Anda di halaman 1dari 12

ARTIKEL

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

EFEK HEMODIALISIS PADA KUALITAS HIDUP


PENDERITA GINJAL KRONIK
Dosen Pengampu : Dr.drg.Henry Setyawan S.,MS

DISUSUN OLEH :
ANNISA FITRIYANI
25010116120009
A-2016
\

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
GINJAL KRONIK

Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang bersifat progesif dan
irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga mengakibatkan retensi urea
dan sampah nitrogen lain dalam darah (Brunner & Suddarth, 2001). Pada gagal ginjal kronik
terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan
atau lebih yang irreversibel dan didasari oleh banyak faktor (Arora, 2009).

PREVALENSI

Menurut data dari United States Renal Data System (USRDS) tahun 2014 prevalensi
kejadian gagal ginjal kronik di Amerika Serikat dari tahun ke tahun semakin meningkat
tercatat pada tahun 2011 ada 2,7 juta jiwa dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 2,8 juta
jiwa. Di Indonesia prevalensi kejadian gagal ginjal kronik melalui data dari Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yaitu 0,2%. Kelompok umur ≥ 75 tahun mempunyai prevalensi
kejadian gagal ginjal kronik lebih tinggi dari pada kelompok umur lainnya yaitu 0,6%.
Prevalensi kejadian gagal ginjal kronik menurut jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dengan
angka 0,3% sedangkan perempuan hanya 0,2%. Dan prevalensi kejadian gagal ginjal kronik
pada Provinsi Jawa Tengah yaitu 0,3% (Pernefri, 2012).

PENYEBAB GAGAL GINJAL KRONIK

Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru menurut data
yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) pada tahun 2011
hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada urutan pertama sebesar 34%, urutan kedua
yaitu diabetes melitus sebesar 27% dan selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%,
nefropati obstruksi sebesar 8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik sebesar 1%,
penyebab yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab lainnya sebesar 9%.Berbeda pada
tahun 2000, penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia urutan pertama
dan kedua yaitu glomerulonefritis sebesar 46,4% dan diabetes melitus sebesar 18,7%,
selanjutnya ada obstruksi dan infeksi sebesar 12,9%, hipertensi sebesar 8,5% dan penyebab
lainnya sebesar 13,7% (Asriani, 2012).

FAKTOR RISIKO GAGAL GINJAL KRONIK

1. Hubungan antara hipertensi dengan kejadian gagal ginjal kronik


Peningkatan tekanan dan regangan yang berlangsung kronis pada arteriol kecil dan
glomeruli akan menyebabkan pembuluh ini mengalami sklerosis. Lesi – lesi sklerotik
pada arteri kecil, arteriol dan glomeruli menyebabkan terjadinya nefrosklerosis. Lesi
ini bermula dari adanya kebocoran plasma melalui membran intima pembuluh-
pembuluh ini, hal ini mengakibatkan terbentuknya deposit fibrinoid di lapisan media
pembuluh, yang disertai dengan penebalan progresif pada dinding pembuluh yang
nantinya akan membuat pembuluh darah menjadi vasokonstriksi dan akan menyumbat
pembuluh darah tersebut (Guyton and Hall, 2007). Penyumbatan arteri dan arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron
rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik (Budiyanto, 2009).

2. Hubungan antara diabetes melitus dengan kejadian gagal ginjal kronik

Tingginya kadar gula dalam darah pada penderita diabetes melitus membuat ginjal
harus bekerja lebih keras dalam proses panyaringan darah, dan mengakibatkan
kebocoran pada ginjal. Awalnya, penderita akan mengalami kebocoran protein
albumin yang dikeluarkan oleh urine, kemudian berkembang dan mengakibatkan
fungsi penyaringan ginjal menurun. Pada saat itu, tubuh akan mendapatkan banyak
limbah karena menurunnya fungsi ginjal. Apabila hal ini berlangsung terus menerus
maka akan mengakibatkan terjadinya gagal ginjal kronik (Tjahjadi, 2002).

3. Hubungan antara nefropati obstruksi dengan kejadian gagal ginjal kronik

Penyebab umum obstruksi adalah jaringan parut ginjal atau uretra, neoplasma, batu,
hipertrofi prostat, kelainan kongenital pada leher vesika urinaria dan uretra, dan
penyempitan uretra. Obstruksi aliran urine yang terletak di sebelah proksimal dari
vesika urinaria dapat menyebabkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal
dan ureter. Hal ini dapat menyebabkan atrofi hebat pada parenkim ginjal yang pada
akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal kronik (Wilson, 2005).

