1. Jelaskan kehidupan sosial di Batavia menurut Jean Gelman Tylor dan bagaimana
pemerintah VOC mengatur tentang keberadaan masyarakat Tionghoa di Batavia
menurut Leonard Blusse.
Jawab:
Kota Jacarta merupakan kota yang memegang peran penting bagi perekonomian
sejak abad ke-17. Awalnya, daerah yang masih menjadi bagian dari Banten ini dihuni oleh
orang-orang Sunda dan Cina. Perdagangan memang telah menjadi aktivitas utama di
Jacarta. Sejak kedatangan VOC, Jacarta kian ramai dan menjadi pusat dagang yang
strategis. Setelah Jan Pieterzoon Coen menakluklan Jacarta, diubahlah nama kota itu
menjadi Batavia. Jean Gelma Tylor memberi fokus kehidupan sosial di Batavia pada
populasi dan permasalahan yang ada. Selain itu, dijelaskan pula tentang hukum yang
mengatur permasalahan tersebut. Populasi Batavia menjadi beragam sejak hadirnya
bangsa Eropa. Tidak hanya dominasi penduduk Belanda, tetapi juga orang-orang non-
Belanda. Keragaman inilah yang memunculkan beberapa masalah di Batavia.
Permasalahan yang ada di Batavia meliputi beberapa aspek kehidupan. Pertama,
penggunaan bahasa. Meskipun Batavia diperintah oleh Belanda, tetapi penggunaan bahasa
Portugis dan Melayu justru lebih dominan. Keadaan ini membuat VOC mendirikan
sekolah-sekolah yang diharapkan dapat meningkatkan penggunaan bahasa Belanda.
Kedua, pernikahan. Pada masa Pieterzoon Coen, perempuan-perempuan Belanda di
Batavia masih jarang. Hal ini menyebabkan adanya pernikahan campuran dengan pribumi
yang disebut sebagai kaum Mestizo. Pernikahan campuran ini memberi perubahan
kehidupan orang Eropa seperti kebiasaan orang Belanda mengunyah sirih, minum kopi,
tidur siang, dan lainnya. Meskipun upaya untuk mendatangkan perempuan Eropa telah
dilakukan, tetapi keadaan ini justru menimbulkan kesenjangan karena gaya hidup mereka
yang mewah. Hal ini menyebabkan ada peraturan untuk membatasi kedatangan perempuan
Eropa demi mewujudkan kehidupan Batavia yang seimbang.
Ketiga, moralitas. Pemerintah Belanda berusaha untuk membentuk Batavia
menjadi kota yang beradab dengan tetap menempatkan Eropa di posisi yang lebih tinggi.
Namun, banyaknya penduduk dari berbagai latar belakang telah membuat regulasi yang
ada menjadi kian kabur. VOC kemudian melakukan perbaikan pendidikan dan keagamaan.
Banyak sekolah didirikan untuk mengajarkan bahasa Belanda kepada pribumi dan banyak
gereja didirikan untuk menciptakan kehidupan yang patuh sesuai dengan ajaran Kristen.
Di sisi lain, VOC juga menerapkan kebijakan misalnya pemberlakuan izin tinggal, izin
menikah, kontrak kerja, dan lainnya. Meski demikian, perbedaan derajat tetap ada untuk
melindungi posisi Belanda sebagai penguasa Batavia.
Kedatangan Inggris di Batavia perlahan mengubah kondisi sosial masyarakat
dalam beberapa aspek. Inggris memiliki tujuan untuk memajukan daerah jajahan dan ingin
menghapus budaya Mestizo yang dianggap terbelakang. Orang Eropa yang baru datang ke
Batavia dikejutkan dengan budaya orang Eropa yang telah lama tinggal di Batavia. Mereka
seakan sudah kehilangan budaya Eropa dan hidup seperti kaum pribumi pada umumnya.
Selain itu, pendidikan menjadi aspek yang ingin dirubah oleh Inggris. Banyak sekolah
didirikan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dengan bahasa Inggris. Inggris juga ingin
mengubah budaya masyarakat seperti sempitnya tempat tinggal, sirkulasi udara yang kecil,
dan tebalnya tirai yang menyebabkan ketidaksehatan di masyarakat Batavia. Meskipun
masa pemerintahan Inggris yang cukup singkat, tetapi tetap memberi perubahan yang
signifikan bagi kehidupan sosial di Batavia.
