, tidak mempunyai metabolisme yang dapat diukur, dan
resisten terhadap panas, udara kering, sinar ultra violet, radiasi sinar gama, dan
beberapa desinfektan. Spora anthrax akan mengalami germinasi menjadi bentuk
vegetatif bila masuk ke dalam lingkungan yang kaya nukleotida, asam amino dan
glukosa, seperti yang ditemukan dalam darah dan jaringan binatang atau manusia.
Bentuk vegetatif kuman anthrax akan cepat bertambah banyak dalam pejamu, tetapi
bila nutrien lokal telah habis maka kuman ini kemudian akan berubah bentuk menjadi
spora.
7
Gambar 1. Bacillus antrachis dalam pewarnaan metilen blue
8
tahun 2016 sampai dengan awal Januari 2017 di Kulonprogo, Yogyakarta. Terdapat
16 kasus Antraks kulit di sana. Setelah itu kasus teratasi di seluruh wilayah
Yogyakarta. Namun terdapat satu kasus suspect antraks meningitis di RSUP Sardjito
masih dalam konfirmasi di Laboratorium Badan Litbangkes Kemenkes untuk
penegakan diagnosis.
a. Tipe kulit
Bacilius anthracis masuk melalui kulit yang lecet, abrasi, luka atau melalui
gigitan serangga dengan masa inkubasi 2 sampai 7 hari. Gejala klinis yang dialami
adalah demam tinggi, sakit kepala, ulcus dengan jaringan nekrotik warna hitam di
tengah dan dikelilingi oleh vesikel-vesikel dan oedema. Jika tidak diobati tingkat
kematian dapat mencapai 10 - 20% dan jika diobati kurang dari 1%.
b. Tipe pencernaan
Bacillus anthracis dapat masuk melalui makanan terkontaminasi dan masa
inkubasinya 2 sampai 5 hari. Mortalitas tipe ini dapat mencapai 25 - 60%. Pada
antraks intestinal. Gejala utama adalah demam tinggi, sakit perut, diare berdarah,
asites, dan toksemia.
c. Tipe pernapasan
Bacillius anthracis masuk melalui terhirupnya spora Bacillus anthracis
melalui jalur alat pernapasan karena bahan-bahan yang mengandung basil/spora
antraks terhirup. Pada antraks tipe pernafasan ini mempunyai masa inkubasi 2 - 6
hari. Infeksi ini dapat dengan cepat menimbulkan demam tinggi dan nyeri bagian
dada. Tingkat kematian bisa mencapai 86% dalam waktu 24 jam.
d. Tipe meningitis
Merupakan komplikasi gejala demam tinggi, sakit kepala, sakit otot, batuk,
susah bernafas atau lanjutan dari ke-3 bentuk antraks(kulit, pencernaan, dan
pernapasan) Secara umum, masa inkubasi penyakit antraks adalah antara 1-7 hari.
Dalam keadaan akut, korban antraks mendapat serangan dadakan dan umumnya
berakhir denagn kematian dengan gejala awal sempoyongan (staggering), sulit
9
bernafas, gemetaran (trembling) kemudian kolep (collapse). Menurut WHO
(1998) tingkat kematian dapat mencapai 100% dengan gejala klinik pendarahan
otak.
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit,
inhalasi (ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan
difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada anthrax
kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi primer yang
menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di
dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan keluar dari
makrofag, berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan limfadenitis
hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi,dan menyebabkan
septikemia.
10
eksotoksin LF (Lethal Factor) dan EF (Edema Factor) disamping menghasilkan
Protective Antigen (PA). Antigen pelindung (PA) dari toksin anthrax mengikat ATR
(Anthrax Toxin Receptor) pada permukaan sel host. Bentuk PA yang berukuran 83-
kDa dipecah oleh sel protease purin permukaan dan menghasilkan monomer 63-kDa.
Heptamerisasi PA menginduksi pengelompokan ATRs, kemudian terjadi hubungan
kompleks ATRs dengan ikatan lipid, dan domain binding faktor edema (EF) atau
faktor letal (LF). Kemudian terjadi endositosis EF dan LF. EF menyebabkan
kenaikan cAMP yang menyebabkan edema sel, sedangkan LF merupakan
metalloprotease yang memiliki kofaktor Zn2+ mengalami translokasi ke sitosol
melalui pori membran dan menyebabkan nekrosis dan hipoksia pada sel .
