Anda di halaman 1dari 21

1

SISTEM TANAM PAKSA DAN DAMPAKNYA TERHADAP


RAKYAT CIREBON TAHUN 1830-1870

Oleh: Novia Nurhidayah


Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
2017

Pendahuluan
Bangsa Barat dalam hal ini adalah Belanda, datang ke Indonesia pertama
kali dengan tujuan untuk mengembangkan perdagangan, yaitu mendapatkan
rempah-rempah yang mahal harganya di pasaran Eropa. Dari pihak Belanda,
dalam menjalankan misi perdagangannya, mereka awali dengan cara melakukan
pengiriman armada kapal dagang yang dilakukan oleh Perseroan Amsterdam.
Pengiriman armada kapal dagang yang pertama kali didatangkan ke Indonesia,
yaitu pada tahun 1595 berjumlah empat kapal di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman. Menyusul kemudian, angkatan kedua tahun 1598 di bawah pimpinan
Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Selain dari Amsterdam, juga
datang beberapa kapal dari berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat
tahun 1599 di bawah pimpinan Van der Hagen dan disusul kemudian oleh
angkatan keempat tahun 1600 di bawah pimpinan Van Neck.
Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan dagang yang semula berdiri
sendiri-sendiri, pada tahun ini mereka sepakat untuk bergabung dan disahkan oleh
Staten-General dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan
gabungan untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan
Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon termasuk Kepulauan Nusantara.
Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).1
Selama berlangsungnya abad ke-18, masa dimana Belanda sedang
mengalami kepuasannya dalam mengeruk hasil kekayaan Pulau Jawa, muncullah
nasib yang tidak menyenangkan bagi Belanda di bidang ekonomi dalam hal ini

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal.
234-5
2

VOC. Perserikatan dagang ini mengalami kemerosotan yang disebabkan karena


para pejabatnya yang korup, serakah,2 dan kalah bersaing3 dalam perdagangan
dengan perusahaan Inggris dan Prancis.4
Sehingga pada permulaan abad ke-19, Belanda telah mengalami
penurunan yang sangat besar di bidang ekonominya. Ditambah juga dengan
munculnya beberapa perlawanan yang dilakukan oleh rakyat terhadap Belanda,
misalnya saja, pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro atau
sering dikenal dengan sebutan Perang Jawa pada tahun 1825-1830,
pemberontakan ini merupakan pemberontakan terbesar yang dialami oleh
Belanda, dibandingkan dengan pemberontakan yang dilakukan di daerah lain
seperti Malauku, Sumatera, dan lainnya. Perang Jawa ini telah menguras banyak
keuangan dalam kas negara Belanda5 sehingga dari pihak Belanda memikirkan
dan mengharuskan agar kas negara Belanda segera terisi kembali dengan
perubahan yang cepat.6
Dengan terkurasnya kas negara Belanda akibat pemberontakan yang
terjadi di negara jajahan juga negara asal, pihak kolonial terdorong untuk
menggunakan cara yang semula diterapkan pada masa VOC, yaitu berupa
eksploitasi produksi tanaman dagang dari wilayah jajahan, di bawah pengawasan
pemerintah kolonial. Pada masa inilah sistem ekonomi politik baru yang biasa
disebut dengan sistem penyerahan wajib atau tanam paksa (Cultuurstelsel) ini
berlaku.

2
Para pejabat yang menjabat di Karesidenan Cirebon telah menikmati hasil kekayaan
sebesar sembilan puluh sampai seratus ribu dolar atau setara dengan 23.000 pounds setiap
tahunnya. Lihat, Malcolm Caldwell, Op,cit, hal. 55-57. Lihat juga, Zaenal Masduqi, Cirebon dari
Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Cirebon: Nurjati Press, 2011, hal. 30
3
Kalah bersaing, dimana ketika perusahaan dagang milik Belanda sudah tidak dapat
menyaingi kemampuan dagang yang dimilki oleh perusahaan dagang dari Inggris dan Perancis.
Barang-barang yang diperjual belikan oleh kedua perusahaan terakhir, merupakan barang inovasi
yang banyak disukai oleh para konsumen, yaitu berupa olahan barang-barang hasil bumi seperti
kain dari kapas dan lainnya, sedangkan dari pihak Belanda, mereka hanya menjual barang-barang
mentahnya saja tanpa diolah terlebih dahulu, meskipun memang barang tersebut sejak dahulu telah
digemari oleh banyak konsumen, akan tetapi industri semakin maju dan minat dari para konsumen
sudah meningkat, tidak hanya kebutuhan dapur saja.
4
Zaenal Masduqi, Op,cit, hal. 32.
5
Perang Jawa telah menghabiskan biaya dan kekayaan juga para serdadu Belanda yang
tewas sebanyak 15.000 serdadu. Dan Belanda menanggung hutang sebesar F 30.000.000. Lihat,
Ibid, hal. 45
6
Malcolm Caldwell, Op, Cit., hal. 62
3

Mengenai pembahasan tentang sistem tanam paksa, penulis terkait untuk


membahas sistem tanam paksa di Cirebon, hal yang semakin membuat penulis
tertarik, jika melihat dari dampak sistem tersebut benar adanya. Terdapatnya
pabrik-pabrik di beberapa daerah Cirebon, yang telah ada sejak masa kolonial,
merupakan saksi bisu dari adanya sistem tanam paksa. Pabrik-pabrik tersebut di
antaranya, pabrik gula Babakan, pabrik gula Karangsuwung, pabrik gula Sindang
Laut, pabrik gula Gempol.
Selain dampak yang berupa bangunan, masih terdapat dampak-dampak
lainnya akibat dari sistem tanam paksa. Untuk itu, penulis akan memaparkan topik
terkait dengan Sistem Tanam Paksa Dan Dampaknya Terhadap Rakyat Cirebon
Tahun 1830-1870.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka muncullah beberapa pertanyaan
pokok dari penelitian ini, yang pertama, Bagaimana kebijakan pemerintah
Belanda tentang sistem tanam paksa? Kedua, Apa dampak dari sistem tanam
paksa terhadap rakyat Cirebon? Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas
bertujuan untuk mengetahui kebijakan pemerintah Belanda tentang sistem tanam
paksa juga untuk mengetahui dampak dari sistem tanam paksa terhadap rakyat
Cirebon.

Pembahasan
A. Kondisi Cirebon Sebelum Tanam Paksa
Cirebon, sebuah kota yang di dalamnya terdapat banyak kekayaan
alam yang melimpah. Posisinya yang sangat strategis, yaitu berada dalam
suatu jalur perdagangan yang biasa dilewati oleh orang-orang asing. Cirebon
dengan asal mulanya berasal dari kata ci dan rebon, hal ini menandakan
bahwa penduduk awal daerah Cirebon mayoritas adalah orang Sunda dan
Jawa.7

7
A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman (abad ke-15 Hingga
Pertengahan Abad ke-20), cet. 1, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat, 2011, hal. 76
4

Sejak awal, penduduk Cirebon adalah campuran beberapa etnis


(heterogen). Telah banyak pendatang dari berbagai negara yang bersinggah
dan menetap di Cirebon, sehingga hal ini memungkinkan bertemunya dan
bercampurnya warga asli Cirebon dengan warga pendatang yang memiliki
identitas bawaannya masing-masing.
Hal itu dapat terlihat ketika sebelum kerajaan Islam Cirebon berdiri,
beberapa orang yang berasal dari Arab dan Cina sudah ada yang menetap di
daerah Cirebon. Beberapa di antara mereka merupakan para saudagar Arab
yang memutuskan untuk menetap di daerah Cirebon, sejalan dengan keadaan
Cirebon yang ketika itu menjadi kota pelabuhan juga sejalan dengan
masuknya Islam di daerah Cirebon dan penyebarannya.8
Begitu juga dengan orang-orang asing yang berasal dari Barat, dengan
strategisnya posisi dari Cirebon, yang juga memiliki banyak kekayaan alam,
sehingga orang-orang yang berasal dari luar Cirebon berusaha untuk
mendapatkan kekayaan alam yang dimiliki oleh Cirebon. Terutama dari pihak
Barat yang telah hadir sejak tahun 1602-1799 yang sering disebut sebagai
masanya VOC atau perserikatan dagang yang berasal dari Belanda. Sejak
datangnya VOC tersebut, perekonomian di Cirebon telah diambil alih oleh
mereka, semua hasil tanaman harus diserahkan dan dijual dengan harga yang
telah disesuaikan dengan peraturan yang VOC miliki.
Pada tahun 1700, Cirebon tengah berada dalam pengaruh VOC yang
mana pengaruh tersebut sudah tertanam kuat di Cirebon, segala peraturan
yang ditetapkan oleh perserikatan dagang ini mulai diikuti dan dijalankan
oleh masyarakat Cirebon, hal ini ditandai dengan telah dihasilkannya barang-
barang yang diinginkan oleh kompeni, seperti lada, benang, kapas, indigo
beserta kopi. Pesatnya perekonomian yang berada dalam pengaruh VOC,
pada tahun 1712 Cirebon telah melakukan aktifitas ekspor yang dilakukan
berulang kali.9 Pengeksporan ini dilakukan oleh Cirebon yaitu dengan

8
Dr. E. C. Godee Molsbergen, terj. Dr. Iwan Satibi, Uit Cheribon’s Geschiedensis
(Sekelumit Sejarah Cirebon), Majalengka, 2009, hal. 77
9
Ibid, hal. 9.
5

mengirimkan barang-barang sebagai komoditi pasar dunia berdasarkan


kepentingan kompeni.
Dimulai nya masa pengeksporan ini, tidak luput dari adanya sistem
pertanian yang telah digunakan oleh masyarakat Cirebon sebagai lahan
penghasilan mereka dalam menghasilkan produksi pertanian yang diinginkan
oleh pihak Belanda. Sistem pertanian yang dimiliki oleh rakyat Cirebon dapat
dilihat dari penggolongan status sosial pemilik tanah itu sendiri.
Berdasarkan status sosialnya, penduduk pribumi Cirebon terbagi atas
tiga golongan, yaitu golongan priyayi (bangsawan), golongan sikep, dan
golongan manumpang. Golongan priyayi yang merupakan golongan pertama
dalam tingkatan sosial, posisi ini ditempati oleh para sultan dan bupati juga
orang-orang yang berada di lingkungan keraton. Golongan sikep adalah
golongan kedua seperti para petani, pemilik lahan pertanian dan
keluarganya.10 Juga termasuk pemuka agama, saudagar dan lainnya.11
Golongan manumpang adalah golongan ketiga, yang termasuk di dalamnya
adalah rakyat yang tidak memiliki lahan pertanian atau bisa dikatakan sebagai
rakyat biasa. Golongan manumpang ini hidupnya ikut pada golongan sikep,
atau lebih tepatnya sebagai bawahan dan pekerja dari golongan sikep,
misalnya membantu mengolah lahan pertanian. Golongan yang terakhir ini,
mereka biasanya tinggal di daerah pedesaan atau pedalaman yang bersifat
agraris.
Sistem pertanian Cirebon lebih dikenal sebagai sistem kebun, sistem
ini dilakukan oleh masyarakat Cirebon dengan cara sedikit menggunakan
modal dalam pengolahannya, tenaga sebagai pengolahnya pun berasal dari
keluarga pemilik lahan, sesuai dengan golongan yang telah disebutkan. Hasil
dari pertaniannya pun tidak untuk diperdagangkan, tidak untuk dipasarkan,
karena hanya sekedar untuk kebutuhan hidup pemilik lahan sendiri. Cara
pengolahan yang digunakanpun menggunakan cara tradisional, seperti
menggunakan kerbau saat membajak tanah. Untuk tanaman yang ditanam
dalam kebun yang digarap oleh masyarakat Cirebon ini lebih pada tanaman

