SARI WULAN
C0508046
Abstract
This artikel describes the history of the film industry in Batavia since 1900
until 1942 had the the highest progress of genre film especially in 1900- 1930s.
The Hollywood’s films as the form of genre film was liked very much by all the
social class, those were European society and educated people. For the low class
more dominated the local films because the texts were used easier to understand
than the Hollywood’s films which were overwhelming the cinemas in Batavia.
The first film was ―Loetoeng Kasaroeng‖ as the milestone for the birth of
other local films, then the film with audio technology entered to Hindia Belanda
around 1929. After the progress of local films and the modern technology entered
the film industry, the opera show artists became more and more to participate in
the film industry. The results of this research that the film industry in Batavia
had a progress.
Keyword: Film, Industry, Genre’s film
Pendahuluan
fisik mirip dengan kota Amsterdam dengan dinding muka atap rumah yang
berbentuk tangga – tangga dan juga kanal – kanal.1
Pada tahap awal Batavia ditata dengan menggunakan prinsip – prinsip
sebagai kota yang ideal. Batavia mempunyai karakter yang bersifat Indo atau
Mestizo (campuran). Akulturasi budaya antara budaya Timur dan Barat
berkembang begitu pesat dan mendalam sehingga mengakibatkan munculnya
sebuah gaya hidup baru yang menuntut sebuah penataan lingkungan pemukiman
di Batavia. Kota Batavia yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan dan
dengan segala infrastruktur kotanya yang modern dan berkembang hingga
menjadi wajah Batavia baru, yaitu Jakarta.
Proses semakin mencairnya identitas etnis penduduk Batavia terlihat dari
terjadi banyaknya perkawinan campuran merupakan salah satu penyebab dari
semakin melemahnya identitas etnik. Batavia bukan hanya menjadi pusat
administrasi pemerintahan tetapi juga tempat meleburnya berbagai penduduk yang
multi etnis dan dengan segera melahirkan kebudayaan baru yang disebut
kebudayaan Indis, yaitu kebudayaan hasil percampuran antara kebudayaan
pribumi dengan Eropa.
Batavia sebagai kota pusat pemerintahan kolonial menjadikannya sebagai
pintu gerbang dari segala kemajuan dan kebudayaan yang masuk ke kota ini. Pada
mulanya seni pertunjukan yang berkembang sebelum abad ke-20 yaitu seni
pertunjukan panggung yang berupa tiruan opera yang bercerita mengenai
kehidupan raja – raja dan disisipkan dengan pertunjukan musikal. Pertunjukan
panggung lainnya yang populer sebelum itu yaitu Wayang Cerita ― Siti Akbari ―
yang dipimpin oleh orang Cina bernama Lie Kim Hock. Pertunjukan tersebut
berbentuk prosa bersajak yang mengisahkan kehidupan istana yang dikutip dari
cerita 1001 malam. Rombongan ini berkeliling dan bermain di pelataran dengan
bentangan layar di belakang. Musik pengiringnya adalah gambang kromong yang
melodinya sangat berbau musik Cina.
Pertunjukan panggung lainnya yang terkenal dan muncul pada tahun 1891
yaitu Komedi Stambul pertama kali didirikan oleh August Mahieu.
1
Lance Castle, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta : Masup Jakarta, 2007),
hlm. 13.
3
Perkumpulannya dibiayai oleh Yap Goan Thay. Kegandrungan pada cerita dengan
setting Istambul inilah, yang kemudian melahirkan sebutan baru bagi jenis
pertunjukan ini, yaitu Komedie Stamboel. Dari sini, lahir nama pelopor mereka
yang legendaris yaitu Mahieu, Yap Goan Thay, dan Cassim.
Perkembangan seni pertunjukan panggung yang dibawa oleh kelompok
Komedi Stambul ini menjadi terkenal dan digemari terutama di Batavia. Mereka
yang terjun dalam kelompok panggung ini tercetak dalam subkultur Anak
Wayang, istilah tersebut digunakan hanya di kalangan orang panggung itu sendiri.
Seni pertunjukan panggung hingga awal abad ke-20 semakin menancapkan
kemajuannya. Miss Riboet dan Opera Dardanella adalah contoh seni panggung
yang masih tetap berjalan melawan arus modernisasi teknologi yang semakin
canggih.
