Anda di halaman 1dari 51

BIOLOGI DAN STATISTIK DEMOGRAFI Thrips parvispinus

KARNY (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) PADA


TANAMAN CABAI

RUDI TOMSON HUTASOIT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biologi dan Statistik
Demografi Thrips parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae) pada Tanaman
Cabai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Rudi Tomson Hutasoit


NIM A351130011

iii
RINGKASAN

RUDI TOMSON HUTASOIT. Biologi dan Statistik Demografi Thrips parvispinus


Karny (Thysanoptera: Thripidae) pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh
HERMANU TRIWIDODO dan RULY ANWAR.

Trips merupakan hama utama pada pertanaman cabai. Informasi mengenai


luas serangan, kelimpahan, spesies, serta biologi dan statistik demografi trips pada
pertanaman cabai masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan
mendapatkan informasi mengenai luas serangan, kelimpahan, spesies trips yang
menyerang pertanaman cabai, dan biologi serta statistik demografi Thrips
parvispinus Karny sebagai spesies yang ditemukan dominan menyerang per-
tanaman cabai di lapangan. Penelitian ini berlangsung dari bulan juni 2015 sampai
Maret 2016.
Pengamatan trips dilakukan pada tanaman cabai besar dan rawit. Pengamatan
dilakukan pada 14 petakan yang tersebar di empat kecamatan di Kabupaten Bogor
yaitu, Dramaga, Cibungbulang, Tenjolaya, dan Cisarua. Trips dikumpulkan dari
bagian bunga dan daun pada 10 tanaman sampel yang ditentukan secara acak pada
setiap petakan pengamatan. Trips yang telah terkumpul diidentifikasi dan dihitung
kelimpahannya.
Pengamatan biologi dan statistik demografi T. parvispinus dilakukan dengan
memelihara 50 individu nimfa instar-1 dengan umur kohort pada helaian daun cabai
dan diamati setiap hari untuk dicatat perkembangan dan keturunan yang diletakkan.
Data yang didapat digunakan untuk memperoleh informasi biologi seperti stadia
setiap instar, periode praoviposisi, periode oviposisi, siklus hidup, lama hidup
imago, dan keperidian. Data tersebut kemudian digunakan untuk menyusun tabel
neraca hayati untuk menghitung statistik demografi dengan menggunakan metode
jackknife.
Luas serangan dan kelimpahan imago, nimfa dan total trips pada bagian
bunga dan daun tidak berbeda nyata antara masing-masing jenis cabai (p ˃ 0.05).
Luas serangan imago, nimfa dan total trips pada bagian bunga cabai besar berturut-
turut sebesar 68.57 %, 12.87 %, dan 68.57 %, sedangkan pada cabai rawit berturut-
turut sebesar 78.57 %, 20.00 %, dan 80.00 %. Luas serangan imago, nimfa dan total
trips pada bagian daun cabai besar berturut-turut sebesar 41.42 %, 11.42 %, dan
48.57 %, sedangkan pada cabai rawit berturut-turut sebesar 37.14 %, 14.28 %, dan
47.14 %. Kelimpahan imago, nimfa dan total trips pada bagian bunga cabai besar
berturut-turut 0.39, 0.01, dan 0.40 individu/bunga, sedangkan pada cabai rawit
berturut-turut 0.36, 0.02, dan 0.38 individu/bunga. Kelimpahan imago, nimfa dan
total trips pada bagian daun cabai besar beruturut-turut 0.68, 0.12, dan 0.81
individu/ranting daun, sedangkan pada cabai rawit berturut-turut 0.47, 0.14, dan
0.61 individu/ranting daun. Empat spesies trips ditemukan menyerang bagian bunga
maupun daun pada pertanaman cabai besar dan cabai rawit, keempat spesies
tersebut adalah, T. parvispinus, Thrips hawaiiensis, Scirtothrips dorsalis, dan
Haplothrips gowdeyi Franklin. Spesies T. parvispinus, T. hawaiiensis, S. dorsalis
merupakan Subordo Terebrantia Famili Thripidae, sedangkan H. gowdeyi termasuk
dalam Subordo Tubulifera, Familli Phlaeothripidae. T. parvispinus merupakan

iv
spesies yang paling dominan ditemukan menyerang bunga dan daun pada kedua
jenis cabai sebesar 71 % dan 56 %.
Serangga pradewasa T. parvispinus terdiri atas lima fase, yaitu telur, nimfa
instar-1, nimfa instar-2, prapupa dan pupa. Stadium telur berlangsung selama 4.79
hari, nimfa instar-1 selama 1.36 hari, nimfa instar-2 selama 3.54 hari, prapupa se-
lama 1.08 hari, dan pupa selama 1.96 hari. Siklus hidup berlangsung selama 13.68
hari dengan stadium praoviposisi selama 1.11 hari. Lama hidup imago betina ber-
langsung selama 8.55 hari, sedangkan jantan berlangsung selama 6.00 hari. Rataan
keperidian sebanyak 15.33 telur per imago betina sepanjang generasi. Tipe
perkembangan populasi T. parvispinus termasuk dalam kurva sintasan tipe III. La-
ju reproduksi kotor (GRR) T. parvispinus sebanyak 25.60 individu per generasi,
laju reproduksi bersih (Ro) sebanyak 5.71 individu per induk per generasi, laju
pertambahan intrinstik (r) sebesar 0.15 individu per induk per hari, rata-rata masa
generasi (T) selama 11.49 hari dan waktu berlipat ganda selama 4.57 hari.

Kata kunci: cabai besar, cabai rawit, H. gowdeyi, neraca kehidupan, S. dorsalis, T.
hawaiiensis

v
SUMMARY

RUDI TOMSON HUTASOIT. Biology and Demographic Statistic of Thrips


parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae) on chili peppers. Supervised by
HERMANU TRIWIDODO and RULY ANWAR.

Thrips is one of the major pests on chili. Information of the percentage of


infested plants, abundance, species, and also the biology and demographic statistic
has been still limited especially on chili peppers. This research was aimed to study
about percentage of plants infested, abundance, species, biology and demographic
statistic of Thrips parvispinus Karny was found as the dominant species attack on
chili in the field. This research was conducted in June 2015-March 2016.
Observation of thrips was conducted on chili and cayenne in fourteen sites
in four different locations in Bogor that is Dramaga, Cibungbulang, Tenjolaya, and
Cisarua. Thrips were collected from leaves and flowers from 10 plant samples
selected randomly. The thrips were identified and the number of thrips were cal-
culated.
Studies of biology and demoghrapic statistic of T. parvispinus were
conducted by rearing fifty first instar with the kohort on leaf of chili peppers in-
dividually and observed daily to note the development and number of offsprings
laid. The collected data were used to obtain information about the biology such as
stadia of each instar, pre-oviposition period, oviposition period, life cycle, adult
longevity, and fecundity. The data were also used to construct the life table for
demoghrapic statistic calculation using jackknife method.
The percentage of infested plants and the abundance of adults, nymphs, and
total of thrips on the leaves and flowers were not significantly different both on chili
and cayenne (p > 0.05). Percentage of plants infested by adults, nymphs, and total
of thrips on the flowers of chili was 68.57%, 12.87%, and 68.57%, respectively.
Meanwhile, the percentage of infested plants by adults, nymphs, and total of thrips
on the flowers of cayenne was 78.57 %, 20.00 %, and 80.00 %, respectively.
Percentage of plants infested by adults, nymphs, and total of thrips on the leaves of
chili was 41.42%, 11.42%, and 48.57%, respectively. Meanwhile, the percentage
of plants infested by adults, nymphs, and total of thrips on the leaves of cayenne
was 37.14%, 14.28%, and 47.14%, respectively. The abundance of adults, nymphs,
and total of thrips on the flowers of chili was 0.39, 0.01, and 0.40 thrips/flower
respectively. Meanwhile, the abundance of adults, nymphs, and total of thrips on
the flowers of cayenne was 0.36, 0.02, and 0.38 thrips/flower respectively. The
abundance of adults, nymphs, and total of thrips on the leaves of chili was 0.68,
0.12, and 0.81 thrips/twiq respectively. Meanwhile, the abundance of adults,
nymphs, and total of thrips on the leaves of cayenne was 0.47, 0.14, and 0.61
thrips/twiq respectively. Four species of thrips were found infesting flowers of chili
and cayenne i. e. T. parvispinus, Thrips hawaiiensis, Scirtothrips dorsalis, and
Haplothrips gowdeyi. T. parvispinus, T. hawaiiensis, S. dorsalis is belong to
suborder of Terebrantia family Thripidae. H. gowdeyi belongs to suborder
Tubulifera familly Phlaeothripidae. T. parvispinus is the most dominant species
found infesting flowers and leaves of the chilli and cayenne were 71% and 56 %.

vi
The pre-adult phase of T. parvispinus consisted of egg, 1st instar nymph, 2nd
instar nymph, pre-pupa, and pupa. The stadia of egg, 1st instar nymph, 2nd instar
nymph, pre-pupa, and pupa was 4.79, 1.36, 3.54, 1.08, and 1.96 days respectively.
The life cycle lasted for 13.68 days with the pre-oviposition periods for 1.11 days.
Female longevity was 8.85 days, and male was 6.00 days. The mean of fecundity
was 15.33 eggs/female. The population development type of T. parvispinus was
type III. The gross reproductive rate (GRR) as much as 25.60 thrips per generation,
net reproductive rate (Ro) was 5.71 offsprings per parent per generation, the
intrinsic rate of increase (r) was 0.15 thrips per parents per day, the average period
of generation (T) was 11.49 day and the doubling time was 4.57 days.

Keywords: chili, cayenne, life table, H. gowdeyi, S. dorsalis, T. hawaiiensis

vii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

viii
BIOLOGI DAN STATISTIK DEMOGRAFI Thrips parvispinus
KARNY (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) PADA
TANAMAN CABAI

RUDI TOMSON HUTASOIT

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nina Maryana, MSi

x
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
dengan judul “Biologi dan Statistik Demografi Thrips parvispinus Karny
(Thysanoptera: Thripidae) Pada Tanaman Cabai”. Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan Juni 2015 sampai Maret 2016 di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor,
Laboratorium WiSH Batuhulung Bogor, dan Laboratorium Biosistematika Se-
rangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr
Ir Hermanu Triwidodo, MSc dan Dr Ir Ruly Anwar, MSi selaku komisi pem-
bimbing. Dr Ir Nina Maryana, MSi selaku penguji luar komisi yang telah mem-
berikan masukan serta perbaikan pada penelitian dan naskah tesis saya. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang
telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menyelesaikan studi melalui
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN).
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Mangasa Hutasoit,
Ibu Marintan Siburian, Purnama Pasaribu, dan seluruh keluarga atas doa, motivasi,
dan dukungan yang selalu diberikan. Di samping itu, Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada keluarga Entomologi-Fitopatologi 2013, Laboratorium WiSH,
dan seluruh civitas akademika Departemen Proteksi Tanaman yang telah mem-
berikan bantuan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

Rudi Tomson Hutasoit

xii
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
Tanaman Cabai (Capsicum spp.) 4
Hama Penting Tanaman Cabai 5
Trips (Thysanoptera: Thripidae) 5
Morfologi Trips 5
Biologi Trips 6
Tanaman Inang dan Gejala Serangan 7
Trips pada Tanaman Cabai 7
Statistik Demografi 8
METODE 9
Waktu dan Tempat Penelitian 9
Metode Penelitian 9
Pengamatan Trips pada Tanaman Cabai Besar dan Cabai Rawit 9
Pengamatan Biologi T. parvispinus 11
Analisis Data 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Kondisi Umum Petakan Penelitian 13
Luas Serangan dan Kelimpahan Trips 13
Spesies Trips pada Tanaman Cabai Besar dan Rawit 15
Nisbah Kelamin 17
Karakter Morfologi 17
Biologi T. parvispinus 19
Sintasan dan Keperidian T. parvispinus 22
Statistik Demografi T. parvispinus 23
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 37

xiii
DAFTAR TABEL

1 Hama-hama penting tanaman cabai 5


2 Distribusi geografi spesies trips yang berasosiasi dengan tanaman cabai 8
3 Tanaman sekitar petakan pengamatan cabai besar 13
4 Tanaman sekitar petakan pengamatan cabai rawit 13
5 Luas serangan dan kelimpahan trips pada bagian bunga cabai besar dan
rawit 14
6 Luas serangan dan kelimpahan trips pada bagian daun cabai besar dan
rawit 14
7 Spesies dan jenis kelamin trips pada tanaman cabai besar dan rawit 15
8 Karakter biologi T. parvispinus pada tanaman cabai 21
9 Karakteristik demografi T. parvispinus 23

DAFTAR GAMBAR

1 Wadah koleksi trips 9


2 Kurungan pemeliharaan trips 11
3 Persentase jumlah individu per spesies dari total sampel pada bagian bunga 16
4 Persentase jumlah individu per spesies dari total sampel pada bagian daun 16
5 Karakter morfologi T. parvispinus 17
6 Karakter morfologi T. hawaiiensis 18
7 Karakter morfologi S. dorsalis 18
8 Karakter morfologi H. gowdeyi 19
9 Fase pradewasa T. parvispinus 20
10 Fase prapupa dan pupa T. parvispinus 20
11 Fase dewasa T. parvispinus 20
12 Kurva sintasan (lx) dan keperidian (mx) T. parvispinus 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Petakan pengamatan trips pada pertanaman cabai besar 31


2 Petakan pengamatan trips pada pertanaman cabai rawit 32
3 Data iklim (CH, HH, Suhu udara dan RH) Kabupaten Bogor
November 2015 33
4 Biologi T. parvispinus pada tanaman cabai 34
5 Neraca kehidupan T. parvispinus pada tanaman cabai 36

xvi
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
banyak dibudidayakan oleh petani di dataran rendah sampai dataran tinggi
(Moekasan et al. 2014). Jenis cabai yang umum dibudidayakan di Indonesia, yaitu
cabai besar (Capsicum annuum L.) dan cabai rawit (Capsicum frutescens L.). Buah
cabai yang pedas, sangat populer di masyarakat sebagai penguat rasa makanan.
Ekstrak bubuk cabai digunakan sebagai pengganti lada untuk membangkitkan
selera makan dan penyedap masakan. Selain itu, cabai juga digunakan sebagai
ramuan obat-obatan dalam industri farmasi, industri pewarna makanan, dan
penghasil minyak atsiri (Cahyono 2003).
Luas panen produksi cabai besar di Indonesia mencapai 128.734 ha, dengan
tingkat produksi sebesar 1.074.611 ton, dan produktivitas sebesar 8.35 ton/ha cabai
basah pada tahun 2014 (BPS 2014). Cabai rawit memiliki luas panen produksi
mencapai 134.882 ha, dengan tingkat produksi sebesar 800.484 ton, dan
produktivitas sebesar 5.93 ton/ha (BPS 2014). Data tersebut menunjukkan masih
terdapat kesenjangan antara produktivitas riil ditingkat usahatani dan produktivitas
potensial cabai besar yang dapat mencapai 12-15 ton/ha (Duriat dan Sastrosiswojo
1994) dan cabai rawit dapat mencapai 12-20 ton/ha (Sujitno dan Dianawati 2015).
Produktivitas produksi cabai yang rendah salah satunya disebabkan oleh
adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Saat ini ada 14 jenis hama
penting yang dilaporkan menyerang tanaman cabai di lapangan, salah satunya
adalah trips (Sumarni dan Muharam 2005). Kehilangan hasil akibat serangan trips
pada pertanaman cabai besar dilaporkan mencapai 23% (Vos et al. 1991).
Trips merupakan serangga berukuran kecil dengan panjang tubuh 0.5-5 mm.
Panjang tubuh beberapa spesies di daerah tropika dapat mencapai 14 mm (Borror
et al. 1996; Antonelli 2003). Trips umumnya ditemukan pada bagian bunga dan
daun tanaman (Mound dan Collins 2000). Peranan trips sebagai hama pada tanaman
disebabkan oleh aktivitas makannya (meraut-menghisap). Gejala kerusakan yang
ditimbulkan berupa bercak keperakan yang menjadi kecoklatan pada daun yang
dapat mengganggu proses fotosintesis, sehingga daun mengeriting dan tunas
terminal yang terserang menjadi kerdil (Kirk 2001).
Trips pada tanaman juga dapat berperan sebagai vektor virus (Rezende et al.
1997; Riley et al. 2011). Beberapa jenis virus yang ditularkan oleh serangga ini
diantaranya Tomatto spotted wilt virus (TSWV), Lettuce spotted wilt virus (LSWF),
Pineapple yellolv spotted virus (PYSV), Tip chlorosis, Kromneck diseases, dan
Tobacco mosaic virus (TMV) (Klose et al. 1996; Sartiami 2008).
Vos et al. (1991) menyatakan bahwa, dari hasil survei Vierbergen tentang
hama-hama tanaman cabai di Jawa pada tahun 1988, spesies Thrips parvispinus
Karny ditemukan paling dominan pada pertanaman cabai. Spesies lain yang
ditemukan menyerang pertanaman cabai adalah Thrips hawaiiensis, Thrips florum,
dan Thrips orientalis. Hasil penelitian Subagyo (2014) tentang trips yang
menyerang tanaman hortikultura di wilayah Bogor, Kabupaten Cianjur, dan
Kabupaten Bandung Barat (Lembang) melaporkan bahwa, spesies 1 (Tubulifera:
2

Phlaeothripidae), T. parvispinus, dan T. hawaiiensis (Terebrantia: Thripidae)


ditemukan berasosiasi dengan tanaman cabai.
Keperidian yang tinggi dan siklus hidup yang singkat merupakan faktor
penting yang menyebabkan terjadinya kolonisasi dan perkembangan populasi trips
yang besar di lapangan. Imago betina mampu menghasilkan 30-300 telur tergan-
tung spesies dan kualitas nutrisinya (Lewis 1973; Lewis 1997). Perkembangbiakan
trips dapat mencapai 12-15 generasi setiap tahunnya pada daerah tropis atau di
rumah kaca (Lewis 1973; Mound 2006).
Trips mampu menguasai suatu habitat dalam rentang waktu yang singkat
secara optimal. Trips merupakan serangga oportunis dengan tipe seleksi r, waktu
generasi pendek, toleransi terhadap kisaran inang yang luas, cenderung par-
thenogenesis, dan struktur perkembangbiakan yang kompetitif, sehingga me-
nyebabkan terjadinya agregasi (Funderburk 2001). Menurut Sastrosiswojo (1991),
meskipun permasalahan trips di Indonesia dinilai cukup penting, namun tidak ba-
nyak penelitian yang telah dilakukan, sehingga informasi mengenai serangga ini
masih sangat terbatas.
Mengingat pentingnya peran serangga ini sebagai hama utama dan vektor
penyebaran penyakit pada pertanaman cabai. Penelitian mengenai luas serangan,
kelimpahan, inventarisasi spesies, serta biologi dan statistik demografi serangga
hama ini pada pertanaman cabai perlu dilakukan. Statistik demografi merupakan
salah satu langkah awal dalam mempelajari pertumbuhan populasi serangga.
Informasi biologi dan demografi didapatkan dengan merancang neraca kehidupan
(life table). Neraca kehidupan merupakan tabel data kesintasan dan fekunditas
setiap individu dalam suatu populasi (Rockwood 2006). Neraca kehidupan dapat
memberikan informasi secara terperinci mengenai kelahiran, perkembangan, re-
produksi, dan kematian setiap individu dalam suatu populasi atau dengan kata lain
memberi gambaran mengenai laju pertumbuhan suatu populasi.
Neraca kehidupan dapat menghasilkan ringkasan statistik sederhana termasuk
harapan hidup individu. Selain itu, neraca kehidupan memiliki bentuk dasar yang
dapat dimodifikasi untuk berbagai macam analisis data seperti mortalitas yang
disebabkan oleh beragam faktor (Carey 2001). Informasi mengenai luas serangan,
kelimpahan, spesies, dan biologi serta statistik demografi trips yang diperoleh,
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan serta tindakan
dalam upaya pengendalian serangga hama ini.

Perumusan Masalah

Kesenjangan potensi produktivitas produksi dengan produksi riil tanaman


cabai besar dan rawit di lapangan salah satunya disebabkan serangan hama trips.
Serangga hama ini juga berperan sebagai vektor penyebaran penyakit pada
pertanaman cabai, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Penelitian mengenai luas serangan, kelimpahan, inventarisasi spesies, serta biologi
dan statistik demografi serangga hama ini pada pertanaman cabai masih sangat
terbatas dan perlu dilakukan.
3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:


1. Mendapatkan informasi mengenai luas serangan, kelimpahan, dan spesies trips
yang menyerang pertanaman cabai besar dan cabai rawit di lapangan.
2. Mempelajari dan mendapatkan informasi mengenai biologi dan statistik
demografi T. parvispinus sebagai spesies yang ditemukan paling dominan me-
nyerang pertanaman cabai besar dan cabai rawit.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kepa-


datan populasi, luas serangan, spesies trips yang menyerang pertanaman cabai be-
sar dan cabai rawit di lapangan, serta biologi dan statistik demografi T. parvispinus
sebagai spesies yang ditemukan paling dominan menyerang perta-naman cabai
besar dan rawit di lapangan. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat digunakan
untuk menentukan strategi dan waktu pengendalian yang tepat agar efektif dan
efisien.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai (Capsicum spp.)

Cabai (Capsicum spp.) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terdapat seki-


tar 20 spesies yang termasuk dalam genus Capsicum. Secara umum cabai dike-
lompokkan dalam dua jenis, yaitu cabai besar atau cabai merah (C. annuum) dan
cabai kecil atau cabai rawit (C. frutescens). Cabai rawit berukuran lebih kecil
dibanding cabai besar dan memiliki rasa yang lebih pedas (Setiadi 1996).
Tanaman cabai berasal dari Amerika Tropik, ditemukan oleh Columbus dan
disebarkan ke Amerika Tengah menuju Amerika Serikat Bagian Selatan. Penye-
baran terus meluas hingga ke daerah tropis dan subtropis. C. annuum, C. frutescens,
Capsicum baccatum, Capsicum pubescens, dan Capsicum chinense merupakan
spesies yang sudah dikenal oleh masyarakat secara umum, namun informasi ketiga
spesies terakhir masih kurang (Setiadi 1996).
Cabai besar merupakan tanaman perdu, berdiri tegak, bertajuk lebar, dan ber-
cabang banyak. Tinggi tanaman mencapai 30 cm-2.5 m. Cabai besar memiliki daun
berbentuk lonjong dengan panjang mencapai 8-12 cm dan lebar 3-5 cm. Bunga
cabai berbentuk terompet kecil, umumnya berwarna putih, tetapi ada juga yang
berwarna ungu (Setiadi 1996). Bunga cabai termasuk berkelamin dua, karena pada
satu bunga terdapat kepala sari dan kepala putik. Tangkai putik dan mahkota ber-
warna putih dengan 5-6 helai cuping. Kepala putik berwarna kuning kehijauan,
sedangkan kepala sari berwarna ungu (Samadi 1997).
Cabai rawit memiliki ukuran buah yang kecil dan pendek serta memiliki rasa
yang lebih pedas di antara cabai lainnya, sehingga sering disebut cabai kecil. Tinggi
tanaman cabai rawit dapat mencapai 1.5 m. Batangnya berbuku-buku dan bersudut.
Daun berbentuk bulat telur, bagian ujung meruncing, pangkal menyempit, dan
berwarna hijau. Panjang daun mencapai 1.5-10 cm dan lebar 0.5-5 cm. Bunga ber-
ukuran kecil dengan mahkota berbentuk bintang, berwarna putih kekuningan,
kadang berwarna kehijauan atau ungu. Bunga keluar dari ketiak daun dalam jumlah
tunggal atau berkelompok sebanyak 2-3 bunga. Bunga terdiri atas 5 sampai 6 helai
cuping. Putik berwarna kuning kehijauan dan kadang berwarna ungu. Kepala putik
berwarna kehijauan dan kepala sari berwarna hijau kebiruan. Buah berbentuk bulat
telur atau jorong dengan bagian ujung menyempit. Buah memiliki ukuran yang be-
ragam, dengan panjang dapat mencapai 7.5 cm dan diameter 1-3 cm. Buah muda
berwarna hijau tua, putih kehijauan atau putih, dan buah yang masak berwarna
merah terang (Setiadi 1994; Tindall 1983).
Secara umum berbagai jenis cabai dapat ditanam di berbagai daerah, mulai
dari dataran rendah, sedang, pegunungan, bahkan dataran tinggi. Cabai besar dan
cabai rawit dapat tumbuh baik hingga ketinggian mencapai 900 m di atas per-
mukaan laut (dpl) (Setiadi 1996; Tindall 1983). Tanaman cabai dapat tumbuh baik
pada tanah yang gembur, kaya akan bahan organik, dan mengandung derajat
keasaman antara 5.5-5.6. Cahaya matahari yang optimal sangat diperlukan sejak
pertumbuhan bibit hingga tanaman berproduksi. Pada intensitas cahaya yang tinggi
dalam waktu yang cukup lama, masa pembungaan cabai merah terjadi lebih cepat
dan proses pematangan buah juga berlangsung lebih singkat (Sumarni dan
Muharam 2005).
5