4. Hubungan antara pielonefritis kronik dengan kejadian gagal ginjal kronik

Pielonefritis kronik merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik.
Diperkirakan bahwa kerusakan ginjal pada pielonefritis kronik disebabkan oleh
refluks urine terinfeksi ke dalam ureter yang kemudian masuk ke dalam parenkim
ginjal (refluks intrarenal). Pielonefritis kronik karena refluks vesikoureter merupakan
salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik (Wilson, 2005).

MANIFESTASI KLINIS GAGAL GINJAL KRONIS

Pada gagal ginjal kronis, setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari dan usia pasien (Brunner & Suddarth, 2002).

Menurut Nursalam (2006), manifestasi klinis yang terjadi :

a. Gastrointestinal : ulserasi saluran pencernaan dan perdarahan.

b. Kardiovaskuler : hipertensi, perubahan EKG, perikarditis, efusi pericardium,


tamponade pericardium.

c. Respirasi : edema paru, efusi pleura, pleuritis.


d. Neuromuskular : lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi, gangguan muskular,
neuropati perifer, bingung dan koma.

e. Metabolik/ endokrin : inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon seks


menyebabkan penurunan libido, impoten dan ammenore.

f. Cairan-elektrolit : gangguan asam basa menyebabkan kehilangan sodium sehingga


terjadi dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia, hipokelemia.

g. Dermatologi : pucat, hiperpigmentasi, pluritis, eksimosis, uremia frost.

h. Abnormal skeletal : osteodistrofi ginjal menyebabkan osteomalaisia.

i. Hematologi : anemia, defek kualitas flatelat, perdarahan meningkat.

j. Fungsi psikososial : perubahan kepribadian dan perilaku serta gangguan proses


kognitif.

STADIUM GAGAL GINJAL

Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi tiga stadium
(Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :

a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal

Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes
pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.

b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal

Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak.
GFR besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai
meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau seting berkemih di malam hari
sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.

c. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia

Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar
200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal.
Kreatinin serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala
yang timbul karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis
cairan dan elektrolit dalam tubuh, yaitu : oliguri karena kegagalan glomerulus,
sindrom uremik.

Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) (dalam Desita,


2010), gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan tahapan penyakit dari
waktu ke waktu sebagai berikut :

Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)

Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)

Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)

Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)

Stadium 5 : gagal ginjal kronis (GFR <15 ml/min/1,73 m2)

Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan ginjal
termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009 dalam
Desita, 2010).
HEMODIALISIS

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage
renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan
Hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Menurut Nursalam (2006) Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh


akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir
gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat. Bagi
penderita gagal ginjal kronis, Hemodialisis akan mencegah kematian. Namun
demikian, Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan
tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas
hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2002).

PRINSIP YANG MENDASARI KERJA HEMODIALISIS

Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan
lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan
yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati
tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran
limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel
tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit
yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient
ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan
Madjid, 2009).

PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS

Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya


memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit
ginjal yang diderita pasien tetapi Hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma, 2008 dalam Desita, 2010).
Pasien Hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap
dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya
kematian pada pasien Hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari
dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium
diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan
tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi.
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah
insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq.hari guna mengendalikan
tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang
selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka
selama periode di antara dialisis akan terjad kenaikan berat badan yang besar
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

KUALITAS HIDUP

Mc Carney & Lason (1987, dalam Yuwono, 2000) mendefinisikan kualitas hidup
sebagai derajat kepuasan hati karena terpenuhinya kebutuhan ekternal maupun
persepsinya. WHO (1994, dalam Desita, 2010) kualitas hidup didefinisikan sebagai
persepsi individu sebagai laki-laki atau perempuan dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya
dan sistem nilai dimana mereka tinggal, dan hubungan dengan standart hidup,
harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini dipadukan secara lengkap
mencakup kesehatan fisik, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan
hubungan mereka dengan segi ketenangan dari lingkungan mereka.