Pada awalnya tontonan panggung yang di gemari masyarakat kelas bawah
sejak akhir abad ke-19 berupa tiruan opera yang dijejali banyak sisipan adegan
hiburan. Ceritanya mengenai kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlapan,
sebagian dialognya diucapkan dengan dinyanyikan sebagaimana lazimnya opera.
Jumlah babaknya dibuat banyak sekali yang diselingi dengan adegan nyanyian,
lawak dan tari yang juga serba gemerlapan.
Pada penghujung abad ke-19, teknologi pembuatan film, yaitu gambar
yang bisa bergerak, ditemukan di Prancis, Inggris dan Amerika. Pada waktu itu
negeri Nusantara masih merupakan jajahan Belanda dengan nama Nederlands
Indie atau dalam bahasa pribumi disebut Hindia Belanda. Dengan sebutan tersebut
menandakan bahwa negeri ini dianggap sebagai bagian dari India yang merupakan
milik Belanda. Pada waktu itu hanya beberapa orang saja yang mampu baca tulis.
Nama Indonesia belum dikenal, bahkan suku-suku yang mendiami Nusantara
belum merasa sebagai satu bangsa. Batavia sebagai kota pusat pemerintahan
kolonial menjadikannya sebagai pintu gerbang dari segala kemajuan dan
kebudayaan yang masuk ke kota ini.
Salah satu ciri dari perkembangan kota adalah adanya tempat pemukiman
yang dihuni oleh sekelompok orang. Mereka tinggal di suatu lingkungan di salah
satu kawasan yang menjadi bagian dari kota. Di situ berbaur berbagai etnis
dengan karakteristik tersendiri mewarnai perkembangan kota. Batavia diwarnai
4
oleh kehadiran empat kelompok ras, yaitu Belanda, Indo-Eropa, Cina, Arab, serta
Pribumi. Orang pribumi sebagian besar tinggal di kampung dan menempati
sebagian kecil areal perkotaan, semakin terdesak dengan bangsa Eropa yang
tinggal di kampung khususnya yang terletak pada jalan-jalan utama. Akibatnya,
perkembangan kota menjadi tidak teratur. Muncul permasalahan seperti
kekurangan air dan kurangannya perairan, kondisi kehidupan tidak sehat, dan
kurangnya rumah untuk tempat tinggal.
Perubahan mulai ditingkatkan oleh pemerintah kolonial untuk menata
negeri jajahannya dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai proses lanjutan yang
muncul sesudah penaklukan secara politis, representasi-representasi yang ada atas
daerah kolonial tidak lain merupakan suatu proses dimulainya penguasaan secara
budaya. Pemerintah kolonial tampak berperan penting mengajarkan kepada
penduduk pribumi mengenai apa yang harus dilihat dan bagaimana harus melihat
koloni. Secara tidak langsung hal ini telah mengintegrasikan tidak saja aspek
kewilayahan, tetapi juga menghubungkan tempat-tempat dalam cara pandang
Hindia Belanda yang diimajinasikan mengenai konsep keindahan lanskap ― mooi
indies ― atau Hindia molek, sejarah budaya dan tradisi maupun stereotip tempat
dan penduduk di Hindia Belanda.2
Sementara Hindia Belanda masih dalam gejolak, pemerintah kolonial
Belanda menerapkan kebijakan baru bagi penduduk negeri ini. Kebijakan itu
dikenal dengan sebutan Politik Etis ( etische politiek ) yaitu irigasi, emigrasi dan
edukasi. Kebijakan ini diambil setelah ada indikasi menurunnya tingkat
kemakmuran penduduk pribumi, hasil penelitian Mindere Welvaart Commisie,
yaitu komisi yang dibentuk untuk menyelidiki penurunan tingkat kesejahteraan
penduduk.3 Intinya manjadikan kehidupan yang lebih baik karena menitikberatkan
pada perlindungan terhadap hak dan kepentingan penduduk pribumi, dengan
program utama memajukan irigasi, edukasi dan migrasi.
Salah satu bentuk kebijakan Politik Etis adalah edukasi atau pendidikan.
Tujuan sebenarnya dari kebijaksanaan ini tidak lebih dari mendapatkan pekerja-
2
H.C.C Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20, (Jakarta: Masup,
2007), hlm. 1.
3
Haris Jauhari, Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992 ), hlm. 2.
5
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
sejarah. Metode sejarah terdiri dari empat tahap yang saling berkaitan satu sama
lain. Tahap yang pertama adalah heuristik, yaitu kegiatan atau proses
pengumpulan sumber – sumber sejarah atau pengumpulan sumber data sebanyak
– banyaknya yang berhubungan dengan tema dan permasalahan penelitian.
Pengumpulan sumber data ini dilakukan dengan menetapkan sumber data dan
4
M. Sarief Arief, Politik Film Hindia Belanda, (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009), hlm. 9.
5
A. Taruna, ― Pemoeda dan Pemoedi Kita Dengan Perusahaan Film ―
dalam Doenia Film, No.8 Oktober ( 1941 ). Hlm. 114.
7
membedakannya dalam kategori data primer dan data sekunder yang harus
dilakukan dengan sistem pencatatan yang relevan.
Data primer yang digunakan seperti dokumen atau arsip meliputi Staatsblad
van Nederlandsch – Indie Tahun 1919 ( No.37 dan 378 ), Tahun 1920 ( No.51,
358, dan 438 ), Tahun 1922 (No.668), Tahun 1925 (No.477), Tahun 1926
(No.478), Tahun 1930 ( No. 447 dan 448 ), dan Tahun 1940 (No.507) serta artikel
dan majalah yang sejaman.
Data sekunder meliputi buku – buku, majalah dan surat kabar tersebut
antara lain Bintang Betawi, Preanger Post, Pewarta Soerabaia, Nieuw Weekblad,
dan Vederland. Sedangkan majalah yang dijadikan sumber skripsi ini antara lain
Doenia Film, Panorama, Pertjatoeran Doenia dan Film, Filmland, dan
Pembangoenan.
Tahap kedua adalah Kritik Sumber ( Criticism of Data ) atau Penilaian Data.
Pada tahap ini, penulis melakukan kritik atau verifikasi. Di tahap ini penulis
menguji dan menilai data sumber primer dan sekunder tersebut untuk di uji dan di
cari kebenaran faktanya. Tahap ketiga adalah interpretasi. Pada tahap ini
dilakukan untuk menafsirkan keterangan yang saling berhubungan mengenai
Sejarah Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 – 1942. Tahap selanjutnya
merupakan tahap terakhir yaitu historiografi atau penulisan sejarah ini merupakan
penyajian hasil penelitian dalam bentuk tulisan baru berdasarkan bukti-bukti yang
telah diuji Pada langkah ini disajikan hasil penelitian yang berupa penyusunan
fakta – fakta dalam suatu sintesa kisah yang baik.
Isi
6
Iklan dalam surat kabar Bintang Betawi ( Batavia ), 4 Desember 1900.
7
M. Sarief Arief, Politik Film di Hindia Belanda, (Jakarta : Komunitas
Bambu, 2009), hlm. 5.
9
8
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers, 1982),
hlm. 2-3.
10
buat satu anak f0.25.9 Dengan penurunan harga tanda masuk itu, animo terhadap
bioskop sedikit meningkat, hingga dapat terus berjalan. Orang umumnya datang
untuk menyaksikan benda ajaib yang diiklankan dan menjadi buah bibir itu.
Selain itu, menonton film di bioskop termasuk tindakan bergengsi, terutama
karena ini jenis hiburan baru dan menjadi konsumsi orang berduit. Belum lagi
dengan menonton film di bioskop, para inlander merasa naik gengsinya karena
dapat duduk bersama dengan sinyo dan noni – noni yang waktu itu mempunyai
kedudukan paling tinggi dalam strata sosial masyarakat Hindia Belanda.
Ketentuan dalam pembagian kelas dan harga tanda masuk baru ini,
mengatrol pendapatan bioskop. Namun bagi para kolonial, pembagian kelas
tersebut mereka restui tampaknya bukan semata – mata karena alasan ekonomi.
Lebih jauh, pembagian kelas tersebut mencerminkan usaha mereka memaparkan
pula susunan masyarakat jaman ini yaitu dengan meletakkan masyarakat Belanda
dan Eropa di puncaknya, kemudian masyarakat Timur Asing (vreemde
oosterlingen ), dan bumiputra ( inlanders ) di posisi paling bawah.10
Munculnya bioskop – bioskop di Batavia ini semakin memperlihatkan
kehidupan sosial masyarakat perkotaan di Batavia. Perkembangan kota yang
semakin maju dan kebudayaan asing yang semakin menyebar ke dalam semua
kalangan masyarakat di Batavia. Bertambahnya tempat pertunjukan film atau
yang dikenal dengan nama bioskop ini menyebabkan meningkatnya pula jumlah
importir film. Pada tahun 1900 di Batavia baru terdapat satu importir film.
Kemudian pada tahun 1905 berkembang menjadi tiga importir, yaitu American
Animatography, Nederlaandsch Indie Biograph Compagnie dan The Royal
Bioscoope. Sampai dengan tahun 1920 –an pertunjukan film bisu berkembang
dengan pesat yang didominasi oleh film – film produksi Universal Hollywood
Amerika Serikat. Keadaan ini dimungkinkan karena perusahaan Universal adalah
satu – satunya perusahaan yang mampu membuat film cerita bisu dan film
dokumenter. Amerika Serikat sangat kuat dalam peredaran film di Batavia. 11
9
Haris Jauhari, Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 5.
10
Ibid. hlm. 7.
11
M. Sarief Arief. Op.cit. hlm. 16 – 17.
11
Dengan masuknya film jenis genre dari Amerika, selera pribumi terpelajar
menjadi terbentuk dengan cukup tinggi. Maka, ketika pembuatan film dimulai di
Hindia Belanda, orang terpelajar sudah menggunakan ukuran yang mustahil
dicapai oleh film buatan dalam negeri. Seniman film berusaha keras untuk
diterima penonton kelas atas, yakni kalangan pribumi terpelajar. Namun dimata
penonton terpelajar, mutu film buatan dalam negeri dinilai jauh dari harapan.
Ukuran yang mereka gunakan adalah film Barat yang sudah begitu maju.
Sehingga mayoritas penonton film dalam negeri adalah masyarakat lapisan
bawah.
Tingginya animo di kalangan masyarakat pribumi—yang berasal dari
beragam tingkat pendidikan--untuk menjadi penonton aktif di bioskop terjadi
karena adanya kebutuhan akan tempat hiburan pada malam hari. Ini
dimungkinkan karena aturan pergaulan antara wanita dengan pria di Batavia pada
masa itu tidak seketat di daerah lainnya. Setiap malam minggu terjadi pertemuan
remaja pria dan wanita yang kemudian dilanjutkan dengan acara menonton
pertunjukan film di bioskop.
Genre sebagai bentuk film yang lebih tua, mendapatkan bentuknya yang
jelas pada tahun 1918, ketika adanya studio – studio Hollywood. Pada saat itulah
lahirnya formula pictures, suatu istilah yang kemudian dikenal di Indonesia
sebagai ― ramuan ― atau ― resep ― untuk membuat sebuah film menjadi laku.
Keadaan seperti ini pun mempunyai arti penting dimana adanya hubungan antara
manusia dan kesenian. Waktu yang semakin sempit pada akhirnya menyebabkan
para pedagang dan pekerja di kota – kota semakin kekurangan kesempatan untuk
menikmati ― kesenian tinggi ― seperti dahulu. Mereka perlu hiburan ringan yang
tidak membutuhkan terlalu banyak tenaga dan pikiran untuk menikmatinya.
Perubahan yang cepat dan kontak yang makin meluas dengan dunia
industri di Barat membawa pengaruh besar terhadap kebudayaan dan kesenian di
Hindia Belanda. Film – film genre pun kemudian membanjiri industri perfilman
di Hindia Belanda dan cukup menyedot banyak perhatian penonton.
Perkembangan Genre di Hindia Belanda mulai tahun 1936 dapat dilihat dalam
Tabel 1 dibawah ini.
12
Tabel 1
Jenis Genre Film dari Tahun 1936 – Era Teknologi
Dalam genre tema di kelompokkan menjadi lima, yaitu Pertama, film anak
– anak dengan jenis drama dan terbagi lagi ke dalam tiga corak yaitu melodrama,
musikal dan agama. Pengkhususan tema film anak – anak ini seperti dokumentasi,
informasi, pendidikan, pelatihan dan iklan yang bentuknya bisa dipecah menjadi
bincang – bincang (talk show) dan reality show. Kedua, film dengan tema kartun
animasi yang cenderung bersifat komedi. Corak tema film ini yaitu satire, komedi
situasi dan humor. Khusus film dengan tema ini seperti FTV, film cerita dan lepas
yang dapat dipertunjukan dengan format kuis cerdas cermat. Ketiga, tema film
sejarah, legenda, politik, kekerasan dan peran yang termasuk ke dalam jenis film
laga. Dengan corak film kejahatan, ketegangan, kejutan, petualangan, koboi dan
silat. Jika dikhususkan film dengan tema ini bisa berseri, bersambung dan
berdasarkan tokoh – tokoh dalam cerita. Bentuk dari genre film ini yaitu
sport/olahraga, social welfair/kegiatan sosial, entertainment dan games
ketangkasan. Tema yang terakhir yaitu film dengan tema spionase atau khayalan
yang terdiri dari jenis film fiksi. Corak yang dapat dari genre ini yaitu film fiksi
ilmiah, horror/misteri, takhayul/cerita setan, dan klenik/ perdukunan.
Perkembangan film genre pun semakin banyak terlihat di Hindia Belanda ketika
film cerita dengan tema Legenda Jawa Barat dibuat oleh Heuveldorp. Ia adalah
seorang Belanda yang ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk membuat film-
film dokumenter. Heuveldorp ternyata lebih tertarik untuk membuat film cerita
yang tema, lokasi, dan semua pemainnya adalah pribumi. Untuk mewujudkan
cita-citanya tersebut, ia bekerja sama dengan Kruger (seorang Jerman) di bawah
bendera perusahaan Java Film Company di tahun 1926.
Dampak positif dari pergelaran tersebut adalah menjadi populernya
kembali nyanyian – nyanyian Sunda lama. Orang memainkan musik kecapi dan
suling dimana – mana. Di setiap Kabupaten, terdapat lima sampai enam
perkumpulan musik Sunda. Sejalan dengan berkembangnya kesenian, maka
industri alat musik Sunda juga tumbuh dan dibuat lebih modern.
Awal pembuatan film cerita lokal pada tanggal 27 Desember 1926 yang
dilakukan oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers dibawah perusahaan miliknya yaitu
NV Java Film Company telah membuka babak baru. Mereka membuat film cerita
berdasarkan cerita rakyat sunda ―Loetoeng Kasaroeng―. Dalam pembuatan film
14
12
Ibid. hlm. 39.
15
Sebanyak cerita film yang dipertunjukkan di atas layar, maka sebanyak itu pula
penglihatan publik yang kemudian dapat mendatangkan kesan kepada mereka,
pengaruh – pengaruh positif maupun negatif film yang disajikan.
Pada masa kolonial, Ordonansi Film ( Film Ordonnatie ) bertujuan untuk
menghapuskan citra buruk dan menjaga martabat orang – orang kulit putih yang
tampil dalam film – film impor juga film buatan Hindia Belanda dan mengawasi
materi pertunjukan. Guna mengantisipasi hal ini, pemerintah untuk pertama
kalinya mengeluarkan undang – undang mengatur film dan bioskop melalui
Ordonnantie Bioscoope yang dibentuk pada tanggal 18 Maret 1916. Ordonansi ini
memberikan hak pemeriksaan film oleh komisi regional yang ditunjuk Gubernur
Jenderal.13
Kesimpulan
13
Henny Saptatia, dkk., 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia, (Jakarta:
Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI, 2011 ), hlm. 30-31.
16
sandiwara dan film – film yang disadur dari film – film Hollywood. Hal ini yang
mengakibatkan pesatnya film – film genre membanjiri industri perfilman tanah
air. Para seniman yang semula berasal dari dunia panggung dan jurnalis mulai
melihat progress dari industri film yang bisa dijadikan peluang bisnis. Film – film
seperti produksi Amerika yang berjenis laga, percintaan, horror dan detektif,
mulai merasuk ke dalam film – film lokal.
Pada waktu itu penduduk pribumi hanya mengerti bahasa Belanda dan
sedikit yang memahami bahasa Inggris, sehingga bukan alur cerita yang
diperhatikan penonton pribumi melainkan gambar dalam film itu saja. Hal ini
kemudian menimbulkan kecemasan di kalangan orang Eropa. Mereka takut citra
negatif orang Barat dalam gambar film itu akan menyadarkan penduduk pribumi
dan menganggap bahwa derajat yang tinggi dari orang Barat dalam gambar film
itu akan menyadarkan penduduk pribumi.
Pemerintah kolonial kemudian mengambil kebijakan untuk membentuk
suatu komisi bagi pengguntingan gambar dalam film yang diberi nama Komisi
Sensor Film. Keberadaan komisi ini dimaksudkan untuk membatasi jumlah film
Barat yang masuk ke Hindia Belanda dan menggunting gambar dari film – film
impor yang menurut penafsiran anggota komisi itu tidak baik untuk di tonton oleh
penduduk di Hindia Belanda.
Ordonansi film pertama tahun 1916 berisi tentang pembentukan Komisi
Penilaian Film No.276 dan pengawasan pertunjukan film di kota – kota besar
No.277 dan pembentukan Komisi Film ( Film Comissie ). Ordonansi kedua ( 1919
) bernomor 377 berisi pembentukan sub – sub komisi film di daerah. Ordonasi
Ketiga ( 1920 ) No. 356, berisi penghapusan sub – sub Komisi Pengawasan Film
di Batavia, Semarang, Surabaya dan Medan. Ordonansi keempat ( 1922 ) No.668
berisi tentang kewajiban membayar biaya penilaian film. Ordonansi kelima ( 1925
) No.477, terkait sentralisasi Komisi Penilaian Film. Ordonansi keenam tahun
1926 No.478 merupakan penyempurnaan dari Ordonansi sebelumnya, dengan
penetapan anggaran untuk biaya operasional (listrik, cetakan, dsb). Ordonansi
ketujuh ( 1930 ) No.477 berisi Hak Pemilik Film mendapatkan keterangan ( ketika
pemilik film merasa dirugikan atau mengapa filmnya dilarang untuk diputar ).
18
Ordonansi yang terakhir tahun 1940 No.507, berisi penetapan tugas Komisi Film
yang salah satu nya, mengklasifikasi film sesuai usia penonton.14
Ordonansi ini masih memberi peluang bagi bioskop untuk berkembang
dan mendatangkan film – film yang disukainya, mengingat peraturan lebih
bersifat pengawasan pada mekanisme perizinan sebelum film ditayangkan
Ordonansi tidak membatasi gerak mereka, sebaliknya merangsang
perkembangan pembuatan film. Film – film yang ditanyangkan lebih beragam dan
juga lebih cepat berganti program dua sampai tiga kali seminggu. Nieuw
Weekblad vood de Cinematografie dalam tulisannya tanggal 10 Juli 1925
menjelaskan bahwa bioskop di negeri ini memutar film baru lebih cepat karena
perputaran dan pergantian di bioskop lebih cepat. Hampir setiap pekan ada film
baru. Iklan di surat kabar ramai mengumumkan diputarnya film – film baru
dengan bumbu berbagai keajaiban dan keheranan, hingga terus menarik minat
penonton. Calon – calon penonton baru pun berdatangan, bioskop makin marak.15
14
Arsip Nasional RI. Staatsblad van Nederlandsch – Indie No.507.(1940)
15
Geo. K. ― Nieuw Weekblad v.d. Cinematografie ―. No.51. 41 Juli 10 (1925)
19
Daftar Pustaka
A. Arsip
B. Buku
Ardan, M.S, dkk. 1933. Film Indonesia ( 1900 – 1950 ). Jakarta: Dewan Film
Nasional.
Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Ismail, Usmar. 1983. Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan, IKAPI.
Jusa Biran, Misbach. 2009. Sejarah Film 1900 – 1950 Bikin Film di Jawa.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Paeni, Mukhlis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia; Seni Pertunjukan dan Seni
Media. Jakarta: Rajawali Pers.
Pane, Armijn. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja
sebagai Alat Masjarakat. Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional.
Tjasmadi, Johan HM. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900 – 2000.
Bandung: Megindo.
20
Sarief M., Arief. 2009. Politik Film di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Saptatia, Henny, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta:
Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI.
Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers.
C. Surat Kabar
Bintang Betawi ( Batavia ), 30 November 1900.
Bintang Betawi ( Batavia ), 4 Desember 1900.
Bintang Betawi ( Batavia ), 5 Desember 1900.
Bintang Betawi ( Batavia ), 31 Desember 1900.
De Preanger Post, 20 Desember 1926.
Nieuw Weekblad, 10 Juli 1925.
D. Majalah
Ariva, Monami. ― Film adalah Barometer Masyarakat ―, Doenia Film. No.8 (
1941 ).
Dewantara, Ki Hadjar. ―Film dan Radio―. Pertjatoeran Doenia dan Film. No.I /
Th I 1941.
Taruna, A. ― Pemoeda dan Pemoedi Kita Dengan Perusahaan Film ―, Doenia
Film. No.8 Oktober 1941.