Anda di halaman 1dari 14

BATAVIA

Artia Sinaga (4)


Nadya (20)
Salma (26)
Sarah (28)
Yohana (36)
ASAL USUL BATAVIA
Sejak tahun 1527 Fatahillah menjadi bupati di
Jayakarta. Selanjutnya Fatahillah kembali ke Cirebon
sesudah ia membantu Sultan Trenggono menaklukan
Pasuruan di Jawa Timur.
Pemimpin Jayakarta selanjutnya ialah Tubagus
Angke dan selanjutnya dipimpin oleh Pangeran Jayakarta
Wijayakrama yang merupakan putra dari Tubagus Angke.
Pada saat pemerintaha Pangeran Jayakarta inilah VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie )
VOC adalah organisasi dagang dari Belanda yang
didirikan pada tahun 1602. VOC memang mengincar
Jayakarta sebagai pusat perdagangan.
Awalnya VOC ditujukkan untuk menghadapi
saingan dari bangsa-bangsa lain semisal Spanyol,
Portugis dan Inggris yang telah lebih dulu hadir di
Jayakarta dan telah menjadi juragan para masyarakat
lokal.
VOC memiliki beberapa hak istimewa yaitu ; hak monopoli
dan hak menyelenggarakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja
atau penguasa laindi daerah-daerah bersangkutan dan membangun
loji-loji.
Ketika Belanda dengan VOC-nya berhasil mengalahkan
nominasi Portugis atas Jayakarta. Jayakarta hanya diusulkan
sebagai lokasi gudang gudang dan tempat hiburan.
Ketika itu Jayakarta dianggap kurang ideal sebabnya kurang
memenuhi syarat bagi kapal-kapal besar yang seringkali kandas saat
memasuki muara Ciliwung (perairan Sunda Kelapa) Namun
kemudian, ketertarikan VOC atas pesona Jayakarta semakin kuat
ketika Sultan Banten berhasil dibujuk untuk menjual tanah dalam
wilayah kesultanannya itu sebesar 1.200 real.
VOC dan Sultan Banten akhirnya sepakat mengadakan
perjanjian pada tahun 1611 bahwa kepemilikan atas tanah sewa itu
hanya untuk kegiatan dagang. Namun Belanda mengingkarinya
setelah diberi hak membangun gudang gudang dan loji loji.
Para pedagang Cina yang walaupun merasa lebih lama
berada di kawasan itu akhirnya memilih pindah lokasi niaganya ke
arah agak selatan (Glodok)
Ternyata Belanda (VOC) pun telah mempersiapkan diri untuk
membangun Benteng Nassau. Sehingga ketika Sultan Banten beraksi
keras dan menyuruh pasukannya menyerang Belanda, usaha tersebut
menemui kegagalan karena pihak Belanda telah siap dengan senjata
senjata api mereka.
Tindakan Sultan Banten yang awalnya memberi kesempatan
Belanda dengan VOC berakibat sangat fatal. Bermula dari sewa 1.200
real pada 1611 dan berakibat terampasnya Jayakarta pada 1619
sekaligus Nusantara selama tiga setengah abad kedepan.
Gubernur Jenderal JP Coen yang memimpin Jayakarta
mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia pada 31 Oktober 1617 dan
diresmikan VOC pada Agustus 1621.
PENDUDUK BATAVIA
Dialeg yang bersifat kebudayaan Betawi merupakan
hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan baik yang
berasal dari daerah lain di Nusantara maupun budaya asing.
Sebagai contoh,dalam bidang kesenian masyarakat Betawi
mengenai seni gambang kromong yang merupakan pengaruh
budaya musik Cina. Masyarakat Betawi pun mengenal rebana
yang berakar pada tradisi budaya musik Arab dan kesenian
keroncong tugu dengan latar musik Portugis-Arab dan Tanjidor
yang bernuansa pengaruh ke Belanda-an.
Secara biologis, orang betawi merupakan keturunan
kaum berdarah campur aneka suku dan bangsa dan mereka
merupakan hasil perkawinan antaretnis dan bangsa di masa
lalu.
Penduduk Betawi awalnya dimulai dari orang Sunda
yang termasuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara kemudian
Kerajaan Pakuan Pajajaran pada abad ke-16. Selain orang
Sunda terdapat pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara
Jawa,dari berbagai pulau Indonesia timur, dari Malaka di
Semenanjung Malaya, bahkan dari Cina dan Gujarat di India.
Ketika Fatahillah dengan pasukan Demak menyerang
Sunda Kelapa ( sekitar tahun 1526/1527), orang Sunda yang
membelannya dikalahkan dan mundur ke Bogor. Sejak itu,
Jayakarta dihuni oleh orang Banten yang terdiri atas orang
Demak dan Cirebon. Saat JP Coen menguasai Jayakarta, orang
Banten bersama saudagar Arab dan orang Tionghoa tinggal di
muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk
mengundurkan diri ke daerah Kesultanan Banten ketika
Jayakarta dikuasai Belanda (VOC) pada tahun 1619 dan
berganti nama menjadi Batavia.

Pada awal abad ke-17, perbatasan antara wilayah


kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali
Angke dan Cisadane. Daerah di luar benteng dan tembok kota
menjadi tidak aman yang diakibatkan gerilya pasukan Banten
dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang,
akhirnya dibuatlah perjajian bersama dengan Banten
(162901684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara
Cisadane dan Citarum merupkan wilayah kompeni (Belanda).
Pada akhir abad ke-17, daerah Jakarta sekarang mulai
dihuni orang lagi. Mereka ini digolongkan sebagai kelompok budak
belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu orang Belanda
jumlahnya sedikit sekali. Sebabnya, usaha JP Coen menjadikan
Batavia sebagai daya tarik bangsa Belanda lainnya mengalami
kegagalan. Para wanita terutama para istri pegawai dan tentara
hanya sedikit yang mau datang ke koloni di Batavia.
Selain itu, tidak mudah menarik minat para ahli ke daerah
koloni karena mereka rata-rata sudah mendapatkan pekerjaan di
Eropa. Lagi pula, daerah koloni Belanda di benua Amerika jauh
lebih disukai dan menjanjikan dibandingkan dengan Batavia
(Jayakarta). Terlebih lagi mereka beranggapkan bahwa tidak
mudah tinggal di Batavia karena adanya hambatan iklim yang tidak
sesuai, perjalanan yang jauh dan berbahaya, dan jumlah kapal yang
tersedia terbatas.
Orang yang datang dari Tiongkok (daratan Cina) pada
umumnya kaum lelaki. Mereka ingin mengadakan perkawinan
campur dengan penduduk setempat terutama dengan orang Bali
dan Nias. Sebagaian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa
seperti misalnya penduduk dalam kota dan Cina Benteng di
Tangerang. Ada pula yang berbaur dengan pribumi dan membentuk
kelompok di Betawi Ora misalnya di Parung. Tempat tinggal orang
Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India (Koja dan Bombay) tidak begitu
besarnya. Sedangkan orang Arab dan orang Hadramaut (Yaman)
datang jumlah relatif besar pada tahun 1840. Banyak diantara
mereka yang bercampur dengan wanita pribumi namun tetap
memelihara ke-Arab-an mereka.
Orang Tionghoa, orang Mardijkers, dari India dan Srilanka
serta ribuan budak dari berbagai suku menjadi penduduk
mayoritas kota Batavia.
Setelah tahun 1956, orang Jawa dan orang Banten tidak
boleh tinggal di Batavia.
Sepanjang abad ke-18, mayoritas penduduk Batavia
berstatus budak. Komposisi mereka berubah dengan cepet
karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang
Mardijkers. Oleh karena itu, jumlah mereka menurun dengan
cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap
olah kaum Betawi kecuali kelompok Tugu. Kelompok Tugu kini
pindah ke Pejambon di belakang Gereja Immanuel. Orang
Tinghoa selamanya bertambah cepat walaupun 10 ribu orang
dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan diluar kota. Peristiwa
ini dinamakan Penjagalan Cina. Oleh karena itu tidak lah heran
di daerah Kota ada nama Jalan Penjagalan.
Orang Cina pada tahun 1947 melakukan
pemberontakan di Jakarta. Pemberontakan ini di dasari
besarnya beban pajak yang harus dipikul mereka terhadap
pemerintah kolonia Belanda.
Orang Cina yang lolos dari tentara Belanda melarikan diri
