Anda di halaman 1dari 11

OTONOMI KHUSUS BAGI RAKYAT ACEH

MENURUT PERSPEKTIF UTILITIS

OLEH: WAHYU IBRAHIM (NPM.2103301010010)


DOSEN PENGAMPU: DR. YUSRI,S.H,M.H.

Sebagai tugas dan kajian bersama pada Mata Kuliah Seminar Rumpun Ilmu
Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH

2022
2

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem otonomi daerah mengakui dan

menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang

diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah bersifat

khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus atau

daerah istimewa ini sesungguhnya merupakan bentuk desentralisasi asimetris sebagai pola

relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah

menerima wewenang, lembaga, dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain.

Desentralisasi asimetris lahir dengan asumsi karakteristik Indonesia yang beragam akan

sulit hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah. Hal inilah yang melahirkan adanya

otonomi khusus di Aceh, Papua, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Dalam gambaran singkat

dan sederhana, pemberian otonomi khusus untuk Aceh didasari pada pertimbangan

adanya konflik yang berkepanjangan akibat rasa keadilan yang tidak merata yang

dialami oleh masyarakat di Aceh.

Otonomi khusus merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah yang

ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk menyelenggarakan otonomi khusus untuk

mengatur dan mengurus urusan sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat

yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Sebagai pelaksanaan dan merupakan hal yang paling substansial dalam

pelaksanaan otonomi khusus yaitu adanya “feedback” dari pemerintah pusat

berupa pemberian Dana alokasi khusus (DAK) dialokasikan dari APBN kepada

Aceh (DOKA) untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah pusat
3

atas dasar prioritas nasonal, dan untuk mendanai kegiatan khusus yang diusulkan

Aceh. Hal sebagaimana dimaksud secara umum diatur di dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan secara khusus

diatur dalam Qanun Nomor 1 Tahun 2018 perubahan dari Qanun Nomor 2 Tahun

2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil minyak dan gas

bumi dan penggunaan dana otonomi khusus, dengan harapan menjadi stimulus

peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Besarnya dana yang digelontorkan pemerintah pusat kepada Aceh

kenyataannya belum diikuti dengan kesiapan pemerintahan Aceh berkenaan

dengan kesiapan perencanaan, kelembagaan, sumber daya manusia (SDM) dan

pengawasan. Realitas lainnya bahwa meski pemerintah daerah adalah subsistem

dari pemerintahan nasional, namun sinergi dan harmonisasi antara kebijakan

pusat dan daerah kurang tampak. Munculnya beberapa permasalahan dalam

pengelolaan DOKA dikarenakan minimnya sinergi, koordinasi, bimbingan dan

pengawasan antara pemerintahan daerah, dan juga disebabkan oleh faktor-faktor

yang ada di daerah itu sendiri. Dengan demikian, setelah hampir 14 tahun dana

otsus untuk Aceh, kemajuan pembangunan daerah Aceh belum sepenuhnya

tercapai, bahkan kecenderungan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh

pimpinan daerah berupa menurunnya integritas, minimnya inovasi, serta komitmen

untuk menyukseskan otonomi khusus itu sendiri.


4

PERMASALAHAN

1. Apakah otonomi khusus oleh pemerintah Aceh sudah memberikan

kemanfaatan bagi rakyat aceh di tinjau dari segi perspektif utilitis ?

2. Apakah penggunaan/pelaksanaan dana otonomi khusus oleh Pemerintah

Aceh sudah dirasakan manfaatnya oleh Rakyat Aceh?

PEMBAHASAN

Utilitarianisme klasik aliran ini berasal dari tradisi pemikiran etika inggris yang di

kemudian hari berkembang luas ke negara-negara lain. Aliran ini dipelopori oleh

tokoh empirisme inggris David Hume (1711-1776) dan mendapatkan bentuk yang

lebih matang oleh jeremy bentham (1748-1832) dalam karya nya introduction to

principles of moral and legislation (1789). Bentham mengemukakan prinsip

utilitarian yang menyebutkan, the greatest happines of the greates number

(kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang). Sumber-sumber kesenangan

dapat di ukur dan di perhitungkan menurut intentitas dan lamanya perasaan yang

ditimbulkan, kepastian akan timbulnya perasaan itu, jauh dekatnya perasaaan,

kemurnian, jangkauan perasaan, dan sebagainya.

Ide dasar utilitarianisme sangat sederhana yaitu yang benar untuk dilakukan

adalah yang menghasilkan kebaikan terbesar. “kemanfaaatan atau prinsip


5

kebahagiaan terbesar menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung

memperbesar kebahagiaan ; keliru jika cenderung menghasilkan berkurangnya

kebahagiaan. Yang dimaksudkan dengan kebahagiaan adalah kesenangan dan tidak

ada rasanya sakit “

Jika menarik benang merah mengenai perspektif utulitarianisme dalam aspek

otonomi daerah, tentu saja harapan yang sangat besar diharapkan oleh masyarakat

aceh adalah tercapainya kemanfaatan, kesejahteraan dan kebahagian secara merata

pada seluruh lapisan masyarakat. Namun secara faktual setelah hampir 17 tahun dana

otsus untuk Aceh, kemajuan pembangunan daerah Aceh belum sepenuhnya tercapai,

bahkan kecenderungan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan daerah

berupa menurunnya integritas, minimya inovasi pemerintah daerah, serta menurunnya

komitmen untuk menyukseskan otonomi khusus itu sendiri.

Perebutan pengelolaan dan penggunaan dana otsus oleh para elite Aceh

menjadi tak terhindarkan. Dalam konteks yang lebih besar perebutan dana otsus

terjadi di antara penguasa provinsi dan kabupaten. Masing-masing pihak memiliki

argumentasi politik dan hukum yang berkisar di dalam kata desentralisasi. Di satu

pihak desentralisasi diklaim berada di provinsi, di pihak lain diklaim berada di

kabupaten/kota. Di sini terjadi tarik-menarik kepentingan dengan alasan pembenaran

untuk kesejahteraan rakyat. Banyaknya paket-paket proyek pembangunan sengaja

dibuat di bawah ketentuan. Proyek pembangunan didominasi oleh proyek yang

nilainya dibawah ketentuan, sulit diharapkan adanya proyek-proyek strategis yang


6

bisa mempercepat tumbuhnya perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Proyek-

proyek tersebut tidak memiliki daya bangkit dan peningkatan perekonomian.

Penerimaan DOKA yang besar dirasakan masih belum mampu bagi Aceh

untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dan pengentasan kemiskinan

dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Fakta ini dapat ditunjukkan berdasarkan

hasil kajian Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh pada September 2020

bertambah sebanyak 19 ribu orang atau 833,91 ribu dibanding Maret 2020 yang

sebesar 814,91 ribu orang, sehingga mengungkapkan bahwa meningkatnya

penerimaan dana Otsus untuk Provinsi Aceh belum berpengaruh pada perbaikan

kesejahteraan rakyat.

Dana otonomi khusus yang diberikan sejak 2008 hingga 2020 sudah mencapai

triliunan (Rp 81 triliun) namun angka kemiskinan di Aceh cenderung masih tinggi.

Hal ini merupakan cerminan tidak berhasilnya pelaksanaan otonomi khusus dalam

kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh berupa pemberian

DOKA, sehingga tolak ukur yang nyata adalah keadaan masyarakat yang sangat jauh

dari kesejahteraan,kemanfaatan, dan kebahagiaan. Permasalahan korupsi tidak ada

perbedaan baik sebelum maupun sesudah perdamaian. Eks pejuang GAM yang

menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan maupun di parlemen belum

memberi kontribusi yang berarti dalam pelaksanaan otonomi khusus yang

mengedepankan peningkatan kesejahtaraan bagi masyarakat Aceh. Bahkan

masyarakat Aceh harus menerima kenyataan dengan penuh kekecewaan karena


7

orang-orang selama berkuasa cenderung mengedepankan kepentingan kelompok dan

orang-orang terdekat saja.

