Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH SEJARAH WAJIB

PERLAWANAN ETNIS TIONGHOA PADA MASA VOC

Disusun Oleh :

Firstjihan Febrilliant (14)

XI MIPA 1

SMA NEGERI 10 YOGYAKARTA

Jl. Gadean No.5, Ngupasan, Kec. Gondomanan, Kota Yogyakarta,


Daerah Istimewa Yogyakarta 55122

T.A 2022/2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengenai kapan tepatnya pertama kali keberadaan warga etnis
Tionghoa di bumi Nusantara, tidak diketahui secara jelas. Selama ini para
ahli menyimpulkan pendapatnya berdasarkan bukti penemuan dari benda
benda purbakala seperti tembikar, gendering perunggu, dan keramik yang
memiliki persamaaan dengan yang ditemukan di Tionghoa.
Sejak masa dinasti Han (206 M-220 M) Tionghoa telah membuka jalur
lalu lintas dengan negara- negara Asia Tenggara, India, dan Sri Lanka,
dalam hal ini Jawa dan Sumatera termasuk berada dalam jalur lalu lintas
pelayaran ini.
Pada masa dinasti Jin (265-420 M) antara Tionghoa dengan
Nusantara telah terjalin hubungan diplomatik. Pada awalnya mereka
datang ke Indonesia untuk kepentingan berdagang. Tetapi seiring
berjalannya waktu, kepentingan mereka datang ke Indonesia tidak lagi
hanya untuk berdagang. Melainkan juga untuk kepentingan keamanan
mereka.
Pada masa dinasti Tang (618-907 M) orang- orang Tionghoa serta
para pedang dari Arab ataupun Persia yang jumlahnya sangat besar dan
tengah bermukim di wilayah Guanzhou mengalami masa-masa yang
menegangkan karena tentara pimpinan Huang Chao menduduki
Guanzhou. Sehingga mereka harus pergi menjauh dari tempat tinggalnya.
Salah satunya yakni ke Sriwijaya. Setelah itu kepentingan orang-orang
Tionghoa datang ke Indonesia adalah untuk mengeksitensikan negara
Tionghoa.
Seiring berjalannya waktu, angka imigran orang-orang Tionghoa di
Indonesia semakin bertambah dan hubungan mereka dengan para pribumi
semakin erat khususnya di Batavia. Ketika Batavia berubah menjadi
wilayah perdagangan yang ramai dan pesat, hal tersebut menimbulkan
kekhawatiran terhadap pihak Belanda jika sewaktu-waktu posisinya
tersingkirkan.

Sehingga sejak itu keberadaan orang-orang Tionghoa dibatasi, diawasi,


diperketat dengan beberapa kebijakan dari Belanda. Salah satunya kebijakan dari
Adrian Valckenier, djelaskan bahwa untuk mengurangi populasi orang-orang
Tionghoa, pemerintah Belanda akan mengirimkan mereka ke Sri Lanka yang
merupakan wilayah VOC. Namun yang terjadi justru menimbulkan asusmi negatif
di kalangan orang-orang Tionghoa, sehingga orang-orang Tionghoa melakukan
beberapa kali pemberontakan. Kemudian memuncak pada tanggal 9 Oktober 1740
M di dalam Benteng Batavia. Seluruh warga Tionghoa yang berada disana
dibantai tentara VOC hingga menewaskan 10.000 warga Tionghoa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan etnis Tionghoa dengan Nusantara?
2. Apa saja kesewenangan dan penindasan yang dilakukan VOC terhadap
warga etnis Tionghoa?
PEMBAHASAN

1. Hubungan Etnis Tionghoa dengan Nusantara


Dari bukti peninggalan sejarah yang ditemukan, dapat disimpulkan
bahwa hubungna lalu lintas pelayaran orang-orang Tionghoa dari
Tiongkok ke Nusantara telah berlangsung sejak zaman purba. Dengan
berlandaskan kronik dari dinasti Han (206-220 M) bahwa Tiongkok
sudsh mengenal dan mengetahui bumi Nusantara yang pada saat itu
disebut Huang Tse. Pada masa itu jalinan persaudaraan antara
Tiongkok dan Nusantara mencangkup berbagai kerajaan di Nusantara
yang pernah disinggahi oleh orang Tionghoa serta melakukan
hubungan perdagangan, diantaranya adalah Kerajaan Kaling (Holing),
Sriwijaya, Samboja, dan Samudra Pasai.

2. Kesewenangan dan Penindasan VOC terhadap Etnis Tionghoa


Dengan meningkatnya perdagangan di Batavia, meningkat pula jumlah
para Imigran seperti Jepang, Tiongkok, Moor, dan Mestizo. Sebagian
besar imigran Jepang pada saat itu bekerja pada kompeni VOC, Inggris
ataupun Spanyol, dan Sebagian lainnya memili mata pencaharian
sebagai pedagang atau penyewa tanah. Orang Tionghoa kebanyakan
bekerja sebagai pedagang, kuli, hingga petani. Bidang perdagangan
juga banyak ditekuni oleh orang Moro. Mayoritas orang Mestizo juga
berprofesi sebagai pedagang atau tuan tanah.
Melihat maraknya perdagangan di Batavia, VOC kemudian berencana
untuk membangunnya hingga menjadi sentra perdagangan dan
pemukiman bagi pejabat VOC. Untuk merealisasikan itu, VOC
memerlukan budak. Para budak ini umumnya memiliki keterampilan
seperti koki, tukang kayu, tukang batu, penjahit, dsb. Sehidupan
mereka sangat memprihatinkan karena mereka kerap dianiaya. Oleh
karena itu, banyak budak yang melarikan diri ke hutan.
Pada saat itu, VOC membangun kota Batavia diatas rawa, maka untuk
mencegah banjir, kompeni VOC banyak membuat kanal. Proyek
Borongan pembangunan kanal itu banyak dipegang oleh orang
Tionghoa. Bersinergi dengan meningkatnya jumlah proyek kebutuhan
kompeni, jumlah kuli pun meningkat termasuk kuli etnis Tionghoa.

pada saat itu setiap tahun sejumlah 4.000 budak diperdagangkan, tak hanya itu,
VOC bahkan melakukan penculikan penduduk di daerah pantai tenggara
Tiongkok dan India.

