SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biologi dan Statistik
Demografi Thrips parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae) pada Tanaman
Cabai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
iii
RINGKASAN
iv
spesies yang paling dominan ditemukan menyerang bunga dan daun pada kedua
jenis cabai sebesar 71 % dan 56 %.
Serangga pradewasa T. parvispinus terdiri atas lima fase, yaitu telur, nimfa
instar-1, nimfa instar-2, prapupa dan pupa. Stadium telur berlangsung selama 4.79
hari, nimfa instar-1 selama 1.36 hari, nimfa instar-2 selama 3.54 hari, prapupa se-
lama 1.08 hari, dan pupa selama 1.96 hari. Siklus hidup berlangsung selama 13.68
hari dengan stadium praoviposisi selama 1.11 hari. Lama hidup imago betina ber-
langsung selama 8.55 hari, sedangkan jantan berlangsung selama 6.00 hari. Rataan
keperidian sebanyak 15.33 telur per imago betina sepanjang generasi. Tipe
perkembangan populasi T. parvispinus termasuk dalam kurva sintasan tipe III. La-
ju reproduksi kotor (GRR) T. parvispinus sebanyak 25.60 individu per generasi,
laju reproduksi bersih (Ro) sebanyak 5.71 individu per induk per generasi, laju
pertambahan intrinstik (r) sebesar 0.15 individu per induk per hari, rata-rata masa
generasi (T) selama 11.49 hari dan waktu berlipat ganda selama 4.57 hari.
Kata kunci: cabai besar, cabai rawit, H. gowdeyi, neraca kehidupan, S. dorsalis, T.
hawaiiensis
v
SUMMARY
vi
The pre-adult phase of T. parvispinus consisted of egg, 1st instar nymph, 2nd
instar nymph, pre-pupa, and pupa. The stadia of egg, 1st instar nymph, 2nd instar
nymph, pre-pupa, and pupa was 4.79, 1.36, 3.54, 1.08, and 1.96 days respectively.
The life cycle lasted for 13.68 days with the pre-oviposition periods for 1.11 days.
Female longevity was 8.85 days, and male was 6.00 days. The mean of fecundity
was 15.33 eggs/female. The population development type of T. parvispinus was
type III. The gross reproductive rate (GRR) as much as 25.60 thrips per generation,
net reproductive rate (Ro) was 5.71 offsprings per parent per generation, the
intrinsic rate of increase (r) was 0.15 thrips per parents per day, the average period
of generation (T) was 11.49 day and the doubling time was 4.57 days.
vii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii
BIOLOGI DAN STATISTIK DEMOGRAFI Thrips parvispinus
KARNY (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) PADA
TANAMAN CABAI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nina Maryana, MSi
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
dengan judul “Biologi dan Statistik Demografi Thrips parvispinus Karny
(Thysanoptera: Thripidae) Pada Tanaman Cabai”. Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan Juni 2015 sampai Maret 2016 di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor,
Laboratorium WiSH Batuhulung Bogor, dan Laboratorium Biosistematika Se-
rangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr
Ir Hermanu Triwidodo, MSc dan Dr Ir Ruly Anwar, MSi selaku komisi pem-
bimbing. Dr Ir Nina Maryana, MSi selaku penguji luar komisi yang telah mem-
berikan masukan serta perbaikan pada penelitian dan naskah tesis saya. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang
telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menyelesaikan studi melalui
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN).
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Mangasa Hutasoit,
Ibu Marintan Siburian, Purnama Pasaribu, dan seluruh keluarga atas doa, motivasi,
dan dukungan yang selalu diberikan. Di samping itu, Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada keluarga Entomologi-Fitopatologi 2013, Laboratorium WiSH,
dan seluruh civitas akademika Departemen Proteksi Tanaman yang telah mem-
berikan bantuan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
Tanaman Cabai (Capsicum spp.) 4
Hama Penting Tanaman Cabai 5
Trips (Thysanoptera: Thripidae) 5
Morfologi Trips 5
Biologi Trips 6
Tanaman Inang dan Gejala Serangan 7
Trips pada Tanaman Cabai 7
Statistik Demografi 8
METODE 9
Waktu dan Tempat Penelitian 9
Metode Penelitian 9
Pengamatan Trips pada Tanaman Cabai Besar dan Cabai Rawit 9
Pengamatan Biologi T. parvispinus 11
Analisis Data 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Kondisi Umum Petakan Penelitian 13
Luas Serangan dan Kelimpahan Trips 13
Spesies Trips pada Tanaman Cabai Besar dan Rawit 15
Nisbah Kelamin 17
Karakter Morfologi 17
Biologi T. parvispinus 19
Sintasan dan Keperidian T. parvispinus 22
Statistik Demografi T. parvispinus 23
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 37
xiii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
banyak dibudidayakan oleh petani di dataran rendah sampai dataran tinggi
(Moekasan et al. 2014). Jenis cabai yang umum dibudidayakan di Indonesia, yaitu
cabai besar (Capsicum annuum L.) dan cabai rawit (Capsicum frutescens L.). Buah
cabai yang pedas, sangat populer di masyarakat sebagai penguat rasa makanan.
Ekstrak bubuk cabai digunakan sebagai pengganti lada untuk membangkitkan
selera makan dan penyedap masakan. Selain itu, cabai juga digunakan sebagai
ramuan obat-obatan dalam industri farmasi, industri pewarna makanan, dan
penghasil minyak atsiri (Cahyono 2003).
Luas panen produksi cabai besar di Indonesia mencapai 128.734 ha, dengan
tingkat produksi sebesar 1.074.611 ton, dan produktivitas sebesar 8.35 ton/ha cabai
basah pada tahun 2014 (BPS 2014). Cabai rawit memiliki luas panen produksi
mencapai 134.882 ha, dengan tingkat produksi sebesar 800.484 ton, dan
produktivitas sebesar 5.93 ton/ha (BPS 2014). Data tersebut menunjukkan masih
terdapat kesenjangan antara produktivitas riil ditingkat usahatani dan produktivitas
potensial cabai besar yang dapat mencapai 12-15 ton/ha (Duriat dan Sastrosiswojo
1994) dan cabai rawit dapat mencapai 12-20 ton/ha (Sujitno dan Dianawati 2015).
Produktivitas produksi cabai yang rendah salah satunya disebabkan oleh
adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Saat ini ada 14 jenis hama
penting yang dilaporkan menyerang tanaman cabai di lapangan, salah satunya
adalah trips (Sumarni dan Muharam 2005). Kehilangan hasil akibat serangan trips
pada pertanaman cabai besar dilaporkan mencapai 23% (Vos et al. 1991).
Trips merupakan serangga berukuran kecil dengan panjang tubuh 0.5-5 mm.
Panjang tubuh beberapa spesies di daerah tropika dapat mencapai 14 mm (Borror
et al. 1996; Antonelli 2003). Trips umumnya ditemukan pada bagian bunga dan
daun tanaman (Mound dan Collins 2000). Peranan trips sebagai hama pada tanaman
disebabkan oleh aktivitas makannya (meraut-menghisap). Gejala kerusakan yang
ditimbulkan berupa bercak keperakan yang menjadi kecoklatan pada daun yang
dapat mengganggu proses fotosintesis, sehingga daun mengeriting dan tunas
terminal yang terserang menjadi kerdil (Kirk 2001).
Trips pada tanaman juga dapat berperan sebagai vektor virus (Rezende et al.
1997; Riley et al. 2011). Beberapa jenis virus yang ditularkan oleh serangga ini
diantaranya Tomatto spotted wilt virus (TSWV), Lettuce spotted wilt virus (LSWF),
Pineapple yellolv spotted virus (PYSV), Tip chlorosis, Kromneck diseases, dan
Tobacco mosaic virus (TMV) (Klose et al. 1996; Sartiami 2008).
Vos et al. (1991) menyatakan bahwa, dari hasil survei Vierbergen tentang
hama-hama tanaman cabai di Jawa pada tahun 1988, spesies Thrips parvispinus
Karny ditemukan paling dominan pada pertanaman cabai. Spesies lain yang
ditemukan menyerang pertanaman cabai adalah Thrips hawaiiensis, Thrips florum,
dan Thrips orientalis. Hasil penelitian Subagyo (2014) tentang trips yang
menyerang tanaman hortikultura di wilayah Bogor, Kabupaten Cianjur, dan
Kabupaten Bandung Barat (Lembang) melaporkan bahwa, spesies 1 (Tubulifera:
2
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sampai saat ini ada 14 jenis hama penting yang dilaporkan menyerang
tanaman cabai di lapangan. Kehilangan hasil karena serangan OPT tersebut dapat
mencapai 20-100%. Jenis hama penting pada setiap fase pertumbuhan tanaman
cabai disajikan pada Tabel 1.
Morfologi Trips
Trips merupakan serangga kecil bertubuh ramping, panjang tubuh mencapai
0.5-14 mm (Lewis 1973; Borror et al. 1996; Antonelli 2003). Spesies trips yang
telah teridentifikasi sekitar 6000 spesies yang terbagi ke dalam Subordo Te-
rebrantia dan Tubulifera (Lewis 1973; Mound 2008). Tubuh trips terdiri atas tiga
bagian utama, yaitu: kepala, toraks, dan abdomen (Lewis 1973). Struktur yang khas
pada bagian kepala adalah antena, oseli, dan alat mulut. Antena terdiri atas IV-IX
ruas. Pada sebagian kecil spesies, terdapat perbedaan bentuk dan struktur antena
antara jantan dan betina. Oseli atau mata tunggal umumnya berjumlah tiga dan
6
membentuk pola segitiga (triangle) (Lewis 1973; Borror et al. 1996). Struktur
mulut trips disebut probosis yang berbentuk seperti sebuah kerucut dan terletak di
bagian belakang permukaan bawah kepala (Antonelli 2003). Trips memiliki alat
mulut yang asimetris (mandibel kanan tereduksi) dengan tipe meraut-menghisap.
Stilet pada alat mulut berfungsi untuk meraut jaringan tanaman dan untuk menu-
suk serta menghisap cairan pada sel tanaman (Borror et al. 1996; Antonelli 2003).
Menurut Lewis (1973), struktur yang khas pada bagian toraks adalah sayap.
