Anda di halaman 1dari 11

PERLAWANAN TIONGHOA-BELANDA

XI-IIS 3

Disusun oleh :

Doni Ronaldo

Edy Susanto

Ferdinsius Gati

M. Herlen Try Yumi

Sean Karuna Wijaya

SMA PANGUDI LUHUR SANTO YOHANES

Tahun Ajaran 2019/2020


BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah orang Tionghoa di Indonesia sudah cukup lama. Berbagai sumber
menunjukkan bahwa orang Tionghoa hadir di Indonesia sejak abad ke-5 yaitu dengan
kunjungan pendeta Fa Hien. Menjelang abad ke-19, kehadiran orang Tionghoa ke
Indonesia semakin banyak, kebanyakan mereka adalah kaum lakilaki kemudian
diikuti kaum perempuan. Menurut catatan sejarah, keberadaan orang-orang
Tionghoa di Indonesia lebih dulu dari pada orang-orang Eropa, yang ditandai oleh
adanya perkampungan Tionghoa di pesisir Utara Jawa seperti Tuban, Demak, dan
Jepara pada abad ke-15.

Kehadiran para imigran Tionghoa itu berasal dari Propinsi Fujian dan Kwangtung di
pantai selatan dan tenggara. Mereka adalah orang Tionghoa dari kelompok bahasa
yang berbeda- beda seperti Hokkian, Hakka, Theo Chiu, Kanton, Hok Chiu, Hok Chia,
Heng Hua, Hainese (Hailam). Orang-orang Heng Hua, Hok Chia, dan Hokkian disebut
Minnan.

Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia sudah beratus-ratus tahun yang lalu,


Benny Juwono dalam Lembaran Sejarah menjelaskan bahwa: Imigran Tionghoa
datang ke Indonesia sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Pengaruh pemujaan roh
nenek moyang dengan ajaran Konfusionisme membentuk kepercayaan komunitas ini
harus memelihara kuburan orang tua atau pendahulunya. Kepercayaan ini lama-
kelamaan terkikis. Tekanan ekonomi dalam negara Tiongkok telah memaksa orang
Tionghoa merantau ke Asia Tenggara dari Pantai China dengan hembusan angin
muson Desember-Mei menyusuri daratan Asia Tenggara. Faktor kemiskinan menjadi
salah satu sebab orang Tionghoa bermigrasi ke Asia Tenggara. Di samping itu,
keadaan politik dalam negeri seperti Perang Candu 1839, Pemberontakan Taiping
1851 serta krisis ekonomi yang terjadi berulang kali seperti wabah kelaparan akibat
kegagalan panen telah mendorong ribuan imigran dari China Selatan mencari
pekerjaan ke luar negeri.

Imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia mengelompok berdasar kesamaan suku


tempat asalnya di Tiongkok. Orang-orang Hokkian adalah golongan terbesar yang
bertempat tinggal di Jawa, dan Batavia sejak lama merupakan salah satu pusat
permukiman Tionghoa di Jawa.4 Mereka datang ke Pulau Jawa sebagai pedagang
yang membawa porselen dan sutra untuk ditukar dengan beras dan hasil pertanian
yang lain.

1
Mereka datang dengan perahu yang kecil (jung) dan bergantung pada angin musim,
mereka harus menunggu angin utara agar dapat pulang ke negaranya. Selama waktu
menunggu di Pulau Jawa inilah mereka terpikat oleh perempuan setempat dan
membentuk keluarga.

Lama-kelamaan terbentuklah permukiman orang Tionghoa yang disebut dengan


pecinan, yang berdampingan dengan rumah atau keraton penguasa pribumi.
Bangsa Eropa pertama datang ke Indonesia pada tahun 1595 setelah berlayar
melewati Semenanjung Harapan di Afrika Selatan dengan tujuan membeli rempah-
rempah dan membawanya ke Eropa, namun pada akhirnya berniat untuk menguasai
wilayah tersebut. Demi menghindari persaingan di antara mereka, didirikanlah VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1602. Markas VOC pertama kali
didirikan di Ambon. Berhubung dengan semakin meluasnya wilayah yang dikuasai,
markas VOC kemudian dipindahkan ke Jayakarta yang kemudian dinamai Batavia.
Dominasi kepentingan VOC di Batavia seringkali menyebabkan konflik antara
kompeni dagang Belanda itu dengan orang-orang Tionghoa.