Kehidupan Batavia yang kian kompleks tentu tidak terlepas dari peran Cina yang
memiliki populasi besar. Leonard Blusse dalam bukunya yang berjudul Persekutuan Aneh:
Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC menjelaskan bagaimana
Cina berperan dalam kehidupan sosial ekonomi di Batavia. Satu aspek penting yang
dijelaskan oleh Blusse adalah peran Cina dalam memasok mata uang picis ke Banten.
Meskipun dinilai kurang efektif, tetapi picis tetap memegang kendali di pasaran. Melihat
hal ini, VOC merasa tersaingi sehingga VOC juga membuat mata uang picis saat Cina
tidak lagi memasok ke Banten. Banyaknya penduduk Cina dengan kualitas tinggi tentu
dimanfaatkan VOC misalnya dalam bidang pembangunan, pertanian, dan perkebunan.
Seiring berjalannya waktu, Cina hadir sebagai bangsa yang mampu kuasai berbagai sektor
perekonomian di Batavia, salah satu contohnya adalah suksesnya perkebunan gula.
Awalnya, hubungan Cina dan VOC hanya sebatas kerabat dagang. Namun, seiring
bertambahnya penduduk Cina dan perannya yang besar dalam perekonomian Batavia,
Cina dan VOC mulai bekerja sama dalam berdagang. Kejayaan Cina terlihat saat masa
Laksamana Cheng Ho yang dikenal sebagai “Perdagangan dan Perekonomian Jung”. Pada
masa ini, Cina dan VOC mendapat keuntungan yang besar. Namun kemunduran Cina
mulai terlihat pada abad ke-18. Terdapat sejumlah faktor yaitu, persaingan teknologi
dengan Barat, politik Cina yang tidak stabil, melemahnya perekonomian, lemahnya peran
Kapiten Cina di Batavia, renggangnya hubungan karena trust issue, dan lainnya.
Kemunduran ekonomi di Batavia diiringi dengan populasi Cina yang kian banyak
sehingga VOC harus mengatur strategi baru. VOC memulainya dengan memulangkan
sebagian besar penduduk Cina dan memblokade migrasi dari Cina untuk meminimalisir
dampak buruk lainnya. VOC juga membeli barang dagangan Cina dengan harga rendah
yang membuat pedagang Cina mengalami kerugian. Selain itu, Cina juga mengalami
konflik dengan gubernur jenderal Batavia yaitu Adrian Valckeneir tentang pekerja Cina
yang dibuang sehingga menimbulkan kemarahan penduduk Cina. Banyaknya peristiwa
yang berujung konflik antara keduanya telah memberi gambaran bahwa VOC semakin
menekan Cina dengan berbagai regulasi yang memberatkan. Namun, berbagai strategi
yang dilakukan oleh VOC itu pada kenyataannya mampu menekan krisis VOC selama
beberapa waktu.
1
Latar Belakang Peristiwa Geger Pacinan, https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/12/100000279/latar-
belakang-peristiwa-geger-pacinan?page=all#page2 (diakses pada 12 Desember 2021).
2
Dwi Puji Rahayu & Asep Yudha Wirajaya, “Hikayat Sunan Kuning Dalam Negeri Gelanggang: Sebuah Tinjauan
Historiografi”, Jurnal Jumantara, Vol. 11, No. 1, 2020, hlm. 8.
kekalahan saat perang pertama menghadapi VOC. Meskipun ditentang oleh petinggi
Mataram, Sultan Pakubuwono II tetap menjalin hubungan baik dengan VOC.
Keadaan mulai berubah saat Cina dan Jawa menguatkan diri lagi untuk menyerang
VOC yang berhasil menduduki Kartasura pada 1742 yang dipimpin oleh Amangkurat V.
Amangkurat V yang sering pula disebut sebagai Raden Mas Garendi dan sebagai Sunan
Kuning ini diangkat sebagai simbol perlawanan rakyat Mataram yang dikhianati Sultan
Pakubuwono II.3 Sunan Kuning atau Amangkurat V juga memiliki beberapa kapten yang
selalu siap siaga. Mereka adalah Kapten Sepanjang, Kapten Singseh, Bupati Martapura,
dan Bupati Mangunoneng. Keberhasilan Amangkurat V dalam mengambil alih Kartasura
dari VOC ternyata hanya berlangsung selama lima bulan. Kartasura direbut kembali oleh
VOC dengan bantuan Bupati Madura yaitu Cakraningrat IV dan pasukan Pakubuwono II.
Keterlibatan Cakraningrat IV yang merupakan Bupati Madura sekaligur saudara ipar dari
Sultan Pakubuwono II adalah karena ia menawarkan bantuan kepada VOC dengan imbalan
kebebasan pemerintahannya di Jawa Timur. 4 Pada saat ini, Cina mengalami kekalahan
karena kesalahan strategi dan membuat pasukan Cina dan Jawa terpisah.
Peristiwa Geger Pacinan yang bermula dari Batavia ini membawa banyak pengaruh
pada kehidupan ekonomi, sosial, dan politik bagi Batavia dan sekitarnya. Peristiwa ini
bahkan memberi efek domino yang meluas hampir ke seluruh daerah di Jawa. Mataram
menjadi salah satu contoh daerah yang turut merasakan dampak langsung dari perselisihan
antara Cina dan VOC ini. Keterlibatan Mataram dalam peristiwa Geger Pacinan membuat
suasana politik Mataram kian tegang hingga akhirnya Mataram pecah menjadi daerah
Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, Geger Pacinan juga menjadi alasan pindahnya
keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta.
Akhir cerita dari Geger Pacinan dirasakan dengan kekalahan Cina yang diikuti
dengan pemberlakuan beberapa kebijakan baru VOC terhadap Cina. Kebijakan pertama
adalah Wijkenstelsel yang merupakan kebijakan untuk ciptakan pemukiman etnis
Tionghoa di kota besar. Hal ini tentu memberi kesan ekslusivitas bagi etnis Cina dan masih
terasa hingga saat ini. Kebijakan kedua adalah Passenstelsel yang merupakan aturan wajib
bagi Cina untuk membawa kartu pos jalan jika melakukan perjalanan keluar daerah.
Peristiwa ini tentu memberi banyak pelajaran bagi generasi penerus. Apabila toleransi dan
rasa saling percaya saling ditumbuhkan dalam setiap etnis, maka konflik seperti ini tidak
akan terjadi. Selain itu, Geger Pacinan juga memberi gambaran bahwa keanekaragaman
dan kesetiaan merupakan suatu aset utama dalam membangun kehidupan yang harmoni.
4. Konflik di Makassar mengundang juga campur tangan VOC. Dalam karya Leonard
Andaya tokoh Arung Palaka menjadi figur penting dalam konflik itu. Jelaskan peran
tokoh ini dalam konflik di Makasar dan apa yang dimaksud dengan warisan Arung
Palaka dalam karya Andaya itu.
Arung Palakka merupakan tokoh penting yang memiliki pengaruh besar dalam
sejarah Sulawesi Selatan. Ia dikenal sebagai simbol kehormatan dan perlawanan rakyat
Bone untuk menghadapi Kerajaan Gowa. Namun, karakter penting yang dimiliki Arung
Palakka ini juga dikenal sebagai karakter antagonis bagi Gowa karena dianggap berkhianat
dan memilih untuk bersekutu dengan kompeni VOC. Arung Palakka lahir dari keluarga
kerajaan, yaitu putra dari Raja Bone ke-3 pada tanggal 15 September 1634 di daerah Mario
Wawo Soppeng. Sejak kecil, ia tidak bisa merasakan kehidupan yang bebas dan terhormat
karena masa kecilnya dipenuhi dengan konflik peperangan.
3
Sunan Kuning dan Geger Pacinan, https://historia.id/politik/articles/sunan-kuning-dan-geger-pacinan-
P712D/page/1 (diakses pada 12 Desember 2021).
4
Ibid., 9.
Terdapat empat kerajaan yang berpengaruh besar dalam sejarah Sulawesi Selatan
yaitu Gowa, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Gowa dan Bone merupakan dua kerajaan
terbesar yang mampu memengaruhi politik politik.5 Ketika Gowa resmi mengubah corak
kerajaannya menjadi Islam, Gowa berusaha untuk menanamkan pengaruhnya kepada tiga
kerajaan lainnya. Alhasil, Bone juga menjadi kerajaan bercorak Islam dan resmi
ditaklukkan oleh Gowa. Penaklukan Gowa atas Bone ini memberi penderitaan yang
mendalam bagi rakyat Bugis. Arung Palakka melihat sekitar 1000 rakyat bone dijadikan
budak dan pekerja kasar demi mempertahankan eksistensi Gowa di Makasar.6 Terdapat
beberapa jenis budak yang diperkerjakan di Gowa, yaitu budak barang dagangan, budak
hamba sahaya, dan budak buruh tani.7
Hal ini juga berlaku bagi Arung Palakka dan keluarganya yang dijadikan pekerja
di salah satu rumah petinggi Kerajaan Gowa yang bernama Karaeng Pattingaloang. Meski
demikian, Arung Palakka masih beruntung karena bisa belajar banyak darinya dan tumbuh
menjadi Arung Palakka yang cerdas dan kuat. Berbagai kebijakan yang diterapkan
Kerajaan Gowa tidak hanya menyengsarakan rakyat Bone, tetapi juga menjadi derita
kolektif yang berlangsung dalam waktu yang lama. Keadaan ini membuat Arung Palakka
memiliki rasa dendam terhadap Gowa dan ingin membalas semua perbuatan Gowa
terhadap Bone. Seiring berjalannya waktu, Arung Palakka tumbuh dewasa dan berani
untuk melakukan penyerangan. Ia berpikir untuk mengumpulkan rakyat Bone dan bersatu
melawan Gowa. Namun, usaha ini tentu dapat dikalahkan dengan mudah oleh pasukan
Gowa karena memiliki militer yang kuat. Akhirnya, Arung Palakka dan pasukan menjadi
buronan Kerajaan Gowa dan memutuskan untuk tinggal di Buton.
Melihat kekacauan yang ada, VOC hadir dengan menawarkan bantuan kepada
Arung Palakka. Tidaklah mengherankan jika VOC turut intervensi terhadap dua kubu
bersaudara ini. Tujuannya tetaplah mencari keuntungan dan memperluas kekuasaan.
Awalnya, Arung Palakka merasa gamang karena ia juga sadar betul dengan sikap VOC
dengan cap-nya sebagai penjajah. Setelah berpikir panjang dan mengingat akan
harapannya untuk menjunjung derajat masyarakat Bone, akhirnya ia memutuskan untuk
menerima bantuan tersebut. Ketika Arung Palakka dan pasukan telah tiba di Batavia, VOC
masih memberi persyaratan untuk melihat keseriusan dan kekuatan Arung Palakka.
Akhirnya, ia harus membantu VOC terlebih dahulu dalam menaklukkan beberapa daerah
seperti Minangkabau. Melihat keseriusannya, VOC akhirnya membantu Arung Palakka
untuk menyerang Gowa dengan membawa 21 kapal dan sekitar 1000 prajurit perang.
Perang antara Bone-VOC dan Gowa berlangsung sejak tahun 1660-an. Meskipun
Kerajaan Gowa memiliki militer yang kuat, tetapi kekuatannya masih belum sekuat dari
kekuatan Bone-VOC. Hal ini karena persenjataan Bone-VOC yang lebih maju, prajurit
perang yang lebih banyak, dan kapiten yang ulung seperti Cornelis Speelman dan Kapiten
Jonker. Setelah melakukan beberapa kali penyerangan, akhirnya Gowa menyerah pada
tanggal 18 November 1667 yang ditandai dengan jatuhnya Somba Opu dan Perjanjian
Bongaya. Tentu perjanjian ini sangat merugikan Kerajaan Gowa karena Bone-VOC
memberi 26 tuntutan. Tuntutan itu berisi keharusan Gowa untuk mengganti biaya kerugian
perang, melepaskan tawanan Belanda, perdagangan bebas bagi VOC, menyerahkan
seluruh wilayah kekuasaan Gowa, dan lainnya. Beratnya tuntutan ini ternyata tidak bisa
dipenuhi sepernuhnya oleh Kerajaan Gowa yang kala itu dipimpin oleh Sultan Hasanudin.
5
Siti Arafah, “Naskah Lontarak Musukna Arung Palakka dengan Raja Gowa”, Jurnal Pusaka, Vol. 3, No. 1, 2015,
hlm. 95.
6
Nur Azirah & Muhammad Irfan, ”Semangat Heroik dan Kepemimpina Arung Palakka”, Jurnal Sipatokkong,
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 16.
7
Fatma, Fitriana, & Syahrun, “Perbudakan di Kerajaan Bone Pada Masa Pemerintahan Raja La Maddaremeng:
1631-1644”, Jurnal Idea Of History, Vol. 3, No. 2, 2020, hlm. 50.
Selain itu, Perjanjian Bongaya juga tidak menjadi momentum perdamaian bagi kedua
belah pihak, karena Gowa tetap melakukan penyerangan kecil-kecilan setelah perjanjian
dilakukan.
Kemenangan Bone-VOC atas Gowa merupakan pencapaian besar karena perang
yang terjadi tidaklah berjalan mudah. Keinginan Arung Palakka untuk menguasai Bugis
Makasar akhirnya terwujud. Ia kemudian dinobatkan sebagai raja dari Kerajaan Bone pada
tahun 1772. Setelah kemenangan itu, Arung Palakka tetap menjalin hubungan baik dengan
VOC. Ia bahkan masih membantu VOC dalam menghadapi peperangan di Jawa. Selain
itu, VOC juga mendapat imbalan yang besar dari kemenangannya di Makasar, yaitu
kekuasaan dalam perdagangan dan urusan luar negeri. Disisi lain, Arung Palakka fokus
pada perdagangan dan urusan dalam negeri.
Kepemimpinan Arung Palakka bertahan selama kurang lebih 20 tahun sampai ia
wafat. Berbagai kebijakan untuk kemajuan Bone dilakukan dan berbagai masalah yang
muncul diselesaikan dengan baik. Namun, Arung Palakka juga sadar bahwa eksistensinya
tidak akan selamanya sehingga ia memikirkan siapa penerusnya kelak. Diceritakan dalam
buku karya Leoanard Andaya ini bahwa Arung Palakka tidak memiliki keturunan sehingga
ia ingin memberi warisannya kepada anak dari adiknya yaitu La Patau. Ia ingin jika
Sulawesi Selatan tetap dipimpin oleh seseorang yang masih berasal dari keturunan yang
sama. Meskipun penunjukan La Patau ini mendapat tentangan dari beberapa pihak, tetapi
Arung Palakka telah yakin akan keputusannya. Sepeninggal Arung Palakka, keadaan di
Sulawesi Selatan memang tidak semaju saat diperintah langsung olehnya. Kesatuan politik
dan pengaruh yang diberikan juga tidak sebesar saat masa Arung Palakka. Namun,
bersatunya Sulawesi Selatan menjadi suatu warisan berharga yang patut dihargai.
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Andaya, L. (2004). Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Leiden:
INNINAWA.
Blusse, L. (2013). Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di
Batavia VOC. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
Lombard, D. (1991). Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Balai
Pustaka.
Taylor, J. G. (2009). Kehidupan Sosial di Batavia. Depok: Masup Jakarta.
Sumber Pendukung:
Arafah, S. (2015). Naskah Lontarak Musukna Arung Palakka dengan Raja Gowa . Pusaka, 83-
96.
Azirah, N., & Irfan, M. (2020). Semangat Heroik dan Kepemimpinan Arung Palakka.
Sipatokkong , 12-19.
Daradjadi. (2020). Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC.
Jakarta: Kompas.
Fajri, M. Y. (2014, Juli 5). Historia. Retrieved from historia.id:
https://historia.id/politik/articles/sunan-kuning-dan-geger-pacinan-P712D/page/1
Fatma, Fitriana, & Syahrun. (2020). Perbudakan di Kerajaan Bone Pada Masa Pemerintaha
Raja La Maddaremmeng: 1631-1644. Idea of History , 44-56.
Ningsih, W. L. (2021, November 12). Kompas. Retrieved from kompas.com:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/12/100000279/latar-belakang-peristiwa-
geger-pacinan?page=all#page2
Rahayu, D. P., & Wirajaya, A. Y. (2020). Hikayat Sunan Kuning Dalam Negeri Gagelang:
Sebuah Tinjauan Historiografi. Jumantara, 1-18.