Anda di halaman 1dari 3

1.

Keputusan Mahkamah Internasional antara Bosnia vs. Serbia


Keputusan bersejarah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (International
Court of Justice/ICJ) terhadap genosida atau pembunuhan secara massal dalam
perkara Bosnia-Herzegovina melawan Serbia-Montenegro merupakan suatu contoh
bahwa keputusan yang bijaksana tidak selalu menjadi putusan yang baik.
Inilah pertama kalinya negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mencoba untuk
mengajukan perkara genosida kepada ICJ. Namun ICJ nampaknya telah
menghilangkan satu-satunya kesempatan yang masih tersisa bagi pemegang
kekuasaan yang sah, sejak kematian Slobodan Milosevic yang secara tidak
langsung berakibat dengan dihapuskannya Mahkamah Kejahatan Perang di
Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia/ICTY) yang
berkemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban terhadap dirinya.
Keputusan mahkamah yang menjelaskan bahwa meskipun apa yang terjadi pada
tahun 1995 di Srebenica memang merupakan tindakan dari genosida namun negara
Serbia tidaklah secara langsung mempunyai keterlibatan terhadap tindakan tersebut,
merupkan keputusan yang diharapkan dapat diterima oleh masing-masing pihak.
Putusan yang seakan-akan bersifat kompromi ini tidaklah mampu berbuat banyak,
akan tetapi justru menyalakan api lama di tengah-tengah etnik Balkan yang rentan
akan konflik.
Keputusan tersebut menimbulkan berbagai isyu besar. Genosida dikenal secara luas
sebagai kejahatan internasional luar biasa dan seiring dengan meningkatnya
perkembangan dunia, setiap usaha terjadinya hal tersebut sangatlah penting untuk
dijadikan perhatian. Berbagai pengamat berpendapat bahwa pemerintah Serbia
pada saat ini tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kejahatan yang
dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Terdapat juga pendapat yang mencoba
untuk menggambarkan perbedaan antara pemerintah dan negara. Bagaimanapun
juga, sifat yang luas biasa dan kejam dari genosida membawa perintah secara moril
kepada masyarakat internasional maupun nasional untuk membawa pelaku
kejahatan pada posisinya. Tetapi, kesulitan untuk menjalankan maksud utama guna
meniadakan kelompok yang dilindungi secara khusus berarti bahwa keputusan
seperti halnya dikeluarkan oleh ICJ masihlah jauh dari harapan.
Menurut Alexander Solzhenistan, hal ini membuktikan bahwa pengadilan mungkin
bukanlah instrument terbaik untuk mencapai rekonsiliasi dalam politik internasional.

Jika pemerintahan berkuasa saat ini, Perdana Menteri Vladimir Kostunica, cukup
serius mengenai kurangnya keterlibatan dalam pemberantasan sistematis terhadap
golongan minoritas pada masa lalu, maka jejak rekam mereka semasa konflik
seharusnya merefleksikan usaha adanya rehabilitasi dan reintegrasi.
Pengalaman dari Eropa Barat setelah Perang Dunia II merupakan suatu bukti bahwa
bangsa yang terbagi-bagi perlu dipertemukan kembali dalam tingkatan personal. Apa
yang diperlukan adalah naratif yang sama sebagaimana dengan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan membawa cerita-cerita masa lalu dari mereka
yang menderita. Bersama dengan rencana untuk reintegrasi di mana termasuk
dengan kompensasi tempat tinggal dan moneter untuk para pelarian di pengasingan,
hal tersebut mungkin merupakan jalan terbaik untuk meyakinkan bukan hanya
terciptanya perdamaian, tetapi juga menghilangkan rasa trauma masa lalu.
1.

Putusan Mahkamah Internasional: AS Langgar Hak Narapidana Meksiko


Washington-Amerika Serikat (AS) mengaku akan mempelajari terlebih dahulu
keputusan Mahkamah Pengadilan Internasional, yang mengharuskannya meninjau
kembali vonis mati atas 51 narapidana asal Meksiko.
Kami akan mempelajarinya. Ini merupakan putusan yang sangat kompleks, kata
Juru Bicara Gedung Putih, Scott McClellan, di washington, Kamis (1/4) waktu
setempat.
Mahkamah Pengadilan Internasional dalam sidang Rabu (31/3) lalu menyatakan
bahwa Amerika Serikat (AS) telah melanggar hak 51 warga Meksiko yang divonis
hukuman mati. Selanjutnya pihak berwenang AS diperintahkan agar kasus para
terpidana mati tersebut ditinjau kembali.
Demikian putusan pengadilan yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di
Den Haag, Belanda, tersebut dalam menanggapi tuntutan yang diajukan Meksiko
bahwa hak para warga mereka, yang dipidana dalam kasus pembunuhan, untuk
mendapat bantuan hukum dari pemerintah tidak boleh dihalangi pihak berwenang di
AS. AS harus meninjau keputusan dan hukuman yang diberikan, kata ketua dewan
hakim, Shi Jiuyong.
Dia mengatakan bahwa peninjauan kembali tersebut dapat dilakukan berdasarkan
proses banding normal dalam sistem pengadilan di AS.
Namun McClellan mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat langsung melaksanakan
keputusan tersebut karena para narapidana diadili di beberapa pengadilan yang
tersebar di beberapa negara bagian yang memiliki otonomi hukum.

Permohonan Banding
Mahkamah memutuskan agar pihak berwenang di AS harus menerima permohonan
banding dari tiga narapidana asal Meksiko yang yang telah divonis hukuman mati.
Para pejabat Meksiko memuji putusan mahkamah tersebut sebagai kemenangan
hukum internasional. Mereka yakin bahwa AS akan mematuhi putusan mahkamah
tersebut.
Arturo Dajer, penasihat hukum Departemen Luar Negeri Meksiko, mengatakan
bahwa putusan tersebut merupakan perangkat hukum yang penting yang
menentukan masa depan narapidana asal Meksiko di AS.
Departemen Kehakiman AS sampai belum memberikan tanggapan. Namun Duta
Besar AS untuk Belanda, Clifford Sobel, mengatakan bahwa dia turut gembira
dengan beberapa bagian dari putusan tersebut.
Menurut Sobel pemerintahnya akan mempertimbangkan putusan tersebut
berdasarkan wewenang pemerintah federal kepada negara bagian yang memroses
kasus yang melibatkan warga Meksiko.
Putusan mahkamah tersebut bersifat mengikat, mutlak, dan tidak dapat diajukan
banding. Selama ini putusan dari mahkamah tersebut jarang diabaikan. Bila salah
satu pihak yang bersangkutan tidak mematuhi putusan tersebut maka dapat
diadukan ke PBB.
Putusan tersebut diambil berdasarkan Konvensi Wina 1963 yang menjamin orang
yang dituduh melakukan tindak kriminal serius di suatu negara asing memiliki hak
untuk menghubungi pemerintahnya untuk meminta bantuan dan yang bersangkutan
patut diberitahu hak hukumnya oleh pihak yang menahan.
Pihak berwenang di AS dianggap lalai memberi tahu hak hukum tersebut bagi 51
narapidana asal Meksiko. Namun, penasihat hukum AS, William Taft, berargumen
bahwa Meksiko tidak berhak mencampuri sistem pengadilan negaranya berkaitan
hak hukum 51 narapidana tersebut

Anda mungkin juga menyukai