Jumlah sayap dua pasang dengan bentuk memanjang, berukuran sempit, dan
mempunyai beberapa rangka sayap serta rambut-rambut yang berumbai. Subordo
Terebrantia memiliki struktur sayap yang sejajar satu sama lain, sedangkan pada
Subordo Tubulifera posisi sayap tumpang tindih, sehingga hanya satu pasang saja
yang terlihat. Imago jantan maupun betina bersayap atau tidak bersayap. Beberapa
spesies hanya imago betina saja yang memiliki sayap (Mound 2006).
Subordo Terebrantia memiliki abdomen dengan bagian ujung yang menge-
rucut dan memiliki ovipositor pada ruas VIII dan IX, sedangkan pada Subordo
Tubulifera, ujung abdomen berbentuk seperti tabung tanpa ovipositor. Organ yang
berbentuk seperti tabung ini disebut genital opening organ, yang terletak antara
ruas IX dan X abdomen (Lewis 1973; Borror et al. 1996). Imago jantan biasanya
memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dan warna yang lebih pucat dibanding
imago betina. Abdominal sternit jantan mempunyai satu atau lebih area glandular
di daerah tengah pada beberapa spesies. Terdapat perbedaan terminal abdomen
antara imago jantan dan betina. Betina mempunyai sebuah ovipositor yang terdiri
atas dua pasang katup seperti gergaji, sedangkan pada imago jantan terlihat seperti
aedeagus (Mound 2006).
Biologi Trips
Siklus hidup trips terdiri atas telur, dua instar nimfa yang aktif, prapupa, dan
pupa (Mound dan Kibby 1998; Pourian et al. 2009). Trips dapat menghasilkan
beberapa generasi pertahun dengan tipe perkembangan peralihan antara metamor-
fosis bertahap (paurometabola) dan metamorfosis sempurna (holometabola)
(Borror et al. 2005). Trips menyelesaikan siklus hidupnya sekitar 2-3 minggu
(Ananthakrishnan 1993). Imago betina Subordo Terebrantia meletakkan telur se-
cara tunggal di dalam jaringan tanaman dengan bantuan ovipositor, sedangkan
imago betina Subordo Tubulifera meletakkan telur pada permukaan substrat de-
ngan genital opening organ (Mound 2006). Telur berbentuk seperti ginjal berwar-
na putih pucat. Jumlah telur yang dihasilkan 30-60 telur tergantung pada nutrisi,
suhu, dan kelembaban (Ananthakrishnan 1993).
Nimfa instar-1 berwarna putih pucat atau transparan dengan mata berwarna
merah, berukuran sekitar 0.5 mm. Nimfa instar-1 aktif bergerak dan memakan ja-
ringan tanaman. Fase nimfa instar-1 berlangsung selama 2-3 hari. Nimfa instar-2
berwarna kuning tua keruh, berukuran sekitar 0.8 mm. Fase nimfa instar-2 ber-
langsung selama 3-4 hari (Lewis 1973; Pourian et al. 2009).
Prapupa memiliki kerangka sayap yang pendek sebatas toraks dan antena te-
gak ke atas. Fase prapupa berlangsung selama 1.5-2.5 hari. Pupa memiliki ke-
rangka sayap yang panjang mencapai ujung abdomen, antena tertekuk ke belakang
sepanjang kepala. Fase pupa berlangsung selama 2.0-3.5 hari (Fekrat et al. 2009).
Fase pupa berlangsung pada permukaan bagian tanaman atau jatuh ke tanah
(Ananthakrishnan 1993). Imago jantan biasanya berbentuk lebih tumpul pada ba-
7
gian posterior dengan ukuran tubuh lebih kecil serta warna lebih pucat dibanding
imago betina (Dibiyantoro 1998). Imago paling banyak ditemukan pada bagian
dalam bunga dan daun. Lama hidup imago dapat mencapai 30 hari (Fekrat et al.
2009).
Trips berkembang biak secara seksual dan aseksual (parthenogenesis). Re-
produksi secara partenogenesis terbagi menjadi tiga tipe yang berbeda, yaitu:
arrhenotoky, thelytoky, dan deutherotoky. Arrhenotoky terjadi apabila telur imago
betina yang tidak dibuahi menghasilkan keturunan yang semuanya jantan haploid.
Thelytoky terjadi apabila telur imago betina yang tidak dibuahi menghasilkan
keturunan yang semuanya betina diploid, sedangkan deutherotoky terjadi apabila
telur imago betina yang tidak dibuahi menghasilkan keturunan jantan dan betina
(Lewis 1973; Nault et al. 2006).
Tabel 2Distribusi geografi spesies trips yang berasosiasi dengan tanaman cabai
No Spesies Lokasi
1 Frankliniella cephalica Amerika Serikat
2 Frankliniella intosa Taiwan
3 Frankliniella occidentalis Nederland
4 Gynaikothrips Karny India
5 Haplothrips chinensis Taiwan
6 Hercinothrips femoralis Amerika Serikat
7 S. dorsalis Burma, India, Sri Lanka, Taiwan,
Thailand
8 Taeniothrips simplex Amerika Serikat
9 T. hawaiiensis Taiwan
10 T. palmi Filipina, Jepang, Taiwan
11 T. tabaci Denmark, Libanon, Nederland
India, Indonesia, Jepang, Amerika
Serikat
Sumber: Talekar (1991)
Statistik Demografi
METODE
Metode Penelitian
Gambar 1 Wadah koleksi trips; (a) gelas plastik dan (b) nampan plastik
10
Luas serangan. Luas serangan trips diamati pada tanaman yang sama de-
ngan pengamatan kelimpahan trips. Besaran luas serangan dihitung dengan rumus:
n
L = N x 100 %
L = luas serangan trips
N = jumlah tanaman yang terserang
N = jumlah tanaman contoh yang diamati
Kelimpahan trips. Sampel yang dikoleksi dari lapangan kemudian dihitung
kelimpahannya berdasarkan jenis dan bagian tanaman cabai yang diamati. Imago
dan nimfa trips yang terkumpul dipisahkan dalam penghitungan populasi. Proses
penghitungan populasi dilakukan di bawah mikroskop stereo.
Identifikasi. Trips yang telah dikoleksi dari lapangan, kemudian di-
identifikasi sampai tahap spesies. Sebanyak 31 dan 28 individu imago yang di-
koleksi dari bagian bunga dan daun pada cabai besar serta 32 dan 33 individu imago
yang dikoleksi dari bagian bunga dan daun pada cabai rawit diambil secara acak
untuk diidentifikasi. Identifikasi trips dilakukan dengan cara membuat preparat
mikroskop sementara.
Pembuatan preparat slide mengacu pada metode Mound dan Kibby (1998)
dengan langkah kerja sebagai berikut: imago trips yang dikoleksi dimasukkan ke
dalam cawan kaca berisi alkohol 70% untuk dipisahkan dari kotoran yang terbawa.
Spesimen ditempatkan pada kaca penutup yang berdiameter 13 mm, dengan bagian
ventral tubuh berada di atas, kemudian kedua sayap direntangkan serta posisi antena
diluruskan dengan menggunakan jarum halus hingga posisinya tidak bertumpuk
dan terlihat jelas. Setelah posisi spesimen tertata dengan baik, larutan Hoyer
diteteskan pada kaca penutup, lalu segera ditutup dengan kaca obyek. Setelah kaca
obyek diletakkan, posisi preparat slide segera dibalik, sehingga kaca penutup
berada di atas kaca obyek. Preparat slide kemudian dikeringkan selama satu minggu
pada suhu 35-45 ºC di kotak pengering, kemudian diberi cat kuku berwarna bening
pada setiap pinggiran kaca penutup dan dikeringkan kembali selama satu hari.
Identifikasi trips dilakukan berdasarkan kunci identifikasi dari Mound dan Kibby
(1998), Sartiami dan Mound (2013), dan Subagyo (2014). Jumlah individu per
spesies dari keseluruhan sampel yang diidentifikasi disajikan dalam bentuk tabel
dan diagram lingkaran, dengan rumus:
∑ individu spesies x
Jumlah individu per spesies (%) = ∑ individu semua spesies x 100
Keterangan :
NK = Nisbah kelamin
Σib = Jumlah imago betina pada spesies x
Σij = Jumlah imago jantan pada spesies x
11
Pengamatan lama hidup imago jantan dan betina dilakukan secara terpisah.
Lama hidup imago jantan diamati dengan menginfestasikan imago pada daun cabai
dalam kurungan serangga. Setiap satu helai daun dalam kurungan diinfestasikan
satu individu imago jantan. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga imago jantan
terakhir mati. Pengamatan stadium praoviposisi, stadium oviposisi, siklus hidup,
fekunditas, dan lama hidup imago betina dilakukan dengan menginfestasikan imago
betina pada daun cabai dalam kurungan serangga. Setiap satu helai daun dalam
kurungan diinfestasikan satu individu imago betina. Setiap hari, imago betina di-
pindahkan pada daun cabai yang baru di dalam kurungan baru hingga imago betina
terakhir mati. Daun cabai yang telah diinfestasikan imago betina pada hari se-
belumnya, kemudian diamati setiap hari hingga muncul nimfa instar-1. Mound dan
Masumoto (2005) melaporkan inkubasi telur dapat berlangsung selama 3-7 hari.
Berdasarkan hal tersebut pengamatan dilakukan setiap hari selama tujuh hari.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop portable dinolite AM 2111
Basic dan mikroskop stereo.