Hama Penting Tanaman Cabai

Sampai saat ini ada 14 jenis hama penting yang dilaporkan menyerang
tanaman cabai di lapangan. Kehilangan hasil karena serangan OPT tersebut dapat
mencapai 20-100%. Jenis hama penting pada setiap fase pertumbuhan tanaman
cabai disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hama-hama penting tanaman cabai


Fase pertumbuhan Hama
Vegetatif Trips (T. parvispinus)
Kutu daun persik (Myzus persicae)
Tungau teh kuning (Polyphagotarsonemus latus)
Ulat tanah (Agrotis ipsilon)
Gangsir (Brachytrypes portentus)
Uret (Phyllophaga spp.)
Ulat bawang (Spodoptera exigua)
Ulat grayak (Spodoptera litura)
Kutu kebul (Bemisia tabaci)
Wereng kapas (Empoasca lybica)
Lalat pengorok daun (Lyriomiza huidobrensis)
Anjing tanah (Gryllotalpa africanal)
Generatif Trips (T. parvispinus)
Ulat bawang (S. exigua)
Ulat grayak (S. litura)
Kutu daun persik(M. persicae)
Tungau teh kuning (P. latus)
Kutu kebul (B. tabaci)
Wereng kapas (E. lybica)
Lalat pengorok daun (L. huidobrensis)
Ulat buah tomat (Helicoverpa armigera)
Lalat buah (Bactrocera dorsalis)
Sumber: Setiawati et al. (2005)

Trips (Thysanoptera: Thripidae)

Morfologi Trips
Trips merupakan serangga kecil bertubuh ramping, panjang tubuh mencapai
0.5-14 mm (Lewis 1973; Borror et al. 1996; Antonelli 2003). Spesies trips yang
telah teridentifikasi sekitar 6000 spesies yang terbagi ke dalam Subordo Te-
rebrantia dan Tubulifera (Lewis 1973; Mound 2008). Tubuh trips terdiri atas tiga
bagian utama, yaitu: kepala, toraks, dan abdomen (Lewis 1973). Struktur yang khas
pada bagian kepala adalah antena, oseli, dan alat mulut. Antena terdiri atas IV-IX
ruas. Pada sebagian kecil spesies, terdapat perbedaan bentuk dan struktur antena
antara jantan dan betina. Oseli atau mata tunggal umumnya berjumlah tiga dan
6

membentuk pola segitiga (triangle) (Lewis 1973; Borror et al. 1996). Struktur
mulut trips disebut probosis yang berbentuk seperti sebuah kerucut dan terletak di
bagian belakang permukaan bawah kepala (Antonelli 2003). Trips memiliki alat
mulut yang asimetris (mandibel kanan tereduksi) dengan tipe meraut-menghisap.
Stilet pada alat mulut berfungsi untuk meraut jaringan tanaman dan untuk menu-
suk serta menghisap cairan pada sel tanaman (Borror et al. 1996; Antonelli 2003).
Menurut Lewis (1973), struktur yang khas pada bagian toraks adalah sayap.
Jumlah sayap dua pasang dengan bentuk memanjang, berukuran sempit, dan
mempunyai beberapa rangka sayap serta rambut-rambut yang berumbai. Subordo
Terebrantia memiliki struktur sayap yang sejajar satu sama lain, sedangkan pada
Subordo Tubulifera posisi sayap tumpang tindih, sehingga hanya satu pasang saja
yang terlihat. Imago jantan maupun betina bersayap atau tidak bersayap. Beberapa
spesies hanya imago betina saja yang memiliki sayap (Mound 2006).
Subordo Terebrantia memiliki abdomen dengan bagian ujung yang menge-
rucut dan memiliki ovipositor pada ruas VIII dan IX, sedangkan pada Subordo
Tubulifera, ujung abdomen berbentuk seperti tabung tanpa ovipositor. Organ yang
berbentuk seperti tabung ini disebut genital opening organ, yang terletak antara
ruas IX dan X abdomen (Lewis 1973; Borror et al. 1996). Imago jantan biasanya
memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dan warna yang lebih pucat dibanding
imago betina. Abdominal sternit jantan mempunyai satu atau lebih area glandular
di daerah tengah pada beberapa spesies. Terdapat perbedaan terminal abdomen
antara imago jantan dan betina. Betina mempunyai sebuah ovipositor yang terdiri
atas dua pasang katup seperti gergaji, sedangkan pada imago jantan terlihat seperti
aedeagus (Mound 2006).

Biologi Trips
Siklus hidup trips terdiri atas telur, dua instar nimfa yang aktif, prapupa, dan
pupa (Mound dan Kibby 1998; Pourian et al. 2009). Trips dapat menghasilkan
beberapa generasi pertahun dengan tipe perkembangan peralihan antara metamor-
fosis bertahap (paurometabola) dan metamorfosis sempurna (holometabola)
(Borror et al. 2005). Trips menyelesaikan siklus hidupnya sekitar 2-3 minggu
(Ananthakrishnan 1993). Imago betina Subordo Terebrantia meletakkan telur se-
cara tunggal di dalam jaringan tanaman dengan bantuan ovipositor, sedangkan
imago betina Subordo Tubulifera meletakkan telur pada permukaan substrat de-
ngan genital opening organ (Mound 2006). Telur berbentuk seperti ginjal berwar-
na putih pucat. Jumlah telur yang dihasilkan 30-60 telur tergantung pada nutrisi,
suhu, dan kelembaban (Ananthakrishnan 1993).
Nimfa instar-1 berwarna putih pucat atau transparan dengan mata berwarna
merah, berukuran sekitar 0.5 mm. Nimfa instar-1 aktif bergerak dan memakan ja-
ringan tanaman. Fase nimfa instar-1 berlangsung selama 2-3 hari. Nimfa instar-2
berwarna kuning tua keruh, berukuran sekitar 0.8 mm. Fase nimfa instar-2 ber-
langsung selama 3-4 hari (Lewis 1973; Pourian et al. 2009).
Prapupa memiliki kerangka sayap yang pendek sebatas toraks dan antena te-
gak ke atas. Fase prapupa berlangsung selama 1.5-2.5 hari. Pupa memiliki ke-
rangka sayap yang panjang mencapai ujung abdomen, antena tertekuk ke belakang
sepanjang kepala. Fase pupa berlangsung selama 2.0-3.5 hari (Fekrat et al. 2009).
Fase pupa berlangsung pada permukaan bagian tanaman atau jatuh ke tanah
(Ananthakrishnan 1993). Imago jantan biasanya berbentuk lebih tumpul pada ba-
7

gian posterior dengan ukuran tubuh lebih kecil serta warna lebih pucat dibanding
imago betina (Dibiyantoro 1998). Imago paling banyak ditemukan pada bagian
dalam bunga dan daun. Lama hidup imago dapat mencapai 30 hari (Fekrat et al.
2009).
Trips berkembang biak secara seksual dan aseksual (parthenogenesis). Re-
produksi secara partenogenesis terbagi menjadi tiga tipe yang berbeda, yaitu:
arrhenotoky, thelytoky, dan deutherotoky. Arrhenotoky terjadi apabila telur imago
betina yang tidak dibuahi menghasilkan keturunan yang semuanya jantan haploid.
Thelytoky terjadi apabila telur imago betina yang tidak dibuahi menghasilkan
keturunan yang semuanya betina diploid, sedangkan deutherotoky terjadi apabila
telur imago betina yang tidak dibuahi menghasilkan keturunan jantan dan betina
(Lewis 1973; Nault et al. 2006).

Tanaman Inang dan Gejala Serangan


Trips merupakan serangga hama yang bersifat polifag dengan kisaran inang
yang luas. Trips merupakan hama penting pada tanaman sayuran dan hortikultura
(Dibiyantoro 1998). Inang utama trips selain cabai adalah tembakau, kopi, ubi jalar,
Vigna, Crotalaria, dan kacang-kacangan. Trips menyerang tanaman cabai
sepanjang tahun. Trips menyerang tanaman sejak tanaman ada di persemaian. Ha-
ma ini meraut daun, tunas dan buah serta mengisap cairan tanaman dengan meng-
gunakan alat mulutnya. Serangan hebat umumnya terjadi pada musim kemarau
(Vos et al. 1991). Tanaman yang terserang menjadi kering dan menimbulkan warna
keperakan, daun mengeriting, dan tunas terminal yang terserang menjadi kerdil
(Kiers et al. 2000). Bunga dan daun yang terserang menimbulkan gejala berupa
bintik-bintik putih atau bercak berwarna merah keperak-perakan dan daun
mengeriting atau berkerut (Mound dan Kibby 1998).

Trips pada Tanaman Cabai


Beberapa spesies trips telah dilaporkan menyerang pertanaman cabai di ber-
bagai negara (Tabel 2). Scirtothrips dorsalis, Thrips palmi, dan Thrips tabaci me-
rupakan spesies yang sebagian besar ditemukan di Asia (Talekar 1991). Spesies
yang pertama kali dilaporkan menyerang pertanaman cabai di Pulau Jawa adalah T.
tabaci, namun berdasarkan hasil identifikasi dari survei Vierbergen ditemukan be-
berapa spesies yang menyerang pertanaman cabai di Pulau Jawa, yaitu: T.
parvispinus. T. hawaiiensis, T. florum, dan T. orientalis (Vos et al. 1991).
Pada periode 1992/1993, Thrips taiwanus dan Thrips pallidus dilaporkan
menyerang pertanaman cabai di Yogya Selatan dan Bantul serta Brebes dan Kara-
wang (Dibiyantoro 1994). Yulianti (2008) melaporkan sembilan spesies ditemu-
kan menyerang pertanaman cabai di Kabupaten Cianjur, Bandung, dan Bogor,
yaitu: Megalurothrips usitatus, Microchepalothrips abdominalis, T. hawaiiensis, T.
palmi dan T. parvispinus (Subordo Terebrantia) dan Haplothrips froggatti,
Haplothrips ganglebaueri, H. gowdeyi, dan Nesothrips lativentris (Subordo Tu-
bulifera). Hasil penelitian Subagyo (2014) melaporkan bahwa, spesies 1 (Tubu-
lifera: Phlaeothripidae), T. parvispinus, dan T. hawaiiensis (Terebrantia: Thripi-
dae) juga ditemukan berasosiasi dengan tanaman cabai di wilayah Bogor, Kabu-
paten Cianjur, dan Kabupaten Bandung Barat (Lembang).
8

Tabel 2Distribusi geografi spesies trips yang berasosiasi dengan tanaman cabai
No Spesies Lokasi
1 Frankliniella cephalica Amerika Serikat
2 Frankliniella intosa Taiwan
3 Frankliniella occidentalis Nederland
4 Gynaikothrips Karny India
5 Haplothrips chinensis Taiwan
6 Hercinothrips femoralis Amerika Serikat
7 S. dorsalis Burma, India, Sri Lanka, Taiwan,
Thailand
8 Taeniothrips simplex Amerika Serikat
9 T. hawaiiensis Taiwan
10 T. palmi Filipina, Jepang, Taiwan
11 T. tabaci Denmark, Libanon, Nederland
India, Indonesia, Jepang, Amerika
Serikat
Sumber: Talekar (1991)

Statistik Demografi

Langkah awal dalam mempelajari perkembangan suatu populasi serangga


adalah dengan mengetahui aspek-aspek demografinya. Demografi adalah analisis
kuantitatif karakteristik suatu populasi, terutama hubungannya dengan pola per-
tumbuhan populasi, hubungan ketahanan, dan pergerakan populasi. Aspek demo-
grafi suatu populasi terdapat dalam neraca kehidupan (life table). Menurut Price
(1997), neraca kehidupan adalah ringkasan pernyataan tentang kehidupan individu-
individu dalam populasi/kelompok. Tarumingkeng (1992) menambahkan bahwa
neraca kehidupan dapat digunakan untuk mengkalkulasikan berbagai statistik po-
pulasi yang dapat memberikan informasi mengenai kelahiran (natalitas), kematian
(mortalitas), dan peluang untuk berkembang biak, sehingga dapat digunakan se-
bagai parameter perilaku perkembangan populasi.
Pertumbuhan populasi tergantung dari jumlah induk betina yang masih ber-
tahan hidup (lx) dan kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan (mx).
Suatu populasi dikatakan stabil bila Ro = 0, bila Ro > 1 populasi akan bertambah
dan bila Ro < 1 populasi akan berkurang. Bila Ro suatu spesies diketahui maka la-
manya suatu generasi (T) dapat diketahui dan juga pertambahan intrinstik (r) (Carey
1993).
9

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015-Maret 2016. Penelitian meli-


puti pengamatan di lapangan yang dilakukan di empat kecamatan di Kabupaten
Bogor dan pengamatan biologi serta statistik demografi T. parvispinus yang dila-
kukan di Laboratorium WisH Batuhulung Bogor. Identifikasi dilakukan di Labo-
ratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Per-
tanian, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Metode Penelitian

Pengamatan Trips pada Tanaman Cabai Besar dan Cabai Rawit


Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan November 2015-Maret 2016. Peng-
amatan trips pada cabai besar dan cabai rawit dilakukan di 14 petakan yang ter-
sebar di empat kecamatan di Kabupaten Bogor. Setiap jenis cabai masing-masing
terdiri atas tujuh petakan pengamatan (Lampiran 1 & Lampiran 2). Sebaran petakan
pengamatan cabai besar yaitu: dua petakan di Kecamatan Cibungbulang, dua
petakan di Kecamatan Tenjolaya, dan tiga petakan di Kecamatan Cisarua. Sebaran
petakan pengamatan cabai rawit yaitu: dua petakan di Kecamatan Dramaga, tiga
petakan di Kecamatan Tenjolaya, dan satu petakan di Kecamatan Cibungbulang.
Pada setiap petakan, dipilih 10 tanaman sampel yang ditentukan secara acak.
Pengambilan sampel. Trips diamati pada bagian bunga dan daun untuk
kedua jenis cabai. Pengamatan pada bunga dilakukan dengan cara menepuk-nepuk
bunga diatas wadah plastik (diameter = 2.5 cm dan tinggi = 4.5 cm) yang telah diisi
air (Gambar 1a). Setiap tanaman sampel diamati sebanyak 10 bunga. Pengamatan
pada daun dilakukan dengan cara menepuk-nepuk ranting daun (10-15 helai daun)
di atas nampan plastik (32 cm x 25 cm) yang diisi air (Gambar 1b). Setiap tanaman
sampel diamati satu ranting daun. Trips kemudian dikumpulkan ke dalam wadah
koleksi. Setiap wadah koleksi diberi label yang berisi informasi tanggal, lokasi, dan
bagian tanaman inang yang diamati. Pengambilan sampel dilakukan hanya satu kali
dari pukul 10.00 sampai 15.00 WIB. Trips yang telah dikumpulkan ke dalam wadah
koleksi kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dan dihitung ke-
limpahannya.

Gambar 1 Wadah koleksi trips; (a) gelas plastik dan (b) nampan plastik
10

Luas serangan. Luas serangan trips diamati pada tanaman yang sama de-
ngan pengamatan kelimpahan trips. Besaran luas serangan dihitung dengan rumus:
n
L = N x 100 %
L = luas serangan trips
N = jumlah tanaman yang terserang
N = jumlah tanaman contoh yang diamati
Kelimpahan trips. Sampel yang dikoleksi dari lapangan kemudian dihitung
kelimpahannya berdasarkan jenis dan bagian tanaman cabai yang diamati. Imago
dan nimfa trips yang terkumpul dipisahkan dalam penghitungan populasi. Proses
penghitungan populasi dilakukan di bawah mikroskop stereo.
Identifikasi. Trips yang telah dikoleksi dari lapangan, kemudian di-
identifikasi sampai tahap spesies. Sebanyak 31 dan 28 individu imago yang di-
koleksi dari bagian bunga dan daun pada cabai besar serta 32 dan 33 individu imago
yang dikoleksi dari bagian bunga dan daun pada cabai rawit diambil secara acak
untuk diidentifikasi. Identifikasi trips dilakukan dengan cara membuat preparat
mikroskop sementara.
Pembuatan preparat slide mengacu pada metode Mound dan Kibby (1998)
dengan langkah kerja sebagai berikut: imago trips yang dikoleksi dimasukkan ke
dalam cawan kaca berisi alkohol 70% untuk dipisahkan dari kotoran yang terbawa.
Spesimen ditempatkan pada kaca penutup yang berdiameter 13 mm, dengan bagian
ventral tubuh berada di atas, kemudian kedua sayap direntangkan serta posisi antena
diluruskan dengan menggunakan jarum halus hingga posisinya tidak bertumpuk
dan terlihat jelas. Setelah posisi spesimen tertata dengan baik, larutan Hoyer
diteteskan pada kaca penutup, lalu segera ditutup dengan kaca obyek. Setelah kaca
obyek diletakkan, posisi preparat slide segera dibalik, sehingga kaca penutup
berada di atas kaca obyek. Preparat slide kemudian dikeringkan selama satu minggu
pada suhu 35-45 ºC di kotak pengering, kemudian diberi cat kuku berwarna bening
pada setiap pinggiran kaca penutup dan dikeringkan kembali selama satu hari.
Identifikasi trips dilakukan berdasarkan kunci identifikasi dari Mound dan Kibby
(1998), Sartiami dan Mound (2013), dan Subagyo (2014). Jumlah individu per
spesies dari keseluruhan sampel yang diidentifikasi disajikan dalam bentuk tabel
dan diagram lingkaran, dengan rumus:
∑ individu spesies x
Jumlah individu per spesies (%) = ∑ individu semua spesies x 100

Nisbah kelamin. Trips yang telah diidentifikasi sampai tingkat spesies,


diamati jenis kelaminnya untuk melihat perbandingan banyaknya jumlah jantan dan
betina. Penghitungan perbandingan jenis kelamin menggunakan rumus sebagai
berikut:
∑ib
NK = ∑ ij

Keterangan :
NK = Nisbah kelamin
Σib = Jumlah imago betina pada spesies x
Σij = Jumlah imago jantan pada spesies x
11

Pengamatan Biologi T. parvispinus


Penelitian ini berlangsung pada bulan Januari-Maret 2016. Kegiatan ini di-
lakukan di Laboratorium WiSH Batuhulung Bogor. Kegiatan ini meliputi pe-
ngamatan 50 individu nimfa instar-1 dengan umur kohort hingga individu terakhir
mati dan identifikasi spesies yang diamati.
Persiapan tanaman inang. Tanaman cabai besar yang digunakan untuk
perbanyakan dan pemeliharaan trips berumur 30-60 HST (hari setelah tanam). Ta-
naman dipelihara dalam kurungan yang terbuat dari kain kassa organdi. Peme-
liharaan tanaman cabai pada kurungan bertujuan untuk menghindari serangan dan
infestasi telur dari serangga lain.
Pembuatan kurungan serangga. Kurungan serangga terbuat dari gelas
plastik (diameter = 6 cm dan tinggi = 8 cm) (Gambar 2). Permukaan bagian atas di-
buat lubang ventilasi dilapisi kain kassa organdi. Bagian bawah kurungan dilapisi
tisu yang telah dibasahi.

Gambar 2 Kurungan pemeliharaan trips

Perbanyakan serangga uji. T. parvispinus yang digunakan sebagai popu-


lasi awal dikumpulkan dari pertanaman cabai di Desa Cibatok II Kecamatan Ci-
bungbulang Kabupaten Bogor. Sebanyak 30 individu imago betina dan jantan hasil
koleksi dari lapangan dipelihara pada daun cabai umur 30 HST dalam kurungan
gelas plastik. Setiap kurungan diinfestasikan satu individu imago betina dan jantan.
Imago dikeluarkan dan dipindahkan pada daun dan kurungan baru setelah 24 jam.
Daun yang telah terinfestasi telur, diamati hingga muncul nimfa instar-1.
Perbanyakan terus dilakukan hingga jumlah serangga yang dibutuhkan cukup untuk
pengujian.
Identifikasi serangga uji. Beberapa individu serangga uji yang digunakan
sebagai populasi awal diidentifikasi untuk memastikan spesies. Proses identifikasi
diawali dengan membuat preparat sementara. Pembuatan preparat slide mengacu
pada Mound dan Kibby (1998).
Pengamatan biologi dan statistik demografi T. parvispinus. Sebanyak
50 individu nimfa instar-1 dengan umur kohort hasil dari perbanyakan sebelumnya,
dipelihara secara terpisah pada daun cabai dalam kurungan gelas plastik. Kohort
merupakan kelompok individu yang lahir dalam interval waktu yang hampir sama
(Begon et al. 2006). Setiap satu helai daun dalam kurungan diinfestasikan satu
individu nimfa instar-1. Daun cabai sebagai inang diganti setiap harinya. Jumlah
nimfa yang hidup, mati, dan ganti kulit diamati dan dicatat perkembangannya setiap
hari hingga imago. Pergantian instar ditandai dengan adanya eksuvia. Jenis kelamin
imago yang muncul dicatat.
12

Pengamatan lama hidup imago jantan dan betina dilakukan secara terpisah.
Lama hidup imago jantan diamati dengan menginfestasikan imago pada daun cabai
dalam kurungan serangga. Setiap satu helai daun dalam kurungan diinfestasikan
satu individu imago jantan. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga imago jantan
terakhir mati. Pengamatan stadium praoviposisi, stadium oviposisi, siklus hidup,
fekunditas, dan lama hidup imago betina dilakukan dengan menginfestasikan imago
betina pada daun cabai dalam kurungan serangga. Setiap satu helai daun dalam
kurungan diinfestasikan satu individu imago betina. Setiap hari, imago betina di-
pindahkan pada daun cabai yang baru di dalam kurungan baru hingga imago betina
terakhir mati. Daun cabai yang telah diinfestasikan imago betina pada hari se-
belumnya, kemudian diamati setiap hari hingga muncul nimfa instar-1. Mound dan
Masumoto (2005) melaporkan inkubasi telur dapat berlangsung selama 3-7 hari.
Berdasarkan hal tersebut pengamatan dilakukan setiap hari selama tujuh hari.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop portable dinolite AM 2111
Basic dan mikroskop stereo.

Analisis Data

Data pengamatan luas serangan dan kelimpahan trips diperiksa melalui uji-t
dengan bantuan program SPSS 16. Data hasil pengamatan trips dengan umur kohort
selama satu generasi disusun dalam bentuk neraca kehidupan. Neraca kehidupan
dengan umur kohort merupakan neraca kehidupan yang mengikuti perkembangan
serangga dengan umur kohort dimulai dari kemunculan individu pertama sampai
kematian individu terakhir yang bertahan hidup (Begon et al. 2006). Data-data yang
dibutuhkan yaitu: x adalah kelas umur (hari), lx adalah peluang hidup setiap
individu pada umur x, mx adalah fekunditas per individu pada umur x, dan lxmx
adalah banyaknya keturunan yang dilahirkan pada kelas umur x. Penghitungan di-
lanjutkan dengan menggunakan metode Jackknife. Metode Jackknife digunakan
sebagai pendekatan umum untuk melakukan uji hipotesis dan menghitung selang
kepercayaan. Adapun parameter yang diamati yaitu:
1. Laju reproduksi kotor (GRR) = Σ mx
2. Laju reproduksi bersih (Ro) = Σ lxmx
3. Laju pertambahan intrinsik (r) = ln (Ro) / T
4. Rataan masa generasi (T) = Σ xlxmx / Σ lxmx
5. Populasi berlipat ganda (DT) = ln (2) / r
13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Petakan Penelitian

Petakan pengamatan yang diamati merupakan pertanaman cabai dengan sis-


tem budi daya konvensional. Petakan pertanaman pada kedua jenis cabai terdiri atas
pola tanam monokultur dan polikultur. Luas masing-masing petakan pengamatan
sekitar 250-1000 m2 (Lampiran 1 & Lampiran 2). Tanaman cabai yang diamati
merupakan tanaman cabai pada fase generatif. Tanaman di sekitar pertanaman cabai
dicatat pada setiap petakan pengamatan (Tabel 3 & Tabel 4).