Salah satu konflik terjadi pada tahun 1740, yang dikenal dengan pembantaian masal
orang Tionghoa di Batavia. Akibat peristiwa itu banyak orang-orang Tionghoa dari
Batavia pindah ke beberapa wilayah di Jawa Tengah. Sementara itu, sebagian dari
orang-orang Tionghoa yang mulanya akan dipulangkan ke negaranya, dalam
perjalanan ternyata mereka diturunkan di Semarang. Orang-orang Tionghoa yang
gagal kembali ke Tiongkok ini terpaksa tinggal di Semarang bergabung dengan
masyarakat Tionghoa yang lebih dahulu bermukim di wilayah itu.

Pada waktu yang sama, di Semarang telah ada aktivitas perdagangan VOC yang
dirasa mengurangi legitimasi kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura. Muncul
perlawanan dari Paku Buwono II terhadap VOC, orang-orang Tionghoa di Semarang
turut serta membantu Paku Buwono II. Sikap orang Tionghoa ini didorong keinginan
untuk balas dendam pada VOC atas peristiwa pembunuhan masal di Batavia tahun
1740. Perlawanan yang dilakukan Paku Buwono II dengan orang Tionghoa ini
mengalami kegagalan dan membuat mereka semakin terdesak. 6 Sikap politik Paku
Buwono II berbalik, ia menjadi akomodatif terhadap VOC. Perubahan sikap politik
Paku Buwono II ini menimbulkan kekecewaan pada orang-orang Tionghoa yang telah
membantunya melawan VOC. Bentuk kekecewaan orang-orang Tionghoa diluapkan
dengan turut mendukung pemberontakan Raden Mas Garendi terhadap Paku
Buwono II.

2
Serangan yang didukung oleh orang-orang Tionghoa itu berhasil menduduki Keraton
Mataram di Kartasura, sehingga peristiwa ini juga dikenal dengan geger pecinan
tahun 1742. Sebelum meletus geger pecinan, Paku Buwono II pada bulan November
1741 telah melakukan penyerbuan terhadap kantor VOC di Semarang dengan
kekuatan 20.000 orang yang sebagian pasukannya adalah orang Tionghoa meskipun
penyerbuan itu mengalami kegagalan. Pada bulan Juli di tahun yang sama, Paku
Buwono II juga menumpas Garnisun VOC yang bertugas di Kartasura.

Raden Mas Garendi yang memimpin penyerangan Paku Buwono II di Kartasura


merupakan cucu Amangkurat III, ia diberi gelar Sunan Kuning. Nama Sunan Kuning
diberikan oleh orang Tionghoa karena memimpin kaum kulit kuning atau orang
Tionghoa.7 Didukung oleh VOC, Paku Buwono II berhasil menumpas pemberontakan
dan merebut kembali Keraton Mataram, namun kerajaannya dalam kondisi yang
rusak parah dan tidak mungkin untuk ditinggali kembali. Berakhirnya geger pecinan
membuat Paku Buwono II harus memindahkan Ibu Kota Kerajaan ke Surakarta pada
tahun 1745. Orang-orang Tionghoa yang turut serta melakukan pemberontakan
pada Paku Buwono II tetap diizinkan tinggal di ibu kota yang baru. Permukiman
Tionghoa di Surakarta pada masa awal didirikannya terletak di Kampung Balong
(sebelah Utara Sungai Pepe sekitar Pasar Gede) ke Timur di Ketandan hingga
Limalasan, ke sebelah utara sampai Balong, ke utara lagi sampai Warungpelem.

Setelah terjadi perpecahan Kerajaan Surakarta tahun 1757, yang ditandai oleh
Perjanjian Salatiga, sebagian Kota Surakarta menjadi bagian dari wilayah Kasunanan
dan sebagian lain menjadi wilayah Mangkunegaran.Masa kepemimpinan Paku
Buwono IV (1780-1820), pemerintah kolonial Belanda menunjuk pemimpin bagi
orang-orang Tionghoa yang berpangkat mayor.11 Penunjukan ini didasari semakin
banyaknya orang-orang Tionghoa di Surakarta serta semakin pentingnya peran
kelompok ini dalam aktivitas perekonomian. Mayor membawahi pemimpin
perkampungan Tionghoa atau wijk, yang berpangkat kapiten. Kapiten bertanggung
jawab kepada mayor Tionghoa, sedang mayor Tionghoa bertanggung jawab langsung
kepada pemerintah kolonial. Penunjukan mayor dari kalangan orang-orang Tionghoa
ditentukan dari jumlah kekayaan yang dimiliki, karena jumlah kekayaan identik
dengan besarnya pengaruh seseorang dalam sosial politik. Orang-orang Tionghoa di
Surakarta harus mengikuti kebijakan pemerintah kolonial dan kebijakan keraton.
Salah satu bentuk kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap orang-orang
Tionghoa pada abad ke-19 adalah pembatasan terhadap gerak orang Tionghoa.

3
Penetapan tempat tinggal dan sistem surat jalan bagi Tionghoa dilatarbelakangi oleh
kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda terhadap aktivitas ekonomi orang
Tionghoa yang berkembang pesat sehingga memicu peningkatan jumlah yang
melampaui jumlah orang Eropa dan Timur Asing lainnya.12 Abad ke-19, atas desakan
organisasi sosial masyarakat Tionghoa peraturan wijkenstelsel dihapuskan sehingga
membuat orang Tionghoa mengalami penyebaran keluar dari tempat-tempat yang
dikhususkan bagi mereka. Penyebaran orang-orang Tionghoa tetap berpusat di
daerah yang terdapat klenteng.

Selain itu passenstelsel juga dihapuskan yang menyebabkan aktivitas sosial ekonomi
orang Tionghoa di Surakarta semakin kompleks serta interaksi dengan orang Jawa
juga semakin erat. Hubungan antara orang Tionghoa dengan orang Jawa di Surakarta
mengalami ketegangan diawali dengan industri batik. Para pengusaha dan pedagang
batik Jawa sangat tergantung pada bahan-bahan batik yang dikuasai oleh orang-
orang Tionghoa.

Salah satu konflik terjadi pada tahun 1911 ketika terjadi bentrokan kelompok
Tionghoa dan Jawa yang disebabkan persaingan Kong Sing Tionghoa dengan
pedagang batik pribumi muslim yang membentuk Rekso Roemekso (saling menjaga).
Paguyuban ini menjadi cikal bakal berdirinya Sarekat Dagang Islam tahun 1909 di
Surakarta yang memberi fasilitas serta perlindungan pedagang muslim Jawa untuk
menghadapi pedagang Tionghoa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang keberadaan orang-orang Tionghoa di Surakarta?
2. Mengapa permukiman orang-orang Tionghoa di Surakarta menempati lokasi
tersendiri dan bagaimana perkembangannya?
3. Bagaimana aktivitas orang-orang Tionghoa berpengaruh pada lingkungan sosial
ekonominya?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum:
a. Sebagai sarana untuk melatih penerapan metode penelitian sejarah dan
historiografi yang telah diperoleh selama masa perkuliahan.
b. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, analitis, serta
objektif sesuai dengan metodologi dalam mengkaji proses terjadinya suatu
peristiwa sehingga dapat memahami segala nilai yang terkandung di
dalamnya.
c. Menambah pengetahuan di bidang sejarah mengenai perkembangan
pemukiman Tionghoa di Indonesia.
4
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran tentang latar belakang keberadaan orang-orang
Tionghoa di Surakarta.
b. Melihat perkembangan permukiman orang-orang Tionghoa Surakarta pada
masa kolonial.
c. Mengkaji aktivitas orang-orang Tionghoa yang berpengaruh pada lingkungan
sosial ekonominya.

D. Manfaat
1. Bagi Pembaca
a. Memperoleh gambaran mengenai keberadaan orang-orang Tionghoa di
Indonesia
b. Menambah referensi pembaca terkait dengan proses perkembangan
permukiman orang-orang Tionghoa di Surakarta.
c. Menghasilkan historiografi baru terkait dengan aktivitas orang-orang
Tionghoa yang berpengaruh pada lingkungan sosial ekonominya di Surakarta.
2. Bagi Penulis
a. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
b. Dapat menjadi tolak ukur kemampuan dalam menerapkan metode penelitian
sejarah serta kemampuan menganalisis peristiwa sejarah.
c. Menambah pengetahuan mengenai perkembangan permukiman orangorang
Tionghoa di Surakarta.

BAB 2 ISI
Meski kerap disangsikan, ternyata ada orang-orang Tionghoa yang melawan
Belanda. Tak banyak yang mencari tahu, termasuk saat isu Poh An Tui
berseliweran terkait monumen di TMII. tak banyak dari kita yang tahu ada
Tionghoa yang melawan Belanda. Padahal, pada 1740, sewaktu Nusantara
dikuasai maskapai Belanda bernama Vereniging Oost Indische Compagnie
(VOC) alias Kongsi Dagang Hindia Timur, pernah terjadi perlawanan orang-
orang Tionghoa terhadap VOC Pemberontakan itu bisa dibilang cukup besar
Jauh lebih masif dibanding pemberontakan PETA di Blitar pada 1945

Kebanyakan pahlawan nasional Indonesia dari masa pra-kemerdekaan adalah


orang-orang yang melawan Belanda. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam
Bonjol, Cut Nyak Dien, sampai Bung Tomo. Menghadapi Belanda menjadi
semacam syarat tak tertulis, meski motifnya bisa juga ekonomis dan politis.
5
Dari segenap pahlawan yang dikenal publik itu, tak banyak dari kita yang tahu
ada Tionghoa yang melawan Belanda. Padahal, pada 1740, sewaktu
Nusantara dikuasai maskapai Belanda bernama Vereniging Oost Indische
Compagnie (VOC) alias Kongsi Dagang Hindia Timur, pernah terjadi
perlawanan orang-orang Tionghoa terhadap VOC.

Pada masa-masa itu, jumlah bangsa Tionghoa di mata VOC makin tak
terkendali dan jadi masalah serius, karena kebanyakan adalah pengangguran.
Ujung dari rasa frustasi orang-orang Belanda itu, pada 25 Juli 1740, Baron van
Imhoff, anggota Raad van Indie (Dewan Hindia) memerintahkan orang-orang
Cina pengangguran di sekitar Batavia dikurung, tanpa peduli mereka memiliki
surat jalan atau tidak.

Gubernur Jenderal Adrian Valkenier akhirnya mengeluarkan perintah resmi


untuk membunuhi orang-orang Cina pada 10 Oktober 1740. Semua orang
Tionghoa yang telah ditahan atau sedang terluka juga dibantai, sedangkan
harta-harta mereka dirampas. RP Suyono dalam bukunya yang berjudul Seks
dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial (2005), pembantaian itu berlangsung
selama 3 hari. Sekitar 10.000 tewas, dan sekitar 600 hingga 700 rumah
terbakar.

Orang-orang Tionghoa yang tersisa tak tinggal diam. Mereka memberontak.


Daerah Tangerang jadi sasaran, tetapi mereka bisa dihalau. Tionghoa
pemberontak itu bergerak ke arah timur.

Pemberontakan meluas ke Semarang, Demak, Jepara, Rembang, dan


Surabaya. Pos-pos VOC jadi sasarannya. Pemberontakan itu dikenal sebagai
“Geger Pecinan”.

Pemberontakan itu bisa dibilang cukup besar. Jauh lebih masif dibanding
pemberontakan PETA di Blitar pada 1945. Itulah kenapa sekarang di Taman
Mini Indonesia Indah (TMII) berdiri Monumen Heroik Laskar Tionghoa Lasem.
Pengakuan dari pemerintah Republik Indonesia pada perlawanan kaum
Tionghoa ini adalah wajar, meski ada juga pihak-pihak yang tak senang.

6
Mereka yang memprotes umumnya mengaitkan monumen itu dengan Poh
An Tui, milisi kaum Tionghoa pasca-kemerdekaan yang tak hanya berperang
dengan Belanda, tapi juga dengan warga Indonesia lain. Gara-gara soal ini,
budayawan sohor Betawi, Ridwan Saidi, bahkan menuntut pembongkaran
monumen Poh An Tui.

Padahal jika mau dibuat daftar, tak hanya dalam “Geger Pecinan” saja orang-
orang Tionghoa melawan Belanda. Setelah VOC bangkrut dan Hindia dikuasai
Kerajaan Belanda, terjadi juga pemberontakan lain. Di Kalimantan Barat, 15
November 1912, orang Tionghoa menolak membayar pajak pada pemerintah
kolonial Hindia-Belanda. Setelah itu, pemberontakan orang-orang Tionghoa
di Kalimantan Barat juga terjadi di tahun 1914.

Untuk menghadapinya, lagi-lagi pemerintah kolonial memakai politik devide


et impera, politik pecah belah yang masyhur itu. Saat itu, nasionalis Dayak
macam Cilik Riwut belum lahir. Kebanyakan orang Dayak belum mengalami
kesadaran nasional, dan saat itu mereka memang sedang bermasalah dengan
orang-orang Tionghoa. Belanda lantas menggunakan sentimen itu sehingga
para pemberontak Tionghoa dikeroyok orang Dayak yang ahli gerilya.
Ditambah serdadu kolonial bersenjata api bernama KNIL.

Perlawanan orang-orang Tionghoa yang dicap non-pribumi itu kerap luput


dari sejarah Indonesia. Yang lebih sering diingat adalah posisi orang Tionghoa
sebagai warga negara kelas dua, di atas kaum pribumi yang diperingkat
sebagai kelas tiga. Mereka dicap musuh karena pemerintah kolonial
mengkotak-kotakkan orang agar tinggal dalam kampung berdasarkan ras
mereka. Itulah sebabnya muncul Kampung Cina, Kampung India, dan
Kampung Arab.

Setelah menyerahnya Jepang yang diikuti proklamasi kemerdekaan


Indonesia, beberapa kelompok kaum pribumi mengganas. Orang-orang
Belanda, juga orang-orang yang dianggap bekerja pada Belanda menjadi
sasaran amuk massa secara sadis. Peristiwa “Gedoran Depok” adalah salah
satunya. Dalam kejadian itu, orang-orang Depok yang Kristen dan
“Kebelanda-belandaan” jadi sasaran. Di Jakarta dan Bandung, orang-orang
Belanda, juga Manado dan Ambon, jadi sasaran amuk. Mereka yang jadi
sasaran menyebut masa itu sebagai “Masa Bersiap”.

7
Orang-orang Tionghoa juga terancam jadi sasaran amuk massa. Hingga suatu
ketika, sebagian orang Tionghoa menerima bantuan senjata dari tentara
Belanda. Dari situ, pasukan penjaga kampung Tionghoa yang dianggap
eksklusif terbentuk. Pasukan milisi kecil yang kemudian berdiri di kota-kota
besar ini bernama Poh An Tui. Mereka kerapkali bertindak kejam pada
pejuang dan rakyat Indonesia, bahkan dianggap lebih kejam dibanding
tentara Belanda.

Orang-orang yang anti-Tionghoa kemudian lebih mengingat Poh An Tui ini


ketimbang peristiwa “Geger Pecinan”. Pejuang Tionghoa yang memang
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dilupakan. Mereka yang anti-
Tionghoa itu seakan tak mau tahu bahwa ada orang Tionghoa pejuang seperti
John Lie dan Oey Ho Tjay (Gono Tirtowidjojo).

Padahal, pernah ada film Mustika Ibu (1976), yang mengisahkan perjuangan
Oey Ho Tjay, tokoh pemuda Tionghoa yang belakangan jadi pengusaha kapal
dermawan. Soal sepak terjang John Lie yang mati-matian mencari bantuan
dan dukungan di luar negeri untuk Indonesia pun terlupakan. Kisah John Lie
dan beberapa tokoh Tionghoa lain yang berjuang untuk Indonesia juga
disinggung dalam buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran (2014) karya
Iwan Ong Santoso.

Kisah-kisah itu memperlihatkan contoh orang-orang Tionghoa yang membela


Indonesia, selain orang-orang yang dianggap asing lain seperti Arab, India,
juga Yahudi. Namun, di sisi lain membicarakan orang-orang pribumi yang
berpihak pada Belanda bisa dibilang tabu.

Pada kelompok itu, ada satuan bernama satuan bersenjata Belanda bernama
Hare Majesteits Ongeregelde Troepen (HAMOT) alias Laskar Sri Ratu.

Soal HAMOT pernah disinggung dengan baik oleh Robert Cribb dalam Para
Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010).

Jangan lupa juga bahwa dalam pelajaran sejarah ada seorang bernama
Abdulkadir Widjojoatmodjo. Fisik dan namanya bisa saja dianggap asli, tapi ia
menjadi Ketua Delegasi Belanda dalam perundingan Renville. Selain yang
diajarkan dalam buku sejarah di sekolah, ada juga Soerio Santoso.

8
Ia adalah turunan ningrat Jawa yang menolak posisi sebagai pejabat militer
Indonesia dan memilih menjadi tentara Belanda dengan pangkat letnan
kolonel.

Di luar nama-nama itu, masih ada nama lain yang begitu loyal pada Kerajaan
Belanda dan tak mau membela republik, setidaknya sampai Belanda kalah
dan angkat kaki dari Indonesia. Namun, wacana sejarah yang beredar di
Indonesia seringkali tak berimbang, bahkan kadang terkesan rasis dan
sektarian.

Pahlawan yang diketahui kerapkali hanya kaum mayoritas saja dan


meluputkan mereka yang minoritas. Akhirnya, berseliweranlah isu-isu yang
diliputi kebencian. Kabar simpang-siur yang mengelirukan monumen
peristiwa “Geger Pecinan” dengan Poh An Tui adalah salah satu bentuknya.

9
BAB 3 KESIMPULAN
Sudah menjadi pengetahuan kita semua bahwa Indonesia dulu pernah
menjadi pusat perdagangan di wilayah Asia. Banyak orang cina yang datang
ke Indonesia ini untuk melakukan perdagangan.

Bahkan, banyak juga orang cina yang tinggal di Indonesia. Salah satu
tempat yang dijadikan tempat tinggal oleh orang cina adalah Batavia. Namun,
VOC menganggap bahwa kedatangan orang cina terlalu banyak sehingga
mereka membuat sebuah keputusan. Keputusan itu berisi bahwa semua
orang Cina yang tinggal di Batavia harus memiliki surat izin menetap atau
surat pas.

Jika ada orang Cina yang nggak punya surat pas harus diasingkan ke daerah
Sri Langka untuk dipekerjakan di lahan VOC atau dikembalikan ke negara
asalnya. Karena banyak penyelewengan dana, banyak orang Cina yang nggak
bisa beli surat pas ini. Akhirnya, mereka memilih untuk melarikan diri keluar
kota. Pihak VOCpun membunuh semua orang cina itu. Orang-orang cina itu
akhirnya melakukan pemberontakan.

Pemberontakan orang-orang cina ini didukung oleh para bupati dari pesisir.
Akhirnya, di tahun 1741 benteng VOC yang ada di Kartasura bisa diserang.
Namun, penyerangan ini membuat banyak orang yang yang menjadi korban.

VOC segera meningkatkan kekuatan para tentaranya sehingga


pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang cina bisa segera
ditanggulangi. Atas perintah salah satu raja yang mendukung pihak cina,
mereka membuat perjanjian damai dengan VOC. Akhirnya pihak Cina tidak
lagi melakukan pemberontakan kepada VOC.

10

Anda mungkin juga menyukai