Menurut Suhud (2009) kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien kendati penyakit
yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosial maupun
spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagian dirinya
maupun orang lain. Kualitas hidup tidak terkait dengan lamanya seseorang akan hidup
karena bukan domain manusia untuk menentukannya. Untuk dapat mencapai kualitas
hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang pasien terhadap penyakit
gagal ginjal kronik (GGK) itu sendiri.
EFEK HEMODIALISIS PADA KUALITAS HIDUP PASIEN GAGAL GINJAL
KRONIS

Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya umur. Penderita


GGK usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik oleh karena
biasanya kondisi fisiknya yang lebih baik dibanding yang berusia tua. Penderita yang
dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda
mempunyai harapan hidup yang tinggi, sebagai tulang punggung keluarga, sementara yang
tua menyerahkan keputusan pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka
merasa sudah tua, capek hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang motivasi dalam
menjalani terapi haemodialisis. Usia juga erat kaitannya dengan prognose penyakit dan
harapan hidup mereka yang berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai
komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila dibandingkan dengan
yang berusia dibawah 40 tahun (Indonesiannursing, 2008).

Penderita gagal ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis kronis sering mengalami
protein kalori malnitrisi. Malnutrisi akan menyebabkan defisiensi respon imun, sehingga
penderita mudah mengalami infeksi dan septikemia. Ternyata semakin jelek status nutrisi
semakin jelek kualitas hidup penderita gagal ginjal kronis. Malnutrisi pada gagal ginjal
kronis disebabkan oleh toksin uremi dan oleh prosedur hemodialisis.

Anoreksi pada penderita gagal ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis kronis
sering terjadi, hal ini disebabkan oleh hemodialisis yang kurang memadai, sehingga
toksin uremi masih menumpuk di dalam tubuh. Selain itu, toksik uremi juga memacu
pemecahan protein dan menghambat sintesis protein. Uremi menyebabkan aktivitas
hormon anabolik seperti insulin dan somatomedin menurun, sedang hormon katabolik
seperti glukagon dan hormon paratiroid kadarnya meningkat. Adanya kelainan
asam amino akan menyebabkan sintesis protein terganggu.

Pada saat dilakukan hemodialisis ternyata banyak protein dan vitamin yang
terbuang bersama dialisat. Selama hemodialisis penderita dapat kehilangan 10-12 gr
asam amino, karena masuk ke dalam cairan dialisat dan toksin lainnya. Sepertiga
asam amino yang terbuang tadi adalah asam amino esensial. Disamping apabila
sewaktu hemodialisis digunakan cairan dialisat yang tidak mengandung glukosa, maka
setiap kali hemodialisis akan dikeluarkan glukosa sebanyak 20-30 gr, masuk ke dalam
dialisat untuk kemudian dibuang keluar. Oleh karena itu penderita gagal ginjal kronis yang
dilakukan hemodialisis kronis, wajar bila mengalami malnutrisi protein dan kalori yang
telah dilaporkan banyak peneliti. Penderita gagal ginjal kronis emakin lama menjalani
hemodialisis akan semakin rendah kualitas hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

Arora, P. Chronic Renal Failure; 2009. Available link URL: http://www.emedicinehealth.com

Arthur C. Guyton, John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC.

Asriani. Hubungan Hipertensi dengan kejadian Gagal Ginjal di Rumah Sakit Ibnu Sina
Makassar Periode Januari 2011-Desember 2012. Makassar: Universitas Hasanuddin
Makassar; 2012. Available link URL: http://library.stikesnh.ac.id /files/disk1/10/elibrary
% 20stikes%20nani%20hasanuddin--asrianibur-452-1-42141631-1.pdf

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)


2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. Available link URL:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf

Brunner & Suddarth.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II. Edisi 8.
Jakarta: EGC

Budiyanto, Cakro. 2009.Hubungan Hipertensi dan Diabetes Mellitus terhadap Gagal Ginjal
Kronik. Kedokteran Islam

Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 5th Annual Report of IRR; 2012. Available link URL:
http://www.pernefriinasn.org/Laporan/5th%20Annual%20Report%20Of%20IRR
%202012.pdf

Tjahjadi, Vicynthia. 2002. Mengenal, Mencegah, Mengatasi Sillent Killer Diabetes.


Semarang: Pustaka Widyamara

United States Renal Data System. ADR Reference Tables 2014: All CKD Tables; 2014.
Available link URL: http://www.usrds.org/reference.aspx

Wilson, L.M. 2005. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Price, S.A. & L.M. Wilson. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai