Anda di halaman 1dari 231

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

Kata Sambutan
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Tahun 2007 ini merupakan tahun ketiga dalam pemerintahan di


bawah kepemimpinan saya. Sebagaimana dua tahun sebelumnya, tekad
kita untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat, dengan jalan
memantapkan fokus pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terus
kita konsolidasikan. Karena itu, sebagaimana pada tahun 2006 yang lalu,
tahun 2007 ini pun, Pemerintah kembali menyusun dan menerbitkan
Buku Pegangan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pem
bangunan Daerah. Mengingat pembangunan daerah merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional, maka Pemerintah terus
memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kelangsungan
dan keberhasilan pembangunan di daerah. Perspektif inilah yang
mendasari penyusunan buku ini, dan diformulasikan ke dalam tema
Pengembangan Ekonomi Daerah dan Sinergi Kebijakan Investasi Pusat
dan Daerah.
Pemerintah Daerah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penyelenggara
pemerintahan, sekaligus sebagai penyelenggara utama pembangunan
di daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, Pemerintah
Daerah berperan menata kehidupan masyarakat dalam kerangka
regulasi. Sedangkan sebagai penyelenggara utama pembangunan
di daerah, Pemerintah Daerah berperan sebagai pelaksana dan
penanggung jawab utama atas keseluruhan proses pembangunan yang
dilaksanakan di daerah, yaitu dalam kerangka investasi, penyediaan
barang dan pelayanan publik. Semua ini harus dilakukan secara benar,
sehingga tujuan desentralisasi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat,
pemerataan, keadilan dan akuntabilitas pemerintahan, dapat dicapai
secara terukur.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

Dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi di daerah yang


lebih berkualitas dan berkelanjutan, perekonomian daerah perlu
didukung dengan investasi di sektor-sektor produktif dan jasa. Saat
ini, kita merasakan betapa pentingnya peranan investasi swasta,
mengingat keterbatasan kapasitas fiskal pemerintah (Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota). Keterbatasan ini akan semakin menyulitkan kita
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, bila pertumbuhan
ekonomi di daerah pun mengandalkan konsumsi masyarakat. Saya
akui, tidak ada jurus kunci dan jalan mulus untuk memecahkan semua
itu, tetapi saya percaya bila Pemerintah Daerah bersungguh-sungguh
bekerja dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi yang dirangsang
oleh investasi swasta akan terus mekar, dan pada akhirnya akan
menyejahterakan rakyat di daerah.
Kita semua telah mengetahui bahwa investasi dapat menjadi pendorong
roda perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan, tatkala
semua pihak mendapat manfaat (gain) maksimal dari aktivitas tersebut.
Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang memadai
untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktifitas,
meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha.
Bagi tenaga kerja, dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan
perdagangan dapat mengurangi pengangguran. Kita pun sudah sangat
paham iklim investasi di daerah belum tercipta sebagaimana diharapkan.
Daya saing antardaerah di bidang ini juga masih sangat timpang. Ada
daerah yang memiliki daya saing tinggi, berbanding terbalik dengan
daerah lain, yang daya saingnya sangat rendah.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah memang
beragam. Namun sejauh yang telah diketahui, kendala-kendala yang
dirasakan pada saat ini, berakar pada kekeliruan pikiran dan nilai dasar
(mindset) mengenai hakikat otonomi. Akibatnya tidak sedikit daerah
yang seolah-olah berlomba menciptakan regulasi, yang substansinya
menimbulkan beban biaya ganda bagi dunia usaha, dan pada akhirnya
berakibat terjadinya ekonomi biaya tinggi. Hal ini tidak dapat kita
biarkan terus-menerus mewarnai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah.

ii

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah-langkah kreatif


dan inovatif dalam menciptakan iklim yang kondusif, terutama
pemerintahan, dan lingkungan ekonomi. Bila hal ini dapat dilakukan
oleh semua Pemerintah Daerah, maka akan tercipta lingkungan ekonomi
yang kompetitif. Setiap wilayah atau daerah akan memiliki keunggulan
tertentu yang dapat merangsang para pengusaha untuk berinvestasi.
Dalam hubungan itu, pemerintahan yang memiliki wilayah dengan
keunggulan yang relatif sama, bahkan berbeda sekalipun perlu menjalin
kerjasama yang bersifat produktif dalam menciptakan lingkungan
ekonomi yang berdaya saing.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah,
merupakan dua sisi kegiatan yang saling berhubungan satu sama
lain. Performa pembangunan di daerah, sesungguhnya merupakan
cerminan atas performa penyelenggaraan pemerintahan, begitu
sebaliknya. Karena itu, ke depan kita perlu melakukan langkah-langkah
konsolidasi terhadap cara berpikir seperti ini dalam menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan di daerah. Tujuannya adalah agar
kita tidak salah kaprah dalam mewujudkan visi pembangunan dalam
kerangka otonomi daerah.
Upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik, walaupun telah
menghasilkan kemajuan di beberapa daerah, namun kita harus
mengakui sejujur-jurnya bahwa di daerah lain hal ini belum sepenuhnya
dapat diwujudkannya. Sekarang saatnya kita melakukan percepatan
untuk merealisasikan hal itu. Konsep ini memerlukan kecerdasan
tertentu, baik pada tataran memahami maupun melaksanakannya.
Sebagai sebuah konsep, tata kepemerintahan yang baik merupakan
suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
demokratis dan efektif. Di dalamnya mengatur pola hubungan yang
sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan
masyarakat.
Mewujudkan tata kepemerintahan yang baik membutuhkan komitmen
kuat, tekad untuk berubah menjadi lebih baik dan sikap konsisten. Hal ini
memang tidak mudah, karena diperlukan pembelajaran, pemahaman,

iii

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

serta implementasi nilai-nilai atau prinsip-prinsipnya secara utuh.


Namun, betapapun sulitnya, kita tidak memiliki pilihan lain, kecuali
harus melaksanakannya. Transparansi, partisipasi, penegakan hukum
dan akuntabilitas, merupakan empat prinsip utama dalam konsep
ini. Prinsip-prinsip ini perlu dikembangkan dan dielaborasi menjadi
prinsip-prinsip turunan yang bersifat implementatif dalam tugas pokok
setiap organisasi.
Akhirnya, secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas yang
telah mengordinasikan penyusunan Buku Pegangan Tahun 2007 ini
bersama jajaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri.
Saya instruksikan kepada seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu
beserta jajarannya, serta kepada para Kepala Daerah, baik provinsi,
kabupaten dan kota untuk menggunakan Buku Pegangan Tahun 2007
ini sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
dan pembangunan di daerah. Di atas segala-galanya hal ini dimaksudkan
untuk kesejahteraan rakyat kita, dan demi peningkatan harkat dan
martabat mereka.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi upaya kita dalam membangun
bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini.
Sekian dan Selamat bekerja.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 17 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

iv

Daftar Isi

Daftar Isi
KATA SAMBUTAN ..................................................................................................... i
DAFTAR TABEL........................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG ....................................................................................... I - 2

1.2

FUNGSI PEMERINTAH DAERAH............................................................... I - 6

1.3

MAKSUD DAN TUJUAN.............................................................................. I - 7

1.4

SISTEMATIKA PEMBAHASAN.................................................................... I - 8

BAB II
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
2.1

REVITALISASI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN

OTONOMI DAERAH..................................................................................... II - 2

2.1.1 Review Pelaksanaan Grand Strategy Implementasi

Otonomi Daerah................................................................................ II - 3

(1) Penataan Urusan Pemerintah ...................................................... II - 3

(2) Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah ........................ II - 5

(3) Penataan Kepegawaian Daerah .................................................. II - 6

(4) Revitalisasi Peran Lembaga Perwakilan Daerah .................... II - 6

(5) Penataan Pengelolaan Keuangan Daerah ............................... II - 7

(6) Peningkatan Pelayanan Publik...................................................... II - 8

(7) Pembinaan dan Pengawasan........................................................ II - 9

2.1.2 Penataan Daerah Otonom Baru................................................... II - 10

2.2

STATUS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN

PEMBANGUNAN DAERAH (KONDISI TERKINI)................................... II - 11

2.3

RENCANA AKSI NASIONAL DESENTRALISASI FISKAL (RANDF).... II - 17

2.4

KERJASAMA ANTAR DAERAH................................................................... II - 19

2.5

ISU-ISU STRATEGIS....................................................................................... II - 21

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(1) Tata Kepemerintahan yang Baik................................................... II - 21

(2) Standar Pelayanan Minimum (SPM)............................................ II - 23

(3) Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan.... II - 24

(4) Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah................. II - 24


(5) Pengembangan Kapasitas.............................................................. II - 25

2.6. KELEMBAGAAN TERKAIT PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN


DAERAH DAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI DI DAERAH............... II - 26

(1) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)................................................. II - 26

(2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)................... II - 28

(3) Asosiasi Pemerintah Daerah.......................................................... II - 29

(4) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) . ...................... II - 29

BAB III
PEMBANGUNAN DAERAH, PENINGKATAN INVESTASI,
DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
3.1. PEMBANGUNAN DAERAH......................................................................... III - 2
3.2. PERANAN INVESTASI BAGI PEMBANGUNAN DAERAH.................... III - 6

(1) Keragaan Investasi di Daerah........................................................ III - 8

(2) Kendala dan Tantangan Investasi di Daerah............................ III - 11

(3) Daya Tarik Investasi Daerah............................................................ III - 15

(4) Daya Saing Daerah............................................................................ III - 17

3.3. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH YANG BERPENGARUH


TERHADAP INVESTASI................................................................................. III - 24

(1) Kerangka Regulasi............................................................................. III - 25

(2) Kerangka Anggaran.......................................................................... III - 27

(3) Peningkatan Kualitas Pelayanan.................................................. III - 29

(4) Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

(UMKM) dan Koperasi....................................................................... III - 31

(5) Pengembangan Klaster................................................................... III - 33

BAB IV
SINKRONISASI PUSAT DAN DAERAH DALAM
PERBAIKAN IKLIM INVESTASI
4.1. PAKET KEBIJAKAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI............................... IV - 2

(1) Bidang Umum..................................................................................... IV - 3

(2) Bidang Kepabeanan dan Cukai..................................................... IV - 6

vi

Daftar Isi

(3) Bidang Perpajakan............................................................................ IV - 7


(4) Bidang Ketenagakerjaan................................................................. IV - 13

(5) Bidang Pemberdayaan UKMK....................................................... IV - 14

4.2. PAKET KEBIJAKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN


INFRASTRUKTUR.......................................................................................... IV - 15

(1) Sektor Perhubungan......................................................................... IV - 18

(2) Sektor Energi....................................................................................... IV - 22

(3) Sektor Telekomunikasi..................................................................... IV - 25

(4) Sektor Air Minum .............................................................................. IV - 29

(5) Kemajuan Pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan

Pembangunan Infrastruktur.......................................................... IV - 31

4.3. PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN............................................... IV - 33


(1) Stabilitas Sistem Keuangan............................................................ IV - 34

(2) Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Bank...................... IV - 34

(3) Pasar Modal.......................................................................................... IV - 35

4.4. KEBIJAKAN PERTANAHAN......................................................................... IV - 40


4.5. PEMANTAPAN KEAMANAN, KETERTIBAN, DAN

STABILITAS POLITIK...................................................................................... IV - 49

4.6. PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS............................ IV - 51


(1) Kriteria Penetapan Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus

di Indonesia ........................................................................................ IV - 53

(2) Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus................................. IV - 54

BAB V
RENCANA KERJA PEMERINTAH DAN KEBIJAKAN
ANGGARAN 2007
5.1. TEMA DAN PRIORITAS RKP TAHUN 2007............................................. V - 2
5.2

SASARAN-SASARAN RKP TAHUN 2007................................................. V - 3

5.3 PRIORITAS ANGGARAN 2007................................................................... V - 8


5.3.1 Arah Kebijakan Fiskal, Asumsi Ekonomi Makro

dan Postur APBN................................................................................ V - 8

(1) Arah Kebijakan Fiskal........................................................................ V - 8

(2) Asumsi Ekonomi Makro................................................................... V - 10

vii

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(3) Postur APBN......................................................................................... V - 11

5.3.2 Belanja Negara.................................................................................... V - 13

(1) Belanja Pemerintah Pusat............................................................... V - 13

(2) Belanja Daerah.................................................................................... V - 13

LAMPIRAN
1

Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Pmdn

Menurut Lokasi, 2001-September 2006 ............................................. L - 2

Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) Pma

Menurut Lokasi, 2001-September 2006.............................................. L - 3

Indikator Utama dan Variabel Penentu Daya Saing Daerah......... L - 4

Rekapitulasi Alokasi Anggaran Tahun 2007

Menurut Lokasi (Provinsi) dan Kementerian / Lembaga............... L - 10

Penetapan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam

Pertambangan Umum Tahun Anggaran 2007

untuk Kabupaten/kota se-Indonesia . ................................................. L - 18

Rincian Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi

dan Kabupaten/Kota Tahun 2007.......................................................... L - 31

Dana Penyesuaian Dau Tahun 2007..................................................... L - 46

Penetapan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun

Anggaran 2007 untuk Kabupaten/kota se-Indonesia . ................. L - 47

Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan dan Lainnya

Tahun 2007 ................................................................................................... L - 56

Posisi Penghimpunan Dana Bank Umum Menurut

Lokasi Dati.I ................................................................................................... L - 63

10

Perkembangan Inflasi 45 Kota................................................................ L - 64

11

Perkembangan Jumlah Bpr Nasional.................................................. L - 66

12

Perkembangan Jumlah Kantor Bank Syariah ................................... L - 67

13

Posisi Kredit Bank Umum Menurut Lokasi Proyek Dati.I . ............. L - 68

viii

Daftar Tabel

Daftar Tabel
Tabel 2.1

Tabel 2.2

Tabel 2.3

Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana


Undang-Undang No. 32 Tahun 2004........................................ II - 12
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004........................................ II - 16
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 25 tahun 2004........................................ II - 17

Tabel 3.1 Distribusi Investasi di Indonesia menurut



Provinsi Tahun 2005 (dalam %)...................................................
Tabel 3.2 Kontribusi Investasi terhadap PDRB menurut

Provinsi di Indonesia Tahun 2005 (dalam %).........................
Tabel 3.3 Perbandingan Kemudahan Memulai Usaha Negara
Negara di Kawasan Asia Tenggara, China, dan India..........
Tabel 3.4 Indikator dan Sub Indikator Penentu

Daya Saing Daerah..........................................................................
Tabel 3.5 Komposisi Skala Usaha Menurut Wilayah...............................
Tabel 4.1

Tabel 4.2
Tabel 4.3

Tabel 4.4

Tabel 4.5
Tabel 4.6

Rekapitulasi Jumlah Tindakan Paket Kebijakan


Perbaikan Iklim Investasi...............................................................
Bidang Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu........................
Rekapitulasi Jumlah Keluaran Paket Kebijakan
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Tahun 2006........
Rekapitulasi Jumlah Kebijakan, Program dan
Tindakan Paket Kebijakan Sektor Keuangan.........................
Perkembangan Jumlah Bank Umum........................................
Matriks Perbandingan Perpres Nomor 36/2005 dan
Perpres Nomor 65/2006................................................................

III - 9
III - 10
III - 14
III - 22
III - 32

IV - 3
IV - 9
IV - 16
IV - 34
IV - 37
IV - 42

Tabel 5.1 Asumsi Ekonomi Makro................................................................. V - 11


Tabel 5.2 APBN-P 2006 dan APBN 2007 dalam triliun rupiah............. V - 12
Tabel 5.3 Alokasi Dana Alokasi Khusus....................................................... V - 16

ix

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Daftar Gambar
Gambar 1.1

Pelaku Pembangunan............................................................. I - 7

Gambar 2.1

Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance........................ II - 22

Gambar 3.1


Gambar 3.2

Gambar 3.3

Gambar 3.4

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,


Pembangunan Daerah, dan Pembangunan
Nasional........................................................................................ III - 4
Hubungan Kinerja Pembangunan Daerah dan
Kinerja Pembangunan Nasional.......................................... III - 5
Daya Tarik Investasi Daerah Berdasarkan
Persepsi Dunia Usaha.............................................................. III - 16
Kerangka Kebijakan Investasi Daerah................................ III - 26

Gambar 4.1

Kawasan Ekonomi Khusus di Guangzhou, Cina............. IV - 52

Daftar Singkatan

Daftar Singkatan
A
AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara
APEKSI : Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
API : Arsitektur Perbankan Indonesia
APKASI : Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
APPSI : Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia
APS : Angka Partisipasi Sekolah

B
BAPPENAS
: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BBN-KB
: Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
BKPM
: Badan Koordinasi Penanaman Modal
BLK
: Balai Latihan Kerja
BPK
: Badan Pemeriksa Keuangan
BPN
: Badan Pertanahan Nasional
BTB
: Bantuan Tunai Bersyarat
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah

C
CIP : Competitiveness Industrial Performance

D
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAU : Dana Alokasi Umum
DBH : Dana Bagi Hasil
Depdagri : Departemen Dalam Negeri
DME : Dimethyl Ether
DP : Dana Penyesuaian
DPD : Dewan Perwakilan Daerah
DPOD : Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

xi

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

E
EDI
EPPD

: Electronic Data Interchange


: Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

F
FDR : Financing to Deposit Ratio
FSAP : Financial Sector Assessment Program

G
GTL : Gas to Liquid

I
IICE : Indonesian Infrastructure Conference and Exhibition
IKM : Industri Kecil dan Menengah
IMB : Ijin Mendirikan Bangunan
IMD : Institute of Management and Development
Inpres : Instruksi Presiden

K
KBI : Kawasan Barat Indonesia
KEK : Kawasan Ekonomi Khusus
KEKI : Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia
KEN : Kebijakan Energi Nasional
KKN : Korupsi, Kolusi & Nepotisme
KPBC : Kantor Pelayanan Bea dan Cukai
KPPOD : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
KPT : Kantor Pelayanan Terpadu
KUA : Kebijakan Umum Anggaran
KWBC : Kanwil Ditjen Bea dan Cukai

L
LKPKD : Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah
LLAJ : Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
LPEI : Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional
LPPD : Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

xii

Daftar Isi

M
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

N
NJKP : Nilai Jual Kena Pajak
NPF : Non Performing Financing

O
Ornop : Organisasi non-pemerintah

P
P4T

PAD
PBB
PDAM
PDB
PDRB
PEN
Perda
Permendagri
Perpres
PILKADA
PJP
PKB
PLTG
PMA
PMDN
PNBP
PNS
PP
PPh
PPN
PPP
PRONA
PRONADA
PSO

: Pemanfaatan, Penggunaan, Penguasaan


dan Pemilikan Tanah
: Pendapatan Asli Daerah
: Pajak Bumi dan Bangunan
: Perusahaan Daerah Air Minum
: Produk Domestik Bruto
: Produk Domestik Regional Bruto
: Pengelolaan Energi Nasional
: Peraturan Daerah
: Peraturan Menteri Dalam Negeri
: Peraturan Presiden
: Pemilihan Kepala Daerah
: Pajak Penerangan Jalan
: Pajak Kendaraan Bermotor
: Pusat Listrik Tenaga Gas
: Penanaman Modal Asing
: Penanaman Modal Dalam Negeri
: Penerimaan Negara Bukan Pajak
: Pegawai Negeri Sipil
: Peraturan Pemerintah
: Pajak Penghasilan
: Pajak Pertambahan Nilai
: Public Private Partnership
: Proyek Operasional Nasional Agraria/Pertanahan
: Proyek Operasional Nasional Agraria/Pertanahan Daerah
: Public Service Obligation

xiii

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

R
RPP
: Rancangan Peraturan Pemerintah
RAD-PK
: Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi
RANDF
: Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal
RAN-PK
: Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi
RAPBN
: Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara
RAPERDA
: Rancangan Peraturan Daerah
Renja SKPD : Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
Renstra SKPD : Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah
RKA-SKPD
: Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja

Perangkat Daerah
RKP
: Rencana Kerja Pemerintah
RKPD
: Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RPJMD
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah
RUU : Rencana Undang-Undang

S
SDA : Sumber Daya Alam
SE : Surat Edaran
SEZ
: Special Economic Zones
SIABE : Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor
SIB-ES : Sistem Informasi Baseline Economic Survey
SI-LMUK : Sistem Informasi Lending Model Usaha Kecil
SIMTANAS : Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional
SIPKD : Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah
SI-PMK : Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit
SI-PUK : Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil
Sistranas : Sistem Transportasi Nasional
SPKUI : Sistem Penunjang Keputusan untuk Investasi
SPM : Standar Pelayanan Minimal

T
TAGP : Trans ASEAN Gas Pipeline
TFP : Total Factor Productivity
TKI : Tenaga Kerja Indonesia
TPB : Tempat Penimbunan Berikat

xiv

Daftar Singkatan

U
UU : Undang-Undang
UMKM : Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
UNIDO : United Nations Industrial Development Organization
UPT : Unit Pelayanan Terpadu
USO : Universal Service Obligation

W
WEF : World Economic Forum

xv

BAB I
Pendahuluan

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

BAB I PENDAHULUAN
Melalui Buku Pegangan yang diterbitkan setiap tahun ini, semua
pihak yang berkepentingan diharapkan dapat memperoleh
gambaran umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah. Tema utama tahun 2007 ini adalah
pengembangan ekonomi daerah dan sinergi kebijakan investasi
pusat dan daerah. Dengan demikian, upaya pencapaian sasaran
pembangunan nasional khususnya yang berkaitan dengan
peningkatan investasi dapat tersinergi secara harmonis dengan
sasaran pembangunan daerah, serta sesuai dengan potensi dan
kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah.

1.1

LATAR BELAKANG

Tujuan utama
kebijakan
desentralisasi dan
otonomi daerah
adalah percepatan
terwujudnya
peningkatan
kesejahteraan
seluruh
masyarakat.

Tujuan utama kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah


percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Kita semua mengetahui bahwa landasan hukumnya adalah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004. Sudah barang tentu, reformasi pola kepemerintahan ini diharapkan
berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, meskipun hal ini jelas
melibatkan proses yang berjangka waktu lama. Dengan mendekatkan
pengambilan keputusan ke masyarakat, perumusan strategi dan
langkah-langkah pembangunan diharapkan lebih responsif menangkap
kebutuhan ataupun isu yang berkembang. Bahkan, dengan perspektif
yang lebih demokratis tersebut, diharapkan nilai tambah ekonomi
yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dan manfaatnya dirasakan lebih
langsung oleh seluruh masyarakat.

Investasi adalah
salah satu faktor
penting penentu
keberhasilan konkrit
dari pembangunan
ekonomi.

Investasi adalah salah satu faktor penting penentu keberhasilan


pembangunan ekonomi. Keberadaannya merupakan modal dasar bagi
perwujudan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam jangka
panjang, bila dibarengi dengan peningkatan daya saing, investasi akan

I - 

Pendahuluan

meningkatkan penawaran melalui peningkatan stok kapital yang pada


gilirannya akan meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk
menghasilkan output atau melakukan kegiatan-kegiatan produksi.
Kegiatan produksi tersebut akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja
dan proses tersebut pada akhirnya meningkatkan kualitas pembangunan
ekonomi karena diversifikasi kegiatannya.
Peningkatan nilai tambah perekonomian di daerah tersebut akan
memberikan dampak positif pada besaran balas jasa terhadap faktorfaktor produksi, misalnya dalam bentuk sewa tanah, upah, bunga
dan keuntungan akan meningkat karena adanya aktivitas penanaman
modal. Selain itu, meningkatnya intensitas perekonomian akan
membuka peluang kerja bagi perekonomian dan penduduk di daerah
sekitar penanaman modal. Dengan demikian, secara langsung dan tidak
langsung akan terwujud efek multiplier terhadap kegiatan ekonomi dan
pendapatan penduduk di kawasan-kawasan sekitar dan pada gilirannya
akan meningkatkan pendapatan daerah secara keseluruhan. Lingkaran
ekonomi ini akan semakin besar dengan munculnya investasi pada
potensi-potensi baru dalam membangun sektor industri lainnya.
Dengan diserahkannya kewenangan atas sejumlah urusan pemerintahan,
termasuk di bidang ekonomi kepada pemerintah daerah, maka para
pelaku usaha akan lebih banyak berhubungan langsung dengan
pemerintah daerah, daripada dengan pemerintah pusat. Oleh karena
itu, jelas bahwa kinerja dan pembangunan ekonomi nasional akan
makin terkait erat dengan kinerja penyelenggaraan fasilitasi usaha
oleh pemerintah. Hanya bila masing-masing pemerintahan daerah
melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan mengembangkan
berbagai inovasi dalam pembangunan ekonomi yang dibarengi pula
dengan peningkatan transparansi dan akuntabilitas, maka perwujudan
suatu perekonomian daerah yang sehat dan berdaya saing serta mampu
menciptakan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat setempat akan
tercipta. Pada gilirannya, terwujudnya kondisi ini di berbagai daerah
akan memperkuat ketahanan dan daya saing ekonomi nasional.

I - 

Kinerja dan
perkembangan
ekonomi serta
investasi secara
nasional tidak lagi
dapat dilepaskan
dari kinerja
penyelenggaraan
fasilitasi usaha di
berbagai daerah.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Adanya langkah
sinergis seluruh
komponen bangsa
dalam rangka
meningkatkan
investasi menjadi
semakin mendesak
dan perlu.

Kondisi ideal sebagaimana yang digambarkan di atas belum terjadi.


Negara kita, dewasa ini masih dihadapkan pada sejumlah masalah
mendasar. Meskipun stabilitas ekonomi makro terus terjaga, sebagian
besar pelaku usaha merasa belum mantap untuk mengambil keputusan
berinvestasi karena kondisi lingkungan berusaha sering dipandang
belum bersahabat. Rendahnya investasi bersamaan dengan turunnya
total factor productivity (TFP) menyebabkan pertumbuhan ekonomi
rendah pada periode 1998 2005. Pertumbuhan ekonomi yang rendah
menyulitkan upaya penyerapan kesempatan kerja dan pengentasan
kemiskinan. Peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan masih
sangat mengkhawatirkan. Rendahnya investasi juga memperkecil
peluang alih teknologi dan teknokrasi yang dibawa oleh investasi.
Adanya langkah sinergis seluruh komponen bangsa dalam rangka
meningkatkan investasi menjadi semakin mendesak dan perlu. Oleh
karena itulah, mempertimbangkan berbagai hal tersebut di atas,
perekonomian daerah dan investasi menjadi tema sentral dari Buku
Pegangan 2007 ini.
Permasalahan investasi di Indonesia secara ringkas tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009.
Secara lebih spesifik, rinciannya adalah sebagai berikut:
(1) Prosedur perijinan yang terkait dengan investasi yang panjang,
dimana prosedur perijinan untuk memulai usaha di Indonesia
termasuk relatif lebih lama, mahal dan cukup rumit dibandingkan
dengan beberapa negara tetangga di kawasan Asia-Pasifik;
(2) Masih rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih
banyaknya tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta
kebijakan antar sektor;
(3) Belum menariknya insentif bagi kegiatan investasi, dimana jika
dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk
tertinggal di dalam menyusun insentif investasi;
(4) Rendahnya kualitas dan kapasitas infrastruktur yang sebagian besar
terus memburuk sejak krisis;
(5) Iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif; dan
(6) Kurangnya jaminan keamanan untuk melakukan kegiatan investasi/
usaha.

I - 

Pendahuluan

Dalam kerangka pola pemerintahan yang telah terdesentralisasi,


peningkatan investasi merupakan hasil dari sebuah kemitraan yang
sinergis antara para pemeran (stakeholders) ekonomi, baik yang ada
di tingkat nasional maupun daerah. Kejelasan pembagian tugas dan
tanggung jawab antara berbagai tingkatan pemerintahan menjadi sangat
penting di dalam mewujudkan pola pengelolaan secara efisien berbagai
sumber daya yang tersedia untuk menciptakan kesempatan lapangan
kerja dan menggiatkan (stimulasi) ekonomi (nasional dan daerah).

Peningkatan
investasi merupakan
sebuah kemitraan
yang sinergis antara
para pemeran
(stakeholders)
ekonomi, baik
yang ada di tingkat
nasional maupun
daerah.

Dengan bentang geografisnya yang luas hingga meliputi tiga zona waktu,
wilayah Indonesia terdiri dari perairan dan daratan yang di dalamnya
terkandung berbagai sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi. Keragaman ini seharusnya merupakan modal potensial
sebagai daya tarik investasi. Namun perlu diingat bahwa daya tarik
investasi suatu negara atau suatu daerah tidak terjadi dengan serta merta,
dan yang lebih penting lagi, tidak melulu tergantung dari ketersediaan
SDA dan tenaga kerja yang murah tetapi juga adanya infrastruktur
yang memadai, insentif, dan kondisi kelembagaan yang menyediakan
kemudahan iklim usaha. Kombinasi ketersediaan faktor-faktor tersebut
akan menciptakan kekuatan yang solid untuk meningkatkan daya tarik
investasi dan daya saing daerah. Dinamika kemampuan daerah-daerah
dalam mengembangkan potensi unggulannya, baik secara agregat
maupun sinergi antardaerah selanjutnya akan meningkatkan daya saing
nasional.
Secara lebih spesifik, investasi atau penanaman modal membutuhkan
iklim usaha yang sehat, kemudahan serta kejelasan prosedur. Iklim
investasi meliputi kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang
sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa datang,
yang dapat mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu
investasi. Tiga faktor utama dalam iklim investasi yang sehat tersebut
mencakup: (1) kondisi ekonomi makro: termasuk stabilitas ekonomi
makro, keterbukaan ekonomi, persaingan pasar, dan stabilitas sosial
dan politik; (2) pengelolaan kepemerintahan dan berbagai aturan main
seperti perpajakan dan kebijakan fiskal, kompetensi lembaga fasilitasi

I - 

Investasi
membutuhkan iklim
usaha yang sehat,
kemudahan serta
kejelasan prosedur
penanaman modal.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

kegiatan usaha, fleksibilitas pasar tenaga kerja serta keberadaan tenaga


kerja yang terdidik dan terampil; dan (3) infrastruktur yang mencakup
antara lain sarana ekonomi seperti lembaga keuangan sampai dengan
sarana fisik seperti jaringan transportasi, serta kapasitas telekomunikasi,
listrik, dan air.
Faktor ekonomi,
politik dan
kelembagaan,
sosial dan budaya,
diyakini merupakan
beberapa faktor
kunci pembentuk
daya tarik investasi
suatu negara atau
daerah.

Pembentukan daya tarik investasi, berlangsung secara terus menerus dari


waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh banyak aspek. Faktor ekonomi,
politik dan kelembagaan, sosial dan budaya, diyakini merupakan
beberapa faktor kunci pembentuk daya tarik investasi suatu negara
atau daerah. Keberhasilan negara atau daerah untuk meningkatkan
daya tariknya terhadap investasi salah satunya tergantung dari
komitmen dan kemampuan negara atau daerah dalam merumuskan
dan mengimplementasikan secara konsisten kebijakan yang berkaitan
dengan investasi dan dunia usaha.

Diperlukan
kepemimpinan
yang visioner untuk
mengintegrasikan
berbagai
kepentingan dan
upaya memobilisasi
para pelaku,
organisasi dan
sumberdaya.

Dalam konteks pembangunan nasional dewasa ini, kepentingan


peningkatan investasi sesungguhnya memiliki tujuan yang lebih luas
daripada hanya sekedar penciptaan pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan. Berkaitan dengan isu dan permasalahan yang kita hadapi,
misi peningkatan investasi pada dasarnya mencakup tiga tujuan yang
saling berkaitan, yaitu: (1) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan lapangan kerja; (2) berkurangnya jumlah penduduk miskin,
dan pada gilirannya (3) terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang
berkelanjutan. Berkenaan dengan tujuan tersebut, upaya peningkatan
investasi sangat terkait erat dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat. Dalam kaitan inilah, diperlukan kepemimpinan
yang visioner untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dan upaya
memobilisasi para pelaku, organisasi dan sumberdaya.

1.2

FUNGSI PEMERINTAH DAERAH

Pemerintah Daerah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penyelenggara


pemerintahan dan sekaligus sebagai penyelenggara utama dalam

I - 

Pendahuluan

pembangunan di daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah,


Pemerintah Daerah berperan utama mengatur tatanan kehidupan
bermasyarakat di daerah dalam kerangka regulasi. Sedangkan sebagai
penyelenggara utama dalam pembangunan daerah, Pemerintah Daerah
berperan sebagai pelaksana dan penanggung jawab utama dalam
keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah, yaitu
dalam kerangka investasi dan penyediaan barang dan pelayanan publik
(Gambar 1.1). Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah
Daerah tetap berprinsip pada asas umum dalam penyelenggaraan
negara, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara,
asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas.

Pemerintah Daerah
memiliki fungsi
ganda, yaitu sebagai
penyelenggara
pemerintahan dan
sekaligus sebagai
penyelenggara
utama dalam
pembangunan di
daerah.

Gambar 1.1 Pelaku Pembangunan

1.3

MAKSUD DAN TUJUAN

Buku ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antara Pemerintah


Pusat dan Daerah tentang hak, kewajiban, dan tanggungjawab serta
peranan dari masing-masingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah, khususnya upaya peningkatan investasi

I - 

Buku ini
dimaksudkan untuk
menyamakan
persepsi antara
Pemerintah Pusat
dan Daerah.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi


kemiskinan.
Secara spesifik, tujuan yang ingin dicapai adalah:
(1) Memantapkan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah
khususnya dalam upaya perbaikan iklim investasi;
(2) Meningkatkan pemahaman mengenai berbagai landasan hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah
khususnya dalam upaya perbaikan iklim investasi;
(3) Meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah khususnya dalam upaya
perbaikan iklim investasi;
(4) Memahami berbagai permasalahan strategis dan solusi pemecahan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah
khususnya dalam upaya perbaikan iklim investasi;
(5) Mengembangkan dan memantapkan sistem pengendalian dan
pengawasan (safeguarding system) terhadap pelaksanaan RKP 2007;
(6) Mengembangan dan memantapkan sistem peringatan dini (early
warning system) terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di
daerah;
(7) Optimalisasi investasi pemerintah dan investasi swasta di daerah.

1.4 SISTEMATIKA PEMBAHASAN


Materi buku ini sesungguhnya terbagi atas 3 (tiga) bagian besar. Bagian
pertama berkenaan dengan deskripsi mengenai progres pelaksanaan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sampai dengan akhir
tahun 2006 lalu dan berbagai pemikiran yang akan dikembangkan untuk
merevitalisasi pelaksanaan dalam tahun 2007 ini. Bagian ini dibahas
dalam Bab 2. Bagian kedua menguraikan berbagai prinsip dan perspektif
tentang urgensi dari pengembangan ekonomi dan peningkatan investasi
daerah serta berbagai inisiatif yang telah diselenggarakan terutama oleh
pemerintah pusat didalam mewujudkan iklim usaha sehat. Diharapkan

I - 

Pendahuluan

dengan informasi ini, berbagai daerah dalam mengambil langkah-langkah


yang diperlukan secara sinergis. Bagian ini diuraikan dalam Bab 3 dan
Bab 4. Sedangkan bagian yang terakhir adalah merupakan deskripsi dari
program dan arah kebijakan pemerintah pusat sebagaimana tertuang
dalam RKP 2007. Bagian ini diuraikan dalam Bab 5.

I - 

BAB Ii
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

BAB II PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH


Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang
efektif diharapkan mampu mendorong proses transformasi
pemerintahan daerah yang efisien, akuntabel, responsif dan
aspiratif. Untuk itu, dalam tataran pelaksanaan diperlukan
sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa peraturan
atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis
guna menunjang keberhasilan tersebut.
Secara khusus bab ini menguraikan beberapa komponen utama
desentralisasi dan otonomi daerah diantaranya: elemen-elemen
dasar desentralisasi, status peraturan perundang-undangan dan
peraturan turunan terkait, rencana aksi nasional desentralisasi
fiskal, kerjasama antar daerah dalam penyediaan pelayanan publik
dasar dan sejumlah isu-isu strategis.
Pada bagian akhir bab ini, akan dipaparkan sejumlah lembaga
kunci (strategis) yang berperan dalam menunjang keberhasilan
implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

2.1 REVITALISASI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN


OTONOMI DAERAH
Salah satu tujuan
desentralisasi
adalah mendorong
terciptanya
demokratisasi
dalam
pemerintahan.

Salah satu tujuan desentralisasi yang diakui secara universal berdasarkan


Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 (Pemerintahan Daerah) dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 (Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) adalah mendorong
terciptanya demokratisasi dalam pemerintahan. Tujuan demokrasi
akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan
politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang
terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar
dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta
mempercepat terwujudnya masyarakat madani (civil society).

II - 

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Disamping itu, desentralisasi juga bertujuan untuk meningkatkan


kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan serta akuntabiltas
pemerintahan. Tujuan ini menuntut Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan percepatan pembangunan daerah, penyediaan kualitas
dan kuantitas pelayanan yang lebih baik dan mendorong pemerintah
menjadi lebih akuntabel terhadap masyarakat.

Desentralisasi
juga bertujuan
untuk meningkat
kesejahteraan
rakyat, pemerataan
dan keadilan
serta akuntabiltas
pemerintahan.

2.1.1 Review Pelaksanaan Grand Strategy Implementasi


Otonomi Daerah
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
sebagai instrumen demokratisasi dan peningkatan kesejahteraan di
tingkat lokal, telah disusun Strategi Besar (Grand Strategy) Pelaksanaan
Otonomi Daerah dengan tujuan menjadi pedoman bagi pemerintahan
daerah dalam melaksanakan otonomi daerah secara efektif, efisien,
ekonomis dan akuntabel. Grand Strategy Pelaksanaan Otonomi
Daerah ini akan dipayungi dalam bentuk Surat Edaran dari Menteri
Dalam Negeri. Elemen dasar pemerintahan daerah mencakup: (1)
urusan pemerintahan, (2) kelembagaan, (3) personil, (4) perwakilan,
(5) keuangan daerah, (6) pelayanan publik, dan (7) pengawasan.
(1)

Telah disusun
Grand Strategy
Implementasi
Otonomi Daerah
dengan tujuan
menjadi pedoman
bagi pemerintahan
daerah dalam
melaksanakan
otonomi daerah
secara efektif,
efisien, ekonomis
dan akuntabel.

Penataan Urusan Pemerintah

Salah satu permasalahan yang menonjol dalam konteks kebijakan desen


tralisasi dan otonomi daerah adalah perbedaan persepsi yang luas
mengenai pengertian kewenangan (authority) dan urusan (functions).
Secara konseptual, istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan
istilah urusan pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai
hak dan atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi
manajemen (pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan,
pengawasan). Sedangkan urusan pemerintahan lebih melekat pada
pengertian fungsi publik (Hoessein, 1993).
Penataan urusan pemerintahan bertujuan untuk memperjelas dan
menentukan pembagian kewenangan masing-masing tingkatan

II - 

Kewenangan dapat
diartikan sebagai
hak dan atau
kewajiban untuk
menjalankan satu
atau beberapa
fungsi manajemen

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

pemerintahan secara proporsional sehingga nantinya prinsip money


follows functions dan structures follows functions dapat direalisasikan.
Kriteria pembagian urusan pemerintahan adalah sebagai berikut :
Pertama, urusan menjadi urusan Pemerintah Pusat mencakup: politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi,
dan agama.
Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dikelola bersama
antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Pembagian
urusan tersebut berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan.
Ketiga, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh
Pemerintah. Beberapa bidang yang berkaitan dengan pelayanan dasar
seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,
prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan urusan
pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Pemerintah telah
menyelesaikan
Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP)
tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah
Pusat, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota

Tindak lanjutnya, pemerintah telah menyelesaikan Rancangan


Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. RPP tersebut akan mengatur
pembagian kewenangan yang meliputi 31 bidang urusan pemerintahan,
yaitu: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, penataan ruang,
perumahan, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan
hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga

II - 

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, koperasi dan


usaha kecil menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata,
kepemudaan dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri,
otonomi daerah-pemerintahan umum-administrasi keuangan daerahperangkat daerah-kepegawaian dan persandian, pemberdayaan
masyarakat dan desa, statistik, kearsipan, perpustakaan, komunikasi
dan informatika, pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, energi
dan sumberdaya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan
perindustrian. Sampai dengan saat ini (Januari 2007), ada 6 (enam)
bidang yaitu pendidikan nasional, lingkungan hidup, perhubungan,
pertanahan, badan koordinasi penanaman modal, dan arsip yang belum
disepakati (defenitif) dan dikonsultasikan kembali ke departemen teknis
oleh Departemen Dalam Negeri ke departemen terkait.
(2)

Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah

Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah


(pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang masing-masing
dikepalai oleh Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (yang
terdiri dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, yang masing-masing
merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan
sebagai lembaga pemerintahan daerah di tingkat Propinsi dan
Kabupaten/Kota).
Untuk menciptakan kelembagaan yang berorientasi pada pelayanan
publik masing-masing daerah dalam menyusun kelembagaan peme
rintahan daerah perlu memperhatikan: dimensi right sizing, jumlah
penduduk dan sumber daya aparatur pemerintah daerah (nilai
rasio pemberi pelayanan dan jumlah yang dilayani), potensi dan
kemampuan keuangan daerah (PDRB dan PAD), dan kemampuan
untuk menggerakkan investasi melalui kerjasama kemitraan antara
pemerintah-masyarakat-swasta.

II - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(3)

Penataan Kepegawaian Daerah

Sejalan dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas


UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sistem
manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) menggunakan gabungan dari
unified system dan separated system. PNS baik di Pusat maupun di
Daerah diharapkan memiliki kualitas yang setara dan memiliki norma,
standar, dan prosedur manajemen kepegawaian yang sama. Selain itu,
pelaksanaan mutasi kepegawaian baik vertikal maupun horisontal perlu
dikonsultasikan kepada organisasi pemerintah di atasnya agar terwujud
prinsip pembinaan karier PNS yang utuh dalam kerangka Negara
Kesatuan RI. Hal tersebut akan sangat membantu dalam mewujudkan
akurasi data mutasi pegawai dalam mendukung pengalokasian dana
perimbangan secara nasional.
Dengan penataan urusan pemerintahan secara benar, pembentukan
kelembagaan secara tepat, dan personil yang memiliki kapasitas dan
profesionalisme memadai, penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan
akan semakin membaik dan mampu meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan rakyat.
Pada saat
ini sedang
disusun pola
pengembangan
karier PNS

Pada saat ini sedang disusun pola pengembangan karier PNS meliputi
standar kompetensi, kebijakan minus growth, perencanaan karir dan
pengembangan karir dan pengembangan jabatan untuk fungsional
(mengurangi tekanan pada jabatan struktural).
(4)

Revitalisasi Peran Lembaga Perwakilan Daerah

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 secara garis besar telah diatur beberapa
prinsip pengaturan mengenai tugas, wewenang dan kewajiban, serta
larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sedangkan
pengaturan tentang eksistensi dan peran DPRD selain diatur dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004 juga diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Secara
lebih rinci pengaturan untuk DPRD dilengkapi dengan PP Nomor 24
Tahun 2004 yang disempurnakan dengan PP Nomor 37 Tahun 2005;

II - 

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

dan PP Nomor 25 Tahun 2004 yang disempurnakan dengan PP Nomor


53 Tahun 2005. Secara khusus PP Nomor 37 Tahun 2006 akan ditinjau
ulang agar tidak merugikan negara.
Dengan terbitnya berbagai peraturan perundang-undangan tersebut,
masing-masing lembaga diharapkan dapat menjalankan tugas dan
fungsi secara optimal sekaligus mempertegas hubungan kemitraan
antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Kedudukan yang setara
bermakna bahwa lembaga pemerintahan daerah memiliki kedudukan
yang sama, sejajar dan tidak saling membawahi. Hal ini tercermin
dalam pembuatan kebijakan daerah (berdasarkan aspirasi masyarakat)
berupa peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai
dengan fungsinya sehingga antara kedua lembaga itu terbangun suatu
hubungan kerja yang sinergis.
(5)

Masing-masing
lembaga
diharapkan dapat
menjalankan tugas
dan fungsi secara
optimal sekaligus
mempertegas
hubungan kemitraan
antara Pemerintah
Daerah dan DPRD.

Penataan Pengelolaan Keuangan Daerah

Melalui desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah dituntut untuk


mengelola keuangan daerah secara akuntabel dan transparan. Dengan
kebijakan normatif yang ada, pemerintah daerah diberi kesempatan
untuk melakukan perubahan kebijakan dan sistem pengelolaan keuangan
daerah. Dasar-dasar yang melatarbelakangi perubahan adalah : pertama,
perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan seiring otonomi
daerah dan desentralisasi, kedua, semangat reinventing governance dan
good governance, dan ketiga, realitas regulasi dan instrumen pengelolaan
keuangan daerah dalam bentuk peraturan pelaksanaan yang baru dan
mendorong terciptanya iklim investasi yang baik.
Hak Pemerintah Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah adalah:
(1) memungut pajak dan restribusi daerah serta mengelola kekayaan
daerah; (2) memperoleh dana perimbangan, dan (3) melakukan
pinjaman. Dalam melaksanakan hak tersebut, Pemerintah Daerah
mempunyai kewajiban untuk: (1) mengelola sumber keuangan daerah
secara efektif, efisien, transparan, akuntabel dan taat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2) mensinergikan
kebijakan pembangunan daerah dan kebijakan nasional; serta (3)

II - 

Pemerintah
Daerah dituntut
untuk mengelola
keuangan daerah
secara akuntabel
dan transparan.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada pemerintah pusat


dan masyarakat.
Beberapa kinerja yang telah dicapai pada aspek ini adalah : (1) penataan
regulasi di bidang keuangan daerah dengan menerbitkan: PP No. 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, RUU tentang
Badan Usaha Milik Daerah (telah disampaikan ke Departemen Hukum
dan HAM), RUU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (sedang
dalam proses pembahasan dengan DPR); (2) Peningkatan Kapasitas
Pengelolaan Keuangan Daerah meliputi Penyusunan Pedoman Evaluasi
Perda APBD, Evaluasi Raperda Propinsi tentang APBD dan Rapergub
tentang Penjabaran APBD TA 2005 dan 2006, Sosialisasi dan Bimbingan
Teknis PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Permendagri No. 13 Tahun 2006; (3) Pengembangan Sistem Informasi
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Sistem Informasi Keuangan Daerah
melalui pengembangan Daerah Media Inkubator SIPKD di 71 Daerah
Terpilih.
(6)
Pemerintah daerah
harus berpedoman
kepada PP Nomor
65 Tahun 2005
tentang Pedoman
Penyusunan dan
Penerapan Standar
Pelayanan Minimal
(SPM) sebagai
pegangan hukum
bagi pelaksana
SPM.

Peningkatan Pelayanan Publik

Penyelenggaraan kebijakan desentralisasi merupakan upaya nyata dari


pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemberian
pelayanan umum yang lebih optimal. Sebagai acuan penyediaan
pelayanan masyarakat, pemerintah daerah harus berpedoman kepada
PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang akan dijabarkan dalam bentuk
peraturan menteri yang bersangkutan.
Untuk itu setiap pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana
pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan
mengacu pada batas waktu pencapaian SPM. Rencana pencapaian SPM
dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra
SKPD). Untuk target tahunan pencapaian SPM, dituangkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan

II - 

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran


(KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah dengan memperhatikan
kemampuan keuangan daerah.
(7)

Pembinaan dan Pengawasan

Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh


Pemerintah Pusat dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di
Daerah. Pemerintah Pusat melalui Menteri dan Pimpinan Lembaga
Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan
teknis masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri
untuk pembinaan provinsi dan dikoordinasikan oleh Gubernur untuk
tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kegiatan
yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan
sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku. Pengawasan pemerintah terutama dilakukan terhadap peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam upaya mengoptimalkan
fungsi pembinaan dan pengawasan, pemberian sanksi akan dilakukan
apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaraan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Salah satu pedoman dalam pembinaan dan pengawasan ini, telah
diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada
Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Disamping
itu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005
tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasann Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah

II - 

Pengawasan atas
penyelenggaraan
pemerintahan daerah
adalah kegiatan
yang ditujukan
untuk menjamin
agar pemerintahan
daerah berjalan sesuai
dengan rencana dan
ketentuan peraturan
perundangan yang
berlaku.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

2.1.2 Penataan Daerah Otonom Baru


Sejak pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004, telah terbentuk 363 Kabupaten, 93
Kota, dan 33 Provinsi (tidak termasuk 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten
Administratif di DKI Jakarta).
Hasil evaluasi
awal terhadap
beberapa daerah
otonom baru,
hanya sebagian
kecil daerah
yang mampu
memberikan
pelayanan yang
baik kepada
masyarakat.

Hasil evaluasi awal terhadap beberapa daerah otonom baru, hanya


sebagian kecil daerah yang mampu memberikan pelayanan yang baik
kepada masyarakat. Sebagian besar daerah otonom baru lainnya masih
menghadapi permasalahan mendasar seperti: keterbatasan pembiayaan,
penetapan batas wilayah, rencana tata ruang dan wilayah, penyerahan
aset, dan kedudukan ibukota
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Departemen Dalam Negeri,
animo masyarakat (kelompok tertentu) untuk membentuk daerah
otonom baru relatif tinggi. Hal ini dapat terlihat dari data usulan
pembentukan daerah otonom hingga saat ini (Januari 2007) sebanyak
21 usulan pembentukan provinsi dan 110 usulan pembentukan
kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut terdapat 16 calon kabupaten/
kota yang sudah dibahas dalam sidang DPOD, dan selebihnya ditunda
pembahasannya menunggu penyelesaian PP pengganti PP Nomor 129
Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Kelemahan mendasar dari
PP ini adalah menggunakan sistem agregat (tanpa ada komponen yang
mempunyai bobot tertentu baik bobot teknis dan administratif) dalam
menentukan kelayakan pembentukan daerah otonom baru. Revisi PP
tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman (acuan ) penataan daerah
ke depan. Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam revisi PP ini adalah
: penambahan pengeluaran eksekutif dan legislatif harus proposional
dengan pengeluaran untuk kesejahtraan masyarakat dan pelayanan
publik (nasional, propinsi, kabupaten dan kota), pembentukan daerah
otonom baru harus terintegrasi dan selaras dengan arah pembangunan
daerah secara nasional.

II - 10

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Berdasarkan pasal 6 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah


dapat dihapuskan dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang
bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonom daerah.
2.2

STATUS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN
DAERAH (KONDISI TERKINI)

Untuk mempercepat pelaksanaan otonomi daerah yang diamanatkan


UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004, pemerintah telah
menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
hasil inventarisasi, terdapat 28 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan
Presiden dan 2 Permendagri yang merupakan penjabaran langsung UU
Nomor 32 Tahun 2004.
Perkembangan penyusunan peraturan pelaksanaan UU Nomor 32
Tahun 2004 sampai saat ini sebagai berikut : sudah selesai sebanyak 12
(dua belas) PP, 1 (satu) Perpres, 2 (dua) Permendagri, sudah disampaikan
ke Dapartemen Hukum dan Ham/Setneg sebanyak 6 (enam) RPP, serta
dalam proses finalisasi draft di Departemen Dalam Negeri sebanyak 10
(sepuluh) RPP dan 1 (satu) Rancangan Perpres (tabel 2.1).

II - 11

Terdapat 28 Peraturan
Pemerintah, 2
Peraturan Presiden
dan 2 Permendagri
yang merupakan
penjabaran langsung
UU Nomor 32 Tahun
2004.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Tabel 2.1
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
PERATURAN
PELAKSANAAN

No.

DASAR
PENGATURAN UU
32 / 2004

STATUS
PENYUSUNAN

I. PERATURAN PEMERINTAH
1.

PP tentang pemilihan,
pengesahan dan
Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala
Daerah

Pasal 33 ayat (3)

Selesai dengan
diterbitkannya PP
No. 6 Tahun 2005

2.

PP tentang Pedoman
Pembentukan dan Susunan
Organisasi Satuan Polisi
Pamong Praja

Pasal 148 ayat (2)

Selesai dengan
diterbitkannya PP
No 32 Tahun 2004

3.

PP tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan

Pasal 184

Selesai dengan
diterbitkannya PP
No 24 Tahun 2005

4.

PP tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan
Tatatertib DPRD

Pasal 43 ayat (8),


Pasal 46 ayat (2),
Pasal 54 ayat (6), dan
Pasal 55 ayat (5)

Selesai dengan
diterbitkannya PP
no.53 tahun 2005

5.

PP tentang Kedudukan
Protokoler, Keuangan
Pimpinan dan Anggota DPRD

Pasal 44 ayat (2)

Selesai dengan
diterbitkannya PP
no. 37 tahun 2005

6.

PP tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan
Perkotaan

Pasal 199

Dalam proses
penyelesaian

7.

PP tentang Desa

Pasal 203, Pasal 208,


Pasal 210, Pasal 211,
Pasal 213, Pasal 214,
dan Pasal 216

Selesai dengan
diterbitkannya PP
No. 72 tahun 2005

8.

PP tentang Kelurahan

Pasal 127

Selesai dengan
diterbitkannya PP
no. 73 tahun 2005

9.

PP tentang Pengangkatan
Sekretaris Desa menjadi PNS

Pasal 202

Dalam proses
penyelesaian

10.

PP tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah

Pasal 178

Selesai dengan
diterbitkannya PP
No.6 Tahun 2006

II - 12

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

No.

PERATURAN
PELAKSANAAN

DASAR
PENGATURAN UU
32 / 2004

STATUS
PENYUSUNAN

11.

PP tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah

Pasal 223

Selesai dengan
diterbitkannya PP
No. 79 Tahun 2005

12.

PP tentang Evaluasi
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah

Pasal 6 ayat (3) dan


Pasal 27 ayat (5)

Dalam proses
penyelesaian

13.

PP tentang Tata Cara


Pembentukan, Penghapusan,
dan Penggabungan Daerah

Pasal 4, Pasal 5 dan


Pasal 6

Dalam proses
penyelesaian

14.

PP tentang Pedoman
Penyusunan Standar
dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal

Pasal 11 ayat (4)

Selesai dengan
diterbitkannya PP
No. 65 Tahun 2005

15.

PP tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerin
tahan Kabupaten/Kota

Pasal 11, Pasal 12,


Pasal 13 dan Pasal 14
ayat (1) dan ayat (2)

Dalam proses
penyelesaian

16.

PP tentang Belanja Kepala


Daerah dan Wakil Kepala
Daerah

Pasal 168 ayat (1)

Dalam proses
penyelesaian

17.

PP tentang Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah,

Pasal 27 ayat (2) dan


ayat (3)

Dalam proses
penyelesaian

18.

PP tentang Laporan
Keterangan Pertanggung
jawaban Kepala Daerah

Pasal 42 ayat (1)


huruf h

Dalam proses
penyelesaian

19.

PP tentang Hubungan
Pelayanan Umum Antara
Pemerintah dengan
Pemerintahan Daerah dan
antar Pemerntah Daerah

Pasal 15 dan Pasal 16

Dalam proses
penyelesaian

20.

PP tentang Perubahan
Batas, Perubahan Nama dan
Pemindahan Ibukota

Pasal 7 ayat (2)

Dalam proses
penyelesaian

21.

PP tentang Fungsi
Pemerintahan Tertentu

Pasal 9 ayat (3)

Dalam proses
penyelesaian

22.

PP tentang Tata Cara


Penetapan Kawasan Khusus

Pasal 9 ayat (6)

Dalam proses
penyelesaian

23.

PP tentang Tata Cara


Pelaksanaan Kerjasama Antar
Daerah

Pasal 197

Dalam proses
penyelesaian

II - 13

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

PERATURAN
PELAKSANAAN

No.

DASAR
PENGATURAN UU
32 / 2004

STATUS
PENYUSUNAN

24.

PP tentang Penegasan Batas


Daerah

Pasal 229

Dalam proses
penyelesaian

25.

PP tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah

Pasal 128 ayat (1),


ayat (2), dan ayat (3)

Dalam proses
penyelesaian

26.

PP tentang Tahapan,
Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah

Pasal 154

Dalam proses
penyelesaian

27.

PP tentang Kedudukan
Keuangan Gubernur Selaku
Wakil Pemerintah

Pasal 38 ayat (3)

Dalam proses
penyelesaian

28.

PP tentang Tata Cara


Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Gubernur selaku
Wakil Pemerintah

Pasal 38 ayat (4)

Dalam proses
penyelesaian

29.

PP tentang Tata Cara


Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban
Penggunaan Dana Darurat

Pasal 165 ayat (3)

Dalam proses
penyelesaian

30.

PP tentang Insentif dan/


atau Kemudahan Kepada
Masyarakat/Investor

Pasal 176

Dalam proses
penyelesaian

31.

PP tentang Pedoman
Standar, Norma dan Prosedur
Pembinaan dan Pengawasan
Manajemen PNS Daerah

Pasal 135 ayat (2)

Dalam proses
penyelesaian

32.

PP tentang Pembentukan
Kecamatan

Pasal 127

Dalam proses
penyelesaian

II. PERATURAN PRESIDEN


1.

Peraturan Presiden tentang


Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah

Pasal 224

Selesai dengan
diterbitkannya
Perpres No. 28 Tahun
2005 tentang DPOD

2.

Peraturan Presiden tentang


Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Peraturan Daerah

Pasal 140 ayat (3)

Dalam proses
penyelesaian

II - 14

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

No.
3.

PERATURAN
PELAKSANAAN

DASAR
PENGATURAN UU
32 / 2004

Peraturan Presiden tentang


Pedoman Pengembangan
Kapasitas dalam Mendukung
Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah

STATUS
PENYUSUNAN
Dalam proses
penyelesaian

III. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI


1.

Peraturan Mendagri tentang


Perpindahan Menjadi
Pegawai Negeri Sipil Pusat
dan Pegawai Negeri Sipil
Daerah

Pasal 131 ayat (2)

Selesai dengan
diterbitkannya
Permendagri No 10
Tahun 2006 tentang
Perpindahan
Menjadi Pegawai
Negeri Sipil Pusat
dan Pegawai Negeri
Sipil Daerah

2.

Peraturan Menteri Dalam


Negeri tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah

Pasal 229

Selesai dengan
diterbitkannya
Permendagri No.1
tentang Pedoman
Penegasan Batas
Daerah

3.

Peraturan Menteri Dalam


Negeri tentang Tata Cara
Perubahan Batas, Perubahan
Nama dan Pemindahan
Ibukota

Pasal 7 ayat (2)

Dalam proses
penyelesaian

II - 15

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Tabel 2.2
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
DASAR
PENGATURAN UU
33 / 2004

PERATURAN
PELAKSANAAN

No.

STATUS
PENYUSUNAN

A. PERATURAN PEMERINTAH
1.

PP tentang Dana
Perimbangan

Pasal 26, 37, dan 42

Telah selesai
dengan keluarnya
PP No 55 Tahun
2005

2.

PP tentang Pinjaman
Daerah

Pasal 65 (Juga
diamanatkan oleh UU
No 32/2004 Pasal 171
ayat 1)

Telah selesai
dengan keluarnya
PP No 54 Tahun
2005

3.

PP tentang Sistem Informasi


Keuangan Daerah

Pasal 104

Telah selesai
dengan keluarnya
PP No 56 Tahun
2005

4.

PP tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah

Pasal 86 (Juga
diamanatkan oleh UU
No 32/2004 Pasal 23
ayat 2, Pasal 194 dan
Pasal 182)

Telah selesai
dengan keluarnya
PP No 58 Tahun
2005

5.

PP tentang Hibah ke daerah

Pasal 45

Telah selesai
dengan keluarnya
PP No 57 Tahun
2005

6.

PP tentang Pengelolaan
Dana Darurat

Pasal 48

Dalam proses
penyelesaian

7.

PP tentang Pengelolaan
Dana Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan

Pasal 92 dan 99

Sedang dalam
tahap persiapan

8.

PP tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan
Umum

Telah selesai
dengan keluarnya
PP No 23 Tahun
2005

II - 16

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Tabel 2.3
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 25 tahun 2004

No.

PERATURAN
PELAKSANAAN

DASAR PENGATURAN
UU 25 / 2004

STATUS
PENYUSUNAN

A. PERATURAN PEMERINTAH
1.

PP tentang Tata
Cara Pengendalian
dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana
Pembangunan

Pasal 30

Telah selesai dengan


keluarnya PP No 39
Tahun 2006

2.

PP tentang Tata Cara


Penyusunan Rencana
Pembangunan
Nasional

Pasal 27 ayat (1) dan


ayat (2)

Telah selesai dengan


keluarnya PP No 40
Tahun 2006

2.3

RENCANA AKSI NASIONAL DESENTRALISASI FISKAL


(RANDF)

Sebagai bagian dari pelaksanaan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005


tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2004-2009, khususnya Bab 12 Revitalisasi Proses Desentralisasi dan
Otonomi Daerah, dan penjabaran dari Grand Strategy Pelaksanaan
Otonomi Daerah, pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional
Desentralisasi Fiskal (RANDF). RANDF diharapkan menjadi payung
kebijakan dan peraturan perundang-undangan bagi pelaksanaan
Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Penyusunan
RANDF dikoordinasikan oleh tiga Menteri Negara, yaitu Menteri
Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS.
Tujuan penyusunan RANDF adalah untuk menyediakan suatu kerangka
kerja yang akan membantu meningkatkan efisiensi dan pemerataan
dari aliran fiskal pemerintah pusat terhadap daerah dan juga untuk
mendukung efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Secara khusus

II - 17

RANDF diharapkan
menjadi payung
kebijakan dan
peraturan perundangundangan bagi
pelaksanaan
Revitalisasi Proses
Desentralisasi dan
Otonomi Daerah

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

RANDF bertujuan untuk : (1) menjabarkan berbagai tujuan, strategi,


dan aksi pemerintah yang berhubungan dengan desentralisasi fiskal
dalam waktu lima tahun ke depan; (2) menyediakan suatu kerangka kerja
yang akan membantu meningkatkan efisiensi dan pemerataan transfer
keuangan pemerintah pusat terhadap daerah; serta (3) mendukung
pengelolaan keuangan daerah secara efektif.
RANDF menjelaskan sembilan (9) tujuan kunci untuk perbaikan
desentralisasi fiskal dan memuat strategi dan aksi untuk membantu
mencapai berbagai tujuan sebagai berikut :
(1) Memperjelas kewenangan pengeluaran antartingkat pemerintahan
yang berbeda;
(2) Memastikan keseimbangan antara kewenangan pengeluaran dan
dana yang tersedia;
(3) Merestrukturisasi pengeluaran publik untuk pelayanan sesuai
prioritas pembangunan;
(4) Meningkatkan kapasitas penerimaan;
(5) Meningkatkan keseimbangan horisontal dan vertikal dalam
hubungaan pusat dan daerah;
(6) Memfasilitas sistem pinjaman daerah guna mendukung investasi;
(7) Meningkatkan efektivitas, disiplin, dan akuntabilitas dari pengelolaan
lokal;
(8) Memperkuat kapasitas pengelolaan keuangan pusat dan daerah;
dan
(9) Meningkatkan koordinasi keseluruhan dari berbagai masalah fiskal
di bawah payung DPOD.
Berbagai strategi serta rincian kegiatan dalam RANDF dapat
dikelompokkan menurut isu-isu sebagai berikut: (1) pengaturan urusan;
(2) perimbangan urusan dan pendanaan; (3) standar pelayanan minimum;
(4) restrukturisasi organisasi pemerintah daerah; (5) Pendapatan Asli
Daerah (PAD); (6) Dana Bagi Hasil (DBH); (7) Dana Alokasi Umum
(DAU); (8) Dana Alokasi Khusus (DAK); (9) Pinjaman daerah; (10)
pengelolaan aset dan keuangan; (11) akuntabilitas; (12) pengembangan
kapasitas; dan (13) koordinasi, monitoring dan evaluasi.

II - 18

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Salah satu kendala dalam pelaksanaan RANDF adalah belum selesai


nya revisi PP 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, yang menjadi landasan
hukum bagi pengaturan pembagian kewenangan atas urusan peme
rintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota).

2.4

Kendala dalam
pelaksanaan
RANDF adalah
belum adanya
aspek legal yang
menjadi landasan

KERJASAMA ANTAR DAERAH

Setiap Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom dituntut


dapat menyediakan pelayanan publik yang optimal. Di samping itu,
Pemerintah Kabupaten/Kota juga diharapkan kreatif dan inovatif
dalam mengelola sumberdaya bagi pembangunan ekonomi. Perbaikan
pelayanan publik akan meningkatkan daya tarik investasi dan
mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga kesejahteraan masyarakat
akan meningkat.

Setiap pemerintah
kabupaten/
kota sebagai
daerah otonom
dituntut dapat
menyediakan
pelayanan publik
yang optimal.

Salah satu kendala dalam peningkatan pelayanan publik dan


pengembangan ekonomi daerah adalah keterbatasan kapasitas daerah
(sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan,
kelembagaan dan asset daerah). Salah satu inovasi untuk mengatasi
masalah tersebut adalah kerjasama antardaerah. Pengalaman di berbagai
negara dan prakarsa yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia
menunjukkan bahwa kerjasama antardaerah akan meningkatkan
kapasitas Pemda dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas
dan terjangkau, dan percepatan pembangunan daerah.
Kerjasama antardaerah akan menjadi pilihan yang paling rasional di masa
depan dengan empat pertimbangan. Pertama, sebagian besar daerah
menghadapi permasalahan keterbatasan fiskal. Kerjasama antardaerah
yang berdekatan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya
dalam penyediaan pelayanan publik. Kedua, perkembangan wilayah
dan dinamika pergerakan manusia semakin mengaburkan batas-batas
administratif. Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, kerjasama

II - 19

Kerjasama
antardaerah akan
menjadi pilihan
yang paling
rasional di masa
depan.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

mendorong pengembangan klaster industri untuk meningkatkan daya


saing produk. Sumberdaya masing-masing daerah dapat dikembangkan
secara sinergis menjadi suatu keunggulan bersama yang saling melengkapi.
Ketiga, adanya eksternalitas dalam setiap kegiatan pembangunan, baik
positif maupun negatif. Kerjasama antardaerah dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dalam pemecahan masalah eksternalitas negatif
yang sering terjadi seperti bencana banjir, kekeringan, kebakaran dan
tanah longsor sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya alam yang
kurang bijaksana. Kerjasama antardaerah juga akan menciptakan
eksternalitas positif berupa pengelolaan sumberdaya, peningkatan
produktivitas, perluasan pemasaran dan penciptaan lapangan kerja
bagi penduduk sekitar. Keempat, adanya kesenjangan antardaerah dan
antarpenduduk dan munculnya masalah sosial baru sebagai akibat
migrasi penduduk dari daerah miskin ke daerah kaya. Kerjasama
antardaerah akan meningkatkan efektivitas pemecahan masalah
kependudukan dan kemiskinan. Kelima, terjadinya tumpang tindih
perizinan pengelolaan sumber daya alam. Pengeluaran surat izin,
surat keterangan dan bukti hak atas kepemilikan tanah ulayat yang
terjadi di wilayah perbatasan antardaerah oleh masing-masing daerah
seringkali tumpang tindih sehingga mengakibatkan konflik horisontal
dan berdampak pada terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban
umum.
Kerjasama antardaerah dapat dilakukan untuk mengoptimalkan
pengelolaan sumberdaya, dan pemecahan masalah lintasdaerah
dalam bidang: (1) peningkatan pelayanan publik; (2) penataan ruang
antardaerah; (3) penanggulangan kemiskinan dan masalah sosial lain;
(4) pengembangan kawasan perbatasan; (5) penanggulangan bencana;
(6) penanganan potensi konflik; dan (7) pengembangan ekonomi dan
promosi. Peran pemerintah provinsi sangat penting dalam mendorong
dan memfasilitasi kerjasama antardaerah.
Beberapa contoh kerjasama antardaerah yang telah berjalan baik selama
ini antara lain adalah: (1) KARTAMANTUL (bentukan kerjasama
antara Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul); (2)
SUBOSUKAWONOSRATEN (kerjasama diantara 6 kabupaten dan 1

II - 20

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

kota eks Karesidenan Solo: Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,


Wonogiri, Sragen, Klaten), (3) Java Promo (beranggotakan
sebanyak 14 kab/kota, di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah); (4)
BARLINGMASCAKEB (kerjasama antar daerah yang melibatkan
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen); (5)
Pengelolaan sampah terpadu di JABODETABEKJUR (Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur); (6) Kerjasama Pengembangan
Wilayah PAWONSARI (Pacitan, Wonogiri, dan Gunung Kidul); (7)
Badan Kerjasama Pegunungan Tengah dan Pantai Selatan (BK-PTSP)
yang meliputi Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Jayawijaya,
Mimika, Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Mimika, Asmat, Boven Digoel
dan Kaimana.
Pada saat ini sudah diusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Peraturan ini akan menjadi
pedoman bagi pemerintahan daerah untuk melakukan kerjasama sesuai
dengan karateristik dan kebutuhan lokal. Di samping itu, kerjasama
antara daerah diharapkan menjadi salah satu solusi (terobosan) untuk
mengurangi dorongan pemekaran daerah.

2.5

ISU-ISU STRATEGIS

(1)

Tata Kepemerintahan yang Baik

Tata kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan


suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
demokratis dan efektif, serta di dalamnya mengatur pola hubungan
yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha
swasta dan masyarakat. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata
kepemerintahan untuk sektor publik (good public governance) yang
merujuk pada lembaga penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan
yudikatif) dan tata kepemerintahan untuk dunia usaha swasta (good
corporate governance), serta adanya partisipasi aktif dari masyarakat
(civil society). Para pihak inilah yang sering disebut sebagai 3 (tiga) pilar
penyangga penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

II - 21

Tata kepemerintahan
yang baik (good
governance)
merupakan suatu
konsepsi tentang
penyelenggaraan
pemerintahan yang
bersih, demokratis
dan efektif, serta di
dalamnya mengatur
pola hubungan yang
sinergis dan konstruktif
antara pemerintah,
dunia usaha swasta dan
masyarakat.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Upaya mewujudkan
tata kepemerintahan
yang baik
membutuhkan
komitmen kuat,
tekad untuk berubah
menjadi lebih baik,
sikap konsisten, dan
waktu yang tidak
singkat.

Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik membutuhkan


komitmen kuat, tekad untuk berubah menjadi lebih baik, sikap
konsisten, dan waktu yang tidak singkat karena diperlukan pembelajaran,
pemahaman, serta implementasi nilai-nilai atau prinsip-prinsipnya
secara utuh oleh seluruh komponen bangsa termasuk oleh aparatur
pemerintah dan masyarakat luas. Di samping itu, perlu kesepakatan
bersama serta sikap optimistik yang tinggi dari seluruh komponen
bangsa bahwa penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik dapat
diwujudkan demi mencapai masa depan bangsa dan negara yang lebih
baik.

Empat prinsip
utama dalam tata
kepemerintahan
yang baik, yakni
transparansi,
partisipasi,
penegakan hukum
dan akuntabilitas.

Secara umum terdapat 4 (empat) prinsip utama dalam tata kepe


merintahan yang baik, yakni transparansi, partisipasi, penegakan
hukum dan akuntabilitas. Berbagai pihak mengembangkan dan
melakukan elaborasi lebih lanjut dalam berbagai prinsip turunan tata
kepemerintahan yang baik, serta melaksanakannya sesuai dengan tugas
pokok organisasi, seperti prinsip wawasan ke depan, supremasi hukum,
demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap, keefisienan
dan keefektifan, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha swasta
dan masyarakat, komitmen pada pengurangan kesenjangan, komitmen
pada lingkungan hidup, dan komitmen pada pasar yang fair.

Gambar 2.1 Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance

II - 22

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Beberapa pemerintahan daerah (Kabupaten Sragen-Jawa Tengah,


Kabupaten Sidoarjo-Jawa Timur, Kabupaten Solok-Sumatera Barat, Kota
Pare-Pare-Sulawesi Selatan, Provinsi Gorontalo dan daerah lainnya)
sedang melakukan perbaikan dalam menerapkan good governance
melalui reformasi birokrasi yang diarahkan pada peningkatan kualitas
pelayanan publik, pelayanan prasarana dasar, perbaikan manajemen
pemerintahan dan aspek lainnya.
(2)

Standar Pelayanan Minimum (SPM)

Pelaksanaan SPM secara luas menghadapi beberapa kendala dan


tantangan yaitu : (1) belum jelasnya pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai akibat dari belum
selesainya revisi PP Nomor 25 Tahun 2000; (2) kompleksitas dalam
merancang SPM; (3) ketersediaan dan kemampuan penganggaran
relatif terbatas; (4) penyusunan SPM bidang kesehatan, pendidikan,
dan layanan dasar lainnya perlu dilakukan melalui proses konsultasi
publik untuk menentukan norma dan standar tertentu yang disepakati
bersama. Hal ini untuk menghindari adanya perbedaan persepsi di
dalam memberikan pelayanan publik sesuai SPM.
Beberapa langkah yang sudah dilakukan dalam rangka pelaksanaan
penerapan SPM antara lain (1) Penerbitan PP No. 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM). PP
ini diharapkan menjadi acuan standar dalam penyusunan SPM sehingga
menghasilkan pelayanan minimum yang setara untuk seluruh wilayah di
Indonesia; (2) Penetapan prioritas dalam standar pelayanan minimum
khususnya bidang kesehatan, pendidikan dan prasarana dasar oleh
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Hal ini diarahkan
dalam upaya meningkatkan penggunaan indeks pembangunan manusia
(human development index) sebagai indikator kemajuan pembangunan
di suatu daerah, dengan cara : menyusun indikator SPM sejalan dengan
Millenium Development Goals (MDGs); dan mengumpulkan data yang
telah dikoordinasikan dengan instansi terkait (kantor statistik, dinas
terkait) sebagai input perhitungan indikator SPM; (3) Pengembangan

II - 23

Pelaksanaan
SPM secara
luas mendapat
beberapa
tantangan besar.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Instrumen Analisis Rencana dan Penganggaran Pencapaian SPM


berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah yang ditetapkan
dengan Permendagri sebagai alat bantu Pemerintah Daerah dalam
mengkaji kemampuannya dan menyusun rencana pencapaian SPM;
(4) Pengembangan Modul Pelatihan untuk Pelatihan Penyusunan dan
penerapan standar pelayanan minimal di tingkat Pemerintah Pusat dan
Daerah. Modul tersebut akan berguna sebagai bahan (materi khusus)
bagi peningkatan pengetahuan aparat pemerintah dalam memahami
SPM secara lebih baik; (5) Pengembangan instrumen Monitoring dan
Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pemerintah Propinsi
dan Kabupaten/Kota. Hal ini diperlukan untuk mengawasi dan
mengevaluasi jaminan pelayanan minimum yang telah direncanakan
untuk diberikan, standar pelayanan minimum yang sudah dicapai,
dan mengantisipasi persoalan-persoalan berkenaan dengan standar
pelayanan minimum.
(3) Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan
PP No. 39 Tahun
2006 tentang Tata
Cara Pengendalian
dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana
Pembangunan,
merupakan upaya
Pemerintah dalam
meningkatkan
proses penilaian
efektivitas rencana
pembangunan di
pusat dan daerah.

Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian


dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, merupakan upaya
Pemerintah dalam meningkatkan proses penilaian efektivitas rencana
pembangunan di pusat dan daerah. PP Nomor 39 Tahun 2006 tersebut
merupakan komitmen Pemerintah untuk terus berupaya mengevaluasi
proses pelaksanaan pembangunan, baik dalam proses realisasi anggaran
pembangunan (APBN dan APBD), kemajuan fisik dan distribusi
pelaksanaan pembangunan di daerah, sampai pada evaluasi dampak dan
hasil pembangunan bagi kondisi sosial dan ekonomi di daerah. Hasil
ini selanjutnya digunakan sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan
dan sinkronisasi program pembangunan dalam siklus perencanaan pem
bangunan tahun berikutnya. Evaluasi juga dimaksudkan dalam rangka
mendorong dan mendukung percepatan pembangunan di daerah.
(4)

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) adalah proses


pengumpulan data, analisis data, dan penyajian informasi secara

II - 24

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

sistematis yang meliputi pengukuran kinerja, analisis sistem, penilaian


kebijakan atas program dan kegiatan; dan sekaligus penetapan tingkat
perkembangan dari waktu ke waktu atas penyelenggaraan urusan
pemerintahan daerah disertai dengan penjelasan faktor kesuksesan
dan hambatan dalam rangka perbaikan penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang lebih efisien dan lebih efektif untuk mencapai tujuan
otonomi daerah.
Tujuan utama dilaksanakannya EPPD ini adalah untuk meningkatkan
kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan mengoptimalkan
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
pemerintah daerah dengan masyarakat.
Guna menjamin proses evaluasi dapat berjalan dengan baik, Pemerintah
menggunakan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD)
sebagai dasar EPPD. LPPD ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27
ayat (2) UU 32/2004 disampaikan Kepala Daerah kepada Pemerintah
sebagai dasar EPPD dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja.
Di samping LPPD, evaluasi juga menggunakan berbagai sumber
informasi atau laporan lain, baik yang berasal dari sistem informasi
pemerintah, laporan atas permintaan pemerintah, tanggapan atas
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ),
maupun laporan dari masyarakat.
Tindak lanjut hasil evaluasi dapat digunakan untuk : (1) evaluasi
kemampuan daerah dalam rangka pemekaran; (2) evaluasi perkembangan
daerah pemekaran; (3) evaluasi program pembangunan daerah; (4)
evaluasi perda; (5) evaluasi operasional urusan pemerintahan daerah,
kelembagaan daerah, personalia daerah, keuangan daerah, perencanaan
daerah, majemen pelayanan publik; dan (6) evaluasi tertentu lainnya
sesuai peraturan perundang-undangan.
(5) Pengembangan Kapasitas
Kinerja pemerintahan daerah yang optimal ditentukan oleh kemampuan
dan kapasitas daerah yang bersangkutan. Pengembangan kapasitas

II - 25

Tujuan utama
dilaksanakannya
EPPD ini adalah untuk
meningkatkan kinerja
penyelenggaraan
pemerintahan daerah
dan mengoptimalkan
hubungan antara
pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
serta pemerintah
daerah dengan
masyarakat.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Kinerja
pemerintahan
daerah yang optimal
ditentukan oleh
kemampuan dan
kapasitas daerah
yang bersangkutan.

dilakukan dengan berbagai masukan dari berbagai pihak terkait melalui


Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD). Hasil evaluasi
tersebut merupakan salah satu indikator bagi pengembangan kapasitas
dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik dari pemerintah
kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan kapasitas mencakup ruang
lingkup yang terdiri dari tiga tingkatan : (1) Sistem, (2) Kelembagaan,
dan (3) Individu.
Dalam implementasinya, pengembangan kapasitas dilakukan melalui
tahapan-tahapan berikut:
(1) Mengidentifikasikan dan merumuskan kebutuhan-kebutuhan
pengembangan dan peningkatan kapasitas secara komprehensif dari
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, DPRD, lembaga pendukung
dan penyedia pelayanan, organisasi non-pemerintah (Ornop)
serta organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya dalam rangka
percepatan pelaksanaan otonomi daerah;
(2) Mengidentifikasi dan merumuskan prioritas bagi prakarsa-prakarsa
pengembangan dan peningkatan kapasitas;
(3) Menetapkan rencana tindak (action plan) pengembangan dan
peningkatan kapasitas secara keseluruhan yang terkoordinir dan
efisien; dan
(4) Menyediakan acuan atau rujukan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam mengalokasikan kegiatan dan anggaran guna mendukung
percepatan pelaksanaan otonomi daerah.

2.6


(1)

KELEMBAGAAN TERKAIT PENYELENGGARAAN


PEMERINTAHAN DAERAH DAN PERBAIKAN IKLIM
INVESTASI DI DAERAH
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 membawa perubahan besar


pada lembaga legislatif pada tingkat pusat, yaitu dengan dibentuknya

II - 26

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Dengan perubahan tersebut,


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tersusun dari DPR RI dan
DPD RI. Masing-masing lembaga legislatif tersebut memiliki tugas dan
wewenang tersendiri. Kedudukan DPD RI merupakan unsur perwakilan
daerah, sementara DPR RI merupakan unsur perwakilan partai-partai
politik. Jika DPR RI dan DPD RI digabungkan, keduanya membentuk
MPR RI.

Kedudukan DPD RI
merupakan unsur
perwakilan daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan


Kedudukan MPR RI, DPR RI, DPD RI, dan DPRD mencantumkan
ketentuan konstitusional mengenai komposisi dan struktur DPD RI,
serta mendefinisikan DPD RI yang merupakan lembaga perwakilan
daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

DPD RI merupakan
lembaga perwakilan
daerah yang
berkedudukan
sebagai lembaga
negara.

Konstitusi yang sudah diamandemen dan UU Susunan dan Kedudukan


menempatkan DPD RI sebagai lembaga yang memiliki peran untuk
memberikan pertimbangan terhadap pembahasan Rancangan UndangUndang (RUU) yang dilakukan oleh DPR. Kewenangannya terbatas
pada isu-isu yang terkait dengan kepentingan daerah; hubungan antara
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam; perimbangan keuangan pusat
dan daerah; dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi. DPD RI juga memiliki
kewenangan mengawasi di bidang-bidang ini, dan juga terhadap APBN
serta RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang
hasilnya disampaikan ke DPR RI.

DPD RI sebagai
lembaga yang
memiliki peran
untuk memberikan
pertimbangan
terhadap
pembahasan
Rancangan UndangUndang (RUU) yang
dilakukan oleh DPR.

Sesuai dengan konstitusi, format representasi DPD-RI dibagi menjadi


fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang
terkait sebagaimana berikut ini. Dalam fungsi legislasi, tugas dan
wewenang DPD adalah (1) dapat mengajukan rancangan undangundang (RUU) kepada DPR, dan (2) ikut membahas RUU pada
bidang-bidang yang terkait dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya; dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Format representasi
DPD-RI dibagi
menjadi fungsi
legislasi,
pertimbangan dan
pengawasan pada
bidang-bidang
terkait.

II - 27

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Pada fungsi pertimbangan, tugas dan wewenang DPD adalah


memberikan pertimbangan kepada DPR tentang RUU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama, dan Pemilihan anggota Badan Pemeriksa
Keuangan. Sementara itu pada fungsi pengawasan, tugas dan wewenang
DPD adalah (1) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; dan (2) menerima
hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Adapun
bidang-bidang yang terkait dengan tugas dan wewenang tersebut
adalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam
serta sumberdaya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan
daerah, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
dan pajak, pendidikan, dan agama.
(2)
Dewan
Pertimbangan
Otonomi Daerah
(DPOD) mempunyai
tugas memberikan
saran dan
pertimbangan
kepada Presiden
terhadap kebijakan
otonomi daerah.

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang dibentuk di


tingkat nasional mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan
kepada Presiden terhadap kebijakan otonomi daerah. DPOD diharapkan
dapat memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden
mengenai rancangan kebijakan :(a) pembentukan, penghapusan,
dan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus ; (b)
perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah,
yang meliputi 1) perhitungan bagian masing-masing daerah atas
dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, 2) formula dan perhitungan Dana Alokasi
Umum (DAU) masing-masing daerah berdasarkan besaran pagu DAU
sesuai dengan peraturan perundangan, 3) Dana Alokasi Khusus (DAK)
masing-masing daerah untuk setiap tahun anggaran berdasarkan
besaran pagu DAK dengan menggunakan kriteria sesuai dengan
peraturan perundangan; dan (c) penilaian kemampuan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

II - 28

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

(3) Asosiasi Pemerintah Daerah



Dalam rangka mewujudkan implementasi kebijakan otonomi daerah
dan meningkatkan kerjasama antar pemerintah daerah, para Bupati
seluruh Indonesia mendeklarasikan pembentukan Asosiasi Pemerintah
Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Inisiatif yang sama kemudian
diikuti dengan pembentukan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh
Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh
Indonesia (APPSI).

APKASI, APEKSI, dan


APPSI memainkan
peran sebagai
fasilitator dan
mediator kerjasama
antardaerah.

Sebagai lembaga wadah pemerintah daerah (APKASI, APEKSI, dan


APPSI) sangat potensial memainkan peran sebagai fasilitator dan
mediator kerjasama antardaerah, termasuk dalam pengembangan
investasi di daerah. Ketiga asosiasi ini pernah menyelenggarakan expo
dalam rangka mempromosikan keanekaragaman potensi daerah.
(4)

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)

BKPM adalah lembaga pelayanan urusan investasi di tingkat nasional


yang fungsi utamanya adalah mengimplementasikan misi pemerintah
dalam peningkatan penanaman modal. Dalam menjalankan fungsi
tersebut BKPM memiliki kewenangan:
a. Menyiapkan perencanaan investasi di tingkat nasional;
b. Merumuskan kebijakan investasi;
c. Mengembangkan sistem informasi investasi;
d. Memberikan persetujuan dan mengendalikan implementasi
investasi yang berisiko tinggi.
Upaya pelayanan investasi terus dilakukan oleh BKPM, dengan sasaran
akhir terwujudnya one stop service kepada para investor, baik asing
maupun domestik. Untuk mengarah ke sana BKPM mengembangkan
beberapa jenis pelayanan sebagai berikut :
a. Pelayanan Informasi Investasi, mencakup informasi tentang : potensi
dan peluang investasi, mitra usaha potensial baik asing maupun

II - 29

Upaya pelayanan
investasi terus
dilakukan oleh BKPM,
dengan sasaran akhir
terwujudnya one
stop service

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

domestik bagi investor yang berniat melakukan joint venture di


Indonesia, kebijakan pemerintah, peraturan dan perundangundangan terkait kegiatan investasi, statistik investasi, dan informasi
terkini terkait investasi di Indonesia.
b. Panduan dan konsultansi bagi para investor dalam mempersiapkan
aplikasi investasi baru, pengembangan investasi, dan perubahan
proyek investasi.
c. Monitoring dan evaluasi atas kemajuan kegiatan investasi, termasuk
menyediakan panduan dan konsultasi bagi investor dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi selama pelaksanaan
proyek investasi.

II - 30

BAB III
Pembangunan Daerah,
Peningkatan Investasi,
dan Peningkatan
Kesejahteraan

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah


BAB III PEMBANGUNAN DAERAH, PENINGKATAN
INVESTASI, DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

Pemulihan kondisi ekonomi makro yang berjalan saat ini belum


diimbangi dengan membaiknya kinerja sektor riil. Tanpa ada
perbaikan kinerja sektor riil, pemecahan masalah pengangguran
dan kemiskinan akan menjadi kian sulit. Mengingat salah satu
faktor penyebab rendahnya kinerja sektor riil adalah oleh
rendahnya investasi, maka perbaikan iklim investasi sangat
penting dan mendesak. Langkah perbaikan ini memerlukan
koordinasi dan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah daerah dengan kewenangan dan sumber daya yang
semakin besar mempunyai peran penting dalam memperbaiki
iklim investasi dan meningkatkan kinerja pembangunan daerah.
Dalam bab ini akan diuraikan konsepsi umum pembangunan
daerah, peranan investasi sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi daerah yang berkelanjutan, serta strategi kunci dalam
rangka meningkatkan daya tarik dan daya saing investasi. Bab
ini juga membahas berbagai inisatif pemerintah daerah dalam
menciptakan iklim investasi yang baik.

3.1
Pembangunan
daerah dilaksanakan
melalui
pengembangan
otonomi daerah
dan pengaturan
sumber daya
yang memberikan
kesempatan bagi
terwujudnya tata
kepemerintahan
yang baik.

PEMBANGUNAN DAERAH

Pembangunan daerah, sebagai bagian integral dari pembangunan


nasional, pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan
kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang
andal dan profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
serta kemampuan untuk mengelola sumber daya ekonomi daerah secara
berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan perekonomian daerah
dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan daerah dilaksanakan
melalui pengembangan otonomi daerah dan pengaturan sumber daya
yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya tata kepemerintahan

III - 

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

yang baik. Pembangunan daerah juga merupakan upaya untuk mem


berdayakan masyarakat di seluruh daerah sehingga tercipta suatu
lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kualitas
kehidupan yang lebih baik, maju, tenteram, dan sekaligus memperluas
pilihan yang dapat dilakukan masyarakat bagi peningkatan harkat,
martabat, dan harga diri.
Visi dari pembangunan daerah adalah terwujudnya kapasitas
daerah yang maju dengan masyarakat yang mandiri. Sedangkan misi
pembangunan daerah adalah: (1) memantapkan otonomi daerah
dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan;
(2) mempercepat pengembangan wilayah dengan mengutamakan
peningkatan daya saing sebagai dasar pertumbuhan daerah; (3)
pemerataan antardaerah; (4) pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam secara berkelanjutan; (5) meningkatkan kapasitas masyarakat
dengan memberikan hak kepada masyarakat untuk pengembangan diri;
serta (6) mempercepat penyelesaian masalah sosial, ekonomi, politik
serta hukum di beberapa daerah.

Visi dari
pembangunan
daerah adalah
terwujudnya
kapasitas daerah
yang maju dengan
masyarakat yang
mandiri.

Pembangunan daerah dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi
pembangunan sektoral. Pencapaian sasaran pembangunan nasional
dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang
dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral disesuaikan dengan
kondisi dan potensi daerah. Kedua, dari segi pembangunan wilayah yang
meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan
sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Ketiga, pembangunan daerah
dilihat dari segi pemerintahan. Tujuan pembangunan daerah hanya
dapat dicapai apabila pemerintah daerah berjalan dengan baik. Oleh
karena itu, pembangunan daerah merupakan usaha mengembangkan
dan memperkuat pemerintahan daerah dalam rangka makin mantapnya
otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab.

Pembangunan
daerah dapat
dilihat dari segi
pembangunan
sektoral,
pembangunan
wilayah dan
pemerintahan.

III - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Gambar
PenyelenggaranPemerintahan
Pemerintahan
Daerah,
Pembangunan
Gambar3.1.
3.1 Penyelenggaraan
Daerah,
Pembangunan
Daerah,
danPembangunan
Pembangunan Nasional
Daerah, dan
Nasional

Kinerja pembangunan
nasional merupakan
agregat dari kinerja
pembangunan
seluruh daerah.

Dengan pemahaman pembangunan daerah sebagai penjabaran dari


pembangunan nasional, kinerja pembangunan nasional merupakan
agregat dari kinerja pembangunan seluruh daerah. Pencapaian tujuan
dan sasaran pembangunan nasional merupakan agregasi dari pencapaian
semua provinsi, dan pencapaian tujuan di tingkat provinsi merupakan
agregasi pencapaian tujuan di tingkat kabupaten/kota. Dengan demikian
tanggungjawab untuk mencapai tujuan dan sasaran-sasaran dalam
pembangunan nasional menjadi kewajiban bersama antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Perencanaan pembangunan daerah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan
nasional. Sinkronisasi kebijakan, program dan kegiatan pembangunan
sangat penting untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya yang terbatas.

III - 

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

Kinerja Pembangunan
Kabupaten/Kota
Kinerja Pembangunan
Kabupaten/Kota

Agregasi

Agregasi

Kinerja Pembangunan
Kabupaten/Kota
Kinerja Pembangunan
Kabupaten/Kota

Kinerja
Pembangunan
Provinsi

Agregasi

Kinerja
Pembangunan
Nasional

Kinerja
Pembangunan
Provinsi

Gambar
3.2 Hubungan
Kinerja Pembangunan
Daerah
dan
Gambar 3.2.
Hubungan
Kinerja Pembangunan
Daerah dan
Kinerja
KinerjaNasional
Pembangunan Nasional
Pembangunan

Pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah dapat dilihat dari


perkembangan indikator ekonomi yang ada. Pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar telah menunjukkan perbaikan.
Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8 persen lebih tinggi
dibanding tahun 2005 sebesar 5,6 persen. Inflasi tahun 2006 sebesar 6,6
persen jauh lebih rendah dibanding inflasi tahun 2005 sebesar 2005.
Sejak Juli 2006, nilai tukar rupiah relatif stabil pada rentang Rp. 9.000Rp. 9,200 per satu USD, dan secara keseluruhan tahun 2006 rata-rata
nilai tukar rupiah mencapai Rp. 9.168 per satu USD.
Perbaikan kinerja ekonomi makro belum disertai dengan membaiknya
kinerja sektor riil yang tercermin dari kondisi dunia usaha, industri, dan
investasi. Implikasi dari lambannya pemulihan kondisi sektor riil adalah
pengurangan pengangguran dan kemiskinan belum menunjukkan
capaian yang diharapkan. Hal ini menegaskan bahwa membaiknya
indikator ekonomi makro merupakan kondisi yang dibutuhkan, tetapi

III - 

Pencapaian tujuan
pembangunan
nasional dan daerah
dapat dilihat dari
perkembangan
indikator ekonomi.

Perbaikan
kinerja ekonomi
makro belum
disertai dengan
membaiknya
kinerja sektor riil
yang tercermin
dari kondisi dunia
usaha, industri, dan
investasi.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

belum mencukupi untuk mendorong pemulihan ekonomi. Oleh karena


itu, keberhasilan menciptakan stabilitas ekonomi makro perlu dipandang
sebagai landasan untuk meningkatkan kinerja sektor riil dalam rangka
pemulihan ekonomi.
Pemerintah Pusat
dan Pemerintah
Daerah mempuyai
tanggung jawab
bersama dalam
memberikan
stimulan bagi
pengembagan
sektor riil.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai tanggung


jawab bersama dalam memberikan stimulan bagi pengembangan
sektor riil melalui peningkatan investasi. Investasi akan menimbulkan
efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian. Peningkatan
investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi
juga meningkatkan penawaran agregat melalui meningkatnya stok
kapital dan kapasitas produksi. Kegiatan produksi akan menyerap
tenaga kerja. Investasi, khususnya yang datang dari luar negeri atau
luar wilayah, juga akan mendorong proses alih teknologi dan inovasi.
Proses ini pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas, memacu
pertumbuhan dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Untuk itu investasi yang perlu
ditingkatkan adalah investasi yang dapat menciptakan kesempatan
kerja, menggunakan sumber daya ekonomi daerah yang ada, dan dapat
memberikan nilai tambah yang besar terutama investasi di sektor
pertanian dan industri yang dapat menyerap tenaga kerja. Demikian
pula, penataan dan pembenahan sektor informal seperti usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) termasuk pedagang kaki lima (PKL)
juga sangat penting dalam mengembangkan sektor riil.

3.2
Pertumbuhan
ekonomi daerah
saat ini sebagian
besar bersumber
dari peningkatan
konsumsi baik
pemerintah maupun
masyarakat.

PERANAN INVESTASI BAGI PEMBANGUNAN DAERAH

Pertumbuhan ekonomi daerah saat ini sebagian besar bersumber


dari peningkatan konsumsi baik pemerintah maupun masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh konsumsi sulit dijaga
keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah
seperti itu tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang
kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi
akan kurang menciptakan nilai tambah dan memicu peningkatan

III - 

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

inflasi. Dalam upaya menciptakan pertumbuhan yang lebih berkualitas


dan berkelanjutan, perekonomian daerah perlu didukung oleh kegiatan
investasi di sektor produktif dan jasa.
Investasi swasta dirasakan semakin penting mengingat kapasitas fiskal
pemerintah (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) yang terbatas sehingga
sulit untuk selalu dijadikan sebagai sumber utama pertumbuhan.
Dampak pengganda yang diciptakan dari peningkatan investasi adalah
meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan
produksi, berkembangnya kegiatan perdagangan antardaerah, dan
terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Investasi juga mendorong
percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan
transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih
besar bagi mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan
tenaga kerja) secara lebih mudah dan murah. Percepatan ini juga
bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah.

Investasi swasta
dirasakan semakin
penting mengingat
kapasitas fiskal
pemerintah.

Investasi dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan


meningkatkan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat
(gain) maksimal dari aktivitas tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha
mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan
modal, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan
pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja dorongan
kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi
pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima. Kenaikan
upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan/atau
berinvestasi. Bagi pemerintah, meningkatnya aktivitas produksi dan
perdagangan, upah dan daya beli berarti meningkatnya penerimaan
pajak, yang memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik.

Investasi dapat
menjadi pendorong
roda ekonomi daerah
dan meningkatkan
kesejahteraan
ketika semua pihak
mendapat manfaat
(gain) maksimal dari
aktivitas tersebut.

III - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Kotak 3.1. Investasi pemerintah mulai pulih, swasta belum


Secara total, investasi pemerintah dan swasta meski mengalami pertumbuhan pada tahun 2004 dan
2005 masing-masing 14,6 persen dan 9,9 persen, namun proporsinya hanya mencapai 22 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2005. Pada tahun 2006 diperkirakan investasi pemerintah
telah pulih ke level sebelum krisis sekitar 7 persen dari PDB, di mana 50 persen lebih investasi
pemerintah kini dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Namun investasi swasta belum beranjak
banyak. Dalam kurun 2000-2005 kontribusi investasi swasta terhadap PDB hanya bertambah dari
16,9 persen menjadi 17,5 persen. Sebagai perbandingan, pada tahun 1996 total investasi hampir
mencapai 30 persen dari PDB, dengan komposisi 22,6 persen investasi swasta dan 7 persen investasi
pemerintah. Sebelum desentralisasi, investasi pemerintah didominasi oleh pemerintah pusat.

Pemerintah
menciptakan iklim
investasi yang kondusif
dengan melakukan
reformasi birokrasi,
membenahi perijinan,
dan menghapuskan
berbagai hambatan
struktural.

Globalisasi yang diikuti oleh meningkatnya arus barang, modal


dan jasa antarnegara dan antardaerah menyediakan peluang bagi
pemerintah daerah untuk meningkatkan investasi sebagai sumber
utama pembangunan ekonomi di daerah. Tantangan yang harus diatasi
oleh pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif
dengan melakukan reformasi birokrasi, membenahi perijinan, dan
menghapuskan berbagai hambatan struktural.
(1)

Perkembangan
investasi di Indonesia
saat ini belum
menyebar secara
merata antar daerah.

Keragaan Investasi di Daerah

Perkembangan investasi di Indonesia saat ini belum menyebar secara


merata antar daerah. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa DKI Jakarta
merupakan provinsi dengan nilai investasi tertinggi atau setara dengan
27,9 persen dari total investasi di Indonesia. Lebih dari 60 persen
investasi terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Provinsi Maluku Utara dan
Maluku adalah dua provinsi dengan nilai investasi terendah. Sebaran
investasi menurut provinsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Pola persebaran investasi tersebut selain disebabkan oleh ketersediaan
infrastruktur juga disebabkan oleh kemudahan dalam mendapatkan
layanan perijinan, dukungan sumber daya, dan komitmen pemerintah
daerah dalam meningkatkan investasi.

III - 

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

Tabel 3.1
Distribusi Investasi di Indonesia menurut Provinsi
Tahun 2005 (dalam %)
No

Provinsi

Proporsi
Investasi

No

Provinsi

Proporsi
Investasi

Papua
Nusa Tenggara Barat
Bali
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Jambi
Irian Jaya Barat
Kep. Bangka Belitung
Gorontalo
Bengkulu
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara

1.05%
1.01%
0.78%
0.63%
0.60%
0.57%
0.57%
0.53%
0.51%
0.44%
0.38%
0.19%
0.15%
0.08%
0.03%
0.02%

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

DKI Jakarta
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Riau
Sumatera Utara
Kepulauan Riau
Kalimantan Timur
Banten
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
DI. Yogyakarta
Lampung
Kalimantan Tengah

27.91%
12.74%
11.21%
6.51%
5.31%
4.01%
3.78%
3.78%
3.68%
2.88%
1.93%
1.91%
1.48%
1.36%
1.34%
1.33%

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

17

Nanggroe Aceh
Darussalam

1.29%

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik


*) Investasi menggunakan data Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto atas dasar harga konstan tahun 2000.

Perbedaan nilai investasi antardaerah ini juga memperlihatkan perbedaan


sumbangan investasi dalam menggerakkan perekonomian daerah.
Data tahun 2005 tentang rasio dari pembentukan modal tetap domestik
bruto terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) menunjukkan
bahwa Provinsi Kepulauan Riau memiliki kontribusi investasi tertinggi
dengan investasi sebesar 45,5 persen dari total aktivitas perekonomian
daerah tersebut. Di sisi lain, terdapat empat provinsi yang selain nilai
investasinya rendah juga kontribusi investasi dalam perekonomian
daerah relatif rendah, yakni kurang dari 10 persen. Provinsi tersebut
antara lain adalah Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku dan Maluku Utara
(lihat Tabel 3.2).
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi memiliki proporsi
investasi lebih rendah dibanding rata-rata nasional. Hanya 11 (sebelas)

III - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Sebagian besar
provinsi memiliki
proporsi investasi
lebih rendah
dibanding rata-rata
nasional.

provinsi yang memiliki kontribusi investasi lebih tinggi dibanding


rata-rata nasional. Kenyataan ini membutuhkan perhatian lebih dari
pemerintah daerah untuk dapat mendukung kebijakan pemerintah
pusat dalam bentuk sinkronisasi kebijakan.
Tabel 3.2.
Kontribusi Investasi terhadap PDRB menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2005 (dalam %)
No

Provinsi

Proporsi
Investasi
terhadap
PDRB

No

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
DKI Jakarta
Gorontalo
Irian Jaya Barat
Kalimantan Barat
DI. Yogyakarta
Riau
Nusa Tenggara Barat

45.49%
34.91%
34.53%
33.91%
30.07%
29.75%
29.35%
24.48%
24.34%

18
19
20
21
22
23
24
25
26

10

Sulawesi Tenggara

24.24%

27

11
12
13
14
15
16
17

Banten
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Jawa Timur
Sulawesi Utara

23.13%
21.56%
21.21%
19.35%
18.48%
18.15%
18.12%

28
29
30
31
32
33

Provinsi
Sulawesi Tengah
Papua
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Jawa Barat
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Jambi
Kalimantan Timur
Nanggroe Aceh
Darussalam
Bali
Kalimantan Selatan
Sulawesi Barat
Bengkulu
Maluku
Maluku Utara

Proporsi
Investasi
terhadap
PDRB
17.68%
17.19%
16.83%
16.74%
16.67%
16.66%
16.63%
14.86%
14.75%
13.49%
13.44%
10.13%
9.09%
8.51%
3.48%
3.32%

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2006


Catatan: Dihitung pada data atas dasar harga konstan Tahun 2000

Realisasi penanaman
modal sebagian besar
sangat dominan
berada di wilayah
Kawasan Barat
Indonesia (KBI).

Menurut jenis investasi, realisasi penanaman modal dalam negeri


(PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) sebagian besar sangat
dominan berada di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI). Dalam
periode tahun 2001 sampai September 2006, realisasi investasi di
wilayah ini sekitar 98 persen untuk PMDN dan 99 persen untuk PMA.
Konsentrasi investasi di KBI berada di Pulau Jawa, yang porsinya
mencapai 50 persen untuk PMDN dan sekitar 70-80 persen untuk

III - 10

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

PMA secara nasional. Pulau Sumatera adalah wilayah kedua yang


menjadi lokasi berinvestasi, namun dengan selisih yang cukup besar bila
dibandingkan dengan Pulau Jawa, yaitu sekitar 40 persen untuk PMDN
dan sekitar 13 persen untuk PMA (lihat Lampiran 1). Investasi di Pulau
Jawa khususnya dan KBI umumnya telah mendukung pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi dan stabil khususnya pada periode sebelum
krisis 1997/1998.
(2)

Kendala dan Tantangan Investasi di Daerah

Dalam era otonomi daerah, daerah memiliki hak untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan, memilih pimpinan, mengelola
aparatur daerah, memungut pajak dan retribusi daerah, mengelola
kekayaan daerah dan juga dapat mendapatkan sumber pembiayaan
yang berasal dari daerah sendiri yang sah. Selain itu, daerah mempunyai
kewajiban untuk menyediakan layanan publik dan membangun daerah.
Bagi daerah yang kurang siap dengan otonomi, kewajiban tersebut
akan menjadi beban berat dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
Namun, apabila daerah telah siap, pelaksanaan otonomi daerah akan
menjadi peluang bagi percepatan pembangunan daerah.
Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa belum semua daerah dapat
melaksanakan otonomi dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut terlihat dari
berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah
terutama terkait dengan permasalahan regulasi (peraturan daerah),
serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya keuangan melalui
pengeluaran atau belanja daerah. Dengan kewenangan yang dimiliki,
daerah menerbitkan dan memberlakukan Perda baru, khususnya terkait
dengan pungutan pajak dan retribusi daerah yang sering tidak sejalan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di atasnya, dan
menambah beban bagi masyarakat dan dunia usaha di daerah yang
bersangkutan. Sementara itu, sumber daya keuangan yang dimiliki
daerah juga belum dialokasikan dan didistribusikan secara efisien dan
efektif, baik dalam penyediaan barang dan pelayanan publik maupun
dalam mendorong kinerja sektor riil di daerah.

III - 11

Belum semua daerah


dapat melaksanakan
otonomi dengan
sebaik-baiknya.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Perda bermasalah
mengakibatkan
terjadinya ekonomi
biaya tinggi,
rendahnya investasi
baru dan lemahnya
daya saing usaha.

Perda bermasalah yang muncul pada awal pelaksanaan desentralisasi


mengakibatkan terjadinya ekonomi biaya tinggi di daerah, rendahnya
investasi baru yang masuk ke daerah dan lemahnya daya saing usaha.
Perda yang bermasalah tersebut mungkin disebabkan oleh dua hal, yaitu
pertama, Perda-perda tersebut sebenarnya merupakan pelaksanaan
dari undang-undang (UU) mengenai pajak dan retribusi daerah, tetapi
Perda-perda tersebut memberikan penafsiran yang salah terhadap UU
tersebut. Akibat penafsiran yang salah tersebut, suatu aktivitas yang
seharusnya tidak terkena pajak atau retribusi daerah menurut pengertian
UU pajak dan retribusi daerah ternyata dikenakan pajak atau retribusi
daerah.
Kedua, Perda-perda tersebut memang dibuat untuk menciptakan pajak
atau retribusi baru yang tidak ada dalam UU yang berlaku seperti
sumbangan wajib, pajak ekspor (retribusi terhadap hasil bumi daerah
yang dijual ke luar daerah), pajak komoditas (pajak yang dikenakan
terhadap komoditas daerah tertentu dan bertentangan dengan UU pajak
nasional), serta retribusi tenaga kerja (pungutan terhadap perusahaan
yang memakai tenaga kerja bukan lokal dan dapat mengganggu
pergerakan orang antardaerah). Hal ini akan berdampak terhadap
memburuknya iklim usaha dan menghambat upaya pengembangan
ekonomi. Perda bermasalah juga memicu reaksi publik yang
menganggap bahwa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
ternyata hanya menciptakan hambatan birokratis dan beban pungutan
bagi perusahaan yang berlokasi di daerah. Muncul juga pendapat yang
menyatakan bahwa desentralisasi seolah-olah tidak bermanfaat atau
bahkan mengganggu upaya pemulihan perekonomian nasional.

Dunia usaha, banyak


yang mengeluhkan
keberadaan
Perda-perda yang
bermasalah tersebut

Dunia usaha, terutama para pengusaha dan investor di daerah banyak


yang mengeluhkan keberadaan Perda-perda yang bermasalah tersebut.
Keluhan utama adalah ketidakpastian mengenai besarnya jumlah yang
harus dibayar dan kerumitan administrasi yang ditimbulkan oleh begitu
banyaknya jenis pajak dan retribusi daerah. Dari sisi Pemerintah Daerah,
keberadaan Perda-perda tersebut tanpa disadari telah menurunkan daya
saing perekonomian daerah.

III - 12

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

Terbatasnya sumber daya keuangan yang dimiliki daerah dan besarnya


tanggung jawab daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya
seringkali menjadi alasan penyebab munculnya Perda-perda yang
bermasalah. Dengan relatif kecilnya proporsi Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan dominasi dana perimbangan yang mencakup dana alokasi
umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi khusus (DAK))
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagian
besar daerah masih mengandalkan pada alokasi dana perimbangan
sebagai sumber utama. Kondisi ini akhirnya memaksa daerah untuk
menempuh berbagai cara dalam meningkatkan PAD yang tidak sejalan
dengan UU No. 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tanpa ada
upaya melakukan efisiensi.
Pada saat ini Pemerintah Pusat (cq. Departemen Dalam Negeri)
telah mengevaluasi sebanyak 5.550 Perda tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak lebih dari 1.200 Perda
direkomendasikan untuk dibatalkan. Sehubungan dengan itu telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan 600
Perda tersebut, sedangkan sisanya masih dalam proses pembatalan.
Di samping itu, terdapat sekitar 130 Perda tentang Pungutan Daerah
yang Terkait dengan Pelaksanaan Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, yang telah dievaluasi oleh
Pemerintah Pusat. Perda-perda tersebut mengatur pungutan berkaitan
dengan menara telekomunikasi, jembatan timbang, dan lalu lintas
barang. Dari jumlah tersebut, 130 Perda telah dibatalkan dengan
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan 60 Perda masih dalam proses
pembatalan.
Berbagai bentuk peraturan yang menghambat proses mendapatkan
usaha akan mengganggu upaya meningkatkan investasi di daerah. Dalam
lingkup global, laporan Doing Business in 2005 yang dipublikasikan
oleh World Bank dan the International Finance Corporation melakukan
perbandingan antarnegara dalam hal kemudahan melakukan usaha.
Laporan tersebut menyoroti aspek kemudahan memulai usaha,
ketenagakerjaan (sistem rekrutmen dan pemutusan hubungan kerja),
sertifikasi properti, akses perkreditan, perlindungan terhadap investor,
III - 13

Terbatasnya
sumber daya
keuangan yang
dimiliki daerah
dan besarnya
tanggung jawab
daerah dalam
melaksanakan
pembangunan
di daerahnya
seringkali menjadi
alasan penyebab
munculnya
Perda-perda yang
bermasalah.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

penegakan kontrak, dan penutupan usaha. Dalam hal kemudahan


memulai usaha, proses perijinan di Indonesia masih memerlukan
pembenahan untuk dapat bersaing dengan negara-negara tetangga di
Asia (lihat Tabel 3.3). Jumlah prosedur perijinan di Indonesia tidak
terlalu jauh berbeda dibanding negara-negara Asia lainnya. Namun,
jumlah hari yang diperlukan untuk memperoleh ijin usaha di Indonesia
ternyata termasuk yang paling lama. Begitu pula biaya yang diperlukan di
Indonesia termasuk yang termahal dibanding negara-negara tetangga.
Tabel 3.3
Perbandingan Kemudahan Memulai Usaha Negara-Negara
di Kawasan Asia Tenggara, China, dan India
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Negara
Cambodia
China
India
Indonesia
Lao PDR
Malaysia
Philippines
Singapura
Thailand
Vietnam

Jumlah
Prosedur

Waktu
(hari)

Biaya
(% pendapatan
perkapita)

Modal Minimum
(% pendapatan
perkapita)

11
12
11
12
9
9
11
7
8
11

94
41
89
151
198
30
50
8
33
56

480.1
14.5
49.5
130.7
18.5
25.1
19.5
1.2
6.7
28.6

394.0
1104.2
0.0
125.6
28.5
0.0
2.2
0.0
0.0
0.0

Sumber: World Bank & IFC, 2005

Para pelaku usaha


di tingkat nasional
menyoroti masalah
kepastian hukum,
stabilitas ekonomi
makro, dan
perijinan sebagai
tiga hambatan
paling utama dalam
melakukan usaha.

Kendala yang dihadapi oleh para pelaku usaha atau investor di tingkat
nasional dan daerah ternyata berbeda. Hasil Studi Bank Dunia (2006)
menyebutkan bahwa persepsi para pelaku usaha di tingkat nasional
menyoroti masalah kepastian hukum, stabilitas ekonomi makro, dan
perijinan sebagai tiga hambatan paling utama dalam melakukan usaha.
Hambatan lain yang mengurangi minat investasi adalah masalah
keamanan, perpajakan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur.

Persepsi pelaku
usaha di perdesaan
tentang perijinan
usaha menyebutkan
hambatan dalam
usaha,

Persepsi pelaku usaha di perdesaan tentang perijinan usaha menyebutkan


hambatan dalam usaha, yaitu infrastruktur, akses perkreditan, dan
pemasaran. Hambatan lainnya adalah pungutan liar, perijinan,
ketenagakerjaan, stabilitas ekonomi makro, serta kepastian hukum dan

III - 14

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

berusaha. Berbagai kendala tersebut menegaskan perlunya prioritas


kebijakan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dalam memperbaiki iklim investasi.

yaitu infrastruktur,
akses perkreditan,
dan pemasaran

Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan telah menghambat


perdagangan antardaerah. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam
membuat dan memberlakukan peraturan daerahnya sendiri memung
kinkan timbulnya hambatan bagi perdagangan antardaerah, baik berupa
distorsi pasar maupun non pasar. Distorsi pasar terdiri dari pajak dan
retribusi daerah yang dikenakan pada komoditi yang diperdagangkan,
sedangkan distorsi non pasar terdiri dari regulasi perdagangan
yang mendorong terjadinya monopoli dan monopsoni, serta kuota
perdagangan dan hambatan persaingan usaha.

Berbagai peraturan
perundangundangan telah
menghambat
perdagangan
antardaerah.

Semua hambatan tersebut berpotensi meningkatkan biaya produksi,


meningkatkan harga produk yang dibayar konsumen, yang berarti
secara relatif menurunkan daya beli konsumen. Berbagai hambatan
tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, tapi justru menimbulkan
permasalahan baru, yaitu meningkatnya kemiskinan di daerah.
(3)

Daya Tarik Investasi Daerah

Seiring dengan meningkatnya persaingan global, semua negara dan da


erah berlomba-lomba menarik investordomestik maupun asinguntuk
menanamkan modal di wilayahnya. Pelaku usaha atau investor akan
memilih lokasi yang paling memberikan kemudahan dan keuntungan
bagi usahanya. Penciptaan iklim usaha yang kondusif merupakan elemen
utama di dalam peningkatan investasi. Keberhasilan suatu negara/daerah
menarik investor menggambarkan daya tarik dan daya saing negara/
daerah yang bersangkutan.
Wilayah perairan dan daratan Indonesia yang luas mempunyai kekayaan
sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Hampir setiap daerah memiliki potensi sumber daya alam yang khas,
berbeda dengan daerah lainnya. Keragaman ini seharusnya merupakan
modal potensial sebagai daya tarik investasi. Namun, menurut laporan

III - 15

Penciptaan iklim
usaha yang kondusif
merupakan elemen
utama di dalam
peningkatan
investasi.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

IFC tahun 2006, daya tarik investasi Indonesia masih berada di peringkat
135, tertinggal jauh dari Singapura di peringkat 1, Thailand di peringkat
18, Malaysia di peringkat 25, China di peringkat 93, Vietnam di peringkat
104, dan Filipina di peringkat 126.
Untuk melihat perbandingan daya tarik investasi di berbagai daerah di
Indonesia, sejak tahun 2001 Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD) secara berkala melakukan kajian daya tarik investasi
daerah kabupaten/kota. Kajian ini dilakukan terhadap 134 Kabupaten/
Kota di Indonesia. Kajian daya tarik investasi tersebut didasarkan
pada persepsi para pengusaha yang mempunyai usaha di daerah baik
pengusaha lokal, pengusaha nasional, maupun pengusaha multinasional.
Fokus kajian KPPOD adalah persepsi pengusaha tehadap 5 (lima) faktor
utama, yaitu (1) kelembagaan, (2) sosial politik, (3) ekonomi daerah, (4)
tenaga kerja dan produktivitas, dan (5) infrastruktur fisik. Dari setiap
faktor tersebut kemudian dipilih variabel dan indikator yang relevan,
dan dilakukan pembobotan untuk masing-masing faktor utama,
variabel dan indikator. Berbagai faktor, variabel, dan indikator penentu
daya tarik investasi serta nilai bobotnya dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3
Daya Tarik Investasi Daerah Berdasarkan Persepsi Dunia Usaha
(sumber: KPPOD, 2006)

DAYA TARIK INVESTASI DAERAH

KELEMBAGAAN

KEAMANAN,
POLITIK, SOSBUD

EKONOMI DAERAH

TENAGA KERJA

INFRASTRUKTUR FISIK

KEPASTIAN HUKUM

KEAMANAN

POTENSI EKONOMI

KETERSEDIAAN
TENAGA KERJA

KETERSEDIAAN
INFRASTRUKTUR

APARATUR &
PELAYANAN

POLITIK

STRUKTUR
EKONOMI

KUALITAS TENAGA
KERJA

KUALITAS
INFRASTRUKTUR

KEBIJAKAN
DAERAH

SOSIAL BUDAYA

BIAYA TENAGA
KERJA

KEPEMIMPINAN
LOKAL

Gambar 3.3 Daya Tarik Investasi Daerah Berdasarkan Persepsi Dunia


Usaha (sumber : KPPOD, 2006)
III - 16

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

(4)

Daya Saing Daerah

Daya saing dapat dilihat menurut wilayah (negara atau daerah)


dan menurut sektor atau pelaku (industri dan perusahaan). Kedua
pemahaman tersebut saling berkaitan. Daya saing suatu industri atau
perusahaan akan menentukan daya saing negara atau daerah. Daya
saing negara atau daerah akan memberi pengaruh terhadap kemampuan
suatu industri dan perusahaan.
Daya saing suatu negara sering dikaitkan dengan kemampuan suatu
negara dalam memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif
terhadap kemampuan negara lain. Pengertian ini dipeluas oleh World
Economic Forum (WEF), yaitu kemampuan suatu perekonomian nasional
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya
saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah
dalam rangka menambah kekayan nasional dengan cara mengelola aset
dan proses, daya tarik dan agresivitas, globalitas dan proksimitas, serta
dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedalam suatu
model ekonomi dan sosial.
Daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing
nasional. Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam
memproduksi dan memasarkan barang dan jasa disebut mempunyai
daya saing tinggi. Kini, lingkup persaingan tidak lagi hanya dalam
wilayah suatu negara, tetapi juga dengan wilayah yang berada di negara
lain.
Daya saing perusahaan adalah kemampuan suatu perusahaan untuk
menghasilkan suatu produk yang diminati konsumen relatif terhadap
perusahaan lain. Daya saing perusahaan ditentukan oleh tingkat
produktivitas perusahaan itu, yaitu nilai output yang dihasilkan oleh
setiap tenaga kerja perusahaan itu. Dalam hal ini terdapat hubungan
saling mempengaruhi antara pemerintah dan dunia usaha.

III - 17

Daya saing suatu


negara sering
dikaitkan dengan
kemampuan suatu
negara dalam
memasarkan produk
yang dihasilkan
negara itu relatif
terhadap kemampuan
negara lain.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Daya saing nasional


ditentukan oleh daya
saing daerah-daerah
yang ada di negara
tersebut.

Daya saing nasional ditentukan oleh daya saing daerah-daerah yang ada
di negara tersebut. Selanjutnya daya saing negara/daerah ditentukan oleh
daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di negara/daerah tersebut
dan berbagai variabel lainnya. Kualitas kebijakan dan kelembagaan di
suatu negara dan daerah akan mempengaruhi kemampuan perusahaanperusahaan di wilayahnya meningkatkan produktivitas.
Dengan pengertian itu, daya saing negara/daerah tidak hanya ditentukan
oleh daya saing perusahaan saja. Yang bersaing memang bukan negara/
daerah, tetapi perusahaan atau industri yang ada dalam negara/daerah
yang bersangkutan dengan perusahaan atau industri yang berada di
negara/daerah lain. Suatu negara/daerah yang memiliki daya saing tinggi
belum tentu seluruh perusahaan dan industri di negara/daerah tersebut
memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional. Daya
saing negara/daerah lebih problematik daripada daya saing perusahaan.
Bila perusahaan kalah bersaing, maka perusahaan bisa bangkrut dan
selanjutnya keluar dari bisnis yang digelutinya. Namun, negara/daerah
tidak memiliki bottom line atau tidak akan pernah keluar dari arena
persaingan.

Kotak 3.2. Posisi Daya Saing Indonesia


Menurut catatan WEF, posisi daya saing Indonesia menurun dari urutan ke-69 dari
104 negara yang diteliti pada tahun 2004 menjadi yang ke-71 dari 117 negara pada
tahun 2005. Meski posisi tersebut masih lebih baik dari posisi ke-72 pada tahun
2003, namun posisi tersebut relatif lebih buruk dibanding beberapa negara pesaing
di kawasan ASEAN. Menurut tolok ukur WEF, terdapat 5 (lima) faktor penting yang
menonjol. Faktor-faktor tersebut adalah 3 (tiga) faktor pada tataran makro, yaitu:
(a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan
publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan
(c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan
peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis,
2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat
operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan usaha.

III - 18

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

Menurut catatan IMD yang menerbitkan World Competitiveness Report setiap


tahun, posisi Indonesia turun dari urutan 58 pada tahun 2004 menjadi 59 pada
tahun 2005 dari 60 negara yang diteliti. Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi
daya saing Indonesia disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional
dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (1) buruknya kinerja perekonomian nasional
yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi,
ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (2) buruknya efisiensi kelembagaan
pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara
dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk
iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang
masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (3) lemahnya
efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara
bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah,
pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang
masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan
(4) terbatasnya ketersediaan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan
infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan
dan kesehatan.
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) juga mengembangkan
indikator Competitiveness Industrial Performance (CIP) yang diterapkan untuk
mengukur peringkat daya saing industri manufaktur di 93 negara dalam periode
1980 - 2000. Dalam Industrial Development Report 2004, ukuran indikator CIP tersebut
terdiri dari 4 (empat) variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah industri manufaktur
per kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c) intensitas industrialisasi
yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada PDB dan kontribusi industri
manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada sektor industri manufaktur,
dan (d) kualitas ekspor yang diukur dari kontribusi ekspor manufaktur dalam total
ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi menengah dan tinggi dalam nilai
ekspor industri manufaktur. Hasil pemeringkatan menunjukkan bahwa kinerja
industri manufaktur Indonesia meningkat dari urutan ke-75 pada tahun 1980
menjadi urutan ke-54 pada tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000. Namun,
peningkatan posisi Indonesia memang relatif terpuruk dibanding negara pesaing
utama di Asia Timur (termasuk ASEAN). Dengan memperhatikan perkembangan
perekonomian dan masih terpuruknya kegiatan sektor produksi, peringkat sektor
industri manufaktur di Indonesia kembali turun setelah tahun 2000. Meskipun
kondisi ekonomi makro makin membaik dalam beberapa tahun terakhir, prestasi di
atas belum cukup membawa ke arah pemulihan aktivitas sektor produksi, terutama
industri manufaktur, ke tataran sebelum krisis apalagi mendongkrak peningkatan
daya saingnya.

III - 19

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Peningkatan daya
saing yang berbasis
pada pengetahuan,
teknologi dan
inovasi menjadi
kian penting dalam
pengembangan
ekonomi daerah

Keunggulan daya saing daerah penting karena dua alasan. Pertama,


untuk menyadarkan bahwa keunggulan kompetitif suatu perusahaan
tidak sepenuhnya tergantung pada kemampuan internal masing-masing
perusahaan. Ada tempat-tempat di mana orang atau perusahaan lebih
mudah menciptakan usaha yang kompetitif dibanding tempat lain. Hal
ini tidak hanya berlaku untuk negara, tetapi juga berlaku untuk wilayah
dalam suatu negara.
Kedua, ada dua tipe keunggulan kompetitif yang harus dikenali, yaitu
keunggulan kompetitif statis dan keunggulan kompetitif dinamis.
Keunggulan kompetitif statis merujuk pada faktor lokasi geografis,
sedangkan keunggulan kompetitif dinamis merujuk pada permasalahan
tenaga kerja (seperti upah, kualitas, kedisiplinan, dan produktivitas),
iklim usaha, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap industri di
daerah itu. Lokasi geografis merupakan faktor daya saing yang penting,
tetapi hal tersebut juga dimiliki banyak daerah lain. Di samping
itu ke depan kemajuan teknologi dan globalisasi lambat laun akan
mengurangi signifikansi faktor lokasi. Dalam kondisi demikian, faktorfaktor lain seperti kualitas tenaga kerja dan iklim usaha akan menjadi
keunggulan kompetitif yang penting terutama ketika di daerah lain hal
itu merupakan masalah.
Dalam era desentralisasi dan globalisasi, peningkatan daya saing yang
berbasis pada pengetahuan, teknologi dan inovasi menjadi kian penting
dalam pengembangan ekonomi daerah. Dalam globalisasi, tatanan
sistem ekonomi baru yang dihadapi memiliki ciri yang cukup berbeda
dengan tatanan ekonomi lama. Perbedaan tersebut terlihat baik dari
karakteristiknya maupun peranan dari para pelakunya. Dalam tatanan
ekonomi baru, persaingan yang terjadi adalah persaingan global,
persaingan antardaerah tinggi, dan sumber keunggulan daya saing
berasal dari inovasi, kualitas, waktu penyampaian ke pasar, dan biaya.
Daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan
kemampuan inovasi, dan vitalitas ekonomi merupakan hasil langsung
dari persaingan industri lokal. Berbagai faktor yang dapat menentukan
daya saing antara lain:

III - 20

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

1. Kondisi Faktor seperti tenaga kerja terampil yang dibutuhkan,


sumber daya alam, infrastruktur khusus yang tersedia, dan
hambatan-hambatan tertentu;
2. Kondisi Permintaan seperti permintaan sektor rumah tangga
atau pelanggan-pelanggan lokal akan produk berkualitas yang
mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinovasi;
3. Dukungan Industri Terkait: industri-industri pemasok lokal yang
kompetitif yang menciptakan infrastruktur bisnis dan memacu
inovasi dan memungkinkan industri-industri untuk spin off;
4. Strategi, Struktur, dan Persaingan Perusahaan (Iklim Usaha): tingkat
persaingan antar industri lokal yang lebih memberikan motivasi
dibanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan budaya
lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam
melakukan persaingan dan inovasi;
5. Peranan Pemerintah: Peristiwa historis dan campur tangan
pemerintah cenderung berperan secara signifikan dalam peningkatan
daya saing daerah; dan
6. Kemampuan dan sinergi dari para pelaku usaha, yaitu usahawan/
pengusaha, profesional, dan pekerja/buruh.
Sementara itu, konsep dan pengukuran daya saing daerah pernah
dikeluarkan Bank Indonesia pada tahun 2002, yang menekankan
pada perkembangan ekonomi daerah. Tujuan pengukuran daya saing
daerah ini adalah melakukan identifikasi potensi dan prospek ekonomi
daerah dan menetapkan peringkat daya saing antar daerah di Indonesia.
Dengan pengukuran tersebut, pemerintah daerah dapat menetapkan
kebijakan memperbaiki daya saing daerah sesuai dengan kewenangan.
Dalam konsep ini, daya saing daerah diartikan sebagai kemampuan
perekonomian daerah dalam meningkatkan kesejahteraan yang tinggi
dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan
internasional. Dengan mengacu pada pengertian tersebut, pengukuran
daya saing daerah menggunakan 9 (sembilan) indikator utama, yaitu
(1) perekonomian daerah, (2) keterbukaan, (3) sistem keuangan,
(4) infrastruktur dan sumber daya alam, (5) ilmu pengetahuan dan
teknologi, (6) sumber daya manusia, (7) kelembagaan, (8) governance

III - 21

Daya saing daerah


diartikan sebagai
kemampuan
perekonomian daerah
dalam meningkatkan
kesejahteraan
yang tinggi dan
berkelanjutan dengan
tetap terbuka pada
persaingan domestik
dan internasional

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

dan kebijakan pemerintah, dan (9) manajemen dan ekonomi mikro.


Masing-masing indikator utama tersebut diuraikan ke dalam sub
indikator, dan sub indikator diuraikan kembali ke beberapa variabel
penentu daya saing daerah (lihat Tabel 3.4).

Tabel 3.4
Indikator dan Sub Indikator Penentu Daya Saing Daerah

INDIKATOR UTAMA

SUB-INDIKATOR

JUMLAH
VARIABEL

DESKRIPSI

I.

Perekonomian
Daerah

Nilai Tambah
Invetasi
Tabungan
Konsumsi
Kinerja Sektoral
Biaya Hidup

22 variabel

Merupakan ukuran
kinerja secara umum
perekonomian daerah
secara makro

II.

Keterbukaan

Internasionalisasi
Perdagangan Antar
Daerah

26 variabel

Mengukur seberapa
jauh perekonomian
daerah terbuka
terhadap perdagangan
internasional dan
perdagangan antar
daerah

III.

Sistem Keuangan

Biaya Modal
Ketersediaan Modal
Efisiensi Sektor Perbankan
Efisiensi Sektor Keuangan
Non-Bank

12 variabel

Mengukur seberapa
baik sistem finansial,
perbankan maupun
lembaga keuangan
non-bank dapat
memfasilitasi aktivitas
perekonomian daerah

IV.

Infratruktur dan
Sumber Daya
Alam

Infrastruktur Fisik
Infrastruktur Informasi
dan Komunikasi
Sumber Daya Alam

24 variabel

Mengukur seberapa
besar sumber daya:
modal fisik, letak
geografis, sumber daya
alam, mendukung
aktivitas perekonomian
daerah

V.

Ilmu
Pengetahuan
dan Teknologi

Kegiatan Penelitian
SDM di Bidang Teknologi

7 variabel

Mengukur kemampuan
daerah dalam ilmu
pengetahuan dan
teknologi serta
penerapannya dalam
kegiatan ekonomi yang
meningkatkan nilai
tambah

III - 22

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

INDIKATOR UTAMA
VI.

Sumber Daya
Manusia

SUB-INDIKATOR

JUMLAH
VARIABEL

DESKRIPSI

Karakteristik Penduduk
Ketenagakerjaan
Pendidikan
Kualitas Hidup
Perilaku dan Nilai Sosial

29 variabel

Mengukur ketersediaan
dan kualitas sumber
daya manusia yang
meningkatkan daya
saing perekonomian
daerah.

VII. Kelembagaan

Aspek Hukum dan


Keamanan
Aspek Sosial, Politik, dan
Budaya

17 variabel

Mengukur seberapa
kondusif iklim sosial,
politik, hukum dan
aspek keamanan
dalam mendukung
perekonomian daerah.

VIII. Governance dan


Kebijakan
Pemerintah

Prediktabilitas Peraturan
dan Kebijakan
Hambatan Birokrasi
Efisiensi Sektor Publik
Kebijakan Pemerintah

24 variabel

Mengukur kualitas
administrasi
pemerintah daerah
dalam menyediakan
infrastruktur fisik,
peraturan serta aturan
main dari kompetisi.

IX.

Produktivitas
Efisiensi Manajemen
Budaya Perusahaan

32 variabel

Mengukur bagaimana
perusahaan/industri
di daerah tersebut
dikelola secara inovatif,
menguntungkan dan
bertanggung jawab.

Manajemen dan
Ekonomi Mikro

Sumber:Bank Indonesia, 2002

Survei yang dilakukan oleh KPPOD (2006) mengindikasikan bahwa


kapasitas dan kualitas institusi Pemerintah Daerah merupakan syarat
penting dari iklim investasi yang kondusif. Selain itu, syarat penting
lainnya adalah kondisi sosial, politik, dan keamanan setempat. Kedua
faktor tersebut bahkan dianggap jauh lebih penting dibandingkan
dengan potensi perekonomian daerah itu sendiri. Dari hasil survei ini
dapat disimpulkan bahwa upaya memangkas ekonomi biaya tinggi di
tingkat daerah harus dimulai dari Pemerintah Daerah itu sendiri.

III - 23

Kapasitas dan
kualitas institusi
Pemerintah Daerah
merupakan syarat
penting dari iklim
investasi yang
kondusif.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

3.3

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH YANG BERPENGARUH


TERHADAP INVESTASI

Untuk mempercepat perbaikan iklim bisnis dan kinerja sektor riil di


daerah, harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya persaingan
antardaerah dalam menarik investasi sebanyak-banyaknya ke daerah
tersebut. Pemerintah Daerah dituntut untuk selalu giat dalam menarik
investasi sekaligus mempertahankan dan meningkatkan investasi yang
sudah ada di daerah masing-masing. Berbagai kebijakan pemerintah
daerah dalam bentuk Perda-perda diharapkan mendukung penciptaan
iklim usaha yang kondusif, dan memberikan berbagai insentif serta
kemudahan bagi investor dalam melakukan usaha.
Dengan otonomi yang dimiliki, peran pemerintah daerah kini menjadi
sama pentingnya dengan pemerintah pusat dalam peningkatan investasi.
Pemerintah Daerah dituntut dapat berkreasi dalam menangani
permasalahan iklim investasi di daerah masing-masing melalui
berbagai kebijakan yang mendukung terciptanya iklim usaha yang
sehat. Pemerintah Daerah juga dituntut untuk dapat bersaing dengan
Pemerintah Daerah lainnya dalam meningkatkan daya tarik investasi
daerah. Hal ini disebabkan oleh motivasi pelaku usaha atau investor
untuk berpindah atau melakukan investasi di daerah lain yang memiliki
daya tarik lebih tinggi. Investor akan memilih lokasi yang menawarkan
peluang keuntungan lebih besar dengan risiko lebih kecil.
Kebijakan
pemerintah daerah
dalam meningkatkan
investasi
dipengaruhi oleh
instrumen kebijakan,
pelaksanaan, dan
pengendalian
terhadap
pelaksanaan
kebijakan tersebut.

Efektivitas kebijakan pemerintah daerah dalam meningkatkan investasi


dipengaruhi oleh instrumen kebijakan, pelaksanaan, dan pengendalian
terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Instrumen kebijakan untuk
meningkatkan investasi berupa: (1) peraturan perundangan dalam
kerangka regulasi, (2) pengelolaan belanja daerah dalam kerangka
investasi dan layanan publik, antara lain untuk penyediaan layanan
terpadu. Mengingat jumlahnya yang mayoritas dan kontribusinya
yang besar terhadap perekonomian nasional dan daerah selama ini,
maka sangatlah wajar jika fokus perhatian diberikan kepada upaya
pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah dan koperasi, yang
dilakukan antara lain dengan pendekatan pengembagan sektor unggulan
melalui klaster industri.
III - 24

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

(1)

Kerangka Regulasi

Globalisasi telah membawa persaingan dalam menarik investasi dan


persaingan merebut pasar, baik lokal maupun luar negeri, semakin
ketat. Indonesia sekarang tidak hanya bersaing dengan Malaysia,
Thailand, dan Filipina, tetapi juga China, Vietnam, dan mungkin akan
menyusul Kamboja. Dengan melihat kondisi tersebut, Indonesia harus
lebih aktif dalam menarik investasi. Untuk itu, Pemerintah Pusat telah
mengeluarkan paket kebijakan investasi berupa deregulasi dalam lima
bidang, yakni masalah umum (termasuk memperkuat kelembagaan
pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan daerah dan pusat),
kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, dan usaha kecil,
menengah, dan koperasi. Paket kebijakan investasi tersebut tertuang
dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2006 yang berlaku sejak
akhir tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Dalam setiap bidang paket
kebijakan investasi tersebut terdapat kebijakan, program, tindakan,
keluaran, tenggat waktu, dan penanggung jawab. Paket kebijakan
tersebut disusun melalui konsultasi dengan kalangan dunia usaha dalam
dan luar negeri serta masyarakat internasional yang menaruh perhatian
atas kondisi iklim investasi di tanah air.

Globalisasi telah
membawa persaingan
dalam menarik
investasi dan
persaingan merebut
pasar, baik lokal
maupun luar negeri,
semakin ketat.

Pemerintah Daerah perlu melakukan berbagai pembenahan dan


pengembangan insentif investasi di daerah masing-masing untuk
mendukung pelaksanaan paket kebijakan tersebut.

Pemerintah Daerah
perlu melakukan
berbagai pembenahan
dan pengembangan
insentif investasi di
daerah masing-masing
untuk mendukung
pelaksanaan paket
kebijakan tersebut.

Sehubungan dengan itu, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah khususnya dalam pasal 176, telah memberikan
payung hukum bagi diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang
Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi. Ketentuan dalam pasal
tersebut mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah, dalam rangka
meningkatkan perekonomian daerahnya, dapat memberikan insentif
dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang
diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa insentif dan/atau kemudahan
investasi tersebut mencakup antara lain penyediaan sarana, prasarana,
dan stimulan, pemberian modal usaha, pemberian bantuan teknis,
keringanan biaya dan percepatan pemberian ijin.
III - 25

Pemerintah Pusat
mengeluarkan Paket
kebijakan investasi
tersebut tertuang
dalam Instruksi
Presiden (Inpres) No. 3
Tahun 2006.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Pemerintah daerah juga perlu melakukan sinkronisasi dan koordinasi


antarlembaga untuk memadukan tugas dan fungsi serta kebijakan yang
bersifat lintas sektor. Bagi Pemerintah Daerah, persaingan yang makin
tajam membuat tugas ke depan semakin berat. Dalam hal ini, daerah
harus menyiapkan diri sedemikian rupa sehingga mampu menjadi
daerah tujuan ivestasi dan pusat pengembangan industri yang tidak
dihalangi oleh batas wilayah (daerah dan negara).

Pertumbuhan
Ekonomi Daerah

Kebijakan dalam

Kebijakan dalam

Promosi Investasi

Pengelolaan Investasi

Investasi
Daerah

Daerah
- Pajak dan Retribusi
Daerah

Daerah

- Pemasaran Daerah

Kualitas
Institusi Daerah
Perencanaan Strategis
untuk Promosi dan Pengelolaan
Membangun
Kapasitas Pemda:
- Reformasi
Birokrasi
Koordinasi
-

Investasi Daerah:
- Integrasi Perencanaan
Pembangunan Daerah
- Koordinasi Antar
Stakeholders
- Identifikasi Produk Utama

Sektor
Pendukung:
- Infrastruktur
- Pendidikan
- Ramah
Lingkungan

Gambar3.4
3.4. Kerangka
KerangkaKebijakan
Kebijakan Investasi
Gambar
Investasidaerah
Daerah

III - 26

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

Komunikasi, koordinasi dan konsultasi perlu pula dilakukan oleh


Pemerintah Daerah dengan para pengusaha (investor). Pemerintah
Daerah harus menyadari bahwa pengusaha adalah pelaku utama
perekonomian daerah dan peningkatan pendapatan daerah hanya
dapat dilakukan dengan dukungan dunia usaha. Para pengusaha akan
memandang kebijakan otonomi daerah dan paket kebijakan investasi
yang dikeluarkan merupakan sebuah peluang dan sekaligus tantangan.
Kebijakan tersebut menjadi sebuah peluang apabila Pemerintah
Daerah memiliki persepsi dan konsistensi dalam memajukan investasi
dan kegiatan usaha secara sungguh-sungguh. Sebaliknya, kebijakan
tesebut akan menjadi sebuah tantangan apabila pelaksanaan otonomi
daerah menyebabkan munculnya ketidaksesuaian antara kebijakan
yang dikeluarkan dengan kebutuhan pelaku usaha. Hal ini terjadi
apabila Pemerintah Daerah mengabaikan suara dunia usaha dalam
merencanakan dan menerapkan kebijakan. Untuk itu, Pemerintah
Daerah dan para pengusaha/investor diharapkan dapat duduk bersama
untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Dalam hubungan ini
tumbuhnya berbagai forum kemitraan lintas pemangku kepentingan
(multi stakeholders) di daerah patut dihargai dan didukung.
(2)

Komunikasi, koordinasi
dan konsultasi perlu
pula dilakukan
oleh Pemerintah
Daerah dengan para
pengusaha (investor).

Kerangka Anggaran

Bagi masyarakat, Pemerintah Daerah dianggap berhasil apabila


dapat memberikan layanan publik yang memadai dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah
Daerah harus bekerja keras untuk menumbuhkan investasi sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Investor
potensial dapat berasal dari pengusaha daerah itu sendiri maupun
pengusaha luar daerah, bahkan pengusaha luar negeri. Siapapun calon
investornya, syarat utama berkembangnya investasi di suatu daerah
adalah adanya iklim investasi yang sehat dan kondusif, sehingga tidak
terjadi ekonomi biaya tinggi. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah
dituntut untuk mampu mengelola APBD secara efisien, efektif, relevan,
ekonomis dan tanpa kebocoran sebagai instrumen untuk menggerakkan
perekonomian daerah, menciptakan lapangan kerja baru, dan mening
katkan pendapatan masyarakat setempat.

III - 27

Pemerintah Daerah
dituntut untuk mampu
mengelola APBD secara
efisien dan efektif
tanpa kebocoran
sebagai instrumen
untuk menggerakkan
perekonomian
daerah, menciptakan
lapangan kerja baru,
dan meningkatkan
pendapatan masyarakat
setempat.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Beberapa daerah telah berhasil melakukan efisiensi dan efektivitas


pengeluaran/belanja, dan bahkan akhirnya dapat memberikan beberapa
pelayanan publik yang lebih baik terhadap masyarakat, walaupun pada
awalnya sulit untuk dilakukan.
Pengelolaan
APBD perlu
mempertimbangkan
fungsi alokasi,
distribusi dan
stabilisasi secara
efisien dan efektif
dalam membiayai
pembangunan
daerah. Dari fungsi
alokasi, belanja daerah
dilakukan untuk
menyediakan barang
dan pelayanan publik
yang dibutuhkan oleh
masyarakat banyak
di daerah dan tidak
dapat disediakan
sendiri oleh
masyarakat daerah.

Pengelolaan APBD perlu mempertimbangkan fungsi alokasi, distribusi


dan stabilisasi secara efisien dan efektif dalam membiayai pem
bangunan daerah. Dari fungsi alokasi, belanja daerah dilakukan untuk
menyediakan barang dan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh
masyarakat banyak di daerah dan tidak dapat disediakan sendiri oleh
masyarakat daerah. Selain itu, belanja daerah juga dapat dialokasikan
dalam kerangka investasi. Investasi yang dilakukan harus pada sektorsektor prioritas yang dimiliki daerah sehingga diharapkan dapat
menggerakkan perekonomian daerah, menciptakan lapangan kerja
baru, dan akhirnya memperbaiki pendapatan masyarakat setempat.
Sektor prioritas yang dimaksud adalah sektor infrastruktur dan sektorsektor yang mampu memberikan nilai tambah dan output yang cukup
tinggi bagi perekonomian serta dapat menyerap tenaga kerja yang cukup
banyak. Selain untuk investasi, belanja daerah juga diharapkan dapat
dialokasikan kepada hal-hal yang dapat mendorong kinerja sektor riil,
seperti misalnya perbaikan sistem pelayanan, infrastruktur, pelatihan
keterampilan tenaga kerja, penyediaan dana stimulan, pemberian modal
usaha dan bantuan teknis, dan lain-lain.

Dari fungsi distribusi,


belanja daerah juga
harus berpihak
terhadap masyarakat,
terutama masyarakat
miskin di daerah dan
wilayah yang masih
tertinggal.

Dari fungsi distribusi, belanja daerah juga harus berpihak terhadap


masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah dan wilayah yang
masih tertinggal. Masyarakat miskin dan wilayah yang masih tertinggal
perlu penanganan khusus melalui berbagai program pembangunan
daerah yang lintas sektor. Fungsi yang dijalankan Pemerintah Daerah
mampu menciptakan distribusi pendapatan dan pembangunan yang
merata, baik antar individu masyarakat maupun antar bagian wilayah
di daerahnya.
Fungsi stabilisasi dari belanja daerah dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah untuk menjaga kestabilan perekonomian daerah. Pada saat

III - 28

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

perekonomian daerah sedang lesu, Pemerintah Daerah dapat melakukan


belanja daerah yang bersifat ekspansif untuk memacu perekonomian
daerah sehingga hasilnya akan dapat meningkatkan peranan masyarakat
dan swasta dalam perekonomian daerah. Kemudian pada saat
perekonomian daerah bergerak cepat didukung oleh swasta, belanja
Pemerintah Daerah perlu diarahkan untuk memfasilitasi pertumbuhan
ekonomi yang lebih berkualitas dengan mengutamakan pada
penguatan jaringan pemasaran, pengembangan teknologi informasi
dan pemeliharaan lingkungan.
(3)

Fungsi stabilisasi
dari belanja daerah
dapat dilakukan
oleh Pemerintah
Daerah untuk
menjaga kestabilan
perekonomian
daerah.

Peningkatan Kualitas Pelayanan

Dalam era persaingan global yang menuntut efisiensi dan akurasi,


pelayanan birokrasi yang cepat, murah, dan berorientasi pada kebutuhan
dan kepuasan klien sudah menjadi kebutuhan umum. Dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan, khususnya percepatan dan simplifikasi
perijinan di daerah, pemerintah berusaha melakukan terobosan
reformasi birokrasi dengan diberlakukannya Permendagri No. 24 tahun
2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Beberapa kabupaten/kota telah menerapkan inovasi pelayanan prima
sejak beberapa tahun sebelum peraturan tersebut disusun.
Saat ini, sekitar 80 kabupaten/kota telah melakukan berbagai upaya
inovatif dalam membenahi kualitas pelayanan bagi investor dan
masyarakatnya dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT).
Pemerintah Daerah Sragen, Parepare, dan Sidoarjo telah memperoleh
sertifikasi standar mutu menejemen ISO 9001:2000. Langkah yang
telah dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut adalah mempercepat
proses perijinan tidak lebih dari tujuh (7) hari. Hal ini lebih cepat dari
ketentuan yang diatur dalam Kepmendagri selama 15 hari. Kecepatan,
transparansi, dan keramahan petugas palayanan perijinan telah
memberikan dampak positif bagi daerah yang bersangkutan.
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah misalnya telah mengembangkan
kebijakan ramah investasi dengan mengembangkan kantor pelayanan

III - 29

Kecepatan,
transparansi, dan
keramahan petugas
palayanan perijinan
telah memberikan
dampak positif
bagi daerah yang
bersangkutan

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

terpadu (KPT) yang dapat memberikan layanan one stop service atas
52 perizinan dan 10 jenis pelayanan administrasi kependudukan yang
masuk dalam kategori non perizinan sejak akhir tahun 2002. Dampak
dari kemudahan yang diberikan lewat KPT terlihat dari perbandingan
kondisi ekonomi sebelum dan sesudah ada KPT (tahun 2002 dan
2003). Investasi industri mikro, kecil, dan menengah di Kabupaten
Sragen meningkat dari Rp 30,7 miliar menjadi Rp 35,2 miliar (naik 16,6
persen). Investasi industri besar meningkat dari Rp 110 miliar menjadi
Rp 394,8 miliar (naik 213 persen). Sedangkan penyerapan tenaga kerja
sektor industri juga meningkat dari 28.976 orang menjadi 41.800 orang
(naik 44,29 persen) (Kompas, 22 September 2006).

Kotak 3.3. Pelayanan Terpadu Sragen


Sejak dibangunnya KPT (Kantor Pelayanan Terpadu) di Sragen tahun 2002 jumlah
perijinan yang dikeluarkan telah meningkat dari 2.027 pada tahun 2003 menjadi
3.170 pada tahun 2004, dan meningkat lagi menjadi 4.072 pada tahun 2005. Hingga
tahun 2005, perusahaan yang telah memiliki legalitas usaha tercatat sebanyak
8.105 perusahaan. Hal ini lebih tinggi dari jumlah perusahaan yang tercatat pada
tahun 2002 sebanyak 6.373 perusahaan. Nilai investasi meningkat dari Rp 592
miliar pada tahun 2002 menjadi Rp 703 miliar tahun 2004, dan Rp 955 miliar tahun
2005. Hal ini berdampak pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja dari 40.785
orang pada tahun 2002 menjadi 46.794 orang pada tahun 2005. Pendapatan Asli
Daerah juga meningkat dari Rp 22,5 miliar pada tahun 2002 menjadi 43,5 miliar
pada tahun 2004.
Pemerintah Kota Parepare juga melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan
pelayanan terpadu. Seiring dengan penerapan UPT, PAD Kota Parepare telah
meningkat dari Rp 8.017 miliar pada tahun 2002 menjadi Rp 1.340,2 miliar pada
tahun 2004, dan hingga pertengahan tahun 2005 telah mencapai Rp 1.769,1
miliar.

III - 30

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

(4)

Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)


dan Koperasi

Berbeda dengan usaha skala menengah dan besar yang terkonsentrasi di


kota-kota besar saja, UMKM tersebar luas di seluruh daerah. Keberadaan
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi berperan
besar dalam penyediaan lapangan kerja dan penyediaan keperluan
barang dan jasa dalam negeri. Keberadaan tersebut memberi petunjuk
bahwa kebijakan pemberdayaan UMKM dan koperasi sangat strategis
untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan
bagi sebagian besar rakyat sekaligus meningkatkan pemerataan
pembangunan.

Keberadaan usaha
mikro, kecil, dan
menengah (UMKM)
dan koperasi
berperan besar dalam
penyediaan lapangan
kerja dan penyediaan
keperluan barang dan
jasa dalam negeri

Orientasi pemberdayaan UMKM dan koperasi mencakup dua fokus,


yaitu pemberdayaan usaha mikro, dan pemberdayaan UKM dan
koperasi. Pemberdayaan usaha mikro pada dasarnya diarahkan untuk
mendukung penanggulangan kemiskinan dan peningkatan pendapatan
masyarakat berpendapatan rendah. Sedangkan pemberdayaan UKM
dan koperasi diarahkan untuk menurunkan angka pengangguran dan
mendorong ekspor bersamaan dengan upaya mendorong perekonomian
daerah.
Dengan jumlah unit usaha yang sangat besar, pemberdayaan UMKM
perlu dilaksanakan melalui langkah-langkah yang terencana, sistematis,
institusional dan konsisten dengan didukung partisipasi masyarakat
yang luas. Langkah pemberdayaan yang penting adalah membuka
kesempatan berusaha, meningkatkan akses kepada sumberdaya
produktif, dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia UMKM
dan koperasi, terutama jiwa kewirausahaannya.
Perluasan kesempatan berusaha bagi UMKM dan koperasi diwujudkan
dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui upaya bersama
pemerintah pusat dan daerah untuk (1) menyederhanakan proses
perizinan usaha serta menyediakan adanya kepastian lokasi usaha; (2)
mengurangi biaya transaksi, terutama menghapus biaya-biaya pungutan
yang tidak wajar; (3) memberikan perlindungan terhadap praktik-

III - 31

Dengan jumlah unit


usaha yang sangat
besar, pemberdayaan
UMKM perlu
dilaksanakan melalui
langkah-langkah yang
terencana, sistematis,
institusional dan
konsisten dengan
didukung partisipasi
masyarakat yang luas.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

praktik usaha yang curang; serta (4) memantau dan memperbaiki


regulasi dan kebijakan baik sektoral maupun daerah yang menghambat
perkembangan UMKM dan koperasi.
Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif meliputi akses
kepada sumber-sumber permodalan/pembiayaan, teknologi, pasar dan
informasi. Pengembangan institusi/lembaga yang dapat menjalankan
fungsi intermediasi berbagai sumberdaya produktif tersebut di seluruh
daerah menjadi program penting agar UMKM dan koperasi dapat
memanfaatkan peluang yang tersedia. Di samping itu, pelatihan dan
pendampingan yang berkesinambungan bagi peningkatan kualitas
sumberdaya manusia UMKM dan koperasi juga menjadi satu kesatuan
dari upaya pemberdayaan tersebut.

Kotak 3.4. Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah


Selama periode 2002-2005, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) terus meningkat dari 40,88 juta
usaha pada tahun 2002 menjadi 44,69 unit usaha pada tahun 2005. Peningkatan jumlah usaha terjadi
baik untuk skala usaha kecil maupun menengah. Dengan jumlah tersebut, proporsi UKM terhadap
jumlah total unit usaha di Indonesia mencapai 99,99 persen.

Tabel 3.5. Komposisi Skala Usaha Menurut Wilayah


SKALA
USAHA
Kecil
Menengah
UKM
Usaha Besar
Total

2002
JMLH

2003
%

JMLH

2004
%

2005

JMLH

JMLH

0,820,966

99.84

42,331,474

99.84

43,641,094

99.84

44,621,823

99.84

60,618

0.15

63,546

0.15

66,318

0.15

67,765

0.15

40,881,584

99.99

42,395,020

99.99

43,707,412

99.99

44,689,588

99.99

3,628

0.01

3,894

0.01

4,068

0.01

4,171

0.01

40,885,212

100.00

42,398,914

100.00

43,711,480

100.00

44,693,759

100.00

Sumber: BPS, 2005

Dari sisi investasi, jumlah investasi UKM juga meningkat dari Rp 149,87 triliun pada tahun 2002 menjadi
Rp 275,37 triliun pada tahun 2005. Demikian juga kontribusinya terhadap investasi nasional, peranan
investasi usaha kecil meneningkat dari 18,37 persen pada tahun 2002 menjadi 18,94 persen pada
tahun 2003, 19,42 persen pada 2004, dan meningkat lagi menjadi 20,45 persen pada tahun 2005.
Secara keseluruhan, peranan investasi UKM terhadap investasi nasional pada tahun 2005 mencapai
45,91 persen. Sedangkan laju pertumbuhan investasi UKM pada tahun 2005 adalah 14,90 persen, lebih
tinggi dibanding laju pertumbuhan investasi usaha besar yang mencapai 6,18 persen.

III - 32

Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan

(5)

Pengembangan Klaster

Peningkatan daya saing suatu daerah dapat ditempuh dengan


mengembangkan sektor unggulan berbasis pada sumberdaya lokal
dengan didukung pengetahuan, teknologi dan informasi. Pengembangan
sektor unggulan tersebut dilakukan melalui suatu perencanaan yang
terfokus dan strategis pada suatu wilayah khusus yang dikenal sebagai
klaster bisnis. Pengembangan suatu klaster ditujukan untuk memusatkan
berbagai kegiatan usaha di kawasan tertentu yang satu sama lain saling
melengkapi (komplementer), saling bergantung, dan saling bersaing
dalam melakukan aktivitas bisnis. Perusahaan atau industri yang
dikembangkan dalam suatu klaster bisnis umumnya berskala kecil dan
menengah meliputi industri berbasis pertanian (agroindustri), industri
kerajinan, industri pengolahan, industri teknologi dan informasi,
dan lain-lain. Perusahaan atau industri yang berusaha dalam wilayah
khusus tersebut memiliki persamaan kebutuhan terhadap tenaga kerja,
teknologi, dan infrastruktur.

Peningkatan daya saing


suatu daerah dapat
ditempuh dengan
mengembangkan
sektor unggulan
berbasis pada
sumberdaya lokal
dengan didukung
pengetahuan, teknologi
dan informasi.

Pengembangan klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan


efisien dalam membangun ekonomi daerah secara lebih mantap, dan
mempercepat pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Klaster industri meningkatkan hubungan antar berbagai industri
dan lembaga yang terlibat di dalam klaster tersebut. Dalam konteks
peningkatan daya saing, pengembangan klaster memberikan beberapa
keuntungan. Pertama, klaster akan meningkatkan produktivitas melalui
efisiensi dalam mengakses input produksi, kemudahan koordinasi, difusi
teknologi, dan suasana kompetisi di tingkat lokal. Kedua, klaster akan
mendorong lahirnya inovasi. Persaingan yang sehat antarperusahaan
dalam suatu klaster akan memacu berbagai inovasi untuk menurunkan
biaya produksi, meningkatkan mutu barang dan menekan harga jual.
Hal ini akhirnya akan meningkatkan daya saing daerah. Ketiga, klaster
akan mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru dalam rumpun industri
terkait. Tersedianya jaringan dan keterkaitan antar industri dalam
klaster akan mempermudah usaha baru untuk memulai usaha.

Pengembangan klaster
menawarkan cara yang
lebih efektif dan efisien
dalam membangun
ekonomi daerah
secara lebih mantap,
dan mempercepat
pembangunan ekonomi
nasional secara
keseluruhan.

III - 33

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Pemerintah Daerah
dapat berperan
sebagai inisiator,
koordinator, dan
supervisor dalam
pengembangan
klaster

Keberhasilan suatu klaster dapat oleh faktor penentu kekuatan klaster,


yaitu: (1) spesialisasi; (2) kapasitas penelitian dan pengembangan;
(3) pengetahuan dan keterampilan; (4) pengembangan sumber daya
manusia; (5) jaringan kerjasama dan modal sosial; (6) kedekatan
dengan pemasok; (7) ketersediaan modal; (8) jiwa kewirausahaan; dan
(9) kepemimpinan dan visi bersama.
Pemerintah Daerah dapat berperan sebagai fasilitator, koordinator,
dan supervisor dalam pengembangan klaster. Pemerintah Daerah
dapat menjadi fasilitator untuk pengembangan kerjasama/kemitraan
dan jaringan usaha (networking) diantara pelaku bisnis dalam klaster.
Pemerintah Daerah juga dapat berperan dalam mengkoordinasikan
dukungan teknis dan permodalan usaha bagi pengembangan klaster
bisnis. Di samping itu, Pemerintah Daerah juga dapat berperan penting
dalam menumbuhkan permintaan terhadap produk-produk klaster
(melalui belanja pemerintah), terutama di daerah-daerah dimana usaha
kecil dan menengah banyak mengalami kesulitas dalam mengakses
pasar dan sumber pembiayaan usaha.

III - 34

BAB IV
Sinkronisasi Pusat dan
Daerah dalam Perbaikan
Iklim Investasi

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah


BAB IV SINKRONISASI PUSAT DAN DAERAH DALAM
PERBAIKAN IKLIM INVESTASI
Upaya peningkatan investasi memerlukan berbagai dukungan
berupa penciptaan iklim usaha yang kondusif, kapasitas
infrastruktur yang memadai, intermediasi lembaga keuangan, tata
kepemerintahan yang baik serta keamanan dan ketertiban. Dalam
jangka panjang, peningkatan daya tarik investasi dan daya saing
nasional juga ditentukan oleh dukungan sumber daya manusia
berkualitas. Berbagai upaya peningkatan investasi tersebut perlu
disiapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah secara konsisten dan sinergis. Bab ini akan membahas
berbagai paket kebijakan pemerintah untuk memperbaiki iklim
investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, penguatan
sektor keuangan, pertanahan, dan pengembangan kawasan
ekonomi khusus. Uraian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran utuh langkah-langkah yang telah diambil dan yang
sedang disiapkan oleh pemerintah, serta dukungan yang diharapkan
dari pemerintah daerah.

4.1

PAKET KEBIJAKAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI

Pemerintah
mengeluarkan Paket
Kebijakan Perbaikan
Iklim Investasi yang
tertuang dalam Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor
3 tahun 2006.

Dalam menghadapi persaingan dengan negara Asia lainnya dalam


menarik investasi, Pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi yang dituangkan dalam Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 3 tahun 2006 pada tanggal 27 Februari 2006, dan
berbagai paket kebijakan lainnya.

Isi dari paket kebijakan


ini meliputi aspek umum
(termasuk penguatan
kelembagaan pelayanan
investasi dan sinkronisasi
peraturan pusat dan
daerah),

Inpres No. 3 Tahun 2006 ini memuat sejumlah kebijakan, program,


tindakan, keluaran, sasaran waktu dan penanggungjawab setiap keluaran
yang diinginkan. Serangkaian program dan tindakan tersebut pada
intinya bertujuan memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Perumusan
program dan tindakan tersebut disusun melalui serangkaian dialog dan

IV - 

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

konsultasi dengan kalangan pengusaha dalam dan luar negeri, serta


pemangku kepentingan lainnya. Isi dari paket kebijakan ini meliputi
aspek umum (termasuk penguatan kelembagaan pelayanan investasi
dan sinkronisasi peraturan pusat dan daerah), serangkaian program di
bidang kepabeanan, perpajakan, ketenagakerjaan, serta dukungan bagi
usaha kecil, menengah dan koperasi.
Tabel 4.1
Rekapitulasi Jumlah Tindakan Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi
BIDANG

KEBIJAKAN

PROGRAM

TINDAKAN

Umum

11

Kepabeanan dan Cukai

20

Perpajakan

13

20

Ketenagakerjaan

24

Usaha Kecil, Menengah


dan Koperasi

10

Jumlah

19

37

85

(1)

Bidang Umum

Kebijakan yang ditempuh untuk memperbaiki iklim investasi adalah


sebagai berikut.
1. Memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dengan program
sebagai berikut:
a. Merevisi Undang-undang (UU) Penanaman Modal yang
memuat prinsip-prinsip dasar antara lain: perluasan definisi
modal, transparansi, perlakuan sama investor domestik dan
asing (di luar Negative List) dan Dispute Settlement;
b. Mengubah peraturan-peraturan yang terkait dengan penanaman
modal;
c. Revitalisasi Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan
Investasi;
d. Percepatan perizinan kegiatan usaha dan penanaman modal
serta pembentukan perusahaan;

IV - 

serangkaian program
di bidang kepabeanan,
perpajakan,
ketenagakerjaan, serta
dukungan bagi usaha
kecil, menengah dan
koperasi.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

2. Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah (Perda) de


ngan program utama peninjauan Perda-perda yang menghambat
investasi;
3. Memperjelas ketentuan tentang kewajiban melakukan analisa
mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dengan program
perubahan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau Kewajiban Wajib AMDAL.
Pemerintah telah
mempersiapkan RUU
Penanaman Modal agar
prosedur penanaman
modal sesuai dengan
standar dan praktik
internasional.

Dalam hal kelembagaan pelayanan investasi, untuk memberikan


pedoman yang lebih jelas dan sederhana bagi penanaman modal,
Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Penanaman Modal sebagai revisi atas UU Penanaman Modal yang lama.
Penyiapan RUU Penanaman Modal tersebut dilakukan agar prosedur
penanaman modal sesuai dengan standar dan praktik internasional.
RUU ini memuat azas-azas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas
dan perlakuan yang sama antara investor asing (PMA) dan domestik
(PMDN), tidak membedakan asal negara penanam modal, serta tidak
membedakan antara investor besar dan kecil. RUU ini juga memuat
prinsip-prinsip dasar mengenai penyelesaian sengketa (dispute
settlement). Saat ini RUU masih dalam proses pembahasan dengan
Komisi VI DPR-RI.
Sejalan dengan penyelesaian RUU ini pemerintah juga tengah
menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Daftar Bidang
Usaha Tertutup dan Terbuka dengan aturan yang jelas, sederhana,
tegas dan transparan; memperjelas pembagian tugas antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah untuk urusan penanaman modal; dan
merevitalisasi Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan
Investasi. Pembagian kewenangan dalam penanaman modal disesuaikan
dengan semangat desentralisasi. Hal ini sesuai dengan amanat UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13 yang menyatakan
bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi juga meliputi pelayanan administrasi penanaman modal
termasuk lintas kabupaten/kota. Pasal 14 menyebutkan salah satu
kewenangan wajib pemerintahan kabupaten/kota, yaitu pelayanan
administrasi penanaman modal.

IV - 

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Penyederhanaan perijinan ditujukan untuk mempercepat proses


perijinan di bidang perdagangan, pembentukan perusahaan dan ijin
usaha. Hal ini dilakukan dengan merealisasikan sistem pelayanan
terpadu, dan penyediaan informasi mengenai perijinan yang diperlukan.
Dengan langkah ini, waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
perusahaan dan perijinan usaha diharapkan dapat dikurangi dari 150
hari menjadi 30 hari. Pelaksanaan kebijakan ini dengan mendelegasikan
wewenang pengesahan badan hukum kepada Kantor Wilayah (Kanwil)
Hukum dan HAM di tingkat provinsi.
Dalam rangka sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah telah
dibentuk Tim Bersama untuk mengawasi penyusunan dan mengevaluasi
Perda-perda yang menghambat investasi. Pelaksanaan program ini
ditandai dengan dibentuknya Tim Asistensi dan Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah (RAPERDA) dan Peraturan Daerah (PERDA) melalui
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 900.05-152 Tanggal
29 Maret 2006. Tim ini bertugas antara lain melakukan asistensi dan
evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka peningkatan
pengelolaan keuangan daerah.

Kotak 4.1. Evaluasi Perda-Perda tentang Pajak dan Pungutan Daerah


Hingga saat ini Departemen Dalam Negeri telah menerima dan mengevaluasi 5.550
perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang diterbitkan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.219
perda direkomendasikan dibatalkan dan 201 lainnya disarankan untuk direvisi.
Sebanyak 600 perda akhirnya dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Di luar perda yang telah dievaluasi, Depdagri memperkirakan potensi jumlah perda
yang belum diterima dan dievaluasi mencapai 10.477 perda.

Terkait dengan pelaksanaan Inpres Nomor 3 tentang Perbaikan Iklim Investasi,
70 perda telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri dari total
130 perda yang dievaluasi meliputi 17 perda tentang pungutan yang berkaitan
dengan menara telekomunikasi, 3 perda berkaitan dengan jembatan timbang, dan
110 perda yang berkaitan lalu lintas barang. Dengan demikian masih ada 60 perda
yang sedang dalam proses pembatalan.

IV - 

Penyederhanaan
perijinan ditujukan
untuk mempercepat
proses perijinan di
bidang perdagangan,
pembentukan
perusahaan dan ijin
usaha.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Upaya peningkatan
investasi di
daerah juga harus
memperhatikan
dampaknya terhadap
kualitas lingkungan
hidup.

Upaya peningkatan investasi di daerah juga harus memperhatikan


dampaknya terhadap kualitas lingkungan hidup. Pemberian izin usaha
oleh pemerintahan daerah perlu disertai dengan mekanisme pengawasan
dan pengendalian secara cermat untuk menghindari dampak negatif
terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Oleh sebab itu, Pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan
yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (AMDAL) tertanggal 2 Oktober 2006 yang merupakan revisi
dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun
2001. Pemerintahan daerah dapat mendukung kebijakan ini melalui
pemantauan terhadap permasalahan lingkungan dengan mengefektifkan
peranan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab
mengenai hal ini.
(2) Bidang Kepabeanan dan Cukai

Kebijakan yang
ditempuh
pemerintah adalah
mempercepat arus
barang, mendorong
pengembangan
kawasan berikat,
meningkatkan
pemberantasan
penyelundupan, dan
debirokratisasi di
bidang cukai.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah mempercepat arus


barang, mendorong pengembangan kawasan berikat, meningkatkan
pemberantasan penyelundupan, dan debirokratisasi di bidang cukai.
Beberapa langkah yang ditempuh dalam rangka percepatan arus barang
ialah penyederhanaan prosedur pemeriksaan kepabeanan, penerapan
teknologi informasi dengan sistem EDI (electronic data interchange),
penerapan sistem aplikasi ekspor-impor dengan teknologi berbasis web,
pemantapan kriteria yang jelas dan transparan tentang penggunaan
jalur hijau dan merah, percepatan pemrosesan kargo dan pengurangan
biaya di pelabuhan dan bandara. Dengan sistem EDI time release bisa
dipersingkat, masing-masing menjadi 30 menit di jalur hijau dan 3 hari
di jalur merah.
Dalam pengembangan peranan kawasan berikat, langkah-langkah
yang ditempuh adalah perluasan fungsi tempat penimbunan berikat
(TPB), penyempurnaan ketentuan dan otomatisasi kegiatan di TPB, dan
perluasan penerapan sistem kepabeanan seperti yang berlaku di Batam
ke kawasan berikat lainnya.

IV - 

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Dalam upaya memberantas penyelundupan, langkah-langkah yang


akan dilakukan adalah peningkatan koordinasi antarinstansi terkait,
dan intensifikasi pengawasan melalui audit kepabeanan dan cukai.
Sejalan dengan berbagai langkah tersebut, Pemeritah melakukan
debirokratisasi di bidang cukai dengan mempercepat proses registrasi
dan permohonan fasilitasi cukai tanpa perlu melalui Kanwil Ditjen Bea
dan Cukai (KWBC), tetapi cukup melalui KPBC (Kantor Pelayanan Bea
dan Cukai).
(3) Bidang Perpajakan
Pemerintah telah menetapkan lima kebijakan dengan tujuan untuk
mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi. Kelima
langkah kebijakan tersebut adalah:
1. Insentif perpajakan untuk investasi;
2. Melaksanakan sistem self assessment secara konsisten;
3. Perubahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk mempromosikan
ekspor;
4. Melindungi hak wajib pajak;
5. Mempromosikan transparansi dan disclosure.
Pemerintah telah menetapkan PP Nomor 1 Tahun 2007 untuk merevisi
PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di
Daerah-Daerah Tertentu. Dengan peraturan tersebut, mulai tanggal 1
Januari 2007 pemberian empat paket insentif pajak penghasilan (PPh)
diberlakukan untuk 15 jenis usaha yang melakukan investasi baru atau
memperluas usaha di seluruh wilayah Indonesia. Jenis usaha tersebut
adalah sebagai berikut: (1) industri makanan; (2) industri tekstil dan
pakaian jadi; (3) industri bubur kertas (pulp), kertas dan kertas karton;
(4) industri bahan kimia industri; (5) industri kimia lainnya (bahan
farmasi); (6) industri karet dan barang dari karet; (7) industri barang
dari porselen; (8) industri logam dasar, besi, dan baja; (9) industri logam
dasar bukan besi; (10) industri mesin dan perlengkapannya; (11) industri

IV - 

Pemerintah telah
menetapkan PP
Nomor 1 Tahun 2007
untuk merevisi PP
Nomor 148 Tahun
2000 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan
untuk Penanaman
Modal di BidangBidang Usaha Tertentu
dan atau di DaerahDaerah Tertentu.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

motor listrik, generator, dan transformator; (12) industri elektronika


dan telematika; (13) industri alat angkut darat; (14) industri pembuatan
dan perbaikan kapal/perahu; dan (15) industri pembuatan logam dasar
bukan besi. Menurut PP tersebut, terhitung sejak 1 Januari 2007 pelaku
usaha yang melakukan kegiatan menurut jenis usaha tersebut akan
mendapatkan potongan pajak penghasilan (PPh). Fasilitas ini tidak
berlaku bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan di
kawasan ekonomi terpadu.
Peraturan Pemerintah tersebut juga berlaku bagi pelaku usaha yang
berusaha di daerah-daerah tertentu seperti daerah terpencil, yaitu daerah
yang secara ekonomis mempunyai potensi dan layak dikembangkan,
tetapi prasarana ekonomi kurang memadai dan sulit dijangkau oleh
transportasi umum. Daerah yang termasuk dalam kategori ini adalah
perairan laut berkedalaman lebih dari 50 meter yang memiliki cadangan
mineral dan gas.
Kelompok bidang usaha lain yang mendapatkan insentif PPh hanya
untuk daerah-daerah tertentu adalah: (1) industri pengolahan makanan
di daerah; (2) industri pengolahan sumber daya alam berbasis agro; (3)
kemasan dan kotak dari kertas dan karton; (4) barang dari plastik; (5)
semen, kapur dan gips; (6) furniture; (7) penangkapan ikan laut dan
pengolahannya; (8) penangkapan udang laut dan pengolahannya; serta
(9) penangkapan mollusca (cumi dan hewan sejenis yang kulitnya
lunak) laut dan usaha terpadu. Secara lebih rinci, insentif PPh yang
diberikan pada bidang usaha tertentu di daerah-daerah tertentu dapat
dilihat pada Tabel 4.2.

IV - 

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Tabel 4.2
Bidang Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu

No.

BIDANG USAHA

KBLI

1.

Kelompok Industri
Pengolahan Makanan
Industri Pengalengan Ikan
dan biota perairan lainnya

2.

Kelompok Industri
Pengolahan SDA berbasis
Agro
a. Industri minyak goreng 15143
dari minyak kelapa

b.

15121

Industri berbagai
macam tepung dari
padi-padian, biji-bijian,
kacang-kacangan,
umbi-umbian, dan
sejenisnya

15322

c.

Industri gula pasir

15421

d.

Industri gula lainnya

15423

e.

Industri Persiapan
Serat Tekstil

17111

CAKUPAN
PRODUK

DAERAH/PROVINSI

*)

Maluku, Maluku Utara,


Papua, Irian Jaya Barat,
Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi
Barat, Gorontalo

*)
(Harus
terintegrasi
usaha
budidaya)

Sulawesi Utara, Sulawesi


Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi
Barat, Gorontalo

tepung dari
jagung (Harus
terintegrasi
usaha
budidaya)

Sulawesi Utara, Sulawesi


Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi
Barat, Gorontalo

Gula pasir
dari tebu
(kapasitas
minimal
70.000 ton
gula/ tahun,
terintegrasi
usaha
budidaya)
Gula dari ubi
kayu (Harus
terintegrasi
usaha
budidaya)

Di Luar Jawa

Serat kapas
(Harus
terintegrasi
usaha
budidaya)

Sulawesi Utara, Sulawesi


Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi
Barat, Gorontalo, Nusa
Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur

Di Luar Jawa

IV - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

No.

BIDANG USAHA

CAKUPAN
PRODUK

KBLI

DAERAH/PROVINSI

3.

Kelompok Industri Kemasan 21020


dan Kotak dari Kertas dan
Karton Industri Kemasan
dan Kotak dari Kertas dan
Karton

*)

Di Luar Jawa

4.

Kelompok Industri Barang


dari Plastik Industri
Kemasan dari Plastik

25205

*)

Di Luar Jawa

5.

Kelompok Industri Semen,


Kapur, dan Gips Industri
Semen

26411

*)

Papua, Irian Jaya Barat,


Maluku, Maluku Utara,
Sulawesi Utara, Nusa
Tenggara Barat

6.

Kelompok Industri Furnitur


a. Industri Furnitur dari
Kayu
b. Industri Furnitur dari
rotan, dan atau bambu

36101
36102

*)
*)

Di Luar Jawa
Di Luar Jawa

7.

Penangkapan Ikan di Laut


dan Pengolahannya (Usaha
Terpadu)

Pengalengan

Penggaraman/
pengeringan

Pengasapan

Pembekuan

Pemindangan

Pengolahan/
pengawetan lainnya

05011
dan
15121
s/d
15129

Tuna
Cakalang
Hiu/Cucut
Layur
Tenggiri
Lumuru
Bawal
Kakap
Merah

Provinsi yang berbatasan


dengan Samudera
Hindia: Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera
Utara, Sumatera Barat,
Bengkulu, Lampung,
Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku,
dan Papua

8.

Penangkapan Crustacea
Laut dan pengolahannya
(Usaha Terpadu)

Pengalengan

Penggaraman/
pengeringan

Pengasapan

Pembekuan

Pemindangan

Pengolahan/
pengawetan lainnya

05012
dan
15121
s/d
15129

Udang
Kepiting
Lobster
Rajungan

Provinsi yang berbatasan


dengan Samudera
Hindia: Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera
Utara, Sumatera Barat,
Bengkulu, Lampung,
Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku,
dan Papua

IV - 10

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

No.
9.

BIDANG USAHA

KBLI

Penangkapan Mollusca Laut


dan pengolahannya (Usaha
Terpadu)
Pengalengan
Penggaraman/
pengeringan
Pengasapan
Pembekuan
Pemindangan
Pengolahan/
pengawetan lainnya

05013
dan
15121
s/d
15129

CAKUPAN
PRODUK



Cumi
Sotong
Teripang
Ubur-ubur

DAERAH/PROVINSI
Provinsi yang berbatasan
dengan Samudera
Hindia: Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera
Utara, Sumatera Barat,
Bengkulu, Lampung,
Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku,
dan Papua

Sumber: website www.pajak.go.id Lampiran II PP No. 1/2007

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan empat jenis


insentif pajak yang diberikan kepada sektor usaha terpilih. Pertama,
bagi industri tertentu mendapatkan pengurangan PPh netto sebesar 30
persen dari jumlah penanaman modal yang dibebankan selama enam
tahun masing-masing lima persen pertahun. Kedua, menetapkan
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Ketiga, kompensasi
kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Keempat, PPh
atas dividen diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen. Sektor usaha
terpilih adalah kegiatan ekonomi yang mendapatkan prioritas tinggi
dalam skala nasional, khususnya yang berorientasi ekspor. Insentif ini
juga diberikan kepada sektor-sektor usaha yang merupakan perintisan
atau pionir.

PP Nomor 1 Tahun 2007


menyebutkan empat
jenis insentif pajak yang
diberikan kepada sektor
usaha terpilih.

Kebijakan pemberian insentif perpajakan untuk meningkatkan investasi


juga dilakukan dengan menurunkan tarif pajak daerah yang berpotensi
menyebabkan kenaikan harga barang/jasa. Upaya ini meliputi langkahlangkah sebagai berikut.
1. Menurunkan tarif pajak kendaraan bermotor untuk jenis kendaraan
angkutan umum. Kebijakan ini telah dilakukan oleh pemerintah
melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2006
tanggal 27 Januari 2006 yang mengatur penurunan tarif pajak
kendaraan bermotor untuk jenis angkutan umum sebagaimana

Kebijakan pemberian
insentif perpajakan
untuk meningkatkan
investasi juga dilakukan
dengan menurunkan
tarif pajak daerah
yang berpotensi
menyebabkan kenaikan
harga barang/jasa.

IV - 11

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

dinyatakan dalam Pasal 7 bahwa Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan


Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk kendaraan umum diturunkan menjadi 60% dari nilai
jual kendaraan.
2. Menurunkan tarif Pajak Penerangan Jalan bagi industri dan non
industri. Penurunan tarif Pajak Penerangan Jalan (PPJ) dari 3%
menjadi 1,5% bagi industri telah diakomodasikan ke dalam RUU
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. Menurunkan masalah pungutan pajak/retribusi daerah untuk
beberapa jenis pungutan, antara lain:
a. Menara telekomunikasi. Hasil monitoring terhadap Inpres
Nomor 3 Tahun 2006 hingga bulan September 2006 telah
mengambil sejumlah tindakan, antara lain:
(i) Himbauan kepada seluruh operator telekomunikasi untuk
tidak membayar pungutan daerah berkaitan dengan menara
telekomunikasi selain retribusi IMB (dalam proses);
(ii) Rekomendasi pembatalan semua pungutan daerah terhadap
menara telekomunikasi kecuali retribusi IMB yang
tertuang dalam rekomendasi Menteri Keuangan No. S-074/
MK.10/2006 tertanggal 22 Mei 2006;
(iii)Penyesuaian tarif retribusi IMB untuk menara teleko
munikasi (dalam proses);
(iv) Peningkatan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) PBB untuk
menara hingga 100% (dalam proses).
b. Jembatan timbang. Hasil monitoring terhadap Inpres No.3
Tahun 2006 hingga bulan September 2006 telah mengambil dua
tindakan, yaitu:
(i) Rekomendasi pembatalan semua pungutan daerah yang
berkaitan dengan jembatan timbang yang tertuang dalam
rekomendasi Menteri Keuangan No. S-074 /MK.10/2006
tertanggal 22 Mei 2006.
(ii) Penyesuaian tarif Pajak Kendaraan Bermotor untuk hasil
penerimaan di earmark bagi perbaikan kerusakan jalan.
c. Lalu lintas barang. Hasil monitoring terhadap Inpres No.3
Tahun 2006 hingga bulan September 2006 telah mengambil dua
tindakan, yaitu:

IV - 12

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

(i) Rekomendasi pembatalan semua pungutan daerah yang


merintangi lalu lintas barang, jasa, dan orang yang ter
tuang dalam rekomendasi Menteri Keuangan No. S-074 /
MK.10/2006 tertanggal 22 Mei 2006.
(ii) Penyesuaian tarif Pajak Kendaraan Bermotor untuk perbaikan
kerusakan jalan.

(4) Bidang Ketenagakerjaan


Perbaikan kebijakan diarahkan untuk menciptakan iklim hubungan
industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja, meningkatkan
perlindungan dan memperbaiki penempatan TKI di luar negeri,
mempercepat proses penerbitan perijinan ketenagakerjaan, serta
menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan produktif. Langkahlangkah yang dilakukan antara lain:
1. Penyusunan draft perubahan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 terutama yang menyentuh ketentuan tentang PHK, pesangon
dan hak-hak pekerja, ketentuan pengupahan, outsourcing, dan ijin
mempekerjakan tenaga kerja asing;
2. Penyusunan draft perubahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, peningkatan
pendidikan dan pelatihan bagi TKI, peningkatan pelatihan bagi calon
mediator, konsiliator, arbitrer dan hakim adhoc untuk penyelesaian
perselisihan hubungan industrial;
3. Penyederhanaan prosedur pemberian visa dan ijin tinggal bagi
investor/tenaga kerja asing;
4. Percepatan proses sertifikasi kompetensi tenaga kerja;
5. Pengembangan bursa kerja dan informasi pasar kerja secara online;
6. Terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka
perluasan lapangan kerja.

Perbaikan kebijakan
diarahkan untuk
menciptakan iklim
hubungan industrial

Kebijakan ketenagakerjaan ini semakin mendesak mengingat adanya


kecenderungan peningkatan pengangguran terbuka. Pemerintahan
daerah yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi harus bekerja
keras dalam mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di daerahnya.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat adalah
sebagai berikut.

Pemerintahan daerah
yang memiliki tingkat
pengangguran
yang tinggi harus
bekerja keras dalam
mempengaruhi
penyerapan tenaga
kerja di daerahnya.

IV - 13

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

1. Melakukan pembinaan terhadap calon tenaga kerja dan TKI dengan


mengintensifkan peranan Balai Latihan Kerja;
2. Membina hubungan yang harmonis dan komunikatif antara tenaga
kerja dan penyedia lapangan kerja dalam hubungan tripartit;
3. Mendukung kerangka perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat serta mempercepat proses perizinan ketenagakerjaan
tersebut;
4. Menciptakan suasana kondusif bagi berkembangnya investasi di
daerah sehingga dapat membuka lapangan kerja baru;
5. Adopsi kebijakan transmigrasi dalam lingkup daerah dalam rangka
penciptaan lapangan kerja baru.
(5) Bidang Pemberdayaan UKMK
Kebijakan
pemberdayaan usaha
kecil, menengah dan
koperasi (UKMK)
diarahkan untuk
menyederhanakan
perijinan, mendorong
pengembangan jasa
konsultasi bagi industri
kecil dan menengah
(IKM), meningkatkan
akses permodalan,
dan memperkuat
kemitraan usaha besar
dan UKMK.

Kebijakan pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi


(UKMK) diarahkan untuk menyederhanakan perijinan, mendorong
pengembangan jasa konsultasi bagi industri kecil dan menengah (IKM),
meningkatkan akses permodalan, dan memperkuat kemitraan usaha
besar dan UKMK. Untuk mendorong pengembangan jasa konsultansi
bagi IKM telah diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
37/M-IND/PER/6/2006 tertanggal 27 Juni 2006 tentang Pengembangan
Jasa Konsultasi bagi Industri Kecil dan Menengah. Dalam upaya
peningkatan akses permodalan bagi UKMK, pemerintah sedang
menyiapkan rancangan skema kredit investasi bagi UKMK dan insentif
fiskal bagi UKMK yang memanfaatkan teknologi inovatif.
Dukungan peraturan perundang-undangan tersebut saat ini sedang
disiapkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM bersama
Departemen Keuangan. Di samping itu, sebuah tim lintas kementerian/
lembaga (Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Menko
Perekonomian, BPN, Depdagri, Departemen Kelautan dan Perikanan)
bersama BRI saat ini memfasilitasi sertifikasi tanah bagi UKMK di
20 provinsi dengan target pembuatan 10.250 sertifikat tanah milik
UKMK.

IV - 14

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

4.2.

PAKET KEBIJAKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN


INFRASTRUKTUR

Sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997, penyediaan dan pelayanan


infrastruktur mengalami penurunan drastis, baik kuantitas maupun
kualitas. Sebelum 1997, total investasi pemerintah dan swasta pertahun
di bidang infrastruktur 5-6 persen kemudian turun menjadi 1-2 persen
dari PDB pertahun pada 1997-2000. Hingga tahun 2004, rasio tersebut
meningkat kembali, namun masih di bawah 3 persen. Keterbatasan
keuangan negara, dan pada saat yang sama prioritas pemerintah di
arahkan untuk merestrukturisasi perbankan dan sektor keuangan
serta program jaring pengaman sosial telah mengurangi kemampuan
pemerintah untuk membangun, merehabilitasi dan memelihara infra
struktur. Infrastruktur yang buruk menghambat pemulihan ekonomi
nasional dan meningkatkan beban masyarakat.

Infrastruktur yang
buruk menghambat
pemulihan ekonomi
nasional dan
meningkatkan beban
masyarakat.

Rehabilitasi, peningkatan infrastruktur yang ada, dan pembangunan


infrastruktur baru, membutuhkan investasi yang sangat besar yang
sangat sulit dipenuhi oleh pemerintah. Oleh karena itu, partisipasi
masyarakat dan dunia usaha perlu ditingkatkan, khususnya pada
proyek-proyek yang bersifat komersial dan layak secara finansial. Di
sisi lain, pemerintah tetap berkewajiban menyediakan infrastruktur
dasar non-komersial yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak.

Partisipasi masyarakat
dan dunia usaha
perlu ditingkatkan,
pemerintah tetap
berkewajiban
menyediakan
infrastruktur dasar
non komersial yang
sangat dibutuhkan
masyarakat banyak.

Upaya meningkatkan partisipasi swasta dalam pembangunan infra


struktur memerlukan pendekatan yang holistik, termasuk tersedianya
kerangka regulasi dan kelembagaan yang efektif dan menunjang. Iklim
investasi yang lebih baik dan berkelanjutan juga harus diciptakan.
Untuk itu, Pemerintah telah meluncurkan paket reformasi di bidang
infrastruktur yang meliputi tiga elemen yang saling terkait, yaitu (1)
menghilangkan segala bentuk monopoli dan menciptakan kompetisi
yang sehat; (2) menghapuskan praktik diskriminatif yang menghambat
partisipasi swasta; dan (3) reposisi peran pemerintah, di antaranya
dengan memisahkan peran regulator dan operator.

Pemerintah telah
meluncurkan paket
reformasi di bidang
infrastruktur yang
meliputi tiga elemen
yang saling terkait.

IV - 15

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Elemen-elemen reformasi tersebut mencakup empat kerangka kebijakan


yang termuat dalam paket kebijakan percepatan pembangunan
infrastruktur, yaitu: (1) reformasi kebijakan lintas sektor strategis, (2)
reformasi kebijakan sektor dan korporat serta restrukturisasi industri
untuk meningkatkan kompetisi, (3) perbaikan regulasi untuk mencegah
penyalahgunaan hak monopoli dan untuk melindungi konsumen dan
investor, (4) penataan fungsi dan peran menteri/pimpinan lembaga/
kepala daerah sebagai regulator dan BUMN/BUMD sebagai operator.
Untuk menjalankan kerangka kebijakan tersebut, pada tahun 2006
pemerintah telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1)
mengembangkan kerangka kebijakan, regulasi dan kelembagaan yang
efektif; (2) reformasi sektor-sektor yang meliputi transportasi darat,
perkeretaapian, transportasi laut, transportasi udara, jalan tol dan nontol; infrastruktur energi; kelistrikan; pos dan telekomunikasi; air minum,
sanitasi, perumahan, dan sumber daya air; (3) mendorong partisipasi
pemerintah daerah; dan (4) merealisasikan transaksi proyek-proyek
pembangunan infrastruktur.

Tabel 4.3
Rekapitulasi Jumlah Keluaran Paket Kebijakan Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Tahun 2006
ISU KEBIJAKAN

No.

JUMLAH
KELUARAN

I.

Kerangka Kebijakan, Peraturan dan Kelembagaan

33

II.

Kebijakan Sektor

86

a. Perhubungan Darat

b. Perkeretaapian

c. Perhubungan Laut

d. Perhubungan Udara

e. Jalan Tol

f. Infrastruktur Minyak dan Gas

IV - 16

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

ISU KEBIJAKAN

No.

JUMLAH
KELUARAN

g. Kelistrikan

h. Telekomunikasi

14

i. Air Minum, Sanitasi, Sumber Daya Air

15

j. Perumahan

17

III.

Pemerintah Daerah

IV.

Paket Transaksi Proyek Infrastruktur

32

TOTAL

156

Sumber: KKPPI, 2006

Guna mendorong partisipasi dan peran pemerintah daerah, langkahlangkah lebih lanjut yang dilakukan pemerintah adalah:
1. menyusun rancangan undang-undang tentang Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD);
2. memperjelas peran pemerintah daerah sebagai pemberi kontrak
khususnya dalam pelayanan transportasi, kelistrikan (off grid), air
minum dan sanitasi;
3. melakukan revisi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun
2003 dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
52/PMK.010/2006 tentang Tata Cara Pemberian Hibah Kepada
Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2006
tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah
yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri. Langkah itu
ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan pemerintah
daerah;
4. menerbitkan pula Peraturan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor PER.005/M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara
Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang
Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Langkah ini
dilakukan untuk sinkronisasi perencanaan kegiatan dan perencanaan
keuangan dari sumber pinjaman/hibah luar negeri.

IV - 17

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(1)

Sektor Perhubungan

Sasaran pembangunan sektor transportasi tahun 2007 adalah melan


jutkan pemantapan sistem transportasi nasional melalui koordinasi dan
konsolidasi serta penyusunan transportasi pulau terpadu antarmoda
sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) nasional, RTRW
pulau dan Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). Keberlanjutan peren
canaan dan implementasi dalam rangka pencapaian sasaran tersebut
akan dipantau, dikaji dan dievaluasi secara berkala dan dipersiapkan
kesinambungannya dalam perencanaan jangka menengah berikutnya.
Pemerintah telah
berupaya melakukan
restrukturisasi dan
reformasi kebijakan,
peraturan dan
perundang-undangan
yang memungkinkan
peran pemerintah
daerah dan swasta
dalam penyediaan
transportasi.

Untuk mencapai hal tersebut, dalam kurun waktu 2005 hingga 2006,
pemerintah telah berupaya melakukan restrukturisasi dan reformasi
kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang memungkinkan
peran pemerintah daerah dan swasta dalam penyediaan transportasi.
Upaya yang telah dilakukan adalah merevisi Undang-Undang di bidang
transportasi, diantaranya UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang
Perkeretaapian, UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan
UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Saat ini status revisi
perundang-undangan tersebut telah sampai pada tahap pembahasan di
DPR.

UU baru diharapkan
dapat memberikan
landasan kebijakan
tentang penataan
tarif, garansi, konsesi,
manajemen risiko, hak
dan kewajiban masingmasing pihak yang
disesuaikan dengan
perkembangan dan
tantangan yang
dihadapi dalam
globalisasi ekonomi
dan era otonomi
daerah.

Revisi atas perundang-undangan di atas dimaksudkan untuk (1)


menyesuaikan kerangka regulasi sektor transportasi dengan semangat
desentralisasi; dan (2) memperjelas reposisi pemerintah terkait
peran regulator dan operator. Undang-undang yang baru diharapkan
dapat menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi investasi di sektor
transportasi di daerah, baik dalam penyediaan prasarana maupun
penyelenggaraan transportasi. Di samping itu, UU baru juga diharapkan
dapat memberikan landasan kebijakan tentang penataan tarif, garansi,
konsesi, manajemen risiko, hak dan kewajiban masing-masing pihak
yang disesuaikan dengan perkembangan dan tantangan yang dihadapi
dalam globalisasi ekonomi dan era otonomi daerah.

IV - 18

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Beberapa langkah yang telah dilakukan dalam kaitan Paket Kebijakan


Percepatan Pembangunan Infrastruktur di sektor perhubungan adalah
restrukturisasi kebijakan yang meliputi: (1) penyusunan cetak biru (blue
print) rencana umum keselamatan transportasi darat, perkeretaapian,
dan revisi cetak biru transportasi laut dan udara; serta cetak biru sistem
jaringan jalan (high grade highway) termasuk jalan tol dan jalan non
tol, serta intermoda lainnya; (2) reformasi peraturan dan perundangundangan di sektor transportasi untuk menyesuaikan dengan semangat
desentralisasi dan menghilangkan monopoli oleh BUMN melalui
pemisahan peran regulator dan operator; (3) adopsi kebijakan tarif
sesuai dengan prinsip-prinsip kerjasama dalam Perpres 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Sektor Transportasi; (4)
pembentukan Dewan Keselamatan Transportasi Jalan Nasional; (5)
pengembangan kerangka kebijakan PSO (Public Service Obligation)
untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan transportasi di daerah
terpencil dan kurang berkembang; (6) memenuhi sertifikasi pelabuhan
internasional agar sesuai dengan International Ships and Facility of
Port Security Code dalam rangka meningkatkan keselamatan dan
keamanan pelabuhan dan kapal; (7) peningkatan kapasitas kelembagaan
transportasi; (8) pengkajian penerapan Revolving Fund untuk pengadaan
tanah serta pembentukan institusi khusus pengadaan tanah dalam
pembangunan prasarana transportasi; (9) pengkajian ulang alternative
pendanaan melalui sistem road user charges dan kelayakan road fund;
serta (10) peningkatan pemeliharaan jalan termasuk perhitungan beban
kendaraan untuk meningkatkan keselamatan di jalan.
Dalam rangka restrukturisasi dan reformasi kebijakan dan peraturan di
daerah, peran pemda sangat penting dan strategis terutama sinkronisasi
peraturan pusat dan peraturan daerah yang dinilai menghambat inves
tasi seperti berbagai pungutan, retribusi dan biaya lain yang dipungut di
pelabuhan, jalan, dan jembatan timbang yang mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi.

IV - 19

Peran Pemda sangat


penting dan strategis
terutama sinkronisasi
peraturan pusat
dan peraturan
daerah yang dinilai
menghambat
investasi.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Kotak 4.2. Peningkatan Kualitas Jalan: Tanggung Jawab Bersama


Total panjang jalan secara nasional mencapai 339.005 km, terbagi dalam klasifikasi
jalan tol 649 km, jalan nasional 34.628 km, jalan provinsi 37.164 km, dan jalan
kabupaten 240.946 km. Dari panjang jalan tersebut yang terlapisi aspal masingmasing 90 persen untuk jalan nasional, 89 persen untuk jalan provinsi, dan 52 persen
untuk jalan kabupaten. Secara kualitas, 80 persen jalan nasional termasuk sedang
sampai baik. Sementara untuk jalan provinsi dan kabupaten, masing-masing
hanya 63 dan 49 persen yang berada dalam kondisi sedang sampai baik. Tingkat
kualitas jalan tersebut berkorelasi dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan
masing-masing tingkatan pemerintahan. Pada tahun 2004 belanja pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten untuk pemeliharaan jalan besarnya masing-masing
1.105 milyar, 609 milyar, dan 590 milyar. Di luar itu juga ada pemeliharaan oleh PT
Jasa Marga sebesar 2.508 milyar.
Mengingat peran strategis jalan dalam memfasilitasi aktivitas ekonomi, sinergi
antar tingkatan pemerintahan diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan
kualitas jalan. Di perdesaan, kualitas jalan yang buruk dianggap sebagai salah satu
hambatan utama dalam menjalankan usaha, di mana sebagian besar pelakunya
adalah UMKM. Oleh karena itu, dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah sangat
dibutuhkan dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja pembangunan
khususnya bagi pemeliharaan jalan-jalan kabupaten dan provinsi.
Dibanding beberapa negara Asia, proporsi jalan beraspal di Indonesia yang berkisar
58 persen terhitung cukup tinggi dibanding Kamboja (4 persen), Laos (14 persen),
Philipina (22 persen). Namun, dibanding China dan Thailand, Indonesia masih jauh
tertinggal. Di kedua negara tersebut proporsi jalan beraspal masing-masing 91
dan 97 persen.

Penyediaan pelayanan transportasi perintis sangat membantu dalam


membuka akses ke daerah terisolir/terpencil. Peran Pemda sangat
penting dalam melakukan berbagai terobosan melalui kerjasama dengan
penyedia layanan/operator untuk menyediakan pelayanan keperintisan
transportasi darat, laut dan udara. Sebagai contoh, dalam penyediaan
pelayanan keperintisan transportasi udara, pemerintah daerah dapat
menyediakan pesawat yang dioperasikan oleh operator yang dipilih
melalui lelang. Demikian pula untuk pelayanan penyeberangan laut,
Pemda dapat menyediakan kapal yang dioperasikan oleh operator.

IV - 20

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Dalam pengembangan sistem transportasi yang handal, peran Pemda


sangat penting untuk memadukan tujuan transportasi perintis agar
dapat lebih efektif dan efisien memberikan pelayanan bagi masyarakat
setempat sesuai kebutuhan. Di samping itu, untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi subsidi perintis dan/atau PSO, Pemda
diharapkan mampu mengembangkan jaringan transportasi perintisan
yang disubdisi menjadi jaringan trasportasi komerasial. Pengembangan
jaringan transportasi tersebut harus sejalan dengan rencana Pemda
dalam pembangunan daerah secara terpadu dengan sektor-sektor
lainnya. Peran Pemda juga sangat dibutuhkan dalam monitoring dan
evaluasi pelayanan jasa transportasi perintis.
Berkaitan dengan infrastruktur jalan, peran pemerintah daerah sangat
penting mengingat besarnya proporsi infrastruktur seperti jalan raya
yang berada di bawah kewenangan pemerintah daerah khususnya
Pemerintah Kabupaten/Kota. Hingga pertengahan tahun 2006, proporsi
jalan kabupaten/kota dari total panjang jalan mencapai 78 persen dengan
kondisi permukaan jalan yang belum/tidak diaspal masih sekitar 44,7
persen.
Dengan adanya pertambahan jumlah kendaraan bermotor secara
signifikan, peningkatan kuantitas dan kualitas jalan raya ini semakin
mendesak. Data Kepolisian Daerah (Polda) seluruh tanah air mencatat
adanya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sebesar 15,2 persen
pada tahun 2004 dibanding tahun sebelumnya. Dari 30,77 juta
kendaraan bermotor pada tahun 2004, sekitar 75 persen merupakan
sepeda motor dan sisanya adalah kendaraan mobil penumpang (14,5
persen), bis (3 persen) dan truk (7,5 persen). Di satu sisi, peningkatan
jumlah kendaraan bermotor ini dapat memfasilitasi mobilitas manusia
dan barang namun di sisi lain membutuhkan komitmen lebih besar
dalam rangka pemeliharaan jalan. Di sisi lain, Pemerintah daerah
mempunyai kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan jalan yang
menjadi kewenangannya mengingat masyarakat pengguna jalan telah
membayar Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor.

IV - 21

Peran Pemda sangat


penting dalam
melakukan berbagai
terobosan melalui
kerjasama dengan
penyedia layanan/
operator.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(2)

Sektor Energi

Pemenuhan energi makin penting di masa datang baik dalam rangka


pelayanan kepada masyarakat yang terus meningkat maupun untuk
memfasilitasi peningkatan investasi di sektor riil. Upaya itu ditempuh
dengan menyiapkan sarana dan prasarana lintas sektor, menghilangkan
monopoli baik di sisi bisnis hulu maupun di sisi bisnis hilir untuk sektor
migas, serta pengembangan prasarana pembangkit, transmisi dan
distribusi untuk sektor energi baru dan terbarukan lainnya.
Reformasi sektor
energi ditandai
dengan terbitnya
UU Nomor 22
Tahun 2001
tentang Minyak
dan Gas, dan UU
Nomor 27 Tahun
2003 tentang Panas
Bumi

Reformasi sektor energi ditandai dengan terbitnya UU Nomor 22


Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, dan UU Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi yang kemudian melahirkan Badan Pelaksana (BP)
Migas dan Badan Pengatur (BPH) Migas sebagai badan independen.
Dengan adanya UU tersebut, pemisahan fungsi regulator dan operator
dalam penyediaan energi dapat dilakukan secara tegas. Selain itu, saat
ini bersama DPR pemerintah sedang membahas Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Energi.

Langkah-langkah
pengembangan
energi alternatif
seperti gas bumi,
batubara, panas
bumi, dan energi
alternatif lainnya
perlu dilakukan

Kenaikan harga minyak memberikan efek negatif bagi Indonesia, yaitu


meningkatnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah
sehubungan dengan impor sekitar 500 ribu barel minyak bumi. Impor
tersebut harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi
kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu, langkah-langkah
pengembangan energi alternatif seperti gas bumi, batubara, panas bumi,
dan energi alternatif lainnya perlu dilakukan untuk menggantikan
peranan minyak bumi sekaligus mengembangkan energi mix dalam
rangka mengamankan jaminan pasokan energi.

Pemerintah telah
mengeluarkan
Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor
5 Tahun 2005
tentang Kebijakan
Energi Nasional
(KEN) dan Blueprint
Pengelolaan Energi
Nasional (PEN)
2005-2025.

Untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri sekaligus


mewujudkan jaminan pasokan, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Kebijakan
Energi Nasional (KEN) dan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (PEN)
2005-2025. Dalam KEN tersebut ditetapkan sasaran untuk energi primer
mix pada tahun 2025 adalah sebagai berikut: (1) peranan minyak bumi
turun menjadi kurang dari 20 persen, (2) peranan gas bumi meningkat
menjadi lebih dari 30 persen, (3) peranan batubara menjadi lebih dari
IV - 22

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

33 persen, (4) peranan bahan bakar nabati (biofuel) meningkat menjadi


lebih dari 5 persen, (5) peranan panas bumi menjadi lebih dari 5 persen,
(6) peranan energi baru dan energi terbarukan lainnya meningkat
menjadi lebih dari 5 persen, dan (7) peranan batubara yang dicairkan
(liquefied coal) menjadi lebih dari 2 persen .
Pemenuhan energi (final) sangat ditentukan oleh ketersediaan
infrastruktur untuk memproses dan mengubah energi primer menjadi
energi final, serta transmisi dan distribusi ke konsumen (industri,
transportasi, rumah tangga, dan komersial). Sasaran utama penyediaan
infrastruktur energi sebagaimana tertuang dalam blueprint KEN adalah
sebagai berikut :
1. jaringan pipanisasi BBM di Jawa, kilang, depot, dan terminal
transit;
2. jaringan pipanisasi gas Kalimantan-Jawa, Jawa Barat-Jawa Timur;
terminal regasifikasi LNG, Integrated Indonesian Gas Pipeline,
embrio dari Trans ASEAN Gas Pipeline (TAGP);
3. sarana dan prasarana transportasi dari mulut tambang batubara ke
pelabuhan, pelabuhan suplai dan di lokasi konsumen, serta sarana
dan prasarana distribusi; dan
4. transmisi listrik Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, ASEAN Power
Grid.
Dalam rangka mempercepat transaksi pembangunan infrastruktur,
Pemerintah telah menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit
(Indonesian Infrastructure Conference and Exhibition-IICE) dan berhasil
melakukan proses lelang untuk proyek perpipaan gas Cirebon-Gresik
(dipecah menjadi Semarang-Gresik dan Cirebon-Semarang) dan
Kaltim-Jateng.
Beberapa kebijakan regulasi lain yang telah ditetapkan adalah (1)
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan
Bakar Lain, (2) Inpres Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan sebagai Bahan Bakar Lain, Inpres
Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi, dan (3) Keputusan

IV - 23

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan


Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan
Pengangguran.
Program pengembangan energi alternatif dilaksanakan sesuai
dengan permintaan dari masing-masing bidang, yaitu : (1) Bidang
Pembangkitan tenaga listrik: batubara, gas, panasbumi, tenaga air, DME
(Dimethyl Ether), mikro hidro, energi surya, tenaga angin, energi in
situ, nuklir, biodiesel; (2) Bidang Transportasi: gas, listrik, biofuel, bahan
bakar batubara cair (Coal Liquefaction), GTL (Gas to Liquid), Bahan
Bakar Hidrogen, Fuel Cell, Hidrat Gas Bumi; (3) Bidang Industri: Gas,
Batubara, Biomassa, Hidrat Gas Bumi; dan (4) Bidang rumah tangga
dan komersial: listrik, elpiji, briket, gas kota, biogas, energi surya, fuel
cell, dan hidrat gas bumi.
Program pengembangan energi alternatif yang saat ini memasuki
tahap pengkajian dan implementasi adalah pemakaian elpiji dan briket
batubara sebagai substitusi minyak tanah untuk rumah tangga dan
pemakaian bahan bakar bio (biofuel) untuk transportasi dan industri.
Dalam penyediaan
energi, peran yang
dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah
adalah pengembangan
energi alternatif baru
terbarukan yang
bersifat lokal seperti
tenaga surya, energi
angin, dan bahan
bakar nabati (jarak
pagar, singkong, tetes
tebu, kelapa sawit dan
lain-lain).

Sampai saat ini, penyediaan infrastruktur energi sebagian besar dilakukan


oleh pemerintah pusat, BUMN, dan swasta. Peran serta pemerintah
daerah masih sangat terbatas. Dalam penyediaan energi, peran yang
dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah pengembangan energi
alternatif baru terbarukan yang bersifat lokal seperti tenaga surya, energi
angin, dan bahan bakar nabati (jarak pagar, singkong, tetes tebu, kelapa
sawit dan lain-lain).
Dalam sistem ketenagalistrikan nasional, kondisi penyediaan listrik
saat ini masih belum stabil terutama di beberapa wilayah sebagai akibat
lemahnya kemampuan investasi dan melonjaknya harga minyak. Setelah
pembangunan pembangkit PLTG Muara Tawar 6x145 MW di Bekasi
Jawa Barat selesai pada tahun 2004, kondisi sistem ketenagalistrikan
Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada akhir tahun 2005 memiliki cadangan
(reserved margin) yang masih memadai, yaitu sebesar 32 persen.
Sedangkan untuk sistem luar Jamali, sekalipun daya terpasang mencapai

IV - 24

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

5.970 MW, namun daya mampunya sangat rendah, yaitu hanya sekitar
78,2 persen atau sekitar 4.670 MW. Hal ini terjadi karena banyak
pembangkit listrik sudah berumur tua dan berbahan bakar diesel.
Daya mampu yang ada tersebut sudah termasuk penambahan kapasitas
sebesar 150 MW dari hasil operasi beberapa proyek pembangkit listrik
di wilayah Sumatera seperti PLTA Sipansihaporas 50 MW, PLTA Renun
82 MW, serta PLTG/U Palembang Timur 100 MW. Di sisi lain, beban
puncak yang dimiliki adalah sekitar 4.420 MW. Dengan demikian,
penyediaan listrik untuk luar Jamali hanya memiliki cadangan sekitar 5
persen. Candangan ini masih jauh dari kondisi wajar dengan cadangan
yang dibutuhkan sekitar 25 persen dari daya mampu yang dimiliki.
Selain itu, kondisi tersebut tidak merata pada berbagai subsistem yang
ada di luar Jamali.

Dalam sistem
ketenagalistrikan
nasional, kondisi
penyediaan listrik saat
ini masih belum stabil
terutama di beberapa
wilayah sebagai
akibat lemahnya
kemampuan investasi
dan melonjaknya harga
minyak.

Dalam penyediaan listrik perdesaan, sampai dengan akhir tahun 2006


jumlah desa yang telah mendapat distribusi listrik sebanyak 52.127 desa
atau 79,4 persen dari seluruh desa. Pemerintah terus mengupayakan
penyediaan listrik perdesaan melalui pembangunan pembangkit mini
dan mikro yang menggunakan energi non-konvensional setempat
terutama energi terbarukan.

Pemerintah terus
mengupayakan
penyediaan listrik
perdesaan melalui
pembangunan
pembangkit mini
dan mikro yang
menggunakan energi
non konvensional
setempat terutama
energi terbarukan.

(3)

Sektor Telekomunikasi

Dalam era persaingan global saat ini informasi mempunyai nilai


ekonomi yang tinggi. Kemampuan untuk mendapatkan, memanfaatkan
dan mengolah informasi mutlak dimiliki suatu bangsa untuk mening
katkan daya saing sekaligus pertumbuhan ekonomi bangsa tersebut.
Kemampuan yang sama juga mutlak dimiliki setiap daerah untuk me
ningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Ketersediaan akses informasi
terutama infrastruktur telekomunikasi sangat esensial untuk membuka
keterisolasian suatu daerah sekaligus membuka peluang ekonomi bagi
daerah tersebut.
Secara nasional, ketersediaan infrastruktur telekomunikasi saat ini
masih terbatas. Hingga tahun 2005, infrastruktur sambungan tetap
baru mencapai sekitar 12 juta satuan sambungan yang terkonsentrasi

IV - 25

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Secara nasional,
ketersediaan
infrastruktur
telekomunikasi saat
ini masih terbatas.

di wilayah barat Indonesia. Di sisi lain, walaupun layanan sambungan


bergerak sudah menjangkau ke seluruh kabupaten dengan total
pelanggan mencapai 50 juta orang, jumlah pelanggan terbesar tetap
terkonsentrasi di Jawa, Bali dan Sumatera. Disparitas infrastruktur
telekomunikasi juga terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Secara umum, teledensitas sambungan tetap di wilayah Jabodetabek
dan daerah perkotaan lain masing-masing mencapai 35 persen dan
11-25 persen, sedangkan wilayah perdesaan baru mencapai 0,2 persen.
Saat ini masih terdapat 43 ribu desa yang belum memiliki fasilitas
telekomunikasi yang memadai atau bahkan belum memiliki fasilitas
telekomunikasi sama sekali. Wilayah-wilayah ini diidentifikasi sebagai
wilayah Universal Service Obligation (USO).

Keterbatasan
infrastruktur
telekomunikasi
secara langsung
menyebabkan
semakin lebarnya
kesenjangan digital
(digital divide) baik
antara Indonesia
dengan negara lain
maupun antardaerah
di Indonesia.

Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi secara langsung menye


babkan semakin lebarnya kesenjangan digital (digital divide) baik antara
Indonesia dengan negara lain maupun antardaerah di Indonesia. Dari
sisi penawaran, keterbatasan infrastruktur antara lain disebabkan oleh:
1. Terbatasnya kemampuan pembiayaan operator. Perkembangan tek
nologi telekomunikasi yang sangat cepat membawa dampak kepada
meningkatnya kebutuhan investasi baru dalam waktu yang lebih
singkat sehingga investasi jangka panjang menjadi tidak menarik
lagi. Sementara itu, pembangunan infrastruktur telekomunikasi itu
sendiri membutuhkan perencanaan dan implementasi yang cukup
panjang dengan waktu pengembalian modal yang panjang.
2. Masih tingginya hambatan masuk (barrier to entry). Sebagai transisi
dari monopoli ke kompetisi, penyelenggaraan telekomunikasi
sambungan tetap masih menganut sistem duopoli. Oleh karena itu,
penguasaan akses penting masih dikuasai oleh incumbent, seperti
penomoran dan interkoneksi. Kondisi ini tentu membuat operator
baru sulit berkembang. Untuk bertahan saja, operator baru
memerlukan investasi yang sangat besar untuk melakukan roll out
infrastruktur dan membangun basis pelanggan. Sementara itu, pada
penyelenggaraan telekomunikasi sambungan bergerak yang sudah
dilakukan secara kompetisi sejak awal, permasalahan utama bagi
operator baru adalah terbatasnya ketersediaan spektrum frekuensi

IV - 26

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

karena sebagian besar alokasi spektrum frekuensi sudah ditetapkan


untuk operator existing.
3. Terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi. Perkem
bangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat belum dapat di
manfaatkan secara optimal karena terbatasnya kemampuan penyedia
layanan untuk melakukan adopsi dan adaptasi teknologi. Perangkat
regulasi yang ada juga umumnya belum dapat mengantisipasi per
kembangan teknologi secara cepat sehingga pemanfaatannya masih
terbatas.
Adapun dari sisi permintaan, keterbatasan infrastruktur disebabkan oleh
terbatasnya kemampuan daerah untuk mendukung masuknya operator.
Secara umum, penyediaan layanan telekomunikasi oleh operator
dipengaruhi oleh kepadatan penduduk; daya beli (purchasing power);
serta konsentrasi dan jenis aktivitas masyarakat. Daerah perkotaan
yang padat penduduk dan memiliki daya beli tinggi, atau daerah yang
memiliki kegiatan industri merupakan daerah target utama penyedia
layanan. Sebaliknya, daerah yang mempunyai kemampuan terbatas
menjadi tidak menarik bagi penyedia layanan.
Dengan memperhatikan perbedaan kemampuan/kapasitas setiap
daerah tersebut, diperlukan strategi yang berbeda dalam peningkatan
infrastruktur dan layanan telekomunikasi. Pada daerah yang berkapasitas
tinggi, peningkatan infrastruktur dilakukan melalui penciptaan
kompetisi yang setara (level playing field). Sedangkan penyelenggaraan
telekomunikasi oleh operator dengan dana pemerintah (program
USO) dilakukan pada daerah-daerah yang berkapasitas rendah. Pada
daerah yang berkapasitas menengah dapat dilakukan dua pendekatan,
yaitu melalui perkuatan regulasi untuk mendorong terciptanya iklim
investasi yang kondusif sehingga menarik minat operator, atau melalui
mekanisme kerjasama pemerintah dan swasta (public private partnership
atau PPP). Melalui skema PPP diharapkan operator yang berpotensi
baik skala nasional maupun regional dapat berperan lebih aktif dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.

IV - 27

Pada daerah yang


berkapasitas tinggi,
peningkatan
infrastruktur
dilakukan melalui
penciptaan kompetisi
yang setara
penyelenggaraan
telekomunikasi oleh
operator dengan
dana pemerintah
dilakukan pada
daerah-daerah yang
berkapasitas rendah.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Pemerintah sejak
tahun 1999 sudah
memulai reformasi
sektor telekomunikasi
yang pada prinsipnya
menghapus bentuk
monopoli serta
membuka peluang
usaha sebesarbesarnya kepada
BUMN, BUMD, swasta
dan koperasi.

Untuk mendorong penyediaan infrastruktur telekomunikasi, pemerintah


sejak tahun 1999 sudah memulai reformasi sektor telekomunikasi
yang pada prinsipnya menghapus bentuk monopoli serta membuka
peluang usaha sebesar-besarnya kepada BUMN, BUMD, swasta dan
koperasi. Melalui Paket Kebijakan Infrastruktur yang diterbitkan
pemerintah pada bulan Februari 2006 yang lalu, beberapa rencana
tindak percepatan penyediaan infrastruktur telekomunikasi telah
diidentifikasi. Rencana tindak yang telah diselesaikan adalah penerbitan
perangkat regulasi yang mengatur interkoneksi dan perkuatan Badan
Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Adapun rencana tindak yang
masih dilakukan (dalam proses) adalah pembaharuan cetak biru dan
penyusunan road map telekomunikasi, serta evaluasi terhadap struktur
industri telekomunikasi.

Dalam upaya
meningkatkan
pemerataan
pelayanan
telekomunikasi peran
pemerintah daerah
sangat diperlukan.

Dalam upaya meningkatkan pemerataan pelayanan telekomunikasi


peran pemerintah daerah sangat diperlukan. Paling tidak, dukungan
pemerintah daerah diharapkan dalam mendukung:
1. Penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah. Merujuk kepada
Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, salah
satu kebijakan yang ditempuh adalah sinkronisasi peraturan pusat
dan peraturan daerah (perda). Sejauh ini memang terdapat perda
yang menghambat investasi seperti pungutan yang berlebihan atas
pendirian menara layanan seluler. Kebijakan daerah yang tidak
kondusif justru akan menciptakan barrier to entry bagi daerah
tersebut. Selain itu, juga terdapat pemerintah daerah yang melakukan
penetapan alokasi spektrum frekuensi. Sebagaimana diketahui
bahwa spektrum frekuensi merupakan sumberdaya terbatas yang
dikuasai oleh negara. Mengingat pengalokasian spektrum frekuensi
harus memperhatikan beberapa faktor teknis seperti ketersediaan
spektrum dan kemungkinan interferensi, serta harus mengacu
kepada ketentuan internasional, maka perencanaan dan penetapan
alokasi spektrum frekuensi dilakukan oleh pemerintah pusat untuk
menjamin ketertiban dan efisiensi pemanfaatannya. Pemerintah
daerah diharapkan bekerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis Balai
Monitoring yang berada di setiap daerah untuk melakukan penga
wasan (monitoring) terhadap penggunaan spektrum frekuensi.

IV - 28

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

2. Pelaksanaan program USO. Pada tahun 2006, program USO diran


cang dengan pendekatan yang berbeda, yaitu (1) pembiayaan
yang bersumber dari kontribusi operator melalui Pendapatan
Negara Bukan Pajak; (2) pemilihan operator yang dilakukan
secara lelang; dan (3) kegiatan USO yang meliputi pembangunan
dan pengelolaan aset untuk menjamin keberlangsungan program.
Secara umum, daerah USO dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu nonmature, semi-mature, dan mature sesuai dengan tingkat kebutuhan
dan kemampuan masyarakat. Sebagai tahap awal, pemerintah
telah mengidentifikasi daerah-daerah USO dan sedang melakukan
klarifikasi dengan pemerintah daerah yang terkait. Sehubungan
dengan hal ini, pemerintah daerah diharapkan dapat membantu
dengan memberikan informasi yang akurat atau mengusulkan desa
yang dianggap sesuai untuk disertakan dalam program USO.

(4)

Sektor Air Minum

Penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah


seringkali belum memperhitungkan ketersediaan air minum. Hal ini
terlihat dari pembangunan kawasan industri yang masih kurang mem
perhatikan ketersediaan pasokan air minum yang diperlukan dalam
proses produksi. Upaya untuk mencukupi kebutuhan air minum
bagi keperluan industri sebagian besar diambil dari air tanah dalam.
Kondisi tersebut didorong oleh terbatasnya cakupan pelayanan PDAM
(Perusahaan Daerah Air Minum).
Secara nasional, data Susenas 2005 menunjukkan bahwa pelayanan
air minum perpipaan di Indonesia baru 31 persen rumah tangga di
perkotaan dan 5 persen rumah tangga di perdesaan, Sedangkan sisanya
berusaha memenuhi kebutuhan air minum dari sumber air tanah, sumur,
air sungai, dan air hujan. Lambatnya pembangunan jaringan air minum
perpipaan, bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan
ekonomi menyebabkan terjadinya persaingan dalam pemanfaatan air
tanah untuk rumah tangga dan industri, khususnya di kota-kota besar.
Pemanfaatan air tanah yang berlebihan akan menyebabkan permukaan

IV - 29

Penyusunan rencana
pembangunan dan
pengembangan
wilayah
seringkali belum
memperhitungkan
ketersediaan air
minum.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

air tanah cenderung terus menurun. Dalam jangka panjang, kondisi


ini akan menyebabkan terjadinya penurunan tanah (land subsidence)
dan intrusi air laut pada kawasan permukiman yang dekat dengan garis
pantai.
Penyediaan air minum
utama seharusnya
bersumber pada
pasokan dari PDAM.
Sementara itu,
sebagian besar PDAM
masih menghadapi
banyak masalah
tingginya tingkat
kebocoran, belum
efisiennya sistem
produksi dan jaringan
pelayanan, rendahnya
kinerja manajemen,
serta masih adanya
sekitar 60 persen
PDAM yang terlilit
utang.

Penyediaan air minum utama seharusnya bersumber pada pasokan dari


PDAM. Dengan tingkat cakupan yang masih rendah saat ini, upaya
pemenuhan pelayanan air minum baik bagi rumah tangga maupun
industri memerlukan percepatan pembangunan jaringan baru yang
membutuhkan biaya sangat besar. Sementara itu, sebagian besar PDAM
masih menghadapi banyak masalah tingginya tingkat kebocoran, belum
efisiennya sistem produksi dan jaringan pelayanan, rendahnya kinerja
manajemen, serta masih adanya sekitar 60 persen PDAM yang terlilit
utang. Permasalahan tersebut menghambat PDAM dalam mencari
sumber-sumber pembiayaan untuk merehabilitasi sistem pelayanan
dan investasi pengembangan jaringan. Rendahnya kinerja PDAM
tersebut juga akan berdampak pada makin meningkatnya kesenjangan
penyediaan air minum.

Upaya untuk
mengatasi
permasalahan
tersebut ditempuh
beberapa langkah
simultan bertujuan
untuk meningkatkan
kesehatan kinerja
PDAM, baik teknis
maupun finansial,
sehingga mampu
meningkatkan
kualitas dan kuantitas
(cakupan) pelayanan
air minum.

Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut ditempuh beberapa


langkah simultan. Pertama, mendorong penerapan prinsip good corporate
governance dalam pengelolaan PDAM secara konsisten. Kedua,
meningkatkan kinerja pengelolaan aset (asset management). Ketiga,
restrukturisasi hutang PDAM. Keempat, memperbaiki prasarana dan
sarana PDAM. Selain itu, saat ini sedang dilakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969. Revisi undang-undang
tersebut diharapkan dapat mendorong pengelolaan PDAM secara
profesional, mandiri (tidak dicampuri kepentingan birokrasi) serta
berorientasi kepada konsumen. Berbagai langkah tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kinerja PDAM, baik teknis maupun finansial,
sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas (cakupan)
pelayanan air minum.
Di masa yang akan datang diharapkan hanya ada dua jenis BUMD,
yaitu Perusahaan Umum Daerah (Perumda) dan Perusahaan Perseroan

IV - 30

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Daerah (Perseroda). Hal ini didasarkan kepada pengertian bahwa


Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan.
(5) Kemajuan Pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan
Pembangunan Infrastruktur
Sampai dengan akhir bulan Desember 2006, dari hasil pemantauan
kemajuan pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan Pembangunan
Infrastruktur adalah sebagai berikut.
1. Dari target semula sebayak 156 keluaran, 18 keluaran telah dibatalkan
berdasarkan usulan menteri terkait sehingga target keluaran menjadi
138 keluaran. Pengurangan jumlah keluaran ini disebabkan oleh
karena beberapa hal sebagai berikut:
a. Adanya keluaran yang seharusnya dilakukan oleh departemen
lain telah dimasukkan sebagai bagian dari keluaran departemen
bersangkutan sehingga keluaran tersebut tidak dapat
dihasilkan;
b. Terdapat keluaran yang merupakan hasil kajian dan bukan
keluaran kebijakan, sehingga tidak akan menjadi bagian dari
kebijakan yang akan diluncurkan;
c. Keluaran yang direncanakan adalah identik dengan kebijakan
yang telah diluncurkan, atau keluaran tersebut identik dengan
tugas dan fungsi suatu badan yang telah berdiri, contohnya
pendirian PPP (Public Private Partnership) Node di Departemen
Pekerjaan Umum yang ternyata identik dengan TUPKOSI
Badan Pengawas Jalan Tol (BPJT) dan BPP SPAM.
2. Keluaran yang diselesaikan sebanyak 92 keluaran atau 59 persen
dari target awal dan 67 persen dari target setelah perubahan. Dari
target keluaran yang belum dicapai, 46 keluaran diusulkan untuk
diselesaikan pada tahun 2007, dan 18 keluaran diusulkan untuk
dikeluarkan dari paket kebijakan.

IV - 31

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Kotak 4.3. Pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan


Pembangunan Infrastruktur
Beberapa keluaran yang berhasil diselesaikan merupakan landasan dan kerangka
kebijakan, regulasi dan kelembagaan kerjasama Pemerintah dan pihak Swasta
dalam pembangunan infrastruktur meliputi:
1. RUU sektor transportasi (Darat. Laut, Udara, Perkeretaapian), dan ketenaga
listrikan;
2. Peraturan-peraturan lintas sektor tentang Sekretariat KKPPI, Prosedur dan
Kriteria Proyek-proyek yang akan dikerjasamakan dengan pihak swasta;
3. Unit Pengelola Risiko dan Badan Layanan Umum Pertanahan;
4. Perpres 65/2006 tentang pertanahan (revisi Perpres 36/2005);
5. Terselenggaranya Indonesia Infrastructure 2006 (IICE 2006) dengan sukses;
6. P3 Center dan P3 nodes di Depatemen Perhubungan;
7. Keppres Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan;
8. SOP BPJT dan BPPSPAM; terselesaikannya Operation, Guideline, and Manual
untuk PPP;
9. Berbagai peraturan sektoral, blue print, road map, dan rencana induk
transportasi, telekomunikasi, listrik, dan infrastruktur minyak dan gas bumi;
10. Policy paper tentang PSO, dan lembaga pembiayaan infrastruktur; dan
11. Pedoman, toolkit, dan template tentang PPP.
Adapun agenda yang belum selesai dan akan dilaksanakan pada tahun 2007,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Finalisasi terhadap RUU Transportasi, BUMD, Ketenagalistrikan, Energi, Pos
dan Telekomunikasi, Pajak, Sanitasi, Sekuritisasi, Penanaman Modal Asing
(terkait dengan PP turunan yang terkait dengan infrastruktur) dan Peraturan
turunannya.
2. Tender terhadap 10 Model Proyek KPS dan penyelesaian beberapa proyek
infrastruktur.
3. Operasionalisasi P3-Center dan P3 Node untuk mendukung PPP network di
Bidang Infrastruktur.
4. Road Map Public Service Obligation (PSO).
5. Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Penyiaran Digital.
6. Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Penyiaran, Perpres tentang Standar Penyiaran Digital.
7. Badan Layanan Umum Rusunawa.
8. Badan Layanan Umum Pertanahan.
9. Pembentukan Infrastructure Fund dan Guarantee Fund.
10. Pedoman tentang Pembebasan Tanah.

IV - 32

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

4.3

PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN

Pemerintah dan Bank Indonesia telah menandatangani Surat Kepu


tusan Bersama (SKB) tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan yang
bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara Pemerintah dan
Bank Indonesia sebagai otoritas fiskal dan moneter, melanjutkan
langkah-langkah reformasi memperkuat industri perbankan, lembaga
keuangan non-bank dan pasar modal. SKB yang ditandatangani oleh
Menko Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, melengkapi dua paket
kebijakan sebelumnya, yaitu Paket Perbaikan Iklim Investasi dan Paket
Percepatan Pembangunan Infrastruktur yang telah diterbitkan pada
awal tahun ini.

Pemerintah dan
Bank Indonesia telah
menandatangani Surat
Keputusan Bersama
(SKB) tentang Paket
Kebijakan Sektor
Keuangan

Melalui paket kebijakan sektor keuangan ini diupayakan perbaikan


infrastruktur pasar dan kelembagaan, peningkatan aksesibilitas pelaku
usaha terhadap modal dan penyempurnaan struktur sektor keuangan
yang lebih kuat, seimbang dan stabil. Dengan demikian stabilitas
makroekonomi yang sudah mulai pulih beberapa bulan belakangan ini
diharapkan dapat terjaga dan menjadi basis yang solid bagi pemulihan
sektor riil yang mendapat dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan
dan pasar modal.
Dalam menyusun Paket ini, Pemerintah dan Bank Indonesia telah
melakukan berbagai konsultasi dengan dunia usaha, lembaga keuangan
terkait, dan para pemangku kepentingan lainnya. Rincian dari paket ini
menunjukkan komitmen yang kuat dari masing-masing instansi yang
bertanggunjawab untuk melaksanakan masing-masing program dan
tindakan yang ada dalam paket itu, lengkap dengan produk keluaran
dan sasaran waktu yang jelas.
Paket Kebijakan Sektor Keuangan terdiri dari tiga kelompok kebijakan,
yaitu stabilitas sistem keuangan, lembaga keuangan perbankan dan
nonbank, dan pasar modal dan privatisasi BUMN.

IV - 33

Dalam menyusun
Paket ini, Pemerintah
dan Bank Indonesia
telah melakukan
berbagai konsultasi
dengan dunia
usaha, lembaga
keuangan terkait,
dan para pemangku
kepentingan lainnya.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Tabel 4.4
Rekapitulasi Jumlah Kebijakan, Program dan Tindakan
Paket Kebijakan Sektor Keuangan
Paket Kebijakan
Sektor Keuangan
terdiri dari tiga
kelompok kebijakan,
yaitu stabilitas sistem
keuangan, lembaga
keuangan perbankan
dan nonbank, dan
pasar modal dan
privatisasi BUMN.

KELOMPOK KEBIJAKAN

KEBIJAKAN

PROGRAM

TINDAKAN

Stabilitas Sistem
Keuangan

Lembaga Keuangan
Perbankan dan Non Bank

18

31

Pasar Modal dan Lain-lain

13

18

Jumlah

14

34

55

(1)
Sasaran yang ingin
dicapai adalah
peningkatan
koordinasi antara
otoritas fiskal dan
moneter

Sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan ini adalah peningkatan


koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter yang sudah semakin
baik menyusul mini-crisis yang terjadi pada kuartal keempat tahun
lalu. Hal itu dicapai antara lain melalui program penyusunan RUU
Jaring Pengaman Sektor Keuangan dan Operasionalisasi Forum
Stabilitas Sektor Keuangan. Forum yang beranggotakan wakil dari
lembaga-lembaga otoritas keuangan ini diharapkan dalam beberapa
bulan mendatang menghasilkan beberapa keputusan penting antara
lain tentang Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia dan persiapan
pelaksanaan Financial Sector Assessment Program (FSAP).
(2)

Sasaran yang ingin


dicapai dari kebijakan
adalah memperkuat
reformasi lembaga
perbankan

Stabilitas Sistem Keuangan

Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Bank

Kelompok kebijakan perbankan terdiri dari dua kebijakan utama, yaitu


Kebijakan Memperkuat Lembaga Perbankan dan Kebijakan Peningkatan
Kinerja Bank BUMN. Sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan ini
adalah memperkuat reformasi lembaga perbankan yang dilaksanakan
melalui enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Hal itu
antara lain dilakukan melalui perubahan regulasi yang terkait dengan
penyelesaian kredit bermasalah bank BUMN disertai dengan langkah
pengamanan pelaksanaannya.

IV - 34

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Penguatan industri jasa keuangan non-bank yang mencakup perusahaan


asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan dan perusahaan modal
ventura menjadi perhatian pemerintah dan akan terus ditingkatkan.
Langkah-langkah konkret yang akan segera dilakukan Pemerintah
untuk memperkuat industri jasa keuangan non bank tersebut mencakup
aspek prudensial kelembagaan seperti penguatan struktur permodalan
untuk perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan
modal ventura, penanganan perusahaan asuransi yang tidak sehat dan
penerapan kebijakan yang lugas terhadap perusahaan yang tidak dapat
disehatkan, serta penetapan pedoman good governance untuk dana
pensiun. Selain itu, kebijakan keuangan non bank juga mencakup
peningkatan perlindungan konsumen dalam industri asuransi dengan
operasionalisasi Badan Mediasi Asuransi Indonesia, perbaikan perlakuan
perpajakan, dan peningkatan kualitas dan efektivitas pengawasan
terhadap usaha jasa keuangan non bank, serta pengembangan peraturan
mengenai kegiatan usaha asuransi dan reasuransi syariah.
(3) Pasar Modal
Kebijakan reformasi di bidang pasar modal diarahkan pada peningkatan
likuiditas dan efisiensi, serta integritas pasar modal, yang mampu
tumbuh secara berkesinambungan dan stabil. Langkah-langkah kon
kret yang akan diambil mencakup penguatan infrastruktur pasar,
peningkatan perlindungan konsumen dan investor, penyempurnaan
kerangka peraturan dan perundang-undangan untuk memperkuat
fungsi supervisi dan penegakan hukum, serta penyetaraan perangkat
aturan dan ketentuan dengan standar dan praktek internasional.
Pengembangan infrastruktur pasar diarahkan pada peningkatan
transparansi informasi harga dan perbaikan sistem perdagangan yang
lebih kredibel, efisien, efektif, dan handal, serta terdapatnya mekanisme
yang mampu menjaga likuiditas dan stabilitas pasar sekunder. Selain
itu, akan diambil langkah-langkah konkrit bagi perluasan basis investor
dengan pengembangan variasi instrumen pasar, seperti antara lain
obligasi ritel, efek berbasis syariah, Exchange Traded Fund, dan lainnya,
dan peningkatan partisipasi dan kultur masyarakat sebagai investor
pasar modal.
IV - 35

Kebijakan reformasi
di bidang pasar
modal diarahkan
pada peningkatan
likuiditas dan efisiensi,
serta integritas pasar
modal, yang mampu
tumbuh secara
berkesinambungan dan
stabil.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Paket kebijakan ini juga akan mempertegas arah kebijakan privatisasi


BUMN dengan akan dibentuknya Komite Privatisasi dan penyusunan
blue print Strategi Privatisasi. Selain itu upaya pengembangan
pembiayaan ekspor akan semakin diperkuat dengan menyampaikan
Rancangan Undang-Undang Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional
(LPEI) kepada DPR sebagai dasar hukum pembentukan lembaga itu.
Dalam upaya men
dorong peningkatan
fungsi intermediasi
perbankan,
Bank Indonesia
mengeluarkan 8 butir
arah dan strategi
kebijakan selama
tahun 2007

Dalam upaya mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan,


Bank Indonesia mengeluarkan 8 butir arah dan strategi kebijakan
selama tahun 2007, yaitu: Pertama, BI akan akan berperan lebih
aktif sebagai katalisator dalam proses mendorong fungsi intermediasi
perbankan ke sektor riil. Dalam hal ini, BI diharapkan dapat menjadi
database perekonomian nasional sekaligus sebagai pusat informasi
kajian-kajian ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak.
Kedua, BI berupaya meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan
Pemerintah untuk menata kembali industri perbankan, khususnya
melalui revitalisasi peran bank-bank BUMN. Ketiga, BI akan berupaya
memfasilitasi proses merger.

BI akan memfasilitasi
kelancaran pelak
sanaan fungsi
intermediasi
perbankan yang
menjadi pokok
permasalahan
industri perbankan
dewasa ini.

Keempat, BI akan memfasilitasi kelancaran pelaksanaan fungsi


intermediasi perbankan yang menjadi pokok permasalahan industri
perbankan dewasa ini. Kebijakan BI yang akan diterbitkan dalam waktu
dekat selain akan mengubah isi PBI tertentu, juga surat penegasan
atas penafsiran beberapa ketentuan yang pernah dikeluarkan antara
lain ketentuan Mengenai Tata Cara Penilaian Kolektibilitas Kredit
dan penyesuaian berapa ketentuan yang terkait dengan Prinsip
Kehati-hatian Perbankan. Kelima, BI mengeluarkan guideline yang
akan memandu bank asing untuk dapat berkontribusi lebih optimal
dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya dalam
meningkatkan fungsi intermediasi. Keenam, BI akan berperan proaktif
dalam mengembangkan pasar dan instrumen keuangan. Ketujuh, BI
akan membuat program akselerasi pengembangan perbankan syariah
Indonesia. Dan kedelapan, BI akan berupaya mengarahkan kembali
peran, fungsi dan pola operasional BPR agar sesuai dengan kondisi
dan kebiasaan sosial setempat, tanpa harus mengurangi arti penting

IV - 36

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

pengelolaan risiko. Peran BPR yang semula ditujukan untuk mengisi


kebutuhan pembiayaan masyarakat kecil harus semakin diberdayakan.

Selama tahun 2006, Bank Indonesia telah mengeluarkan suatu
kebijakan untuk meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan
pembangunan dan mendorong upaya penguatan industri perbankan
melalui konsolidasi sesuai arah API dan Paket Kebijakan Perbankan
Oktober 2006. Selain itu, upaya lain yang telah dilakukan oleh Bank
Indonesia dalam mendorong peningkatan fungsi intermediasi
perbankan tersebut antara lain:
a. Melaksanakan linkage program, yaitu penerusan kredit UMKM dari
bank umum atau bank syariah kepada BPR/BPR syariah;
b. Menyelenggarakan Bazaar Intermediasi Perbankan dan workshop
Prospek Dunia Usaha dan Potensi Pembiayaannya oleh Perbankan,
baik di Kantor Pusat maupun di daerah, yang bertujuan untuk
memberikan informasi kepada perbankan mengenai sektor riil
(dunia usaha) yang memiliki prospek baik dan berpotensi untuk
dibiayai namun belum diketahui oleh perbankan;
c. Memberikan bantuan teknis (technical assistance);
d. Menyediakan informasi kredit;
e. Mengembangkan Skim Penjaminan Kredit Daerah, yang merupakan
kerjasama antara PT. Askrindo, BPD setempat dan perbankan.

Tabel 4.5
Perkembangan Jumlah Bank Umum
KELOMPOK
BANK
Bank
Persero

Des 00

Des 01

Des 02

Des 03

Des 04

Des 05

Des 06

BUSN Non Devisa

38
43

38
42

36
40

36
40

34
38

34
37

35
36

BP Devisa

26

26

26

26

26

26

26

BUSN

Bank Campuran

29

24

24

20

19

18

17

Bank Asing

10

10

10

11

11

11

11

TOTAL

151

145

141

138

133

131

130

IV - 37

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Salah satu arah


dan strategi
kebijakan di bidang
Perbankan adalah
program akselerasi
perbankan syariah

Salah satu arah dan strategi kebijakan di bidang Perbankan yang


akan ditempuh adalah program akselerasi perbankan syariah dengan
fokus pada sosialisasi intensif perbankan syariah, pengayaan produk
dan perluasan jaringan pelayanan (di daerah dapat juga berbentuk
Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau Unit Usaha Syariah dari Bank
Pembangunan Daerah), serta mendorong masuknya dana investasi
luar negeri ke industri perbankan syariah. Pengembangan industri
perbankan syariah merupakan sebagai salah satu langkah strategis
dalam mendukung pengembangan sektor riil di daerah. Hal ini
mengingat karakteristik dan kinerja perbankan syariah yang cukup baik
dengan Financing to Deposit Ratio (FDR atau LDR dalam perbankan
konvensional) yang mencapai rata-rata di atas 90 persen dan Non
Performing Financing (NPF atau NPL dalam perbankan konvensional)
yang terpelihara secara rata-rata di bawah 5 persen.

Pemerintah/
Instansi-Instansi
Daerah diharapkan
dapat bekerjasama
dengan BPR dalam
menyalurkan
dana-dana untuk
kepentingan usaha
masyarakat melalui
Pola Linkage
Program. Dengan
dana murah dari
Pemerintah

Dalam rangka peningkatan peran BPR dan kontribusinya dalam


melaksanakan fungsi intermediasi perbankan, Pemerintah/InstansiInstansi Daerah diharapkan dapat bekerjasama dengan BPR dalam
menyalurkan dana-dana untuk kepentingan usaha masyarakat melalui
Pola Linkage Program. Dengan dana murah dari Pemerintah, BPR
dapat membiayai UKMK dengan suku bunga yang rendah sehingga
tidak memberatkan UKMK. Selain itu, upaya peningkatan peran serta
BPR tersebut harus didukung pula dengan penguatan permodalan BPR
terutama BPR milik Pemda yang sudah berdiri untuk mengatasi risiko
usaha yang timbul, meningkatkan daya saing dan jangkauan pelayanan
kepada UMK, dengan cara merger atau konsolidasi agar memiliki
permodalan yang kuat dan beroperasi secara efisien, serta memenuhi
ketentuan persyaratan modal disetor. Dalam upaya memperluas
jangkauan pelayanan BPR, Pemda diharapkan dapat mendirikan BPR
baru terutama di luar Pulau Jawa dan Bali.
Untuk memberikan informasi yang lengkap dalam upaya pengembangan
UMKM, Bank Indonesia telah menyusun Sistem Informasi Terpadu
Pengembangan Usaha Kecil atau disingkat dengan SI-PUK. SI-PUK
merupakan kumpulan sistem informasi usaha kecil berbasis internet

IV - 38

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

yang disusun secara terpadu sehingga dapat menyajikan informasi yang


mudah diakses oleh pengguna. Informasi lengkap mengenai SI-PUK
dapat diakses melalui internet dengan alamat http:/www.bi.go.id/sipuk.
SI-PUK terdiri dari beberapa sub sistem, yaitu :
(a) Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIBES).
Sistem Informasi BES merupakan sistem informasi yang menyajikan
hasil penelitian BES yang bertujuan memberikan informasi
tentang sub sektor/komoditas yang potensial untuk dikembangkan
(komoditas unggulan).
(b) Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE).
SIABE merupakan sistem informasi yang menyajikan hasil penelitian
Agroindustri Berorientasi Ekspor yang bertujuan memberikan
informasi tentang komoditas agroindustri yang potensial untuk
diekspor dan informasi lainnya seperti profil komoditas, daftar
eksportir, daerah potensi komoditas, dll.
(c) Sistem Informasi Lending Model Usaha Kecil (SI-LMUK).
SILM merupakan sistem informasi yang menyajikan hasil penelitian
Lending Modal yang bertujuan memberikan informasi mengenai
pola pembiayaan suatu komoditas di suatu daerah.
(d) Sistem Penunjang Keputusan untuk Investasi (SPKUI).
SPKUI merupakan pendamping SI-LMUK guna membantu
memudahkan pengguna apabila akan melakukan simulasi terhadap
perubahan data dan asumsi yang terdapat dalam Lending Model.
Dengan simulasi perhitungan dimaksud diharapkan pengguna
segera memperoleh gambaran kelayakan finansial suatu komoditas
sesuai dengan kondisi/waktu dan daerah komoditas tersebut.
(e) Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit (SI-PMK).
Merupakan sistem informasi yang memuat tata cara dalam
mengajukan kredit kepada bank secara umum, karena pada dasarnya
setiap bank mempunyai tatacara sendiri yang bervariasi.

IV - 39

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

4.4
Dalam pembangunan
infrastruktur, masalah
pengadaan tanah
akan menentukan
kelancaran
implementasi proyek

KEBIJAKAN PERTANAHAN

Pertanahan menjadi salah satu isu strategis dalam upaya peningkatan


investasi. Isu pertanahan tidak hanya terkait dengan pengadaan
tanah untuk pembangunan infrastruktur, tetapi juga pengembangan
UMKM. Dalam pembangunan infrastruktur, masalah pengadaan
tanah akan menentukan kelancaran implementasi proyek. Tersedianya
kerangka regulasi yang jelas akan membantu percepatan pembangunan
infrastruktur strategis khususnya dalam rangka pelayanan publik.
Dalam pengembangan UMKM, pendaftaran status kepemilikan
(sertifikasi) tanah milik pelaku UMKM sangat membantu peningkatan
akses permodalan melalui tersedianya kolateral.
Secara umum, kebijakan pengelolaan pertanahan disusun dengan
landasan prinsip-prinsip berikut:
1. Pertanahan dan keagrariaan harus berkontribusi nyata dalam
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan dapat membangkitkan
sumber-sumber kemakmuran baru bagi rakyat;
2. Pertanahan harus berkontribusi nyata dalam menciptakan tatanan
kehidupan bersama yang lebih berkeadilan. Prinsip keadilan perlu
diutamakan mengingat pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah (P4T) selama ini masih memunculkan masalah
ketimpangan pertanahan;
3. Pertanahan harus berkontribusi nyata dalam menjamin keberlanjutan
kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan;
4. Pertanahan harus berkontribusi nyata dalam mewujudkan harmoni
sosial.
Prinsip-prinsip kebijakan pertanahan nasional di atas dituangkan secara
lebih operasional dalam 11 agenda reforma agraria sebagai berikut:
1. Membangun kepercayaan masyarakat kepada Badan Pertanahan
Nasional (BPN);
2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta
sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia;
3. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah;

IV - 40

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban


bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air;
5. Menangani dan menyelesaikan perkara masalah, sengketa dan
konflik pertanahan secara sistematis;
6. Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional
(SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di
seluruh Indonesia;
7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pem
berdayaan masyarakat;
8. Membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala
besar;
9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundangundangan pertanahan yang telah ditetapkan;
10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional;
11. Mengembangkan dan memperbaharui politik hukum dan kebijakan
pertanahan.
Sejalan dengan upaya peningkatan investasi di daerah, BPN akan
melaksanakan tiga skema kegiatan pengelolaan pertanahan. Pertama,
mengalokasikan anggaran publik untuk rakyat miskin dan UMKM.
Kedua, memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk membiayai diri
sendiri dengan membuka akses masyarakat terhadap pendanaan dari
perbankan. Ketiga, mendukung akselerasi program-program khusus
pemerintah pusat maupun daerah, dengan prioritas utama pada
revitalisasi pertanian dan perdesaan, pembangunan perumahan rakyat
dan percepatan pembangunan infrastruktur.

BPN akan
melaksanakan tiga
skema kegiatan
pengelolaan
pertanahan

Untuk memberikan landasan regulasi yang lebih jelas dalam proses


pengadaan tanah bagi pembangunan, Pemerintah telah menerbitkan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Beberapa
perubahan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang dapat menjadi
pedoman dalam pengadaan tanah bisa dilihat dalam Tabel 4.6.

Pemerintah telah
menerbitkan Perpres
Nomor 65 Tahun 2006
tentang Perubahan
atas Peraturan
Presiden Nomor 36
Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.

IV - 41

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Tabel 4.6
Matriks Perbandingan Perpres Nomor 36/2005 dan
Perpres Nomor 65/2006

Pasal

Perpres Nomor 36
Tahun 2005

Perpres Nomor 65
Tahun 2006

Pasal 1
angka
(3)

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan


untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah atau dengan
pencabutan hak atas tanah

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan


untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah

Pasal 2
ayat (1)

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan


pembangunan untuk kepentingan umum
oleh pemerintah atau pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara:
a. pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah, atau
b. pencabutan hak atas tanah

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan


pembangunan untuk kepentingan umum
oleh pemerintah atau pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah

Pasal 3

(1) Pelepasan atau penyerahan hak atas


tanah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) dilakukan berdasarkan
prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah
(2) Pencabutan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 huruf b
dilakukan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah


sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah

IV - 42

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Pasal
Pasal 5

Perpres Nomor 36
Tahun 2005

Perpres Nomor 65
Tahun 2006

Pembangunan untuk kepentingan umum


yang dilaksanakan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah meliputi :
a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di
atas tanah,
di ruang atas tanah, ataupun di ruang
bawah
tanah), saluran air minum/air bersih,
saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendung irigasi dan
bangunan perairan lainnya;
c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan
masyarakat;
d. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta
api,
dan terminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolah;
g. Pasar umum;
h. Fasilitas pemakaman umum;
i. Fasilitas keselamatan umum;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olah raga;
l. Stasiun penyyaiaran radio, televisi dan
sarana pendukungnya;
m. Kantor pemerintah, pemerintah daerah,
perwakilan negara asing, Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan lembaga-lembaga
internasional di bawah naungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesiadan
Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya;
o. Lembaga permasyarakatan dan rumah
tahanan;
p. Rumah susun sederhana;
q. Tempat pembuangan sampah;
r. Cagar alam dan cagar budaya;
s. Pertamanan;
t. Pantai sosial;
u. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga
listrik.

Pembangunan untuk kepentingan


umum yang dilaksanakan Pemerintah
atau Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya
dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta
api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah),
saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi
dan bangunan perairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun
kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti
tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi
tenaga listrik.

IV - 43

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Pasal

Perpres Nomor 36
Tahun 2005

Perpres Nomor 65
Tahun 2006

Pasal 10
ayat (1)

Dalam hal kegiatan pembangunan untuk


kepentingan umum yang tidak dapat
dialihkan atau dipindahkan secara teknis
tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka
musyawarah dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 90 hari kalender terhitung sejak
tanggal undangan pertama

Dalam hal kegiatan pembangunan untuk


kepentingan umum yang tidak dapat
dialihkan atau dipindahkan secara teknis
tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka
musyawarah dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 120 (seratus dua puluh)
hari kalender terhitung sejak tanggal
undangan pertama

Pasal 10
ayat (2)

Apabila setelah musyawarah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai
kesepakatan, panitia pengadaan tanah
menetapkan bentuk dan besarnya ganti
rugi uang kepada pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang
bersangkutan

Apabila setelah diadakan musyawarah


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai kesepakatan, panitia pengadaan
tanah menetapkan besarnya ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
huruf a dan menitipkan ganti rugi uang
kepada pengadilan negeri yang wilayah
hukumnya meliputi lokasi tanah yang
bersangkutan

Pasal 13

(1) Bentuk ganti rugi dapat berupa:


a. Uang; dan / atau
b. Tanah pengganti; dan / atau
c. Pemukiman kembali
(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah
tidak menghendaki bentuk ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka dapat diberikan kompensasi
berupa penyertaan modal (saham) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan

Bentuk ganti rugi dapat berupa:


a. Uang; dan / atau
b. Tanah pengganti; dan / atau
c. Pemukiman kembali; dan / atau
d. Gabungan dari dua atau lebih
bentuk ganti kerugian sebagai mana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c.
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihakpihak yang bersangkutan.

