Anda di halaman 1dari 15

ABSTRAK Kota baru merupakan kota yang direncanakan, dibangun, dan dikembangkan pada saat kota-kota lainnya yang

sudah direncanakan dan dibangun sebelumnya telah tumbuh dan berkembang. Kota baru diharapkan menjadi salah satu solusi dalam memecahkan permasalahan perkotaan. Suatu kota baru diharapkan bukan hanya sebagai tempat tinggal untuk penghuninya, tetapi juga dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan lain di kota besar terkait yang terletak di sekitar kota baru tersebut. Kota baru dapat memiliki dua definisi. Definisi pertama mengatakan bahwa kota baru adalah kota yang terbentuk di suatu daerah guna meenyelesaikan permasalahan yang terdapat di daerah tersebut dan kota baru tersebut dapat terbentuk sesuai dengan prasayarat dan aturan yang ada. Definisi lainnya mengenai kota baru adalah sebuah kota yang terbentuk akibat dari pemekaran suatu daerah dan kota baru ini disebut sebagai kota baru otonom. Salah satu kota baru otonom di Indonesia yang dibahas di dalam penelitian ini adalah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan terkait kota baru yang merupakan regulasi dan hukum terkait pengendalian pembangunan kota, khususnya kota Tangsel. Rencana pemekaran Kabupaten Tangerang ini diawali oleh keinginan warga untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, pasca pemekaran kota Tangsel justru membuat harga tanah melambung tinggi dan beberapa permasalahan lainnya pun muncul. Permasalahan yang muncul diakibatkan oleh tumpangtindihnya kebijakan yang ada. Tumpang tindih ini menyebabkan timbulnya permasalahan yang timbul pasca pembentukan Kota Baru Otonom Tangerang Selatan, contohnya dalam bidang sampah, pendidikan, infrastruktur, serta permukiman.

Kata kunci : kota baru, kota tangsel, kebijakan

1.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota baru merupakan kota yang direncanakan, dibangun, dan dikembangkan pada saat kota-kota lainnya yang sudah direncanakan dan dibangun sebelumnya telah tumbuh dan berkembang (Suharto, 1990). Kota ini pada umumnya dikembangkan sebagai upaya untuk memecahkan permasalahan pertumbuhan penduduk di kota besar, yang berakibat pada kekurangan perumahan, pengangguran, kemacetan, serta kurangnya infrastruktur perkotaan. Berdasarkan permasalahan di atas, kota baru diharapkan menjadi salah satu solusi dalam memecahkan permasalahan perkotaan tersebut. Oleh karena itu, suatu kota baru diharapkan bukan hanya sebagai tempat tinggal untuk penghuninya, tetapi juga dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan lain di kota besar terkait yang terletak di sekitar kota baru tersebut. Makalah ini mengambil studi kasus salah satu kota baru yang terletak di DKI Jakarta, yaitu Kota Tangerang Selatan. Kota ini berstatus sebagai kota baru otonom. Kota ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Rencana pemekaran ini berawal dari keinginan warga di wilayah selatan untuk mensejahterakan masyarakat. Warga merasa kurang diperhatikan Pemerintah Kabupaten Tangerang sehingga banyak fasilitas terabaikan. Pembentukan Kota Tangerang Selatan diharapkan menjadi solusi efektif untuk memaksimalkan pelayanan masyarakat di wilayah itu, yang selama ini jaraknya terlalu jauh dengan Tigaraksa, ibukota Kabupaten Tangerang. Karena hal inilah Kota Baru Otonom Tangerang Selatan dirasa perlu dibentuk. Kota Tangerang Selatan disahkan pada Oktober 2008.1 Dalam pembangunan kota baru otonom ini, dibutuhkan kebijakan yang berguna untuk mengendalikan pembangunan kota tersebut. Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.2 Dalam kasus pembangunan kota baru otonom ini kebijakan yang dimaksud adalah regulasi atau hukum terkait yang mengatur pembangunan dan pelaksanaan keberjalanan kota tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan merupakan salah satu instrumen yang penting dalam pembangunan suatu kota baru, termasuk kota baru otonom. Kebijakan-kebijakan ini akan mengatur sistem di dalam kota baru otonom

sumber: http://tangerangselatan.wordpress.com/2008/10/30/tangerang-selatan-disahkan/ diakses pada tanggal 23 November 2011 2 sumber: http://www.pdii.lipi.go.id/?p=2680 diakses pada tanggal 23 November 2011

tersebut dengan landasan hukum yang jelas. Oleh karena itu, kebijakan kota baru otonom dirasa perlu untuk dibahas dalam makalah ini.

1.2 Tujuan Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, dapat diketahui tujuan dari makalah ini adalah mengetahui kebijakan yang terkait dengan kota baru, dalam makalah ini yang dimaksud dengan kota baru adalah Kota Baru Otonom Tangerang Selatan. Kebijakan yang dimaksud merupakan regulasi dan hukum terkait pengendalian pembangunan kota tersebut.

1.3 Rumusan Persoalan Dari tujuan yang telah dijelaskan, dapat diidentifikasi rumusan persoalan yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini. Rumusan persoalan tersebut antara lain sebagai berikut. a. Kebijakan apa saja yang mengatur pembangunan dan pelaksanaan keberjalanan Kota Baru Otonom Tangerang sebagai instrumen pengendalian perencanaan? b. Masalah kebijakan apa sajakah yang terkait pembangunan dan pelaksanaan keberjalanan Kota Tangerang Selatan? c. Bagaimana solusi atau rekomendasi dari permasalahan kebijakan pembangunan dan pelaksanaan keberjalanan Kota Tangerang Selatan?

2.

KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian dan Konsep Kota Baru Pengertian kota baru menurut Sujarto, 1990 dalam Herawati, 2011) adalah kota yang direncanakan, dibangun, dan dikembangkan pada saat suatu atau beberapa kota lainnya yang direncanakan dan dibangun sebelumnya telah tumbuh. Kota baru juga dapat berupa suatu lingkungan permukiman berskala besar yang direncanakan dan dibangun untuk mengatasi masalah kekurangan perumahan di suatu kota besar. Secara fungsional kota baru demikian masih banyak tergantung kepada peran dan fungsi kota induknya. Dari segi jarak lokasinya berdekatan dengan kota induknya. Kota baru ini juga dikatakan juga sebagai kota satelit dari kota induk tersebut. Lebih lanjut, Sujarto (1990 dalam Herawati(2011)) menjelaskan bahwa perkembangan kota baru ini didorong oleh factor sosial dan factor ekonomi. Faktor sosial yang utama adalah perkembangan penduduk yang terjadi di kota besar telah mengakibatkan degradasi seperti dalam hal pelayanan

pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi, dan hubungan antar penduduk. Faktor ekonomi yang mendorong kemunculan kota baru adalah pemikiran mutakhir yang menyimpulkan bahwa suatu upaya mendekosentrasikan kegiatan usaha akan dapat membantu mengurangi beban yang harus ditanggung oleh kota-kota besar. Kota baru sebagian besar berada di kawasan pinggiran kota. Kawasan pinggiran kota merupakan kawasan yang berada dalam proses peralihan dari kawasan perdesaan menjadi perkotaan. Sebagai kawasan peralihan, kawasan ini berada dalam tekanan kegiatan perkotaan yang meningkat dan akan berdampak pada perubahan fisik termasuk adanya konversi lahan dan proses transformasi spasial. Hal tersebut akan memberikan dampak lebih lanjut terhadap sosial ekonomi dan budaya pada penduduk serta lingkungan fisik di daerah pinggiran kota tersebut. Oleh karena itu, kawasan pinggiran kota memberikan peluang yang menyenangkan untuk bertempat tinggal. Dengan kondisi ini daerah pinggiran kota akan terus mengalami perkembangan (Pontoh dan Kustiwan, 2009 dalam Herawati, 2011).

2.2 Otonomi Daerah dan Daerah Otonom Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dasar dari pengadaan kebijakan otonomi daerah ini terdapat pada UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu: 1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan Pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan 2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan

penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan

kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan: 1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim; 2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif; 3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. 4. Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah: 5. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah; 6. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan 7. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, maka akan ada daerah otonom, yang menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.2.1 Permasalahan Otonomi Daerah Dalam implementasinya, otonomi daerah memiliki berbagai masalah, apalagi daerah-daerah yang baru diberi kebijakan otonom yang masih rancu dalam menentukan acuan keberjalanan pembangunan kotanya. Beberapa persoalan otonomi daerah menurut Masyarakat Transparansi Indonesia adalah: 1. Kewenangan yang tumpang tindih; pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. 2. Anggaran; banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam

kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan

kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat. 3. Pelayanan Publik; masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan Putra Asli Daerah untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan. 4. Politik Identitas Diri; menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis 5. Orientasi Kekuasaan; otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti putra daerah dalam pemilihan kepala daerah. 6. Lembaga Perwakilan; meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah. 7. Pemekaran Wilayah; pemekaran wilayah menjadi masalah karena ternyata hal ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya

desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. 8. Pilkada Langsung; pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.

2.3

Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah atau pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu

daerah administrative (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasrakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI Nomor 22 Tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan, Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Menurut Kompas 2010, ketimpangan pembangunan serta pembagian dana yang kurang proporsional menjadi alasan umum pengajuan pemekaran daerah. Dengan adanya pemekaran daerah, masyarakat berharap adanya percepatan pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan. Pemekaran daerah merupakan bagian dari upaya untu meningkatkan kemampuan pemerintah darah sehingga meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan (Effendy, 2007 dalam Irene ,2010). Tujuan pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004adalah untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 129 Tahun 2000,

pemekaran daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui: a. b. c. d. e. f. peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; percepatan pengelolaan potensi daerah; peningkatan keamanan dan ketertiban; peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

Peningkatan kesejahteraan yang dihasilkan melalui pemekaran daerah seharusnya tidak hanya dirasakan oleh daerah otonom baru, namun juga oleh daerah induk. Kedua daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan otonomi daerah dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan berlaku pasca pemekaran daerah. Sebelum mengadakan pengajuan keinginan pemekaran daerah, dilakukan proses inisiasi pemekaran daerah terlebih dahulu oleh pemerintah daerah terkait. Syarat terjadinya pemekaran daerah menurut PP No 129 Tahun 2000 adalah: 1. Kemampuan Ekonomi Merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari PDRB dan penerimaan daerah sendiri. 2. Potensi Daerah Merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata, dan ketenagakerjaan. 3. Sosial Budaya Merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya, dan sarana olah raga. 4. Sosial Politik Merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpoltik dan organisasi kemasyarakatan. 5. Jumlah Penduduk 6. Luas Daerah

7. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah Merupakan pertimbangan untuk terselenggaranya otonomi daerah yang dapat diukur dari keamanan dan ketertiban, ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan, rentang kendali, propsinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kabupaten dan/atau kota, kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kecamatan, dan kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kecamatan. 3. ANALISIS KASUS Kota Tangerang Selatan merupakan sebuah kota baru yang terbentuk pada tahun 2007. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Rencana ini berawal dari keinginan warga di wilayah selatan untuk mensejahterakan masyarakat. Warga merasa kurang diperhatikan Pemerintah Kabupaten Tangerang sehingga banyak fasilitas terabaikan. Pada 27 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Cisauk, dan Setu. Pada 22 Januari 2007, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang menetapkan Kecamatan Ciputat sebagai pusat pemerintahan Tangerang Selatan. Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPRD Endang Sujana, Ciputat dipilih secara aklamasi. Lokasi persis ibukota itu adalah Kelurahan Maruga yang merupakan bekas Kantor Kawedanan Ciputat dan dipakai sebagai kantor Kecamatan Ciputat. Pada rapat paripurna lanjutan, seluruh fraksi DPRD juga menyetujui pemekaran tiga kecamatan baru di wilayah Tangerang bagian selatan. Kecamatan baru itu adalah Kecamatan Ciputat Timur (pemekaran dari Kecamatan Ciputat), Kecamatan Setu (pemekaran dari Kecamatan Cisauk), dan Kecamatan Serpong Utara (pemekaran dari Kecamatan Serpong). Sedang Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Pamulang tidak ada pemekaran wilayah. Dengan demikian, jumlah kecamatan di Kota Tangerang Selatan bertambah dari lima menjadi delapan kecamatan. Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten mulai membahas berkas usulan pembentukan Kota Tangerang mulai 23 Maret 2007. Pembahasan dilakukan setelah berkas usulan dan persyaratan pembentukan kota diserahkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ke Dewan pada 22 Maret 2007. Pada 2007, Pemerintah Kabupaten Tangerang menyiapkan dana Rp 20 miliar untuk proses awal berdirinya Kota Tangerang Selatan. Dana itu dianggarkan untuk biaya operasional kota baru selama satu tahun pertama dan merupakan modal awal dari daerah induk untuk

wilayah hasil pemekaran. Selanjutnya, Pemerintah Kabupetan Tangerang akan menyediakan dana bergulir sampai kota hasil pemekaran mandiri. Jumlah penduduk di wilayah ini lebih dari satu juta jiwa. Pamulang dihuni 236.000 jiwa, sedang Ciputat dihuni 260.187 jiwa. Dari dua kecamatan ini, jumlah penduduk 500.000 jiwa. Jika ditambah dengan penduduk Serpong, Pondok Aren, dan Cisauk akan berjumlah lebih dari satu juta jiwa. Sehingga, memenuhi syarat untuk suatu daerah otonom. Pasca Kota Tangsel dimekarkan dari Kabupaten Tangerang kenaikan harga tanah di Tangsel turut melambung. Semisal untuk lahan 400 meter di Kelurahan Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, Kota Tangsel yang terletak di pinggir jalan. Sebelum dimekarkan dari Kabupaten Tangerang harga per meter bekisar Rp 400 ribu. Untuk 2011 ini pasca pemekaran tiga tahun silam, mencapai Rp 2,5 juta per meter. Sedangkan NJOP per meter untuk tanah hanya Rp 233 ribu. Harga ideal NJOP untuk permeter lahan di Tangsel masih harus dikaji. Sebagai kawasan hinterland dari Jakarta, wilayah Tangerang merupakan salah satu wilayah perluasan Jakarta. Tangerang menjadi wilayah yang ideal untuk menampung para penglaju (komuter) yang tidak dapat jatah tempat tinggal di Jakarta namun masih mencicipi bekerja di ibukota tersebut. Radius jarak tempuh ideal terhadap pola pergerakan para komuter mendorong pertumbuhan bangunan hunian di wilayah Tangerang, baik di Kabupaten Tangerang maupun Kota Tangerang Selatan. Tak heran, dua pengembang real estate skala nasional membangun komplek hunian lengkap di bagian utara dan selatan Tangerang yaitu Lippo Karawaci dan BSD. Hadirnya dua kawasan hunian lengkap ini menjadikannya dua kutub pertumbuhan yang berkembang. Dua kota satelit ini sangat berkontribusi pada pendapatan wilayah Tangerang. Sebenarnya belum ada aturan atau Undang-Undang yang khusus membahas tentang Kota Baru, namun Undang-undang yang selama ini dijadikan dasar pembuatan Kota Baru adalah UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebelumnya, diatur dalam UU no 22 tahun 1999. Menurut undang-undang tersebut, kawasan perkotaan dapat berstatus daerah kota dapat pula bukan daerah kota. Kawasan perkotaan yang berstatus bukan daerah kota dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kawasan perkotaan yang merupakan bagian daerah kabupaten. Kedua, kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan. Ketiga, kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah kabupaten yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan. Dalam kaitannya dengan kota Tangerang Selatan, undang-undang yang terkait dalam pembentukan kota ini adalah UU no 51 tahun 2008. Undang-undang ini mengatur penuh

10

aturan-aturan yang pembentukan, penyelenggaraan, dan kelengkapan kota Tangerang Selatan. Pembentukan kota Tangerang ini juga berlandaskan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010). Pada tingkat nasional, Kota Tangsel lahir ditengah kontroversi terhadap kebijakan maraknya pembentukan daerah otonom baru. Kontroversi ini muncul disamping karena jumlah usulan daerah otonom baru yang begitu banyak, juga karena hasil evaluasi menunjukkan bahwa 60 % daerah otonom baru terbukti gagal sebagai daerah otonom. Secara normatif, indikasi gagal atau berhasilnya suatu daerah otonom baru dapat dilihat semenjak lahirnya daerah otonom baru yang bersangkutan. Hipotesisnya adalah jika suatu daerah otonom baru layak atau memenuhi syarat (yang secara formal diatur menurut PP 78 th 2007) yaitu syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan, maka daerah otonom baru dimaksud diprediksi akan berhasil. Proses lahirnya Kota Tangerang Selatan saat itu diwarnai dengan tarik menarik antara penggunaan PP 78 secara penuh atau sebagian, hal ini terjadi karena masih dalam masa transisi. Jika menggunakan persyaratan beradasarkan PP 78 secara penuh, diperkirakan akan banyak daerah otonom baru yang masih dalam proses pembahasan akan gugur.

Data dalam indikator yang ditentukan berdasarkan PP 78 menunjukan bahwa Kota Tangerang Selatan layak dan memenuhi syarat secara administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Berdasarkan hal ini, sesuai dengan hipotesa diatas maka Kota Tangerang Selatan dimungkinkan dapat berhasil menjadi daerah otonom baru. Kriteria berhasil yaitu mampu menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan rumah tangganya sendiri, untuk menghantarkan kepada kondisi masyarakat yang lebih sejahtera, tenteram, adil dan makmur. Hipotesa tersebut perlu diuji kebenarannya, dengan kata lain persyaratan menjadi daerah otonom baru adalah langkah awal yang harus diikuti oleh langkah-langkah berikutnya. Jika salah menentukan langkah, maka tujuan akan sulit dicapai. Persyaratan adminsitratif, teknis dan fisik kewilayahan adalah merupakan sebuah modal, yang jika salah dalam mengelolanya maka modal tersebut tidak akan menjadi sesuatu yang bermakna atau sia-sia. Namun dalam implementasinya, beberapa permasalahan dihadapi dalam

penyelenggaraan tugas dan fungsi seluruh perangkat daerah di Kota Tangerang Selatan periode 2002-2006 antara lain seperti belum efektifnya penetapan struktur kelembagaan perangkat daerah, masih dirasakannya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi antar perangkat daerah,

11

belum optimalnya penetapan dan pemilahan tugas pokok dan fungsi perangkat daerah berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta belum optimalnya hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang sebelumnya didasarkan atas kewenangan provinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengalami penyesuaian seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan permasalahan yang dihadapi adalah kewenangan daerah masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini mengakibatkan berbagai kendala antara lain dalam hal pelaksanaan kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, serta pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, dan lainnya. Selain itu terjadinya tumpang tindih kewenangan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota daerah mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu aturan, seperti pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan. Tumpang tindih antar kebijakan yang terjadi dalam kasus ini adalah antara kebijakan Kota Tangerang Selatan dengan Kabupaten Tangerang karena masih banyak kebijakan Kabupaten Tangerang yang masih diimplementasikan di Kota Tangerang Selatan. Salah satu tumpang tindih yang terjadi adalah dalam pengelolaan APBD Kota Tangerang Selatan yang masih dipengaruhi oleh Kabupaten Tangerang. Selain itu, karena Kota Tangerang Selatan masih dalam tahap pengembangan sehingga perda-perda yang dibuat maish perlu ada revisi-revisi seiring berjalannya waktu. Sementara perda tersebut direvisi, maka secara otomatis kebijakan yang berhubungan dengan hal yang direvisi tersebut mengacu pada peraturan Kabupate Tangerang sebagai daerah yang terdekat. Hal ini merupakan suatu masalah yang umum pada suatu kota baru otonom namun tetap saja menyalahi aturan karena syarat suatu kota baru otonom adalah sudah tidak boleh bergantung lagi kepada daerah sebelum dilakukan pemekaran. Karena ada masalah tumpang tindih kebijakan antara kota baru otonom dengan daerah yang membebaskannya ini, maka timbullah masalah-masalah lain yang terjadi di dalam keberjalanan Kota Tangerang Selatan setelah dijadikan daerah otonom, antara lain: 1. Sampah Sudah berkoordinasi dengan pemerintah Kab Tangerang untuk dikoordinasikan sampai TPA Cipeucang selesai dibangun. 2. Pendidikan

12

Pendididikan baru dinikmati oleh kalangan tertentu saja yang memiliki ekonomi golongan menengah ke atas. 3. Infrastruktur 70% jalan berada pada kondisi yang rusak. 4. Perumahan layak huni yang belum terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah 5. Pembangunan permukiman menengah ke atas yang merusak lingkungan hijau karena mengambil lahan hutan.

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pemekaran Kota Baru Otonom Tangerang Selatan mengacu pada PP 129 tahun 2000 yang bentuk peraturannya masih belum sekuat sekarang, yang menggunakan PP 78 tahun 2007. Perubahan ini membuat pengajuan pemekaran kawasan menjadi tidak semudah sebelumnya, sehingga tidak terjadi kelebihan pengajuan pemekaran kawasan yang bisa mengakibatkan ketidakefektifan pemerintahan. Dalam kasus Kota Tangerang Selatan, terdapat undang-undang khusus yang mengatur pembentukan, penyelenggaraan, dan kelengkapannya yaitu UU nomor 51 tahun 2008. Pembuatan undang-undang ini didasarkan bahwa untuk memacu kemajuan Provinsi Banten dan Kabupaten pelaksanaan Tangerang, perlu dilakukan dan peningkatan publik penyelenggaraan guna mempercepat pemerintahan, terwujudnya

pembangunan,

pelayanan

kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi-kondisi geografis, ekonomi, dan kependudukan, perlu dilakukan pembentukan Kota Tangerang Selatan di wilayah Provinsi Banten. Selain itu, pembentukan Kota Tangerang Selatan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Setelah proses pembentukan Kota Tangerang Selatan, dalam menjalani pelaksanaan keberjalanan pemerintahan daerah digunakan UU Nomor 32 tahun 2004. Undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan. Namun, peraturan yang khusus ditujukan untuk pelaksanaan keberjalanan Kota Baru Otonom Tangerang Selatan belum secara lengkap dibuat dalam Perda Kota Tangerang Selatan. Dari kebijakan-kebijakan yang mengatur pembangunan dan pelaksanaan keberjalanan Kota Baru Otonom Tangerang Selatan, permasalahan yang dapat dilihat dari kebijakan dan peraturan kota tersebut antara lain belum lengkapnya peraturan daerah yang mengatur secara spesifik

13

untuk pelaksanaan keberjalanan Kota Tangerang Selatan sebagai kota baru otonom. Hal ini menyebabkan Kota Baru Tangerang Selatan masih menggunakan beberapa peraturan Kabupaten Tangerang, sehingga terjadi tumpang tindih antara peraturan Kabupaten Tangerang dengan Kota Baru Otonom Tangerang Selatan. Tumpang tindih ini menyebabkan timbulnya permasalahan yang timbul pasca pembentukan Kota Baru Otonom Tangerang Selatan, contohnya dalam bidang sampah, pendidikan, infrastruktur, serta permukiman. Ke depannya diharapkan pemerintah daerah Kota Baru Otonom Tangerang Selatan dapat melengkapi dokumen peraturan daerah yang mengatur pembangunan dan pelaksanaan keberjalanan kota otonom tersebut. Selain itu pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan sebaiknya tidak terus menggunakan peraturan yang telah ada sebelumnya pada Kabupaten Tangerang karena hal tersebut dapat menyebabkan tumpang tindih dan bahkan dapat menimbulkan permasalahan baru pada kota otonom. Dengan demikian diharapkan Kota Baru Otonom Tangerang Selatan dapat menggunakan peraturan daerah sebagai instrumen pengendalian perencanaan dan perlahan-lahan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada saat ini.

DAFTAR PUSTAKA UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah UU no 51 tahun 2008 tentang pembentukan kota Tangerang Selatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Jawa Barat 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010) http://marimenatatangsel.com/berita/tangerang-selatan/967-tangsel-hadapi-7-permasalahanpokok.html http://www.tangerangselatankota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61&Item id=53 http://www.tangerangselatankota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:pasca -pemekaran-njop-tangsel-melambung&catid=39:media http://tangerangselatan.wordpress.com/category/lingkungan/ http://forum.tamanroyal.com/index.php?topic=433.0;wap2 http://www.anneahira.com/tangerang-selatan.htm http://www.scribd.com/doc/45726672/2/ANALYSIS-OF-SUBSIDENCE-SOURCE-IN-JAKARTA-USINGTIME-LAPSE

14

http://bantenprov.go.id/get_page.php?link=dtl&id=727 http://tangerangnews.com

LOGBOOK No 1 2 3 4 5 NAMA Valid Hasyimi Titis Astri Mauliawati Diantha Arafia Kevin Aditya Prathama Aditya Dwifebri C. W. NIM 15409047 15409053 15409055 15409057 15409059 YANG DIKERJAKAN Mengerjakan analisis dan mencari tentang peraturan yang terkait Mengerjakan pendahuluan, analisis, dan kesimpulan Mengerjakan tinjauan literatur, analisis, dan slide presentasi Mengerjakan analisis dan kesimpulan Mangerjakan abstrak, analisis, dan kesimpulan

15

Anda mungkin juga menyukai