Gambar 2. Peran edema toxin dan lethat toxin pada patogenesis Anthrax
11
penyebab kematian mendadak. Sebagai respon terhadap toxin, tubuh akan
membentuk cytokines(TNF-α, dan IL-1) dan vasodilator substance (nitric oxide,
prostaglandin E₂, prostacycline) yang disebut juga proinflamatory cytokines. Pada
waktu yang bersamaan tubuh membentuk anti inflamatory cytokines (IL-10, IL-11,
IL-13 dsb). Bila keduanya seimbang akan terjadi homeostasis, bila proinflamatory
lebih dominan, maka akan terjadi Systemic Inflamatory Respons (SIRS). Plasmid
pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan capA) yang terlibat dalam sintesis kapsul
polyglutamyl. Kapsul menghambat proses fagositosis bentuk vegetatif Bacillus
anthracis.
Oleh karena anthrax inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan
antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat
mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis
yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi
terkena anthrax harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil
12
pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol
mengenai pengobatan anthrax inhalasi.
Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut:
a. Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30 ml, hewan
kecil 10-1 ml)
b. Penyuntikan antibiotika
c. Penyuntikan kemoterapetika
d. Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan kemoterapetika.
13
a. Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan dengan
Streptomycine 1-2 g untuk tipe pulmonal dan tetracycline 1 g perhari untuk
tipe gastrointestinal.
b. Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma expander
dan regimen vasopresor. Anthrax Intestinal menggunakan Chloramphenicol
6 gram perhari selama 5 hari, kemudian meneruskan 4 gram perhari selama
18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram perhariuntuk menghindari
supresi pada sumsum tulang.
14
2.7. Pencegahan Penyakit Antraks
Cara pencegahan penyakit anthrax adalah dengan menghindari kontak
langsung dengan binatang atau benda-benda yang membawa bakteri penyakit ini.
Ternyata bakteri ini memiliki kemampuan yang unik . Jangkitan yang disebabkan
oleh penyakit ini tidak mudah untuk di musnahkan, karena bakteri ini memiliki
kecenderungan untuk merubah bentuknya menjadi spora yang amat stabil. Saat
berubah menjadi spora bakteri ini dapat masuk kedalam tanah dan mampu bertahan
selama lima puluh sampai enam puluh tahun di dalam tanah. Uniknya bila tanah
tempat ia tinggal tergenang air, kuman ini dapat tumbuh kembali dan menyerang
hewan ataupun manusia yang ada di sekitamya. Selain itu saat terjadi musim kemarau
biasanya ternak menaik rumput sampai ke akarnya ,inilah yang membuat penyakit
ini akan terus terulang di daerah yang pernah terkena antrax . Repotnya lagi kuman
ini dapat terserap oleh akar tumbuh-tumbuhan, bahkan hingga dapat masuk ke dalam
daun dan buah, hingga mampu menginfeksi tenak maupun manusia yang
mengkonsumsinya. Bahkan serangga, burung, anjing, dan binatang-binatang lain
juga dapat menjadi perantara penularan penyakit ini, apabila telah mengalami kontak
langsung dengan bakteri penyebab penyakit ini.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencuci tangan sebelum makan,
hindari kontak dengan hewan atau manusia yang sudah terjangkit anthrax, belilah
daging dari rumah potong hewan yang resmi, masaklah daging dengan sempurna,
hindari menyentuh cairan dari luka anthrax, melaporkan secepat mungkin bila ada
masyarakat yang terjangkit anthrax.Bagi peternak atau pemilik hewan ternak,
upayakan untuk menvaksinka hewan ternaknya. Dengan Pemberian SC,untuk hewan
besar 1 ml dan untuk hewan kecil 0,5 ml.Vaksin ini memiliki daya pengebalannya
tinggi berlangsung selama satu tahun.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Anthrax ini merupakan
penyakit infeksi menular akut. Penyakit ini selain berdampak negatif bagi kesehatan
manusia maupun ternak juga dapat berdampak negatif pada bidang pertenakan,
sosio-politik, dan juga keamanan suatu negara karena dapat digunakan menjadi
senjata biologis. Antraks merupakan penyakit pada hewan berdarah panas dan
herbivora.
Sumber infeksi dari Anthrax adalah tanah yang tercemar endospora bakteri
Bacillus anthracis. Jika endospora terserap oleh akar tumbuhan, dapat berpotensi
menginfeksi manusia maupun hewan ternak yang mengonsumsinya. Sumber infeksi
lainnya adalah bangkai ternak yang mengidap Anthrax. Spora-spora pada bangkai ini
dapat menyebar dengan cara terbang melalui udara atau hanyut bersama air yang
dapat mencemarari air, pakan, rumput, dan lainnya.
Anthrax dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan jalur masuknya, yakni tipe
kulit, pencernaan, pernapasan, dan tipe meningitis.
Oleh karena anthrax inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan
antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat
mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis
yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi
terkena anthrax harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol
mengenai pengobatan anthrax inhalasi.