Sungguh ironis menyaksikan perilaku para elit yang dahulunya katanya

memperjuangkan ketidak-adilan di Aceh, namun kini bahkan menciptakan “ketidak-

adilan” baru terhadap rakyat Aceh (kasus factual berupa pemotongan anggaran untuk

rumah kaum dhuafa Tahun 2021). Menurut mill keadilan adalah istilah yang

diberikan kepada aturan-aturan yang melindungi klaim-klaim yang di anggap

essensial bagi kesejahteraan masyarakat-klaim klaim untuk memegang janji,

diperlukan dengan setara, dan sebagainya. Klaim-klaim seperti itu adalah pokok

pikiran bagi hitung-hitungan utiliatarian. Kalkulasi ini dapat dilakukan jika ‘kebaikan

terbesar’ menuntutnya. Dengan cara yang sama, konflik apapun di antara aturan-

aturan keadilan yang melindungi klaim tersebut juga menjadi pokok pikiran bagi

hitung hitungan utilitarian, dan bisa dikendalikan. Keadilan bergantung pada asas

kemanfaatan dan tidak bertentangan dengan asas ini. Namun yang terpenting keadilan

bukanlah sui generis karena dia bergantung sepenuhnya pada kemanfaatan sosial

sebagai fondasi nya karena itu lah, semua aturan keadilan, termasuk kesetaraan, bisa

tunduk pada tuntutan tuntutan kemanfatan “setiap orang yakin kalau kesetaraan

adalah asas keadilan, kecuali dia berpikir metodenya mensyaratkan ketidaksetaraan”.

Apapun yang membawa kebaikan terbesar bagi semua nya dapat disebut “adil”.
8

KESIMPULAN

1. Penerapan Otonomi Khusus Aceh oleh Pemerintah Aceh yang diberikan oleh

Pemerintah pusat begitu kental akan nuansa tarik ulur atara pusat dan daerah,

kepentingan yang begitu kuat, politik dan nuansa konflik yang

berkepanjangan sehingga fokus untuk mensejahterakan rakyat dan

mewujudkan kebahagiaan dalam tataan pemerintah cenderung gagal. Jika di

lihat dari perspektif utilitarianisme maka perwujudan yang di harapkan adalah

kesunyataan yang tidak diharapkan oleh masyarakat dan hanya kebohongan

belaka.

2. Penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tidak pernah benar-benar

memberikan manfaat bagi Rakyat Aceh, DOKA hanya dirasakan oleh

segelintir elit. Banyak proyek-proyek yang dibiayai dana ini tak tepat sasaran,

mubazir dan tak terukur penggunaannya. Dana yang seharusnya dipergunakan

untuk pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur,

pembangunan sumber daya manusia lewat kesehatan dan pendidikan sering

kali dikucurkan tanpa target, sehingga pemberian DOKA dalam bingkai

Otonomi Khusus yang tidak didasarkan atas keinginan masyarakat Aceh tidak

akan memberikan penguatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.


9

SARAN

1. Sebagai daerah yang sudah mandiri untuk mengatur dan melaksanakan tugas

dan tanggung jawab dalam bingkai otonomi, Pemerintah Aceh harus mampu

menyelesaikan masalah yang erat kaitannya dengan kesejahteraan sehingga

terwujudnya kemanfaatan bagi Rakyat Aceh. Dengan mengutamakan

kepentingan masyarakat daripada kepentingan pihak-pihak maupun

kepentingan pribadi, ataupun kepentingan kelompok tertentu sehingga

diharapkan mampu untuk mewujudkan semangat dan tujuan dari pemberian

otonomi khusus ini. Disamping itu, pemilihan kandidat anggota dalam

pemerintahan maupun legislatif seyogyanya berorientasi pada latar belakang

dan pendidikan kandidat yang mumpuni, serta moral dan visi yang ingin

meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik, bukan pada kekerabatan

maupun kepentingan tertentu, sehingga dapat terbentuknya suatu tatanan

pemerintahan yang berorientasi untuk mensejahterakan masyarakat Aceh.

2. Seyogyanya Pemerintah Aceh bersama legislatif, akademisi, organisasi non-

pemerintahan, aparat penegak hukum dan tetua daerah ini dengan

mengenyampingkan kepentingan-kepentingan elit tertentu, harus duduk

bersama untuk menkonsolidasikan hal-hal yang bertujuan supaya penggunaan

Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tepat sasaran dan dapat benar-benar

dirasakan manfaatnya bagi Rakyat Aceh. DOKA harus dimanfaatkan lebih


10

maksimal lagi untuk kemajuan masyarakat, pembangunan daerah dan

perbaikan kualitas hidup bagi Rakyat Aceh secara komunal.


11

Anda mungkin juga menyukai