Pasal 15
ayat (1)
huruf a

Dasar perhitungan besarnya ganti rugi


didasarkan atas:
a. Nilai jual obyek pajak (NJOP) atau
nilai nyata/ sebenarnya dengan
memperhatikan nilai jual obyek pajak
tahun berjalan berdasarkan penetapan
lembaga / tim penilai harga tanah yang
ditunjuk oleh panitia

Dasar perhitungan besarnya ganti rugi


didasarkan atas:
a. Nilai jual obyek pajak (NJOP) atau
nilai nyata/ sebenarnya dengan
memperhatikan nilai jual obyek pajak
tahun berjalan berdasarkan penilaian
lembaga / tim penilai harga tanah
yang ditunjuk oleh panitia

IV - 44

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

Perpres Nomor 36
Tahun 2005

Pasal
Pasal
18A

Tidak ada

Perpres Nomor 65
Tahun 2006
Apabila yang berhak atas tanah atau
benda-benda yang ada di atasnya yang
haknya dicabut tidak bersedia menerima
ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Presiden, karena dianggap
jumlahnya kurang layak, maka yang
bersangkutan dapat meminta banding
kepada Pengadilan Tinggi agar mendapat
ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1961 tentang Pencabutan HakHak Atas Tanah dan Benda-Benda yang
Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan
Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang Ada di Atasnya.

Badan Pertanahan Nasional saat ini sedang menyusun Pedoman Pelak


sanaan Pengadaan Tanah. Tujuan dari penyusunan pedoman tersebut
adalah (1) memberikan landasan perolehan tanah yang diperlukan
untuk menunjang kegiatan pembangunan; (2) memberikan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak yang tanahnya
diambilalih dan pihak yang memerlukan tanah; (3) memberikan jaminan
perlindungan kepada pihak-pihak yang terkena dampak berkaitan de
ngan kesejahteraan sosial ekonominya.
Terkait dengan kegiatan pelayanan Penetapan Hak atas Tanah, Pemerintah
telah menetapkan beberapa kategori besaran uang pemasukan dalam
rangka penetapan hak atas tanah. Penetapan ini diatur dalam Pasal
21 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Klasifikasi kategori tersebut antara lain:
(1) Badan Keagamaan, Badan Sosial, Masyarakat Miskin atau Masyarakat
Tidak Mampu dibebaskan dari Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah
Untuk Pertama Kali;

IV - 45

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(2) Tarif pengukuran rincian dalam kegiatan Redistribusi Tanah Secara


Swadaya ditetapkan sebesar 75 persen dari ketentuan tarif terendah
di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(3) Pengenaan Uang Pemasukan Dalam Rangka Penetapan Hak Atas
Tanah dapat dikenakan sebesar Rp. 0,00 (nol rupiah) terhadap :
a.Pemberian Hak Milik atas tanah :
1) Tanah Negara dalam rangka Proyek Operasional Nasional
Agraria/Pertanahan (PRONA), Proyek Operasional Nasional
Agraria/Pertanahan Daerah (PRONADA), Proyek Hak
Daerah Transmigrasi, Redistribusi dan Konsolidasi tanah;
2) Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang berasal dari Obyek
PRONA, PRONADA, PRONA Swadaya, Proyek Hak Daerah
Transmigrasi dan Konsolidasi tanah yang masih tercatat atas
nama bekas pemegang semula yang diterbitkan sebelum
Peraturan Pemerintah ini;
3) Yang telah dibeli atau dibebaskan haknya dari Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/
Kota/Desa; atau
4) Penguasaan Pemilikan Perorangan Milik Belanda dan
Presidium Kabinet Nomor 5 Tahun 1965.
b.Pemberian Hak Guna Usaha yang berasal dari Hak Milik yang
telah dibebaskan;
c.Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah :
1) Yang telah diperoleh atau dibebaskan haknya dari Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/
Kota;
2) Hak Milik yang telah dibebaskan atau kepunyaan pemohon
sendiri, atau
3) Penguasaan Pemilikan Perorangan Milik Belanda dan
Presidium Kabinet Nomor 5 Tahun 1965.
d. Pemberian Hak Pakai atas tanah :
1) Yang telah diperoleh atau dibebaskan haknya dari Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/
Kota;

IV - 46

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

2) Hak Milik yang telah dibebaskan atau kepunyaan pemohon


sendiri;
3) Hak Pakai dengan jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu kepada
Instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perwakilan
Negara Asing, Perwakilan Lembaga Internasional yang diakui
Pemerintah, Badan Keagamaan/Sosial sesuai ketentuan yang
berlaku; atau
4) Penguasaan Pemilikan Perorangan Milik Belanda dan
Presidium Kabinet Nomor 5 Tahun 1965.
e. Pemberian Hak Pengelolaaan.
(4) Kepada Pegawai Negeri maupun anggota TNI/POLRI, termasuk
janda/duda mereka, anggota masyarakat golongan ekonomi lemah/
tidak mampu, yayasan/perkumpulan yang bergerak di bidang
keagamaan dan sosial ditetapkan Uang Pemasukan kepada Negara
sebesar 50 persen dan untuk Pensiunan, anggota Veteran serta
jandanya sebesar 10 persen dari nilai Uang Pemasukan.

IV - 47

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Kotak 4.4
SKEMA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
Untuk Kepentingan Penanaman Modal
(Berdasarkan SE Kepala BPN Tanggal 23 Januari 2003 No. 110-170)

K e g iata n P e la y an a n P e ne tap an H ak atas


T a na h d ila ku k a n d e ng a n m e m b e rika n U a ng
1
P e m as u k a n (P s . 1 5 , P P No . 4 6 /2 0 0 2 ).
J e nis -J e n is P e ne tap a n H a k atas T a n ah :
a. H a k M ilik
b. H a k G u n a Us ah a ;
c. H a k G u n a B a ng u n a n;
d. H a k P ak a i;
e. H a k P e ng e lo la a n.

Apabila jangka waktu Hak yang pertama kali


diberikan atas tanah berakhir

Untuk Kepentingan Penanaman


Modal
P e m b e ria n, p e rp an ja ng a n d a n
p e m b ah a ru a n h a k atas ta n a h
d ila k u ka n d e ng an p e m b e ria n u a ng
p e m as u k a n d e ng a n p e rhitung a n
jum la h s e s u ai P P No . 4 6 /2 0 0 2 P s .
1 7 , 1 8 , 1 9 d an A ng k a 7 .

Penerima Hak wajib melaporkan


permohonan perpanjangan waktu
kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat.

Apabila perpanjangan jangka waktu Hak


atas tanah berakhir

Penerima Hak wajib melaporkan dan


mendaftarkan kembali pembaharuan haknya
kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.

Kepala Kantor Pertanahan


melakukan penelitian ke Lapangan

Hasil Penelitian dituangkan pada


Laporan konstatasi 2

Keterangan :
1) Peraturan Pemerintah RI No. 46 Tahun 2002

Tentang Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara

Bukan Pajak yang berlaku pada Badan

Pertanahan Nasional (BPN).

2) Laporan Konstatasi adalah laporan yang


didasarkan pada temuan di lapangan atau

temuan beberapa studi.

Penerima Hak membayar biaya


pendaftaran tanah sesuai ketentuan
PP No. 46/2002

Kepala Kantor Pertanahan Membuat


Konfirmasi Status Hak Atas Tanah

Penetapan hak atas tanah

IV - 48

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

4.5

PEMANTAPAN KEAMANAN, KETERTIBAN,


DAN STABILITAS POLITIK

Kondisi keamanan, ketertiban dan penanggulangan kriminalitas secara


umum masih ditandai oleh adanya gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Daya beli masyarakat yang semakin menurun, tingkat
pengangguran yang tinggi, kemiskinan yang bertambah menyebabkan
masih tingginya tingkat kriminalitas. Tindak pidana konvensional
dengan skala lokal seperti pencurian, penipuan, perampokan, kekerasan
rumah tangga, pembunuhan atau kejahatan susila yang merupakan
karakteristik cerminan kondisi perekonomian intensitasnya masih
cukup tinggi dan semakin bervariasi. Di sisi lain, penerapan Pemilihan
Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung telah menimbulkan
gangguan keamanan di beberapa wilayah akibat adanya perselisihan
antarpendukung dan antargolongan. Rendahnya kemampuan aparat
keamanan sebagai akibat keterbatasan sarana dan prasarana me
nyebabkan upaya pencegahan, penanggulangan gangguan keamanan
belum dapat memberikan hasil yang optimal.

Kondisi keamanan,
ketertiban dan
penanggulangan
kriminalitas secara
umum masih ditandai
oleh adanya gangguan
keamanan dan
ketertiban masyarakat.

Gangguan keamanan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia, terutama


gangguan pelayaran penumpang maupun barang masih menunjukkan
kerawanan. TNI sebagai unsur penegak kedaulatan di laut dan Polri
sebagai unsur penegak hukum di laut, mulai meningkatkan kemampuan
dan melakukan upaya intensif dalam rangka menegakkan kedaulatan
dan penindakan pelanggaran hukum di laut. Upaya lain yang sedang
diupayakan adalah meningkatkan pelaksanaan koordinasi keamanan
laut untuk menciptakan harmonisasi peran dan fungsi lembaga di ruang
laut yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut. Dalam
lingkup regional Asia Tenggara, pada tahun 2007 masih diperlukan
perhatian yang serius pada permasalahan potensi konflik wilayah
perbatasan dan pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan sejumlah
negara seperti Malaysia, Phillipine, China, Papua Nugini, Timor Leste,
dan Australia.

Gangguan keamanan
di wilayah yurisdiksi
laut Indonesia,
terutama gangguan
pelayaran penumpang
maupun barang
masih menunjukkan
kerawanan.

IV - 49

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Meski bahaya separatisme di NAD telah berhasil diselesaikan secara


bermartabat, masih terdapat upaya kegiatan separatisme di wilayah
lain, seperti Papua yang diperkirakan masih akan berlangsung. Berbagai
upaya mendiskreditkan posisi Indonesia yang dilakukan oleh kelompok
separatis, diperkirakan masih akan terus berlangsung. Aktivitas seperti
mencari suaka politik, mempermasalahkan pelanggaran HAM, isu
pemekaran wilayah, eksploitasi sumber daya alam, atau proses pemilihan
kepala daerah dianggap masih efektif untuk menginternasionalisasi
masalah Papua. Aksi terorisme yang bernuansa lokal intensitasnya
cenderung menurun, namun di daerah konflik dan pasca konflik
khususnya Poso, aksi-aksi terorisme melalui upaya membenturkan
kepentingan politik dan SARA antarmasyarakat atau antaraparat masih
sering dijumpai. Selain teror bom yang diledakkan di sejumlah tempat
ibadah bertepatan dengan acara keagamaan, serta terjadinya teror
individual yang bertujuan menciptakan konflik merupakan indikasi
rumitnya penyelesaian masalah Poso. Sementara itu di wilayahwilayah lain relatif aman dari gangguan terorisme yang bernuansa lokal
seiring dengan makin mantapnya kondisi keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Berbagai upaya akan
erus dilakukan termasuk
upaya memutus
jaringan terorisme
yang melibatkan dan
bersentuhan dengan
masyarakat awam.

Keberhasilan aparat kepolisian menewaskan tokoh utama terorisme


di Indonesia yang diduga terlibat serangkaian peledakan bom di Bali,
Jakarta, tampaknya masih menghadapi tantangan terkait dengan
belum tertangkapnya tokoh kunci lain dan pengungkapan jaringannya.
Selanjutnya, pada tahun 2007, berbagai upaya akan terus dilakukan
termasuk upaya memutus jaringan terorisme yang melibatkan dan
bersentuhan dengan masyarakat awam.

Peran pemerintah
daerah juga sangat
menentukan dalam
penyelesaian masalah
keamanan teritorial
seperti masalah
keamanan laut dan
kerawanan perbatasan.

Gangguan keamanan dan ketertiban tersebut berdampak sangat sig


nifikan terhadap upaya-upaya menciptakan iklim investasi yang
kondusif di dalam negeri. Oleh karena itu, kemampuan pencegahan,
penanggulangan, dan tindakan tepat sasaran dalam menanggulangi
gangguan tersebut adalah tolok ukur keberhasilan utama mengaman
kan aktivitas dunia usaha. Meski permasalahan pencegahan dan penang
gulangan gangguan keamanan dan ketertiban menjadi tanggung jawab

IV - 50

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

langsung Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah mempunyai


peran yang tidak kalah penting dalam mendukung dan mewujudkan
kondisi aman dan damai. Penyelesaian masalah masyarakat lokal secara
dini dan pembinaan masyarakat menjadi sangat penting sebagai upaya
preventif yang efektif sebelum menjadi gangguan keamanan berskala
besar. Mengingat hal tersebut, pemerintah daerah agar mencermati
dinamika masyarakat dan melaksanakan koordinasi yang harmonis
dengan institusi pertahanan dan keamanan setempat. Peran pemerintah
daerah juga sangat menentukan dalam penyelesaian masalah keamanan
teritorial seperti masalah keamanan laut dan kerawanan perbatasan
karena adanya hubungan timbal balik antara kinerja pembangunan
daerah di daerah rawan tersebut dengan kondisi aman dan damai yang
ingin dicapai.
4.6 PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Perkembangan ekonomi global serta geo-ekonomi dan geo-strategis
regional memberi indikasi yang kuat bahwa Indonesia perlu memfokuskan
peningkatan ekpor dan investasinya pada beberapa kawasan khusus
yang mendapatkan beberapa fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan
infrastruktur pendukungnya sedemikian rupa sehingga dapat bersaing
dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi asing masuk
ke Indonesia dan sekaligus juga membantu mengembangkan wilayah
dan kawasan. Kawasan-kawasan khusus inilah yang sementara ini akan
dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau Special
Economic Zones (SEZ). Dalam konstelasi perdagangan dan investasi
global sebenarnya Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang
seharusnya dapat menjadi peluang dalam menarik investasi. Beberapa
keunggulan Indonesia antara lain adalah:
Lokasi Indonesia sangat ideal bagi pengembangan pusat logistik
dan distribusi karena dilewati oleh jalur maritim internasional dari
Eropa ke Asia, Asia Tenggara ke Asia Utara/Amerika dan dari Asia
ke Australia;
Lokasi Indonesia menguntungkan sebagai pusat produksi karena
terletak di tengah pasar yang sangat besar, yaitu pasar ASEAN

IV - 51

Indonesia perlu
memfokuskan
peningkatan ekpor
dan investasinya
pada beberapa
kawasan khusus
yang mendapatkan
beberapa fasilitas
perpajakan,
kepabeanan,
dan infrastruktur
pendukungnya

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

sekitar 500 juta jiwa, pasar Cina sekitar 1,3 milyar jiwa dan pasar
India sekitar 1,1 milyar jiwa;
Indonesia memiliki pasar tenaga kerja yang sangat besar dengan
upah yang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain di
sekitarnya.

Gambar 4.1
Kawasan Ekonomi Khusus di Guangzhou, Cina

Pengembangan (KEK)
dimaksudkan antara
lain untuk memberi
peluang bagi
peningkatan investasi
melalui penyiapan
kawasan yang
memiliki keunggulan
dan siap menampung
kegiatan industri,
ekspor-impor serta
kegiatan ekonomi
yang memiliki nilai
ekonomi tinggi.

Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dimaksudkan


antara lain untuk memberi peluang bagi peningkatan investasi melalui
penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan dan siap menampung
kegiatan industri, ekspor-impor serta kegiatan ekonomi yang memiliki
nilai ekonomi tinggi.
Tujuan pembentukan KEK ini adalah:
1. Meningkatkan investasi termasuk Foreign Direct Investment;
2. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tak
langsung;

IV - 52

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

3. Meningkatkan penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan


ekspor;
4. Menghemat penggunaan devisa dengan adanya importasi bahan
baku sebagai pengganti importasi barang jadi (substitusi impor);
5. Meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor;
6. Meningkatkan keunggulan kompetitif produk asal KEK dibanding
kan dengan produk impor yang sejenis;
7. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayanan dan
kapital bagi peningkatan ekspor;
8. Mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui alih
teknologi.
Dengan maksud dan tujuan tersebut, Kawasan Ekonomi Khusus
Indonesia didefinisikan sebagai:
Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia adalah kawasan tertentu di mana
diberlakukan ketentuan khusus di bidang perpajakan dan kepabeanan
serta perizinan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan. Selain ketentuan
tersebut, kawasan ekonomi khusus juga didukung dengan ketersediaan
infrastruktur yang andal serta badan pengelola yang profesional dengan
standar internasional.
(1)

Kriteria Penetapan Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus


di Indonesia

Berdasarkan kajian atas penetapan kawasan sejenis di berbagai negara,


lokasi yang akan dipilih menjadi Kawasan Ekonomi Khusus harus
memenuhi persyaratan pokok yang telah ditetapkan oleh Tim Pelaksana
Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia
yang meliputi:
1. Adanya Komitmen dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan
untuk melaksanakan pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. Sesuai dengan arahan pengembangan wilayah dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah serta layak menurut Kajian AMDAL;

IV - 53

Lokasi yang akan dipilih


menjadi Kawasan
Ekonomi Khusus harus
memenuhi persyaratan
pokok yang telah
ditetapkan

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

3. Terletak pada posisi yang strategis yaitu dekat dengan jalur


perdagangan internasional atau berhadapan dengan alur laut
Indonesia, dan layak untuk dikembangkan secara ekonomis;
4. Telah tersedia dukungan infrastruktur dan kemungkinan pengem
bangannya;
5. Tersedia lahan dengan luas minimal 500 Ha dengan status yang
jelas;
6. Memiliki batas yang jelas, baik alam maupun buatan.
Secara prinsip, 6 kriteria di atas akan dipergunakan untuk melihat
kelayakan daerah untuk dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi
Khusus. Hal yang dinilai adalah pemenuhan dari setiap kriteria.
Adapun pengusulannya bisa dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah.
(2)
Diperlukan
kerelaan baik dari
kementerian/
lembaga terkait
maupun Pemerintah
Daerah untuk berbagi
kewenangan dan
tanggungjawab
dengan lembagalembaga KEKI.

Institusi pembina
di tingkat pusat
adalah Dewan
Pengembangan
Kawasan yang
dibentuk melalui
Keputusan Presiden
dan diketuai oleh
Menteri yang
mengkoordinasikan
bidang perekonomian

Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus

Isu kelembagaan menjadi isu yang sangat sentral dalam pengembangan


KEKI ke depan. Hal yang perlu diingat adalah peningkatan daya tarik
dan daya saing investasi di KEKI dibentuk oleh faktor-faktor penye
derhanaan prosedur investasi, insentif perpajakan dan kepabeanan,
dukungan infrastruktur terpadu dan aturan-aturan khusus lainnya.
Kesemuanya itu memerlukan koordinasi yang sangat intensif di antara
lembaga-lembaga KEKI, kementerian/lembaga terkait di tingkat pusat
dan Pemerintah Daerah setempat. Pada saat yang sama diperlukan
pembagian tugas dan kewenangan yang jelas di antara lembaga-lembaga
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kerelaan baik dari kementerian/
lembaga terkait maupun Pemerintah Daerah untuk berbagi kewenangan
dan tanggungjawab dengan lembaga-lembaga KEKI.
Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus pada hakekatnya cenderung
seperti kelembagaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas. Institusi pembina di tingkat pusat adalah Dewan Pengembangan
Kawasan yang dibentuk melalui Keputusan Presiden dan diketuai
oleh Menteri yang mengkoordinasikan bidang perekonomian dengan

IV - 54

Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi

keanggotaan para Menteri/kepala lembaga pemerintah non-departemen


terkait. Dewan Pengembangan Kawasan bertugas:
a. Menetapkan kebijakan umum tingkat nasional tentang pengem
bangan Kawasan Ekonomi Khusus;
b. Melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah untuk dijadikan
Kawasan Ekonomi Khusus;
c. Memberikan rekomendasi kepada Presiden mengenai wilayah yang
dapat dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus.
d. Melakukan monitoring atas pelaksanaan pengelolaan Kawasan
Ekonomi Khusus, dan memberikan laporan mengenai hal tersebut
kepada Presiden;.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Dewan Pengembangan Kawasan di
bantu Tim Pelaksana Kawasan Ekonomi Khusus. Uraian tugas dan
kewenangan, struktur kelembagaan, dan keanggotaan Dewan Pengem
bangan Kawasan dan Tim Pelaksana Kawasan Ekonomi Khusus diatur
dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Institusi pembina di tingkat daerah adalah Badan Pengembangan
Kawasan. Uraian tugas dan kewenangan, struktur kelembagaan dan
keanggotaan Badan Pengembangan Kawasan diatur dengan keputusan
Ketua Dewan Pengembangan Kawasan.
Adapun gambaran tugas Badan Pengembangan Kawasan adalah:
a. Menetapkan kebijakan umum tingkat kawasan, membina, meng
awasi, dan mengkoordinasikan kegiatan pengusahaan;
b. Mengusulkan struktur kelembagaan dan personil Badan Pengusa
haan kepada Dewan pengembangan Kawasan;
c. Membuat ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan
Undang-Undang ini serta perundang-undangan yang berlaku;
d. Melakukan monitoring atas pelaksanaan pengelolaan Kawasan
Ekonomi Khusus dan menyampaikan hasil monitoring tersebut
kepada Dewan Pengembangan Kawasan.

IV - 55

Institusi pembina
di tingkat daerah
adalah Badan
Pengembangan
Kawasan.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Badan Pengusahaan
Kawasan berupa
badan usaha yang
berbentuk badan
hukum dan dikelola
secara profesional

Uraian tugas dan kewenangan, struktur kelembagaan dan keanggotaan


Badan Pengembangan Kawasan diatur dengan keputusan Ketua Dewan
Pengembangan Kawasan. Sedangkan institusi di tingkat kawasan
adalah Badan Pengusahaan Kawasan yang dibentuk dengan keputusan
Ketua Badan Pengembangan Kawasan. Badan Pengusahaan Kawasan
berupa badan usaha yang berbentuk badan hukum dan dikelola secara
profesional. Badan Pengusahaan Kawasan mempunyai tugas dan
wewenang melaksanakan pengelolaan dan pembangunan Kawasan
Ekonomi Khusus sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan tersebut.

IV - 56

BAB V
Rencana Kerja
Pemerintah dan
Kebijakan
Anggaran 2007

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah


BAB V RENCANA KERJA PEMERINTAH DAN
KEBIJAKAN ANGGARAN 2007

Perencanaan pembangunan perlu diterjemahkan ke dalam


program dan kegiatan pembangunan yang nyata, spesifik, dan
jelas besaran alokasi pendanaannya. Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 20042009
dituangkan dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Tahun 2007 yang memuat kebijakan, program dan kegiatan
pembagunan yang telah disepakati bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Bab ini akan menjelaskan ringkasan RKP 2007
terutama prioritas pembangunan dan sasaran yang akan dicapai
pada tahun 2006. Bab ini juga menyajikan informasi tentang
pendanaan pembangunan daerah termasuk alokasi Kementerian/
Lembaga Pemerintah per provinsi, dana alokasi umum dan dana
alokasi khusus.

5.1
Pelaksanaan berbagai
prioritas pembangunan
tersebut menggunakan
kerangka regulasi
untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat
dan kerangka pelayanan
investasi Pemerintah
dan pelayanan umum.

TEMA DAN PRIORITAS RKP TAHUN 2007

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007 merupakan pelaksanaan


tahun ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2004-2009, dan merupakan kelanjutan RKP Tahun
2006. RKP ini telah digunakan sebagai acuan bagi penyusunan RAPBN
Tahun 2007.
RKP Tahun 2007 disusun berdasarkan berbagai kemajuan yang sudah
dicapai di tahun 2005 dan tahun 2006, masalah dan tantangan yang
dihadapi pada tahun 2007, serta berbagai sasaran yang harus dicapai
dalam RPJMN dalam pelaksanaan 3 Agenda Pembangunan, yaitu:
Mewujudkan Indonesia Yang Aman dan Damai; Menciptakan Indonesia
Yang Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.

V - 

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

Berdasarkan pemahaman tersebut, tema pembangunan tahun 2007


adalah Meningkatkan Kesempatan Kerja dan Menanggulangi
Kemiskinan dalam rangka Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.
Tema ini dijabarkan dalam 9 (sembilan) prioritas pembangunan, yaitu:
1. Penanggulangan Kemiskinan;
2. Peningkatan Kesempatan Kerja, Investasi, dan Ekspor;
3. Revitalisasi Pertanian dalam arti luas dan Pembangunan Per
desaan;
4. Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan;
5. Penegakan Hukum dan HAM, Pemberantasan Korupsi, dan Re
formasi Birokrasi;
6. Penguatan Kemampuan Pertahanan, Pemantapan Keamanan dan
Ketertiban, serta Penyelesaian Konflik;
7. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
Nias (Sumatera Utara), Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Tengah, serta Mitigasi dan Penanggulangan Bencana;
8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur; dan
9. Pembangunan Daerah Perbatasan dan Wilayah Terisolir.
Pemilihan prioritas ini didasarkan pada pertimbangan antara lain
memiliki dampak yang besar terhadap pencapaian sasaran pembangunan,
mendesak dan penting untuk segera dilaksanakan; merupakan tugas
Pemerintah, serta realistis untuk dilaksanakan. Pelaksanaan berbagai
prioritas pembangunan tersebut menggunakan kerangka regulasi untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dan kerangka pelayanan investasi
Pemerintah dan pelayanan umum. Dengan adanya prioritas dan fokus
prioritas pembangunan, segenap aparatur negara dan seluruh lapisan
masyarakat diharapkan mempunyai kesamaan arah dan pandangan
dalam membangun negeri ini.

5.2

SASARAN-SASARAN RKP TAHUN 2007

Dalam RKP Tahun 2007 ini, tiap-tiap prioritas diarahkan untuk mencapai
sasaran pembangunan secara terukur dengan fokus yang terarah dan

V - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Tiap-tiap prioritas
diarahkan untuk
mencapai sasaran
pembangunan
secara terukur
dengan fokus yang
terarah.

kegiatan-kegiatan penting yang mampu mendorong pencapaian sasaran


pembangunan pada masing-masing prioritas pembangunan.

Dalam prioritas
peningkatan
kesempatan kerja,
investasi, dan
ekspor, sasaran yang
akan dicapai pada
tahun 2007 adalah
menurunnya angka
pengangguran
menjadi 10,4 persen,
meningkatnya investasi
berupa pembentukan
modal tetap bruto
sebesar 11,8 persen,
meningkatnya
industri pengolahan
nonmigas sebesar 7,9
persen, meningkatnya
penerimaan ekspor
nonmigas dan
penerimaan devisa dari
pariwisata sebesar 15
persen.

Dalam prioritas peningkatan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor,


sasaran yang akan dicapai pada tahun 2007 adalah menurunnya angka
pengangguran menjadi 10,4 persen, meningkatnya investasi berupa
pembentukan modal tetap bruto sebesar 11,8 persen, meningkatnya
industri pengolahan nonmigas sebesar 7,9 persen, meningkatnya
penerimaan ekspor nonmigas dan penerimaan devisa dari pariwisata
sebesar 15 persen dengan fokus pada: (a) penciptaan pasar tenaga kerja
yang lebih luwes, (b) perbaikan iklim investasi dan usaha, (c) perluasan
negara tujuan dan produk ekspor, (d) peningkatan dayasaing industri
manufaktur, (e) pengembangan industri berbasis agro untuk penguatan
dayasaing daerah, (f) penguatan industri berorientasi ekspor, (g)
peningkatan intensitas pariwisata, serta (h) peningkatan produktivitas
dan akses UKM terhadap sumber daya produktif.

Sasaran prioritas penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 adalah


menurunnya penduduk miskin menjadi 14,4 persen dengan fokus:
(a) perluasan akses masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan,
dan infrastruktur dasar; (b) perlindungan sosial; (c) penanganan gizi
kurang dan kerawanan pangan; (d) perluasan kesempatan kerja; serta
(e) peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat. Salah satu kegiatan
utama dalam penanggulangan kemiskinan adalah memperluas
cakupan wilayah program pembangunan berbasis pemberdayaan
masyarakat. Selain itu dalam rangka membangun sistem jaminan sosial
bagi masyarakat miskin, Pemerintah akan mengembangkan program
Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) di beberapa provinsi. BTB bersyarat
ini diharapkan memberikan dampak yang lebih luas bagi kesejahteraan
masyarakat sekaligus merupakan upaya untuk membangun sumber daya
manusia melalui akses yang lebih besar ke pendidikan dan kesehatan
bagi masyarakat yang kurang beruntung.

Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas revitalisasi pertanian


dan pembangunan perdesaan pada tahun 2007 adalah tumbuhnya

V - 

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

sektor pertanian sebesar 2,7 persen dan meningkatnya pembangunan


perdesaan dengan fokus pada: (a) peningkatan ketahanan pangan
nasional, (b) peningkatan kualitas produksi pertanian dalam arti
luas, dan (c) pengembangan diversifikasi ekonomi dan infrastruktur
perdesaan. Selain itu, dalam upaya mengembangkan sumber energi
yang berkelanjutan, pengembangan energi alternatif seperti bahan
bakar nabati (biofuel) juga mendapat perhatian tersendiri di dalam
prioritas ini.
Sasaran prioritas peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan
dan kesehatan pada tahun 2007 antara lain adalah meningkatnya
angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 712 tahun menjadi
99,5 persen dan APS penduduk usia 1315 tahun menjadi 91,1 persen,
menurunnya angka buta aksara, meningkatnya cakupan pelayanan
kesehatan bagi keluarga miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas
III, meningkatnya penanganan penderita demam berdarah dan malaria
masing-masing mencapai 100 persen, serta meningkatnya persentase
desa yang mencapai cakupan imunisasi anak universal sebesar 92
persen. Fokus pada prioritas ini adalah (a) percepatan pemerataan,
peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dasar 9 tahun;
(b) peningkatan aksesibilitas, pemerataan, dan relevansi pendidikan
menengah dan tinggi yang berkualitas; (c) peningkatan ketersediaan dan
kualitas pendidik dan tenaga pendidikan; (d) penurunan buta aksara;
(e) peningkatan aksesibilitas, pemerataan, keterjangkauan dan kualitas
pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin; (f) pencegahan
dan pemberantasan penyakit terutama penyakit menular dan wabah
termasuk penanganan terpadu flu burung; (g) penanganan masalah
gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi, dan anak balita; serta
(h) peningkatan ketersediaan obat generik esensial, pengawasan obat
makanan, dan keamanan pangan.
Di bidang prioritas penegakan hukum dan HAM, pemberantasan
korupsi, dan reformasi birokrasi, sasaran umum yang akan dicapai pada
tahun 2007 adalah meningkatnya upaya penegakan hukum dan kualitas
pelayanan publik kepada masyarakat dengan fokus pada penegakan

V - 

Sasaran yang akan


dicapai dalam prioritas
revitalisasi pertanian dan
pembangunan perdesaan
pada tahun 2007 adalah
tumbuhnya sektor
pertanian sebesar 2,7
persen dan meningkatnya
pembangunan perdesaan.

Di bidang prioritas
penegakan hukum dan
HAM, pemberantasan
korupsi, dan reformasi
birokrasi, sasaran umum
yang akan dicapai pada
tahun 2007 adalah
meningkatnya upaya
penegakan hukum dan
kualitas pelayanan publik
kepada masyarakat
Sasaran yang akan
dicapai dalam prioritas
penguatan kemampuan
pertahanan, pemantapan
keamanan dan ketertiban,
serta penyelesaian
konflik pada tahun 2007
adalah meningkatnya
kemampuan pertahanan
dan keamanan,
serta meningkatnya
keamanan dan ketertiban
masyarakat.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

hukum dan pemberantasan korupsi terutama pada sektor-sektor


pengguna anggaran negara terbesar, serta reformasi birokrasi untuk
peningkatan kualitas pelayanan publik. Upaya preventif pemberantasan
korsupsi akan ditempuh melalui penyusunan Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) di tingkat nasional sebagai acuan
daerah dalam menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD-PK) di setiap
instasi pemerintah dengan fokus pemberantasan tindak pidana korupsi
di bidang pelayanan publik, peningkatan dan penyempurnaan kualitas
pelayanan publik terutama pelayanan di bidang pengadaan barang dan
jasa, pertanahan, samsat, investasi, dan perpajakan.
Sasaran yang akan
dicapai dalam
prioritas rehabilitasi
dan rekonstruksi
Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD),
Nias (Sumatera Utara),
Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa
Tengah, serta mitigasi
dan penanggulangan
bencana pada
tahun 2007 adalah
terlaksananya
rehabilitasi dan
rekonstruksi NAD
dan Nias serta
terselesaikannya
kegiatan tanggap
darurat pada beberapa
daerah pascabencana
alam.

Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas penguatan kemampuan


pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban, serta penyelesaian
konflik pada tahun 2007 adalah meningkatnya kemampuan pertahanan
dan keamanan, serta meningkatnya keamanan dan ketertiban
masyarakat dengan fokus: (a) peningkatan kemampuan TNI dan Polri;
(b) pencegahan dan pemberantasan narkoba; (c) peningkatan peran
industri pertahanan nasional; (d) penanggulangan dan pencegahan
tindak terorisme; (e) penyelesaian dan pencegahan konflik; (f)
penanggulangan dan pencegahan berbagai bentuk kejahatan, baik
konvensional maupun lintas negara; (g) peningkatan kualitas intelijen;
(h) percepatan pembangunan jaringan komunikasi sandi negara; serta
(i) penanggulangan dan pencegahan gangguan keamanan laut.
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas rehabilitasi dan rekonstruksi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Nias (Sumatera Utara), Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta mitigasi dan penanggulangan
bencana pada tahun 2007 adalah terlaksananya rehabilitasi dan
rekonstruksi NAD dan Nias serta terselesaikannya kegiatan tanggap
darurat pada beberapa daerah pascabencana alam pada tahun-tahun
sebelumnya dengan fokus: (a) NAD dan Nias; (b) Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah; (c) Alor dan Nabire, serta bencana di
daerah lainnya; (d) penguatan kelembagaan penanggulangan bencana di
tingkat nasional dan daerah; (e) penguatan kelembagaan dalam rangka
penegakan rencana tata ruang dan rencana wilayah; (f) pengurangan
dan pencegahan resiko bencana; serta (g) peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat dalam menghadapi bencana.

V - 

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

Dalam prioritas percepatan pembangunan infrastruktur, yang


meliputi sumber daya air, transportasi, energi, pos dan telematika,
ketenagalistrikan, serta perumahan dan permukiman, sasaran yang
akan dicapai pada tahun 2007 adalah meningkatnya kualitas dan
kuantitas infrastruktur dengan fokus pada: (a) peningkatan pelayanan
infrastruktur sesuai dengan standar pelayanan minimal; (b) peningkatan
peran infrastruktur dalam mendukung daya saing sektor riil; serta (c)
peningkatan investasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur.

Dalam prioritas
percepatan
pembangunan
infrastruktur.

Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas pembangunan daerah


perbatasan dan wilayah terisolir pada tahun 2007 adalah tertatanya
garis batas negara, meningkatnya pembangunan ekonomi di wilayah
perbatasan, pulau-pulau kecil, serta wilayah terisolir, dengan fokus pada:
(a) penegasan dan penataan batas negara di darat dan di laut termasuk
sekitar pulau-pulau kecil terluar; (b) peningkatan kerja sama bilateral
di bidang politik, hukum, dan keamanan dengan negara tetangga; (c)
penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup; (d) pemihakan kebijakan pembangunan untuk percepatan
pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar; (e)
pengembangan sarana dan prasarana ekonomi di daerah terisolir;
serta (f) peningkatan sarana dan prasarana pelayanan sosial di daerah
terisolir.

Sasaran yang akan


dicapai dalam prioritas
pembangunan daerah
perbatasan dan
wilayah terisolir pada
tahun 2007 adalah
tertatanya garis batas
negara, meningkatnya
pembangunan
ekonomi di wilayah
perbatasan, pulaupulau kecil, serta
wilayah terisolir.

Keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan dan pelaksanaan


prioritas pembangunan tersebut memerlukan suatu kerja sama dan
koordinasi yang solid antara pemerintah pusat dan daerah. Setiap
kementerian/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah mempunyai
tanggung jawab dan peran yang penting dalam mengelola anggaran
secara efektif dan efisien untuk mencapai sasaran pembangunan tahun
2007. Selain itu, keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan juga
ditentukan oleh partisipasi aktif masyarakat.
Dengan kerjasama dan koordinasi yang solid antar kementerian/
lembaga dan satuan kerja perangkat daerah dalam mewujudkan prioritas
pembangunan tersebut, serta peranan masyarakat yang meningkat
dalam pembangunan, perekonomian Indonesia pada tahun 2007

V - 

Sasaran yang
akan dicapai pada
tahun 2007 adalah
meningkatnya
kualitas dan kuantitas
infrastruktur.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

diharapkan akan lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,


menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin
dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi pada tahun
2007 diperkirakan
mencapai lebih dari 6
persen.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 diperkirakan mencapai lebih


dari 6 persen. Dari sisi pengeluaran, sumber pertumbuhan ekonomi
diharapkan berasal dari peningkatan investasi, konsumsi masyarakat,
serta ekspor barang dan jasa. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi
didorong oleh industri pengolahan, terutama nonmigas, pertanian,
serta sektor-sektor lainnya.
Dengan kemampuan ekonomi yang meningkat, pada tahun 2007
jumlah pengangguran terbuka diharapkan turun menjadi 10,4 persen
dan jumlah penduduk miskin turun menjadi 14,4 persen.

5.3

PRIORITAS ANGGARAN 2007

5.3.1 Arah Kebijakan Fiskal, Asumsi Ekonomi Makro dan



Postur APBN
(1)
Pokok-pokok
kebijakan fiskal
dalam RAPBN 2007
dapat dijelaskan
berdasarkan arah
kebijakan, strategi
kebijakan, dan garis
besar postur RAPBN
2007.

Arah Kebijakan Fiskal

Pokok-pokok kebijakan fiskal dalam RAPBN 2007 dapat dijelaskan


berdasarkan arah kebijakan, strategi kebijakan, dan garis besar postur
RAPBN 2007. Berdasarkan arah kebijakan, pertama, kebijakan fiskal
dalam RAPBN 2007 diarahkan untuk dapat membiayai pengeluaran
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif,
efisien dan bebas dari pemborosan maupun korupsi. Kedua, kebijakan
fiskal diarahkan untuk dapat turut serta dalam memelihara dan
memantapkan stabilitas perekonomian, dan berperan sebagai pendorong
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kebijakan fiskal diarahkan untuk dapat
mengatasi masalah mendasar yang menjadi prioritas pembangunan,
yaitu: (a) Penanggulangan kemiskinan; (b) Peningkatan kesempatan
kerja, investasi dan ekspor; (c) Revitalisasi pertanian dan pembangunan

V - 

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

perdesaan; (d) Peningkatan kualitas dan aksesibilitas terhadap


pendidikan dan pelayanan kesehatan; (e) Penegakan hukum dan
HAM, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi; (f) Penguatan
kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban, serta
penyelesaian konflik; (g) Mitigasi dan penanggulangan bencana; (h)
Percepatan pembangunan infrastruktur; dan (i) Pembangunan daerah
perbatasan dan wilayah terisolir. Keempat, kebijakan fiskal diarahkan
untuk mendukung keberlanjutan proses konsolidasi desentralisasi fiskal
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dengan tujuan antara
lain untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,
serta antar daerah, dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar
daerah.
Adapun strategi kebijakan fiskal tahun 2007 meliputi:
1. Meningkatkan konsolidasi fiskal untuk mempertahankan kesinam
bungan fiskal (fiscal sustainability);
2. Mengupayakan penurunan beban utang, pembiayaan yang efisien
dan menjaga kredibilitas pasar modal;
3. Menurunkan defisit anggaran menjadi sekitar 0,9 persen terhadap
PDB;
4. Meningkatkan penerimaan negara yang bersumber dari pajak dan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP);
5. Mengendalikan dan meningkatkan efisiensi belanja negara;
6. Memberikan stimulus guna mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas;
7. Melanjutkan reformasi administrasi perpajakan, kepabeanan, dan
cukai;
8. Mempertajam prioritas alokasi anggaran belanja pemerintah pusat
antara lain dengan:
a. Perbaikan pendapatan aparatur negara dan pensiunan;
b. Pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang;
c. Peningkatan kualitas pelayanan operasional pemerintahan dan
pemeliharaan aset negara;
d. Investasi pemerintah di bidang infrastruktur;

V - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

e. Subsidi untuk menstabilkan harga barang dan jasa yang ber


dampak pada masyarakat;
f. Peningkatan anggaran pendidikan sejalan dengan amanat UUD
1945;
g. Kesinambungan bantuan langsung kepada masyarakat di bidang
pendidikan dan kesehatan; dan
h. Pengembangan energi alternatif non BBM (biofuel dan
biodiesel).
9. Mengalokasikan alokasi anggaran belanja ke daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, antara lain
melalui:
a. penyempurnaan dan percepatan proses perhitungan, peng
alokasian, penetapan dan penyaluran dana bagi hasil;
b. pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 26 persen
dari PDN neto, yang disertasi dengan peningkatan akurasi data
dasar perhitungan DAU;
c. pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendanai ke
giatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar.
10. Mengoptimalkan kebijakan pembiayaan defisit anggaran dengan
biaya dan tingkat risiko yang rendah antara lain dengan:
a. Melakukan pengelolaan portofolio SUN dengan pembayaran
bunga dan pokok secara tepat waktu;
b. Melanjutkan kebijakan privatisasi;
c. Memanfaatkan dana eks-moratorium untuk rekonstruksi dan
rehabilitasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias;
d. Menggunakan sebagian dana simpanan pemerintah; dan
e. Mengedepankan prinsip kemandirian dengan memprioritaskan
dana dalam negeri.
(2)

Asumsi Ekonomi Makro

(i) Pertumbuhan ekonomi tahun 2007 diperkirakan sebesar 6,3 persen;


sedikit lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN maupun Proyeksi
2006.
(ii) Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat diperkirakan
sebesar Rp 9.300/US$.

V - 10

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

(iii) Laju inflasi sebesar 6,5 persen, membaik dibanding tahun se


belumnya.
(iv) Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sebesar 8,5
persen.
(v) Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude oil
Price, ICP) di pasar internasional diperkirakan sebesar US$ 63 per
barel, sedangkan rata-rata tingkat produksi (lifting) minyak mentah
Indonesia sebesar 1,0 juta barel per hari.
Asumsi ekonomi makro di atas dapat digambarkan secara ringkas pada
Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Asumsi Ekonomi Makro
No.

ASUMSI

APBN 2007

1.

Pertumbuhan Ekonomi (%)

6,3

2.

Inflasi (%)

6,5

3.

Nilai Tukar (Rp/US$)

4.

Tingkat Bunga SBI 3 Bulan

8,5

5.

Harga Minyak (US$/barel)

63,0

6.

Lifting Minyak (juta barel/hari)

7.

Produk Domestik Bruto (triliun Rp)

9.300

1,000
3.531,088

(3) Postur APBN


Besarnya beban pengeluaran negara antara lain pada pos pengeluaran
pembayaran hutang luar negeri termasuk pembayaran pokok dan bunga,
serta subsidi yang secara keseluruhan merupakan 36,5 persen dari
belanja pemerintah pusat atau 24,2 persen dari belanja negara di tahun
2007. Kondisi ini memberikan keterbatasan pada anggaran negara.
Namun demikian, selaras dengan semangat otonomi daerah, bagian
anggaran yang diserahkan kepada daerah mengalami peningkatan.

V - 11

Untuk tahun 2007, dari


seluruh belanja negara
dianggarkan sebanyak
33,9 persen diserahkan
kepada daerah.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Untuk tahun 2007, dari seluruh belanja negara dianggarkan sebanyak


33,9 persen diserahkan kepada daerah, angka ini meningkat dibanding
tahun sebelumnya yaitu sebesar 31,6 persen dari seluruh belanja negara
(APBN-P 2006) sebagaimana digambarkan dalam Tabel 5.2. berikut
ini.
Tabel 5.2
APBN-P 2006 dan APBN 2007 dalam triliun rupiah
2006

2007

APBN-P

% PDB

APBN

% PDB

A. Pendapatan Negara dan Hibah


I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan

2. Penerimaan Bukan Pajak

II. Hibah

659,1
654,9
425,1
229,8
4,2

21,1
21,0
13,6
7,4
0,1

723,1
720,4
509,5
210,9
2,7

20,5
20,4
14,4
6,0
0,1

B. Belanja Negara

I. Belanja Pemerintah Pusat

- Pembayaran Bunga Utang

- Subsidi

699,1
478,2
82,5
107,6

22,4
15,3
2,6
3,5

763,6
504,8
85,1
103,0

21,6
14,3
2,4
2,9


II. Belanja Ke Daerah

1. Dana Perimbangan

a. Dana Bagi Hasil

b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus

2. Dana Otonomi Khusus
dan Penyesuaian
a. Dana Otonomi Khusus
b. Dana Penyesuaian

C. Keseimbangan Primer

220,8
216,8
59,6
145,7
11,6
4,1

7,1
7,0
1,9
4,7
0,4
0,1

258,8
250,3
68,5
164,8
17,1
8,5

7,3
7,1
1,9
4,7
0,5
0,2

3,5
0,6

0,1
0,0

4,0
4,4

0,1
0,1

42,5

1,4

44,6

1,3

D. Surplus / Defisit Anggaran

-40,0

-1,3

-40,5

-1,1

E. Pembiayaan

I. Pembiayaan Dalam Negeri

II. Pembiayaan Luar Negeri (netto)

40,0
55,3
-15,3

1,3
1,8
-0,5

40,5
55,1
-14,6

1,1
1,6
-0,4

Memorandum Items

Rasio Pembayaran Bunga Utang thd Belanja


Pemerintah Pusat
Rasio Subsidi thd Belanja Pemerintah Pusat
Rasio Belanja Daerah thd Belanja Negara

V - 12

17,3
22,5
31,6

16,9
20,4
33,9

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

5.3.2 Belanja Negara


Anggaran Belanja Negara TA 2007 direncanakan sebesar Rp 763,6
triliun terdiri dari:
(1) Anggaran belanja pemerintah pusat direncanakan sebesar Rp 504,8
triliun; dan
(2) Anggaran belanja daerah direncanakan sebesar Rp 258,8 triliun.
(1)

Belanja Pemerintah Pusat

Kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN


tahun 2007 lebih diarahkan pada langkah-langkah strategis dalam
memperbaiki kualitas pengeluaran, antara lain dengan mempertajam
prioritas alokasi anggaran, untuk:
(i) perbaikan pendapatan aparatur negara dan pensiunan;
(ii) pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang;
(iii) peningkatan kualitas, efisiensi dan efektivitas pelayanan dan pe
nyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan, serta peme
liharaan aset negara;
(iv) peningkatan investasi pemerintah, terutama di bidang infrastruktur
dasar untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional;
(v) pemberian subsidi untuk membantu menstabilkan harga barang
dan jasa yang berdampak luas kepada masyarakat;
(vi) peningkatan anggaran pendidikan sejalan dengan amanat UUD
1945; serta
(vii) kesinambungan bantuan langsung kepada masyarakat di bidang
pendidikan dan kesehatan.
(2)

Kebijakan alokasi
anggaran belanja
pemerintah pusat
dalam RAPBN tahun
2007 lebih diarahkan
pada langkah-langkah
strategis dalam
memperbaiki kualitas
pengeluaran.

Belanja Daerah

Kebijakan belanja daerah dalam tahun 2007 diarahkan untuk men


dukung keberlanjutan konsolidasi desentralisasi fiskal guna menunjang
pelaksanaan otonomi daerah, sebagai upaya meningkatkan peran dan
kemandirian daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
dan pembangunan daerah. Kebijakan tersebut, antara lain diarahkan
untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,

V - 13

Kebijakan belanja
daerah dalam tahun
2007 diarahkan
untuk mendukung
keberlanjutan
konsolidasi
desentralisasi fiskal
guna menunjang
pelaksanaan otonomi
daerah.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

antardaerah, serta untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik


antardaerah (public service provision gap).
Dana otonomi khusus
dan penyesuaian
sebesar Rp 8.451,8
miliar.

Alokasi anggaran belanja daerah dalam tahun anggaran 2007 ditetapkan


sebesar Rp 258.794,6 miliar yang terdiri dari:
(1) Dana perimbangan sebesar Rp 250.342,8 miliar terdiri dari:
(i) Dana bagi hasil direncanakan sebesar Rp 68.461,3 miliar;
(ii) Dana alokasi umum direncanakan sebesar Rp 164.787,4 miliar;
(iii) Dana alokasi khusus direncanakan sebesar Rp 17.094,1 miliar.
(2) Dana otonomi khusus dan penyesuaian sebesar Rp 8.451,8 miliar
yang terdiri dari:
(i) Dana otonomi khusus bagi provinsi Papua direncanakan sebesar
Rp 4.045,7 miliar; dan
(ii) Dana penyesuaian direncanakan sebesar Rp 4.406,1 miliar.
Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil TA


2007 ditetapkan
sebesar Rp 68.461,3
miliar.

Dana Bagi Hasil terdiri atas: (i) Dana Bagi Hasil Pajak dan (ii) Dana
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA).
Dana Bagi Hasil TA 2007 ditetapkan sebesar Rp 68.461,3 miliar
dengan rincian sebagai berikut:
a. Dana Bagi Hasil Pajak sebesar Rp 33.065,3 miliar, yang terdiri
dari:
(i) Pajak Penghasilan sebesar Rp 7.475,3 miliar;
(ii) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp 20.198,7 miliar;
(iii) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Rp 5.391,3
miliar.
b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sebesar Rp 35.396,0
miliar, yang terdiri dari:
(i) Minyak bumi sebesar Rp 15.827,1 miliar;
(ii) Gas Alam sebesar Rp 11.623,2 miliar;
(iii) Pertambangan Umum sebesar Rp 6.035,5 miliar;
(iv) Kehutanan sebesar Rp 1.710,3 miliar;
(v) Perikanan sebesar Rp 200,0 miliar.

V - 14

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

Dana Alokasi Umum


Jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum Tahun 2007 ditetapkan
26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto
yang ditetapkan dalam Anggaran pendapatan dan Belanja Negara
Tahun 2007.
Proporsi Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk Daerah provinsi sebesar 10% (sepuluh persen) dari
jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum
b. Untuk daerah Kabupaten/Kota sebesar 90% (sembilan puluh
persen) dari jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum.
Alokasi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Dana Alokasi Khusus
DAK tahun 2007 dialokasikan dengan menggunakan kriteria umum,
kriteria khusus, dan kriteria teknis.
i. Kriteria umum yang digunakan untuk menentukan daerah
penerima alokasi DAK tahun 2007 yaitu daerah-daerah yang
memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata
nasional. Kemampuan fiskal daerah tersebut didasarkan pada
selisih antara realisasi Penerimaan Umum Daerah (Pendapatan
Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil)
dengan belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah pada APBD Tahun
Anggaran 2005.
ii. Kriteria khusus yang digunakan untuk menentukan daerah
penerima alokasi DAK tahun 2007 yaitu daerah-daerah tertentu
yang memiliki karakteristik dan/atau berada di wilayah: (a)
Provinsi Papua yang merupakan daerah Otonomi Khusus;
(b) daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan
negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk
kategori ketahanan pangan, dan daerah pariwisata; (c) daerah
rawan banjir/longsor, daerah penampung transmigrasi, daerah

V - 15

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

yang memiliki pulau-pulau kecil terdepan, daerah yang alokasi


DAU-nya dalam tahun 2007 tidak mengalami kenaikan, daerah
rawan pangan dan/atau kekeringan, daerah pascakonflik, daerah
penerima pengungsi.
iii. Kriteria teknis yang dirumuskan dalam bentuk Indeks Teknis
(IT) dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis
terkait. Kriteria Teknis tersebut dicerminkan dengan indikatorindikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi
sarana/prasarana pada masing-masing bidang/kegiatan yang
akan didanai oleh DAK, dengan memperhatikan berbagai
variabel yang berkaitan dengan bidang/kegiatan yang akan
didanai DAK tahun anggaran 2006.
Alokasi DAK untuk Tahun Anggaran 2007 ditetapkan sebesar Rp
17.094.100.000.000,00 (tujuh belas triliun sembilan puluh empat
miliar seratus juta rupiah). DAK dialokasikan untuk membantu
daerah mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang
merupakan prioritas nasional di bidang pendidikan, kesehatan,
infrastruktur (jalan, irigasi, dan air bersih), kelautan dan perikanan,
pertanian, prasarana pemerintahan daerah, serta lingkungan hidup,
dengan alokasi masing-masing sebagai berikut:
Tabel 5.3
Alokasi Dana Alokasi Khusus

DANA ALOKASI KHUSUS


Pendidikan

5.195,290

Kesehatan

3.381,270

Infrastruktur Jalan

3.113,060

Infrastruktur Irigasi
Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi
Prasarana Pemerintahan Daerah

858,910
1.062,370
539,060

Kelautan dan Perikanan

1.100,360

Pertanian

1.492,170

Lingkungan Hidup

V - 16

TOTAL PAGU 2007


(dalam miliar Rupiah)

351,610

Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007

Prioritas DAK diberikan untuk: (i) membantu daerah-daerah


dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam
rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana
fisik pelayanan dasar yang sudah merupakan urusan daerah; dan
(ii) menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana
diwilayah pemekaran dan pesisir dan kepulauan, perbatasan dengan
negara lain, tertinggal / terpencil, serta termasuk kategori daerah
ketahanan pangan.
Daerah penerima DAK tahun anggaran 2007 wajib menyediakan
dana pendamping sekurang-kurangnya 10 persen dari alokasi
DAK. Namun demikian, untuk daerah dengan kemampuan fiskal
tertentu, dimana selisih antara penerimaan umum APBD dengan
belanja pegawai sama dengan nol atau negatif, tidak diwajibkan untuk
menyediakan dana pendamping tersebut (sesuai dengan penjelasan
pasal 41 ayat (3) UU No.33 Tahun 2004)
Alokasi DAK untuk kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 7.
Dana Otonomi Khusus
Alokasi dana otonomi khusus sesuai dengan ketentuan yang
digariskan dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua, untuk pembiayaan peningkatan pendidikan
dan kesehatan, yang jumlahnya setara dengan 2 (dua) persen dari
pagu dana alokasi umum (DAU) secara nasional dan berlaku selama
20 tahun sejak tahun 2002. Alokasi Dana Otonomi Khusus untuk
tahun 2007 sebesar Rp 4.045,7 miliar.
Penyaluran dilakukan oleh Menteri Keuangan setiap triwulan, yaitu
triwulan I sebesar 15 persen, triwulan II sebesar 30 persen, triwulan
III sebesar 40 persen, dan triwulan IV sebesar 15 persen.
Mekanisme penyaluran ke kabupaten/kota dilaksanakan melalui
Gubernur, yang difasilitasi oleh tim teknis yang dibentuk
Pemerintah.

V - 17

Alokasi Dana
Otonomi Khusus
untuk tahun 2007
sebesar Rp 4.045,7
miliar.

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Dana Penyesuaian
Dana Penyesuaian
(DP) terdiri dari Dana
Penyesuaian Murni
sebesar Rp 842,913
milyar dan Dana
Penyesuaian Ad-hoc
sebesar Rp 3,563
trilyun.

Dana Penyesuaian (DP) terdiri dari Dana Penyesuaian Murni


sebesar Rp 842,913 milyar dan Dana Penyesuaian Ad-hoc sebesar
Rp 3,563 trilyun.
a. Dana Penyesuaian Murni dialokasikan sebagai pelaksanaan atas
penerapan kebijakan formula DAU agar tidak menimbulkan adanya
daerah provinsi dan kabupaten/kota yang mendapatkan DAU lebih
kecil daripada DAU ditambah dengan Dana Penyesuaian Murni
Tahun 2006 (hold harmless).
b. Dana Penyesuaian Adhoc dialokasikan untuk daerah-daerah
tertentu yang memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan
diprioritaskan penggunaannya untuk kegiatan-kegiatan pendidikan,
kesehatan, infrastruktur jalan dan sarana/prasarana fisik lainnya,
irigasi dan pengairan, serta pertanian, kelautan dan perikanan yang
merupakan kebutuhan daerah.

V - 18

lAMPIRAN
Buku Pegangan 2007
Penyelenggaraan
Pemerintahan dan
Pembangunan Daerah

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 1

Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) PMDN


Menurut Lokasi, 2001-September 2006
Wilayah
Sumatera

Jawa
Bali
Kalimantan
Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
KBI
KTI
Jumlah

Wilayah

2001

Jumlah Proyek
2003
2004

2002

2005

2006

20

12

18

20

40

18

114

76

81

88

141

74

11

11

10

13

11

11

153
7
160

1
101
7
108

113
6
119

4
120
9
129

2
203
11
214

1
108
9
117

2001

2002

Nilai Proyek (Rp, Milyar)


2003
2004
2005

2006

Sumatera

3.029,4

199,1

1.228,3

1.286,7

13.501,7

3.332,7

Jawa

5.070,1

10.878,1

9.917,0

7.886,3

14.796,6

7.325,0

311,4

31,6

49,1

66,1

46,4

40,7

902,0

1.330,4

418,8

5.141,8

1.747,6

1.572,9

14,7

174,3

19,7

64,2

571,4

36,0

275,5

164,4

509,0

68,6

6,5

1,3

0,9

0,2

10,1

545,1

43,1

21,4

9.312,9

12.439,2

11.613,2

14.380,9

30.092,3

12.271,3

577,9

60,8

276,8

883,8

572,7

154,4

9.890,8

12.500,0

11.890,0

15.264,7

30.665,0

12.425,7

Bali
Kalimantan
Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
KBI

KTI
Jumlah
Sumber: BKPM, 2006

 - Lampiran

Lampiran

Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) PMA


Menurut Lokasi, 2001-September 2006
Wilayah
Sumatera

Jawa
Bali
Kalimantan
Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
KBI
KTI
Jumlah

Wilayah
Sumatera

Jumlah Proyek
2003
2004

2001

2002

57

25

26

37

50

29

358

372

503

471

719

585

25

17

17

25

109

59

10

14

13

11

445
9
454

424
18
442

560
10
570

539
5
544

0
891
18
909

1
684
18
702

Nilai Proyek (US$ Juta)


2003
2004
2005

2006

2001

2002

2005

2006

906,7

90,1

501,7

850,4

1.224,6

526,6

Jawa
Bali
Kalimantan
Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua

2.481,6

2.740,1

4.515,6

3.248,1

7.251,2

3.143,9

28,5

3,4

23,8

104,7

97,5

98,1

53,5

188,5

137,2

368,0

181,8

499,5

KBI

KTI
Jumlah

5,6

3,4

1,4

2,5

5,1

7,3

7,1

60,5

266,6

27,4

145,3

15,5

1,8

0,0

0,0

0,0

9,1

0,0

24,8

4,1

4,1

0,0

0,0

0,6

3.470,3

3.022,1

5.178,3

4.571,2

8.755,1

4.268,1

39,3

68,0

272,1

29,9

159,5

23,4

3.509,6

3.090,1

5.450,4

4.601,1

8.914,6

4.291,5

Sumber: BKPM, 2006

Lampiran - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 2

Indikator Utama dan Variabel Penentu Daya Saing Daerah


INDIKATOR UTAMA

VARIABEL

I. Perekonomian Daerah

PDRB

Laju Pertumbuhan PDRB

PDRB Perkapita

Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita

Koefisien Gini

Investasi Domestik

Investasi Domestik (% terhadap PDRB)

Laju Pertumbuhan Investasi

Tabungan

10

Persentase Tabungan terhadap PDRB

11

Laju Pertumbuhan Tabungan

12

Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Perkapita

13

Laju Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Perkapita

14

Pengeluaran Konsumsi Pemerintah

15

Laju Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah

16

Produktivitas Sektor Pertanian

17

Laju Pertumbuhan Produktivitas Sektor Pertanian

18

Produktivitas Sektor Industri

19

Laju Pertumbuhan Produktivitas Sektor Industri

20

Produktivitas Sektor Jasa

21

Laju Pertumbuhan Produktivitas Sektor Jasa

22

Laju Inflasi

II. Keterbukaan

Volume Perdagangan Internasional

Ekspor Barang dan Jasa

Ekspor Barang dan Jasa pada (% PDRB)

Laju Pertumbuhan Ekspor

Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke daerah

Diversifikasi Pasar Ekspor

Kredit dan Asuransi Ekspor

Impor Barang dan Jasa

Impor Barang dan Jasa (% PDRB)

 - Lampiran

Lampiran

INDIKATOR UTAMA

VARIABEL

10

Laju Pertumbuhan Impor

11

Terms of Trade

12

Pangsa Pasar Ekspor

13

Laju Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor

14

Keterbukaan Budaya Daerah

15

Penanaman Modal Asing (PMA)

16

Laju Pertumbuhan PMA

17

Nilai Kumulatif PMA terhadap PDRB

18

Hambatan Birokrasi dan Administrasi Perdagangan Antar Daerah

19

Hambatan Tidak Resmi Perdagangan Antar Daerah

20

Pajak dan Retribusi Perdagangan Antar Daerah

21

Aliran Barang dan Jasa ke daerah lain

22

Aliran Barang dan Jasa ke daerah lain (% PDRB)

23

Laju Pertumbuhan Aliran Barang dan Jasa ke daerah lain

24

Aliran Barang dan Jasa dari daerah lain

25

Aliran Barang dan Jasa dari daerah lain (% PDRB)

26

Laju Pertumbuhan Aliran Barang dan Jasa dari daerah lain

III. Sistem Keuangan

Tingkat Bunga Riil Jangka Pendek

Biaya Modal Perbankan

Biaya Modal Non-Perbankan

Posisi Kredit Bank Umum terhadap PDRB

Persentase Mobilisasi Dana Pihak Ketiga di Perbankan Terhadap Total


Aktiva Bank Umum

Persentase Kredit terhadap Tabungan

Persentase Kredit kepada Dunia Usaha terhadap Total Kredit

Kemudahan penyaluran kredit ke dunia usaha

Margin Antara Tingkat Bunga Pinjaman dan Tingkat Bunga Tabungan

10

Transparansi Institusi Perbankan

11

Kualitas Pendidikan di Bidang Keuangan dan Perbankan

12

Transparansi Lembaga Keuangan Bukan Bank

Lampiran - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

INDIKATOR UTAMA
IV.

Infrastruktur dan
Sumber Daya Alam

VARIABEL
1

Panjang Jalan per Luas Wilayah

Kualitas Jalan Raya

Panjang Rel Kereta Api per Luas Wilayah

Pelabuhan Udara

Penggunaan Angkutan Udara untuk Penumpang

Penggunaan Angkutan Udara untuk Barang

Kualitas Transportasi Udara

Pelabuhan Laut

Penggunaan Angkutan Laut untuk Penumpang

10

Penggunaan Angkutan Laut untuk Barang

11

Kualitas Angkutan Laut

12

Penggunaan Transportasi Sungai Untuk Barang

13

Luas Wilayah Perkotaan

14

Produksi Listrik

15

Kualitas Aliran Listrik

16

Fasilitas Telepon per Kapita

17

Kualitas Pelayanan Telepon

18

Surat Kabar

19

Kualitas Akses Internet

20

Penggunaan Internet oleh Sektor Usaha

21

Ketersediaan dan Kualitas Sumber daya lahan/tanah

22

Sumber daya Air perkapita

23

Sumber Daya Hutan (ha)

24

Nilai tambah sektor pertambangan dan penggalian

Pentingnya Penelitian Bagi Perusahaan

Kerjasama Penelitian

Kerjasama Teknologi Antar Perusahaan

Sumber Dana Untuk Litbang

Brain Drain dari Tenaga Ahli di Bidan IPTEK

Insinyur yang berkualitas

Ketersediaan tenaga ahli di bidang teknologi informasi (IT)

VI. Sumber Daya Manusia

Angka Ketergantungan

Tingkat Harapan Hidup

Angkatan Kerja

V. Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi

 - Lampiran

Lampiran

INDIKATOR UTAMA

VARIABEL

Angkatan Kerja (%)

Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja

Persentase Penduduk Usia Produktif Terhadap Total Penduduk

Laju Pertumbuhan Penduduk Usia Produktif

Tenaga Kerja Ahli

Jumlah Penduduk yang Bekerja

10

Persentase Penduduk Yang Bekerja Terhadap Total Penduduk

11

Prospek Kesempatan Kerja

12

Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja

13

Pengangguran

14

Tingkat Partisipasi SD

15

Tingkat Partisipasi SLTP

16

Tingkat Partisipasi SLTA

17

Tingkat Partisipasi Perguruan Tinggi

18

Rasio Jumlah Guru Terhadap Murid SD

19

Rasio Jumlah Guru Terhadap Murid SLTP

20

Rasio Jumlah Guru Terhadap Murid SLTA

21

Angka Melek Huruf

22

Laju Pertumbuhan Angka Melek Huruf

23

Lama Pendidikan

24

Indeks Pembangunan Manusia (HDI)

25

Populasi Penduduk di Perkotaan

26

Kualitas Pelayanan Kesehatan

27

Fleksibilitas dan Adaptabilitas

28

Kesetaraan dalam Kesempatan

29

Nilai-nilai kemasyarakatan

VII. Kelembagaan

Keadilan dan Ketidakberpihakan

Kejujuran dan Kebersihan

Kecepatan proses peradilan

Biaya peradilan

Konsistensi

Penegakan keputusan

Perlindungan terhadap kontrak dan kepemilikan

Keamanan

Lampiran - 

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

INDIKATOR UTAMA

VARIABEL

Tingkat Kejahatan

10

Stabilitas Politik

11

Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah

12

Aktivitas Legislatif DPRD dan Pemda

13

Kegiatan Unjuk Rasa Masyarakat

14

Independensi Media Masa Daerah

15

Konflik sosial

16

Spirit/Motivasi Kerja

17

Kebersihan dan kesehatan

VIII. Governance
dan Kebijakan
Pemerintah

Perubahan Peraturan dan Kebijakan

Masukan dunia usaha dalam pembuatan peraturan/kebijakan

Tendensi prediktabilitas peraturan dan kebijakan pemda

Pelaksanaan peraturan yang konsisten

Korupsi dan Suap

Pungutan tidak resmi

Favoritisme dari aparat pemerintah

Indenpendensi Aparat Pemerintah

Waktu yang diperlukan dalam urusan birokrasi

10

Produktivitas aparat pemerintah

11

Kompetensi aparat pemerintah

12

Efisiensi dalam pelayanan publik

13

Besarnya biaya transaksi

14

Gaji aparat pemerintah

15

Moral/Budaya Malu

16

Peraturan Pemda tentang Pendirian Usaha Baru

17

Peraturan Pemda yang mendistorsi harga

18

Peraturan Pemda tentang perdagangan

19

Peraturan Pemda tentang regulasi tenaga kerja

20

Peraturan Pemda tentang pajak dan retribusi daerah

21

Peraturan Pemda tentang lingkungan

22

Peduli pada AMDAL daerah (perencanaan)

23

Aturan pemda bidang investasi

24

Kebijakan visi bisnis yang sama pada aparat pemda

 - Lampiran

Lampiran

INDIKATOR UTAMA
IX. Manajemen dan
Ekonomi Mikro

VARIABEL
1

Strategi Perusahaan

Keunggulan Kompetitif

Perusahaan Berorientasi Ekspor

Merek Dagang Internasional

Pengembangan Teknologi

Perancangan Produk

Proses Produksi

Tingkat reliabilitas suplai faktor produksi

Teknik Pemasaran

10

Orientasi terhadap Pelanggan

11

Distribusi dan Pemasaran Global

12

Pendekatan terhadap Sumberdaya Manusia

13

Pendelegasian Wewenang

14

Kebijakan Kompensasi

15

Kompetensi Manajemen Senior

16

Pendidikan Manajemen

17

Efektivitas Komisaris Perusahaan

18

Kemampuan dalam memenuhi standar internasional

19

Tingkat Kompensasi

20

Upah Tenaga Kerja di Sektor Industri Pengolahan

21

Jumlah Perusahaan Unggul

22

Ketersediaan manajer senior

23

Pengalaman Internasional

24

Kesehatan, keamanan dan lingkungan kerja

25

Relasi Industrial

26

Motivasi Tenaga Kerja

27

Pelatihan Tenaga Kerja

28

Pengendalian Proses Produksi

29

Budaya Pemasaran

30

Kewirausahaan

31

Tanggung jawab sosial

32

Etika Bisnis

Sumber: PPSK-BI, 2002

Lampiran - 

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

NO

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
MAHKAMAH AGUNG
KEJAKSAAN AGUNG
SEKRETARIAT NEGARA
DEPARTEMEN DALAM NEGERI
DEPARTEMEN LUAR NEGERI
DEPARTEMEN PERTAHANAN
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
DEPARTEMEN KEUANGAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAY A MINERAL
DEPARTEMEN PERHUBUNGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DEPARTEMEN KESEHATAN
DEPARTEMEN AGAMA
DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
DEPARTEMEN SOSIAL
DEPARTEMEN KEHUTANAN
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK DAN KEAMANAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT
DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KEMENTERIAN NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA
KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM
KEMENTERIAN NEGARA IEMBERDAYAAN PEREMPUAN
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
BADAN INTELIJEN NEGARA
LEMBAGA SANDI NEGARA

KEMENTERIAN / LEMBAGA

104.801.476
560.148.771
191.843.333
208.086.205
282.659.781
33.030.366
134.361.433
268.532.930
1.716.039.966
431.973.744
520.811.737
59.703.041
29.133.390
70.382.167
65.406.919
784.943.489

12.162.091

6.449.000

343.984.903
69.745.860
133.783.824
119.225.603
15.913.308
31.205.836
178.054.480
666.652.899
238.114.718
516.787.807
63.749.073
31.403.179
29.545.120
30.731.921
651.397.368

6.978.907

6.757.000

16.228.732
115.547.410
64.164.896

SUMUT
7.939.358.830

94.639.920

21.855.821
96.597.432
37.871.008

NAD
12.723.346.178

10 - Lampiran
5.506.000

6.196.168

142.167.049
59.197.409
53.187.434
194.335.607
30.125.349
32.296.234
50.658.016
961.988.923
313.710.724
336.211.796
36.412.843
38.041.336
20.690.538
43.681.791
475.713.157

73.863.186

91.737.888
36.680.399

14.157.453
5.051.000

217.968.839
84.018.083
87.542.547
96.999.809
3.300.000
50.282.305
143.702.117
573.968.238
111.834.928
336.163.446
34.589.831
29.797.722
50.413.114
21.293.713
339.085.355

26.681.311

18.107.492
64.572.846
57.005.082

3.843.000

4.190.411

78.393.806
46.508.275
54.044.552
114.873.017
3.800.000
26.053.246
27.220.174
378.063.337
170.728.822
297.304.346
40.749.671
27.092.237
48.510.466
34.972.426
348.884.826

34.149.433

8.315.452
57.936.643
32.489.616

6.634.000

7.000.000

1.542.854

329.810.537
96.161.520
117.403.306
169.231.774
11.144.505
128.066.365
328.836.669
850.811.658
368.049.688
358.726.979
71.697.438
31.749.705
62.884.941
53.780.473
643.437.116

63.509.743

10.508.612
49.125.270
39.670.335

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


SUMBAR
RIAU
JAMBI
SUMSEL
3.538.713.674
2.908.032.890 2.195.546.268 5.415.251.694

4.463.000

63.701.297
36.545.619
29.317.388
70.024.967
4.300.000
25.326.311
55.896.945
301.381.483
123.647.860
171.739.716
62.686.123
24.255.582
16.154.618
24.941.480
358.834.970

28.722.535

35.938.406
23.071.855

BENGKULU
1.755.413.114

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 3

REKAPITULASI ALOKASI ANGGARAN TAHUN 2007


MENURUT LOKASI (PROVINSI) DAN KEMENTERIAN / LEMBAGA

36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72

NO

DEWAN KETAHANAN NASIONAL


BADAN PUSAT STATISTIK
KEMENTERIAN NEGARA PPN / BAPPENAS
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
BADAN NARKOTIKA NASIONAL
KEMENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA
KOMISI PEMILIHAN UMUM
MAHKAMAH KONSTITUSI RI
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL
BADAN STANDARISASI NASIONAL
BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN NEGARA PERU MAHAN RAKYAT
KEMENTERIAN NEGARA PEMUDA DAN OLAH RAGA
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
KOMISI YUDISIAL RI
BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGANAN BENCANA
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD - NIAS

KEMENTERIAN / LEMBAGA

67.815.636
300.000
13.912.022
755.985.308
10.707.550

25.499.099
16.675.249
35.309.209

29.353.918
350.000
7.543.517
438.433.782
10.221.524

22.084.752
4.850.602
34.626.923

160.000
11.064.251
18.219.633
3.091.854
4.643.516

.253.136.864

8.086.402
2.600.000
3.425.464

8.745.675.936

170.000

46.427.762

SUMUT
7.939.358.830

30.927.371

NAD
12.723.346.178

Lampiran - 11
4.129.914

8.673.863
2.064.320

155.000

1.175.207

9.026.124
26.551.417

15.392.876

42.245.502
1.150.000
4.707.343
383.786.385
9.342.914

27.910.962

3.135.760

155.000
11.090.343
9.426.553
1.936.800

4.038.582
16.493.861

14.690.412

40.071.454
4.300.000
8.180.488
395.671.403
9.760.528

22.546.475

3.304.476

7.963.375
1.834.675

150.000

2.831.861
14.926.229

11.815.402

30.223.504
350.000
4.862.468
253.320.314
7.681.585

18.158.623

3.174.604

150.000
15.161.794
13.795.943
1.500.000

3.832.716
20.396.757

19.169.701

53.745.840
300.000
5.835.164
442.689.403
8.043.198

27.673.086

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


SUMBAR
RIAU
JAMBI
SUMSEL
3.538.713.674
2.908.032.890 2.195.546.268 5.415.251.694

2.860.276

6.063.028
1.736.280

150.000

4.573.530
13.566.597

12.010.373

24.414.340
750.000
5.791.951
200.654.300
7.442.646

14.449.638

BENGKULU
1.755.413.114

Lampiran

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

NO

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
MAHKAMAH AGUNG
KEJAKSAAN AGUNG
SEKRETARIAT NEGARA
DEPARTEMEN DALAM NEGERI
DEPARTEMEN LUAR NEGERI
DEPARTEMEN PERTAHANAN
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
DEPARTEMEN KEUANGAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAY A MINERAL
DEPARTEMEN PERHUBUNGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DEPARTEMEN KESEHATAN
DEPARTEMEN AGAMA
DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
DEPARTEMEN SOSIAL
DEPARTEMEN KEHUTANAN
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK DAN KEAMANAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT
DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KEMENTERIAN NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA
KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM
KEMENTERIAN NEGARA IEMBERDAYAAN PEREMPUAN
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
BADAN INTELIJEN NEGARA
LEMBAGA SANDI NEGARA

KEMENTERIAN / LEMBAGA

15.980.276
49.986.872
21.026.068
23.882.418
33.859.762
3.000.000
21.128.412
54.294.258
37.904.784
61.889.117
78.793.582
14.441.034
20.738.467
2.723.359
32.780.414
85.008.657

3.305.000

135.144.580
71.537.214
63.182.310
182.500.919
16.875.867
32.049.354
79.483.770
779.635.628
146.659.961
336.292.054
30.200.885
26.703.028
40.481.814
37.315.894
601.200.126

5.013.000

19.254.133
22.839.400

BABEL
970.253.468

69.785.167

8.712.017
60.406.962
36.955.807

LAMPUNG
3.268.857.323

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


KEP RIAU
DKI JAKARTA
JABAR
JATENG
DIY
JATIM
BANTEN
1.066.511.275 111.646.339.119 16.389.489.718 13.209.817.549 4.091.771.514 16.730.893.068 3.554.835.208
196.121.325
13.859.262
1.519.174.351
827.669.671
18.809.884
23.387.401
18.343.523
794.157.393
174.336.121
235.397.409
65.059.316
242.755.407
40.183.001
10.412.055
453.631.297
90.458.658
107.785.188
59.388.317
121.944.794
25.799.510
1.544.153.107
24.449.695
11.616.683
10.798.930 1.753.173.810
287.482.385
199.357.935
87.500.955
211.014.315
49.278.804
2.457.356.517
56.135.388 1.595.247.724 1.871.184.571 1.094.929.568 207.352.308 2.781.290.702 201.169.006
64.128.605 1.439.595.219
224.491.669
239.559.444
52.686.754
263.919.251
96.066.471
130.854.860 6.317.702.279
346.447.579
310.948.951 109.907.190
467.266.473
88.622.562
21.687.799 3.161.977.235
750.456.754
450.755.663 118.338.264
747.071.191 139.064.531
2.400.000 1.345.148.240
140.408.787
20.005.811
79.600.406
23.465.600
4.095.700
2.700.000 2.107.427.464
953.169.673
245.956.523
14.731.423
526.876.038
23.422.119
107.333.624 4.280.854.974
201.325.410
967.591.651 308.477.448
384.644.070
90.900.234
123.740.585 4.963.700.407 4.309.890.889 3.412.182.458 .149.787.938 3.849.678.849 1.527.864.374
95.477.694 9.771.550.334
724.593.814
806.846.607 271.504.040
627.407.913 101.087.486
53.512.627 2.535.263.195 1.246.052.847 1.496.379.230 289.824.893 1.785.394.520 365.729.774
14.487.768 1.188.401.018
114.906.399
109.542.554
36.970.430
48.782.195
29.745.011
13.295.379 2.266.051.980
96.943.861
70.066.462
48.861.031
36.358.178
21.690.268
1.485.780
951.611.854
347.044.310
42.093.699
39.015.378
57.673.119
8.201.635
42.258.183 1.589.194.648
130.682.602
124.247.644
20.301.823
138.150.195
43.062.588
110.006.085 4.723.981.933 1.910.843.290 1.347.003.788 415.675.944 2.133.879.459 306.737.061
150.959.709
143.042.689
104.548.807
3.221.539
736.096.378
30.514.470
21.000.244
26.089.845
11.744.473
6.282.620
217.319.162
439.234.990
462.064.335
12.252.800
3.100.000 1.281.394.568
9.037.000
9.388.000
5.282.000
11.036.000
2.000.000
165.143.343
247.509.082
1.072.616.049
913.941.978

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

12 - Lampiran

36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72

NO

DEWAN KETAHANAN NASIONAL


BADAN PUSAT STATISTIK
KEMENTERIAN NEGARA PPN / BAPPENAS
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
BADAN NARKOTIKA NASIONAL
KEMENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA
KOMISI PEMILIHAN UMUM
MAHKAMAH KONSTITUSI RI
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL
BADAN STANDARISASI NASIONAL
BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN NEGARA PERU MAHAN RAKYAT
KEMENTERIAN NEGARA PEMUDA DAN OLAH RAGA
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
KOMISI YUDISIAL RI
BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGANAN BENCANA
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD - NIAS

KEMENTERIAN / LEMBAGA

10.677.548

43.233.415
350.000
6.331.089
335.291.317
9.288.337

3.782.676
10.927.333

24.519.417
15.606.229

145.000

1.400.000
2.627.188

145.000
9.137.905
1.727.380
3.259.896

10.313.262

5.894.909

7.767.657

18.263.575

4.478.454
13.886.516

11.725.083

BABEL
970.253.468

25.359.235

LAMPUNG
3.268.857.323

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


KEP RIAU
DKI JAKARTA
JABAR
JATENG
DIY
JATIM
BANTEN
1.066.511.275 111.646.339.119 16.389.489.718 13.209.817.549 4.091.771.514 16.730.893.068 3.554.835.208
30.180.806
13.848.321
423.943.426
69.034.452
78.736.667
19.558.299
89.854.632
19.029.134
360.498.787
18.413.164
383.932.721
176.513.971
211.139.098
58.589.528
200.439.712
45.677.142
167.883.017
17.250.000
1.050.000
350.000
5.864.022
250.000
9.015.258 2.142.604.745
23.743.559
25.115.953
49.224.435
15.497.537
6.169.380
110.865.510 6.193.694.592 1.370.712.116 1.427.536.389 383.464.876 1.729.175.763 260.842.092
235.363.643
11.264.859
11.663.608
10.117.592
12.652.149
151.477.917
341.854.729
278.203.843
657.974.781
6.700.185
498.837.748
50.038.314
53.740.663
11.690.406
53.401.483
12.988.949
59.716.286
9.664.484
337.405.185
8.678.201
10.290.181
1.961.011
14.202.068
24.481.355
9.773.201
132.041.096
37.120.709
49.389.029
11.815.327
53.707.925
10.407.701
196.756.131
98.004.497
343.793.826
162.446.740
1.900.927
3.260.118
6.113.283
278.501.487
17.940.843
36.720.963
500.668.661
3.169.355
6.383.235
163.978.568
26.851.032
1.795.587
252.163.842
66.027.632
63.203.452
114.957.464
45.144.633
145.000
103.628.602
150.000
172.000
145.000
150.000
140.000
226.411.001
11.125.990
17.401.720
15.519.537
254.760.843
49.573.900
18.887.717
30.328.339
24.238.182
1.000.000 1.347.030.069
55.538.035
2.828.660
1.600.000
2.882.610
1.250.000
532.654.422
1.705.728
550.674.075
5.618.476
6.327.828
3.339.475
5.275.200
2.596.700
247.660.200
281.598.511
101.909.089
61.490.202

Lampiran

Lampiran - 13

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

NO

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
MAHKAMAH AGUNG
KEJAKSAAN AGUNG
SEKRETARIAT NEGARA
DEPARTEMEN DALAM NEGERI
DEPARTEMEN LUAR NEGERI
DEPARTEMEN PERTAHANAN
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
DEPARTEMEN KEUANGAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAY A MINERAL
DEPARTEMEN PERHUBUNGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DEPARTEMEN KESEHATAN
DEPARTEMEN AGAMA
DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
DEPARTEMEN SOSIAL
DEPARTEMEN KEHUTANAN
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK DAN KEAMANAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT
DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KEMENTERIAN NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA
KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM
KEMENTERIAN NEGARA IEMBERDAYAAN PEREMPUAN
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
BADAN INTELIJEN NEGARA
LEMBAGA SANDI NEGARA

KEMENTERIAN / LEMBAGA

NTB

NTT

14 - Lampiran
87.084.332
40.517.642
69.022.265
172.874.237
5.643.025
31.145.981
57.989.087
548.561.208
151.774.389
272.813.092
44.134.328
32.053.690
33.856.091
42.255.343
464.414.522

237.719.381
74.530.344
88.980.767
107.121.562
8.066.208
11.454.004
81.350.406
667.465.967
273.485.978
109.696.729
15.874.663
25.306.977
42.522.863
50.728.356
687.897.580

5.413.000

11.712.748
6.171.000

6.575.000

2.704.062

267.001.448
79.081.331
102.224.837
148.444.637
16.329.289
52.774.239
84.506.232
565.099.829
200.937.106
167.041.909
108.727.000
28.445.053
52.224.550
58.474.103
467.113.062

57.702.746

15.731.326
71.153.105
31.849.126

39.483.600

9.986.000

72.598.088

50.790.222
184.820.219
77.005.132
56.051.114
192.889.654
5.367.000
100.721.026
241.835.761
650.029.636
165.172.324
160.477.054
62.506.562
39.782.978
56.331.613
43.226.086
661.715.706

89.665.497
42.127.722

46.684.316
26.766.053

14.663.517
81.304.355
32.961.305
14.603.916
26.540.138

3.947.000

53.450.258
43.416.054
57.493.176
89.662.733
6.582.000
29.276.098
171.379.102
326.269.565
136.511.802
166.253.082
97.413.726
25.461.664
36.875.175
20.332.009
1.004.205.717

25.924.573

8.702.601
43.125.795
34.057.417

2.749.569.327

5.689.000

1.589.996

143.831.157
67.744.788
92.016.775
171.499.893
10.836.552
32.565.992
61.720.877
492.736.406
127.115.284
311.897.459
62.570.464
37.957.588
47.373.092
31.086.467
540.691.183

36.565.645

6.652.659
74.202.667
33.784.305

2.863.829.314

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


KALBAR
KALTENG
KALSEL

3.380.043.806 2.592.252.191 3.460.948.986 3.119.944.301

BALI

7.792.240
5.831.000

233.274.286
81.085.375
96.097.779
112.341.242
12.971.279
195.011.404
241.371.326
537.538.554
142.827.924
153.345.700
68.049.895
28.226.703
78.142.028
27.382.246
826.783.022

16.494.443

12.271.501
71.599.736
41.758.071

3.520.772.613

KALTIM

SULTENG

5.955.000

3.965.337

118.045.011
68.884.878
56.446.557
107.615.888
10.713.275
123.558.492
212.291.622
595.030.867
267.912.683
128.647.253
21.382.757
32.616.363
49.408.841
69.415.776
500.803.699

45.041.815

21.053.646
46.902.239
32.427.534

4.533.000

61.154.113
45.075.095
64.434.559
96.636.183
6.222.565
37.438.360
122.042.959
395.517.847
124.911.551
149.519.022
31.436.977
33.875.439
34.274.367
31.602.013
299.460.196

42.801.871

46.841.208
27.594.293

2.978.081.411 2.036.086.406

SULUT

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72

NO

DEWAN KETAHANAN NASIONAL


BADAN PUSAT STATISTIK
KEMENTERIAN NEGARA PPN / BAPPENAS
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
BADAN NARKOTIKA NASIONAL
KEMENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA
KOMISI PEMILIHAN UMUM
MAHKAMAH KONSTITUSI RI
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL
BADAN STANDARISASI NASIONAL
BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN NEGARA PERU MAHAN RAKYAT
KEMENTERIAN NEGARA PEMUDA DAN OLAH RAGA
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
KOMISI YUDISIAL RI
BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGANAN BENCANA
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD - NIAS

KEMENTERIAN / LEMBAGA

NTB

NTT

33.957.564
750.000
4.417.810
297.685.298
7.782.950

14.577.221
4.882.115
13.863.597

1.092.394

44.194.980
300.000
7.847.876
502.173.598
8.808.911

12.562.684
11.913.762
13.529.097

6.201.944

Lampiran - 15
3.542.600

3.421.000

3.227.140

7.425.951
1.884.865

8.981.212
1.650.000

1.984.555

3.526.000

155.000

155.000

1.836.060

27.045.169
17.893.493

14.960.805

43.976.637
300.000
5.717.672
382.779.353
6.910.186

22.853.980

167.000

17.053.120
23.578.021

16.318.015

34.068.175
500.000
8.793.358
400.311.737
5.608.426

31.507.750

154.000
22.340.343
11.798.732
2.137.520

1.952.684

19.183.264

21.064.311

3.267.140

1.450.000

160.000

5.496.019
19.908.757

12.723.878

33.878.506
350.000
3.756.392
260.421.403
7.062.116

20.755.569

2.749.569.327

3.074.140

155.000
9.588.504
8.078.048
1.450.000

2.961.775
18.949.125

15.269.977

44.753.276
300.000
11.618.445
324.557.877
7.090.833

25.854.065

2.863.829.314

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


KALBAR
KALTENG
KALSEL

3.380.043.806 2.592.252.191 3.460.948.986 3.119.944.301

BALI

3.370.000

7.602.418
2.040.395

6.255.516
165.000

6.809.389
18.897.625

11.194.524

41.102.185
300.000
12.414.005
386.095.070
8.266.691

26.064.041

3.520.772.613

KALTIM

SULTENG

3.811.900

170.000
7.296.898
8.723.848
2.371.070

994.323

8.484.989
13.976.097

13.002.036

27.144.852
300.000
9.590.370
337.002.316
9.131.593

17.961.586

3.240.000

8.642.805
1.500.000

170.000

5.144.329
15.039.229

12.730.090

25.485.573
350.000
3.945.337
278.677.147
7.191.372

18.598.906

2.978.081.411 2.036.086.406

SULUT

Lampiran

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

NO

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
MAHKAMAH AGUNG
KEJAKSAAN AGUNG
SEKRETARIAT NEGARA
DEPARTEMEN DALAM NEGERI
DEPARTEMEN LUAR NEGERI
DEPARTEMEN PERTAHANAN
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
DEPARTEMEN KEUANGAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAY A MINERAL
DEPARTEMEN PERHUBUNGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DEPARTEMEN KESEHATAN
DEPARTEMEN AGAMA
DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
DEPARTEMEN SOSIAL
DEPARTEMEN KEHUTANAN
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK DAN KEAMANAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT
DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KEMENTERIAN NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA
KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM
KEMENTERIAN NEGARA IEMBERDAYAAN PEREMPUAN
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
BADAN INTELIJEN NEGARA
LEMBAGA SANDI NEGARA

KEMENTERIAN / LEMBAGA

16 - Lampiran
2.703.000

2.010.000

271.195.699
55.131.239
37.501.067
97.053.764
13.550.809
73.714.367
312.431.610
525.592.150
122.156.139
166.330.386
54.510.611
40.130.152
41.029.126
123.977.609
462.413.587

1.800.000
25.000.000

4.835.000

7.480.956
54.475.560
2.850.000
2.800.000
34.654.740
123.136.104
73.048.081
62.021.495
26.878.220
11.367.763
3.165.242
12.970.000
186.167.635

24.751.243

43.048.590

9.447.682
33.752.669
25.790.691

15.909.319
12.388.000

26.899.816
14.892.419
22.155.769
88.981.234
3.000.000
28.292.454
60.041.233
211.242.219
53.614.153
103.399.515
28.321.454
22.860.587
10.008.849
27.912.795
246.914.194

23.540.259

16.342.349
8.648.715

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


SULBAR
MALUKU
775.109.044
2.958.608.406

24.008.664

61.611.219
33.203.215
26.459.202
100.435.458
5.703.435
29.586.778
89.236.896
449.888.850
117.504.912
165.158.030
54.371.723
28.300.079
27.723.895
59.336.832
353.491.975

495.910.695
113.239.196
125.798.474
339.710.653
39.526.504
262.803.259
379.233.316
.350.830.766
489.074.478
640.468.691
98.607.474
49.075.320
97.466.758
83.289.064
992.714.571

24.369.779

21.748.437
23.127.624

GORONTALO
1.201.020.933

26.776.751

44.622.349

8.378.605
34.339.819
21.339.220

SULTRA
2.056.102.955

95.619.705

11.957.960
149.881.514
56.168.346

SULSEL
6.879.667.337

4.500.000
10.000.000

14.000.000

48.529.737
46.143.802
26.589.933
86.353.575
6.300.000
48.059.089
171.739.852
251.994.777
128.895.899
133.370.291
78.849.939
41.698.406
9.629.781
52.472.207
310.170.332

39.131.593

24.719.064
22.664.311

MALUT
1.783.580.805

2.996.000

120.827.785
46.083.340
34.113.809
63.830.307
3.600.000
3.125.887
173.631.751
159.591.593
87.340.953
49.628.594
40.434.237
18.001.316
42.067.501
46.783.844
261.893.347

26.661.050

9.793.826
16.721.238
7.002.749

IRJABAR
1.386.692.819

6.156.000

3.736.423

500.087.390
72.128.011
95.430.457
106.628.812
5.500.000
40.775.317
434.301.956
429.573.910
208.923.305
134.244.249
31.477.995
39.779.717
52.908.715
51.831.046
609.963.048

56.903.007

19.245.972
61.393.141
27.898.905

PAPUA
3.662.295.367

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72

NO

DEWAN KETAHANAN NASIONAL


BADAN PUSAT STATISTIK
KEMENTERIAN NEGARA PPN / BAPPENAS
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
BADAN NARKOTIKA NASIONAL
KEMENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA
KOMISI PEMILIHAN UMUM
MAHKAMAH KONSTITUSI RI
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL
BADAN STANDARISASI NASIONAL
BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN NEGARA PERU MAHAN RAKYAT
KEMENTERIAN NEGARA PEMUDA DAN OLAH RAGA
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
KOMISI YUDISIAL RI
BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGANAN BENCANA
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD - NIAS

KEMENTERIAN / LEMBAGA

31.125.061
350.000
5.138.700
232.383.129
7.184.718

12.267.646
4.730.960
15.254.229

68.607.088
5.650.000
12.828.995
672.875.945
11.303.135

22.932.594
13.313.939
32.186.445

Lampiran - 17
1.450.000

6.602.789
2.179.330
3.665.000

5.077.000

2.839.000

173.000

165.000

2.073.758
8.587.069

7.095.221

11.775.285
250.000
5.221.456
129.781.247

11.289.366

GORONTALO
1.201.020.933

35.236.196
155.000
13.354.293
14.201.897
3.772.830

3.836.563

19.528.901

SULTRA
2.056.102.955

37.884.603

SULSEL
6.879.667.337

1.714.600

1.050.000

145.000

717.350
8.591.069

6.958.129

51.442.047

16.430.875
250.000

11.501.612

4.063.000

7.291.659
13.000.000

170.000

12.846.225

10.578.027
12.376.465

9.835.960

2.750.000

23.004.963
350.000
7.293.333
273.011.438
7.287.250

15.183.475

ANGGARAN (dalam Ribu Rupiah)


SULBAR
MALUKU
775.109.044
2.958.608.406

3.321.000

15.000.000

173.000

5.111.287
12.806.965

8.630.053

11.922.579
250.000
16.289.139
139.854.175
2.500.000

11.910.019

MALUT
1.783.580.805

1.658.504

1.650.000

181.500

10.569.880
14.344.097

7.495.401

104.190.405

14.284.199

18.189.706

IRJABAR
1.386.692.819

4.481.000

181.500
13.890.213
13.492.405
2.600.000

4.905.499

776.004

39.376.022
29.084.662

12.963.929

29.517.982
300.000
10.952.461
472.225.704
9.351.475

29.309.135

PAPUA
3.662.295.367

Lampiran

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 4

PENETAPAN ALOKASI DANA BAGI HASIL


SUMBERDAYA ALAM PERTAMBANGAN UMUM
TAHUN ANGGARAN 2007
UNTUK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA
(dalam rupiah)
NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

(2)

(3)

(4)

(5)

(1)
I

Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam

32.400.000

29.772.720

62.172.720

Kab. Aceh Barat

648.000

9.785.088

10.433.088

Kab. Aceh Besar

12.960.000

1.599.360

14.559.360

Kab. Aceh Selatan

648.000

Kab. Aceh Singkil

648.000

Kab. Aceh Tengah

648.000

648.000

Kab. Aceh Tenggara

648.000

648.000

Kab. Aceh Timur

648.000

648.000

Kab. Aceh Utara

648.000

648.000

Kab. Bireun

648.000

648.000

10

Kab. Aceh Pidie

648.000

11

Kab. Simeulue

648.000

648.000

12

Kota Banda Aceh

648.000

648.000

13

Kota Sabang

648.000

648.000

14

Kota Langsa

648.000

648.000

15

Kota Lhokseumawe

648.000

648.000

16

Kab. Nagan Raya

648.000

648.000

17

Kab. Aceh Jaya

648.000

648.000

18

Kab. Aceh Barat Daya

648.000

648.000

19

Kab. Gayo Lues

648.000

648.000

20

Kab. Aceh Tamiang

648.000

648.000

21

Kab. Bener Meriah

648.000

648.000

Prov. Nanggroe Aceh Darussalam


II

Provinsi Sumatera Utara

22

Kab. Asahan

23

Kab. Dairi

24

Kab. Deli Serdang

25

Kab. Tanah Karo

26

Kab. Labuhan Batu

27

Kab. Langkat

28

Kab. Mandailing Natal

29

Kab. Nias

30

Kab. Simalungun

18 - Lampiran

648.000
559.488

11.874.240

1.207.488

12.522.240

6.480.000

5.954.544

12.434.544

713.762.840

713.762.840

78.143.808

78.143.808

172.944.288

172.944.288

Lampiran

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

31

Kab. Tapanuli Selatan

163.804.992

163.804.992

32

Kab. Tapanuli Tengah

78.239.040

78.239.040

33

Kab. Tapanuli Utara

35.354.880

35.354.880

34

Kab. Toba Samosir

35

Kota Binjai

36

Kota Medan

37

Kota Pematang Siantar

38

Kota Sibolga

39

Kota Tanjung Balai

40

Kota Tebing Tinggi

41

Kota Padang Sidempuan

29.536.800

29.536.800

42

Kab. Pakpak Bharat

2.898.624

2.898.624

43

Kab. Nias Selatan

44

Kab. Humbang Hasundutan

10.087.840

10.087.840

45

Kab. Serdang Berdagai

46

Kab. Samosir
Prov. Sumatera Utara

142.752.568

142.752.568

3.247.018.668

448.026.564

3.695.045.232

Kab. Limapuluh Kota

72.155.970

4.128.000

76.283.970

Kab. Agam

72.155.970

72.155.970

49

Kab. Kepulauan Mentawai

72.155.970

72.155.970

50

Kab. Padang Pariaman

72.155.970

72.155.970

51

Kab. Pasaman

72.155.970

1.113.600

73.269.570

52

Kab. Pesisir Selatan

72.155.970

27.720.000

99.875.970

53

Kab. Sawahlunto Sijunjung

126.555.970

64.746.384

191.302.354

54

Kab. Solok

72.155.970

1.874.912

74.030.882

55

Kab. Tanah Datar

72.155.970

72.155.970

56

Kota Bukit Tinggi

72.155.970

72.155.970

57

Kota Padang Panjang

72.155.970

72.155.970

58

Kota Padang

72.155.970

72.155.970

59

Kota Payakumbuh

60

Kota Sawahlunto

61

Kota Solok

72.155.970

72.155.970

62

Kota Pariaman

72.155.970

72.155.970

63

Kab. Pasaman Barat

72.155.970

64

Kab. Dharmasraya

72.155.970

65

Kab. Solok Selatan

III

Provinsi Sumatera Barat

47
48

Prov. Sumatera Barat

72.155.970
1.244.407.467

72.155.970
255.238.355

1.499.645.822

72.155.970
3.600.000

75.755.970

649.403.734

89.605.313

739.009.046

72.155.970

72.155.970

IV

Provinsi Riau

7.307.200.000

1.193.993.520

8.501.193.520

66

Kab. Bengkalis

292.288.000

54.810.880

347.098.880

67

Kab. Indragiri Hilir

292.288.000

10.654.080

302.942.080

Lampiran - 19

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

68

Kab. Indragiri Hulu

69

Kab. Kampar

70

Kab. Kuantan Singingi

71

Kab. Pelalawan

72

Kab. Rokan Hilir

292.288.000

73

Kab. Rokan Hulu

292.288.000

5.120.000

297.408.000

74

Kab. Siak

499.648.000

16.016.000

515.664.000

75

Kota Dumai

292.288.000

76

Kota Pekanbaru
Prov. Riau

1.979.680.000

256.261.152

2.235.941.152

292.288.000

58.343.040

350.631.040

1.028.128.000

298.263.808

1.326.391.808

292.288.000

255.725.856

548.013.856
292.288.000

292.288.000

292.288.000

292.288.000

1.461.440.000

238.798.704

1.700.238.704

Provinsi Riau Kepulauan

28.842.600.000

830.398.535

29.672.998.535

77

Kab. Bintan

4.211.985.000

58.712.000

4.270.697.000

78

Kab. Natuna

2.390.673.000

79

Kab. Karimun

8.500.113.000

80

Kota Batam

2.390.673.000

2.390.673.000

81

Kota Tanjung Pinang

2.390.673.000

2.390.673.000

82

Kab. Lingga

2.869.713.000

26.496.000

2.896.209.000

Provinsi Kepulauan Riau

6.088.770.000

507.786.279

6.596.556.279

4.687.200.000

569.375.897

5.256.575.897

208.320.000

96.364.320

304.684.320

86.451.182

1.961.331.182

2.390.673.000
237.404.256

8.737.517.256

VI

Provinsi Jambi

83

Kab. Batanghari

84

Kab. Bungo

1.874.880.000

85

Kab. Kerinci

208.320.000

86

Kab. Merangin

208.320.000

87

Kab. Muaro Jambi

208.320.000

88

Kab. Sarolangun

208.320.000

73.422.496

281.742.496

89

Kab. Tanjung Jabung Barat

208.320.000

20.728.320

229.048.320

90

Kab. Tanjung Jabung Timur

208.320.000

91

Kab. Tebo

208.320.000

92

Kota Jambi

208.320.000

Provinsi Jambi

208.320.000
154.214.400

362.534.400
208.320.000

208.320.000
24.320.000

232.640.000

937.440.000

113.875.179

1.051.315.179

208.320.000

VII

Provinsi Sumatera Selatan

90.180.000.000

2.383.359.187

92.563.359.187

93

Kab. Lahat

8.259.057.231

238.704.032

8.497.761.263

94

Kab. Musi Banyuasin

2.774.769.231

441.945.452

3.216.714.683

95

Kab. Musi Rawas

2.774.769.231

256.977.600

3.031.746.831

96

Kab. Muara Enim

30.587.712.000

469.426.931

31.057.138.931

97

Kab. Ogan Komering Ilir

2.774.769.231

98

Kab. Ogan Komering Ulu

2.774.769.231

99

Kota Palembang

2.774.769.231

2.774.769.231

100

Kota Pagar Alam

2.774.769.231

2.774.769.231

101

Kota Lubuk Linggau

2.774.769.231

2.774.769.231

102

Kota Prabumulih

2.774.769.231

2.774.769.231

20 - Lampiran

2.774.769.231
308.813.440

3.083.582.671

Lampiran

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

103

Kab. Banyuasin

2.774.769.231

104

Kab. Ogan Ilir

2.774.769.231

105

Kab. OKU Timur

2.774.769.231

106

Kab. OKU Selatan

2.774.769.231

LANDRENT

JUMLAH DBH

132.908.086

2.907.677.317
2.774.769.231

57.911.808

2.832.681.039
2.774.769.231

Provinsi Sumatera Selatan

18.036.000.000

476.671.837

18.512.671.837

VIII

Provinsi Bangka Belitung

104.520.000.000

9.848.890.348

114.368.890.348

107

Kab. Bangka

14.194.861.314

2.254.288.000

16.449.149.314

108

Kab. Belitung

7.920.000.000

317.338.080

8.237.338.080

109

Kota Pangkal Pinang

6.968.000.000

76.768.000

7.044.768.000

110

Kab. Bangka Selatan

18.284.832.701

1.585.752.758

19.870.585.459

111

Kab. Bangka Tengah

16.533.094.307

1.202.308.800

17.735.403.107

112

Kab. Bangka Barat

11.291.211.679

1.394.376.000

12.685.587.679

113

Kab. Belitung Timur


Provinsi Bangka Belitung

IX

1.048.280.640

9.472.280.640

1.969.778.070

22.873.778.070

2.371.500.000

366.590.028

2.738.090.028

114

Kab. Bengkulu Selatan

118.575.000

17.996.502

136.571.502

115

Kab. Bengkulu Utara

675.180.000

138.632.480

813.812.480

116

Kab. Rejang Lebong

118.575.000

6.996.480

125.571.480

117

Kota Bengkulu

118.575.000

118

Kab. Kaur

118.575.000

10.638.739

129.213.739

119

Kab. Seluma

391.995.000

115.679.821

507.674.821

120

Kab. Mukomuko

118.575.000

121

Kab. Lebong

118.575.000

122

Kab. Kepahiang

118.575.000

Provinsi Bengkulu
Provinsi Lampung

Provinsi Bengkulu

8.424.000.000
20.904.000.000

118.575.000

118.575.000
118.575.000
3.328.000

121.903.000

474.300.000

73.318.006

547.618.006

15.750.000

322.861.272

338.611.272

123

Kab. Lampung Barat

700.000

26.069.760

26.769.760

124

Kab. Lampung Selatan

4.966.667

11.742.400

16.709.067

125

Kab. Lampung Tengah

700.000

700.000

126

Kab. Lampung Utara

700.000

700.000

127

Kab. Lampung Timur

128

Kab. Tanggamus

129

Kab. Tulang Bawang

700.000

130

Kab. Way Kanan

700.000

131

Kota Bandar Lampung

700.000

700.000

132

Kota Metro

700.000

700.000

Provinsi Lampung
XI

Provinsi DKI Jakarta

700.000
2.033.333

700.000
215.918.138

217.951.471

4.558.720

5.258.720

700.000

3.150.000

64.572.254

67.722.254

XII

Provinsi Jawa Barat

15.630.260.026

268.868.453

15.899.128.479

133

Kab. Bandung

260.504.334

10.173.227

270.677.560

134

Kab. Bekasi

260.504.334

260.504.334

Lampiran - 21

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

135

Kab. Bogor

6.251.690.010

136

Kab. Ciamis

260.504.334

137

Kab. Cianjur

260.504.334

138

Kab. Cirebon

260.504.334

139

Kab. Garut

260.504.334

140

Kab. Indramayu

260.504.334

260.504.334

141

Kab. Karawang

260.504.334

260.504.334

142

Kab. Kuningan

260.504.334

260.504.334

143

Kab. Majalengka

260.504.334

144

Kab. Purwakarta

260.504.334

145

Kab. Subang

260.504.334

146

Kab. Sukabumi

260.504.334

147

Kab. Sumedang

260.504.334

148

Kab. Tasikmalaya

260.504.334

149

Kota Bandung

260.504.334

260.504.334

150

Kota Bekasi

260.504.334

260.504.334

151

Kota Bogor

260.504.334

260.504.334

152

Kota Cirebon

260.504.334

260.504.334

153

Kota Depok

260.504.334

260.504.334

154

Kota Sukabumi

260.504.334

260.504.334

155

Kota Cimahi

260.504.334

260.504.334

156

Kota Tasikmalaya

260.504.334

260.504.334

157

Kota Banjar
Provinsi Jawa Barat

116.230.880

JUMLAH DBH
6.367.920.890
260.504.334

27.857.920

288.362.254
260.504.334

21.754.368

282.258.702

260.504.334
1.568.000

262.486.334
260.504.334

35.694.400

296.198.734
260.504.334

1.815.968

260.504.334

262.320.302

260.504.334

3.126.052.005

53.773.691

3.179.825.696

XIII

Provinsi Banten

476.621.392

15.370.800

491.992.192

158

Kab. Lebak

190.648.557

11.439.040

202.087.597

159

Kab. Pandeglang

38.129.711

857.600

38.987.311

160

Kab. Serang

38.129.711

38.129.711

161

Kab. Tangerang

38.129.711

38.129.711

162

Kota Cilegon

38.129.711

38.129.711

163

Kota Tangerang

38.129.711

Provinsi Banten

95.324.278

3.074.160

98.398.438

585.900.000

30.849.000

616.749.000

38.129.711

XIV

Provinsi Jawa Tengah

164

Kab. Banjarnegara

6.892.941

6.892.941

165

Kab. Banyumas

6.892.941

6.892.941

166

Kab. Batang

6.892.941

6.892.941

167

Kab. Blora

6.892.941

6.892.941

168

Kab. Boyolali

6.892.941

6.892.941

169

Kab. Brebes

6.892.941

170

Kab. Cilacap

17.724.706

171

Kab. Demak

6.892.941

22 - Lampiran

6.892.941
3.933.440

21.658.146
6.892.941

Lampiran

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

172

Kab. Grobogan

6.892.941

6.892.941

173

Kab. Jepara

6.892.941

6.892.941

174

Kab. Karanganyar

6.892.941

6.892.941

175

Kab. Kebumen

6.892.941

6.892.941

176

Kab. Kendal

6.892.941

6.892.941

177

Kab. Klaten

6.892.941

6.892.941

178

Kab. Kudus

6.892.941

6.892.941

179

Kab. Magelang

6.892.941

6.892.941

180

Kab. Pati

6.892.941

6.892.941

181

Kab. Pekalongan

6.892.941

6.892.941

182

Kab. Pemalang

6.892.941

6.892.941

183

Kab. Purbalingga

6.892.941

6.892.941

184

Kab. Purworejo

223.528.235

185

Kab. Rembang

6.892.941

6.892.941

186

Kab. Semarang

6.892.941

6.892.941

187

Kab. Sragen

6.892.941

6.892.941

188

Kab. Sukoharjo

6.892.941

6.892.941

189

Kab. Tegal

6.892.941

6.892.941

190

Kab. Temanggung

6.892.941

6.892.941

191

Kab. Wonogiri

6.892.941

6.892.941

192

Kab. Wonosobo

6.892.941

6.892.941

193

Kota Magelang

6.892.941

6.892.941

194

Kota Pekalongan

6.892.941

6.892.941

195

Kota Salatiga

6.892.941

6.892.941

196

Kota Semarang

6.892.941

6.892.941

197

Kota Surakarta

6.892.941

6.892.941

198

Kota Tegal
Provinsi Jawa Tengah

XV

Provinsi DI Yogyakarta

199

Kab. Bantul

200

Kab. Gunung Kidul

201

Kab. Kulon Progo

202

Kab. Sleman

203

Kota Yogyakarta

20.745.760

6.892.941
117.180.000

Provinsi D.I.Yogyakarta
268.943.360

244.273.995

6.892.941
6.169.800

123.349.800

32.145.120

32.145.120

25.716.096

25.716.096

6.429.024

6.429.024

164.418.520

433.361.880

427.520

14.450.259

XVI

Provinsi Jawa Timur

204

Kab. Bangkalan

205

Kab. Banyuwangi

206

Kab. Blitar

2.907.496

2.907.496

207

Kab. Bojonegoro

2.907.496

2.907.496

208

Kab. Bondowoso

2.907.496

2.907.496

2.907.496
14.022.739

2.907.496

Lampiran - 23

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

209

Kab. Gresik

2.907.496

210

Kab. Jember

2.907.496

57.871.296

60.778.792

211

Kab. Jombang

78.752.685

16.321.120

95.073.805

212

Kab. Kediri

2.907.496

213

Kab. Lamongan

2.907.496

214

Kab. Lumajang

2.907.496

215

Kab. Madiun

2.907.496

2.907.496

216

Kab. Magetan

2.907.496

2.907.496

217

Kab. Malang

2.907.496

2.907.496

218

Kab. Mojokerto

2.907.496

2.907.496

219

Kab. Nganjuk

2.907.496

2.907.496

220

Kab. Ngawi

2.907.496

2.907.496

221

Kab. Pacitan

2.907.496

2.907.496

222

Kab. Pamekasan

2.907.496

2.907.496

223

Kab. Pasuruan

15.985.560

23.436.160

39.421.720

224

Kab. Ponorogo

2.907.496

8.339.200

11.246.696

225

Kab. Probolinggo

2.907.496

2.907.496

226

Kab. Sampang

2.907.496

2.907.496

227

Kab. Sidoarjo

2.907.496

2.907.496

228

Kab. Situbondo

2.907.496

2.907.496

229

Kab. Sumenep

2.907.496

230

Kab. Trenggalek

75.388.473

231

Kab. Tuban

2.907.496

2.907.496

232

Kab. Tulungagung

2.907.496

2.907.496

233

Kota Blitar

2.907.496

2.907.496

234

Kota Kediri

2.907.496

2.907.496

235

Kota Madiun

2.907.496

2.907.496

236

Kota Malang

2.907.496

2.907.496

237

Kota Mojokerto

2.907.496

2.907.496

238

Kota Pasuruan

2.907.496

2.907.496

239

Kota Probolinggo

2.907.496

2.907.496

240

Kota Surabaya

2.907.496

2.907.496

241

Kota Batu
Provinsi Jawa Timur

2.907.496

2.907.496
2.907.496
8.070.400

10.977.896

2.907.496
17.069.120

2.907.496

24.607.967

2.907.496

53.788.672

32.883.704

86.672.376

XVII

Provinsi Kalimantan Barat

675.000.000

2.538.274.680

9.288.274.680

242

Kab. Bengkayang

245.454.545

43.825.376

289.279.921

243

Kab. Landak

245.454.545

244

Kab. Kapuas Hulu

245.454.545

40.960.000

286.414.545

245

Kab. Ketapang

2.209.090.909

1.047.840.384

3.256.931.293

246

Kab. Pontianak

245.454.545

247

Kab. Sambas

245.454.545

24 - Lampiran

245.454.545

245.454.545
46.771.360

292.225.905

Lampiran

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

248

Kab. Sanggau

736.363.636

623.945.600

1.360.309.236

249

Kab. Sintang

245.454.545

212.877.024

458.331.569

250

Kota Pontianak

245.454.545

245.454.545

251

Kota Singkawang

245.454.545

245.454.545

252

Kab. Sekadau

245.454.545

6.400.000

251.854.545

253

Kab. Melawi

245.454.545

8.000.000

253.454.545

Provinsi Kalimantan Barat

1.350.000.000

507.654.936

1.857.654.936

20.406.060.000

3.416.190.063

23.822.250.063

Kab. Barito Selatan

627.878.769

138.384.243

766.263.012

Kab. Barito Utara

627.878.769

529.057.472

1.156.936.241

256

Kab. Kapuas

627.878.769

157.235.459

785.114.228

257

Kab. Kotawaringin Barat

960.186.462

26.710.304

986.896.766

258

Kab. Kotawaringin Timur

627.878.769

1.635.840

629.514.609

259

Kota Palangkaraya

627.878.769

21.176.064

649.054.833

260

Kab. Barito Timur

627.878.769

45.347.663

673.226.433

261

Kab. Murung Raya

7.750.362.462

1.336.823.280

9.087.185.741

262

Kab. Pulang Pisau

627.878.769

263

Kab. Gunung Mas

627.878.769

275.568.349

903.447.118

264

Kab. Lamandau

627.878.769

59.752.960

687.631.729

265

Kab. Sukamara

627.878.769

266

Kab. Katingan

707.632.615

126.547.072

834.179.687

267

Kab. Seruyan

627.878.769

14.713.344

642.592.113

XVIII

Provinsi Kalimantan Tengah

254
255

627.878.769

627.878.769

Provinsi Kalimantan Tengah

4.081.212.000

683.238.013

4.764.450.013

XIX

Provinsi Kalimantan Selatan

460.489.960.000

5.070.693.174

465.560.653.174

268

Kab. Banjar

29.586.825.625

374.805.984

29.961.631.609

269

Kab. Barito Kuala

15.349.665.333

270

Kab. Hulu Sungai Selatan

17.833.558.437

36.107.200

17.869.665.637

271

Kab. Hulu Sungai Tengah

15.349.665.333

10.008.288

15.359.673.621

272

Kab. Hulu Sungai Utara

15.349.665.333

273

Kab. Kota Baru

52.876.430.030

1.565.791.603

54.442.221.633

274

Kab. Tabalong

38.267.566.053

351.212.640

38.618.778.693

275

Kab. Tanah Laut

43.959.151.455

428.265.606

44.387.417.061

276

Kab. Tapin

20.913.643.938

191.505.088

21.105.149.026

277

Kota Banjar Baru

16.331.745.333

123.111.168

16.454.856.501

278

Kota Banjarmasin

15.349.665.333

279

Kab. Balangan

38.534.964.613

348.027.368

38.882.991.981

280

Kab. Tanah Bumbu

48.689.421.182

627.719.594

49.317.140.776

92.097.992.000

1.014.138.635

93.112.130.635

Provinsi Kalimantan Selatan

1.156.529.400.000

15.349.665.333

15.349.665.333

15.349.665.333

XX

Provinsi Kalimantan Timur

8.940.042.333 1.165.469.442.333

281

Kab. Berau

63.778.160.000

815.081.952

64.593.241.952

282

Kab. Bulungan

38.796.500.000

215.189.120

39.011.689.120

Lampiran - 25

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

283

Kab. Kutai Kartanegara

91.997.568.624

1.689.294.074

93.686.862.698

284

Kab. Kutai Barat

85.909.060.000

588.869.155

86.497.929.155

285

Kab. Kutai Timur*)

269.994.500.000

2.285.181.766

272.279.681.766

286

Kab. Malinau

39.287.540.000

58.993.600

39.346.533.600

287

Kab. Nunukan

44.757.180.000

166.738.240

44.923.918.240

288

Kab. Pasir

83.903.980.000

1.082.656.967

84.986.636.967

289

Kota Balikpapan

38.550.980.000

290

Kota Bontang

38.550.980.000

2.042.726

38.553.022.726

291

Kota Samarinda

52.185.911.376

179.986.266

52.365.897.642

292

Kota Tarakan

38.550.980.000

293

Kab. Penajam Paser Utara

38.960.180.000

68.000.000

39.028.180.000

Provinsi Kalimantan Timur

231.305.880.000

1.788.008.467

233.093.888.467

1.733.617.852

1.477.551.932

3.211.169.783

693.447.141

1.082.135.792

1.775.582.933

38.550.980.000

38.550.980.000

XXI

Provinsi Sulawesi Utara

294

Kab. Bolaang Mongondow

295

Kab. Minahasa

86.680.893

86.680.893

296

Kab. Sangihe

86.680.893

86.680.893

297

Kota Bitung

86.680.893

2.795.268

89.476.160

298

Kota Manado

86.680.893

116.600

86.680.893

299

Kab. Kepulauan Talaud

86.680.893

300

Kab. Minahasa Selatan

86.680.893

40.515.264

127.196.157

301

Kota Tomohon

86.680.893

302

Kab. Minahasa Utara

86.680.893

56.478.622

143.159.515

346.723.570

295.510.386

642.233.957

77.690.956

77.690.956

Provinsi Sulawesi Utara

86.680.893
86.680.893

XXII

Provinsi Gorontalo

303

Kab. Boalemo

3.136.000

3.136.000

304

Kab. Gorontalo

14.925.837

14.925.837

305

Kota Gorontalo

306

Kab. Pohuwato

11.887.632

11.887.632

307

Kab. Bone Bolango

32.203.296

32.203.296

Provinsi Gorontalo

15.538.191

15.538.191

398.994.924

398.994.924

5.196.096

5.196.096

XXIII

Provinsi Sulawesi Tengah

308

Kab. Banggai

309

Kab. Banggai Kepulauan

310

Kab. Buol

311

Kab. Toli-Toli

15.668.640

15.668.640

312

Kab. Donggala

16.722.144

16.722.144

313

Kab. Morowali

222.479.808

222.479.808

314

Kab. Poso

315

Kota Palu

52.524.579

52.524.579

316

Kab. Parigi Moutong

38.604.672

38.604.672

317

Kab. Tojo Una Una


79.798.985

79.798.985

Provinsi Sulawesi Tengah

26 - Lampiran

Lampiran

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

JUMLAH DBH

1.019.341.704

111.471.682.128

XXIV

Provinsi Sulawesi Selatan

318

Kab. Bantaeng

2.008.224.371

319

Kab. Barru

2.008.224.371

320

Kab. Bone

2.008.224.371

321

Kab. Bulukumba

2.008.224.371

322

Kab. Enrekang

2.008.224.371

323

Kab. G o w a

2.008.224.371

324

Kab. Jeneponto

2.008.224.371

5.740.800

2.013.965.171

325

Kab. Luwu

2.008.224.371

48.666.528

2.056.890.899

326

Kab. Luwu Utara

2.008.224.371

36.406.464

2.044.630.835

327

Kab. M a r o s

2.008.224.371

2.008.224.371

328

Kab. Pangkajene Kepulauan

2.008.224.371

2.008.224.371

329

Kab. Pinrang

2.008.224.371

2.008.224.371

330

Kab. Selayar

2.008.224.371

2.008.224.371

331

Kab. Sidenreng Rappang

2.008.224.371

332

Kab. Sinjai

2.008.224.371

333

Kab. Soppeng

2.008.224.371

334

Kab. Takalar

2.008.224.371

335

Kab. Tana Toraja

2.008.224.371

336

Kab. Wajo

2.008.224.371

337

Kota Pare-pare

2.008.224.371

2.008.224.371

338

Kota Makassar

2.008.224.371

2.008.224.371

339

Kota Palopo

340

Kab. Luwu Timur

44.180.936.170

675.992.448

44.856.928.618

Provinsi Sulawesi Selatan

22.090.468.085

203.868.341

22.294.336.426

34.773.285.558

735.759.200

35.509.044.758

1.545.479.358

25.006.016

1.570.485.374

XXV

Provinsi Sulawesi Barat

341

Kab. Majene

342

Kab. Mamuju

343

Kab. Polewali Mandar

344

Kab. Mamasa

345

Kab. Mamuju Utara

110.452.340.424

LANDRENT

2.008.224.371
2.008.224.371
5.888.000

2.014.112.371
2.008.224.371

5.953.190

2.014.177.562
2.008.224.371

23.757.408

2.031.981.779
2.008.224.371
2.008.224.371

11.406.131

2.019.630.503
2.008.224.371

1.662.394

2.008.224.371

2.009.886.765

2.008.224.371

Provinsi Sulawesi Barat


XXVI

Provinsi Sulawesi Tenggara

346

Kab. Buton

347

Kab. Konawe

1.545.479.358

121.764.672

1.667.244.030

348

Kab. Kolaka

13.909.314.223

259.318.592

14.168.632.815

349

Kab. Muna

1.545.479.358

1.545.479.358

350

Kota Kendari

1.545.479.358

1.545.479.358

351

Kota Bau-bau

1.545.479.358

352

Kab. Konawe Selatan

1.545.479.358

82.238.784

1.627.718.142

353

Kab. Bombana

1.545.479.358

19.814.208

1.565.293.566

1.545.479.358

Lampiran - 27

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

354

Kab. Wakatobi

1.545.479.358

355

Kab. Kolaka Utara

1.545.479.358

80.465.088

1.625.944.446

Provinsi Sulawesi Tenggara

6.954.657.112

147.151.840

7.101.808.952

XXVII

Provinsi Bali

356

Kab. Badung

357

Kab. Bangli

358

Kab. Buleleng

359

Kab. Gianyar

360

Kab. Jembrana

361

Kab. Karangasem

362

Kab. Klungkung

363

Kab. Tabanan

364

Kota Denpasar

1.545.479.358

Provinsi Bali
XXVIII

135.356.664.000

2.111.995.760

137.468.659.760

365

Provinsi Nusa Tenggara Barat


Kab. Bima

6.767.833.200

21.332.416

6.789.165.616

366

Kab. Dompu

6.767.833.200

105.149.952

6.872.983.152

367

Kab. Lombok Barat

6.767.833.200

6.767.833.200

368

Kab. Lombok Tengah

6.767.833.200

6.767.833.200

369

Kab. Lombok Timur

6.767.833.200

6.767.833.200

370

Kab. Sumbawa

6.767.833.200

371

Kota Mataram

6.767.833.200

372

Kota Bima

373

Kab. Sumbawa Barat

54.142.665.600

918.155.520

55.060.821.120

644.958.720

7.412.791.920
6.767.833.200

6.767.833.200

6.767.833.200

Provinsi Nusa Tenggara Barat

27.071.332.800

422.399.152

27.493.731.952

XXIX

Provinsi Nusa Tenggara Timur

182.000.000

44.928.800

226.928.800

374

Kab. Alor

4.853.333

4.853.333

375

Kab. Belu

4.853.333

4.853.333

376

Kab. Ende

4.853.333

4.853.333

377

Kab. Flores Timur

4.853.333

4.853.333

378

Kab. Kupang

4.853.333

4.853.333

379

Kab. Lembata

4.853.333

4.853.333

380

Kab. Manggarai

381

Kab. Ngada

4.853.333

4.853.333

382

Kab. Sikka

4.853.333

4.853.333

383

Kab. Sumba Barat

4.853.333

4.853.333

384

Kab. Sumba Timur

4.853.333

4.853.333

385

Kab. Timor Tengah Selatan

4.853.333

4.853.333

386

Kab. Timor Tengah Utara

4.853.333

4.853.333

387

Kota Kupang

4.853.333

4.853.333

388

Kab. Rote Ndao

4.853.333

4.853.333

28 - Lampiran

72.800.000

29.629.440

102.429.440

Lampiran

NO
389

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
Kab. Manggarai Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur

ROYALTI

LANDRENT

JUMLAH DBH

4.853.333

6.313.600

11.166.933

36.400.000

8.985.760

45.385.760

XXX

Provinsi Maluku

9.062.400

9.062.400

390

Kab. Maluku Tenggara Barat

4.209.920

4.209.920

391

Kab. Maluku Tengah

392

Kab. Maluku Tenggara

3.040.000

3.040.000

393

Kab. Pulau Buru

394

Kota Ambon

395

Kab. Seram Bagian Barat

396

Kab. Seram Bagian Timur

397

Kab. Kepulauan Aru


1.812.480

1.812.480

Provinsi Maluku
XXXI

Provinsi Maluku Utara

88.080.076.705

1.283.732.181

89.363.808.886

398

Kab. Halmahera Tengah

5.281.756.218

195.513.553

5.477.269.771

399

Kab. Halmahera Barat

5.033.147.240

5.033.147.240

400

Kota Ternate

5.033.147.240

5.033.147.240

401

Kab. Halmahera Timur

30.175.821.247

402

Kota Tidore Kepulauan

5.033.147.240

403

Kab. Kepulauan Sula

5.033.147.240

404

Kab. Halmahera Selatan

5.033.147.240

1.544.320

405

Kab. Halmahera Utara

9.840.747.697

144.246.720

9.984.994.417

Provinsi Maluku Utara

17.616.015.341

256.746.436

17.872.761.777

531.055.444.800

2.772.065.880

533.827.510.680

XXXII

Provinsi Papua

685.681.152

30.861.502.399
5.033.147.240
5.033.147.240
5.034.691.560

406

Kab. Biak Numfor

11.180.114.627

11.180.114.627

407

Kab. Jayapura

11.180.114.627

24.507.360

11.204.621.987

408

Kab. Jayawijaya

11.180.114.627

71.801.952

11.251.916.579

409

Kab. Merauke

11.180.114.627

410

Kab. Mimika

212.422.177.920

480.252.000

212.902.429.920

411

Kab. Nabire

11.180.114.627

447.367.200

11.627.481.827

412

Kab. Paniai

11.180.114.627

495.887.904

11.676.002.531

413

Kab. Puncak Jaya

11.180.114.627

81.810.240

11.261.924.867

414

Kab. Yapen Waropen

11.180.114.627

415

Kota Jayapura

11.180.114.627

416

Kab. Sarmi

11.180.114.627

315.283.392

11.495.398.019

417

Kab. Keerom

11.180.114.627

116.584.800

11.296.699.427

418

Kab. Yahukimo

11.180.114.627

419

Kab. Pegunungan Bintang

11.180.114.627

420

Kab. Tolikara

11.180.114.627

421

Kab. Boven Digoel

11.180.114.627

11.180.114.627

422

Kab. Mappi

11.180.114.627

11.180.114.627

423

Kab. Asmat

11.180.114.627

11.180.114.627

11.180.114.627

11.180.114.627
11.180.114.627

11.180.114.627
11.180.114.627
121.215.456

11.301.330.083

Lampiran - 29

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ROYALTI

424

Kab. Waropen

11.180.114.627

425

Kab. Supiori

11.180.114.627

Provinsi Papua
XXXIII

106.211.088.960

Provinsi Irian Jaya Barat

426

Kab. Sorong

427

Kab. Manokwari

428

Kab. Fak Fak

429

Kota Sorong

430

Kab. Sorong Selatan

431

Kab. Raja Ampat

432

Kab. Teluk Bintuni

433

Kab. Teluk Wondama

434

Kab. Kaimana
Provinsi Irian Jaya Barat
Total Nasional

30 - Lampiran

2.803.974.242.784

LANDRENT
692.942.400

JUMLAH DBH
11.243.057.027
11.180.114.627

544.413.176

106.765.502.136

281.941.776

281.941.776

11.727.821

11.727.821

213.825.600

213.825.600

56.388.355

56.388.355

47.396.948.567 2.851.371.191.351

Lampiran

Lampiran 5

RINCIAN DANA ALOKASI UMUM DAERAH PROVINSI


DAN KABUPATEN/KOTA*)
TAHUN 2007

(dalam ribuan rupiah)


NO

DAERAH

JUMLAH

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

487,934,000

Kab. Aceh Barat

267,201,000

Kab. Aceh Besar

335,436,000

Kab. Aceh Selatan

277,663,000

Kab. Aceh Singkil

206,859,000

Kab. Aceh Tengah

274,186,000

Kab. Aceh Tenggara

252,480,000

Kab. Aceh Timur

285,679,000

Kab. Aceh Utara

203,868,000

Kab. Bireun

345,885,000

10

Kab. Aceh Pidie

431,940,000

11

Kab. Simeulue

184,733,000

12

Kota Banda Aceh

308,839,000

13

Kota Sabang

171,896,000

14

Kota Langsa

193,579,000

15

Kota Lhokseumawe

211,310,000

16

Kab. Nagan Raya

221,841,000

17

Kab. Aceh Jaya

191,893,000

18

Kab. Aceh Barat Daya

200,729,000

19

Kab. Gayo Lues

200,632,000

20

Kab. Aceh Tamiang

213,428,000

21

Kab. Bener Meriah

198,360,000

II

Provinsi Sumatera Utara

657,357,000

Kab. Asahan

546,637,000

Kab. Dairi

304,080,000

Lampiran - 31

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Deli Serdang

708,480,000

Kab. Tanah Karo

373,637,000

Kab. Labuhan Batu

536,778,000

Kab. Langkat

545,650,000

Kab. Mandailing Natal

338,364,000

Kab. Nias

343,779,000

Kab. Simalungun

586,985,000

10

Kab. Tapanuli Selatan

501,085,000

11

Kab. Tapanuli Tengah

259,019,000

12

Kab. Tapanuli Utara

320,942,000

13

Kab. Toba Samosir

239,982,000

14

Kota Binjai

254,241,000

15

Kota Medan

748,707,000

16

Kota Pematang Siantar

278,407,000

17

Kota Sibolga

184,634,000

18

Kota Tanjung Balai

197,642,000

19

Kota Tebing Tinggi

200,708,000

20

Kota Padang Sidempuan

225,865,000

21

Kab. Pakpak Bharat

145,900,000

22

Kab. Nias Selatan

231,315,000

23

Kab. Humbang Hasundutan

234,493,000

24

Kab. Serdang Berdagai

344,516,000

25

Kab. Samosir

202,774,000

III

Provinsi Sumatera Barat

546,332,000

Kab. Limapuluh Koto

344,547,000

Kab. Agam

377,132,000

Kab. Kepulauan Mentawai

236,058,000

Kab. Padang Pariaman

352,452,000

Kab. Pasaman

263,891,000

Kab. Pesisir Selatan

380,657,000

Kab. Sawahlunto Sijunjung

243,480,000

Kab. Solok

325,791,000

32 - Lampiran

Lampiran

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Tanah Datar

334,472,000

10

Kota Bukit Tinggi

211,433,000

11

Kota Padang Panjang

169,805,000

12

Kota Padang

565,100,000

13

Kota Payakumbuh

205,435,000

14

Kota Sawahlunto

167,833,000

15

Kota Solok

182,247,000

16

Kota Pariaman

194,522,000

17

Kab. Pasaman Barat

271,069,000

18

Kab. Dharmasraya

218,596,000

19

Kab. Solok Selatan

188,488,000

IV

Provinsi Riau

277,659,000

Kab. Bengkalis

206,723,000

Kab. Indragiri Hilir

368,790,000

Kab. Indragiri Hulu

235,911,000

Kab. Kampar

241,850,000

Kab. Kuantan Singingi

272,524,000

Kab. Pelalawan

188,874,000

Kab. Rokan Hilir

91,848,000

Kab. Rokan Hulu

198,579,000

Kab. Siak

10

Kota Dumai

124,459,000

11

Kota Pekanbaru

327,161,000

Provinsi Riau Kepulauan

333,333,000

Kab. Bintan

152,286,000

Kab. Natuna

159,405,000

Kab. Karimun

224,259,000

Kota Batam

219,300,000

Kota Tanjung Pinang

206,735,000

Kab. Lingga

161,174,000

VI

Provinsi Jambi

415,018,000

Kab. Batanghari

237,751,000

95,609,000

Lampiran - 33

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Bungo

302,950,000

Kab. Kerinci

356,557,000

Kab. Merangin

310,445,000

Kab. Muaro Jambi

244,321,000

Kab. Sarolangun

240,533,000

Kab. Tanjung Jabung Barat

230,642,000

Kab. Tanjung Jabung Timur

205,866,000

Kab. Tebo

253,907,000

10

Kota Jambi

335,549,000

VII

Provinsi Sumatera Selatan

510,197,000

Kab. Lahat

370,487,000

Kab. Musi Banyuasin

190,145,000

Kab. Musi Rawas

410,612,000

Kab. Muara Enim

335,566,000

Kab. Ogan Komering Ilir

462,135,000

Kab. Ogan Komering Ulu

296,154,000

Kota Palembang

659,611,000

Kota Pagar Alam

163,339,000

Kota Lubuk Linggau

191,501,000

10

Kota Prabumulih

161,515,000

11

Kab. Banyuasin

384,981,000

12

Kab. Ogan Ilir

260,428,000

13

Kab. OKU Timur

326,475,000

14

Kab. OKU Selatan

224,738,000

VIII

Provinsi Bangka Belitung

319,357,000

Kab. Bangka

240,378,000

Kab. Belitung

218,195,000

Kota Pangkal Pinang

216,914,000

Kab. Bangka Selatan

190,478,000

Kab. Bangka Tengah

169,892,000

Kab. Bangka Barat

188,769,000

Kab. Belitung Timur

192,853,000

34 - Lampiran

Lampiran

NO

DAERAH

JUMLAH

IX

Provinsi Bengkulu

405,858,000

Kab. Bengkulu Selatan

242,370,000

Kab. Bengkulu Utara

341,399,000

Kab. Rejang Lebong

291,055,000

Kota Bengkulu

311,197,000

Kab. Kaur

174,316,000

Kab. Seluma

209,887,000

Kab. Mukomuko

200,305,000

Kab. Lebong

183,357,000

Kab. Kepahiang

190,558,000

Provinsi Lampung

509,656,000

Kab. Lampung Barat

288,264,000

Kab. Lampung Selatan

600,921,000

Kab. Lampung Tengah

599,805,000

Kab. Lampung Utara

395,803,000

Kab. Lampung Timur

487,543,000

Kab. Tanggamus

495,346,000

Kab. Tulang Bawang

400,619,000

Kab. Way Kanan

274,211,000

Kota Bandar Lampung

464,191,000

10

Kota Metro

202,405,000

XI

Provinsi DKI Jakarta

119,943,000

XII

Provinsi Jawa Barat

933,436,000

Kab. Bandung

1,351,912,000

Kab. Bekasi

430,417,000

Kab. Bogor

962,196,000

Kab. Ciamis

775,730,000

Kab. Cianjur

757,052,000

Kab. Cirebon

730,886,000

Kab. Garut

911,801,000

Kab. Indramayu

610,891,000

Kab. Karawang

622,602,000

Lampiran - 35

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

DAERAH

JUMLAH

10

Kab. Kuningan

544,045,000

11

Kab. Majalengka

555,540,000

12

Kab. Purwakarta

366,484,000

13

Kab. Subang

560,645,000

14

Kab. Sukabumi

759,683,000

15

Kab. Sumedang

551,711,000

16

Kab. Tasikmalaya

718,561,000

17

Kota Bandung

827,608,000

18

Kota Bekasi

522,199,000

19

Kota Bogor

355,776,000

20

Kota Cirebon

304,470,000

21

Kota Depok

381,095,000

22

Kota Sukabumi

285,095,000

23

Kota Cimahi

270,848,000

24

Kota Tasikmalaya

369,950,000

25

Kota Banjar

273,232,000

XIII

Provinsi Banten

330,597,000

Kab. Lebak

507,639,000

Kab. Pandeglang

524,411,000

Kab. Serang

605,720,000

Kab. Tangerang

693,643,000

Kota Cilegon

223,328,000

Kota Tangerang

376,145,000

XIV

Provinsi Jawa Tengah

1,050,732,000

Kab. Banjarnegara

452,544,000

Kab. Banyumas

654,154,000

Kab. Batang

362,659,000

Kab. Blora

447,775,000

Kab. Boyolali

528,505,000

Kab. Brebes

657,982,000

Kab. Cilacap

743,064,000

Kab. Demak

438,288,000

36 - Lampiran

Lampiran

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Grobogan

563,699,000

10

Kab. Jepara

461,230,000

11

Kab. Karanganyar

459,156,000

12

Kab. Kebumen

585,365,000

13

Kab. Kendal

453,755,000

14

Kab. Klaten

694,207,000

15

Kab. Kudus

421,953,000

16

Kab. Magelang

548,521,000

17

Kab. Pati

559,748,000

18

Kab. Pekalongan

411,159,000

19

Kab. Pemalang

530,443,000

20

Kab. Purbalingga

416,181,000

21

Kab. Purworejo

471,735,000

22

Kab. Rembang

361,876,000

23

Kab. Semarang

455,990,000

24

Kab. Sragen

513,575,000

25

Kab. Sukoharjo

460,662,000

26

Kab. Tegal

550,407,000

27

Kab. Temanggung

389,124,000

28

Kab. Wonogiri

556,874,000

29

Kab. Wonosobo

389,671,000

30

Kota Magelang

235,917,000

31

Kota Pekalongan

235,899,000

32

Kota Salatiga

212,614,000

33

Kota Semarang

586,736,000

34

Kota Surakarta

374,501,000

35

Kota Tegal

220,303,000

XV

Provinsi DI Yogyakarta

437,379,000

Kab. Bantul

524,293,000

Kab. Gunung Kidul

459,851,000

Kab. Kulon Progo

374,760,000

Kab. Sleman

543,065,000

Kota Yogyakarta

365,042,000

Lampiran - 37

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO
XVI

DAERAH
Provinsi Jawa Timur

JUMLAH
1,091,155,000

Kab. Bangkalan

430,851,000

Kab. Banyuwangi

698,228,000

Kab. Blitar

587,733,000

Kab. Bojonegoro

552,361,000

Kab. Bondowoso

397,430,000

Kab. Gresik

452,286,000

Kab. Jember

861,126,000

Kab. Jombang

532,595,000

Kab. Kediri

635,830,000

10

Kab. Lamongan

540,603,000

11

Kab. Lumajang

479,591,000

12

Kab. Madiun

421,464,000

13

Kab. Magetan

451,962,000

14

Kab. Malang

880,921,000

15

Kab. Mojokerto

450,454,000

16

Kab. Nganjuk

539,899,000

17

Kab. Ngawi

493,983,000

18

Kab. Pacitan

371,997,000

19

Kab. Pamekasan

410,702,000

20

Kab. Pasuruan

532,901,000

21

Kab. Ponorogo

490,926,000

22

Kab. Probolinggo

484,750,000

23

Kab. Sampang

370,902,000

24

Kab. Sidoarjo

588,073,000

25

Kab. Situbondo

383,831,000

26

Kab. Sumenep

492,667,000

27

Kab. Trenggalek

431,681,000

28

Kab. Tuban

470,385,000

29

Kab. Tulungagung

564,916,000

30

Kota Blitar

194,040,000

31

Kota Kediri

350,377,000

38 - Lampiran

Lampiran

NO

DAERAH

JUMLAH

32

Kota Madiun

238,456,000

33

Kota Malang

417,300,000

34

Kota Mojokerto

212,039,000

35

Kota Pasuruan

203,153,000

36

Kota Probollinggo

225,555,000

37

Kota Surabaya

639,590,000

38

Kota Batu

188,025,000

Provinsi Kalimantan Barat

610,890,000

Kab. Bengkayang

262,219,000

Kab. Landak

319,568,000

Kab. Kapuas Hulu

458,779,000

Kab. Ketapang

588,702,000

Kab. Pontianak

485,795,000

Kab. Sambas

395,227,000

Kab. Sanggau

389,605,000

Kab. Sintang

488,394,000

Kota Pontianak

369,581,000

10

Kota Singkawang

237,907,000

11

Kab. Sekadau

216,970,000

12

Kab. Melawi

256,154,000

Provinsi Kalimantan Tengah

571,290,000

Kab. Barito Selatan

290,368,000

Kab. Barito Utara

282,513,000

Kab. Kapuas

434,371,000

Kab. Kotawaringin Barat

328,975,000

Kab. Kotawaringin Timur

399,216,000

Kota Palangkaraya

299,830,000

Kab. Barito Timur

233,714,000

Kab. Murung Raya

352,655,000

Kab. Pulang Pisau

263,522,000

10

Kab. Gunung Mas

273,756,000

11

Kab. Lamandau

231,480,000

XVII

XVIII

Lampiran - 39

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

DAERAH

JUMLAH

12

Kab. Sukamara

239,689,000

13

Kab. Katingan

349,098,000

14

Kab. Seruyan

300,900,000

XIX

Provinsi Kalimantan Selatan

427,994,000

Kab. Banjar

339,303,000

Kab. Barito Kuala

263,669,000

Kab. Hulu Sungai Selatan

267,283,000

Kab. Hulu Sungai Tengah

263,020,000

Kab. Hulu Sungai Utara

218,943,000

Kab. Kota Baru

313,543,000

Kab. Tabalong

226,888,000

Kab. Tanah Laut

252,597,000

Kab. Tapin

233,526,000

10

Kota Banjar Baru

190,679,000

11

Kota Banjarmasin

361,095,000

12

Kab. Balangan

160,641,000

13

Kab. Tanah Bumbu

224,935,000

XX

Provinsi Kalimantan Timur

235,743,000

Kab. Berau

295,970,000

Kab. Bulungan

204,324,000

Kab. Kutai Kartanegara

297,814,000

Kab. Kutai Barat

331,974,000

Kab. Kutai Timur

273,571,000

Kab. Malinau

370,745,000

Kab. Nunukan

141,814,000

Kab. Pasir

173,168,000

Kota Balikpapan

179,471,000

10

Kota Bontang

11

Kota Samarinda

12

Kota Tarakan

72,991,000

13

Kab. Penajam Paser Utara

52,632,000

40 - Lampiran

75,718,000
288,805,000

Lampiran

NO
XXI

DAERAH

JUMLAH

Provinsi Sulawesi Utara

447,037,000

Kab. Bolaang Mongondow

427,184,000

Kab. Minahasa

337,027,000

Kab. Sangihe

306,399,000

Kota Bitung

243,233,000

Kota Manado

374,754,000

Kab. Kepulauan Talaud

221,981,000

Kab. Minahasa Selatan

303,705,000

Kota Tomohon

182,495,000

Kab. Minahasa Utara

227,809,000

XXII

Provinsi Gorontalo

291,394,000

Kab. Boalemo

174,613,000

Kab. Gorontalo

335,122,000

Kota Gorontalo

230,813,000

Kab. Pohuwato

192,720,000

Kab. Bone Bolango

196,016,000

Provinsi Sulawesi Tengah

502,129,000

Kab. Banggai

387,407,000

Kab. Banggai Kepulauan

236,725,000

Kab. Buol

219,916,000

Kab. Toli-Toli

274,713,000

Kab. Donggala

451,257,000

Kab. Morowali

343,480,000

Kab. Poso

330,252,000

Kota Palu

320,761,000

Kab. Parigi Moutong

323,158,000

10

Kab. Tojo Una Una

218,426,000

Provinsi Sulawesi Selatan

599,508,000

Kab. Bantaeng

206,737,000

Kab. Barru

229,246,000

Kab. Bone

494,234,000

Kab. Bulukumba

332,719,000

XXIII

XXIV

Lampiran - 41

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Enrekang

230,254,000

Kab. G o w a

379,657,000

Kab. Jeneponto

280,676,000

Kab. Luwu

289,606,000

Kab. Luwu Utara

268,664,000

10

Kab. M a r o s

286,004,000

11

Kab. Pangkajene Kepulauan

266,302,000

12

Kab. Pinrang

313,755,000

13

Kab. Selayar

217,506,000

14

Kab. Sidenreng Rappang

265,277,000

15

Kab. Sinjai

255,440,000

16

Kab. Soppeng

292,386,000

17

Kab. Takalar

264,008,000

18

Kab. Tana Toraja

362,625,000

19

Kab. Wajo

305,940,000

20

Kota Pare-pare

208,125,000

21

Kota Makassar

583,842,000

22

Kota Palopo

202,459,000

23

Kab. Luwu Timur

216,885,000

Provinsi Sulawesi Barat

279,253,000

Kab. Majene

221,772,000

Kab. Mamuju

313,748,000

Kab. Polewali Mandar

301,085,000

Kab. Mamasa

188,531,000

Kab. Mamuju Utara

163,409,000

Provinsi Sulawesi Tenggara

461,841,000

Kab. Buton

290,634,000

Kab. Konawe

404,024,000

Kab. Kolaka

339,571,000

Kab. Muna

374,261,000

Kota Kendari

286,250,000

Kota Bau-bau

229,205,000

XXV

XXVI

42 - Lampiran

Lampiran

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Konawe Selatan

275,125,000

Kab. Bombana

193,896,000

Kab. Wakatobi

181,345,000

10

Kab. Kolaka Utara

207,298,000

XXVII

Provinsi Bali

436,533,000

Kab. Badung

263,808,000

Kab. Bangli

233,791,000

Kab. Buleleng

468,732,000

Kab. Gianyar

347,800,000

Kab. Jembrana

278,583,000

Kab. Karangasem

313,036,000

Kab. Klungkung

247,321,000

Kab. Tabanan

371,722,000

Kota Denpasar

331,448,000

Provinsi Nusa Tenggara Barat

447,658,000

Kab. Bima

374,364,000

Kab. Dompu

262,090,000

Kab. Lombok Barat

420,874,000

Kab. Lombok Tengah

445,821,000

Kab. Lombok Timur

522,757,000

Kab. Sumbawa

365,080,000

Kota Mataram

287,589,000

Kota Bima

204,865,000

Kab. Sumbawa Barat

147,770,000

Provinsi Nusa Tenggara Timur

553,589,000

Kab. Alor

256,249,000

Kab. Belu

344,589,000

Kab. Ende

278,452,000

Kab. Flores Timur

271,659,000

Kab. Kupang

382,802,000

Kab. Lembata

188,166,000

Kab. Manggarai

348,963,000

XXVIII

XXIX

Lampiran - 43

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Ngada

278,275,000

Kab. Sikka

279,124,000

10

Kab. Sumba Barat

302,572,000

11

Kab. Sumba Timur

293,655,000

12

Kab. Timor Tengah Selatan

355,802,000

13

Kab. Timor Tengah Utara

258,755,000

14

Kota Kupang

277,705,000

15

Kab. Rote Ndao

182,910,000

16

Kab. Manggarai Barat

206,094,000

Provinsi Maluku

476,048,000

Kab. Maluku Tenggara Barat

374,271,000

Kab. Maluku Tengah

500,035,000

Kab. Maluku Tenggara

243,635,000

Kab. Pulau Buru

250,617,000

Kota Ambon

318,722,000

Kab. Seram Bagian Barat

256,229,000

Kab. Seram Bagian Timur

170,543,000

Kab. Kepulauan Aru

191,940,000

XXXI

Provinsi Maluku Utara

370,724,000

Kab. Halmahera Tengah

193,844,000

Kab. Halmahera Barat

191,424,000

Kota Ternate

244,043,000

Kab. Halmahera Timur

197,485,000

Kota Tidore Kepulauan

206,550,000

Kab. Kepulauan Sula

233,404,000

Kab. Halmahera Selatan

271,379,000

Kab. Halmahera Utara

240,244,000

XXXII

Provinsi Papua

876,295,000

Kab. Biak Numfor

309,850,000

Kab. Jayapura

422,740,000

Kab. Jayawijaya

356,119,000

Kab. Merauke

607,522,000

XXX

44 - Lampiran

Lampiran

NO

DAERAH

JUMLAH

Kab. Mimika

221,664,000

Kab. Nabire

402,255,000

Kab. Paniai

410,794,000

Kab. Puncak Jaya

361,492,000

Kab. Yapen Waropen

251,360,000

10

Kota Jayapura

322,303,000

11

Kab. Sarmi

461,469,000

12

Kab. Keerom

270,045,000

13

Kab. Yahukimo

356,889,000

14

Kab. Pegunungan Bintang

324,659,000

15

Kab. Tolikara

277,690,000

16

Kab. Boven Digoel

398,819,000

17

Kab. Mappi

373,497,000

18

Kab. Asmat

376,173,000

19

Kab. Waropen

299,579,000

20

Kab. Supiori

182,311,000

Provinsi Irian Jaya Barat

464,871,000

Kab. Sorong

261,519,000

Kab. Manokwari

377,745,000

Kab. Fak Fak

333,914,000

Kota Sorong

240,153,000

Kab. Sorong Selatan

383,109,000

Kab. Raja Ampat

264,871,000

Kab. Teluk Bintuni

287,441,000

Kab. Teluk Wondama

209,232,000

Kab. Kaimana

336,312,000

XXXIII

Total Provinsi

16,478,740,000

Total Kabupaten / Kota

148,308,660,000

Total Nasional

164,787,400,000

*) Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2006, Tanggal 18 Desember 2006

Lampiran - 45

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 6

Dana Penyesuaian DAU Tahun 2007


(dalam ribu rupiah)

NO

DAERAH

Jumlah

Provinsi DKI Jakarta

Provinsi Kalimantan Timur

21,365,200

Provinsi Gorontalo

99,996,500

Kota Kediri

8,754,900

Kab. Minahasa Utara

6,023,500

Kab. Sinjai

29,262,900

Kab. Jayapura

11,972,000

Kab. Mimika

12,457,000

MENTERI KEUANGAN,
ttd,
SRI MULYANI INDRAWATI

46 - Lampiran

653,081,500

Total Provinsi

774,443,200

Total Kabupaten / Kota

68,470,300

Total Nasional

842,913,500

I
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
II
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
III
47
48

NO

Bidang
Pendidikan

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


Kab. Aceh Barat
10.981.000
Kab. Aceh Besar
11.533.000
Kab. Aceh Selatan
11.027.000
Kab. Aceh Singkil
11.212.000
Kab. Aceh Tengah
11.515.000
Kab. Aceh Tenggara
9.773.000
Kab. Aceh Timur
11.333.000
Kab. Aceh Utara
11.009.000
Kab. Bireun
10.822.000
Kab. Aceh Pidie
14.844.000
Kab. Simeulue
13.321.000
Kota Banda Aceh
12.804.000
Kota Sabang
10.371.000
Kota Langsa
9.169.000
Kota Lhokseumawe
8.931.000
Kab. Nagan Raya
10.164.000
Kab. Aceh Jaya
8.996.000
Kab. Aceh Barat Daya
9.286.000
Kab. Gayo Lues
7.822.000
Kab. Aceh Tamiang
9.718.000
Kab. Bener Meriah
11.017.000
Provinsi Sumatera Utara
Kab. Asahan
21.933.000
Kab. Dairi
12.121.000
Kab. Deli Serdang
23.587.000
Kab. Tanah Karo
13.295.000
Kab. Labuhan Batu
2.668.000
Kab. Langkat
16.874.000
Kab. Mandailing Natal
12.048.000
Kab. Nias
18.279.000
Kab. Simalungun
23.163.000
Kab. Tapanuli Selatan
16.076.000
Kab. Tapanuli Tengah
11.779.000
Kab. Tapanuli Utara
15.015.000
Kab. Toba Samosir
13.534.000
Kota Binjai
8.121.000
Kota Medan
2.508.000
Kota Pematang Siantar
10.181.000
Kota Sibolga
9.185.000
Kota Tanjung Balai
9.076.000
Kota Tebing Tinggi
8.372.000
Kota Padang Sidempuan
8.323.000
Kab. Pakpak Bharat
10.107.000
Kab. Nias Selatan
12.335.000
Kab. Humbang Hasundutan
10.220.000
Kab. Serdang Berdagai
12.521.000
Kab. Samosir
13.443.000
Provinsi Sumatera Barat
Kab. Limapuluh Kota
15.141.000
Kab. Agam
14.509.000

Daerah

8.127.000
8.835.000
7.283.000
6.265.000
7.819.000
6.585.000
9.433.000
10.114.000
9.132.000
9.209.000
7.678.000
6.873.000
6.733.000
5.937.000
4.705.000
6.313.000
5.254.000
5.753.000
4.384.000
6.588.000
6.917.000
13.429.000
13.132.000
9.106.000
10.047.000
2.482.000
9.277.000
10.733.000
15.397.000
12.043.000
15.723.000
6.750.000
8.470.000
11.637.000
4.196.000
1.960.000
4.515.000
4.654.000
4.806.000
4.586.000
4.042.000
6.992.000
9.943.000
6.619.000
7.341.000
10.037.000
9.305.000
9.864.000

11.521.000
9.490.000
11.488.000
10.187.000
2.113.000
10.182.000
9.072.000
14.113.000
9.307.000
15.496.000
7.922.000
9.192.000
9.070.000
4.067.000
1.907.000
4.426.000
4.984.000
4.881.000
4.246.000
4.498.000
6.354.000
10.847.000
6.139.000
8.358.000
9.109.000

10.040.000
10.037.000

Jalan

7.757.000
8.974.000
8.235.000
8.085.000
9.099.000
6.386.000
10.464.000
11.066.000
9.235.000
9.054.000
7.737.000
6.293.000
6.146.000
5.329.000
4.780.000
7.980.000
5.745.000
6.692.000
4.890.000
6.800.000
7.151.000

Bidang
Kesehatan

Lampiran - 47
3.944.000
4.214.000

992.000
1.426.000
1.912.000
3.106.000
1.534.000
1.456.000
2.817.000

2.088.000
2.669.000
2.824.000
4.589.000
633.000
2.693.000
2.008.000
2.864.000
4.247.000
2.577.000
2.744.000
3.127.000
2.938.000

1.829.000
1.674.000
2.061.000
1.435.000
1.106.000
1.947.000

2.062.000
3.074.000
2.510.000
1.738.000
2.753.000
2.799.000
1.927.000
1.409.000
2.475.000
3.717.000
2.312.000

Irigasi

2.582.000
2.617.000

3.041.000
2.547.000
2.890.000
2.739.000
670.000
3.060.000
3.381.000
3.609.000
2.610.000
7.957.000
2.511.000
2.787.000
2.830.000
1.698.000
574.000
1.717.000
1.907.000
2.028.000
1.744.000
1.755.000
2.273.000
3.221.000
2.288.000
2.553.000
3.184.000

2.900.000
3.483.000
2.918.000
3.190.000
3.471.000
2.653.000
3.621.000
3.729.000
3.056.000
4.674.000
2.443.000
2.197.000
2.081.000
1.966.000
1.877.000
2.557.000
2.515.000
2.333.000
2.206.000
2.528.000
2.209.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

2.355.000
2.862.000

3.191.000
2.232.000
2.774.000
2.069.000
618.000
2.960.000
3.746.000
4.270.000
2.510.000
2.339.000
2.379.000
2.288.000
2.416.000
1.452.000
605.000
1.594.000
2.254.000
1.711.000
1.642.000
1.632.000
2.004.000
3.218.000
1.777.000
2.329.000
2.415.000

2.583.000
2.644.000
2.798.000
2.287.000
2.444.000
2.341.000
3.086.000
2.793.000
2.783.000
2.519.000
2.815.000
2.176.000
2.359.000
1.950.000
1.794.000
2.489.000
2.177.000
1.965.000
1.475.000
2.048.000
1.878.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan

5.019.000
4.785.000

5.385.000
3.858.000
4.685.000
4.297.000
1.270.000
4.546.000
3.151.000
3.928.000
4.642.000
5.656.000
2.932.000
3.561.000
3.667.000
2.026.000
742.000
1.992.000
2.363.000
2.140.000
1.955.000
2.257.000
2.743.000
3.743.000
2.570.000
2.811.000
3.722.000

4.694.000
4.664.000
3.404.000
4.041.000
4.575.000
4.600.000
6.080.000
3.983.000
5.222.000
5.135.000
3.427.000
3.027.000
2.787.000
2.313.000
1.968.000
3.357.000
2.984.000
2.985.000
2.480.000
3.100.000
3.105.000

Bidang
Pertanian

882.000
2.150.000
2.981.000
941.000
960.000
2.783.000

8.460.000

7.848.000

970.000
927.000
2.153.000
2.243.000
1.867.000
1.298.000
1.655.000
2.068.000

3.435.000

2.813.000
2.469.000
3.011.000

2.895.000

Bidang
Praspem

779.000
848.000

857.000
783.000
846.000
776.000
162.000
849.000
857.000
890.000
757.000
897.000
675.000
773.000
809.000
826.000
218.000
853.000
1.392.000
873.000
937.000
751.000
751.000
887.000
704.000
709.000
827.000

1.054.000
787.000
819.000
821.000
858.000
824.000
919.000
695.000
773.000
899.000
791.000
728.000
743.000
688.000
721.000
821.000
763.000
765.000
689.000
718.000
755.000

Bidang
Lingkungan
Hidup

49.165.000
49.736.000

61.445.000
46.832.000
58.200.000
47.999.000
10.616.000
50.441.000
52.844.000
63.350.000
59.279.000
66.721.000
37.692.000
45.213.000
55.361.000
22.386.000
8.514.000
25.278.000
26.739.000
25.515.000
24.474.000
25.566.000
35.286.000
50.281.000
32.792.000
39.038.000
48.337.000

40.158.000
43.994.000
38.994.000
40.534.000
42.534.000
35.961.000
49.676.000
47.267.000
46.509.000
50.051.000
43.959.000
34.098.000
31.220.000
28.322.000
25.703.000
37.663.000
32.351.000
33.707.000
26.679.000
34.261.000
37.047.000

TOTAL

Lampiran

Lampiran 7

PENETAPAN ALOKASI DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2007


UNTUK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA

50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
IV
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
V
77
78
79
80
81
82
VI
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
VII
93
94
95
96
97
98
99

NO

Kab. Padang Pariaman


Kab. Pasaman
Kab. Pesisir Selatan
Kab. Sawahlunto Sijunjung
Kab. Solok
Kab. Tanah Datar
Kota Bukit Tinggi
Kota Padang Panjang
Kota Padang
Kota Payakumbuh
Kota Sawahlunto
Kota Solok
Kota Pariaman
Kab. Pasaman Barat
Kab. Dharmasraya
Kab. Solok Selatan
Provinsi Riau
Kab. Bengkalis
Kab. Indragiri Hilir
Kab. Indragiri Hulu
Kab. Kampar
Kab. Kuantan Singingi
Kab. Pelalawan
Kab. Rokan Hilir
Kab. Rokan Hulu
Kab. Siak
Kota Dumai
Kota Pekanbaru
Provinsi Riau Kepulauan
Kab. Bintan
Kab. Natuna
Kab. Karimun
Kota Batam
Kota Tanjung Pinang
Kab. Lingga
Provinsi Jambi
Kab. Batanghari
Kab. Bungo
Kab. Kerinci
Kab. Merangin
Kab. Muaro Jambi
Kab. Sarolangun
Kab. Tanjung Jabung Barat
Kab. Tanjung Jabung Timur
Kab. Tebo
Kota Jambi
Provinsi Sumatera Selatan
Kab. Lahat
Kab. Musi Banyuasin
Kab. Musi Rawas
Kab. Muara Enim
Kab. Ogan Komering Ilir
Kab. Ogan Komering Ulu
Kota Palembang

Daerah
9.199.000
7.052.000
10.676.000
6.883.000
8.274.000
8.129.000
4.910.000
3.744.000
7.648.000
3.769.000
5.103.000
5.101.000
5.228.000
6.932.000
7.028.000
6.368.000
1.951.000
2.134.000
1.992.000
2.026.000
5.698.000
1.833.000
8.924.000
5.054.000
1.755.000
1.773.000
1.814.000
2.041.000
6.133.000
1.865.000
1.870.000
5.687.000
6.034.000
5.745.000
5.636.000
8.136.000
6.980.000
8.237.000
5.461.000
2.032.000
7.324.000
6.375.000
5.654.000
8.493.000
11.334.000
11.260.000
2.124.000
9.602.000
6.717.000
1.900.000

2.407.000
2.663.000
2.427.000
2.431.000
10.513.000
2.234.000
11.224.000
10.121.000
2.173.000
2.241.000
2.335.000

2.433.000
8.559.000
2.305.000
2.320.000
9.747.000
10.429.000

9.842.000
8.920.000
13.693.000
9.975.000
9.749.000
9.943.000
2.509.000
9.913.000
10.289.000
10.449.000

14.145.000
14.251.000
15.077.000
2.642.000
15.648.000
15.911.000
2.569.000

Bidang
Kesehatan

15.346.000
13.213.000
15.014.000
10.412.000
13.633.000
13.282.000
9.293.000
8.262.000
12.358.000
8.027.000
9.257.000
9.372.000
9.444.000
11.955.000
10.487.000
10.308.000

Bidang
Pendidikan

48 - Lampiran
4.819.000
9.746.000
9.546.000
2.035.000
6.298.000
5.115.000
1.869.000

7.477.000
7.600.000
8.926.000
8.043.000
8.912.000
7.228.000
2.200.000
8.234.000
7.554.000
5.132.000

2.630.000
5.034.000
1.851.000
1.926.000
5.518.000
7.309.000

2.786.000
2.271.000
2.142.000
2.428.000
5.784.000
1.632.000
7.758.000
5.457.000
1.528.000
1.795.000
1.860.000

4.023.000
1.542.000
4.286.000
1.012.000
1.082.000
1.554.000

1.046.000
1.967.000
3.120.000
1.484.000
3.948.000
2.997.000
672.000
1.772.000
1.993.000

1.413.000

578.000
867.000

436.000
587.000
607.000
519.000
1.316.000
613.000
2.275.000
2.730.000
378.000
439.000

921.000
1.328.000
1.372.000
3.416.000
2.575.000
2.005.000
2.641.000

4.004.000
2.984.000
8.725.000
1.762.000
4.043.000
3.494.000
1.300.000
1.068.000

Irigasi

4.104.000
2.974.000
3.104.000
698.000
3.110.000
2.278.000
587.000

2.254.000
2.598.000
3.270.000
2.774.000
2.584.000
2.204.000
627.000
2.184.000
2.179.000
1.827.000

602.000
1.808.000
572.000
568.000
2.015.000
1.953.000

604.000
667.000
641.000
660.000
2.822.000
580.000
2.419.000
2.236.000
547.000
569.000
559.000

2.565.000
2.322.000
2.826.000
2.270.000
2.503.000
2.351.000
1.919.000
1.711.000
2.139.000
1.737.000
2.000.000
1.935.000
2.034.000
2.262.000
2.085.000
2.663.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

10.690.000
7.076.000
12.050.000
7.650.000
10.825.000
9.401.000
5.651.000
4.315.000
7.741.000
4.154.000
5.423.000
5.475.000
7.887.000
7.389.000
6.933.000
6.608.000

Jalan

1.772.000
1.943.000
2.265.000
586.000
3.736.000
2.443.000
554.000

2.604.000
1.594.000
2.426.000
1.819.000
2.886.000
1.657.000
596.000
2.300.000
1.928.000
2.624.000

675.000
4.177.000
664.000
698.000
2.143.000
8.600.000

603.000
647.000
562.000
631.000
1.148.000
544.000
2.254.000
1.338.000
524.000
548.000
564.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
3.001.000
2.790.000
3.871.000
1.885.000
2.304.000
2.230.000
1.894.000
1.657.000
2.210.000
1.624.000
1.874.000
1.940.000
3.425.000
1.976.000
1.834.000
1.901.000

3.605.000
4.956.000
5.215.000
1.325.000
4.411.000
4.306.000
769.000

3.867.000
4.502.000
4.727.000
5.015.000
3.608.000
3.415.000
1.059.000
3.602.000
4.164.000
2.322.000

972.000
1.972.000
759.000
738.000
2.372.000
2.125.000

924.000
1.409.000
1.132.000
1.236.000
3.241.000
877.000
3.971.000
3.249.000
696.000
723.000
742.000

5.241.000
3.692.000
4.923.000
3.961.000
4.376.000
4.653.000
2.365.000
2.045.000
2.683.000
2.027.000
2.278.000
2.371.000
2.324.000
4.382.000
3.404.000
2.747.000

Bidang
Pertanian

1.383.000

7.817.000
7.676.000

7.910.000
7.249.000

5.959.000
7.830.000
5.757.000
5.540.000
1.017.000
973.000

7.102.000
4.839.000
8.197.000
7.063.000
3.704.000
5.203.000

959.000
1.970.000
1.928.000
1.970.000

8.323.000

Bidang
Praspem

803.000
2.390.000
1.161.000
201.000
1.370.000
694.000
139.000

923.000
842.000
804.000
996.000
871.000
846.000
182.000
920.000
971.000
828.000

154.000
581.000
132.000
131.000
712.000
676.000

188.000
226.000
187.000
222.000
805.000
177.000
1.144.000
946.000
148.000
132.000
155.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
801.000
859.000
927.000
803.000
820.000
768.000
676.000
794.000
795.000
1.732.000
913.000
827.000
835.000
772.000
783.000
787.000

41.764.000
49.136.000
53.297.000
10.623.000
45.257.000
39.018.000
8.387.000

33.758.000
33.659.000
45.102.000
37.086.000
48.705.000
41.000.000
9.877.000
44.066.000
43.129.000
28.836.000

16.044.000
36.961.000
13.905.000
13.791.000
29.211.000
39.512.000

9.899.000
10.604.000
9.690.000
10.153.000
38.429.000
13.329.000
48.166.000
38.194.000
11.453.000
13.423.000
8.029.000

59.170.000
39.988.000
59.012.000
35.626.000
46.778.000
44.308.000
28.008.000
23.596.000
35.574.000
23.991.000
28.176.000
28.393.000
35.552.000
40.213.000
36.487.000
35.993.000

TOTAL

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

101
102
103
104
105
106
VIII
107
108
109
110
111
112
113
IX
114
115
116
117
118
119
120
121
122
X
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
XI
XII
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149

NO

Kota Lubuk Linggau


Kota Prabumulih
Kab. Banyuasin
Kab. Ogan Ilir
Kab. OKU Timur
Kab. OKU Selatan
Provinsi Bangka Belitung
Kab. Bangka
Kab. Belitung
Kota Pangkal Pinang
Kab. Bangka Selatan
Kab. Bangka Tengah
Kab. Bangka Barat
Kab. Belitung Timur
Provinsi Bengkulu
Kab. Bengkulu Selatan
Kab. Bengkulu Utara
Kab. Rejang Lebong
Kota Bengkulu
Kab. Kaur
Kab. Seluma
Kab. Mukomuko
Kab. Lebong
Kab. Kepahiang
Provinsi Lampung
Kab. Lampung Barat
Kab. Lampung Selatan
Kab. Lampung Tengah
Kab. Lampung Utara
Kab. Lampung Timur
Kab. Tanggamus
Kab. Tulang Bawang
Kab. Way Kanan
Kota Bandar Lampung
Kota Metro
Provinsi DKI Jakarta
Provinsi Jawa Barat
Kab. Bandung
Kab. Bekasi
Kab. Bogor
Kab. Ciamis
Kab. Cianjur
Kab. Cirebon
Kab. Garut
Kab. Indramayu
Kab. Karawang
Kab. Kuningan
Kab. Majalengka
Kab. Purwakarta
Kab. Subang
Kab. Sukabumi
Kab. Sumedang
Kab. Tasikmalaya
Kota Bandung

Daerah
3.699.000
3.316.000
9.995.000
6.560.000
7.249.000
6.005.000
8.181.000
7.527.000
6.630.000
6.398.000
6.636.000
8.268.000
6.472.000
11.629.000
12.003.000
10.003.000
7.303.000
8.620.000
8.960.000
7.645.000
7.098.000
10.182.000
8.898.000
11.714.000
9.586.000
6.631.000
10.207.000
8.854.000
8.651.000
6.047.000
9.424.000
3.475.000
2.331.000
1.881.000
2.223.000
11.963.000
11.256.000
2.122.000
13.101.000
2.112.000
2.039.000
8.630.000
8.762.000
5.789.000
11.046.000
11.200.000
8.589.000
12.087.000
1.908.000

14.455.000
10.644.000
10.936.000
9.585.000
9.922.000
11.541.000
10.079.000

16.573.000
15.105.000
12.490.000
11.485.000
11.112.000
11.010.000
9.977.000
10.616.000
15.726.000

12.200.000
21.388.000
21.322.000
15.567.000
19.386.000
15.683.000
14.013.000
10.539.000
11.868.000
7.947.000

3.672.000
2.653.000
3.193.000
33.654.000
28.930.000
2.753.000
32.519.000
2.834.000
2.632.000
20.293.000
18.271.000
12.058.000
22.409.000
32.803.000
18.050.000
31.417.000
2.488.000

Bidang
Kesehatan

7.545.000
7.333.000
13.787.000
9.765.000
12.296.000
8.710.000

Bidang
Pendidikan

1.936.000
1.770.000
1.997.000
8.354.000
9.877.000
1.921.000
7.994.000
1.950.000
1.944.000
8.930.000
5.705.000
4.741.000
8.140.000
11.234.000
5.288.000
7.456.000
1.728.000

9.766.000
8.774.000
10.486.000
7.114.000
9.947.000
6.755.000
5.669.000
7.538.000
5.179.000
3.283.000

10.819.000
12.960.000
11.030.000
6.610.000
6.539.000
8.066.000
6.718.000
6.492.000
9.750.000

8.876.000
7.305.000
5.996.000
8.258.000
6.674.000
8.666.000
6.206.000

3.936.000
2.609.000
5.060.000
6.734.000
6.371.000
4.318.000

Jalan

515.000
508.000
533.000
5.153.000
2.896.000
591.000
2.743.000
2.771.000
523.000
2.372.000
7.498.000
1.775.000
10.896.000
2.398.000
1.908.000
1.591.000

1.961.000
1.959.000
1.127.000
1.662.000
4.558.000
1.331.000
718.000

3.367.000

3.500.000
3.680.000
2.988.000
1.939.000
2.279.000
2.207.000
2.346.000

2.956.000
1.507.000
1.952.000
1.470.000

1.811.000
1.665.000

677.000
969.000
1.243.000
1.272.000
1.532.000

Irigasi

704.000
627.000
705.000
3.472.000
3.670.000
688.000
4.013.000
673.000
669.000
2.689.000
2.444.000
2.209.000
2.795.000
3.154.000
2.333.000
3.634.000
561.000

2.487.000
3.305.000
2.554.000
2.071.000
2.660.000
3.053.000
2.827.000
2.089.000
2.116.000
1.651.000

3.441.000
3.278.000
2.895.000
2.197.000
2.607.000
2.678.000
2.288.000
2.500.000
2.820.000

2.552.000
2.345.000
2.156.000
2.233.000
2.134.000
2.527.000
2.151.000

1.682.000
1.563.000
2.725.000
2.693.000
2.986.000
2.078.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

690.000
547.000
586.000
3.790.000
5.206.000
585.000
4.344.000
713.000
583.000
2.130.000
2.174.000
2.537.000
2.879.000
4.599.000
2.518.000
4.759.000
540.000

2.275.000
5.262.000
2.317.000
1.743.000
3.491.000
2.646.000
6.407.000
1.466.000
2.023.000
1.595.000

3.692.000
3.283.000
2.597.000
2.277.000
3.106.000
2.479.000
2.285.000
2.543.000
2.748.000

2.987.000
8.886.000
2.636.000
3.111.000
2.771.000
2.978.000
3.069.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
1.633.000
1.449.000
2.029.000
3.532.000
2.047.000
3.053.000

1.028.000
880.000
915.000
6.078.000
5.022.000
1.130.000
5.520.000
1.188.000
968.000
3.923.000
3.996.000
2.839.000
4.713.000
5.488.000
4.394.000
5.576.000
658.000

3.308.000
5.928.000
6.369.000
3.527.000
4.679.000
4.263.000
5.162.000
3.390.000
2.632.000
1.918.000

6.063.000
6.213.000
5.450.000
3.037.000
3.218.000
3.767.000
2.922.000
2.941.000
4.577.000

4.463.000
3.636.000
2.844.000
2.453.000
2.646.000
3.029.000
2.632.000

1.718.000
1.705.000
4.306.000
3.071.000
3.288.000
2.909.000

Bidang
Pertanian

2.469.000

7.317.000

7.148.000

8.108.000

7.856.000

2.447.000
2.366.000
2.064.000
2.285.000
3.244.000

2.019.000
1.023.000
1.128.000
2.100.000

1.994.000
856.000
1.364.000
1.668.000
943.000
1.315.000

Bidang
Praspem

136.000
126.000
137.000
880.000
817.000
141.000
821.000
156.000
133.000
776.000
708.000
700.000
819.000
791.000
705.000
785.000
283.000

825.000
778.000
903.000
702.000
918.000
804.000
1.082.000
682.000
1.034.000
777.000

1.203.000
1.276.000
913.000
743.000
810.000
803.000
804.000
780.000
916.000

1.030.000
818.000
729.000
748.000
747.000
832.000
728.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
621.000
684.000
943.000
822.000
758.000
720.000

11.012.000
8.992.000
10.289.000
73.344.000
67.674.000
9.931.000
71.055.000
12.397.000
9.491.000
49.743.000
49.558.000
32.648.000
63.697.000
71.667.000
43.785.000
69.774.000
8.166.000

39.759.000
59.110.000
63.352.000
38.482.000
61.058.000
46.616.000
45.142.000
39.617.000
34.276.000
27.963.000

56.920.000
57.798.000
48.366.000
35.591.000
40.738.000
42.336.000
37.049.000
35.255.000
53.330.000

44.355.000
42.826.000
31.927.000
37.761.000
34.060.000
40.921.000
34.907.000

22.828.000
20.192.000
41.178.000
36.088.000
37.210.000
30.640.000

TOTAL

Lampiran

Lampiran - 49

151
152
153
154
155
156
157
XIII
158
159
160
161
162
163
XIV
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
XV
199
200
201

NO

Kota Bogor
Kota Cirebon
Kota Depok
Kota Sukabumi
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Provinsi Banten
Kab. Lebak
Kab. Pandeglang
Kab. Serang
Kab. Tangerang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
Provinsi Jawa Tengah
Kab. Banjarnegara
Kab. Banyumas
Kab. Batang
Kab. Blora
Kab. Boyolali
Kab. Brebes
Kab. Cilacap
Kab. Demak
Kab. Grobogan
Kab. Jepara
Kab. Karanganyar
Kab. Kebumen
Kab. Kendal
Kab. Klaten
Kab. Kudus
Kab. Magelang
Kab. Pati
Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Purbalingga
Kab. Purworejo
Kab. Rembang
Kab. Semarang
Kab. Sragen
Kab. Sukoharjo
Kab. Tegal
Kab. Temanggung
Kab. Wonogiri
Kab. Wonosobo
Kota Magelang
Kota Pekalongan
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kota Surakarta
Kota Tegal
Provinsi DI Yogyakarta
Kab. Bantul
Kab. Gunung Kidul
Kab. Kulon Progo

Daerah
1.822.000
6.259.000
1.792.000
3.931.000
3.460.000
4.384.000
6.253.000
9.048.000
9.685.000
10.003.000
11.080.000
1.762.000
1.786.000
7.950.000
2.095.000
9.024.000
7.658.000
8.312.000
2.137.000
11.803.000
9.566.000
2.102.000
9.119.000
8.220.000
11.432.000
9.217.000
10.310.000
7.525.000
9.359.000
8.871.000
9.875.000
2.055.000
7.176.000
8.527.000
7.562.000
8.130.000
8.569.000
8.276.000
2.049.000
7.368.000
10.660.000
9.205.000
3.578.000
5.173.000
3.573.000
1.855.000
4.928.000
4.335.000
9.769.000
10.140.000
8.247.000

21.663.000
16.939.000
25.961.000
21.659.000
2.271.000
2.303.000

18.997.000
2.785.000
15.732.000
18.839.000
18.394.000
2.891.000
26.270.000
18.024.000
2.870.000
17.171.000
15.682.000
19.519.000
17.762.000
18.579.000
14.184.000
20.761.000
20.319.000
16.543.000
2.659.000
15.476.000
16.180.000
13.990.000
15.672.000
16.433.000
15.791.000
2.797.000
12.705.000
20.205.000
16.469.000
8.048.000
10.798.000
7.955.000
2.448.000
10.267.000
9.427.000

15.137.000
17.080.000
13.820.000

Bidang
Kesehatan

2.297.000
9.721.000
2.375.000
8.115.000
7.497.000
9.961.000
10.403.000

Bidang
Pendidikan

50 - Lampiran
9.016.000
8.154.000
7.956.000

5.878.000
2.005.000
6.951.000
5.418.000
4.795.000
1.999.000
8.484.000
6.962.000
2.134.000
7.520.000
7.213.000
7.703.000
7.721.000
7.410.000
6.182.000
6.179.000
5.462.000
8.398.000
2.083.000
6.094.000
7.928.000
5.912.000
7.324.000
7.954.000
6.446.000
1.955.000
5.817.000
7.798.000
7.079.000
4.083.000
5.093.000
5.395.000
1.702.000
4.580.000
4.143.000

8.946.000
7.691.000
7.937.000
9.317.000
1.663.000
1.499.000

2.913.000
2.731.000
2.212.000

920.000
494.000

1.931.000
823.000
3.483.000
2.002.000
1.213.000
792.000
3.319.000
6.419.000
648.000
4.356.000
2.958.000
2.466.000
1.947.000
4.754.000
2.166.000
1.870.000
3.135.000
2.450.000
666.000
2.599.000
2.134.000
3.240.000
4.877.000
1.765.000
1.928.000
670.000
4.083.000
4.140.000
3.577.000

3.656.000
4.603.000
2.166.000
1.612.000
440.000

762.000

Irigasi

2.435.000
2.816.000
2.282.000

2.787.000
665.000
2.706.000
2.399.000
2.378.000
691.000
3.262.000
2.992.000
656.000
2.540.000
2.300.000
3.263.000
2.702.000
2.883.000
2.235.000
2.876.000
2.838.000
2.814.000
638.000
2.348.000
2.837.000
2.572.000
2.418.000
2.432.000
2.299.000
645.000
2.381.000
2.656.000
2.751.000
1.649.000
1.913.000
1.643.000
572.000
1.746.000
1.699.000

3.761.000
3.425.000
3.760.000
3.988.000
562.000
555.000

554.000
1.962.000
562.000
1.650.000
1.492.000
1.714.000
2.142.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

1.769.000
5.598.000
1.581.000
3.773.000
2.780.000
2.888.000
6.757.000

Jalan

2.806.000
2.308.000
2.714.000

1.890.000
579.000
2.320.000
1.614.000
1.932.000
688.000
3.011.000
3.316.000
577.000
3.215.000
2.039.000
2.325.000
2.885.000
2.320.000
2.100.000
2.386.000
3.964.000
2.355.000
613.000
1.946.000
2.323.000
2.513.000
1.970.000
2.271.000
2.256.000
596.000
2.797.000
2.489.000
2.179.000
1.574.000
2.134.000
1.535.000
553.000
1.631.000
2.019.000

2.639.000
3.533.000
3.118.000
3.052.000
548.000
527.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
541.000
2.188.000
534.000
1.387.000
1.371.000
1.432.000
2.030.000

4.748.000
5.174.000
4.102.000

4.192.000
1.041.000
3.631.000
4.745.000
3.424.000
981.000
4.201.000
3.996.000
1.183.000
3.665.000
3.944.000
4.670.000
3.740.000
3.772.000
2.991.000
4.456.000
4.632.000
3.168.000
998.000
3.233.000
3.703.000
4.511.000
4.731.000
4.506.000
3.672.000
1.006.000
3.809.000
5.598.000
3.535.000
2.817.000
2.398.000
1.786.000
708.000
1.824.000
1.890.000

4.884.000
4.353.000
4.196.000
3.644.000
719.000
645.000

710.000
2.626.000
685.000
2.263.000
1.593.000
1.802.000
2.882.000

Bidang
Pertanian

4.836.000

806.000
821.000
1.022.000

4.227.000

Bidang
Praspem

885.000
764.000
786.000

714.000
153.000
781.000
701.000
717.000
155.000
818.000
842.000
155.000
820.000
781.000
825.000
767.000
839.000
835.000
767.000
755.000
825.000
159.000
734.000
769.000
705.000
762.000
779.000
856.000
162.000
714.000
760.000
753.000
1.174.000
1.172.000
853.000
168.000
1.557.000
1.223.000

870.000
823.000
837.000
705.000
126.000
118.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
127.000
853.000
121.000
596.000
613.000
660.000
749.000

47.709.000
49.167.000
42.119.000

44.339.000
10.146.000
44.628.000
43.376.000
41.165.000
10.334.000
61.168.000
52.117.000
10.325.000
48.406.000
43.137.000
52.203.000
46.741.000
50.867.000
38.218.000
48.654.000
49.976.000
46.428.000
9.871.000
39.606.000
44.401.000
41.005.000
45.884.000
44.709.000
41.524.000
9.880.000
39.674.000
54.306.000
45.548.000
22.923.000
28.681.000
23.660.000
8.500.000
26.533.000
24.736.000

55.467.000
51.052.000
57.978.000
55.057.000
12.927.000
7.433.000

7.820.000
29.207.000
11.877.000
21.715.000
19.612.000
24.424.000
32.238.000

TOTAL

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

203
XVI
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
XVII
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253

NO

Kota Yogyakarta
Provinsi Jawa Timur
Kab. Bangkalan
Kab. Banyuwangi
Kab. Blitar
Kab. Bojonegoro
Kab. Bondowoso
Kab. Gresik
Kab. Jember
Kab. Jombang
Kab. Kediri
Kab. Lamongan
Kab. Lumajang
Kab. Madiun
Kab. Magetan
Kab. Malang
Kab. Mojokerto
Kab. Nganjuk
Kab. Ngawi
Kab. Pacitan
Kab. Pamekasan
Kab. Pasuruan
Kab. Ponorogo
Kab. Probolinggo
Kab. Sampang
Kab. Sidoarjo
Kab. Situbondo
Kab. Sumenep
Kab. Trenggalek
Kab. Tuban
Kab. Tulungagung
Kota Blitar
Kota Kediri
Kota Madiun
Kota Malang
Kota Mojokerto
Kota Pasuruan
Kota Probolinggo
Kota Surabaya
Kota Batu
Provinsi Kalimantan Barat
Kab. Bengkayang
Kab. Landak
Kab. Kapuas Hulu
Kab. Ketapang
Kab. Pontianak
Kab. Sambas
Kab. Sanggau
Kab. Sintang
Kota Pontianak
Kota Singkawang
Kab. Sekadau
Kab. Melawi

Daerah
4.974.000
8.845.000
12.061.000
9.768.000
2.051.000
7.110.000
1.988.000
14.211.000
2.052.000
2.112.000
12.430.000
8.651.000
8.124.000
8.845.000
13.071.000
8.916.000
8.505.000
7.806.000
9.143.000
7.491.000
11.492.000
9.717.000
11.679.000
8.070.000
1.881.000
6.984.000
2.097.000
9.534.000
2.000.000
9.907.000
4.485.000
4.453.000
2.892.000
5.240.000
3.645.000
4.638.000
4.657.000
1.919.000
4.761.000
9.234.000
8.689.000
13.215.000
15.752.000
11.283.000
13.285.000
12.944.000
13.476.000
7.486.000
6.982.000
8.603.000
8.288.000

9.870.000

11.753.000
13.521.000
14.770.000
14.465.000
16.362.000
14.862.000
16.964.000
13.860.000
12.033.000
10.593.000
11.498.000
10.549.000

Bidang
Kesehatan

16.340.000
26.335.000
19.627.000
2.758.000
10.289.000
2.559.000
27.665.000
2.721.000
2.709.000
24.151.000
13.444.000
13.103.000
15.173.000
29.882.000
17.354.000
19.646.000
16.982.000
16.724.000
18.514.000
24.020.000
18.996.000
17.896.000
19.273.000
2.484.000
12.931.000
2.778.000
16.963.000
2.637.000
17.713.000
9.345.000
8.245.000
7.291.000
9.200.000
8.089.000
13.923.000
8.916.000
2.455.000
8.947.000

Bidang
Pendidikan

11.376.000
6.845.000
8.583.000
11.230.000
8.278.000
12.094.000
10.415.000
5.891.000
6.229.000
7.646.000
6.492.000
6.300.000

4.649.000
7.604.000
8.139.000
2.087.000
6.967.000
1.796.000
8.121.000
1.833.000
2.094.000
6.628.000
8.078.000
6.766.000
6.969.000
8.954.000
6.557.000
5.976.000
5.551.000
9.702.000
6.202.000
8.510.000
7.625.000
8.094.000
5.289.000
1.703.000
7.041.000
1.991.000
9.746.000
1.813.000
10.157.000
4.891.000
3.572.000
2.641.000
3.935.000
3.600.000
4.936.000
4.893.000
1.699.000
4.143.000

4.170.000

Jalan

Lampiran - 51
2.274.000
1.872.000
1.253.000

1.732.000
2.102.000
2.558.000
1.963.000
1.837.000
3.239.000
2.525.000
1.180.000

1.345.000

1.230.000

933.000

1.205.000
3.968.000
3.059.000
476.000
2.710.000
539.000
3.210.000
823.000
561.000
2.209.000
5.823.000
2.059.000
5.058.000
3.277.000
2.261.000
1.904.000
2.527.000
2.151.000
1.297.000
1.774.000
2.341.000
2.741.000
1.273.000
693.000
1.755.000
559.000
2.967.000
579.000
2.164.000
1.154.000
996.000

921.000

Irigasi

3.056.000
4.920.000
3.303.000
3.538.000
3.236.000
3.601.000
4.623.000
3.818.000
2.089.000
2.269.000
3.139.000
3.212.000

2.583.000
3.244.000
2.738.000
680.000
2.868.000
638.000
3.431.000
629.000
637.000
3.750.000
2.696.000
2.170.000
2.452.000
3.217.000
2.696.000
2.503.000
2.294.000
2.812.000
2.772.000
3.290.000
2.819.000
3.373.000
2.693.000
608.000
2.452.000
678.000
2.792.000
632.000
2.724.000
1.825.000
1.711.000
1.507.000
1.757.000
1.674.000
1.856.000
1.839.000
554.000
1.849.000

1.707.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

2.563.000
1.766.000
1.867.000
4.644.000
7.694.000
3.603.000
2.396.000
2.035.000
1.906.000
2.334.000
2.004.000
1.873.000

2.244.000
3.257.000
2.182.000
558.000
1.864.000
706.000
2.622.000
577.000
572.000
4.927.000
2.204.000
1.708.000
1.981.000
2.707.000
1.932.000
1.724.000
1.720.000
3.438.000
1.938.000
2.388.000
1.921.000
2.654.000
2.109.000
634.000
1.944.000
676.000
4.277.000
604.000
4.279.000
1.666.000
1.567.000
1.265.000
2.459.000
1.479.000
1.919.000
1.832.000
569.000
1.689.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
1.592.000

4.359.000
3.168.000
2.983.000
5.789.000
4.544.000
5.427.000
5.710.000
4.741.000
2.769.000
3.017.000
3.293.000
3.018.000

4.955.000
5.317.000
4.656.000
1.281.000
4.067.000
971.000
6.378.000
1.103.000
1.195.000
4.937.000
5.387.000
3.711.000
4.231.000
6.236.000
4.447.000
4.053.000
3.854.000
4.323.000
3.673.000
4.598.000
4.528.000
5.155.000
4.444.000
785.000
3.893.000
1.298.000
3.927.000
1.274.000
4.592.000
2.609.000
2.391.000
2.020.000
2.257.000
2.545.000
2.400.000
2.342.000
666.000
2.413.000

1.893.000

Bidang
Pertanian

1.063.000
2.252.000
1.896.000

3.025.000

2.290.000
2.508.000

924.000

Bidang
Praspem

857.000
851.000
1.766.000
1.584.000
1.153.000
1.045.000
1.217.000
1.428.000
1.155.000
773.000
856.000
861.000

697.000
796.000
766.000
151.000
686.000
141.000
847.000
155.000
152.000
830.000
760.000
706.000
786.000
840.000
822.000
730.000
727.000
819.000
735.000
829.000
761.000
796.000
705.000
158.000
683.000
145.000
805.000
146.000
742.000
983.000
956.000
997.000
1.153.000
1.200.000
1.085.000
960.000
213.000
734.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
1.661.000

47.220.000
44.370.000
49.045.000
58.965.000
54.387.000
60.181.000
56.794.000
46.429.000
33.667.000
36.951.000
40.009.000
37.250.000

41.518.000
62.582.000
50.935.000
10.042.000
36.561.000
9.338.000
66.485.000
9.893.000
10.032.000
59.862.000
47.043.000
38.347.000
45.495.000
68.184.000
44.985.000
45.041.000
41.461.000
49.112.000
42.622.000
56.901.000
48.708.000
52.388.000
43.856.000
8.946.000
37.683.000
10.222.000
51.011.000
9.685.000
52.278.000
26.958.000
23.891.000
18.613.000
26.934.000
22.232.000
30.757.000
26.669.000
8.075.000
26.805.000

26.788.000

TOTAL

Lampiran

Daerah

Kab. Barito Selatan


Kab. Barito Utara
Kab. Kapuas
Kab. Kotawaringin Barat
Kab. Kotawaringin Timur
Kota Palangkaraya
Kab. Barito Timur
Kab. Murung Raya
Kab. Pulang Pisau
Kab. Gunung Mas
Kab. Lamandau
Kab. Sukamara
Kab. Katingan
Kab. Seruyan
Provinsi Kalimantan Selatan
Kab. Banjar
Kab. Barito Kuala
Kab. Hulu Sungai Selatan
Kab. Hulu Sungai Tengah
Kab. Hulu Sungai Utara
Kab. Kota Baru
Kab. Tabalong
Kab. Tanah Laut
Kab. Tapin
Kota Banjar Baru
Kota Banjarmasin
Kab. Balangan
Kab. Tanah Bumbu
Provinsi Kalimantan Timur
Kab. Berau
Kab. Bulungan
Kab. Kutai Kartanegara
Kab. Kutai Barat
Kab. Kutai Timur*)
Kab. Malinau
Kab. Nunukan
Kab. Pasir
Kota Balikpapan
Kota Bontang
Kota Samarinda
Kota Tarakan
Kab. Penajam Paser Utara
Provinsi Sulawesi Utara
Kab. Bolaang Mongondow
Kab. Minahasa
Kab. Sangihe
Kota Bitung
Kota Manado
Kab. Kepulauan Talaud
Kab. Minahasa Selatan
Kota Tomohon
Kab. Minahasa Utara
Provinsi Gorontalo
Kab. Boalemo

NO

254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267
XIX
268
269
270
271
272
273
274
275
276
277
278
279
280
XX
281
282
283
284
285
286
287
288
289
290
291
292
293
XXI
294
295
296
297
298
299
300
301
302
XXII
303

7.619.000
7.262.000
13.533.000
11.279.000
2.230.000
6.972.000
5.585.000
7.148.000
9.565.000
6.023.000
5.507.000
6.152.000
8.660.000
9.008.000
9.852.000
10.890.000
8.650.000
8.022.000
6.535.000
2.134.000
2.019.000
2.012.000
7.567.000
4.693.000
7.204.000
5.269.000
6.234.000
2.101.000
1.976.000
2.078.000
12.223.000
12.471.000
11.609.000
9.529.000
2.000.000
1.736.000
1.731.000
1.778.000
1.683.000
1.756.000
11.224.000
11.188.000
11.779.000
6.433.000
7.222.000
10.411.000
10.071.000
14.145.000
16.617.000
7.245.000

16.274.000
15.260.000
13.592.000
14.190.000
10.408.000
2.492.000
2.486.000
2.483.000
10.108.000
8.896.000
15.094.000
9.599.000
9.256.000

2.365.000
2.327.000
2.433.000
11.735.000
10.879.000
10.022.000
10.838.000
2.351.000
2.206.000
2.233.000
2.296.000
2.156.000
2.194.000

17.335.000
16.728.000
19.945.000
10.400.000
12.067.000
13.633.000
15.781.000
18.117.000
20.243.000

10.270.000

Bidang
Kesehatan

10.574.000
10.001.000
15.735.000
13.253.000
2.616.000
12.578.000
9.116.000
8.201.000
11.044.000
8.460.000
7.966.000
9.199.000
9.738.000
9.825.000

Bidang
Pendidikan

52 - Lampiran
8.540.000

10.716.000
11.159.000
10.000.000
5.828.000
6.118.000
9.612.000
9.687.000
14.811.000
15.989.000

2.106.000
2.169.000
1.828.000
6.830.000
7.215.000
6.018.000
6.461.000
1.914.000
1.448.000
1.514.000
1.698.000
1.398.000
1.588.000

9.061.000
8.978.000
7.915.000
7.233.000
6.039.000
2.057.000
2.081.000
2.159.000
6.734.000
6.018.000
5.763.000
4.585.000
6.713.000

1.670.000

8.134.000
5.317.000
2.545.000
1.636.000
1.841.000
3.532.000
6.399.000
4.745.000
8.901.000

467.000

442.000

518.000
490.000
522.000
2.716.000
3.277.000
1.285.000
1.874.000
484.000
379.000

1.341.000
2.987.000

4.241.000
2.904.000
1.339.000
1.520.000
1.311.000
664.000
647.000
566.000
1.431.000
1.151.000

1.797.000
1.902.000
1.524.000

1.535.000
2.788.000
2.690.000
2.062.000
945.000
1.392.000
992.000
818.000
3.032.000
929.000

Irigasi

2.412.000

3.106.000
3.050.000
3.192.000
2.198.000
2.171.000
2.862.000
2.887.000
3.713.000
4.097.000

623.000
609.000
692.000
4.357.000
2.801.000
3.000.000
3.506.000
630.000
533.000
547.000
559.000
542.000
546.000

3.726.000
3.811.000
2.457.000
2.490.000
2.803.000
643.000
622.000
622.000
2.355.000
1.839.000
2.094.000
2.332.000
2.292.000

3.010.000
2.796.000
4.347.000
3.374.000
673.000
2.023.000
2.059.000
2.382.000
3.087.000
3.210.000
1.946.000
2.438.000
3.715.000
2.321.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

6.199.000
6.942.000
11.099.000
9.338.000
2.369.000
6.930.000
6.479.000
6.087.000
8.884.000
5.567.000
5.980.000
6.078.000
6.049.000
5.635.000

Jalan

2.223.000

3.180.000
3.814.000
4.176.000
2.230.000
2.180.000
3.080.000
3.320.000
4.136.000
4.664.000

604.000
600.000
671.000
3.576.000
2.640.000
1.889.000
2.550.000
583.000
533.000
550.000
534.000
533.000
538.000

2.766.000
2.461.000
1.858.000
1.892.000
1.740.000
662.000
578.000
631.000
6.609.000
1.790.000
1.854.000
1.409.000
2.638.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
1.825.000
1.850.000
2.603.000
2.827.000
605.000
1.856.000
1.600.000
1.319.000
2.285.000
1.535.000
1.549.000
1.897.000
3.145.000
2.114.000

3.536.000

4.850.000
6.927.000
4.924.000
2.945.000
2.818.000
5.088.000
4.905.000
6.265.000
8.217.000

1.338.000
945.000
1.028.000
3.264.000
3.593.000
2.895.000
3.316.000
1.009.000
642.000
687.000
723.000
621.000
746.000

5.669.000
4.497.000
3.204.000
3.271.000
2.524.000
1.117.000
1.085.000
1.147.000
4.031.000
2.247.000
2.617.000
2.308.000
3.389.000

3.249.000
3.056.000
5.098.000
4.620.000
1.431.000
2.698.000
2.880.000
2.161.000
3.671.000
2.510.000
2.303.000
2.469.000
3.351.000
3.506.000

Bidang
Pertanian

8.358.000

3.216.000
1.170.000
1.603.000
1.680.000

876.000

4.935.000

2.684.000
8.363.000
8.276.000
3.309.000

894.000
962.000

7.765.000

905.000
831.000
2.346.000
1.436.000
1.390.000
1.957.000
1.733.000
2.134.000

Bidang
Praspem

867.000

884.000
1.006.000
838.000
780.000
962.000
843.000
902.000
1.175.000
1.258.000

198.000
205.000
222.000
1.451.000
1.252.000
1.189.000
1.118.000
178.000
124.000
128.000
132.000
120.000
129.000

890.000
855.000
701.000
707.000
683.000
182.000
154.000
156.000
715.000
576.000
704.000
624.000
790.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
845.000
1.255.000
1.456.000
1.074.000
274.000
763.000
675.000
957.000
997.000
648.000
693.000
711.000
1.037.000
990.000

45.121.000

59.429.000
59.189.000
57.399.000
32.450.000
35.379.000
52.277.000
55.122.000
68.710.000
81.666.000

9.853.000
9.321.000
9.474.000
48.836.000
52.491.000
46.183.000
42.501.000
9.149.000
7.601.000
12.325.000
8.162.000
7.053.000
8.840.000

52.479.000
49.656.000
39.716.000
39.325.000
32.043.000
9.951.000
9.672.000
9.776.000
39.550.000
34.975.000
35.330.000
28.361.000
35.261.000

34.856.000
35.950.000
56.561.000
47.827.000
11.143.000
35.212.000
30.291.000
29.904.000
44.911.000
30.318.000
27.334.000
32.698.000
39.330.000
37.057.000

TOTAL

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Daerah

Kota Gorontalo
Kab. Pohuwato
Kab. Bone Bolango
Provinsi Sulawesi Tengah
Kab. Banggai
Kab. Banggai Kepulauan
Kab. Buol
Kab. Toli-Toli
Kab. Donggala
Kab. Morowali
Kab. Poso
Kota Palu
Kab. Parigi Moutong
Kab. Tojo Una Una
Provinsi Sulawesi Selatan
Kab. Bantaeng
Kab. Barru
Kab. Bone
Kab. Bulukumba
Kab. Enrekang
Kab. G o w a
Kab. Jeneponto
Kab. Luwu
Kab. Luwu Utara
Kab. M a r o s
Kab. Pangkajene Kepulauan
Kab. Pinrang
Kab. Selayar
Kab. Sidenreng Rappang
Kab. Sinjai
Kab. Soppeng
Kab. Takalar
Kab. Tana Toraja
Kab. Wajo
Kota Pare-pare
Kota Makassar
Kota Palopo
Kab. Luwu Timur
Provinsi Sulawesi Barat
Kab. Majene
Kab. Mamuju
Kab. Polewali Mandar
Kab. Mamasa
Kab. Mamuju Utara
Provinsi Sulawesi Tenggara
Kab. Buton
Kab. Konawe
Kab. Kolaka
Kab. Muna
Kota Kendari
Kota Bau-bau
Kab. Konawe Selatan
Kab. Bombana

NO

305
306
307
XXIII
308
309
310
311
312
313
314
315
316
317
XXIV
318
319
320
321
322
323
324
325
326
327
328
329
330
331
332
333
334
335
336
337
338
339
340
XXV
341
342
343
344
345
XXVI
346
347
348
349
350
351
352
353

7.088.000
7.065.000
8.265.000
11.319.000
8.107.000
6.525.000
8.423.000
12.479.000
9.290.000
10.266.000
7.412.000
9.462.000
9.303.000
7.205.000
6.880.000
9.715.000
7.724.000
6.379.000
8.994.000
6.518.000
8.040.000
8.329.000
8.882.000
7.738.000
7.957.000
8.874.000
6.167.000
9.719.000
7.369.000
9.023.000
7.785.000
8.033.000
5.973.000
1.961.000
5.152.000
7.793.000
6.502.000
10.492.000
8.023.000
4.964.000
7.425.000
10.887.000
10.947.000
9.476.000
9.667.000
6.895.000
7.334.000
11.371.000
10.077.000

13.805.000
12.846.000
10.134.000
11.775.000
17.331.000
11.681.000
11.945.000
10.658.000
13.703.000
11.555.000

10.863.000
11.501.000
19.786.000
14.467.000
11.282.000
15.844.000
11.558.000
14.034.000
13.128.000
13.692.000
13.865.000
13.750.000
11.587.000
12.168.000
16.183.000
12.048.000
13.024.000
15.461.000
15.955.000
10.259.000
2.498.000
9.087.000
12.119.000

10.883.000
16.043.000
12.484.000
9.455.000
10.708.000

16.300.000
15.273.000
13.049.000
16.909.000
11.630.000
10.738.000
16.246.000
13.124.000

Bidang
Kesehatan

10.647.000
10.187.000
11.481.000

Bidang
Pendidikan

Lampiran - 53
10.541.000
9.508.000
9.111.000
8.514.000
7.597.000
6.966.000
8.896.000
9.878.000

6.525.000
8.469.000
7.495.000
3.992.000
6.453.000

7.215.000
7.408.000
9.836.000
8.498.000
7.218.000
9.129.000
6.284.000
8.312.000
11.091.000
10.025.000
6.981.000
7.522.000
8.602.000
7.751.000
10.409.000
7.131.000
9.181.000
11.124.000
8.789.000
6.767.000
1.889.000
4.879.000
7.311.000

9.009.000
8.777.000
7.227.000
8.770.000
10.967.000
6.857.000
10.169.000
7.450.000
7.854.000
7.801.000

6.950.000
9.258.000
8.620.000

Jalan

2.247.000
2.698.000
2.820.000
1.712.000
1.735.000
1.915.000
3.576.000
2.684.000

1.795.000
4.935.000
5.513.000
1.267.000
3.522.000

1.533.000
5.590.000

5.105.000
1.643.000
4.826.000
3.399.000
3.476.000
5.665.000
4.657.000
5.469.000
5.447.000
4.606.000
3.079.000
1.617.000
1.692.000
7.499.000
5.713.000
4.453.000
2.694.000
2.329.000
1.798.000
1.594.000

2.048.000
1.311.000
1.840.000
2.034.000
4.353.000
2.171.000
2.190.000
1.741.000
2.482.000
2.099.000

5.080.000
1.990.000

Irigasi

3.195.000
3.626.000
2.830.000
2.976.000
2.250.000
2.309.000
3.215.000
3.092.000

2.095.000
3.044.000
2.697.000
2.353.000
2.568.000

2.290.000
2.475.000
3.358.000
2.574.000
2.153.000
2.628.000
2.274.000
2.888.000
2.735.000
2.777.000
2.452.000
2.377.000
2.435.000
2.039.000
2.666.000
2.154.000
2.593.000
2.158.000
2.434.000
2.090.000
596.000
1.942.000
2.404.000

3.038.000
2.575.000
2.094.000
2.545.000
3.787.000
2.637.000
2.637.000
2.232.000
2.820.000
2.677.000

2.199.000
2.662.000
2.581.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

5.664.000
3.888.000
4.365.000
5.168.000
2.633.000
2.360.000
3.344.000
3.037.000

2.197.000
3.624.000
3.517.000
1.630.000
2.400.000

2.564.000
2.662.000
3.653.000
3.362.000
2.555.000
2.521.000
5.855.000
6.727.000
2.774.000
4.253.000
3.506.000
3.050.000
3.754.000
3.751.000
3.532.000
2.938.000
3.483.000
2.040.000
3.022.000
2.254.000
621.000
5.256.000
2.412.000

5.187.000
4.374.000
2.130.000
2.599.000
4.290.000
2.614.000
3.221.000
2.083.000
3.410.000
3.924.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
2.166.000
3.562.000
2.304.000

5.463.000
6.216.000
5.506.000
5.351.000
3.164.000
2.937.000
4.977.000
5.042.000

2.684.000
5.453.000
4.622.000
2.346.000
3.707.000

3.860.000
3.665.000
5.810.000
4.701.000
3.416.000
5.263.000
3.537.000
3.978.000
3.286.000
4.558.000
3.507.000
4.595.000
3.380.000
3.536.000
4.661.000
3.267.000
4.124.000
4.388.000
4.150.000
2.635.000
823.000
2.534.000
3.656.000

5.363.000
2.930.000
4.456.000
4.076.000
7.391.000
3.092.000
4.980.000
3.360.000
3.583.000
3.156.000

2.950.000
4.183.000
4.127.000

Bidang
Pertanian

1.095.000
2.981.000
3.208.000

2.933.000

1.447.000
2.435.000

958.000
2.104.000

2.171.000
8.236.000

2.106.000
2.442.000

2.513.000
7.632.000

8.120.000
7.901.000

2.024.000
2.497.000

Bidang
Praspem

878.000
1.017.000
819.000
775.000
975.000
768.000
900.000
917.000

1.029.000
3.331.000
1.438.000
2.145.000
1.391.000

773.000
769.000
854.000
794.000
723.000
830.000
708.000
794.000
957.000
841.000
738.000
784.000
765.000
695.000
886.000
740.000
857.000
756.000
757.000
827.000
147.000
739.000
709.000

903.000
739.000
767.000
841.000
1.129.000
866.000
1.002.000
819.000
867.000
887.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
745.000
811.000
811.000

58.108.000
53.173.000
47.976.000
51.072.000
36.879.000
36.422.000
55.506.000
51.059.000

33.710.000
55.391.000
45.789.000
29.599.000
40.609.000

39.875.000
37.003.000
57.838.000
45.519.000
37.202.000
50.874.000
41.391.000
52.413.000
55.983.000
49.634.000
41.866.000
41.652.000
41.089.000
43.606.000
53.769.000
40.100.000
44.979.000
46.041.000
44.938.000
32.399.000
8.535.000
32.080.000
44.098.000

50.672.000
49.779.000
43.074.000
41.063.000
64.240.000
46.840.000
46.410.000
35.755.000
46.287.000
43.844.000

32.745.000
44.832.000
42.676.000

TOTAL

Lampiran

Daerah

Kab. Kolaka Utara


Provinsi Bali
Kab. Badung
Kab. Bangli
Kab. Buleleng
Kab. Gianyar
Kab. Jembrana
Kab. Karangasem
Kab. Klungkung
Kab. Tabanan
Kota Denpasar
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kab. Bima
Kab. Dompu
Kab. Lombok Barat
Kab. Lombok Tengah
Kab. Lombok Timur
Kab. Sumbawa
Kota Mataram
Kota Bima
Kab. Sumbawa Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kab. Alor
Kab. Belu
Kab. Ende
Kab. Flores Timur
Kab. Kupang
Kab. Lembata
Kab. Manggarai
Kab. Ngada
Kab. Sikka
Kab. Sumba Barat
Kab. Sumba Timur
Kab. Timor Tengah Selatan
Kab. Timor Tengah Utara
Kota Kupang
Kab. Rote Ndao
Kab. Manggarai Barat
Provinsi Maluku
Kab. Maluku Tenggara Barat
Kab. Maluku Tengah
Kab. Maluku Tenggara
Kab. Pulau Buru
Kota Ambon
Kab. Seram Bagian Barat
Kab. Seram Bagian Timur
Kab. Kepulauan Aru
Provinsi Maluku Utara
Kab. Halmahera Tengah
Kab. Halmahera Barat
Kota Ternate
Kab. Halmahera Timur
Kota Tidore Kepulauan

NO

355
XXVII
356
357
358
359
360
361
362
363
364
XXVIII
365
366
367
368
369
370
371
372
373
XXIX
374
375
376
377
378
379
380
381
382
383
384
385
386
387
388
389
XXX
390
391
392
393
394
395
396
397
XXXI
398
399
400
401
402

7.048.000
6.782.000
7.113.000
9.560.000
8.475.000
8.248.000
8.664.000
7.816.000
9.248.000
1.816.000
10.559.000
6.667.000
9.579.000
10.018.000
10.014.000
12.869.000
6.253.000
6.374.000
5.246.000
9.755.000
10.066.000
8.428.000
9.901.000
12.054.000
7.920.000
10.438.000
10.999.000
9.229.000
9.203.000
9.557.000
8.672.000
9.462.000
6.607.000
8.034.000
10.024.000
12.986.000
12.419.000
10.698.000
7.225.000
8.299.000
17.950.000
8.615.000
8.789.000
9.628.000
7.879.000
6.938.000
8.181.000
8.152.000

12.134.000
10.568.000
16.042.000
14.608.000
12.348.000
14.733.000
11.443.000
13.847.000
2.318.000

16.218.000
11.192.000
15.820.000
19.239.000
20.136.000
15.134.000
11.357.000
9.405.000
9.105.000

12.543.000
12.146.000
14.052.000
15.040.000
15.950.000
12.759.000
17.538.000
15.577.000
13.566.000
14.105.000
12.845.000
15.126.000
13.228.000
10.344.000
11.302.000
12.600.000

12.287.000
16.502.000
11.099.000
9.652.000
11.464.000
20.188.000
10.831.000
11.520.000

12.886.000
10.660.000
10.844.000
10.129.000
10.964.000

Bidang
Kesehatan

10.210.000

Bidang
Pendidikan

54 - Lampiran
9.692.000
10.632.000
8.934.000
7.095.000
7.327.000

12.124.000
11.654.000
13.135.000
5.589.000
8.425.000
17.153.000
7.307.000
7.942.000

10.361.000
9.193.000
12.145.000
9.654.000
10.727.000
8.186.000
10.573.000
11.625.000
9.185.000
9.004.000
11.698.000
9.533.000
9.112.000
7.591.000
6.127.000
9.932.000

10.639.000
6.193.000
9.077.000
8.829.000
9.496.000
9.971.000
6.259.000
6.831.000
4.760.000

6.907.000
7.320.000
9.941.000
7.661.000
9.312.000
8.148.000
7.963.000
8.860.000
1.766.000

1.557.000
2.146.000

4.713.000

4.632.000
1.844.000
1.950.000

2.220.000
1.610.000
1.334.000

1.904.000
2.488.000

1.998.000
2.304.000
2.101.000
2.090.000
3.108.000
1.659.000
2.340.000
2.561.000
2.321.000
2.693.000
2.785.000
1.715.000
2.219.000

3.244.000
2.763.000
3.373.000
2.811.000
5.083.000
3.086.000
1.592.000
1.944.000
1.653.000

1.592.000
1.962.000
2.857.000
2.842.000
2.603.000
4.241.000
2.175.000
3.751.000

1.569.000

Irigasi

2.774.000
2.639.000
2.446.000
2.242.000
2.281.000

3.187.000
3.474.000
2.629.000
2.551.000
2.386.000
4.276.000
2.336.000
2.548.000

2.965.000
2.984.000
2.945.000
2.758.000
3.317.000
2.550.000
3.586.000
2.973.000
2.958.000
3.022.000
2.920.000
3.125.000
2.802.000
2.157.000
2.470.000
3.123.000

2.890.000
2.065.000
3.813.000
3.054.000
3.323.000
3.303.000
2.130.000
1.989.000
2.084.000

2.089.000
2.321.000
2.625.000
2.306.000
2.383.000
2.563.000
2.427.000
2.422.000
564.000

2.225.000

Air Bersih

Bidang Infrastruktur

5.888.000

Jalan

4.196.000
8.211.000
8.883.000
2.892.000
3.016.000

4.608.000
4.273.000
6.302.000
2.382.000
2.584.000
5.121.000
3.057.000
3.711.000

3.287.000
2.449.000
2.870.000
2.902.000
3.772.000
2.579.000
2.573.000
3.183.000
3.300.000
2.691.000
3.060.000
2.021.000
2.512.000
2.140.000
3.516.000
3.543.000

3.696.000
2.648.000
3.505.000
3.506.000
3.336.000
4.022.000
2.034.000
1.946.000
2.092.000

2.416.000
2.337.000
2.791.000
2.531.000
2.770.000
2.644.000
3.001.000
2.673.000
563.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
2.803.000

4.539.000
3.368.000
3.226.000
2.890.000
3.394.000

3.191.000
4.409.000
3.042.000
3.380.000
3.193.000
6.616.000
2.964.000
3.105.000

3.425.000
5.756.000
4.007.000
3.566.000
5.825.000
2.873.000
4.268.000
4.967.000
3.484.000
5.736.000
5.659.000
4.396.000
4.292.000
2.612.000
3.294.000
3.790.000

5.381.000
3.653.000
5.525.000
5.859.000
5.643.000
5.712.000
2.699.000
2.495.000
2.932.000

3.174.000
4.109.000
5.207.000
3.967.000
4.226.000
5.017.000
3.861.000
4.655.000
777.000

2.703.000

Bidang
Pertanian

3.317.000
2.400.000
3.374.000
2.317.000
3.385.000

5.842.000
2.545.000
2.808.000

8.249.000

8.995.000

2.366.000
3.017.000

2.680.000
8.547.000

977.000
1.772.000

2.589.000

2.187.000

Bidang
Praspem

987.000
750.000
885.000
803.000
784.000

805.000
1.156.000
929.000
749.000
778.000
1.349.000
901.000
1.034.000

791.000
786.000
778.000
784.000
862.000
749.000
787.000
842.000
782.000
787.000
765.000
714.000
791.000
848.000
776.000
883.000

835.000
701.000
788.000
815.000
741.000
830.000
704.000
697.000
619.000

701.000
735.000
838.000
757.000
807.000
766.000
786.000
773.000
131.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
739.000

48.019.000
51.252.000
45.530.000
38.106.000
41.449.000

58.183.000
56.107.000
49.444.000
41.111.000
37.129.000
83.127.000
40.400.000
43.407.000

45.125.000
45.684.000
47.326.000
46.695.000
58.295.000
47.822.000
52.103.000
52.727.000
44.825.000
47.241.000
49.289.000
45.302.000
44.418.000
32.299.000
39.789.000
49.400.000

56.051.000
35.882.000
51.480.000
54.131.000
57.772.000
54.927.000
33.028.000
32.658.000
30.263.000

35.795.000
36.465.000
49.861.000
43.147.000
42.697.000
46.776.000
39.472.000
46.229.000
7.935.000

35.372.000

TOTAL

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

404
405
XXXII
406
407
408
409
410
411
412
413
414
415
416
417
418
419
420
421
422
423
424
425
XXXIII
426
427
428
429
430
431
432
433
434

NO

Total Nasional

Kab. Halmahera Selatan


Kab. Halmahera Utara
Provinsi Papua
Kab. Biak Numfor
Kab. Jayapura
Kab. Jayawijaya
Kab. Merauke
Kab. Mimika
Kab. Nabire
Kab. Paniai
Kab. Puncak Jaya
Kab. Yapen Waropen
Kota Jayapura
Kab. Sarmi
Kab. Keerom
Kab. Yahukimo
Kab. Pegunungan Bintang
Kab. Tolikara
Kab. Boven Digoel
Kab. Mappi
Kab. Asmat
Kab. Waropen
Kab. Supiori
Provinsi Irian Jaya Barat
Kab. Sorong
Kab. Manokwari
Kab. Fak Fak
Kota Sorong
Kab. Sorong Selatan
Kab. Raja Ampat
Kab. Teluk Bintuni
Kab. Teluk Wondama
Kab. Kaimana

Daerah

8.056.000
11.365.000
9.392.000
7.036.000
11.929.000
12.496.000
9.781.000
10.268.000
10.645.000

9.704.000
12.321.000
9.305.000
10.413.000
11.219.000
13.500.000
9.105.000
11.920.000
9.990.000
3.381.270.000

11.892.000
13.282.000
13.487.000
22.240.000
11.903.000
12.467.000
14.291.000
11.813.000
8.898.000
10.065.000
12.699.000
10.806.000
12.553.000
15.664.000
10.527.000
14.278.000
13.767.000
15.219.000
11.346.000
12.201.000

15.022.000
11.025.000
14.455.000
13.784.000
10.416.000
9.368.000
8.645.000
10.301.000
11.955.000
14.661.000
8.831.000
12.332.000
10.320.000
12.730.000
11.754.000
11.921.000
10.683.000
12.835.000
10.950.000
15.314.000

5.195.290.000

9.937.000
10.031.000

Bidang
Kesehatan

11.317.000
12.396.000

Bidang
Pendidikan

3.113.060.000

7.510.000
10.887.000
11.459.000
6.369.000
8.387.000
8.011.000
5.536.000
10.202.000
4.809.000

13.245.000
13.163.000
8.632.000
17.764.000
7.023.000
11.885.000
19.871.000
13.827.000
10.312.000
11.312.000
6.064.000
11.041.000
9.474.000
12.813.000
13.259.000
8.698.000
8.887.000
8.726.000
9.928.000
11.967.000

8.430.000
9.519.000

Jalan

2.637.000
3.700.000
2.298.000
3.000.000
2.476.000
3.121.000
2.595.000
2.987.000
2.433.000

3.024.000
3.028.000
8.845.000
3.327.000
2.854.000
2.720.000
4.721.000
5.324.000
2.592.000
2.807.000
2.844.000
2.653.000
6.106.000
4.632.000
4.486.000
2.936.000
2.879.000
4.091.000
2.329.000
3.269.000

3.116.000
2.851.000

Air Bersih

858.910.000 1.062.370.000

1.376.000
2.479.000
1.314.000

1.771.000
1.887.000

2.258.000
2.835.000
1.704.000
3.169.000

1.419.000
2.095.000

1.366.000

1.954.000
1.858.000
3.242.000

Irigasi

Bidang Infrastruktur

1.100.360.000

2.216.000
3.301.000
5.023.000
3.071.000
6.244.000
5.780.000
2.307.000
3.634.000
3.070.000

4.021.000
2.905.000
2.969.000
6.302.000
3.292.000
2.852.000
2.495.000
1.719.000
3.583.000
3.964.000
1.967.000
2.349.000
1.941.000
2.539.000
3.230.000
2.443.000
2.603.000
2.949.000
4.324.000
3.538.000

Bidang
Kelautan
dan
Perikanan
5.335.000
3.937.000

1.492.170.000

3.176.000
4.581.000
2.696.000
2.806.000
3.251.000
3.675.000
2.618.000
3.487.000
3.192.000

4.118.000
5.291.000
4.570.000
4.981.000
3.445.000
3.197.000
3.013.000
2.688.000
3.495.000
4.126.000
2.457.000
4.183.000
2.644.000
4.154.000
3.022.000
3.213.000
2.936.000
3.885.000
2.669.000
4.719.000

3.095.000
3.688.000

Bidang
Pertanian

539.060.000

3.394.000
2.365.000
3.532.000
2.263.000
3.202.000
2.425.000

3.192.000

1.529.000
3.263.000
3.098.000
4.068.000
3.275.000
3.126.000
2.912.000
3.656.000
2.558.000
4.496.000

5.079.000
6.794.000

4.147.000

2.325.000
2.944.000

Bidang
Praspem

351.610.000

2.006.000
2.086.000
1.819.000
826.000
2.975.000
1.586.000
2.358.000
1.061.000
1.809.000

858.000
1.787.000
1.297.000
1.541.000
947.000
808.000
605.000
787.000
1.025.000
991.000
953.000
922.000
1.668.000
974.000
853.000
935.000
824.000
3.508.000
1.029.000
1.005.000

Bidang
Lingkungan
Hidup
765.000
909.000

17.094.100.000

38.497.000
50.012.000
43.879.000
36.915.000
50.222.000
54.180.000
37.877.000
46.761.000
38.373.000

52.180.000
52.435.000
56.113.000
73.181.000
44.027.000
44.663.000
58.720.000
53.253.000
41.860.000
47.926.000
38.763.000
49.644.000
47.804.000
57.574.000
52.664.000
50.385.000
47.195.000
58.038.000
45.133.000
56.509.000

44.320.000
46.275.000

TOTAL

Lampiran

Lampiran - 55

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 8

DANA PENYESUAIAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN LAINNYA TAHUN 2007


(dalam ribu rupiah)

NO

Daerah

Pendidikan

Kesehatan

Jalan dan
Prasarana
Fisik lainnya

Irigasi &
Pengairan

Air Bersih &


Lingkungan
Hidup

Pertanian,
Kelautan
dan
Perikanan

TOTAL

Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam

Kab. Aceh Besar

5,000,000

5,000,000

Kab. Aceh Selatan

4,400,000

4,400,000

Kab. Aceh Singkil

4,400,000

4,400,000

Kab. Aceh Tengah

5,000,000

5,000,000

Kab. Bireun

Kota Banda Aceh

5,000,000

5,000,000

Kota Sabang

4,400,000

4,400,000

Kab. Aceh Jaya

5,000,000

II

Provinsi Sumatera Utara

20,000,000

20,000,000

Kab. Deli Serdang

29,000,000

29,000,000

10

Kab. Tanah Karo

29,000,000

29,000,000

11

Kab. Langkat

32,000,000

32,000,000

12

Kab. Mandailing Natal

13

Kab. Nias

2,000,000

14

Kab. Simalungun

9,000,000

15
16
17

Kab. Tapanuli Utara

18

Kota Medan

19

Kota Pematang Siantar

20

Kota Padang Sidempuan

21

Kab. Humbang
Hasundutan

10,000,000

10,000,000

III

Provinsi Sumatera Barat

20,000,000

20,000,000

22

Kab. Agam

5,000,000

5,000,000

23

Kab. Pesisir Selatan

5,000,000

5,000,000

24

Kab. Tanah Datar

5,000,000

5,000,000

25

Kota Bukit Tinggi

5,000,000

5,000,000

26

Kota Padang

5,000,000

5,000,000

27

Kota Pariaman

10,000,000

10,000,000

28

Kab. Dharmasraya

5,000,000

5,000,000

29

Kab. Solok Selatan

9,500,000

9,500,000

15,000,000

15,000,000

5,000,000

10,000,000

7,000,000

17,000,000
2,000,000

15,000,000

24,000,000

Kab. Tapanuli Selatan

15,000,000

15,000,000

Kab. Tapanuli Tengah

10,000,000

10,000,000

14,500,000
12,000,000

3,000,000

14,500,000
33,000,000

9,000,000

15,000,000
5,500,000

56 - Lampiran

17,000,000

4,000,000

61,000,000
15,000,000

8,000,000

30,500,000

Lampiran

(dalam ribu rupiah)

NO

Daerah

IV

Provinsi Riau

30

Kab. Bengkalis

31

Kab. Indragiri Hulu

32

Kab. Kampar

33

Kab. Rokan Hilir

34

Pendidikan

Kesehatan

Jalan dan
Prasarana
Fisik lainnya

Irigasi &
Pengairan

Air Bersih &


Lingkungan
Hidup

Pertanian,
Kelautan
dan
Perikanan

20,000,000

TOTAL

20,000,000

2,000,000

2,000,000

15,000,000

15,000,000

2,000,000

1,000,000

8,000,000

1,000,000

1,000,000

2,000,000

Kota Dumai

1,000,000

10,000,000

9,500,000

500,000

21,000,000

35

Kota Pekanbaru

4,000,000

1,000,000

35,000,000

2,000,000

42,000,000

Provinsi Riau Kepulauan

30,000,000

30,000,000

36

Kab. Karimun

25,000,000

25,000,000

37

Kota Batam

38

Kota Tanjung Pinang

25,000,000

25,000,000

39

Kab. Lingga

20,000,000

20,000,000

VI

Provinsi Jambi

20,000,000

20,000,000

40

Kab. Bungo

19,000,000

19,000,000

41

Kab. Kerinci

10,000,000

42

Kab. Muaro Jambi

18,000,000

18,000,000

43

Kab. Tanjung Jabung Timur

17,000,000

17,000,000

VII

Provinsi Sumatera Selatan

20,000,000

20,000,000

44

Kab. Lahat

23,000,000

23,000,000

45

Kab. Musi Banyuasin

20,000,000

24,400,000

46

Kab. Musi Rawas

47

Kab. Muara Enim

6,500,000

48

Kab. Ogan Komering Ilir

3,000,000

49

Kab. Ogan Komering Ulu

50

Kota Palembang

51

Kota Pagar Alam

52

Kota Prabumulih

53

Kab. Ogan Ilir

3,000,000

3,000,000

54

Kab. OKU Timur

8,000,000

8,000,000

55

Kab. OKU Selatan

3,000,000

3,000,000

VIII

Provinsi Bangka Belitung

56

Kab. Bangka Selatan

IX

Provinsi Bengkulu

57

Kab. Rejang Lebong

58

Kab. Mukomuko

Provinsi Lampung

59

Kab. Lampung Barat

4,400,000

60

Kab. Lampung Selatan

7,400,000

61

Kab. Lampung Tengah

10,000,000

10,000,000

15,000,000

4,400,000

10,000,000

32,500,000

3,000,000

2,000,000

20,000,000
2,000,000

2,000,000

23,000,000
3,000,000

5,000,000

5,000,000

14,000,000

14,000,000
7,000,000

3,000,000

4,400,000

10,000,000
4,400,000

9,000,000
8,000,000

60,500,000

12,000,000

20,000,000
12,500,000

15,000,000

9,000,000
5,000,000

13,000,000

29,000,000

29,000,000
4,400,000

9,000,000

2,000,000

10,000,000

18,400,000
10,000,000

Lampiran - 57

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(dalam ribu rupiah)

NO

Daerah

Pendidikan

Kesehatan

62

Kab. Lampung Utara

8,400,000

63

Kab. Lampung Timur

5,400,000

64

Kab. Tulang Bawang

65

Kota Bandar Lampung

XI

Provinsi DKI Jakarta

XII

Provinsi Jawa Barat

66

Kab. Bandung

67

Kab. Bekasi

68
69

Jalan dan
Prasarana
Fisik lainnya

Irigasi &
Pengairan

Air Bersih &


Lingkungan
Hidup

Pertanian,
Kelautan
dan
Perikanan

10,000,000

TOTAL

18,400,000
5,400,000

10,000,000

10,000,000

3,000,000

9,000,000

10,000,000

10,000,000

5,000,000

18,000,000

Kab. Bogor

15,000,000

15,000,000

Kab. Ciamis

10,000,000

10,000,000

70

Kab. Cianjur

5,000,000

5,000,000

71

Kab. Cirebon

72

Kab. Indramayu

73

Kab. Kuningan

11,500,000

11,500,000

74

Kab. Majalengka

10,000,000

10,000,000

75

Kab. Sukabumi

5,000,000

5,000,000

76

Kab. Tasikmalaya

11,000,000

11,000,000

77

Kota Bandung

10,000,000

18,500,000

78

Kota Bekasi

5,000,000

5,000,000

79

Kota Bogor

80

Kota Depok

81

Kota Cimahi

10,000,000

10,000,000

82

Kota Banjar

11,500,000

11,500,000

XIII

Provinsi Banten

83

Kab. Pandeglang

5,000,000

5,000,000

XIV

Provinsi Jawa Tengah

84

Kab. Cilacap

85

Kab. Demak

86

Kab. Grobogan

87

Kab. Jepara

88

Kab. Kudus

89

Kab. Magelang

90

Kab. Pati

91

Kab. Purbalingga

92

Kab. Purworejo

93

Kab. Rembang

1,650,000

1,650,000

94

Kab. Semarang

4,650,000

4,650,000

95

Kab. Sragen

6,000,000

13,000,000

5,000,000

8,500,000

14,000,000

6,000,000

20,000,000

29,000,000

4,000,000

38,000,000

9,500,000
5,000,000

9,500,000

9,000,000

5,000,000

1,400,000

1,400,000
5,000,000

5,000,000

10,000,000

10,000,000

10,000,000
5,000,000
4,400,000
7,000,000

15,000,000

25,000,000

35,000,000

40,000,000
4,400,000

15,000,000

15,000,000

5,000,000

12,000,000

9,000,000

9,000,000

30,000,000

58 - Lampiran

19,000,000

30,000,000

Lampiran

(dalam ribu rupiah)

NO

Daerah

Pendidikan

Kesehatan

Jalan dan
Prasarana
Fisik lainnya

Irigasi &
Pengairan

Air Bersih &


Lingkungan
Hidup

Pertanian,
Kelautan
dan
Perikanan

TOTAL

96

Kab. Temanggung

5,000,000

5,000,000

97

Kab. Wonosobo

10,000,000

10,000,000

98

Kota Semarang

5,000,000

5,000,000

99

Kota Surakarta

12,996,500

12,996,500

XV

Provinsi DI Yogyakarta

100

Kab. Bantul

101

Kab. Kulon Progo

102

Kab. Sleman

XVI

Provinsi Jawa Timur

103

Kab. Bangkalan

104

Kab. Blitar

105

Kab. Bondowoso

106

Kab. Gresik

7,500,000

7,500,000

107

Kab. Kediri

20,000,000

20,000,000

108

Kab. Lamongan

3,000,000

3,000,000

109

Kab. Lumajang

110

Kab. Madiun

10,000,000

10,000,000

111

Kab. Mojokerto

112

Kab. Pamekasan

113

Kab. Pasuruan

114

Kab. Probolinggo

115

Kab. Trenggalek

116

10,500,000

4,000,000

3,000,000

17,500,000

13,500,000

13,500,000

8,000,000

8,000,000
5,000,000
25,000,000

5,000,000
5,000,000

30,000,000

5,000,000

5,000,000

3,000,000

3,000,000
7,500,000

1,000,000

2,500,000

10,000,000

10,000,000

5,000,000

15,000,000

1,000,000

1,000,000

3,000,000

10,000,000

10,000,000

20,000,000

25,000,000

Kab. Tulungagung

10,000,000

10,000,000

117

Kota Mojokerto

10,000,000

118

Kota Pasuruan

10,000,000

5,000,000

119

Kota Probolinggo

20,000,000

5,000,000

120

Kota Batu

10,000,000

XVII

Provinsi Kalimantan Barat

121

Kab. Bengkayang

122

Kab. Landak

123

Kab. Ketapang

124

Kab. Pontianak

125

Kab. Sanggau

126

Kota Pontianak

XVIII

Provinsi Kalimantan
Tengah

127

Kab. Kotawaringin Barat

2,000,000

2,000,000

10,000,000

5,000,000

128

Kab. Kotawaringin Timur

3,000,000

3,000,000

15,000,000

2,500,000

129

Kota Palangkaraya

4,500,000

4,000,000

5,000,000

4,000,000

5,400,000

9,000,000

10,000,000
15,000,000
5,000,000

30,000,000
10,000,000

1,000,000

19,400,000

15,000,000

15,000,000

3,000,000

3,000,000
15,000,000

1,000,000

1,000,000

6,500,000

15,000,000
1,000,000

2,000,000

1,000,000

12,500,000

5,000,000

5,000,000

65,000,000

65,000,000

1,000,000

1,000,000

20,000,000

1,000,000

25,500,000
8,500,000

Lampiran - 59

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(dalam ribu rupiah)

Kesehatan

Jalan dan
Prasarana
Fisik lainnya

Irigasi &
Pengairan

16,500,000

4,500,000

Air Bersih &


Lingkungan
Hidup

Pertanian,
Kelautan
dan
Perikanan

NO

Daerah

Pendidikan

130

Kab. Pulang Pisau

2,000,000

131

Kab. Lamandau

132

Kab. Katingan

9,000,000

3,000,000

15,000,000

133

Kab. Seruyan

11,250,000

5,000,000

16,250,000

XIX

Prov. Kalimantan Selatan

50,000,000

134

Kab. Banjar

135

Kab. Kota Baru

136

Kota Banjarmasin

137

Kab. Tanah Bumbu

XX

Provinsi Kalimantan Timur

138

Kab. Berau

139
140
141

Kab. Nunukan

5,000,000

5,000,000

142

Kota Tarakan

14,500,000

14,500,000

143

Kab. Penajam Paser Utara

10,000,000

10,000,000

XXI

Provinsi Sulawesi Utara

20,000,000

20,000,000

144

Kab. Bolaang Mongondow

5,000,000

5,000,000

145

Kab. Minahasa

3,000,000

3,000,000

146

Kab. Sangihe

5,000,000

5,000,000

147

Kota Bitung

10,000,000

10,000,000

148

Kota Manado

149

Kab. Kepulauan Talaud

150

Kab. Minahasa Selatan

151

Kab. Minahasa Utara

XXII

Provinsi Gorontalo

152

2,000,000

2,000,000

10,000,000

30,000,000
1,000,000

2,000,000

2,000,000

4,000,000

37,000,000
30,000,000

50,000,000

5,000,000
2,000,000

TOTAL

5,000,000
1,000,000

2,000,000

4,000,000

14,690,000

15,000,000
14,690,000

5,000,000

5,000,000
5,000,000

5,000,000

Kab. Bulungan

14,000,000

14,000,000

Kab. Kutai Barat

5,000,000

5,000,000

43,000,000
1,000,000

5,000,000

36,000,000

1,000,000

11,750,000

43,000,000
1,000,000

2,000,000

5,000,000

46,000,000

1,000,000

17,750,000

5,000,000

5,000,000

Kab. Boalemo

10,000,000

10,000,000

153

Kab. Gorontalo

10,000,000

154

Kab. Pohuwato

17,500,000

17,500,000

XXIII

Provinsi Sulawesi Tengah

155

Kab. Banggai

18,000,000

18,000,000

156

Kab. Banggai Kepulauan

2,000,000

4,000,000

157

Kab. Toli-Toli

158

Kab. Donggala

159

Kab. Morowali

160

Kab. Poso

4,400,000

4,400,000

161

Kota Palu

7,400,000

7,400,000

162

Kab. Tojo Una Una

2,000,000

5,000,000

15,000,000

17,000,000
4,650,000
10,000,000

17,000,000

60 - Lampiran

17,000,000
4,000,000

8,650,000
10,000,000

17,000,000

Lampiran

(dalam ribu rupiah)

NO

Daerah

Pendidikan

Kesehatan

Jalan dan
Prasarana
Fisik lainnya

Irigasi &
Pengairan

Air Bersih &


Lingkungan
Hidup

Pertanian,
Kelautan
dan
Perikanan

TOTAL

XXIV

Provinsi Sulawesi Selatan

163

Kab. Barru

164

Kab. Bone

165

Kab. Enrekang

166

Kab. G o w a

167

Kab. Jeneponto

168

Kab. Luwu Utara

4,400,000

4,400,000

169

Kab. M a r o s

4,400,000

4,400,000

170

Kab. Pangkajene
Kepulauan

5,000,000

5,000,000

171

Kab. Selayar

5,000,000

5,000,000

172

Kab. Sidenreng Rappang

173

Kab. Sinjai

5,000,000

174

Kab. Soppeng

5,000,000

5,000,000

175

Kota Pare-pare

4,500,000

4,500,000

176

Kota Palopo

3,000,000

3,000,000

XXV

Provinsi Sulawesi Barat

177

Kab. Mamuju

178

Kab. Polewali Mandar

179

5,000,000

6,400,000

20,000,000

20,000,000

8,000,000

8,000,000

5,000,000

5,000,000

40,000,000

45,000,000

5,000,000

5,000,000

5,000,000

5,000,000

4,000,000

4,000,000

14,400,000
5,000,000

10,000,000

3,000,000

3,000,000
9,000,000

9,000,000

Kab. Mamuju Utara

40,000,000

40,000,000

XXVI

Provinsi Sulawesi Tenggara

10,000,000

10,000,000

180

Kab. Buton

8,000,000

8,000,000

181

Kab. Konawe

182

Kab. Kolaka

183

Kab. Muna

184

Kab. Bombana

6,100,000

185

Kab. Wakatobi

7,000,000

XXVII

Provinsi Bali

186

Kab. Badung

187

Kab. Bangli

188

Kab. Gianyar

189

Kab. Karangasem

XXVIII

Provinsi Nusa Tenggara


Barat

190

Kab. Bima

5,000,000

5,000,000

191

Kab. Dompu

5,000,000

5,000,000

192

Kab. Lombok Tengah

4,000,000

193

Kab. Sumbawa

7,000,000

7,000,000

194

Kota Mataram

9,000,000

9,000,000

195

Kab. Sumbawa Barat

7,000,000

7,000,000

15,000,000
1,000,000

11,000,000

4,000,000
1,000,000

1,000,000

14,000,000

15,000,000

10,000,000

19,000,000
15,000,000
6,100,000

9,000,000

9,000,000

25,000,000

20,000,000

20,000,000

10,000,000

10,000,000

25,000,000

35,000,000

10,000,000

10,000,000

2,500,000

5,000,000

20,000,000
2,500,000

3,000,000

Lampiran - 61

10,000,000

7,000,000

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

(dalam ribu rupiah)

Kesehatan

Irigasi &
Pengairan

Air Bersih &


Lingkungan
Hidup

Pertanian,
Kelautan
dan
Perikanan

Daerah

XXIX

Prov. Nusa Tenggara Timur

25,000,000

25,000,000

196

Kab. Ende

4,400,000

5,000,000

9,400,000

197

Kab. Kupang

2,000,000

2,000,000

198

Kab. Lembata

5,000,000

199

Kab. Manggarai

7,000,000

29,000,000

36,000,000

200

Kab. Ngada

8,400,000

20,000,000

28,400,000

201

Kab. Sikka

4,400,000

202

Kab. Timor Tengah Selatan

2,000,000

2,000,000

6,300,000

3,000,000

2,000,000

2,200,000

17,500,000

203

Kota Kupang

5,500,000

2,000,000

4,500,000

4,000,000

1,000,000

2,000,000

19,000,000

204

Kab. Manggarai Barat

1,000,000

1,000,000

2,000,000

4,000,000

XXX

Provinsi Maluku

205

Kab. Maluku Tengah

206

Kota Ambon

3,000,000

2,000,000

5,000,000

1,000,000

1,500,000

1,500,000

14,000,000

207

Kab. Seram Bagian Timur

1,000,000

1,000,000

23,950,000

1,000,000

2,000,000

1,000,000

29,950,000

XXXI

Provinsi Maluku Utara

208

Kab. Halmahera Tengah

209

Kab. Halmahera Barat

210

Kab. Halmahera Timur

211

Kab. Kepulauan Sula

212

Kab. Halmahera Selatan

XXXII

Provinsi Papua

213

Kab. Jayapura

10,000,000

10,000,000

214

Kab. Merauke

50,000,000

50,000,000

215

Kab. Nabire

9,000,000

9,000,000

216

Kota Jayapura

5,000,000

217

Kab. Keerom

10,000,000

10,000,000

218

Kab. Yahukimo

25,000,000

25,000,000

219

Kab. Pegunungan Bintang

220

Kab. Tolikara

221

Kab. Boven Digoel

XXXIII

Provinsi Irian Jaya Barat

222

Kab. Sorong

223

Kab. Manokwari

224

Kab. Fak Fak

225

Kab. Sorong Selatan


Total Nasional

Pendidikan

Jalan dan
Prasarana
Fisik lainnya

NO

1,000,000

2,000,000

4,400,000

5,500,000

15,000,000

15,000,000
4,000,000

4,000,000

15,000,000
1,000,000

6,500,000

15,000,000
1,000,000

1,000,000

1,000,000

5,000,000
10,000,000

7,000,000

8,000,000

3,000,000

22,000,000

8,000,000

10,000,000

32,500,000

45,500,000

10,500,000

70,000,000

45,500,000

5,000,000

50,500,000

5,000,000
2,500,000

12,500,000
5,000,000

4,000,000

22,500,000
7,000,000

7,000,000
5,000,000

5,500,000

2,000,000

TOTAL

34,000,000

2,000,000

2,000,000

3,500,000

8,500,000

8,000,000

48,500,000

25,000,000

25,000,000

1,000,000

1,000,000

17,000,000

1,000,000

2,000,000

4,500,000

26,500,000

69,000.000

453,050.000

2,674,246.500

179,000.000

89,190.000

98,700.000

3,563,186.500

MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI

62 - Lampiran

Lampiran

Lampiran 9

POSISI PENGHIMPUNAN DANA BANK UMUM MENURUT


LOKASI DATI.I 1)
(Rp miliar)

No

Dati I

2002

2003

2004

2005

2006

Nanggroe Aceh
Darussalam

6.111

7.139

7.947

13.952

22.105

Sumatera Utara

34.555

39.962

45.002

51.735

59.808

Sumatera Barat

6.335

7.412

8.122

8.956

11.431

Riau

16.879

19.349

23.903

29.407

40.138

Jambi

3.829

4.544

5.287

5.735

7.478

Sumatera Selatan

10.119

12.207

14.449

17.436

20.804

Bangka Belitung

2.174

2.580

3.307

3.985

5.106

Bengkulu

1.223

1.531

1.783

2.090

2.761

Lampung

5.302

6.052

6.529

7.588

9.436

10

Banten

14.201

16.493

19.722

26.177

28.781

11

DKI Jakarta

466.132

482.939

499.269

579.121

631.445

12

Jawa Barat

74.779

77.380

81.607

93.164

106.144

13

Jawa Tengah

39.894

43.525

46.804

53.420

62.698

14

DI Yogyakarta

8.242

9.157

10.213

11.461

13.902

15

Jawa Timur

81.706

88.911

95.514

113.388

126.820

16

Bali

12.221

12.806

15.280

17.377

19.029

17

Nusa Tenggara Barat

2.462

2.808

3.339

3.924

4.893

18

Nusa Tenggara Timur

3.348

3.934

4.337

4.874

6.570

19

Kalimantan Barat

6.934

6.770

8.891

10.450

12.793

20

Kalimantan Tengah

2.532

3.033

3.353

4.108

5.493

21

Kalimantan Selatan

22

Kalimantan Timur

23

Sulawesi Utara

24

Gorontalo

630

710

853

1008

1398

25

Sulawesi Tengah

2.321

2.681

2.883

3.358

4.448

26

Sulawesi Selatan

11.215

13.360

14.619

17.212

21.847

27

Sulawesi Tenggara

1.695

1.978

1.999

2.285

3.323

28

Maluku Utara

825

990

1215

1.528

2.184

29

Maluku

1.780

2.134

2.458

2.816

4.164

30

Papua

4.953

6.151

7.142

10.322

16.269

845.015

902.323

965.080

1.134.087

1.298.761

JUMLAH :

4.988

5.738

7.041

8.399

10.829

14.474

15.833

17.620

23.509

30.612

3.156

4.216

4.592

5.302

6.052

1) Penghimpunan dana oleh Bank yang berada di Dati I tersebut data di BI


masih mencakup 30 propinsi

Lampiran - 63

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 10

Perkembangan Inflasi 45 Kota


(2002=100)

No

Nama Kota

2003

2004

2005

2006

LHOKSEUMAWE

4,00

7,35

17,58

11,47

BANDA ACEH

3,87

6,97

41,11

9,54

PADANG SIDEMPUAN

4,38

8,99

18,47

10,02

SIBOLGA

2,85

6,64

22,39

5,03

PEMATANG SIANTAR

1,76

7,30

19,67

6,07

MEDAN

6,10

6,65

22,91

5,96

PADANG

4,73

6,97

20,47

8,05

PAKANBARU

7,06

8,93

17,11

6,31

BATAM

3,43

4,22

14,79

4,59

10

JAMBI

4,67

7,24

16,50

10,66

11

PALEMBANG

4,43

8,94

19,92

8,44

12

BENGKULU

3,42

4,67

25,23

6,52

13

BANDAR LAMPUNG

4,74

5,22

21,18

6,03

14

PANGKAL PINANG

6,74

9,00

17,45

6,42

15

JAKARTA

5,65

5,87

16,06

6,03

16

TASIKMALAYA

3,23

5,92

20,83

8,44

17

BANDUNG

6,09

7,56

19,57

5,33

18

CIREBON

3,36

3,27

16,83

6,30

19

PURWOKERTO

3,38

6,32

14,54

8,45

20

SURAKARTA

2,34

5,15

13,88

6,18

21

SEMARANG

5,60

5,97

16,47

6,07

22

TEGAL

3,06

5,25

18,39

7,73

23

YOGYAKARTA

5,36

6,95

14,98

10,40

24

JEMBER

4,63

6,24

16,86

6,84

25

KEDIRI

1,96

6,38

16,84

7,78

26

MALANG

3,53

6,28

15,74

5,91

27

SURABAYA

5,20

6,06

14,12

6,70

28

SERANG/CILEGON

6,04

6,40

16,11

7,67

29

DENPASAR

5,76

5,97

11,30

4,30

30

MATARAM

2,62

6,61

17,73

4,17

31

KUPANG

6,95

8,28

15,16

9,72

64 - Lampiran

Lampiran

32

PONTIANAK

5,77

6,06

14,43

6,31

33

SAMPIT

2,47

6,67

11,90

7,75

34

PALANGKARAYA

5,32

7,24

12,12

7,72

35

BANJARMASIN

6,88

7,53

12,93

11,04

36

BALIKPAPAN

8,59

7,60

17,28

5,52

37

SAMARINDA

6,89

5,64

16,65

6,50

38

MANADO

2,79

4,69

18,73

5,09

39

PALU

5,10

7,01

16,33

8,69

40

MAKASSAR

2,53

6,47

15,20

7,21

41

KENDARI

4,66

7,73

21,46

10,57

42

GORONTALO

-0,03

8,64

18,56

7,54

43

AMBON

3,01

3,45

16,67

4,80

44

TERNATE

6,46

4,82

19,43

5,12

45

JAYAPURA

8,46

9,45

14,15

9,52

5,06

6,40

17,11

6,60

Lampiran - 65

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 11

PERKEMBANGAN JUMLAH BPR NASIONAL


No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung **)
Bengkulu
Lampung
Banten ***)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo ****)
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Maluku
Papua
Kep. Riau
Jumlah

2003 *)

2004 *)

20
56
104
11
3
13

20
56
104
13
4
14

4
25

4
29

13
581
586
65
346
143
64
4
8
25
1
6
23

18
558
598
65
349
143
64
4
9
25
1
7
24

3
22
5
1
1
6
2
2141

2005

2006

4
26
6
1
2
6
4

15
54
100
12
5
12
1
3
27
79
20
440
510
63
339
142
63
4
12
24
1
8
20
5
4
22
6
1
2
5
10

15
54
103
13
7
13
1
3
27
76
24
423
384
61
341
142
63
5
15
24
1
9
16
7
6
22
6
1
2
5
11

2158

2009

1880

NB :
*) Jumlah BPR tahun 2003 dan 2004 termasuk BPRS
**) Tahun 2003 dan 2004 Propinsi Bangka Belitung termasuk propinsi Sumatera Selatan
***) Tahun 2003 dan 2004 Propinsi Banten termasuk Jawa Barat
****) Tahun 2003 dan 2004 Propinsi Gorontalo termasuk Propinsi Sulawesi Utara

66 - Lampiran

Lampiran

Lampiran 12

PERKEMBANGAN JUMLAH KANTOR BANK SYARIAH 1)


No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Maluku
Papua
Kep. Riau
Jumlah

1)

2004

2005

2006

6
11
7
4
2
3

7
12
7
6
2
4

1
2
5
26
23
12
4
17
1
2

2
2
6
25
28
15
5
20
2
3

2
6
1
5
1
2
5
1
1

3
7
1
6
2
1
2
6
1
1

1
2

2
2

9
16
7
6
3
5
1
2
4
8
28
29
16
5
21
2
4
1
4
7
1
9
2
1
2
6
1
1
1
3
5

153

180

210

Terdiri atas kantor Bank Syariah Murni dan Unit Usaha Syariah

Lampiran - 67

Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah

Lampiran 13

POSISI KREDIT BANK UMUM MENURUT LOKASI PROYEK DATI.I. 1)


(Rp miliar)

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Dati I

2002

2003

2004

2005

Nanggroe Aceh Darussalam


Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Maluku
Papua

2.173
14.929
4.178
14.254
2.870
6.007
863
836
4.420
17.612
142.923
48.932
25.439
2.424
38.770
6.555
1.528
1.352
3.136
1.676
4.124
5.541
2.012
403
1.393
8.390
803
191
409
1.267

2.544
19.326
5.734
13.696
3.450
7.240
932
1008
5.262
22.591
167.666
57.574
30.857
3.233
46.809
7.507
1.955
1.677
3.948
2.199
4.689
7.914
3.077
496
2.029
10.644
1126
321
626
1.813

4.002
26.509
7.187
21.207
4.357
9.600
1274
1417
6.595
27.548
200.754
73.981
38.529
4.460
59.206
8.732
2.667
2.171
5.436
2.759
6.450
12.584
3.598
796
2.680
13.395
1751
457
1107
2.342

4.700
35.676
8.130
25.712
5.455
11.543
1.933
1814
8.961
32.826
248.766
91.313
48.237
5.916
74.809
10.991
3.374
2.665
6.374
3.616
7.468
16.022
4.586
998
3.350
17.387
2135
620
1434
2.856

5.812
41.237
9.356
30.046
6.547
12.822
2.382
2327
10.997
35.827
286.073
100.935
53.554
6.388
82.950
11.950
4.092
3.281
7.353
4.723
8.622
18.659
5.491
1.061
3.862
21.775
3124
721
1351
3.819

JUMLAH :

365.410

437.943

553.551

689.667

787.137

1) Kredit yang disalurkan oleh Bank seluruh Indonesia ke Dati I tersebut data di BI masih mencakup 30 propinsi

68 - Lampiran

2006

Anda mungkin juga menyukai