10
A. Sobana Hardjasaputra, dkk, Op,Cit., hal. 158.
11
Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Op, Cit., hal. 146.
6

yang bisa dipanen dalam jangka waktu pendek dan jangka waktu panjang,
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanaman yang dapat dipanen
dalam jangka waktu pendek tersebut biasanya berupa umbi-umbian, kacang-
kacangan, sayuran. Sedangkan tanaman yang dipanen dalam jangka waktu
pendek berupa padi, palawija-palawija seperti jagung, dan lain sebagainya.
Mengenai tenaga kerja yang digunakan dalam pengolahan tanah, pada masa
itu masih menggunakan sistem tukar menukar tenaga dan jasa yakni bersifat
timbal balik, sehingga pemilik tanah tidak mengeluarkan uang sebagai upah
atas tenaga yang telah dikerahkan oleh orang lain.12
Sistem kebun ini masih berjalan meskipun ketika itu masyarakat
Cirebon berada di bawah pengaruh VOC, hal ini berdasarkan pada ketentuan
perserikatan dagang tersebut mengenai tanaman yang ditanam oleh
masyarakat itu tergantung dari pada keinginan masyarakat itu sendiri, asalkan
mereka tidak meninggalkan kewajiban mereka untuk menanam komoditi
yang diinginkan oleh pihak kompeni sebagai tanaman yang laku di pasaran
dunia.
Cara penanaman pun pihak kompeni menyerahkan keseluruhannya
kepada masyarakat, sehingga cara penanaman yang digunakan adalah bersifat
tradisional, sesuai dengan sistem kebun yang dimiliki oleh masyarakat
Cirebon. Perbedaan sedikit terjadi terkait dengan hasil panen, di mana
masyarakat harus menyerahkan tanaman komoditi seperti kopi, indigo, kapas
kepada kompeni, untuk dipasarkan dan diekspor ke dunia luar, dan tidak
untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat itu sendiri.
Sistem pertanian yang berlaku pada masa VOC tetap berlanjut pada
masa Daendels yaitu adalah tanaman yang akan ditanam didasarkan atas
kehendak pemerintah Belanda yang laku di pasaran dunia dan hasilnya akan
dipasarkan dan diekspor ke negara luar. Namun pada masa Daendels ini,
masyarakat Cirebon telah banyak kehilangan lahan yang semula mereka
gunakan untuk menanaman tanaman yang mereka inginkan, karena Daendels
telah melakukan penjualan tanah-tanah milik masyarakat, dengan berdalih
bahwa tanah masyarakat adalah tanah milik pemerintah Belanda juga.
12
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium
Sampai Imperium, Jilid I, Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2014, hal. 343-344
7

Hadirnya pihak Barat di Cirebon sejak paruh pertama abad ke-17, telah
turut mencampuri segala bidang kehidupan masyarakat Cirebon, tidak hanya
dalam menguasai perekonomian, kompeni juga menguasai perpolitikan di
Cirebon. Hal ini jelas terlihat pada tahun 1756, Cirebon yang ketika itu
memiliki tiga sultan, tidak pernah luput dari segala hal permasalahan.
Permasalahan itu sendiri berasal dari dalam kerajaan yaitu dalam hal
perebutan jabatan antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Permasalahan
antara keduanya kerap terjadi dikarenakan usia keduanya tidak jauh berbeda,
sehingga ketika Cirebon diatur segala halnya oleh kompeni, maka kompeni
pun menetapkan kedua sultan tersebut secara bergantian dalam menjalankan
pemerintahan.13
Kekuasaan kompeni atau lebih dikenal dengan VOC berakhir tahun
1799, berakhirnya VOC tidak berarti rakyat Cirebon sudah terlepas dari
pengaruh kompeni yang telah melakukan berbagai kegiatan eksploitasi
terhadap rakyat Cirebon, melainkan datang kembali sebagai pengganti untuk
menjalankan kekuasaan di Cirebon yaitu kolonial.14 Penguasa pengganti dari
VOC ini membawa berbagai kebijakan yang tidak berbeda dengan masa
penguasaan yang dilakukan oleh perserikatan dagang Belanda yaitu tetap
melakukan eksploitasi terhadap rakyat Cirebon.
Pada masa pemerintahan Daendels dengan memiliki model
pemerintahan yang bersifat sentralistik, membuat Daendels menurunkan
kedudukan bupati dan sultan pada tahun 1808. Sultan dan bupati dijadikan
sebagai pegawainya dan mendapatkan gaji atas pekerjaan sultan dan bupati
tersebut. Dan tetap diberikan kekuasaan menjalankan pemerintahan di
daerahnya masing-masing.15
Sejalan dengan penurunan kedudukan bupati dan sultan, Daendels
melakukan reorganisasi atau pengorganisasian ulang terhadap wilayah
pemerintahan yang ada di Pulau Jawa. Tiap-tiap wilayah dinamakan

13
Dr. E. C. Godee Molsbergen, terj. Dr. Iwan Satibi, Op, Cit., hal. 8
14
Kolonial atau kolonialisme merupakan sebuah sistem di mana salah satu negeara tertentu
menguasai negara lain dengan cara menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusianya,
dan negara yang menguasai itu masih terikat oleh negara asalnya.
15
A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Op, Cit., hal. 134
8

prefecture yang kemudian berubah menjadi landdrostambt yaitu wilayah


administratif setingkat karesidenan yang diperintah oleh seorang prefect
(pejabat kolonial setingkat residen). Prefect di sini berposisi sebagai atasan
langsung dari bupati dan sultan, karena bupati dan sultan kini telah
diposisikan sebagai pegawai pemerintah kolonial.16 Namun, mereka tetap
diberikan kesempatan untuk tetap memakai tanda-tanda kebesaran dan
penghormatan untuk kepentingan citra mereka di hadapan rakyat Cirebon.
Cirebon yang telah berstatus sebagai karesidenan pada masa Daendels
ini, telah menempatkan posisi jabatan-jabatan yang berada di bawah bupati
dan sultan seperti patih dan lainnya, bekerja sebagai pelapor dalam beberapa
hal, misalnya yang harus dilaporkan adalah kondisi tanaman wajib, jalan,
jembatan dan sungai, pengumpulan produksi pertanian, kemajuan pekerjaan
umum, keadaan penduduk, pernikahan, kelahiran, kematian dan lainnya.17
Setelah patih dan lainnya melaporkan hasil pantauan di lapangan kepada
bupati dan sultan, maka bupati dan sultan pun akan melaporkannya kepada
residen. Setelah melewati beberapa tahun dalam memerintah wilayah jajahan,
pada tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels berakhir.

B. Kebijakan Pemerintah Belanda Tentang Tanam Paksa


Latar belakang adanya sistem tanam paksa di Indonesia, pada dasarnya
berawal dari ketika Belanda mengalami kebangkrutan dan kesulitan ekonomi.
Para pedagang dari Belanda yang tidak mampu bersaing dengan pedagang-
pedagang yang berasal dari Inggris di tanah jajahan yaitu Indonesia. Tidak
mampunya bersaing dengan pedagang-pedagang Inggis, hal itu dikarenakan
pedagang Belanda masih tetap menggunakan cara perdagangan terdahulu
yaitu bersifat agraris atau hanya menjual hasil alam secara murni dengan
tidak adanya pengolahan lebih lanjut, berbeda dengan Inggris, mereka sudah
menjual berbagai barang yang pada waktu itu sudah dirasa cukup mewah
yaitu berupa kain-kain dengan harga yang cukup terjangkau. Keadaan kedua
negara ini mengalami perbedaan yang sangat mencolok. Inggris tengah

16
Ibid, hal. 134
17
Ibid, hal. 138
9

mengalami kondisi keuangan yang sangat melimpah, dengan penguasaannya


terhadap industri, dan dunia perdagangan internasional. Sedangkan Belanda,
negara ini tengah mengalami berbagai hal buruk, yaitu kebangkrutan ekonomi
juga kehilangan kekuasaan-kekuasaannya bersama relasi kerjanya.18
Pemasukan yang diharapkan oleh Belanda sangat jauh berkurang dari
masa sebelumnya, yaitu masa penyerahan wajib. Hal lain yang menyebabkan
sumber dana itu berkurang adalah ketika sistem penjualan dan penyewaan
tanah juga sistem pajak tanah19 gagal dilakukan, kegagalan tersebut karena
para petani tidak berhasil dibujuk dan dirangsang untuk menanam tanaman
perdagangan untuk diekspor, sehingga kedua sistem tersebut tidak
memberikan pemasukan yang menjanjikan.20
Selain dari pada itu, yang melatarbelakangi adanya sistem ini adalah
kebingungan dari pihak Belanda mengenai sistem yang akan digunakan di
tanah jajahan terutama setelah terjadinya berbagai pemberontakan dari rakyat
Indonesia.21 Pemberontakan tersebut seperti perang Jawa pada tahun 1825-
1830 yang biasa dikenal dengan sebutan perang Diponegoro, hal ini beralasan
karena pemimpin dari pemberontakan tersebut bernama Pangeran
Diponegoro. Pemberontakan lainnya yaitu terjadi di negeri Belanda sendiri,
yaitu perang Belgia yang terjadi pada tahun 1830-1831, pada peperangan ini
pihak kolonial mengalami kekalahan dan akhirnya Belgia pun berhasil
memerdekakan diri dari cengkraman kolonial Belanda. Dari berbagai
pemberontakan di atas, telah menjadikan Belanda terbebani oleh hutang-

18
Malcom Caldwell, dkk, Op, Cit., hal. 62
19
Sistem pajak tanah atau biasa disebut landelijk stelses, merupakan kebijakan yang dibuat
oleh Raffles, seorang gubernur dari Inggris. Kebijakan Raffles ini berdasarkan pada masanya,
tanah merupakan milik pemerintah, sehingga bagi para petani yang bekerja mengolah tanah
tersebut, sama halnya mereka telah menyewa tanah pemerintah dan harus membayar pajak tanah.
Raffles berpikir bahwa sistem ini akan lebih meringankan rakyat, dibandingkan dengan sistem
sebelumnya, yaitu penyerahan wajib dan kerja rodi. Dengan sistem ini rakyat diberikan kebebasan.
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, Op, Cit., hal. 90-91
20
M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia : Masa Prasejarah Sampai Masa
Proklamasi Kemerdekaan, cet. 3, Jakarta : PT. Mitra Aksara Panaitan, 2010, hal. 73
21
Zaenal Masduqi, Op, Cit., hal. 44
10

hutang yang banyak, dan mengharapkan dapat mencari jalan keluar di negara-
negara jajahannya.22
Kerajaan Belanda mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka
dapat, cara yang dilakukan raja Belanda yaitu mengutus seorang ahli
keuangan ke tanah jajahan yang bernama Johannes Van Den Bosch, hal ini
dilakukan dengan pengharapan bahwa ahli keuangan ini dapat menyelesaikan
masalah yang ada. Bosch juga merupakan seseorang yang benar-benar
memahami dan telah menggeluti dunia perkebunan dan pertanian yang
sebelumnya telah dia lakukan di kepulauan Karibia.23 Setelah Bosch
dikirimkan ke Indonesia (tanah jajahan), ia langsung menerapkan sebuah
konsep sistem politik ekonomi. Sistem politik ekonomi yang dicetuskan oleh
Johannes Van Den Bosch itu yang kemudian disebut Sistem Tanam Paksa
atau Cultuurstelsel.24
Sasaran wilayah yang sangat ingin diberlakukan tanam paksa oleh
Bosch yaitu wilayah Jawa, hal ini dilakukan oleh Bosch dengan alasan,
karena jika dilihat dari letak geografisnya, Jawa merupakan wilayah yang
memiliki kesuburan tanah yang baik, tanahnya mampu untuk ditanami
berbagai macam tanaman, sehingga Bosch merasa yakin bahwa jika sistem
politik ekonomi tersebut dilaksanakan di wilayah Jawa, maka Belanda akan
dapat menutupi kemerosotan keuangan dan permasalahannya. Sehingga, Jawa
benar-benar merupakan harapan besar bagi mereka untuk menutupi semua
hutang yang ada.25
Van Den Bosch, memiliki suatu pemikiran bahwa setiap desa di Jawa
harus menyisihkan seperlima bagian tanah dan seperlima tenaga yang
kemudian akan digunakan sebagai lamanya penanaman tanaman ekspor siap
jual, seperti kopi, tebu, nila dan tanaman lainnya.

22
A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX, Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2012, hal. 29
23
R. Z. Leirissa, dkk, Sejarah Perekonomia Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Ombak,
2012, hal. 50
24
M. Junaedi Al Anshori, Op, Cit., hal. 73, Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro,
dkk, hal. 97
25
M. C. Ricklefs, terjm. Tim Penerjemah Serambi, Op, Cit., hal. 260
11

Sistem tanam paksa memiliki aspek terpenting yang pertama kali


dijadikan sebagai pondasi kekuatan pemerintah Belanda dalam
menjalankannya. Kekuatan itu terletak pada lahan pertanian dan tenaga kerja
atau penduduk yang akan dijadikan sebagai pekerja dalam tanam paksa.
Untuk itu, pemerintah Belanda mengembalikan kedudukan para sultan, bupati
dan kepala desa untuk memberikan pengaruh yang dipergunakan untuk
menggerakkan rakyat agar menyerahkan lahan pertaniannya juga menerima
untuk menjalankan seluruh pekerjaan yang dikehendaki oleh pemerintah. 26 Di
wilayah Jawa khususnya Cirebon, kepemilikan tanah masa awal tanam paksa
masih bersifat individu, dan kepemilikan tanah itu memiliki tingkatan dan
besar yang berbeda-beda sesuai dengan golongan si pemilik tanah tersebut.
Cirebon yang memiliki luas lahan pertanian dengan jumlah cukup
besar, menjadikan lahan-lahan tersebut dimiliki oleh beberapa individu yang
menguasainya. Individu-individu tersebut di Karesidenan Cirebon tebagi pada
beberapa golongan masyarakat yang nantinya akan dikuasai tanahnya oleh
pemerintah. Golongan masyarakat itu terikat oleh sistem tradisional yang
biasa disebut cacah. Cacah merupakan sebuah ikatan dalam masyarakat di
mana adanya hubungan ketergantungan antara keluarga petani pemilik tanah
dengan keluarga petani yang tidak memiliki tanah.27 Pembagian cacah
tersebut di antaranya, Pertama, golongan sikep, golongan yang telah hidup
menetap secara turun temurun di Cirebon, golongan ini biasa disebut sebagai
penguasa tanah atau orang yang memiliki tanah, rumah beserta halamannya
juga kebun yang ditanami sayur-sayuran, buah-buahan untuk kebutuhan
dapurnya. Kepala desa merupakan salah satu dari bagian sikep, jabatan kepala
desa atau kuwu mereka diberikan fasilitas tanah bengkok (gaji) seluas lima
hektar, tanah bengkok ini merupakan tanah yang memilki kualitas baik untuk
digunakan sebagai lahan pertanian. Kedua, golongan indung atau
manumpang, golongan ini hanya memiliki sebidang tanah atau rumah,
mereka sering ikut bekerja kepada golongan sikep, untuk dapat memenuhi

26
Sartono Kartodirdjo, Op., Cit, hal. 15
27
Anonimous, Petani Tebu di Cirebon, Dulu Kerja Paksa – Sekarang, http://forumkota
.blogspot.co.id/2011/10/petani-tebu-di-cirebon-dulu-kerja-pasa.html, 12 Oktober 2011, diunduh
pada Selasa 17 April 2017 pukul 17.04 WIB
12

kebutuhan hidupnya. Ketiga, golongan wuwung, mereka tidak memiliki tanah


ataupun rumah sebagai tempat tinggal, mereka dapat tinggal di tanah dan
rumah milik orang lain, dan sering kali mereka bekerja untuk orang yang
ditempati rumahnya.28
Golongan-golongan pemilik tanah ini yang kemudian pada masa tanam
paksa tanahnya digunakan sebagai lahan penanaman tanaman yang
diwajibkan oleh pemerintah Belanda. Dan para pemiliknya dijadikan sebagai
pekerja sekaligus membayar pajak atas tanah miliknya sendiri yang telah
diclaim sebagai tanah pemerintah, dan pemilik tanah asli hanya sebagai
penyewa.
Tanah-tanah yang akan digunakan dalam penanaman harus memiliki
kualitas yang baik. Di Cirebon, jenis tanah yang digunakan sangat beragam,
sesuai dengan tanaman yang bisa ditanam. Misalnya, untuk penanaman
tanaman tebu, daerah yang digunakan adalah daerah yang terdapat di
Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Cirebon. Hal ini dikarenakan tanah di
kedua wilayah ini dirasa berniali baik untuk penanaman tebu.
Dua kabupaten yang dijadikan sebagai lahan penanaman tebu tersebut,
telah menunjukan bahwa kedua wilayah ini memiliki sifat tanah yang baik
untuk dilakukannya penanaman. Hal ini terlihat dengan banyaknya lahan
yang digunakan untuk penanaman tanaman dagang tersebut. Di wilayah
Kabupaten Cirebon, terlihat bahwa telah banyaknya perkebunan tebu yang
berada di daerah Sindanglaut dengan luas tanah yang digunakan sebanyak
500 bau (632.500 hektar) yang dimiliki oleh orang Belanda, di
Karangsembung luas tanah sebanyak 300 bau (379.500 hektar) yang dimiliki
oleh orang Cina, di daerah Ciledug dengan luas tanah sebanyak 705 bau
(891.825 hektar) yang dimiliki oleh orang Cina dan Belanda, di daerah
Tersana dengan luas tanah sebanyak 480 bau (607.200 hektar) yang dimiliki
oleh orang Belanda. Selain wilayah Cirebon, di Kabupaten Majalengka juga
terdapat banyak perkebunan tebu, seperti di daerah Arjawinangun dengan

28
Ridwan Subagja, Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tebu di Cirebon Pada Masa
Pemerintahan Hindia Belanda, https://mobile.facebook.com/notes/bahas-cirebon-basane-wong-
cerbon/sejarah-kondisi-sosial-ekonomi-petani-tebu-di-cirebon-pada-masa-pemerintahan-hi, 3
Januari 2012, diunduh pada Sabtu 25 Februari 2017 pukul 05.09 WIB
13