Analisis Data
Data pengamatan luas serangan dan kelimpahan trips diperiksa melalui uji-t
dengan bantuan program SPSS 16. Data hasil pengamatan trips dengan umur kohort
selama satu generasi disusun dalam bentuk neraca kehidupan. Neraca kehidupan
dengan umur kohort merupakan neraca kehidupan yang mengikuti perkembangan
serangga dengan umur kohort dimulai dari kemunculan individu pertama sampai
kematian individu terakhir yang bertahan hidup (Begon et al. 2006). Data-data yang
dibutuhkan yaitu: x adalah kelas umur (hari), lx adalah peluang hidup setiap
individu pada umur x, mx adalah fekunditas per individu pada umur x, dan lxmx
adalah banyaknya keturunan yang dilahirkan pada kelas umur x. Penghitungan di-
lanjutkan dengan menggunakan metode Jackknife. Metode Jackknife digunakan
sebagai pendekatan umum untuk melakukan uji hipotesis dan menghitung selang
kepercayaan. Adapun parameter yang diamati yaitu:
1. Laju reproduksi kotor (GRR) = Σ mx
2. Laju reproduksi bersih (Ro) = Σ lxmx
3. Laju pertambahan intrinsik (r) = ln (Ro) / T
4. Rataan masa generasi (T) = Σ xlxmx / Σ lxmx
5. Populasi berlipat ganda (DT) = ln (2) / r
13
Luas serangan imago, nimfa, dan total trips tidak berbeda nyata antar kedua
jenis tanaman cabai (p˃0.05) (Tabel 5 & Tabel 6). Secara umum kelimpahan imago,
nimfa, dan total trips pada bagian bunga dan daun antara kedua jenis cabai ber-
korelasi positif dengan besarnya luas serangan yang terjadi, kecuali luas serangan
imago dan total trips pada bagian bunga. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan
mobilitas imago dan warna bunga. Prabaningrum dan Moekasan (2007) me-
laporkan bahwa, warna dapat menjadi daya tarik bagi trips untuk hinggap, ber-
pindah, dan hidup pada bunga.
Hasil pengamatan kelimpahan trips pada bagian bunga dan daun me-
nunjukkan bahwa kelimpahan imago, nimfa, dan total trips tidak berbeda nyata
antar masing-masing jenis cabai (p˃0.05) (Tabel 5 & Tabel 6). Tabel 5 dan Tabel 6
menunjukkan bahwa trips mempunyai preferensi yang tidak berbeda pada kedua je-
14
nis cabai yang diuji. Hal ini sesuai dengan laporan Vos et al. (1991) yang me-
nyatakan bahwa trips merupakan hama utama pada pertanaman cabai (C. annuum
L. dan C. frutescens L.) di Indonesia.
Populasi imago lebih tinggi dibandingkan nimfa pada bagian bunga dan daun
untuk kedua jenis cabai (Tabel 5 & Tabel 6). Hal ini dipengaruhi lama fase nimfa
yang lebih singkat daripada lama hidup imago (Table 8), sehingga menyebabkan
populasi imago tumpang tindih. Faktor abiotik seperti suhu dan kelembaban pada
saat pengamatan juga memberikan pengaruh. Berger et al. (2008) menyatakan
bahwa, pada suhu yang tinggi imago akan mengalihkan energi yang dimilikinya
untuk memproduksi telur yang lebih banyak, sementara pada suhu rendah imago
akan menimbun energi yang dimilikinya untuk membentuk struktur tubuh.
Kelimpahan imago, nimfa dan total trips yang ditemukan pada bagian bunga
dan daun untuk kedua jenis cabai relatif rendah (Tabel 5 & Tabel 6). Yulianti (2008)
melaporkan bahwa populasi trips dapat mencapai 19.22 individu/tanaman dengan
pengamatan yang dilakukan pada bagian daun muda, daun tua, dan bunga. Selain
faktor biotik, populasi trips di pertanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi abiotik
terutama curah hujan, suhu, dan kelembaban. Pengambilan sampel pada penelitian
ini dilakukan pada bulan November dengan kondisi curah hujan dan kelembaban
yang tinggi (Lampiran 3). Lewis (1973) melaporkan bahwa, curah hujan dapat me-
mengaruhi populasi trips, karena dapat membunuh nimfa dan menekan penyebaran
trips. Hujan merupakan faktor lingkungan yang dapat berpengaruh langsung dan
tidak langsung pada trips. Hujan yang lebat dapat menyebabkan trips jatuh dari
tanaman. Selain itu, hujan dapat merangsang laju pertumbuhan daun baru yang
mengurangi kepadatan trips per daun dan meningkatkan proporsi daun sehat (Kirk
1997).
Tabel 5 Luas serangan dan kelimpahan trips pada bagian bunga cabai besar dan
rawit
Kelimpahan trips Luas serangan (%)
Fase (individu/ranting daun)a
(Rataan ± SE) b Nilai p (Rataan ± SE) Nilai p
BB BR DB DR
Imago 3.92 ± 1.44 3.60 ± 1.21 0.865 68.57 ± 13.87 78.57 ± 12.61 0.604
Nimfa 0.15 ± 0.07 0.20 ± 0.04 0.631 12.87 ± 06.06 20.00 ± 04.87 0.377
Total 4.08 ± 1.51 3.80 ± 1.24 0.886 68.57 ± 13.87 80.00 ± 11.75 0.541
a
BB: Bunga cabai besar, BR: bunga cabai rawit. b SE: standar error
Tabel 6 Luas serangan dan kelimpahan trips pada bagian daun cabai besar dan
rawit
Kelimpahan trips Luas serangan (%)
Fase (individu/ranting daun)a
(Rataan ± SE) b Nilai p (Rataan ± SE) Nilai p
DB DR DB DR
Imago 0.68 ± 0.22 0.47 ± 0.08 0.404 41.42 ± 11.21 37.14 ± 5.65 0.739
Nimfa 0.12 ± 0.06 0.14 ± 0.02 0.844 11.42 ± 05.08 14.28 ± 2.97 0.636
Total 0.81 ± 0.24 0.61 ± 0.08 0.461 48.57 ± 11.21 47.14 ± 3.59 0.907
a
DB: Daun cabai besar, DR: daun cabai rawit. b SE: standar error
15
Vos et al. (1991) menyatakan bahwa, trips menjadi hama utama pada per-
tanaman cabai terutama pada musim kemarau. Menurut Kakkar et al. (2010), suhu
yang panas serta kelembaban yang tinggi menjadi faktor pendukung utama
meledaknya populasi trips di suatu wilayah, sehingga pada musim hujan jumlah
populasi trips sering menurun meskipun kelembaban cukup tinggi dibutuhkan
untuk perkembangan trips secara sempurna. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, pada
suhu yang tinggi imago akan mengalihkan energi yang dimilikinya untuk
memproduksi telur yang lebih banyak, sementara pada suhu rendah imago akan
menimbun energi yang dimilikinya untuk membentuk struktur tubuh (Berger et al.
2008).
Tabel 7 Spesies dan jenis kelamin trips pada tanaman cabai besar dan rawit
Jenis Spesies
cabai Bagian (n) T. parvispinus T. hawaiiensis S. dorsalis H. gowdeyi
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
Besar Bunga 31 5 14 1 1 0 1 0 9
Daun 28 3 15 0 2 0 5 0 3
Rawit Bunga 32 8 18 0 1 0 0 0 5
Daun 33 3 13 1 3 0 5 0 8
n: Jumlah individu imago yang diidentifikasi per bagian dan jenis cabai
16
22%
T. parvispinus
2% T. hawaiiensis
5% S. dorsalis
H. gowdeyi
71%
Gambar 3 Persentase jumlah individu per spesies dari total sampel pada bagian
bunga
18%
T. parvispinus
T. hawaiiensis
16%
56% S. dorsalis
H. gowdeyi
10%
Gambar 4 Persentase jumlah individu per spesies dari total sampel pada bagian
daun
17
Nisbah Kelamin
Imago betina lebih dominan dibandingkan imago jantan dari total sampel
yang diidentifikasi. Perbandingan nisbah kelamin antara jantan dan betina pada T.
parvispinus dan T. hawaiiensis yaitu, 1:3.1 dan 1:3.5. Rasio ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti, tipe reproduksi, nutrisi, suhu, dan kelembaban. Menurut
Graham dan Knight (1967), kualitas pakan yang cukup baik, daya reproduksi betina
yang tinggi, dan spesies partenogenesis cenderung menghasilkan betina yang lebih
tinggi. Moritz (1997) menyatakan bahwa, suhu dan kelembaban dapat memberikan
pengaruh terhadap frekuensi jumlah jantan dalam suatu populasi. Yadav dan Chang
(2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa, proporsi individu betina trips lebih tinggi
pada kisaran suhu 22 ºC dan 31 ºC dibanding pada kisaran suhu 16, 19, 25, dan 28
ºC. Lama hidup imago betina yang lebih panjang dibanding imago jantan (Tabel 8)
juga memberikan pengaruh, sehingga imago betina lebih dominan ditemukan di
lapangan. Spesies S. dorsalis dan H. gowdeyi tidak dapat ditentukan nisbah
kelaminnya, karena semua individu dalam spesies yang diidentifikasi hanya betina.
Karakter Morfologi
Imago betina T. parvispinus berwarna coklat dengan warna kepala dan toraks
lebih pucat dibanding warna abdomen (bicoloured) (Gambar 5a). Terdapat dua
pasang seta oseli pada bagian kepala, seta oseli III muncul pada garis segitiga oseli
dengan ukuran yang lebih panjang dari seta oseli II (Gambar 5b). Antena terdiri
atas VII ruas, ruas ke-III dan ke-IV dengan sense cone yang berbentuk garpu, dan
ruas ke-VII berukuran sangat kecil (Gambar 5c). Venasi pertama dan kedua sayap
memiliki deretan seta yang lengkap (Gambar 5d). Pola retikulasi pada metanotum
medially (seperti kotak dengan ukuran yang serupa). Terdapat sepasang seta pada
bagian tengah metanotum yang muncul di bawah garis atas metanotum (Gambar
5e). Tergit abdomen ruas ke-VIII tidak memiliki deretan microtrichia (Gambar 5f).
0.5 mm
Gambar 5 Karakter morfologi T. parvispinus; (a) imago betina, (b) kepala, (c)
antena, (d) sayap, (e) metanotum, dan (f) tergit abdomen
18
0.5 mm
Gambar 6 Karakter morfologi T. hawaiiensis; (a) imago betina, (b) kepala, (c)
antena, (d) sayap, (e) metanotum, dan (f) tergit abdomen
0.5 mm
Gambar 7 Karakter morfologi S. dorsalis; (a) imago betina, (b) kepala, (c) antena,
(d) sayap, (e) metanotum, dan (f) tergit abdomen
0.5 mm
Gambar 8 Karakter morfologi H. gowdeyi; (a) imago betina, (b) antena, (c) sayap,
dan (d) pronotum
Biologi T. parvispinus
0.5 mm 0.5 mm
Gambar 9 Fase pradewasa T. parvispinus; (a) telur, (b) instar-1, dan (c) instar-2
Fase prapupa dan pupa ditandai dengan adanya kerangka sayap. Prapupa me-
miliki kerangka sayap lebih pendek (sebatas toraks) dan berwarna putih transparan
(Gambar 10a). Pupa memiliki kerangka sayap lebih panjang hingga abdomen.
Kerangka sayap dan tungkai berwarna lebih gelap. Antena tertekuk ke belakang se-
panjang kepala (Gambar 10b).
0.5 mm 0.5 mm
Gambar 10 Fase prapupa dan pupa T. parvispinus; (a) prapupa dan (b) pupa
Imago betina dan jantan dapat dibedakan berdasarkan ukuran dan warna.
Tubuh imago T. parvispinus betina berwarna coklat dengan warna kepala dan to-
raks lebih pucat dibandingkan abdomen (Gambar 11a). Jantan mempunyai ukuran
tubuh lebih kecil, segmen terminal abdomen lebih tumpul, dan keseluruhan tu-
buhnya berwarna kuning (Gambar 11b).
0.5 mm 0.5 mm
Nilai rata-rata masa generasi (T) merupakan nilai lama generasi. Nilai T yang
semakin kecil menunjukkan semakin cepat suatu organisme untuk berkem-
bangbiak. Lama generasi T. parvispinus sebesar 11.49 hari. Doubling time (DT)
atau waktu yang dibutuhkan populasi T. parvispinus untuk berlipat ganda adalah
4.57 hari. Nilai DT yang rendah menunjukkan semakin singkat waktu yang dibu-
tuhkan populasi untuk berlipat ganda. Populasi yang singkat dalam berlipat ganda
lebih cepat menghabiskan sumberdaya dibandingkan populasi dengan waktu berli-
pat ganda yang lebih panjang.
25
Simpulan
1. Luas serangan dan kelimpahan imago, nimfa, dan total trips pada bagian bunga
dan daun tidak berbeda nyata antar kedua jenis cabai.
2. Spesies trips yang ditemukan menyerang pertanaman cabai besar dan cabai
rawit adalah T. parvispinus, T. hawaiiensis, S. dorsalis (Terebrantia: Thri-
pidae) dan H. gowdeyi (Tubulifera: Phlaeothripidae).
3. Tipe metamorfosis T. parvispinus adalah tipe peralihan antara paurometabola
dan holometabola. Tahap perkembangan T. parvispinus terdiri atas telur,
nimfa, prapupa, pupa dan imago. Tipe perkembangan populasi T. parvispinus
termasuk dalam kurva sintasan tipe III. Laju reproduksi kotor T. parvispinus
(GRR) sebanyak 25.60 individu per generasi, laju reproduksi bersih (Ro)
sebanyak 5.71 individu per induk per generasi, laju pertambahan intrinstik (r)
sebesar 0.15 individu per induk per hari, rata-rata masa generasi (T) selama
11.49 hari, dan waktu berlipat ganda selama 4.57 hari.
Saran
Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan informasi dasar untuk mela-
kukan penelitian berikutnya. Perlu kajian tentang pengelolaan tanaman dan vege-
tasi di areal pertanaman cabai guna menekan populasi trips dan mengoptimalkan
peran musuh alami untuk mengendalikan serangga hama ini. Perlu penelitian lebih
lanjut mengenai statistik demografi trips pada beberapa kondisi suhu dan jenis cabai
yang berbeda.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amarasekare KG, Mannion CM, Osborne LS. 2008. Life history of Paracoccus
marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) on four host plant spesies under
laboratory condition. J Environ Entomol. 37(3):630-635.
Ananthakrishnan TN. 1993. Bionomics of thrips. Annu Rev Entomol. 38:71-92.
Antonelli LA. 2003. Thrips [internet]. Washington (US): Washington State
University (WSU) Puyallup; [diunduh pada 2015 Juni 20]. Tersedia pada:
www.puyallup.wsu.edu/plantclinic/resources/pdf/pls36thrips.pdf.
Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology: From Individuals to Eco-
systems. Ed ke-2. Oxford (GB): Blackwell Publishing.
Berger D, Walters R, Gotthard K. 2008. What limits insect fecundity? body size
and temperature dependent egg maturation and oviposition in a butterfly.
Funct Ecol. 22:523-529.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi cabai besar, cabai rawit, dan bawang
merah tahun 2014. Berita resmi satistik. No. 71/08/ Th. XVIII Agustus 2015
[internet]. [diunduh pada 2014 November 24]; Tersedia pada http://www.
bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=55%20
¬ab=66.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed
ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta(ID): Gajah Mada University
Pr. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. An Introduction to The Studies of In-
sects. Ed ke-7. United States of America (US): Brooks/Cole.
Cahyono B. 2003. Cabai Rawit Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Yogyakarta (ID). Kanisius.
Carey JR. 1993. Applied Demography for Biologist With Special Emphasis on In-
sect. New York (US): Oxford University Pr.
Carey JR. 2001. Insect biodemography. Annu Rev Entomol. 46:79-110.
Chen JS, Lo PKC 1987. Diffrential preference of the flower dwelling thrips, Thrips
hawaiiensis (Morgan) (Thysanoptera: Thripidae) to some gladiolus cultivars.
Agric Res China 36 (3):371-326.
Childers CC, Nakahara S. 2006. Thysanoptera (thrips) within citrus orchards in
Florida: Species distribution, relative, and seasonal abundance within trees,
and species on vines and ground cover plants. J Insect Sci. 6:1-19.
Dibiyantoro ALH. 1994. Management of Thrips tabaci Lind with special reference
on garlic (A. sativum L.) PhD. 3rd-Year Report. 1994. Univ.Newcastle (GB).
23-25.
Dibiyantoro ALH. 1998. Thrips pada Tanaman Sayuran. Bandung (ID): Balai Pe-
nelitian Tanaman Sayuran.
Duriat AS. Sastrosiswojo S. 1994. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu pada Ag-
ribisnis Cabai. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Fekrat L, Shishehbor P, Manzari S, Nejadian ES. 2009. Comparative development,
reproduction and life table parameters of three populations of Thrips tabaci
(Thysanoptera: Thripidae) on onion and tobacco. J Entomol Soc Iran.
29(1):11-23.
27
Nault BA, Shelton AM, Kaufmann GJL, Clark ME, Werren JL, La-Rosa CJC,
Kennedy GC. 2006. Reproductive modes in onion thrips (Thysanoptera:
Thripidae) populations from New York onion fields. Environ Entomol. 35(5):
1264-1271.
Prabaningrum L, Moekasan TK. 2007. Identifikasi status hama pada budidaya pa-
prika (Capsicum annuum Var. Grossum) terhadap serangan Thrips
parvispinus Karny (Thysanopthera: Thripidae) di Kabupaten Bandung, Jawa
Barat. J Hort 17(2):161-167.
Price PW. 1997. Insect Ecology. Ed ke-3. New York (US): John Wiley & Sons.
Pourian HR, Mirab M, Alizadeh M, Orosz S. 2009. Study on biology of onion
thrips, Thrips tabaci Lindeman (Thysanoptera: Thripidae) on cucumber (Var.
Sulltan) in laboratory conditions. J Plant Protection Research. (49) 4:390-
394.
Reynaud P, Balmes V, Pizzol J. 2008. Thrips hawaiiensis (Morgan, 1913) (Thysa-
noptera: Thripidae), an Asian pest thrips now established in Europe. Bulletin
OEPP/EPPO Bulletin. 38:155-160.
Rezende JAM, Galleti SR, Pozzer L, Resende RO, de Avila AC, Scagliusi SMM.
1997. Incidence, biological, and serological characteristicts of a tospovirus in
experimental fields of zucchini in Sao Paulo state, Brazil. Fitopatol. 22:92-
95.
Riley DG, Joseph SV, Srinivasan R, Diffie S. 2011. Thrips vectors of tospovirus. J
Integrated Pest Management. 1(2):1-10.doi: 10.1603/IPM10020.
Rockwood LL. 2006. Introduction to Population Ecology. Malden (US): Blackwell
Publishing.
Salmasi H, Hejazi M, Rahnemon AA. 2003. Life cycle of onion thrips, Thrips
tabaci Lind. in insectarium. J Agric Sci 13:91-100.
Samadi B. 1997. Budidaya Cabai Merah Secara Komersial. Yogyakarta (ID): Ya-
yasan Pustaka Nusantara.
Sartiami D. 2008. Kunci identifikasi ordo Thysanoptera pada tanaman pangan dan
hortikultura. J ilmu Pert Indones. 13(2):103-110.
Sartiami D, Mound LA. 2013. Identification of the terebrantian thrips (Insecta,
Thysanoptera) associated with cultivated plants in Java, Indonesia. ZooKeys
306:1-21.doi:10.3897/zookeys.306.5455.
Sastrosiswojo S. 1991. Thrips on vegetables in Indonesia. Di dalam: Talekar NS,
editor. Thrips in Southeast Asia. Proc. Regional Consultation Workshop;
1991 March 13; Bangkok, Thailand. Taiwan (TW): AVRDC. hlm 12-17.
Setiadi. 1994. Jenis dan Budi Daya Cabai Rawit. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Setiadi. 1996. Bertanam Cabai. Ed ke-7. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Setiawati W, Udiarto BK, Muharam A. 2005. Pengenalan dan Pengendalian
Hama-hama Penting pada Tanaman Cabai Merah. Bandung (ID): Balitsa,
Balitbang Pertanian.
Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 2008. Ecology of Insect: Concept and
Application. Ed ke-2. Oxford (GB): John Wiley & Sons.
Subagyo VNO. 2014. Identifikasi thrips (Insecta: Thysanoptera) yang berasosiasi
dengan tanaman hortikultura di Bogor, Cianjur, dan Lembang [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sujitno E, Dianawati M. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul baru ca-
bai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Ba-
29
LAMPIRAN
31
Lampiran 3 Data iklim (CH, HH, Suhu udara dan RH) Kabupaten Bogor
November 2015
Unsur klimatologi Satuan Nilai
Curah hujan (CH) mm 775
Hari hujan (HH) hari 16
Suhu ºC 26.5
Kelembaban relatif (RH) % 82
34
RIWAYAT HIDUP