Anda di halaman 1dari 3

Keresidenan batavia

Batavia atau Batauia adalah ibu kota Hindia Belanda, yang wilayahnya kini kurang lebih menjadi Jakarta,
ibu kota Indonesia. Batavia didirikan di pelabuhan bernama Jayakarta yang direbut dari kekuasaan
Kesultanan Banten. Sebelum dikuasai Banten, bandar ini dikenal sebagai Kalapa atau Sunda Kelapa, dan
merupakan salah satu titik perdagangan Kerajaan Sunda. Dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan
perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya di wilayah Nusantara.

Nama Batavia berasal dari suku Batavia, sebuah suku Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein pada
Zaman Kekaisaran Romawi. Bangsa Belanda dan sebagian bangsa Jerman adalah keturunan dari suku ini.

Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar asal Belanda yang
dimililki perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC), dibuat pada
29 Oktober 1628, dinakhodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Kapal tersebut kini berada di sebuah
museum di Fremantle, Australia. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia
Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju
kota Batavia ini.

Alasan mengapa Jayakarta bisa jatuh ke tangan Belanda (VOC) adalah : Hadirnya pendatang baru,
seperti VOC (Belanda) dan EIC (Inggris) sering mendatangkan harapan baru bagi raja-raja di Nusantara.
Begitupula ketika Belanda dan Inggris yang datang di akhir abad XVI disambut dengan baik.

coen memmilih jayakarta sebgai pusat dari kegiatan VOC dikarenakan letaknya yang strategis dan
berada di pulau jawa yang merupakan pusat perdagangan pada saat itu.

Akan tetapi diam-diam Jan Pieterszoon Coen yang merupakan Gubernur Jenderal wilayah kongsi
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang berhasil menaklukan Jayakarta dengan membuat
gudang yang kokoh dan dan kuat yang dapat dijadikan loji atau benteng.

Sunda kelapa

Bukti tertua mengenai eksistensi permukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti
Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti tersebut berkaitan dengan 4 prasasti
lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman.
Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul
abad sepuluh.

Permukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal
dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan
Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malaka, dan tahun 1522
Gubernur Portugis d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tomé Pires
untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian
persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang raja Pakuan
Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman Kesultanan
Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata
perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu
mempertahankan Sunda Kalapa.

Jayakarta

Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Kesultanan Demak pada 1526, yang dipimpin oleh
Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil
direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan
mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.
Orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa
dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak
dan Cirebon.

Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab
dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri
ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka
kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, banyak perkawinan campuran
dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak
wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi
tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun
melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari
mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan Cina Benteng di Tangerang),
sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi
Ora, misalnya: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan
Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga
dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840.
Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada
kearaban mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang
Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah
budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun
1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo,
5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan
611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari
bermacam-macam suku dan bangsa.

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat
berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka
turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali
kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel Jakarta. Orang
Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam
dan di luar kota. Foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tionghoa di
Mester atau Meester Cornelis sebutan Jatinegara pada zaman penjajahan Belanda dulu.

Penduduk Batavia yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai