Pendahuluan
Bangsa Barat dalam hal ini adalah Belanda, datang ke Indonesia pertama
kali dengan tujuan untuk mengembangkan perdagangan, yaitu mendapatkan
rempah-rempah yang mahal harganya di pasaran Eropa. Dari pihak Belanda,
dalam menjalankan misi perdagangannya, mereka awali dengan cara melakukan
pengiriman armada kapal dagang yang dilakukan oleh Perseroan Amsterdam.
Pengiriman armada kapal dagang yang pertama kali didatangkan ke Indonesia,
yaitu pada tahun 1595 berjumlah empat kapal di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman. Menyusul kemudian, angkatan kedua tahun 1598 di bawah pimpinan
Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Selain dari Amsterdam, juga
datang beberapa kapal dari berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat
tahun 1599 di bawah pimpinan Van der Hagen dan disusul kemudian oleh
angkatan keempat tahun 1600 di bawah pimpinan Van Neck.
Pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan dagang yang semula berdiri
sendiri-sendiri, pada tahun ini mereka sepakat untuk bergabung dan disahkan oleh
Staten-General dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan
gabungan untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan
Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon termasuk Kepulauan Nusantara.
Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).1
Selama berlangsungnya abad ke-18, masa dimana Belanda sedang
mengalami kepuasannya dalam mengeruk hasil kekayaan Pulau Jawa, muncullah
nasib yang tidak menyenangkan bagi Belanda di bidang ekonomi dalam hal ini
1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal.
234-5
2
2
Para pejabat yang menjabat di Karesidenan Cirebon telah menikmati hasil kekayaan
sebesar sembilan puluh sampai seratus ribu dolar atau setara dengan 23.000 pounds setiap
tahunnya. Lihat, Malcolm Caldwell, Op,cit, hal. 55-57. Lihat juga, Zaenal Masduqi, Cirebon dari
Kota Tradisional ke Kota Kolonial, Cirebon: Nurjati Press, 2011, hal. 30
3
Kalah bersaing, dimana ketika perusahaan dagang milik Belanda sudah tidak dapat
menyaingi kemampuan dagang yang dimilki oleh perusahaan dagang dari Inggris dan Perancis.
Barang-barang yang diperjual belikan oleh kedua perusahaan terakhir, merupakan barang inovasi
yang banyak disukai oleh para konsumen, yaitu berupa olahan barang-barang hasil bumi seperti
kain dari kapas dan lainnya, sedangkan dari pihak Belanda, mereka hanya menjual barang-barang
mentahnya saja tanpa diolah terlebih dahulu, meskipun memang barang tersebut sejak dahulu telah
digemari oleh banyak konsumen, akan tetapi industri semakin maju dan minat dari para konsumen
sudah meningkat, tidak hanya kebutuhan dapur saja.
4
Zaenal Masduqi, Op,cit, hal. 32.
5
Perang Jawa telah menghabiskan biaya dan kekayaan juga para serdadu Belanda yang
tewas sebanyak 15.000 serdadu. Dan Belanda menanggung hutang sebesar F 30.000.000. Lihat,
Ibid, hal. 45
6
Malcolm Caldwell, Op, Cit., hal. 62
3
Pembahasan
A. Kondisi Cirebon Sebelum Tanam Paksa
Cirebon, sebuah kota yang di dalamnya terdapat banyak kekayaan
alam yang melimpah. Posisinya yang sangat strategis, yaitu berada dalam
suatu jalur perdagangan yang biasa dilewati oleh orang-orang asing. Cirebon
dengan asal mulanya berasal dari kata ci dan rebon, hal ini menandakan
bahwa penduduk awal daerah Cirebon mayoritas adalah orang Sunda dan
Jawa.7
7
A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman (abad ke-15 Hingga
Pertengahan Abad ke-20), cet. 1, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat, 2011, hal. 76
4
8
Dr. E. C. Godee Molsbergen, terj. Dr. Iwan Satibi, Uit Cheribon’s Geschiedensis
(Sekelumit Sejarah Cirebon), Majalengka, 2009, hal. 77
9
Ibid, hal. 9.
5
10
A. Sobana Hardjasaputra, dkk, Op,Cit., hal. 158.
11
Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Op, Cit., hal. 146.
6
yang bisa dipanen dalam jangka waktu pendek dan jangka waktu panjang,
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanaman yang dapat dipanen
dalam jangka waktu pendek tersebut biasanya berupa umbi-umbian, kacang-
kacangan, sayuran. Sedangkan tanaman yang dipanen dalam jangka waktu
pendek berupa padi, palawija-palawija seperti jagung, dan lain sebagainya.
Mengenai tenaga kerja yang digunakan dalam pengolahan tanah, pada masa
itu masih menggunakan sistem tukar menukar tenaga dan jasa yakni bersifat
timbal balik, sehingga pemilik tanah tidak mengeluarkan uang sebagai upah
atas tenaga yang telah dikerahkan oleh orang lain.12
Sistem kebun ini masih berjalan meskipun ketika itu masyarakat
Cirebon berada di bawah pengaruh VOC, hal ini berdasarkan pada ketentuan
perserikatan dagang tersebut mengenai tanaman yang ditanam oleh
masyarakat itu tergantung dari pada keinginan masyarakat itu sendiri, asalkan
mereka tidak meninggalkan kewajiban mereka untuk menanam komoditi
yang diinginkan oleh pihak kompeni sebagai tanaman yang laku di pasaran
dunia.
Cara penanaman pun pihak kompeni menyerahkan keseluruhannya
kepada masyarakat, sehingga cara penanaman yang digunakan adalah bersifat
tradisional, sesuai dengan sistem kebun yang dimiliki oleh masyarakat
Cirebon. Perbedaan sedikit terjadi terkait dengan hasil panen, di mana
masyarakat harus menyerahkan tanaman komoditi seperti kopi, indigo, kapas
kepada kompeni, untuk dipasarkan dan diekspor ke dunia luar, dan tidak
untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat itu sendiri.
Sistem pertanian yang berlaku pada masa VOC tetap berlanjut pada
masa Daendels yaitu adalah tanaman yang akan ditanam didasarkan atas
kehendak pemerintah Belanda yang laku di pasaran dunia dan hasilnya akan
dipasarkan dan diekspor ke negara luar. Namun pada masa Daendels ini,
masyarakat Cirebon telah banyak kehilangan lahan yang semula mereka
gunakan untuk menanaman tanaman yang mereka inginkan, karena Daendels
telah melakukan penjualan tanah-tanah milik masyarakat, dengan berdalih
bahwa tanah masyarakat adalah tanah milik pemerintah Belanda juga.
12
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium
Sampai Imperium, Jilid I, Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2014, hal. 343-344
7
Hadirnya pihak Barat di Cirebon sejak paruh pertama abad ke-17, telah
turut mencampuri segala bidang kehidupan masyarakat Cirebon, tidak hanya
dalam menguasai perekonomian, kompeni juga menguasai perpolitikan di
Cirebon. Hal ini jelas terlihat pada tahun 1756, Cirebon yang ketika itu
memiliki tiga sultan, tidak pernah luput dari segala hal permasalahan.
Permasalahan itu sendiri berasal dari dalam kerajaan yaitu dalam hal
perebutan jabatan antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Permasalahan
antara keduanya kerap terjadi dikarenakan usia keduanya tidak jauh berbeda,
sehingga ketika Cirebon diatur segala halnya oleh kompeni, maka kompeni
pun menetapkan kedua sultan tersebut secara bergantian dalam menjalankan
pemerintahan.13
Kekuasaan kompeni atau lebih dikenal dengan VOC berakhir tahun
1799, berakhirnya VOC tidak berarti rakyat Cirebon sudah terlepas dari
pengaruh kompeni yang telah melakukan berbagai kegiatan eksploitasi
terhadap rakyat Cirebon, melainkan datang kembali sebagai pengganti untuk
menjalankan kekuasaan di Cirebon yaitu kolonial.14 Penguasa pengganti dari
VOC ini membawa berbagai kebijakan yang tidak berbeda dengan masa
penguasaan yang dilakukan oleh perserikatan dagang Belanda yaitu tetap
melakukan eksploitasi terhadap rakyat Cirebon.
Pada masa pemerintahan Daendels dengan memiliki model
pemerintahan yang bersifat sentralistik, membuat Daendels menurunkan
kedudukan bupati dan sultan pada tahun 1808. Sultan dan bupati dijadikan
sebagai pegawainya dan mendapatkan gaji atas pekerjaan sultan dan bupati
tersebut. Dan tetap diberikan kekuasaan menjalankan pemerintahan di
daerahnya masing-masing.15
Sejalan dengan penurunan kedudukan bupati dan sultan, Daendels
melakukan reorganisasi atau pengorganisasian ulang terhadap wilayah
pemerintahan yang ada di Pulau Jawa. Tiap-tiap wilayah dinamakan
13
Dr. E. C. Godee Molsbergen, terj. Dr. Iwan Satibi, Op, Cit., hal. 8
14
Kolonial atau kolonialisme merupakan sebuah sistem di mana salah satu negeara tertentu
menguasai negara lain dengan cara menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusianya,
dan negara yang menguasai itu masih terikat oleh negara asalnya.
15
A. Sobana Hardjasaputra, dkk., Op, Cit., hal. 134
8
16
Ibid, hal. 134
17
Ibid, hal. 138
9
18
Malcom Caldwell, dkk, Op, Cit., hal. 62
19
Sistem pajak tanah atau biasa disebut landelijk stelses, merupakan kebijakan yang dibuat
oleh Raffles, seorang gubernur dari Inggris. Kebijakan Raffles ini berdasarkan pada masanya,
tanah merupakan milik pemerintah, sehingga bagi para petani yang bekerja mengolah tanah
tersebut, sama halnya mereka telah menyewa tanah pemerintah dan harus membayar pajak tanah.
Raffles berpikir bahwa sistem ini akan lebih meringankan rakyat, dibandingkan dengan sistem
sebelumnya, yaitu penyerahan wajib dan kerja rodi. Dengan sistem ini rakyat diberikan kebebasan.
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, Op, Cit., hal. 90-91
20
M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia : Masa Prasejarah Sampai Masa
Proklamasi Kemerdekaan, cet. 3, Jakarta : PT. Mitra Aksara Panaitan, 2010, hal. 73
21
Zaenal Masduqi, Op, Cit., hal. 44
10
hutang yang banyak, dan mengharapkan dapat mencari jalan keluar di negara-
negara jajahannya.22
Kerajaan Belanda mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka
dapat, cara yang dilakukan raja Belanda yaitu mengutus seorang ahli
keuangan ke tanah jajahan yang bernama Johannes Van Den Bosch, hal ini
dilakukan dengan pengharapan bahwa ahli keuangan ini dapat menyelesaikan
masalah yang ada. Bosch juga merupakan seseorang yang benar-benar
memahami dan telah menggeluti dunia perkebunan dan pertanian yang
sebelumnya telah dia lakukan di kepulauan Karibia.23 Setelah Bosch
dikirimkan ke Indonesia (tanah jajahan), ia langsung menerapkan sebuah
konsep sistem politik ekonomi. Sistem politik ekonomi yang dicetuskan oleh
Johannes Van Den Bosch itu yang kemudian disebut Sistem Tanam Paksa
atau Cultuurstelsel.24
Sasaran wilayah yang sangat ingin diberlakukan tanam paksa oleh
Bosch yaitu wilayah Jawa, hal ini dilakukan oleh Bosch dengan alasan,
karena jika dilihat dari letak geografisnya, Jawa merupakan wilayah yang
memiliki kesuburan tanah yang baik, tanahnya mampu untuk ditanami
berbagai macam tanaman, sehingga Bosch merasa yakin bahwa jika sistem
politik ekonomi tersebut dilaksanakan di wilayah Jawa, maka Belanda akan
dapat menutupi kemerosotan keuangan dan permasalahannya. Sehingga, Jawa
benar-benar merupakan harapan besar bagi mereka untuk menutupi semua
hutang yang ada.25
Van Den Bosch, memiliki suatu pemikiran bahwa setiap desa di Jawa
harus menyisihkan seperlima bagian tanah dan seperlima tenaga yang
kemudian akan digunakan sebagai lamanya penanaman tanaman ekspor siap
jual, seperti kopi, tebu, nila dan tanaman lainnya.
22
A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX, Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2012, hal. 29
23
R. Z. Leirissa, dkk, Sejarah Perekonomia Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Ombak,
2012, hal. 50
24
M. Junaedi Al Anshori, Op, Cit., hal. 73, Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro,
dkk, hal. 97
25
M. C. Ricklefs, terjm. Tim Penerjemah Serambi, Op, Cit., hal. 260
11
26
Sartono Kartodirdjo, Op., Cit, hal. 15
27
Anonimous, Petani Tebu di Cirebon, Dulu Kerja Paksa – Sekarang, http://forumkota
.blogspot.co.id/2011/10/petani-tebu-di-cirebon-dulu-kerja-pasa.html, 12 Oktober 2011, diunduh
pada Selasa 17 April 2017 pukul 17.04 WIB
12
28
Ridwan Subagja, Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tebu di Cirebon Pada Masa
Pemerintahan Hindia Belanda, https://mobile.facebook.com/notes/bahas-cirebon-basane-wong-
cerbon/sejarah-kondisi-sosial-ekonomi-petani-tebu-di-cirebon-pada-masa-pemerintahan-hi, 3
Januari 2012, diunduh pada Sabtu 25 Februari 2017 pukul 05.09 WIB
13
luas tanah yang digunakan sebanyak 600 bau (759.000 hektar), di daerah
Gempol dengan luas tanah 400 bau (506.000 hektar), di daerah Jatiwangi
dengan luas tanah sebanyak 500 bau (632.500 hektar). Semua perkebunan
adalah milik orang Belanda.29
Tanah yang biasa digunakan untuk penanaman tebu,30 yaitu berupa
tanah pesawahan yang memiliki sifat yang baik, selain tanah dengan kondisi
baik, harus terdapat juga saluran irigasi yang memadai untuk mengaliri ke
tanah yang ditanami tebu.
Penanaman tebu ini berjangka waktu selama dua belas bulan sampai
delapan belas bulan untuk mencapai masa panen. Tanaman dagang ini
merupakan salah satu hal yang sangat dirasakan berat bagi kehidupan
masyarakat Jawa, karena tanah yang digunakan dalam penanaman ini
merupakan tanah pesawahan yang biasa digunakan untuk penanaman padi,
sehingga keberlangsungan hidup mereka di kemudian hari akan sedikit
terganggu dan terancam dengan kondisi yang demikian.31 Namun, rasa
khawatir yang dialami masyarakat tidak selamanya benar, pada kenyataannya
tanaman tebu tidak memberatkan rakyat, meskipun tanah mereka digunakan
untuk penanaman tebu, tapi mereka mendapatkan keuntungan lebih setelah
panennya dibandingkan dengan penanaman padi, sehingga penanaman tebu
telah banyak diikuti oleh masyarakat Jawa. Lahan-lahan yang digunakan
untuk penanaman tebu juga dibebaskan dari sewa tanah, sesuai dengan
kontrak yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemerintahan lokal dan desa-
desa.32 Meskipun keuntungan penanaman tebu tidak secara merata dialami
oleh seluruh desa-desa di Jawa, karena keuntungan itu akan didapat jika desa
tersebut menghasilkan tebu yang banyak dengan tanah yang subur. 33 Dengan
keuntungan yang banyak dirasakan oleh rakyat dari penanaman tebu, mereka
29
Ibid, hal. 169
30
Penanaman tebu dimasukan kedalam sistem tanam paksa berdasarkan resolusi gubernur
jendral tanggal 13 Agustus 1830. Lihat Robert Van Niel, hal. 39
31
Ibid, hal. 34
32
Ibid, hal. 59
33
Ibid, hal. 50
14
34
Ibid, hal. 92
35
Padi gogo adalah tanaman pertanian yang ditanam di lahan pertanian yang kering.
36
R. Z. Leirissa, dkk, Op, Cit., hal. 51
37
Robert Van Niel, Op, Cit., hal. 92
15
untuk menghindari besarnya beban kerja wajib dari pemerintah. Mereka pergi
ke kota-kota yang dekat dengan Karesidenan Cirebon.38
Dalam sistem tanam paksa, seluruh masyarakat dalam satu desa tidak
serentak melakukan satu pekerjaan yang sama, melainkan mereka dibagi
tugas untuk melakukan pekerjaan tersebut yaitu ada yang bertugas menuai
hasil panen, ada yang bertugas mengangkut hasil panen ke pabrik dan ada
juga yang bekerja di pabrik. Seluruh pekerjaan tersebut di bawah pimpinan
kepala desa dan diawasi oleh pegawai pemerintah Belanda.39
Rakyat dalam menjalankan penanaman tanaman ini, sebenarnya
diberikan upah oleh pemerintah Belanda. Namun, upah tersebut akan
diberikan ketika rakyat telah melakukan rangkaian proses penanaman sampai
pada panen dan mengangkutnya ke gudang-gudang setempat. Upah tersebut
tidak seluruhnya diberikan kepada rakyat, melainkan harus dipotong terlebih
dahulu untuk pembayaran sewa tanah dan transportasi pengangkutan hasil
panen.40
Rakyat selain diperas tenaga dan waktunya, mereka juga harus
bermodal, yaitu modal yang berupa peralatan pertanian, hewan ternak yang
dijadikan sebagai pengolah tanah atau membajak juga hewan yang dapat
digunakan untuk mengangkut hasil panen.41
Sistem tanam paksa mengalami keunggulan dari tahun 1830-1840,42
setelah tahun tersebut, tanam paksa sudah tidak kondusif lagi untuk
dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena rakyat Jawa sudah tidak merasakan
kesejahteraan dalam menjalani kehidupan mereka yang semakin miskin dan
menderita, sehingga mereka tidak mungkin untuk diperas terus menerus, baik
diperas tenaga dan waktu mereka. Setelah tahun tersebut di atas, sistem tanam
paksa sudah semakin pudar keberadaannya.
38
Ibid, hal. 97
39
Sartono Kartodirjo, Op, Cit., hal. 358
40
Robert Van Niel, Op, Cit., hal. 149
41
A. M. Djuliati Suroyo, Op, Cit., hal. 105
42
Tahun 1830-1840 merupakan masa-masa di mana tanam paksa mengalami keunggulan,
dikatakan demikian karena berbagai tanaman dagang yang diinginkan oleh pemerintah telah
berhasil di tanam dan banyak menuai keuntungan.
16
Dari sisi lain, pemerintah Belanda pada tahun 1850 dan 1860
membicarakan kembali tentang kelanjutan sistem ini. Dengan kondisi sosial
dan ekonomi di negeri Belanda yang semula memiliki banyak masalah, atas
adanya sistem tanam paksa, masalah mereka dan hutang mereka telah teratasi.
Dan hal ini yang menyebabkan bahwa sudah tidak perlunya lagi pelaksanaan
tanam paksa di Indonesia sebagai tanah jajahan. Karena negeri Belanda telah
mendapatkan banyak keuntungan, sampai pada hutang yang mereka tanggung
telah tertutupi.43
46
Ridwan Subagja, Op, Cit.
18
47
M. C. Ricklefs, terjm. Tim Penerjemah Serambi, Op, Cit., hal. 266
19
D. Simpulan
Pada tahun 1830, negara Belanda tengah mengalami kondisi
perekonomian yang buruk, hutang-hutang yang ditanggung oleh Belanda
sangat besar, dengan hal tersebut negara Belanda mengambil suatu langkah
yang bertujuan agar kondisi perekonomian dan hutang-hutang yang mereka
miliki dapat terbayar dengan cara memanfaatkan negara jajahan yaitu
Indonesia. Langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan sebuah
kebijakan terkait dengan sistem politik ekonomi, yang dikenal dengan
sebutan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Kebijakan ekonomi ini
berbasis perdagangan, di mana segala hasil alam yang terdapat di Indonesia
terutama tanaman-tanaman yang laku di pasaran Eropa seperti tebu, nila, teh,
akan secara intensif diberikan peraturan yang terdapat dalam kebijakan sistem
ekonomi tersebut. Tujuan dari sistem tanam paksa adalah mencari
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara jajahan dan negara Belanda, yang
berasal dari tanaman dagang yang laku di pasaran Eropa yang didapat dari
negara jajahan. Namun, keuntungan tersebut hanya dirasakan sepihak yaitu
bagi negara Belanda, sedangkan negara Indonesia tetap mengalami kerugian.
Dampak yang diberikan oleh sistem tanam paksa terhadap rakyat
Cirebon sangatlah beragam, yang meliputi dampak negatif dan dampak
positif. Dampak negatif, telah terjadinya kelaparan, hal ini terjadi karena
persediaan pangan berupa padi sangat sedikit, masyarakat hanya disibukkan
dengan penanaman wajib tanaman komoditi, hilangnya kesuburan tanah,
kesuburan tanah menjadi hilang diakibatkan oleh terus menerusnya
penanaman satu macam tanaman dengan waktu yang tidak ada jeda nya, dan
hal ini membuat rakyat tidak memiliki banyak lahan untuk melakukan
pekerjaannya sebagai petani. Selain itu, terdapat juga dampak positif, di mana
rakyat Cirebon mengenal tanaman baru, cara penanaman baru, alat pertanian
baru yang bersifat moderen, munculnya sistem ekonomi uang, munculnya
pekerjaan baru sebagai buruh, kuli dan pedagang.
20
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2005.
Dr. E. C Godee Molsbergen, terj. Dr. Iwan Satibi, Uit Cheribon’s Geschiedenis
(Sekelumit Sejarah Cirebon), Majalengka, 2009.
Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, cet. 1, Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 2003.
Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad
Ketujuh belas, Bandung, 1991.
Ridwan Subagja, Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tebu di Cirebon Pada Masa
Pemerintahan Hindia Belanda, https://mobile.facebook.com/notes/bahas-
cirebon-basane-wong-cerbon/sejarah-kondisi-sosial-ekonomi-petani-tebu-di-
cirebon-pada-masa-pemerintahan-hi, 3 Januari 2012, diunduh pada Sabtu 25
Februari 2017 pukul 05.09 WIB.