luas tanah yang digunakan sebanyak 600 bau (759.000 hektar), di daerah
Gempol dengan luas tanah 400 bau (506.000 hektar), di daerah Jatiwangi
dengan luas tanah sebanyak 500 bau (632.500 hektar). Semua perkebunan
adalah milik orang Belanda.29
Tanah yang biasa digunakan untuk penanaman tebu,30 yaitu berupa
tanah pesawahan yang memiliki sifat yang baik, selain tanah dengan kondisi
baik, harus terdapat juga saluran irigasi yang memadai untuk mengaliri ke
tanah yang ditanami tebu.
Penanaman tebu ini berjangka waktu selama dua belas bulan sampai
delapan belas bulan untuk mencapai masa panen. Tanaman dagang ini
merupakan salah satu hal yang sangat dirasakan berat bagi kehidupan
masyarakat Jawa, karena tanah yang digunakan dalam penanaman ini
merupakan tanah pesawahan yang biasa digunakan untuk penanaman padi,
sehingga keberlangsungan hidup mereka di kemudian hari akan sedikit
terganggu dan terancam dengan kondisi yang demikian.31 Namun, rasa
khawatir yang dialami masyarakat tidak selamanya benar, pada kenyataannya
tanaman tebu tidak memberatkan rakyat, meskipun tanah mereka digunakan
untuk penanaman tebu, tapi mereka mendapatkan keuntungan lebih setelah
panennya dibandingkan dengan penanaman padi, sehingga penanaman tebu
telah banyak diikuti oleh masyarakat Jawa. Lahan-lahan yang digunakan
untuk penanaman tebu juga dibebaskan dari sewa tanah, sesuai dengan
kontrak yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemerintahan lokal dan desa-
desa.32 Meskipun keuntungan penanaman tebu tidak secara merata dialami
oleh seluruh desa-desa di Jawa, karena keuntungan itu akan didapat jika desa
tersebut menghasilkan tebu yang banyak dengan tanah yang subur. 33 Dengan
keuntungan yang banyak dirasakan oleh rakyat dari penanaman tebu, mereka

29
Ibid, hal. 169
30
Penanaman tebu dimasukan kedalam sistem tanam paksa berdasarkan resolusi gubernur
jendral tanggal 13 Agustus 1830. Lihat Robert Van Niel, hal. 39
31
Ibid, hal. 34
32
Ibid, hal. 59
33
Ibid, hal. 50
14

pun selalu mengikuti alur dari penanaman tersebut, pemerintah pun


melakukan perluasan lahan seiring semakin berkembangnya penanaman ini.
Untuk penanaman kopi, biasanya akan ditanam pada lahan
perkebunan, hutan juga pekarangan. Kopi lahan perkebunan, biasanya
ditanam di daerah perbukitan, dataran tinggi dan tanah itu tidak digunakan
untuk tanaman lain. Kopi lahan hutan, biasanya ditanam di tengah-tengah
pohon di dalam hutan. Kopi pekarangan, biasanya ditanam di pinggir jalan
dan sepanjang lorong-lorong yang terdapat di pedesaan, kopi pekarangan ini
ditanam agar rakyat mendapat penghasilan lebih. Penanaman dan perawatan
pohon kopi dilakukan oleh orang dengan jumlah bermacam-macam, sesuai
dengan kuantitas dari pohon kopi yang akan ditanam. Misalnya, untuk
penanaman dan perawatan 200 juta pohon di Jawa pada tahun 1840, harus
mengerahkan tenaga kerja sebanyak 400-500 keluarga.34
Untuk tanaman nila, penanamannya memerlukan tanah dan lahan yang
biasa digunakan untuk penanaman padi gogo35 dan palawija. Tanaman
nilapun memiliki cara penanaman lain yang berbeda, nila hanya dapat
ditanam pada tanah yang berada di tengah-tengah pemukiman rakyat.
Keluarga petani yang ikut serta dalam penanaman nila cukup besar. 36 Namun,
pada tahun 1840, para pekerja tidak segan untuk menjalankan penanaman ini,
karena penanaman pohon nila telah merusak kesuburan tanah, sehingga jika
ditanami tanaman selain nila maka tidak akan tumbuh. Pekerjaan di pabrik-
pabrik untuk mengolah nila, telah membuat rakyat merasa kesakitan, karena
prosesnya yang menggunakan tangan dan kaki untuk mengaduk dan
menginjak-injak, membuat kulit terkelupas.37 Nila yang ditanam di Cirebon
tidak memberikan keuntungan banyak, pemerintahpun mulai memobilisasi
rakyat untuk bekerja di lahan-lahan pertanian dengan menanam tanaman
baru. Hal yang terjadi pada masa penanaman tebu, terjadi juga pada
penanaman nila yaitu banyaknya penduduk yang pergi meninggalkan tanah,

34
Ibid, hal. 92
35
Padi gogo adalah tanaman pertanian yang ditanam di lahan pertanian yang kering.
36
R. Z. Leirissa, dkk, Op, Cit., hal. 51
37
Robert Van Niel, Op, Cit., hal. 92
15

untuk menghindari besarnya beban kerja wajib dari pemerintah. Mereka pergi
ke kota-kota yang dekat dengan Karesidenan Cirebon.38
Dalam sistem tanam paksa, seluruh masyarakat dalam satu desa tidak
serentak melakukan satu pekerjaan yang sama, melainkan mereka dibagi
tugas untuk melakukan pekerjaan tersebut yaitu ada yang bertugas menuai
hasil panen, ada yang bertugas mengangkut hasil panen ke pabrik dan ada
juga yang bekerja di pabrik. Seluruh pekerjaan tersebut di bawah pimpinan
kepala desa dan diawasi oleh pegawai pemerintah Belanda.39
Rakyat dalam menjalankan penanaman tanaman ini, sebenarnya
diberikan upah oleh pemerintah Belanda. Namun, upah tersebut akan
diberikan ketika rakyat telah melakukan rangkaian proses penanaman sampai
pada panen dan mengangkutnya ke gudang-gudang setempat. Upah tersebut
tidak seluruhnya diberikan kepada rakyat, melainkan harus dipotong terlebih
dahulu untuk pembayaran sewa tanah dan transportasi pengangkutan hasil
panen.40
Rakyat selain diperas tenaga dan waktunya, mereka juga harus
bermodal, yaitu modal yang berupa peralatan pertanian, hewan ternak yang
dijadikan sebagai pengolah tanah atau membajak juga hewan yang dapat
digunakan untuk mengangkut hasil panen.41
Sistem tanam paksa mengalami keunggulan dari tahun 1830-1840,42
setelah tahun tersebut, tanam paksa sudah tidak kondusif lagi untuk
dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena rakyat Jawa sudah tidak merasakan
kesejahteraan dalam menjalani kehidupan mereka yang semakin miskin dan
menderita, sehingga mereka tidak mungkin untuk diperas terus menerus, baik
diperas tenaga dan waktu mereka. Setelah tahun tersebut di atas, sistem tanam
paksa sudah semakin pudar keberadaannya.

38
Ibid, hal. 97
39
Sartono Kartodirjo, Op, Cit., hal. 358
40
Robert Van Niel, Op, Cit., hal. 149
41
A. M. Djuliati Suroyo, Op, Cit., hal. 105
42
Tahun 1830-1840 merupakan masa-masa di mana tanam paksa mengalami keunggulan,
dikatakan demikian karena berbagai tanaman dagang yang diinginkan oleh pemerintah telah
berhasil di tanam dan banyak menuai keuntungan.
16

Dari sisi lain, pemerintah Belanda pada tahun 1850 dan 1860
membicarakan kembali tentang kelanjutan sistem ini. Dengan kondisi sosial
dan ekonomi di negeri Belanda yang semula memiliki banyak masalah, atas
adanya sistem tanam paksa, masalah mereka dan hutang mereka telah teratasi.
Dan hal ini yang menyebabkan bahwa sudah tidak perlunya lagi pelaksanaan
tanam paksa di Indonesia sebagai tanah jajahan. Karena negeri Belanda telah
mendapatkan banyak keuntungan, sampai pada hutang yang mereka tanggung
telah tertutupi.43

C. Dampak Tanam Paksa Bagi Masyarakat Cirebon


Pada tahun 1870 merupakan tahun terakhir dari adanya sistem tanam
paksa yang digagas oleh pemerintah Belanda dengan pencetusnya Gubernur
Jenderal Van Den Bosch. Sistem tanam paksa ini berakhir ditandai dengan
adanya penghapusan beberapa tanaman ekspor, munculnya berbagai argumen
dari berbagai pihak dari negeri Belanda yang menentang adanya sistem tanam
paksa, dengan alasan bahwa sistem ini sudah keluar dari batas kewajaran
prinsip negeri jajahan.44
Berakhirnya sistem tanam paksa, telah memberikan dampak yang tidak
sedikit, yang di antaranya: Pertama, Beralihnya Status Tanah Pertanian.
Dengan adanya peleburan seluruh lapisan masyarakat, hal ini memberikan
dampak yang tidak baik, rakyat yang semula memiliki kedudukan sebagai
sikep atau pemilik tanah, hadirnya tanam paksa, golongan tersebut kehilangan
kepemilikan tanah tersebut, karena tanah miliknya sudah disatukan dalam
kepemilikan desa untuk dijadikan lahan tanam paksa.45
Hilangnya kepemilikan tanah milik rakyat Cirebon akibat dari tanam
paksa, tidak memiliki pengaruh yang cukup panjang bagi rakyat Cirebon,
hilangnya kepemilikan tanah tersebut hanya sementara, karena sifat
tradisional dari rakyat Cirebon yang masih melekat terus dipraktikan setelah
lamanya tanam paksa dihapuskan.
43
Keuntungan yang didapat oleh negeri Belanda dengan sistem tanam paksa ini sebesar
823.000.000 gulden setara dengan Rp. 5.248.624.890.000
44
Lihat pada hal. 29
45
Hendra Kurniawan, Op, Cit., hal. 170
17

Kepemilikan tanah pun beralih kembali pada kepemilikan tradisional,


yang sebelumnya milik komunal atau bersama menjadi kepemilikan
indvidu. Kepemilikan tanah tradisional yang sampai saat ini berlaku di
Cirebon di antaranya pertama, tanah yasa yaitu tanah yang telah dimiliki
secara turun temurun. Kedua, tanah kasikepan yaitu tanah pertanian milik
bersama. Ketiga, tanah titisara yaitu tanah milik desa yang disewakan
dengan cara dilelang kepada siapa pun. Keempat, tanah bengkok yaitu
tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa, dan diartikan
bahwa tanah bengkok itu merupakan gaji dari pejabat desa tersebut.46
Kedua, Ketidaksuburan Lahan Pertanian. Lahan-lahan yang digunakan
dalam tanam paksa, telah mengalami kehilangan kesuburannya. Hal ini
disebabkan karena terlalu seringnya tanah tersebut digunakan untuk
menanam hanya dengan satu macam tanaman saja, tanpa diganti dengan
tanaman lain. Misalnya, tanaman nila, tanaman ini telah menggerus habis
kesuburan tanah, setiap tanah yang telah digunakan untuk penanaman nila,
tidak akan bisa digunakan untuk penanaman tanaman lain. Tanaman tebu,
kesuburan tanah yang telah digunakan untuk penanaman tebu masih dapat
digunakan, meskipun hanya dapat digunakan untuk penanaman tanaman
palawija. Untuk lahan yang ditanami tanaman lainnya seperti kopi dan
indigo, masih dapat digunakan, karena lahan yang berada di dataran tinggi
masih memiliki nilai kesuburan yang lebih baik dibanding lahan pertanian
yang berada di dataran rendah.
Ketiga, Pemberian gaji terhadap sultan dan bupati telah dilakukan juga
pada masa Daendels, namun perbedaannya adalah ketika masa Daendels
gaji tersebut berupa pensiun, sedangkan pada masa tanam paksa ini gaji
diberikan karena memang kedudukan sultan dan bupati sebagai pegawai
dari pemerintahan Belanda, dan diberikan imbalan ketika sultan dan bupati
ini menjalankan tugas dengan baik dan menghasilkan hasil tanaman tanam
paksa yang baik dari masyarakat atas tanaman komoditi untuk diekspor.
Pemberian gaji juga diberikan kepada para buruh jika hasil panen dari
tanaman ekspor mencapai hasil yang tinggi, dan segala sesuatu berupa

46
Ridwan Subagja, Op, Cit.
18

penyewaan alat pengangkut hasil panen, pembayaran sewa tanah, maka


kelebihan dari hasil panen itulah yang dijadikan sebagai gaji bagi para
buruh.
Keempat, sistem ekonomi uang. Pemberian upah ini dimulai pada
masa sistem tanam paksa, pada masa sebelum tanam paksa perkembangan
upah dan uang hanya terjadi pada jabatan sultan dan bupati saja,
sedangkan untuk para buruh dan rakyat yang bekerja tidak diberikan upah
berupa uang, melainkan berupa hasil panen yang telah didapat. Pada masa
sistem tanam paksa ini, penggunaan uang semakin berkembang sebagai
alat tukar dan upah. Uang mulai dijadikan sebagai alat tukar pada masa
tanam paksa, hal ini karena disertai juga dengan berkembangnya
perdagangan dan pembelian barang-barang yang dibutuhkan oleh para
buruh dalam mendukung pekerjaan mereka dalam sistem tanam paksa.
Model pembayaran yang semula hanya menggunakan barter barang
dengan barang, tenaga dengan tenaga, pada masa ini semuanya digantikan
dengan menggunakan pembayaran berupa uang.
Kelima, adanya pekerjaan baru. Sistem tanam paksa telah
menghasilkan banyak orang-orang pribumi yang ahli dalam beberapa
bidang yang sebelumnya tidak ada, yaitu ahli dalam bidang perkebunan,
perpabrikan dan lainnya. Karena, setelah adanya tanam paksa, mulai
muncul pembangunan-pembangunan infrastruktur pendukung seperti
pabrik gula, gudang, jalan, jalan kereta api, jembatan, sistem pengairan,
dan fasilitas pelabuhan.47 Masyarakat Cirebon yang berasal dari
pedalaman atau pedesaan, yang pada masa tanam paksa sangat
berpengaruh, setelah itu mereka mengalami perubahan dalam sistem mata-
pencaharian mereka, mereka sudah tidak menggeluti bidang pertanian,
disebabkan lahan pertanian yang tercatat tahun 1903 sampai 1930 telah
menyusut jumlahnya dan berkurang sampai pada 66%. Keenam,
dikenalnya tanaman dan cara penanaman baru.

47
M. C. Ricklefs, terjm. Tim Penerjemah Serambi, Op, Cit., hal. 266
19

D. Simpulan
Pada tahun 1830, negara Belanda tengah mengalami kondisi
perekonomian yang buruk, hutang-hutang yang ditanggung oleh Belanda
sangat besar, dengan hal tersebut negara Belanda mengambil suatu langkah
yang bertujuan agar kondisi perekonomian dan hutang-hutang yang mereka
miliki dapat terbayar dengan cara memanfaatkan negara jajahan yaitu
Indonesia. Langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan sebuah
kebijakan terkait dengan sistem politik ekonomi, yang dikenal dengan
sebutan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Kebijakan ekonomi ini
berbasis perdagangan, di mana segala hasil alam yang terdapat di Indonesia
terutama tanaman-tanaman yang laku di pasaran Eropa seperti tebu, nila, teh,
akan secara intensif diberikan peraturan yang terdapat dalam kebijakan sistem
ekonomi tersebut. Tujuan dari sistem tanam paksa adalah mencari
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara jajahan dan negara Belanda, yang
berasal dari tanaman dagang yang laku di pasaran Eropa yang didapat dari
negara jajahan. Namun, keuntungan tersebut hanya dirasakan sepihak yaitu
bagi negara Belanda, sedangkan negara Indonesia tetap mengalami kerugian.
Dampak yang diberikan oleh sistem tanam paksa terhadap rakyat
Cirebon sangatlah beragam, yang meliputi dampak negatif dan dampak
positif. Dampak negatif, telah terjadinya kelaparan, hal ini terjadi karena
persediaan pangan berupa padi sangat sedikit, masyarakat hanya disibukkan
dengan penanaman wajib tanaman komoditi, hilangnya kesuburan tanah,
kesuburan tanah menjadi hilang diakibatkan oleh terus menerusnya
penanaman satu macam tanaman dengan waktu yang tidak ada jeda nya, dan
hal ini membuat rakyat tidak memiliki banyak lahan untuk melakukan
pekerjaannya sebagai petani. Selain itu, terdapat juga dampak positif, di mana
rakyat Cirebon mengenal tanaman baru, cara penanaman baru, alat pertanian
baru yang bersifat moderen, munculnya sistem ekonomi uang, munculnya
pekerjaan baru sebagai buruh, kuli dan pedagang.
20

DAFTAR PUSTAKA

A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Abad XX, Yogyakarta : Penerbit


Ombak, 2012.

A. M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX : Kerja Wajib di


Karesidenan Kedu 1800-1890, Yogyakarta : Tarawang Press, 2000.

A. Sobana Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga


Pertengahan Abad ke-20), Bandung : Penerbit Dinas Pariwisata dan Budaya
Provinsi Jawa Barat, 2011.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2005.

Dr. E. C Godee Molsbergen, terj. Dr. Iwan Satibi, Uit Cheribon’s Geschiedenis
(Sekelumit Sejarah Cirebon), Majalengka, 2009.

Malcom Caldwell, dkk, Sejarah Alternatif Indonesia, Yogyakarta : Djaman


Baroe, 2011.

Marwati Djoened Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, cet. 8, Jakarta :


Balai Pustaka, 1993.

M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia : Masa Prasejarah Sampai


Masa Proklamasi Kemerdekaan, cet. 3, Jakarta : PT. Mitra Aksara Panaitan,
2010.

M. Ricklefs, terj. Tim Penerjemah Serambi, Sejarah Indonesia Modern 1200-


2008, cet. 1, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, cet. 1, Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 2003.

R. Z. Leirissa, dkk, Sejarah Perekonomian Indonesia, Yogyakarta : Penerbit


Ombak, 2012.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900, Jilid I,


Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2014.

Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad
Ketujuh belas, Bandung, 1991.

Zaenal Masduqi, Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Cirebon :


Nurjati Press, 2011.
21

Anonimous, Petani Tebu di Cirebon, Dulu Kerja Paksa – Sekarang,


http://forumkota .blogspot.co.id/2011/10/petani-tebu-di-cirebon-dulu-kerja-
pasa.html, 12 Oktober 2011, diunduh pada Selasa 17 April 2017 pukul 17.04
WIB

Hendra Kurniawan, Dampak Sistem Tanam Paksa Terhadap Dinamika


Perekonomian Petani Jawa 1830-1870,
journal.uny.ac.idindex.phpsosiaacledownload53014598, September 2014,
diunduh pada Sabtu, 20-02-2016, pukul 20.55 WIB.

Ridwan Subagja, Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tebu di Cirebon Pada Masa
Pemerintahan Hindia Belanda, https://mobile.facebook.com/notes/bahas-
cirebon-basane-wong-cerbon/sejarah-kondisi-sosial-ekonomi-petani-tebu-di-
cirebon-pada-masa-pemerintahan-hi, 3 Januari 2012, diunduh pada Sabtu 25
Februari 2017 pukul 05.09 WIB.

Anda mungkin juga menyukai