Orang-orang Cina memang menikmati hubungan yang erat dengan Banten, paling
tidak pada abad XII dan XIII. Mayoritas dari mereka berasal dari pesisir Cina Selatan
yang pada awalnya datang untuk berdagang ke Banten. Banyak di antara mereka
yang memutuskan untuk tinggal dan mencari penghidupan di Banten. Pengaruh
mereka kemudian berkembang memasuki semua sektor ekonomi. Mulai dari
memasarkan hasil bumi,bertani, tukang kayu, pandai besi, pembuat garam, dan
pembuatan bata.
Pada masa itu, masyarakat Cina berdiam di sebuah kampung yang dikelilingi pohon
bambu yang kelak terkenal dengan sebutan bambu Cina (Setiono, 2003:92-96).
Pelabuhan Banten merupakan sebuah pelabuhan yang ramai dikunjungi para
pedagang mancanegara. Pada bulan Februari hingga April, para pedagang Cina
berdatangan untuk membeli hasil bumi, terutama lada dan kopra.
Pada saat Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta pada 1619, Coen
melakukan pendekatan kepada orang Cina di Banten melalui perantara Souw Beng
Kong. Coen dalam laporannya kepada Heeren XVII (Ratu Belanda) menyatakan
bahwa siapapun yang berniat membangun dan memperluas pengaruh Belanda,
harus bekerjasama dengan orang-orang Cina, karena mereka adalah bangsa yang
ulet, rajin, dan suka bekerja. Pada laporannya tersebut, Coen juga menjelaskan
bahwa watak orang Cina itu berlawanan dengan orang pribumi yang berwatak
pemalas, tidak mudah diatur, dan tidak mudah dipercaya.
saat itulah, pelabuhan Banten mulai ditinggalkan para pedagang mancanegara dan
pusat perdagangan berpindah ke Batavia.
yang tinggal di Batavia. Souw Beng Kong dibantu oleh seorang sekretaris bernama
Gouw Cay. Kedua pimpinan orang Cina ini tidak diberi gaji, tetapi diberi hak untuk
menarik cukai sebesar 20% dari pajak judi yang dikenakan pemerintah kepada para
pachter (penyelenggara rumah judi) di Batavia. Rumah-rumah judi di Batavia ini
memang sengaja dipelihara pemerintah VOC, dengan tujuan untuk menarik uang
dari para budak dan kuli kontrak yang sangat kecanduan judi.
Jumlah penduduk Cina di Batavia pun semakin meningkat dengan pesat. Apabila
pada tahun 1619 jumlah orang Cina di Batavia hanya berjumlah 400 orang (Setiono,
2003:92-96), maka pada tahun 1622, jumlahnya bertambah menjadi 1.000 orang.
Mereka pada umumnya hidup dengan berdagang dan bertani. VOC juga telah
memberikan kebebasan kepada orang Cina untuk membangun tempat tinggalnya di
manapun mereka suka. Daerah perumahan berkembang dengan cepat, baik di
dalam kota maupun luarnya.
Hampir semua kegiatan bernilai ekonomis di Batavia diserahkan VOC pada orang
Cina. Kegiatan ekonomi tersebut antara lain mengumpulkan dan berdagang paruh
dan sarang burung, cula badak, kapur barus, intan serta batu berharga lainnya,
pengadaan dan perdagangan sirih, pinang, gambir, ikan, arak, dan anggur (Prakitri,
2006:47-49) serta semua segala jenis bisnis eceran. Arak kualitas terbaik adalah
buatan orang Cina. Mereka mengembangkan penyulingan arak yang dibuat dari
beras yang difermentasikan, tetes tebu, dan nira (Setiono, 2003:60-61). Arak buatan
orang Cina di Batavia laku keras. Konsumennya adalah para orang Eropa beserta
pegawai VOC, dan rumah-rumah judi.
Izin usaha yang pertama kali diberikan VOC kepada orang Cina adalah pada 1
November 1620 (Prakitri, 2006:47-49). Izin itu memberi kuasa kepada orang-orang
Cina untuk menimbang semua barang dagangan yang masuk ke Batavia dari
berbagai wilayah di Nusantara. Pada 2 Juni 1622 (Prakitri, 2006:47-49), VOC juga
telah menerbitkan izin untuk mengoperasikan rumah potong dan memungut pajak
atas produk-produk hewani tersebut.
Dalam bidang pertanian, orang-orang Cina telah berjasa menemukan teknik baru
pengolahan padi, yaitu berupa alat penyosoh padi yang dengan menggunakan dua
sampai tiga ekor sapi dapat mengolah sampai 500 ton padi per hari. Alat penyosoh
padi ini secara berangsur-angsur telah menggantikan sistem tumbuk tradisional
memakai lesung yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu, orang-orang
Cina juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa, serta teknik
pembuatan garam (Setiono, 2003:60-61).
bagi para nahkoda jung untuk menyuap para pejabat pelabuhan yang mempunyai
hubungan erat dengan para penguasa pabrik gula. Emigran Cina didaratkan di pulau
Seribu atau sepanjang pantai utara Jawa yang tidak terlalu jauh dari Batavia agar
bebas dari patroli, menghindari pendataan Kapiten Cina, dan mengecoh kuota
emigrasi. Semakin banyak tenaga kerja ilegal masuk ke Batavia, maka semakin
besar pula keuntungan yang dipetik oleh para pengusaha pabrik Gula itu. Hal ini
disebabkan karena emigran-emigran Cina tersebut tidak terdaftar, sehingga para
pengusaha gula tidak perlu membayar pajak perseorangan.
Masalah juga timbul pada saat pemerintah Batavia (VOC) memainkan politik harga
gula. Pada saat permintaan gula turun, VOC menyesuaikan harga pembelian sesuka
hati, hingga langsung memukul perkebunan-perkebunan gula di Batavia. Dalam
suratnya yang bertanggal 2 Maret 1705 (Blusse, 2004:165-171), Heeren XVII masih
menganjurkan agar perdagangan gula digalakkan dengan berbagai cara. Jatuhnya
dinasti Sofi di Persia tahun 1722 mengakibatkan hilangnya langganan terbesar VOC
di Asia. Sejak saat itulah, perdagangan gula tidak lagi merupakan usaha yang
menguntungkan bagi VOC, dan tentu saja para produsen gula Cina menjadi pihak
pertama yang menanggung kerugian (Blusse, 2004:165-171).
penumpasan itu diikuti pula oleh apa yang dinamakan penyembelihan Cina, yaitu
peristiwa pembunuhan orang Cina di seluruh Batavia tahun 1740.
DAFTAR RUJUKAN
Anshoriy, N. 2008. Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS.
Blusse, L. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda
di Batavia VOC. Yogyakarta: LkiS.
Kartodirjo, S. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium
sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prakitri, S. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas.
Setiono, B. 2003. Tonghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.