Anda di halaman 1dari 8

Sejarah VOC

Sejak lama banyak bangsa asing di dunia ini tertarik untuk mengusai kepulauan yang
terkenal akan rempah-rempahnya yaitu Nusantara. Bangsa asing yang berminat ini terutama
bangsa Eropa. Hal ini disebabkan letak kepulauan Nusantara (Indonesia) terbilang strategis.
Selain itu, kekayaan alam kawasan ini yang berlimpah. Posisi strategis, karena kepulauan
nusantara berada di persimpangan dua samudera dan dua benua. Selain itu, kepulauan
nusantara ini pun terletak di jalur perdagangan dunia. Selain, tanahnya yang subur, Indonesia
juga mempunyai kandungan alam yang banyak, seperti minyak. emas, tembaga, karet,
rempah-rempah dan sebagainya.
Dari sekian bangsa Eropa yang datang di Indonesia, bangsa Belanda yang paling bernafsu
menguasai Indonesia. Untuk melaksanakan niatnya itu, Belanda mendirikan kongsi dagang
bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602 atas usul Johan
van Oldenbarnevelt.

Kapal milik VOC sedang mengarungi samudra. Foto diakses dari bglconline.com.

Awal Berdirinya VOC


Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC) merupakan perserikatan Maskapai Hindia
Timur bentukan Belanda yang fungsinya mengawasi persaingan perdagangan di kepulauan
Nusantara setelah kedatangan bangsa Eropa lainnya yang dirasa merugikan kepentingan
Belanda. Adanya persaingan dagang inilah yang menimbulkan pemikiran orang-orang
Belanda agar perusahaan-perusahaan yang bersaing itu bergabung menjadi satu organisasi
yang disebut
Veerenigde Oost Indische Compagnie atau VOC. Pembentukan VOC ini dilaksanakan pada
20 Maret 1602. Namun VOC diakui oleh pemerintah Belanda delapan tahun kemudian
tepatnya pada 1610. Untuk melaksanakan kekuasaannya di Indonesia, diangkatlah Gubernur

Jendral VOC, seperti Pieter Both yang memerintah pada 1610 hingga 1619. Pada awalnya
pusat VOC ada di Ambon, namun pada 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen pusat VOC ini
dipindah ke Batavia (Jakarta).
Di Indonesia, VOC mempunyai hak Oktroi atau hak istimewa seperti:
Hak untuk mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain.
Hak membentuk tentara dan mendirikan benteng pertahanan.
Hak mengeluarkan dan mengedarkan mata uang.
Hak memerintah daerah-daerah di luar Belanda dan mendirikan badan-badan pengadilan.
Hak mengumumkan perang.
Hak menarik pajak.
Hak membentuk pemerintahan sendiri.
Hak sebagai wakil kerajaan Belanda di Indonesia.
Pada masa VOC, seorang gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi. Ia mempunyai
kekuasaan tak terbatas seperti halnya seorang raja yang

Galangan kapal VOC di Amsterdam, Belanda pada 1750. Foto diakses dari wikipedia.org.
absolut karena tidak ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya.
Demikian pula dengan struktur pemerintahannya di Asia, khususnya Hindia Timur juga tidak
ditentukan. Salah satu pasal penting Oktroi adalah hak monopoli, sehingga dengan haknya itu

VOC merupakan satu-satunya badan dari Belanda yang boleh mengirimkan kapal-kapal ke
daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
Politik Dagang VOC
Ketika VOC mulai melaksanakan kegiatannya di Indonesia, dimulailah suatu
perdagangan internasional dengan menggunakan sistem terbuka. Perdagangan rempahrempah yang dijalankan VOC ini menempati posisi utama, namun tidak terpisah dari
perdagangan beras, sagu, kain, dan sebagainya. Cara yang dilakukan oleh VOC untuk
monopoli perdagangan yaitu dengan melarang semua pengangkutan barang dagangan
Portugis dengan kapal pribumi, semua ekspor rempah-rempah perlu dihentikan, bahkan VOC
memerintahkan agar pohon-pohon pala dan cengkeh ditebangi.
Cara VOC mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dilakukan denganberbagai cara,
seperti :
Melakukan perebutan pasar produksi petanian, biasanya memaksa adanya sistem monpoli,
seperti monopoli rempah-rempah di Maluku dan kopi di Priangan.
Tidak ikut aktif dalam kegiatan produksi, cara produksi hasil pertanian dibiarkan dilakukan
oleh pribumi.
Karena kekuatan fisiknya yang masih terbatas, VOC hanya menduduki tempat-tempat yang
strategis.
Campur tangan VOC terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara terbatas kepada usaha-usaha
mengumpulkan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli.
Untuk memperoleh hasil bumi, VOC menggunakan alat tukar yang umumnya masih berupa
barang.
Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional masih dipertahankan, sehingga VOC dapat
menjalankan apa yang dikenal sebagai sistem indirect
rule.
Batavia Pusat VOC
Guna bertahan dari ancaman kerugian yang disebabkan karena setiap kapal berhak
melakukan transaksi dagang sendiri dan VOC sendiri terancam

Kantor VOC di dekat Kali Ciliwung, Batavia. Foto diakses dari republika.co.id.
oleh Inggris, Spanyol, dan Portugis maka raja De Heeren XVII menyarankan VOC harus
memiliki pangkalan tetap bagi kapal-kapalnya. Jayakarta merupakan kota yang
direkomendasikan oleh seorang pelaut Belanda bernama Matelieff untuk dijadikan pangkalan
kapal VOC sekaligus menjadi pusat kegiatan VOC. Matelieff berhasil membujuk de Heeren
XVII untuk menyuruh Gubernur Jendral Pieter Both menjadikan Jayakarta sebagai pusat
pemerintahan.
Pada Januari 1611, Gebernur Jendral Pieter Both menandatangani kontrak dengan penguasa
Jayakarta, Pangeran Wijayakrama. Kontrak tersebut memberikan hak kepada pedagang
Belanda untuk memakai sebidang tanah di desanya, yang ketika itu cuma berpenduduk
sekitar 8000 jiwa. Dalam perkembangannya Jayakarta berganti nama menjadi Batavia pada
30 Mei 1619 dan melebihi fungsinya sebagai tempat pangkalan kapal VOC yaitu sebagai
pusat kekuasaan Belanda di Nusantara.
Ada beberapa rangkaian peristiwa mengapa Batavia dapat menjadi pusat kekuasaan VOC,
antara lain adalah terpilihnya Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jenderal pada Juni
1618. Coen dapat melihat rupanya Kesultanan Banten, Kesultanan Mataram dan
Inggris saling menunggu untuk menyerangnya dan sama-sama ingin menghancurkan VOC.
Peristiwa lain adalah kedatangan Pangeran Gabang ke Jayakarta lengkap dengan pengawal
pada 20 Agustus 1618. Hal ini membuat Coen cemas, akhirnya ia segera menyingkir dari
Banten ke Jayakarta. Ia membangun benteng di tanah yang sudah disewa secara diam-diam.
Peristiwa lain adalah lagi munculnya ancaman nyata dari pihak Mataram dan Inggris. Di
Jayakarta VOC mempertahan diri dan membuat banyak pertahanan maupun benteng.

Kebijakan VOC
Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih banyak melakukannya melalui
pemerintahan secara tidak langsung. Hanya daerah-daerah tertentu saja, seperti Batavia, yang
diperintah langsung oleh VOC. Dalam sistem ini, kaum pribumi nyaris tidak terlibat dalam
struktur kepegawaian VOC. Meskipun kaum elit pribumi terlibat dalam pemerintahan, tetapi
status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap oleh kongsi dagang tersebut.
Para elit pribumi ini lebih banyak diperlakukan sebagai mitra kerja demi kepentingan VOC.
Hal ini jelas di daerah-daerah yang diperintah secara tidak langsung. Di daerah semacam itu,
VOC membiarkan struktur lama (tradional) tetap berdiri. Melalui para elit tradisional inilah
kepentingan VOC disalurkan, antara lain dalam hal penarikan-penarikan wajib hasil prodil
serta pajak-pajak yang dikenal dengan sistem leverantie dan contingenten (leveransi dan
kontingensi).
Selain berdagang, VOC pun mengurus kehidupan kota yang akan menjadi markas
besarnya. Cara yang dilakukannya, pertama adalah mengendalikan penduduk kota,
melindungi kota dan warganya dari pengaruh asing di sekitarnya. Bahkan hampir semua
penduduk awal kota Batavia merupakan dari luar Nusantara karena takut terhadap pengaruh
masyarakat sekitar. Para pejabat dan karyawan VOC, para serdadu, penerjemah, dan ratusan
budak merupakan dari luar Nusantara seperti berasal dari Jepang, Cina, maupun Portugis.
Jadi, ketika kekuasaan VOC, yang dianggap sebagai warga kota adalah orang asing,
sedangkan orang asing merupakan penduduk asli setempat.
Penduduk Batavia dipilah-pilah dan dikelompokkan sesuai dengan ras, daerah asal, dan status
ikatan kerja mereka dalam perdagangan VOC, maka terbentuk lima kelompok yang berbeda,
yaitu :
Kelompok Eropa yang bekerja sebagai serdadu, tukang, dan magang, berhak atas daging dua
kali seminggu.
Kelompok Swaerten (hitam) dan Chineezen (China) yang bekerja pada VOC mendapat
sembilan pon beras dua kali seminggu dan uang setengah gulden setiap bulan.
Para istri dan budak yang tak bekerja pada VOC tidak mendapat catu.
Anak-anak karyawan VOC berhak atas separo catu orang tua mereka.
Golongan burghers (warga biasa) atau vrijman (preman, warga bebas), tidak diberi catu tetapi
boleh membeli beras selama persediaan masih ada.
Dengan alasan keamanan kota, VOC melarang orang asing (orang Jawa) memasuki kota
Batavia dan melarang penduduk kota keluar. Kemudian dibangunlah dinding tembok di
sekeliling kota. Baru pada 1624, VOC mengizinkan orang Jawa memasuki kota. Itu pun
hanya untuk berdagang di pasar-pasar yang sudah ditentukan.
Dalam kekuasaan VOC, pemilahan agama pun terjadi. Pengkristenan besar-besaran
khususnya pada para budak yang lebih tepatnya dipaksa masuk dalam agama Kristen.

VOC juga melakukan tindakan mengutamakan pada bangsa-bangsa tertentu seperti Cina dan
Jepang. Misalnya kegiatan perpajakan banyak diserahkan pada masyarakat Cina, hampir
semua kegiatan bernilai ekonomi tetapi hampir tidak penting bagi VOC diserahkan kepada
kelompok masyarakat Cina seperti mengumpulkan dan berdagang sarang burung, paruh
burung, cula badak, kapur barus, intan, dan beberapa barang berharga lainnya. Bahkan Jan
Pieterzoon Coen (J.P. Coen) sendiri secara tegas menyatakan bahwa masyarakat Cina
dianggap begitu strategis bagi monopoli VOC. Sedangkan Jepang diberlakukan istimewa
dalam bidang pasukan bayaran yang dikontrak VOC di Hirado, pusat pedagangannya di
Jepang pada 1612. Selama pemilahan masih berdasarkan kegiatan dagang, agama, dan
kekuasaan VOC, orang Eropa digolongkan ke dalam kelompok atas. Begitu kepentingan
ekonomi VOC yang jadi pertimbangan, golongan Eropa sama sekali tidak lagi memiliki
keistimewaan.
Untuk semakin memperbesar kekuasaannya di Indonesia, VOC melakukan cara-cara
politik devide et impera atau politik adu domba, dan tipu muslihat. Misalnya kalau ada
persengketaan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan lain, mereka mencoba membantu
salah satu pihak. Dari jasanya itu, mereka mendapatkan imbalan berupa daerah. Hal ini
berlangsung setiap kali sehingga di Indonesia semakin banyak daerah koloni orang-orang
Eropa, terutama Belanda.
Untuk mempertahankan kegiatan monopoli dan kekuasaan, VOC banyak menggunakan
kekerasan. Misalnya menindak keras para pedagang Makassar di daerah Misol, bahkan raja
dan kapten laut Misol juga ditawan pada 1702.
Masa Kejayaan VOC
Pada 1641, Malaka berhasil direbut oleh VOC dari tangan Portugis. Pada 1645, Maluku
bebas dari gangguan kerajaan Banten, dan Mataram mau berdamai dengan VOC setelah
Sultan Agung wafat (1646). Sekitar tahun-tahun itu, praktis seluruh kawasan India ama bagi
VOC sejak jatuhnya Sri Lanka (Ceilon). Pada waktu itu, penduduk Batavia pun semakin
tertib dan terkendali. Salah satu cermin keberhasilan VOC ini adalah konsolidasi peraturan
kota Batavia dalam suatu kodifikasi hukum (de statute van Batavia), yang diresmikan pada 5
Juli 1642. Kodifikasi ini, yang merupakan akar hukum Hindia Belanda, menetapkan dengan
jelas peranan setiap alat kekuasaan (termasuk agama Kristen) dan kelompok masyarakat.
Selain itu, setelah kestabilan Batavia terjamin, dalam 10 tahun berikutnya VOC dapat
memusatkan tenaga untuk melemahkan kekuasaan lokal, seperti Banten, Mataram, dan
Makassar.
Sementara di Indonesia bagian Timur, VOC semakin kuat setelah berhasil mengalahkan
perlawanan Sultan Hasanudin dari Gowa. Kekuasaan VOC berkembang di Kalimantan
Selatan setelah VOC berhasil memaksakan kontrak dan monopoli dengan Raja Sulaiman
(1787). Di Maluku, dengan taktik adu domba para penguasa, yakni VOC membantu Putra
Alam untuk memerangi Sultan Nuku, akhirnya Maluku dapat dikendalikan.
Sembilan tahun masa tenang setelah Malaka dikuasai pada 1641, VOC memutuskan
mengakhiri kekuasaan Portugis di Nusantara untuk selamanya. Menjelang akhir jabatannya,

Gubernur Jenderal ke-11, Carel Reyniersz (1650-1653) diperintah menggempur Portugis