Tabel 3 Tanaman sekitar petakan pengamatan cabai besar


Petakan pengamatan Tanaman sekitar
1 Desa Cibatok I, Cibungbulang Jagung, pisang
2 Desa Cibatok II, Cibungbulang Kacang panjang, terung, singkong
3 Desa Cibitung Tengah, Tenjolaya Singkong, paria, ubi jalar
4 Desa Cibitung Tengah, Tenjolaya Terung, pisang, sawi
5 Desa Cibereum, Cisarua Pisang, bayam, singkong
6 Desa Cibereum, Cisarua Pisang, padi, kelapa, tomat
7 Desa Cibereum, Cisarua Mangga, kacang panjang, pisang

Tabel 4 Tanaman sekitar petakan pengamatan cabai rawit


Petakan Pengamatan Tanaman sekitar
1 Desa Dramaga, Dramaga Pepaya, sawi, bayam, pisang
2 Desa Dramaga, Dramaga Jambu biji, pisang
3 Desa Ciherang, Dramaga Pepaya, pisang, petai
4 Desa Cibitung Tengah, Tenjolaya Terung, pisang, sawi
5 Desa Cibitung Tengah, Tenjolaya Singkong, kelapa, pisang
6 Desa Cibitung Tengah, Tenjolaya Pepaya, singkong
7 Desa Cibatok II, Cibungbulang Belimbing, jati

Luas Serangan dan Kelimpahan Trips

Luas serangan imago, nimfa, dan total trips tidak berbeda nyata antar kedua
jenis tanaman cabai (p˃0.05) (Tabel 5 & Tabel 6). Secara umum kelimpahan imago,
nimfa, dan total trips pada bagian bunga dan daun antara kedua jenis cabai ber-
korelasi positif dengan besarnya luas serangan yang terjadi, kecuali luas serangan
imago dan total trips pada bagian bunga. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan
mobilitas imago dan warna bunga. Prabaningrum dan Moekasan (2007) me-
laporkan bahwa, warna dapat menjadi daya tarik bagi trips untuk hinggap, ber-
pindah, dan hidup pada bunga.
Hasil pengamatan kelimpahan trips pada bagian bunga dan daun me-
nunjukkan bahwa kelimpahan imago, nimfa, dan total trips tidak berbeda nyata
antar masing-masing jenis cabai (p˃0.05) (Tabel 5 & Tabel 6). Tabel 5 dan Tabel 6
menunjukkan bahwa trips mempunyai preferensi yang tidak berbeda pada kedua je-
14

nis cabai yang diuji. Hal ini sesuai dengan laporan Vos et al. (1991) yang me-
nyatakan bahwa trips merupakan hama utama pada pertanaman cabai (C. annuum
L. dan C. frutescens L.) di Indonesia.
Populasi imago lebih tinggi dibandingkan nimfa pada bagian bunga dan daun
untuk kedua jenis cabai (Tabel 5 & Tabel 6). Hal ini dipengaruhi lama fase nimfa
yang lebih singkat daripada lama hidup imago (Table 8), sehingga menyebabkan
populasi imago tumpang tindih. Faktor abiotik seperti suhu dan kelembaban pada
saat pengamatan juga memberikan pengaruh. Berger et al. (2008) menyatakan
bahwa, pada suhu yang tinggi imago akan mengalihkan energi yang dimilikinya
untuk memproduksi telur yang lebih banyak, sementara pada suhu rendah imago
akan menimbun energi yang dimilikinya untuk membentuk struktur tubuh.
Kelimpahan imago, nimfa dan total trips yang ditemukan pada bagian bunga
dan daun untuk kedua jenis cabai relatif rendah (Tabel 5 & Tabel 6). Yulianti (2008)
melaporkan bahwa populasi trips dapat mencapai 19.22 individu/tanaman dengan
pengamatan yang dilakukan pada bagian daun muda, daun tua, dan bunga. Selain
faktor biotik, populasi trips di pertanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi abiotik
terutama curah hujan, suhu, dan kelembaban. Pengambilan sampel pada penelitian
ini dilakukan pada bulan November dengan kondisi curah hujan dan kelembaban
yang tinggi (Lampiran 3). Lewis (1973) melaporkan bahwa, curah hujan dapat me-
mengaruhi populasi trips, karena dapat membunuh nimfa dan menekan penyebaran
trips. Hujan merupakan faktor lingkungan yang dapat berpengaruh langsung dan
tidak langsung pada trips. Hujan yang lebat dapat menyebabkan trips jatuh dari
tanaman. Selain itu, hujan dapat merangsang laju pertumbuhan daun baru yang
mengurangi kepadatan trips per daun dan meningkatkan proporsi daun sehat (Kirk
1997).

Tabel 5 Luas serangan dan kelimpahan trips pada bagian bunga cabai besar dan
rawit
Kelimpahan trips Luas serangan (%)
Fase (individu/ranting daun)a
(Rataan ± SE) b Nilai p (Rataan ± SE) Nilai p
BB BR DB DR
Imago 3.92 ± 1.44 3.60 ± 1.21 0.865 68.57 ± 13.87 78.57 ± 12.61 0.604
Nimfa 0.15 ± 0.07 0.20 ± 0.04 0.631 12.87 ± 06.06 20.00 ± 04.87 0.377
Total 4.08 ± 1.51 3.80 ± 1.24 0.886 68.57 ± 13.87 80.00 ± 11.75 0.541
a
BB: Bunga cabai besar, BR: bunga cabai rawit. b SE: standar error

Tabel 6 Luas serangan dan kelimpahan trips pada bagian daun cabai besar dan
rawit
Kelimpahan trips Luas serangan (%)
Fase (individu/ranting daun)a
(Rataan ± SE) b Nilai p (Rataan ± SE) Nilai p
DB DR DB DR
Imago 0.68 ± 0.22 0.47 ± 0.08 0.404 41.42 ± 11.21 37.14 ± 5.65 0.739
Nimfa 0.12 ± 0.06 0.14 ± 0.02 0.844 11.42 ± 05.08 14.28 ± 2.97 0.636
Total 0.81 ± 0.24 0.61 ± 0.08 0.461 48.57 ± 11.21 47.14 ± 3.59 0.907
a
DB: Daun cabai besar, DR: daun cabai rawit. b SE: standar error
15

Vos et al. (1991) menyatakan bahwa, trips menjadi hama utama pada per-
tanaman cabai terutama pada musim kemarau. Menurut Kakkar et al. (2010), suhu
yang panas serta kelembaban yang tinggi menjadi faktor pendukung utama
meledaknya populasi trips di suatu wilayah, sehingga pada musim hujan jumlah
populasi trips sering menurun meskipun kelembaban cukup tinggi dibutuhkan
untuk perkembangan trips secara sempurna. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, pada
suhu yang tinggi imago akan mengalihkan energi yang dimilikinya untuk
memproduksi telur yang lebih banyak, sementara pada suhu rendah imago akan
menimbun energi yang dimilikinya untuk membentuk struktur tubuh (Berger et al.
2008).

Spesies Trips pada Tanaman Cabai Besar dan Rawit

Berdasarkan hasil identifikasi, empat spesies trips ditemukan menyerang


bagian bunga maupun daun pada pertanaman cabai besar dan cabai rawit. Keempat
spesies tersebut adalah T. parvispinus, T. hawaiiensis, S. dorsalis, dan H. gowdeyi
(Tabel 7). T. parvispinus, T. hawaiiensis, S. dorsalis termasuk dalam Subordo
Terebrantia Famili Thripidae, sedangkan H. gowdeyi termasuk dalam Subordo
Tubulifera familli Phlaeothripidae. Keempat spesies trips yang ditemukan me-
rupakan serangga fitofag dengan kisaran tanaman inang yang luas (Chen dan Lo
1987; Ananthakrishnan 1993; Childers dan Nakahara 2006). Hasil ini sesuai dengan
penelitian Yulianti (2008) dan Subagyo (2014) yang melaporkan bahwa, spesies T.
parvispinus, T. hawaiiensis (Terebrantia: Thripidae), dan H. gowdeyi (Tubulifera:
Phlaeothripidae) menyerang pertanaman cabai di Jawa Barat.
Thrips parvispinus merupakan spesies yang ditemukan paling dominan
menyerang bagian bunga dan daun pada kedua jenis cabai (Gambar 3 & Gambar
4). Hasil ini sesuai dengan laporan Vos et al. (1991) yang menyatakan bahwa, T.
parvispinus merupakan spesies yang dominan ditemukan menyerang pertanaman
cabai (Capsicum spp.) di Indonesia. Yulianti (2008) juga melaporkan bahwa,
spesies T. parvispinus ditemukan dominan menyerang pertanaman cabai di wilayah
Jawa Barat sekitarnya, dengan rata-rata populasi 8.18-19.22 trips/tanaman. Sartiami
dan Mound (2013) lebih lanjut menjelaskan bahwa, T. parvispinus adalah spesies
yang paling banyak ditemukan berasosiasi dengan tanaman hortikultura di Pulau
Jawa, dengan kerusakan yang cukup parah pada tanaman cabai dan kentang.
Menurut Mound dan Collins (2000), T. parvispinus merupakan hama yang bersifat
polifag, namun spesies ini lebih tertarik pada bunga yang berwarna putih dan wangi.

Tabel 7 Spesies dan jenis kelamin trips pada tanaman cabai besar dan rawit
Jenis Spesies
cabai Bagian (n) T. parvispinus T. hawaiiensis S. dorsalis H. gowdeyi
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
Besar Bunga 31 5 14 1 1 0 1 0 9
Daun 28 3 15 0 2 0 5 0 3
Rawit Bunga 32 8 18 0 1 0 0 0 5
Daun 33 3 13 1 3 0 5 0 8
n: Jumlah individu imago yang diidentifikasi per bagian dan jenis cabai
16

T. hawaiiensis, S. dorsalis, dan H. gowdeyi ditemukan dalam jumlah yang


lebih rendah dari total individu imago yang diidentifikasi. Spesies-spesies tersebut
diduga bukan merupakan hama utama pada pertanaman cabai karena bukan spesies
yang dominan ditemukan pada pertanaman cabai. Spesies-spesies tersebut diduga
hanya bersifat tinggal sementara pada pertanaman cabai. Inang utamanya adalah
tanaman lain di sekitar petakan pengamatan. S. dorsalis dilaporkan memiliki ki-
saran inang yang luas, yaitu: kacang-kacangan, karet, putri malu, jarak, mawar,
mangga, teh, jeruk, pisang, kapas, terung, anggur, kiwi, mangga, melon, stroberi,
tembakau, tomat, kentang, dan lada (Mound dan Palmer 2009). T. hawaiiensis
dilaporkan menyerang berbagai tanaman sayuran, tembakau, mangga, jeruk, dan
tembelekan (Chen dan Lo 1987; Childers dan Nakahara 2006; Reynaud et al. 2008).
Menurut Nakahara dan Hilburn (1989), H. gowdeyi merupakan spesies yang umum
ditemukan menyerang bagian bunga pada pertanaman budi daya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa spesies ini juga ditemukan dominan pada tanaman penutup tanah
atau gulma (Childers dan Nakahara 2006).

22%
T. parvispinus
2% T. hawaiiensis
5% S. dorsalis
H. gowdeyi
71%

Gambar 3 Persentase jumlah individu per spesies dari total sampel pada bagian
bunga

18%

T. parvispinus
T. hawaiiensis
16%
56% S. dorsalis
H. gowdeyi
10%

Gambar 4 Persentase jumlah individu per spesies dari total sampel pada bagian
daun
17

Nisbah Kelamin

Imago betina lebih dominan dibandingkan imago jantan dari total sampel
yang diidentifikasi. Perbandingan nisbah kelamin antara jantan dan betina pada T.
parvispinus dan T. hawaiiensis yaitu, 1:3.1 dan 1:3.5. Rasio ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti, tipe reproduksi, nutrisi, suhu, dan kelembaban. Menurut
Graham dan Knight (1967), kualitas pakan yang cukup baik, daya reproduksi betina
yang tinggi, dan spesies partenogenesis cenderung menghasilkan betina yang lebih
tinggi. Moritz (1997) menyatakan bahwa, suhu dan kelembaban dapat memberikan
pengaruh terhadap frekuensi jumlah jantan dalam suatu populasi. Yadav dan Chang
(2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa, proporsi individu betina trips lebih tinggi
pada kisaran suhu 22 ºC dan 31 ºC dibanding pada kisaran suhu 16, 19, 25, dan 28
ºC. Lama hidup imago betina yang lebih panjang dibanding imago jantan (Tabel 8)
juga memberikan pengaruh, sehingga imago betina lebih dominan ditemukan di
lapangan. Spesies S. dorsalis dan H. gowdeyi tidak dapat ditentukan nisbah
kelaminnya, karena semua individu dalam spesies yang diidentifikasi hanya betina.

Karakter Morfologi

Imago betina T. parvispinus berwarna coklat dengan warna kepala dan toraks
lebih pucat dibanding warna abdomen (bicoloured) (Gambar 5a). Terdapat dua
pasang seta oseli pada bagian kepala, seta oseli III muncul pada garis segitiga oseli
dengan ukuran yang lebih panjang dari seta oseli II (Gambar 5b). Antena terdiri
atas VII ruas, ruas ke-III dan ke-IV dengan sense cone yang berbentuk garpu, dan
ruas ke-VII berukuran sangat kecil (Gambar 5c). Venasi pertama dan kedua sayap
memiliki deretan seta yang lengkap (Gambar 5d). Pola retikulasi pada metanotum
medially (seperti kotak dengan ukuran yang serupa). Terdapat sepasang seta pada
bagian tengah metanotum yang muncul di bawah garis atas metanotum (Gambar
5e). Tergit abdomen ruas ke-VIII tidak memiliki deretan microtrichia (Gambar 5f).

0.5 mm

Gambar 5 Karakter morfologi T. parvispinus; (a) imago betina, (b) kepala, (c)
antena, (d) sayap, (e) metanotum, dan (f) tergit abdomen
18

0.5 mm

Gambar 6 Karakter morfologi T. hawaiiensis; (a) imago betina, (b) kepala, (c)
antena, (d) sayap, (e) metanotum, dan (f) tergit abdomen

0.5 mm

Gambar 7 Karakter morfologi S. dorsalis; (a) imago betina, (b) kepala, (c) antena,
(d) sayap, (e) metanotum, dan (f) tergit abdomen

Imago T. hawaiiensis memiliki warna tubuh coklat atau bicoloured (Gambar


6a). Terdapat sepasang seta oseli pada bagian kepala, seta oseli III muncul di luar
segitiga oseli (Gambar 6b). Antena terdiri atas VII ruas (Gambar 6c). Barisan seta
pada venasi pertama sayap depan tidak lengkap (Gambar 6d). Pola retikulasi pada
bagian atas metanotum berbentuk transversal, sedangkan di bagian tengah lo-
ngitudinal paralel. Terdapat sepasang seta pada bagian tengah metanotum yang
muncul dekat dengan garis atas metanotum (Gambar 6e). Tergit abdomen ruas ke-
VIII memiliki deretan microtrichia yang lengkap, pendek, tetapi tidak teratur
(Gambar 6f).
Imago S. dorsalis dicirikan dengan tubuh berwarna kuning, terdapat tanda
coklat pada bagian tengah tergit abdomen ruas III-VII (Gambar 7a). Terdapat tiga
pasang seta oseli pada bagian kepala, seta oseli III muncul di dalam segitiga oseli
(Gambar 7b). Antena terdiri atas VIII ruas (Gambar 7c). Barisan seta pada venasi
sayap depan tidak lengkap pada baris pertama maupun kedua (Gambar 7d). Me-
tanotum dengan sepasang seta di bawah garis atas metanotum (Gambar 7e). Tergit
abdomen ruas ke-VIII dengan deretan microtrichia yang lengkap, teratur, dan pan-
jang (Gambar 7f).
19

0.5 mm

Gambar 8 Karakter morfologi H. gowdeyi; (a) imago betina, (b) antena, (c) sayap,
dan (d) pronotum

Imago H. gowdeyi dicirikan dengan warna tubuh yang dominan berwarna


coklat gelap. Ujung abdomen berbentuk tabung (Gambar 8a). Antena terdiri atas
VIII segmen, segmen ke-III dan ke-IV berwarna kuning, pada dasar segmen ke-V
dan ke-VI setengahnya berwarna kuning dan setengahnya berwarna coklat muda.
Segmen ke-III dengan dua sense cone sedangkan segmen ke-IV dengan empat sense
cone (Gambar 8b). Permukaan sayap bagian tengah terdapat delapan silia duplikat
(Gambar 8c). Pronotum dengan lima pasang seta kapitat mayor (Gambar 8d).

Biologi T. parvispinus

T. parvispinus memiliki tipe metamorfosis peralihan antara paurometabola


dan holometabola. Serangga ini tergolong dalam tipe peralihan karena mengalami
lebih dari satu instar pradewasa yang memiliki kerangka sayap, perkembangan
sayap terjadi pada bagian dalam tubuh, dan terdapat fase pupa sebelum menjadi
imago (Borror et al. 2005). Tahap perkembangan T. parvispinus terdiri atas telur,
nimfa, prapupa, pupa dan imago (Tabel 8 & Lampiran 4). Telur diletakkan secara
tunggal di dalam jaringan epidermis daun. Telur berbentuk seperti ginjal, berwarna
putih pucat, dan berwarna semakin keruh ketika akan menetas (Gambar 9a). Fase
nimfa mengalami dua kali pergantian kulit. Nimfa instar-1 berwarna putih tran-
sparan (Gambar 9b). Nimfa instar-2 berwarna kuning tua gelap yang semakin lama
warnanya semakin kecoklatan (Gambar 9c). Pergantian fase nimfa ditandai dengan
adanya eksuvia.
20

0.5 mm 0.5 mm

Gambar 9 Fase pradewasa T. parvispinus; (a) telur, (b) instar-1, dan (c) instar-2

Fase prapupa dan pupa ditandai dengan adanya kerangka sayap. Prapupa me-
miliki kerangka sayap lebih pendek (sebatas toraks) dan berwarna putih transparan
(Gambar 10a). Pupa memiliki kerangka sayap lebih panjang hingga abdomen.
Kerangka sayap dan tungkai berwarna lebih gelap. Antena tertekuk ke belakang se-
panjang kepala (Gambar 10b).

0.5 mm 0.5 mm

Gambar 10 Fase prapupa dan pupa T. parvispinus; (a) prapupa dan (b) pupa

Imago betina dan jantan dapat dibedakan berdasarkan ukuran dan warna.
Tubuh imago T. parvispinus betina berwarna coklat dengan warna kepala dan to-
raks lebih pucat dibandingkan abdomen (Gambar 11a). Jantan mempunyai ukuran
tubuh lebih kecil, segmen terminal abdomen lebih tumpul, dan keseluruhan tu-
buhnya berwarna kuning (Gambar 11b).

0.5 mm 0.5 mm

Gambar 11 Fase dewasa T. parvispinus; (a) betina, dan (b) jantan


21

Tabel 8 Karakter biologi T. parvispinus pada tanaman cabai


n Rata-rata±SE
Fase
(individu) (hari)
Telur 276 4.78±0.12
Instar-1 047 1.36±0.08
Instar-2 042 3.55±0.08
Prapupa 035 1.09±0.05
Pupa 029 1.97±0.06
Jantan
Stadium menjadi imago 011 12.55±0.53
Lama hidup 011 6.00±1.36
Betina
Stadium menjadi imago 018 12.61±0.32
Praoviposisi 018 1.11±0.08
Siklus hidup 018 13.72±0.32
Lama hidup 018 8.56±0.84
Keperidian 018 15.38±2.21

Fase pradewasa T. parvispinus berlangsung singkat (Tabel 8). Stadium pra-


dewasa yang singkat secara tidak langsung menyebabkan siklus hidup imago T.
parvispinus menjadi lebih pendek. Menurut Amarasekare et al. (2008), perbedaan
siklus hidup serangga pada beberapa tanaman inang dapat disebabkan oleh faktor
nutrisi, senyawa alelokimiawi, dan struktur fisik daun tanaman inang. Spesies ta-
naman yang berbeda menyediakan kualitas nutrisi dan unsur pokok kimia yang
berbeda, hal ini dapat memengaruhi karakteristik suatu populasi terutama terhadap
perkembangan, tingkat reproduksi, dan ketahanan serangga tersebut. Zhang et al.
(2007) melaporkan bahwa, masa perkembangan pradewasa F. occidentalis ber-
langsung selama 9.22, 10.19, 10.42, 12.15 dan 12.91 hari berturut-turut pada
tanaman mentimun, kubis, kacang, cabai, dan tomat.
Speight et al. (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa, pertumbuhan dan per-
kembangan populasi serangga ditentukan oleh faktor serangga itu sendiri (faktor
internal) dan faktor luar (faktor eksternal). Salah satu faktor eksternal yaitu, suhu
dan kelembaban yang sangat berkaitan terhadap iklim mikro perkembangan po-
pulasi serangga. Yadav dan Chang (2014) melaporkan bahwa, pada kisaran suhu
16, 19, 22, 25, 28, dan 31 ºC masa perkembangan pradewasa T. palmi berlangsung
selama 35.66, 26.83, 19.28, 14.13, 12.20, dan 9.57 hari.
Stadium praoviposisi merupakan selang waktu ketika imago betina pertama
kali muncul hingga meletakkan telur. Stadium praoviposisi T. parvispinus ber-
langsung singkat, yaitu selama 1.1 hari (Tabel 8). Masa praoviposisi yang singkat
akan mempercepat proses peletakkan telur yang pertama. Hasil penelitian Zhang et
al. (2007) melaporkan bahwa, stadium praoviposisi F. occidentalis berlangsung se-
lama 1.67 hari pada tanaman cabai dengan suhu ±27ºC. Salmasi et al. (2003)
melaporkan, pada suhu ±27 ºC stadium praoviposisi T. tabaci berlangsung selama
3.60 hari pada tanaman bawang.
Lama hidup diukur berdasarkan selang waktu sejak imago pertama kali
muncul hingga imago tersebut mati. Serangga yang hidup pada pakan yang relatif
sesuai, pertumbuhan, perkembangan, dan lama hidupnya akan berlangsung lebih
baik dan sesuai dengan pertumbuhan serangga secara normal. Rendahnya kualitas
22

nutrisi yang dimiliki tanaman inang berpengaruh terhadap biologi serangga,


sehingga serangga kekurangan nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangannya
(Speight et al. 2008). Lama hidup imago jantan F. occidentalis dilaporkan ber-
langsung selama empat hari, sedangkan imago betina berlangsung selama 8.23 hari
pada tanaman cabai dengan kisaran suhu ±27 ºC pada saat pemeliharaan (Zhang et
al. 2007). Salmasi et al. (2003) melaporkan bahwa, lama hidup imago betina T.
tabaci berlangsung selama 16.15 hari pada tanaman bawang dengan kisaran suhu
±27 ºC pada saat pemelliharaan.
Nisbah kelamin merupakan jumlah relatif jantan dan betina dalam suatu po-
pulasi. Semakin banyak betina yang dihasilkan, maka semakin cepat populasi
serangga tersebut berkembang. Rasio jenis kelamin jantan dan betina T. parvispinus
yaitu 1:1.63. Menurut Graham dan Knight (1967), kualitas pakan yang cukup
banyak, daya reproduksi betina yang tinggi, serta spesies partenogenesis akan cen-
derung menghasilkan betina yang lebih tinggi.