ke Tangerang dan Bogor namun ada juga yang tinggal bersama
penduduk asli di Perkampungan Jakarta. Selanjutnya ada yang
memeluk Islam dan mendirikan Masjid di Jalan Hayam Wuruk
pada tahun 1778.
Oleh sebab itu, orang / suku Betawi sebenarnya terhitung
sebagai pendatang baru di Jakarta. Kelompok ini lahir dari
perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu
hidup di Jakarta seperti Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon,
dan Melayu. Antropolog UI Dr. Yasmine, M.A. menaksir etnis
Betawi baru terbentuk sekitar antara tahun 1815-1893.
Hasil sensus penduduk tahun 1893 menunjukkan hilangnya
golongan etnis yang sebelumnya ada antara lain ; Arab, Moors,
Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon, Banda, dan
Melayu
KELUARGA BETAWI
Dalam kebudayaan Betawi, sering kali rumah keluarga
Betawi dihuni oleh lebih dari 1 keluarga. Rumah itu dinamakan
rumah waris, silsilah dalam bahasa betawi disebut sile-sile.
Secara Nasional, kita menyebut orang tua laki-laki dengan
sebutan Bapak / Ayah, sedangkan untuk perempuan dengan
sebutan Ibu. Demikian pula panggilan untuk adik ayah dan ibu
yang laki-laki di sebut Paman, sedangkan, untuk yang perempuan
di sebut Bibi. Adik babe dan adik mak laki-laki di sebut Cing,
sedangkan perempuan Cang.
Nenek dipanggil dengan sebutan Nyai, sedangkan kakek
dengan sebutan Enkong, dan ada juga yang disebut Kumpi.
Dalam suku Jawa, untuk kakak laki-laki ayah dan ibu adalah
Pakde dan untuk kakak perempuan ayah dan ibu disebut Bude.
Seperti kita ketahui telah terjadi pula perkawinan
campur antara wanita penduduk lokal dengan orang-orang
Belanda dan Eropa, dan anak-anak Indo ini menyebut ayah
dan ibunya dengan Papie dan Mamie.
Penduduk pribumi ada pula yang menikah dengan
orang Arab. Mereka menyebut ayah dengan sebutan Aba dan
menyebut ibu Umi. Kebiasaan orang Betawi tempo dulu
ketika lahan masih sangat luas adalah membakar sampah
tiap sore, kegiatan ini dinamakan Tabunan.
Orang Betawi tinggal dirumah yang disebut rumah
Kebaya, Tepi paseban dipagari dengan pintu masuk di
tengahnya, ketinggian pintu itu sekitar 1,8 M. Paseban
berguna sebagai tempat ibadah.
Keluarga Betawi memiliki pakaian adat untuk pria
berupa tutup kepala, baju jas. Sedangkan pakaian wanita
berupa kebaya.
Dalam bidang kesenian, warga masyarakat Betawi
memiliki kesenian misalnya Gambang Kromong, Tanjirdor. Ondel-
ondel diperkirakan sudah ada sejak zaman VOC Belanda.
Masyarakat Betawi dahulu menyebutnya dengan nama Barong
yang berasal dari kata barengan, yang artinya Bareng-Bareng.
Ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh
halus.
Dalam hal makanan Betawi mempunyai banyak makanan
misalnya Kerak Telor. Salah satu jenis makanan peninggalan
Betawi Belanda yang terkenal adalah Semur Jengkol. Kata semur
berasal dari Belanda “ Smoor ” yang artinya dimasak dalam waktu
beberapa lama dengan api kecil.
KESIMPULAN
Batavia adalah nama yang diberikan oleh
orang Belanda ( VOC ) pada koloni dagang yang
sekarang tumbuh menjadi Jakarta. Batavia di
dirikan di Pelabuhan bernama Jayakarta yang
direbut dari kekuasaan Kesultanan Banten oleh
Belanda ( VOC ).

Anda mungkin juga menyukai