sampai di pantai jazirah India. Sejak Oktober 1652 sampai 1655, Portugis di Sri Lanka
dipukul terus-terusan. Pada 12 Mei 1656, pada masa Gubernur Jenderal ke-12, Joan
Maetsuyker (1653-1678), perlawanan Portugis berakhir dan Colombo dikuasai oleh VOC.
Maetsuyker memang dianggap salah satu gubernur jenderal paling agresif. Ia berhasil tidak
hanya menguasai Colombo, tetapi juga seluruh Maluku (1655), Minahasa (1658) dan
Gorontalo (1677), Mataram (1667), serta Makassar (1669).
Dalam periode itu, VOC sedang berada pada puncak kekuasaannya sebagai negara. Kerajaankerajaan local tidak hanya diungguli, tetapi sudah merosot jadi sekadar pelayan
kepentingannya. Jalur armada dagangnya dari Maluku sampai Amsterdam lewat Tanjung
Harapan sangat terjamin keamanannya. Kenyataan itu telah sangat jauh melampaui syaratsyarat pelayaran bebas, cita-cita agung yang merupakan tenaga penggerak utama Belanda
untuk mematahkan hegemoni Portugis dan Spanyol sejak akhir abad ke 16.
Runtuhnya VOC
Pada dasarnya, sejak 1760-an masa kejayaan VOC sebagai kongsi dagang dunia sudah
mulai meredup. Keterlibatannya dalam berbagai konflik lokal dan penguasaan territorial yang
semakin luas, membuat keuntungan dagangnya terkuras. Sejak 1780-an terjadi peningkatan
biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang
tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para
pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para
residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil
produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada
VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat
tinggi. Sejak pertengahan abad ke 18, VOC tidak lagi mengirimkan keuntungan ke negeri
induknya, tetapi sebaliknya, justri mengutang. Akhirnya pemerintah Belanda mengambil alih
semua utang piutang VOC. Namun sebelum raja Belanda bertindak, pada Desember 1794
hingga Januari 1795, Perancis menyerbu Belanda dan memaksa raja Oranje lari ke Inggris.
Pada 30 Desember 1799 VOC dibubarkan, Karena berbagai sebab, seperti :
Sifat VOC sebagai badan dagang untuk memerintah daerah yang luas tidak dapat
dipertahankan lagi. VOC mempunyai daerah jajahan yang sangat banyak di Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah VOC membutuhkan pegawai yang sangat banyak untuk ditempatkan
di semua tanah jajahan. Tetapi hal ini membuat pemerintah VOC mengalami kerugian yang
sangat besar. Untuk menggaji pegawai-pegawai VOC yang tersebar di segala tempat dan
memberikan dana untuk administrasinya sangat menguras dana yang cukup banyak. Lamakelamaan pemerintah VOC tidak sanggup untuk menanggung semua kerugian yang telah
terjadi. Akhirnya VOC dikembalikan kepada pemerintah Belanda.
Korupsi yang merajalela.
Saingan kongsi-kongsi dagang lain negara.Persaingan dagang antara Belanda dengan Negaranegara Eropa lainnya sudah terjadi beberapa tahun. Belanda yang diwakili kongsi dagangnya

yaitu VOC berusaha agar tetap eksis dalam persaingannya dengan Inggris yang mana dalam
hal ini diwakili oleh EIC. VOC berusaha agar dapat menggenggam semua perdagangan di
Asia Tenggara. Dan hal ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Perang yang terus-menerus menelan biaya yang besar. Pada saat VOC berada di Indonesia,
sementara itu perang di Eropa makin meluas. Perancis bersekutu dengan Belanda melawan
Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan Nusantara, dari 1781 sampai 1795 VOC
terpaksa menambah utang. Hal ini tentunya akan menyedot uang VOC untuk diserahkan
kepada pemerintah Belanda. Tetapi karena perang tersebut tak berkesudahan, menyebabkan
pemerintah Belanda kocar-kacir untuk mendapatkan uang guna membiayai perang yang
sudah lama terjadi. Hanya VOC yang menjadi andalan pemerintah Belanda untuk
mendapatkan uang yang sangat banyak. Tetapi VOC juga sangat membutuhkan dana untuk
membiayai segala sesuatu yang terjadi di negara jajahannya.
Terlalu lama mempertahankan monopoli, menimbulkan bentrokan-bentrokan dan
penyelundupan. Selain itu system monopoli sudah out of date ( ketinggalan zaman) karena
perkembangan liberalisme yang menghendaki usaha bebas.
Raja Belanda Willem V memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC
sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Maka berdasarkan pasal 249 UUD
Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret 1799, dibentuklah suatu badan untuk mengambil alih
semua tanggung jawab atas milik dan utang VOC. Badan ini bernama Dewan Penyantun Hak
Milik Belanda di Asia. Pengambilalihan itu resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus
1799. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut dan seluruh hak miliknya
berada di bawah kekuasaan negara Belanda.
Setelah VOC bubar, Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda (Republik Bataaf).
Pegawai-pegawai VOC menjadi pegawai pemerintah Belanda. Hutang VOC menjadi
tanggungan negeri Belanda. Sejak 1 Januari 1800, Indonesia dijajah langsung oleh negeri
Belanda. Saat itupun Indonesia disebut Hindia Belanda.

Anda mungkin juga menyukai