Anda di halaman 1dari 6

PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL

A. Keputusan Mahkamah Internasional : Status Pulau Miangas

KEKALAHAN Indonesia dalam sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitandi Mahkamah Internasional tampak cukup menyentak perhatian para elite terhadap pulaupulau di perbatasan yang selama ini terabaikan. Mengutip keterangan para anggota DPR, sebagaimana diberitakan pers, salah satunya adalah Pulau Miangas (berbatasan dengan Filipina). Khusus berkaitan dengan status kepemilikan Pulau Miangas, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan: 1. Pulau Miangas adalah salah satu pulau kecil di gugusan Kepulauan Talaud yang sejak zaman dulu dalam tradisi masyarakat setempat dianggap sebagai bagian integral dari wilayah kepulauan di Sulawesi Utara, yakni Kepulauan Sangihe dan Talaud. Di Sangihe Talaud, pulau yang bersentuhan langsung dengan wilayah negara tetangga, Filipina, bukan hanya Miangas, tapi ada beberapa pulau lain, yang termasuk dalam wilayah Kepulauan Kawio, Marore, Kawaluso. Namun, karena posisi geografisnya, Miangas dijadikan tapal batas terutara dari wilayah Kepulauan Sangihe Talaud, yang mencakup sejumlah pulau dari Miangas hingga Biaro. 2. Miangas bukan pulau kosong, tapi berpenghuni bahkan berstatus kecamatan di Kabupaten Talaud (dulu Kabupaten Sangihe Talaud), Sulawesi Utara. Dengan demikian, pulau tersebut secara administratif sudah berada dalam penguasaan efektif pemerintah Indonesia. 3. Miangas memang pernah menjadi sengketa antara Indonesia dan Filipina. Namun sengketa tersebut sudah berakhir, yakni dengan penetapan status Miangas sebagai bagian RI melalui Mahkamah Internasional. Keputusan tersebut didasarkan pada kenyataan adanya penguasaan efektif Kerajaan Pulau-Pulau Talaud atas Pulau Miangas di masa lampau, serta faktor kesamaan tradisi, bahasa, dan asal-usul penduduk Miangas dengan penduduk Kepulauan Talaud

pada umumnya (dari aspek sosiokultural, penduduk Miangas lebih dikenal sebagai orang Talaud) meski dalam aspek ekonomi Miangas lebih dekat dengan Filipina. 4. Dalam literatur, Pulau Miangas dikenal dengan tiga nama, yakni Las Palmas (Pulau Kelapa), Miangas, dan Tinonda. Sebutan Las Palmas berasal dari bangsa Eropa dan memasyarakat di Filipina. Sedangkan Miangas adalah nama asli pulau tersebut, yang secara tradisional dipakai oleh masyarakat Talaud. Tinonda adalah sebutan tradisional untuk penduduk yang menetap di Pulau Miangas. 5. Penguasaan efektif Indonesia atas Miangas telah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda, bahkan menjadi petunjuk batas wilayah Kerajaan Kepulauan Talaud yang mencakup wilayah dari Miangas hingga Napombalu. 6. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, Miangas adalah salah satu patokan penentuan batas perairan Indonesia. Dengan demikian, dari aspek hukum Indonesia, status Pulau Miangas sudah sangat jelas. Namun Indonesia dan Filipina seyogianya segera menyelesaikan masalah batas landas kontinen yang hingga kini belum juga tuntas. 7. Untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI, pembangunan Pulau Miangas memang perlu perhatian serius. Namun pembangunan tersebut hanya bermakna positif bila bersifat integratif dengan wilayah sekitarnya, yakni dikaitkan dengan Kepulauan Kawio, Marore, Kawaluso, serta dengan Kecamatan Nanusa, Essang, Beo, yang berdekatan dengan pulau tersebut.

B. Keputusan Mahkamah Internasional : Bosnia vs. Serbia

Keputusan bersejarah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) terhadap genosida atau pembunuhan secara massal dalam perkara Bosnia-Herzegovina melawan Serbia-Montenegro merupakan suatu contoh bahwa keputusan yang bijaksana tidak selalu menjadi putusan yang baik. Inilah pertama kalinya negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mencoba untuk mengajukan perkara genosida kepada ICJ. Namun ICJ nampaknya telah menghilangkan satu-satunya kesempatan yang masih tersisa bagi pemegang kekuasaan yang sah, sejak kematian Slobodan Milosevic yang secara tidak langsung berakibat dengan

dihapuskannya Mahkamah Kejahatan Perang di Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia/ICTY) yang berkemungkinan untuk meminta

pertanggungjawaban terhadap dirinya. Keputusan mahkamah yang menjelaskan bahwa meskipun apa yang terjadi pada tahun 1995 di Srebenica memang merupakan tindakan dari genosida namun negara Serbia tidaklah secara langsung mempunyai keterlibatan terhadap tindakan tersebut, merupkan keputusan yang diharapkan dapat diterima oleh masing-masing pihak. Putusan yang seakan-akan bersifat kompromi ini tidaklah mampu berbuat banyak, akan tetapi justru menyalakan api lama di tengah-tengah etnik Balkan yang rentan akan konflik. Keputusan tersebut menimbulkan berbagai isyu besar. Genosida dikenal secara luas sebagai kejahatan internasional luar biasa dan seiring dengan meningkatnya

perkembangan dunia, setiap usaha terjadinya hal tersebut sangatlah penting untuk dijadikan perhatian. Berbagai pengamat berpendapat bahwa pemerintah Serbia pada saat ini tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Terdapat juga pendapat yang mencoba untuk

menggambarkan perbedaan antara pemerintah dan negara. Bagaimanapun juga, sifat yang luas biasa dan kejam dari genosida membawa perintah secara moril kepada masyarakat internasional maupun nasional untuk membawa pelaku kejahatan pada posisinya. Tetapi, kesulitan untuk menjalankan maksud utama guna meniadakan kelompok yang dilindungi secara khusus berarti bahwa keputusan seperti halnya dikeluarkan oleh ICJ masihlah jauh dari harapan. Menurut Alexander Solzhenistan, hal ini membuktikan bahwa pengadilan mungkin bukanlah instrument terbaik untuk mencapai rekonsiliasi dalam politik internasional. Jika pemerintahan berkuasa saat ini, Perdana Menteri Vladimir Kostunica, cukup serius

mengenai kurangnya keterlibatan dalam pemberantasan sistematis terhadap golongan minoritas pada masa lalu, maka jejak rekam mereka semasa konflik seharusnya merefleksikan usaha adanya rehabilitasi dan reintegrasi. Pengalaman dari Eropa Barat setelah Perang Dunia II merupakan suatu bukti bahwa bangsa yang terbagi-bagi perlu dipertemukan kembali dalam tingkatan personal. Apa yang diperlukan adalah naratif yang sama sebagaimana dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan membawa cerita-cerita masa lalu dari mereka yang menderita. Bersama dengan rencana untuk reintegrasi di mana termasuk dengan kompensasi tempat tinggal dan moneter untuk para pelarian di pengasingan, hal tersebut mungkin merupakan jalan terbaik untuk meyakinkan bukan hanya terciptanya

perdamaian, tetapi juga menghilangkan rasa trauma masa lalu.

C. Putusan Mahkamah Internasional: AS Langgar Hak Narapidana Meksiko

Washington-Amerika Serikat (AS) mengaku akan mempelajari terlebih dahulu keputusan Mahkamah Pengadilan Internasional, yang mengharuskannya meninjau kembali vonis mati atas 51 narapidana asal Meksiko. Kami akan mempelajarinya. Ini merupakan putusan yang sangat kompleks, kata Juru Bicara Gedung Putih, Scott McClellan, di washington, Kamis (1/4) waktu setempat. Mahkamah Pengadilan Internasional dalam sidang Rabu (31/3) lalu menyatakan bahwa Amerika Serikat (AS) telah melanggar hak 51 warga Meksiko yang divonis hukuman mati. Selanjutnya pihak berwenang AS diperintahkan agar kasus para terpidana mati tersebut ditinjau kembali.

Demikian putusan pengadilan yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Den Haag, Belanda, tersebut dalam menanggapi tuntutan yang diajukan Meksiko bahwa hak para warga mereka, yang dipidana dalam kasus pembunuhan, untuk mendapat bantuan hukum dari pemerintah tidak boleh dihalangi pihak berwenang di AS. AS harus meninjau keputusan dan hukuman yang diberikan, kata ketua dewan hakim, Shi Jiuyong. Dia mengatakan bahwa peninjauan kembali tersebut dapat dilakukan berdasarkan proses banding normal dalam sistem pengadilan di AS.

Namun McClellan mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat langsung melaksanakan keputusan tersebut karena para narapidana diadili di beberapa pengadilan yang tersebar di beberapa negara bagian yang memiliki otonomi hukum. Permohonan Banding

Mahkamah memutuskan agar pihak berwenang di AS harus menerima permohonan banding dari tiga narapidana asal Meksiko yang yang telah divonis hukuman mati. Para pejabat Meksiko memuji putusan mahkamah tersebut sebagai kemenangan hukum internasional. Mereka yakin bahwa AS akan mematuhi putusan mahkamah tersebut. Arturo Dajer, penasihat hukum Departemen Luar Negeri Meksiko, mengatakan bahwa putusan tersebut merupakan perangkat hukum yang penting yang menentukan masa depan narapidana asal Meksiko di AS.

Departemen Kehakiman AS sampai belum memberikan tanggapan. Namun Duta Besar AS untuk Belanda, Clifford Sobel, mengatakan bahwa dia turut gembira dengan beberapa bagian dari putusan tersebut.

Menurut Sobel pemerintahnya akan mempertimbangkan putusan tersebut berdasarkan wewenang pemerintah federal kepada negara bagian yang memroses kasus yang

melibatkan

warga

Meksiko.

Putusan mahkamah tersebut bersifat mengikat, mutlak, dan tidak dapat diajukan banding. Selama ini putusan dari mahkamah tersebut jarang diabaikan. Bila salah satu pihak yang bersangkutan tidak mematuhi putusan tersebut maka dapat diadukan ke PBB. Putusan tersebut diambil berdasarkan Konvensi Wina 1963 yang menjamin orang yang dituduh melakukan tindak kriminal serius di suatu negara asing memiliki hak untuk menghubungi pemerintahnya untuk meminta bantuan dan yang bersangkutan patut diberitahu hak hukumnya oleh pihak yang menahan.

Pihak berwenang di AS dianggap lalai memberi tahu hak hukum tersebut bagi 51 narapidana asal Meksiko. Namun, penasihat hukum AS, William Taft, berargumen bahwa Meksiko tidak berhak mencampuri sistem pengadilan negaranya berkaitan hak hukum 51 narapidana tersebut.

Anda mungkin juga menyukai