Sintasan dan Keperidian T. parvispinus

Peluang hidup T. parvispinus digambarkan dalam kurva sintasan (lx), se-


dangkan natalitas digambarkan dalam kurva keperidian (mx). Sintasan atau peluang
hidup T. parvispinus diperoleh dari pengamatan harian mulai dari fase nimfa instar-
1 hingga menjadi dewasa. Kurva sintasan T. parvispinus menunjukkan bahwa, pe-
luang hidup mulai menurun sejak individu berumur 2 hari setelah infestasi (Gambar
12 & Lampiran 5). Kurva laju kesintasan dari hasil pengamatan menunjukkan
tingkat kematian yang lebih banyak terjadi pada fase pradewasa atau dapat disebut
kurva kesintasan tipe III.
Menurut Price (1997), terdapat tiga jenis kurva bertahan hidup. Kurva tipe I,
menggambarkan kematian organisme dalam jumlah sedikit ketika populasi ber-
umur muda dan kematian dalam jumlah besar sewaktu populasi berumur lebih tua.
Tipe II menunjukkan laju kematian konstan dan tipe III memperlihatkan kematian
yang lebih besar terjadi pada populasi berumur muda.

Gambar 12 Kurva sintasan (lx) ( ) dan keperidian (mx) ( ) T. parvispinus


23

Keperidian merupakan banyaknya keturunan yang mampu dihasilkan oleh


setiap imago betina sepanjang generasi. Sifat biofisik dan biokimia tanaman
menentukan tingkat pertumbuhan populasi. Kualitas dan kuantitas makanan akan
menentukan taraf perkembangan serangga. Hal ini dikarenakan pertumbuhan, mor-
talitas, dan keperidian serangga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi makanan
disamping faktor lingkungan (Speight et al. 2008). Zhang et al. (2007) melaporkan
bahwa, keperidian F. occidentalis pada tanaman cabai sebanyak 7.67 telur per im-
ago betina sepanjang generasi pada kisaran suhu ±27 ºC. Keperidian T. tabaci pada
tanaman bawang dilaporkan sebanyak 31.63 telur per imago betina pada kisaran
suhu ±27 ºC (Salmasi et al. 2003).
Kurva rataan keperidian (mx), menunjukkan bahwa peletakan telur dimulai
dari hari ke-9 sampai hari ke-24 setelah infestasi. Imago betina trips meletakkan te-
lur dalam jumlah sedikit pada awal fase imago dan jumlah terus bertambah seiring
pertambahan umur imago dan kembali mengalamai fluktuasi hingga menjelang
kematian imago. Rata-rata keperidian betina per hari mencapai titik maksimum pa-
da hari ke-11 dengan rataan 4.0 telur (Gambar 12 & Lampiran 5).

Statistik Demografi T. parvispinus

Statistik demografi T. parvispinus meliputi laju reproduksi kotor (GRR), la-


ju reproduksi bersih (Ro), laju pertambahan instrinsik (r), rata-rata waktu satu ge-
nerasi (T), dan waktu berlipat ganda (DT) (Tabel 9). Berdasarkan hasil peng-
amatan, seluruh imago betina T. parvispinus sepanjang generasi mampu mengha-
silkan keturunan sebanyak 25.60 individu per generasi. Nilai reproduksi bersih (Ro)
T. parvispinus menunjukkan bahwa rata-rata banyaknya keturunan yang di-
hasilkan oleh imago betina adalah 5.71 betina per induk per generasi atau dapat
dikatakan bahwa populasi T. parvispinus dapat berlipat ganda sebanyak 5.71 kali
dalam setiap generasinya. Tinggi rendahnya Ro akan memengaruhi populasi. Nilai
Ro dipengaruhi oleh jumlah keturunan yang dihasilkan per imago betina dan pe-
luang hidup imago betina.
Nilai r menggambarkan laju pertambahan intrinsik pada lingkungan konstan
dan keadaan sumber daya yang tidak terbatas. Laju pertambahan intrinsik di-
tentukan oleh berbagai aspek yang berhubungan dengan siklus kehidupan or-
ganisme tersebut, yaitu kematian, kelahiran, dan waktu perkembangan. Nilai r se-
besar 0.15 menunjukkan bahwa, individu dapat bertambah sebanyak 0.15 kali
dalam sumberdaya yang tidak terbatas atau percepatan pertambahannya sebesar
15% individu per hari. Tinggi rendahnya nilai r dapat dipengaruhi oleh keperidi-an,
mortalitas pradewasa, dan masa dewasa.

Tabel 9 Karakteristik demografi T. parvispinus


Karakter Rata-rata ± SE
Laju reproduksi kotor (GRR) 25.60±0.14 individu/generasi
Laju reproduksi bersih (Ro) 05.71±0.02 individu/induk/generasi
Laju pertambahan intrinsik (r) 00.15±0.00 individu/induk/hari
Rataan lama generasi (T) 11.49±0.01 hari
Waktu berlipat ganda (DT) 04.57±0.12 hari
SE: standar error
24

Nilai rata-rata masa generasi (T) merupakan nilai lama generasi. Nilai T yang
semakin kecil menunjukkan semakin cepat suatu organisme untuk berkem-
bangbiak. Lama generasi T. parvispinus sebesar 11.49 hari. Doubling time (DT)
atau waktu yang dibutuhkan populasi T. parvispinus untuk berlipat ganda adalah
4.57 hari. Nilai DT yang rendah menunjukkan semakin singkat waktu yang dibu-
tuhkan populasi untuk berlipat ganda. Populasi yang singkat dalam berlipat ganda
lebih cepat menghabiskan sumberdaya dibandingkan populasi dengan waktu berli-
pat ganda yang lebih panjang.
25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Luas serangan dan kelimpahan imago, nimfa, dan total trips pada bagian bunga
dan daun tidak berbeda nyata antar kedua jenis cabai.
2. Spesies trips yang ditemukan menyerang pertanaman cabai besar dan cabai
rawit adalah T. parvispinus, T. hawaiiensis, S. dorsalis (Terebrantia: Thri-
pidae) dan H. gowdeyi (Tubulifera: Phlaeothripidae).
3. Tipe metamorfosis T. parvispinus adalah tipe peralihan antara paurometabola
dan holometabola. Tahap perkembangan T. parvispinus terdiri atas telur,
nimfa, prapupa, pupa dan imago. Tipe perkembangan populasi T. parvispinus
termasuk dalam kurva sintasan tipe III. Laju reproduksi kotor T. parvispinus
(GRR) sebanyak 25.60 individu per generasi, laju reproduksi bersih (Ro)
sebanyak 5.71 individu per induk per generasi, laju pertambahan intrinstik (r)
sebesar 0.15 individu per induk per hari, rata-rata masa generasi (T) selama
11.49 hari, dan waktu berlipat ganda selama 4.57 hari.

Saran

Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan informasi dasar untuk mela-
kukan penelitian berikutnya. Perlu kajian tentang pengelolaan tanaman dan vege-
tasi di areal pertanaman cabai guna menekan populasi trips dan mengoptimalkan
peran musuh alami untuk mengendalikan serangga hama ini. Perlu penelitian lebih
lanjut mengenai statistik demografi trips pada beberapa kondisi suhu dan jenis cabai
yang berbeda.
26

DAFTAR PUSTAKA

Amarasekare KG, Mannion CM, Osborne LS. 2008. Life history of Paracoccus
marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) on four host plant spesies under
laboratory condition. J Environ Entomol. 37(3):630-635.
Ananthakrishnan TN. 1993. Bionomics of thrips. Annu Rev Entomol. 38:71-92.
Antonelli LA. 2003. Thrips [internet]. Washington (US): Washington State
University (WSU) Puyallup; [diunduh pada 2015 Juni 20]. Tersedia pada:
www.puyallup.wsu.edu/plantclinic/resources/pdf/pls36thrips.pdf.
Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology: From Individuals to Eco-
systems. Ed ke-2. Oxford (GB): Blackwell Publishing.
Berger D, Walters R, Gotthard K. 2008. What limits insect fecundity? body size
and temperature dependent egg maturation and oviposition in a butterfly.
Funct Ecol. 22:523-529.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi cabai besar, cabai rawit, dan bawang
merah tahun 2014. Berita resmi satistik. No. 71/08/ Th. XVIII Agustus 2015
[internet]. [diunduh pada 2014 November 24]; Tersedia pada http://www.
bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=55%20
&notab=66.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed
ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta(ID): Gajah Mada University
Pr. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. An Introduction to The Studies of In-
sects. Ed ke-7. United States of America (US): Brooks/Cole.
Cahyono B. 2003. Cabai Rawit Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Yogyakarta (ID). Kanisius.
Carey JR. 1993. Applied Demography for Biologist With Special Emphasis on In-
sect. New York (US): Oxford University Pr.
Carey JR. 2001. Insect biodemography. Annu Rev Entomol. 46:79-110.
Chen JS, Lo PKC 1987. Diffrential preference of the flower dwelling thrips, Thrips
hawaiiensis (Morgan) (Thysanoptera: Thripidae) to some gladiolus cultivars.
Agric Res China 36 (3):371-326.
Childers CC, Nakahara S. 2006. Thysanoptera (thrips) within citrus orchards in
Florida: Species distribution, relative, and seasonal abundance within trees,
and species on vines and ground cover plants. J Insect Sci. 6:1-19.
Dibiyantoro ALH. 1994. Management of Thrips tabaci Lind with special reference
on garlic (A. sativum L.) PhD. 3rd-Year Report. 1994. Univ.Newcastle (GB).
23-25.
Dibiyantoro ALH. 1998. Thrips pada Tanaman Sayuran. Bandung (ID): Balai Pe-
nelitian Tanaman Sayuran.
Duriat AS. Sastrosiswojo S. 1994. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu pada Ag-
ribisnis Cabai. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Fekrat L, Shishehbor P, Manzari S, Nejadian ES. 2009. Comparative development,
reproduction and life table parameters of three populations of Thrips tabaci
(Thysanoptera: Thripidae) on onion and tobacco. J Entomol Soc Iran.
29(1):11-23.
27

Funderburk J. 2001. Ecology of thrips. Di dalam: Marullo R, Mound L, eitor. Thrips


and Tospoviruses. Proceedings of the 7th International Symposium on
Thysanoptera; 2001 Juli 2-7; Reggio Calabria, Itali. Canberra (AU): CSIRO
Entomology. hlm 121-128.
Graham SA, Knight FB. 1967. Principles of Forest Entomology. New York (US):
McGrawHill Book Company.
Kakkar G, Seal DR, Jha VK. 2010. Common blossom trips, Frankliniella schultzei
Trybom (Insecta: Thysanoptera: Thripidae). IFAS Extension. Florida (US):
University of Florida.
Kiers E, Kogel WJ, Balkema BA, Mollema C. 2000. Flower visitation and ovipo-
sition behaviour of Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae) on
cucumber plants. J Applied Entomol. 124:27-32.
Kirk WDJ. 1997. Feeding. Di dalam: Lewis T, (ed.). Thrips and Crop Pests.
Cambridge (GB): CABI. Pp. 119-174.
Kirk WDJ. 2001. The pest and vector from the west: Frankliniella ocidentalis. Di
dalam: Rita M, Laurence M. (ed.). Thrips and Tospoviruses. Proceedings of
the 7th International Symposium on Thysanoptera; 2001 Juli 2-7; Reggio
Calabria, Itali. Canberra (AU): CSIRO Entomology. hlm 33-42.
Klose MJ, Sdoodee R, Teakle DS, Milne JR, Greber RS, Walter GH. 1996.
Transmission of three strains of tobacco streak ilarvirus by different thrips
species using virus infected pollen. J Phytopathol. 144:281-284.
Lewis T. 1997. Pest thrips in perspective. Di dalam: Lewis T, editor. Thrips and
Crop Pest. Cambridge (GB): CABI. Pp.1-13.
Lewis T. 1973. Thrips: Their Biology, Ecology, and Economic Importance. London
(GB): Academic Pr.
Moekasan TK, Prabaningrum L, Adiyoga W, Putter H. 2014. Panduan Praktis
Budidaya Cabai Merah Berdasarkan Konsepsi PHT. Jakarta (ID): PT.
Penebar Swadaya.
Mound LA. 2006. Taxonomy of the insect order Thysanoptera. Thrips. Taxonomy
Workshop No.1; 2006 Juli 3-7; Malaysia. Kuala Lumpur (MY): Institute of
Biological Science, University Malaya Kuala Lumpur.
Mound LA. 2008. Thysanoptera (Thrips) of the world-a checklist [internet].
Canberra (AU): CSIRO Entomology; [diunduh pada 2016 Juni 19]. Tersedia
pada: http://www.ento.csiro.au/thysanoptera/worldthrips.html.
Mound LA, Collins DW. 2000. A Southeast Asian pest species newly recorded
from Europe: Thrips parvispinus (Thysanoptera: Thripidae), its confused
identity and potential quarantine significance. J Entomol. 97:197-200.
Mound LA, Kibby G. 1998. Thysanoptera: An Identification Guide. Ed ke-2.
Canberra (AU): CSIRO Entomology.
Mound LA, Masumoto M. 2005. The genus thrips (Thysanoptera, Thripidae) in
Australia, New Caledonia and New Zealand. Zootaxa 1020:1-64.
Mound La, Palmer JM. 2009. Identification, distribution and host plants of the pest
species of Scirtothrips (Thysanoptera: Thripidae). Bull. Ent. Res. 71 (3):467-
479.doi:10.1017/S0007485300008488.
Moritz G. 1997. Structure, growth and development. Di dalam: Lewis T, editor.
Thrips and Crop Pest. Cambridge (GB): CABI . Pp. 15-63.
Nakahara S, Hilburn DJ. 1989. Annotated check list of the Thysanoptera of
Bermuda. J New York Entomol Soc. 97:251-260.
28

Nault BA, Shelton AM, Kaufmann GJL, Clark ME, Werren JL, La-Rosa CJC,
Kennedy GC. 2006. Reproductive modes in onion thrips (Thysanoptera:
Thripidae) populations from New York onion fields. Environ Entomol. 35(5):
1264-1271.
Prabaningrum L, Moekasan TK. 2007. Identifikasi status hama pada budidaya pa-
prika (Capsicum annuum Var. Grossum) terhadap serangan Thrips
parvispinus Karny (Thysanopthera: Thripidae) di Kabupaten Bandung, Jawa
Barat. J Hort 17(2):161-167.
Price PW. 1997. Insect Ecology. Ed ke-3. New York (US): John Wiley & Sons.
Pourian HR, Mirab M, Alizadeh M, Orosz S. 2009. Study on biology of onion
thrips, Thrips tabaci Lindeman (Thysanoptera: Thripidae) on cucumber (Var.
Sulltan) in laboratory conditions. J Plant Protection Research. (49) 4:390-
394.
Reynaud P, Balmes V, Pizzol J. 2008. Thrips hawaiiensis (Morgan, 1913) (Thysa-
noptera: Thripidae), an Asian pest thrips now established in Europe. Bulletin
OEPP/EPPO Bulletin. 38:155-160.
Rezende JAM, Galleti SR, Pozzer L, Resende RO, de Avila AC, Scagliusi SMM.
1997. Incidence, biological, and serological characteristicts of a tospovirus in
experimental fields of zucchini in Sao Paulo state, Brazil. Fitopatol. 22:92-
95.
Riley DG, Joseph SV, Srinivasan R, Diffie S. 2011. Thrips vectors of tospovirus. J
Integrated Pest Management. 1(2):1-10.doi: 10.1603/IPM10020.
Rockwood LL. 2006. Introduction to Population Ecology. Malden (US): Blackwell
Publishing.
Salmasi H, Hejazi M, Rahnemon AA. 2003. Life cycle of onion thrips, Thrips
tabaci Lind. in insectarium. J Agric Sci 13:91-100.
Samadi B. 1997. Budidaya Cabai Merah Secara Komersial. Yogyakarta (ID): Ya-
yasan Pustaka Nusantara.
Sartiami D. 2008. Kunci identifikasi ordo Thysanoptera pada tanaman pangan dan
hortikultura. J ilmu Pert Indones. 13(2):103-110.
Sartiami D, Mound LA. 2013. Identification of the terebrantian thrips (Insecta,
Thysanoptera) associated with cultivated plants in Java, Indonesia. ZooKeys
306:1-21.doi:10.3897/zookeys.306.5455.
Sastrosiswojo S. 1991. Thrips on vegetables in Indonesia. Di dalam: Talekar NS,
editor. Thrips in Southeast Asia. Proc. Regional Consultation Workshop;
1991 March 13; Bangkok, Thailand. Taiwan (TW): AVRDC. hlm 12-17.
Setiadi. 1994. Jenis dan Budi Daya Cabai Rawit. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Setiadi. 1996. Bertanam Cabai. Ed ke-7. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Setiawati W, Udiarto BK, Muharam A. 2005. Pengenalan dan Pengendalian
Hama-hama Penting pada Tanaman Cabai Merah. Bandung (ID): Balitsa,
Balitbang Pertanian.
Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 2008. Ecology of Insect: Concept and
Application. Ed ke-2. Oxford (GB): John Wiley & Sons.
Subagyo VNO. 2014. Identifikasi thrips (Insecta: Thysanoptera) yang berasosiasi
dengan tanaman hortikultura di Bogor, Cianjur, dan Lembang [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sujitno E, Dianawati M. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul baru ca-
bai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Ba-
29

rat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(4):874-877.doi: 10.13057/


psnmbi/m010438.
Sumarni N, Muharam A. 2005. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Bandung (ID):
Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Talekar NS. 1991. Di dalam: Talekar NS, editor. Talekar NS, editor. Thrips in
Southeast Asia. Proc. Regional Consultation Workshop; 1991 March 13;
Bangkok, Thailand. Taiwan (TW): AVRDC. hlm 61-65.
Tindall HD. 1983. Vegetables in the Tropics. Hongkong (HK): English Language
Book Society (ELBS).
Tarumingkeng RC. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor (ID):
IPB Pr.
Vos JGM, Sastrowiswojo S, Uhan TS, Setiawati W. 1991. Thrips on hot peppers in
Java, Indonesia. Di dalam: Talekar NS, editor. Thrips in Southeast Asia. Proc.
Regional Consultation Workshop; 1991 March 13; Bangkok, Thailand.
Taiwan (TW): AVRDC. Pp. 18-28.
Yadav R, Chang NT. 2014. Effects of temperature on the development and
population growth of the melon thrips, Thrips palmi, on eggplant, Solanum
melongena. J Insect Science. 14 (78):1-9.
Yulianti P. 2008. Spesies Trips (Ordo Thysanoptera) pada tanaman cabai dan ta-
naman sekitarnya di Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bo-
gor.
Zhang ZJ, Wu QJ, Li XF, Zhang YJ, Xu BY, Zhu GR. 2007. Life history of western
flower thrips, Frankliniella occidentalis (Thysan., Thripae), on five different
vegetable leaves. J Appl Entomol. 131(5):347-354.
30

LAMPIRAN
31

Lampiran 1 Petakan pengamatan trips pada pertanaman cabai besar


32

Lampiran 2 Petakan pengamatan trips pada pertanaman cabai rawit


33

Lampiran 3 Data iklim (CH, HH, Suhu udara dan RH) Kabupaten Bogor
November 2015
Unsur klimatologi Satuan Nilai
Curah hujan (CH) mm 775
Hari hujan (HH) hari 16
Suhu ºC 26.5
Kelembaban relatif (RH) % 82
34

Lampiran 4 Biologi T. parvispinus pada tanaman cabai


Lama stadia (hari) Keperidian
Individu Nimfa Imago Lama hidup (telur)
Telur Prapupa Pupa Praovipoisi Siklus hidup
Instar 1 Instar 2 Jantan Betina Jantan Betina
1 5 1 4 1 2 13 1 14 17 39
2 7 1 4 1 2 15 1 16 4 13
3 5 1 3 1 - -
4 5 2 3 1 2 13 4
5 5 1 4 1 2 13 1 14 7 15
6 4 2 3 1 - -
7 5 1 3 2 1 12 3
8 5 1 4 1 2 13 1
9 5 1 3 - - -
10 6 1 4 1 1 13 13
11 5 1 4 1 2 13 2
12 6 2 3 - - -
13 3 1 4 1 2 11 1 12 5 9
14 3 1 4 1 2 11 1 12 6 5
15 5 2 - - - -
16 5 2 2 1 - -
17 5 1 3 1 2 12 1 13 12 23
18 6 2 4 - - -
19 4 1 - - - -
20 5 1 4 1 2 13 1 14 8 8
21 5 1 3 1 2 12 2 14 7 9
22 4 1 4 1 2 8 7
23 4 2 - - - -
24 5 1 - - - -
25 5 1 4 1 2 13 1 14 7 7
Lampiran 4 Biologi T. parvispinus pada tanaman cabai (lanjutan)...
Lama stadia (hari) Keperidian
Individu Nimfa Imago Lama hidup (telur)
Telur Prapupa Pupa Praovipoisi Siklus hidup
Instar 1 Instar 2 Jantan Betina Jantan Betina
26 7 2 4 1 2 16 1 17 8 9
27 4 2 3 1 2 12 6
28 5 1 3 1 2 12 14
29 5 1 3 1 2 12 1 13 8 12
30 5 1 4 1 2 13 1 14 6 17
31 5 1 - - - -
32 4 1 4 1 - -
33 5 1 3 - - -
34 5 1 3 1 2 12 2 14 6 12
35 4 1 4 1 2 12 1 13 7 14
36 5 1 4 1 2 13 1 14 11 23
37 3 1 3 1 2 10 1 11 14 15
38 5 1 4 1 2 13 1 14 7 11
39 5 2 3 1 2 13 1 14 14 36
40 3 3 4 - - -
41 5 2 3 2 2 14 10
42 3 2 4 1 3 13 4
43 5 - - - - -
44 5 2 4 - - -
45 5 2 4 2 2 15 2
46 4 2 4 1 - -
47 5 - - - - -
48 5 1 4 1 - -
49 5 1 3 - - -
50 5 - - - - -
Rataan 4.78 1.36 3.55 1.09 1.97 12.55 12.61 1.11 13.72 6.00 8.56 15.38
SD 0.86 0.52 0.55 0.28 0.33 1.75 1.38 0.32 1.36 4.52 3.55 9.27
SE 0.12 0.08 0.08 0.05 0.06 0.53 0.32 0.08 0.32 1.36 0.84 2.21
35
36

Lampiran 5 Neraca kehidupan T. parvispinus pada tanaman cabai


Umur (x) Peluang hidup (lx) Keperidian (mx) lxmx
0.5 1.000 0.000 0.000
1.5 0.940 0.000 0.000
2.5 0.940 0.000 0.000
3.5 0.900 0.000 0.000
4.5 0.860 0.000 0.000
5.5 0.780 0.000 0.000
6.5 0.740 0.000 0.000
7.5 0.620 0.000 0.000
8.5 0.440 0.471 0.207
9.5 0.420 2.500 1.050
10.5 0.360 4.000 1.440
11.5 0.360 3.000 1.080
12.5 0.340 2.118 0.720
13.5 0.320 0.875 0.280
14.5 0.240 0.333 0.080
15.5 0.140 2.286 0.320
16.5 0.120 0.667 0.080
17.5 0.100 0.800 0.080
18.5 0.100 0.800 0.080
19.5 0.060 2.667 0.160
20.5 0.060 0.667 0.040
21.5 0.040 0.500 0.020
22.5 0.020 3.000 0.060
23.5 0.020 1.000 0.020
24.5 0.020 0.000 0.000
25.5 0.000 0.000 0.000
37

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Aek Nabara, Kabupaten Labuhan Batu Provinsi


Sumatera Utara pada tanggal 24 Mei 1989. Penulis merupakan putera ke sembilan
dari sembilan bersaudara pasangan Mangasa Hutasoit dan Marintan Siburian.
Pendidikan SMA ditempuh di SMA Swasta Aek Nabara, lulus pada tahun 2007.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke program sarjana jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Andalas, lulus pada
tahun 2012. Tahun 2013 penulis diterima di Program Studi Entomologi Program
Pascasarjana IPB, dan pada tahun yang sama penulis memperoleh beasiswa dari
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi
berupa Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Selama
mengikuti program S-2, penulis menjadi anggota kepengurusan Forum Wacana
Entomologi-Fitopatologi IPB pada tahun 2013-2014.
.

Anda mungkin juga menyukai