16
Cara pencegahan penyakit anthrax adalah dengan menghindari kontak langsung
dengan binatang atau benda-benda yang membawa bakteri penyakit ini. Ternyata
bakteri ini memiliki kemampuan yang unik . Jangkitan yang disebabkan oleh
penyakit ini tidak mudah untuk di musnahkan, karena bakteri ini memiliki
kecenderungan untuk merubah bentuknya menjadi spora yang amat stabil. Saat
berubah menjadi spora bakteri ini dapat masuk kedalam tanah dan mampu bertahan
selama lima puluh sampai enam puluh tahun di dalam tanah. Uniknya bila tanah
tempat ia tinggal tergenang air, kuman ini dapat tumbuh kembali dan menyerang
hewan ataupun manusia yang ada di sekitamya.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencuci tangan sebelum makan, hindari
kontak dengan hewan atau manusia yang sudah terjangkit anthrax, belilah daging
dari rumah potong hewan yang resmi, masaklah daging dengan sempurna, hindari
menyentuh cairan dari luka anthrax, melaporkan secepat mungkin bila ada
masyarakat yang terjangkit anthrax.Bagi peternak atau pemilik hewan ternak,
upayakan untuk menvaksinka hewan ternaknya.
3.2. Saran
Perlu adanya kewaspadaan, yaitu dengan memperhatikan cara pencegahan.
Penangan penyakit anthrax memerlukan tindakan segera, cermat, dan tepat sesuai
prosedur agar penderita tidak bertambah parah atau bahkan meninggal dunia. Upaya-
upaya yang bisa dilakukan bermula dari diri sendiri terkait dengan pemenuhan
kebutuhan konsumsi daging sehari-hari.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Adji, R.S., dan Natalia, L., 2006. Pengendalian Penyakit Antraks : Diagnosis,
Vaksinasi dan Investigasi. Wartazoa Vol.16 (4) : 198-205.
2. Akoso, B.T., 2009. Epidemologi dan Pengendalian Antraks. Yogyakarta:
Kanisius.
3. Antraks di Yogyakarta Sudah Teratasi
http://www.depkes.go.id/article/view/17012700002/antraks-di-yogyakarta-
sudah-teratasi.html
4. Basuni, Ruli. 2004. EKOLOGI ZOONOSIS ANTHRAX PENYAKIT TERNAK
ENDEMIK BOGOR YANG PERLU DIWASPADAI
5. Brooks GF et al.1996. Mikrobiologi Kedokteran. Ed 20.hal 194-196.
6. Cara Penularan Antraks https://id.scribd.com/document/359056610/Cara-
Penularan-Anthrax
7. Chin J. 2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Ed 17. hal 23-30.
8. Damayanti et al. GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN
ANTRAKS PADA MANUSIA DI DESA KARANGMOJO KECAMATAN KLEGO
KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2011. Universitas Diponegoro Fakultas
Kesehatan Masyrakat. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1,
Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 454 – 465
9. Damayanti, Riza dkk. 2012. GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT
DENGAN ANTRAKS PADA MANUSIA DI DESA KARANGMOJO KECAMATAN
KLEGO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2011. Jurnal kesehatan masyarakat
10. Dharmojono. 2000. Anthrax, Penyakit Ternak Mengejutkan Tetapi Tidak
Mengherankan. Infovet Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan; Ed 67,
Pebruari 2000.
11. Epidemiologi Penyakit Antraks
https://www.academia.edu/15494341/Epidemiologi_Penyakit_Antraks
12. Handayani, R., 2010. Vaksinasi Antraks pada Kambing di Kabupaten Sumbawa ;
Efek Samping dan Durasi Kekebalannya. Tesis. Program Studi Sain Veteriner.
Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
18
13. Kusbianto, Erwin dkk. 2012. Analisis Biaya Manfaat dan Strategi Pengendalian
Penyakit Antraks di Pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (COST
BENEFIT ANALYSIS AND STRATEGY OF ANTHRAX CONTROLLING AT
SUMBAWA ISLAND, PROVINCE OF WEST NUSA TENGGARA). Bogor :
Institut Pertanian Bogor
14. Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Seri
Penyakit Anthrax oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2016.
15. Pohan HT.2005. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Antraks. Majalah
Kedokteran Indonesia; vol 55; no 1; hal 23- 29.
16. Rahayu, Asih. Anthrax Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya
17. Rahayu, Asih. Tanpa Tahun. ANTHRAX DI INDONESIA. Surabaya : Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
18. Saffer, Barbara. Diseases and Disorders: Anthrax.
19. Tanzil, Kunadi. ASPEK BAKTERIOLOGI PENYAKIT ANTRAKS. Universitas
Katolik Atma Jaya bagian Mikrobiologi. ISSN 2338-7793
20. Todar, K., 2009. Bacillus anthracis and Antrax. Todar’s online textbook of
bacteriology.
19