Awalnya, upaya penculikan di Tiongkok berkedok perdangan. Oleh karena itu


upaya perdangangan tidak berhasil, maka dilakukanlah upaya penculikan
penduduk di tahun 1622 untuk dijadikan budak. VOC melakukan penculikan di
berbagai kepulauan Tiongkok, kurang lebih 1.500 penduduk pulau Peng Hu
diculik untuk diperkerjakan sebagai budak di Batavia dan kepulauan Nusantara
lainnya. Mereka sering mendapat perlakuan yang sangat menyedihkan dan tidak
berperikemanusiaan.

Tampak jelas kekejaman VOC dalam menerapkan berbagai cara demi keuntungan
pribadi dan negaranya, sementara kondisi ekonomi penduduk Nusantara kian
terpuruk. Dampaknya meluas pada buruknya kondisi sumber daya manusia
dengan Kesehatan serta kesejahteraan yang sangat rendah.

Batavia lambat laun menjadi kota ramai yang terus berkembang. Luasnya
kekuasaan VOC membuat tanah yang ada di Batavia saat itu seakan milik mereka.
Tak segan mereka memberikan tanah kepada orang yang dianggap berjasa kepada
mereka, bahkan menjual tanah kepada orang yang bermaksud membelinya. Hal
ini tidak disia-siakan oleh warga etnis Tionghoa. Banyak warga etnis tionghoa
yang meminta tanah untuk membuka areal perkebunan salah satunya perkebunan
tebu. Mengingat saat itu pangsa pasar gula di Eropa cukup bagus, VOC melihat
permintaan ini sebagai kesempatan dan mengabulkan permintaan warga etnis
tionghoa.

Warga etnis Tiongoa mulai mengusahakan pendirian pabrik-pabrik


penggilingantebu untuk pembuatan gula. Banyaknya pabrik penggilingan tebu
yang berdiri di sepanjang Batavia telah memberikan keuntungan, bukan hanya
warga etnis Tionghoa saja tetapi juga pihak VOC. Majunya industry gula tebu di
Batavoa membuat VOC mengehentikan impor gula dari Tiongkok yangsaat itu
dianggap memili harga relative tinggi.

Meilihat maju pesatnya usaha perkebunan tebu dan penggilingan tebu yang
dimiliki warga etnis Tionghoa, Tindakan monopoli VOC semakin meningkat.
Pemerintah VOC mengharuskan pemilik pabrik penggilingan tebu untuk mejual
gulanya kepada VOC dengan harga yang relative rendah. Selain itu pajak kepala
terhadap mereka terus dinaikkan, tanpa mengenal perikemanuasiaan.

3. Perbedaan kedatangan Kompeni dengan etnis Tionghoa ke


Nusantara

Kedatangan pihak kompeni di Nusantara dengan misi ekonomi. Dengan maksud


membangun kekuatan jaringan ekonomi, pemerintah Hindia Belanda melakukan
pemerasan atas koloni yang dikuasainya untuk mendapatkan berbagai keuntungan.
Keuntungan perdangan itu digunakan untuk membangun infastruktur
ekonomi,social, dan politik di negeri asal mereka. Sedangkan kedatangan warga
etnis Tionghoa di Nusantara untuk mencari nafkah akibat berkecamuknya perang
di negeri asal mereka. Di Batavia mereka tidak hanya berpangku tangan
melainkan berusaha keras, giat, ulet sehingga mereka sangat produktif dalam
berbagai bidang.

Kecakapan warga etnis Tionghoa yang mau membaur dengan masyarakat


setempat dianggap oleh VOC sebagai ancaman secara ekonomi. Ironisnya, pajak
yang di bebankan terus mengalami kemajuan dalam usaha. Penekanan demi
penekanan dilakukan untuk membatasi ruang gerak mereka. Tak cukup dengan
menaikkan pajak kepala, penindasan lainnya berupa pengusiran-pengusiran secara
kasar juga dilakukan terhadap warga etnis Tionghoa yang tidak bisa memenuhi
pembebanan pajak yang ditetapkan VOC. Terhadap warga bumiputa, VOC
melakukan penindasan berupa menetapkan ketentuan untuk menanam tanaman
yang menguntungkan dan pengerahan tenaga rakyat secara paksa, yang membuat
warga bumiputra kehilangan mata pencaharian karena tidak mempunyai
kesempatan untuk menurus pekerjaan mereka dalam bercocok tanam.
Voc juga meracuni warga etnis Tionghoa dan Bumiputa secara dieam-diam
dengan melegalkan opium, VOC juga merampas tanah pertanian hak milik rakyat.

KESIMPULAN

Pembataian biasdap yang dilakukan VOC terhadap arga etnis Tinghoa di Batavia
tahun 1740, yang menewaskan lebih dari 10.000 jiwa Tionghoa telah mengubah
tatanan social dan ekonomi secara drastic. Kecemburuan social akibat faktor
ekonomi yang dirasakan VOC, ternyata harus dibayar mahal oleh warga etnis
Tionghoa, bukan hanya dengan air mata dan keringat, tetapi juga dengan nyawa.
Perlawanan dari warga etnis Tionghoa dan warga Bumiputra senasib
sepenanggungan dalam menerima perlakuan kejam VOC.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai