Anda di halaman 1dari 9

Nama : Tri Rahmat

NIM : 217011040
Tugas : Hukum Perjanjian
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum

Soal :

Pemerintah Kota Medan membangun proyek senilai 1 M. Dalam proses tender telah

terjadi dengan baik dan PT. A terpilh menjadi pemenang tender untuk melaksanakan kontrak

pembangunan bangunan dengan masa pembangunan 2 tahun. Dalam proses pembangunan

terjadi perubahan kebijakan pemerintah dimana terjadi realokasi anggaran termasuk realokasi

dana pembangunan menjadi berkurang dan juga terjadi perubahan harga bahan-bahan

bangunan di lapangan akibat adanya kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah terhadap bahan-

bahan material yang mempengaruhi bahan-bahan material di lapangan. Oleh karena itu PT. A

hanya dapat melaksanakan pembangunan 75%.

1. Apakah PT A telah melakukan wanprestasi?

Penulis berasumsi bahwa perjanjian antara Pemerintah Kota Medan dan PT. A

merupakan bagian hubungan hukum dalam ranah kontrak jasa konstruksi. Dalam Pasal 1

angka 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa :

“Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur


hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi”1
Kontrak Kerja Konstruksi merupakan perjanjian tidak bernama karena tidak diatur

dalam BW. Pengaturan dalam BW hanya menjangkau Perjanjian Pemborongan sebagaimana

diatur dalam Bab VII A Buku III BW. Sebagaimana perjanjian pada umumnya, kontrak kerja

konstruksi harus memenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW,

yaitu:

1
Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi.

1
1) Kesepakatan para pihak

2) Kecakapan para pihak

3) Adanya objek tertentu

4) Kausa yang halal2

Dalam Kontrak Konstruksi masing-masing pihak yaitu Pengguna jasa atau sering dikenal

dengan istilah bouwheer dan Penyedia Jasa atau sering dikenal dengan istilah kontraktor,

masing-masing para pihak memiliki hak dan kewajiban yang dituangkan dalam kontrak.

Dari uraian studi kasus diatas penulis berasumsi bahwa bentuk kontrak kerja konstruksi

antara Pemerintah Kota Medan dan PT. A jika ditinjau dari pembagian tugasnya maka

dikategorikan sebagai kontrak kerja konstruksi bentuk konvensional.

Kontrak kerja kontruksi bentuk Konvensional merupakan kontrak tertua yang dikenal

di Indonesia dan masih digunakan sampai saat ini. Dalam kontrak ini terdapat pembagian

tugas yang sederhana, yaitu Pengguna Jasa menugaskan Penyedia jasa untuk melaksanakan

suatu pekerjaan yang sudah dibuat direncananya oleh pihak lain.3

Jika ditinjau kaitannya dengan biaya pekerjaan, maka kontrak kerja konstruksi antara

Pemerintah Kota Medan dan PT. A adalah bentuk kontrak kerja konstruksi Fixed Lump Sum

Price. Kontrak lump sum sendiri lebih dikenal dengan karakternya yang pasti yang harus

dibayar oleh pengguna jasa kepada penyedia jasa untuk pelaksanaan seluruh pekerjaan.

Penyedia jasa memikul risiko untuk dapat melaksanakan seluruh pekerjaan dengan jumlah

biaya tercantum dalam kontrak.4 Pada jenis kontrak lump sum ini penyedia jasa harus dapat

mengantisipasi risiko kenaikan harga dengan menambahkan sejumlah biaya dalam kontrak,

2
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3
Yushar, Tanggung Gugat Kontraktor dalam Kegagalan Bangunan, (Jurnal Media Luris, Vol. 2, No. 3, Oktober
2019), hal. 415.
4
Yushar, Tanggung Gugat Kontraktor dalam Kegagalan Bangunan, hal. 416.

2
dengan arti penyedia jasa mengajukan penawaran dengan mempertimbangkan kondisi

terburuk yang mungkin memperngaruhi biaya pelaksanaan proyek.

Yunita Alfiana Messah dalam penelitiaanya menyebutkan bahwa terlambatanya

pembangunan proyek dapat disebabkan oleh :

1) Keterlambatan penyediaan material Dalam pelaksanaan proyek, sering terjadi adanya

beberapa material yang disiapkan oleh pemilik.Masalah akan terjadi apabila pemilik

terlambat menyediakan material kepada kontraktor dari waktu yang telah

dijadwalkan. Proyek tidak dapat dilanjutkan, produktivitas pekerja rendah karena

menganggur, yang mengakibatkan keterlambatan proyek.

2) Dana dari pemilik yang tidak mencukupi sehingga menyebabkan Proyek dapat

berhenti dan mengalami keterlambatan karena dana dari pemilik proyek yang tidak

cukup. 5

Penulis berpendapat bahawa PT. A tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan

wanprestasi dikarenakan ada dua faktor force majeure dalam pelaksanaan proyek tersebut

yaitu:

- Adanya realokasi anggaran

- Kenaikan harga bahan material

Terjadinya realokasi anggaran dan perubahan harga bahan material merupakan risiko

dari kontrak konstruksi yang bersifat lump sum. Peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai

peristiwa force majeure yang mengakibatkan pembangunan proyek menjadi terhambat

bahkan terlambat tidak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak.

5
Yunita Alfiana Messah, dkk, Kajian Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstuksi Gedung Di Kota
Kupang, (Jurnal Teknik Sipil, Vol. II, No. 2, September 2013), hal. 161.

3
Menurut Prof. Subekti debitur diperkenankan untuk membuat pembelaan atas

kelalaiannya untuk memenuhi prestasi dikarenakan apabila terjadinya keadaan memaksa.

Keadaan memaksa adalah pembelaan debitur bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan

itu disebabkan oleh hal – hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat

berbuat apa – apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. 6 Unsur –

unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa menurut Abdulkadir Muhammad adalah :

1) Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur

untuk berprestasi. Hal ini bersifat tetap atau sementara.

2) Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat

perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena kesalahan pihak –

pihak, khususnya debitur.7

Faktor force majeure yang terjadi pada proyek konstruksi yang dilaksanakan oleh PT.

A dapat digolongkan sebagai keadaan kahar yaitu gangguan industri. Sebagaimana ketentuan

dalam padal 91 ayat (2) huruf f yang berbunyi :

“Yang dapat digolongkan sebagai Keadaan Kahar dalam Kontrak Pengadaan


Barang/Jasa meliputi gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui
keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri teknis terkait”8
2. Apakah perbuatan PT. A atau Petugas yang memberikan tugas pada PT. A telah

merugikan keuangan Negara, karena uang pembangunan telah habis dan

bangunan belum selesai?

Penunjukan suatu kontraktor untuk pembangunan suatu proyek tentunya memiliki

proses yang panjang dan cermat. Dalam proses pemilihannya harus mengedapankan prinsip-

prinsip transparan, terbuka, bersaing dan akuntble.9 Begitur juga dalam pelaksanaan
6
Subekti, Hukum Perjannjian, (Jakarta : PT Internusa, 2004), hal. 55.
7
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), hal 28
8
Pasal 91 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
9
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010.

4
pengadaannya harus memenuhi etika bekerja secara professional dan mandiri serta menerima

dan bertanggungjawab atas segala keputusan yang telah ditetapan10

Sri Soedewi Masjchun Sofwan yang dikutip oleh aryuna sinaga dalam penelitiannya

menyatakan bahwa harus ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu

kontraktor untuk lulus prakulfikasi dalam pemilihan kontraktor yang akan bertanggungjawab

dalam pembangunan suatu proyek yaitu :

1) Adanya akte pendirian.

2) Adanya surat izin usaha yang masih berlaku.

3) Mempunyai Nomor Pokok WajibPajak (NPWP).

4) Mempunyai alamat yang sah, jelas dan nyata.

5) Mempunyai referensi bank.

6) Kemampuan modal usaha.

7) Berada dalam keadaan mampu dan tidak dinyatakan pailit.

8) Mempunyai referensi dari adanya pekerjaan untuk bidang usaha yang di

prakualifikasikan.

9) Pimpinan perusahaan tidak berstatus Pegawai Negeri.11

Apabila dalam penunjukan PT. A selaku kontrakstor telah sesuai dengan prosedur yang

berlaku serta dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pemilihan telah lengkap

dan dokumen-dokumennya sah secara legal. Maka PT. A tidak dapat dikatakan telah

merugikan keuangan Negara.

10
Pasal 6 huruf b dan huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010.
11
Aryuda Sinaga, dkk, Pertanggungjawaban Kontraktor Terhadap Sebuah Kontrak Kerja Yang Telah Melewati
Batas Waktu Kontrak, (Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan Vol. 5 N0. 4 November-Desember 2019), hal.
206.

5
3. Apakah PT. A dapat dimintai pertanggungjawaban untuk menyelesaikan

proyek serta Langkah apa yang harus dilakukan oleh para pihak agar

perjanjian pembangiunan kontrak ini dapat selesai?

Kraiem dan Dickman menyatakan, keterlambatan dapat dibagi menjadi 3 jenis utama,

yaitu:

1. Keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (Non Excusable Delays) yaitu

keterlambatan yang diakibatkan oleh tindakan, kelalaian, atau kesalahan kontraktor.

2. Keterlambatan yang dapat dimaafkan (Excusable Delays) adalah keterlambatan yang

disebabkan oleh kejadian- kejadian diluar kendali baik pemilik maupun kontraktor.

Pada kejadian ini, kontraktor mendapatkan kompensasi berupa perpanjangan waktu

saja.

3. Keterlambatan yang layak mendapat ganti rugi (Compensable Delays) adalah

keterlambatan yang diakibatkan tindakan, kelalain atau kesalahan pemilik. Pada

kejadian ini, kontraktor biasanya mendapatkan kompensasi berupa perpanjangan

waktu dan tambahan biaya operasional yang perlu selama keterlambatan pelaksanaan

tersebut.12

Keterlambatan pembangunan proyek pada kontrak kerja konstruksi antara Pemerintah

Kota Medan dan PT. A disebabkan kejadian diluar kendali dari Pemerintah Kota Medan

selaku pemilik dana dan PT. A selaku kontraktor. Kejadian diluar kendali tersebut dapat

dikatakan sebagai peristiwa force majeure sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1244 dan

1245 KUH Perdata.

Force majeure atau disebut juga keadaan kahar/keadaan memaksa/overmacht sangat

erat hubungannya dengan masalah ganti rugi dari suatu kontrak, karena force majeure

12
Yunita Alfiana Messah, dkk, Kajian Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstuksi, hal. 158.

6
membawa konsekuensi hukum bukan saja hilangnya atau tertundanya kewajiban-kewajiban

untuk melaksanakan prestasi yang terbit dari suatu kontrak melainkan juga suatu force

majeure dapat juga membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat tidak

terlaksananya kontrak yang bersangkutan13.

Force majeure atau keadaan memaksa/kahar dibedakan menjadi kahar yang bersifat

temporer. Force majeure yang bersifat temporer mensyaratkan kejadian yang berlangsung

untuk beberapa saat saja. Misalnya banjir, demo, pemadaman listrik. Maka setelah peristiwa

kahar terjadi, pelaksanaan kontrak dapat kembali dilanjutkan. Lain halnya dengan kahar

permanen yang sifat kejadiannya paten dan berlangsung dalam periode yang lama, seperti

tsunami, gempa bumi.

Apabila terjadinya force majeure maka penyedia harus memberitahukan terlebih dahulu

kepada pihak Pekerjaan Konstruksi (PPK) dalam waktu paling lambat 14 (Empat Belas) hari

sejak terjadinya keadaan kahar lapangan, yang dalam hal ini dilakukan dengan cara

menyertakan pernyataan keadaan kahar dari pejabat yang berwenang, sesuai ketentuan

Peraturan Perundang-Undangan.14

Jenis force majeure yang terjadi pada kontrak kerja konstruksi antara Pemerintah Kota

Medan dan PT. A adalah force majeure yang bersifat sementara. Untuk peristiwa force

majeure yang bersifat temporer, maka ada dua opsi yang dapat dilakukan oleh para pihak :

1. perjanjian kontrak ini akan dihentikan sementara waktu hingga keadaan kahar

berakhir, namun dengan adanya suatu ketentuan yang telah ditentukan, dan bagi

penyedia berhak untuk menerima pembayaran sesuai dengan prestasi atau kemajuan

pelaksanaan pekerjaan yang telah dicapai, atau


13
Sahrudin, dkk, Tanggung Jawab Atas Risiko Musnahnya Objek Pengadaan Barang/Jasa Sebelum Serah
Terima Pekerjaan Sebagai Akibat Dari Terjadinya Force Majeure (Jurnal Risalah Kenotariatan Volume 1 No.
2, Desember 2020), hal. 99.
14
Aryuda Sinaga, dkk, Pertanggungjawaban Kontraktor Terhadap Sebuah Kontrak Kerja, hal. 208.

7
2. PPK/Bowher dapat memerintahkan secara terulis kepada penyedia untuk meneruskan

pekerjaannya sepadat mungkin, maka dalam hal ini penyedia berhak untuk menerima

pembayaran sebagaimana yang telah ditentukan di dalam perjanjian kontrak dan

mendapat penggantian biaya yang wajar sesuai dengan yang telah dikeluarkan untuk

bekerja dalam situasi demikian. Dalam penggantian terhadap biaya tersebut, maka

dalam hal ini harus berdasarkan atas suatu ketentuan yang telah di perjanjikan di

dalam addendum perjanjian kontrak.

Kedua opsi diatas tentunya harus dituangkan dalam addendum kontrak sebagaimana

ketentuan Pasal 91 ayat (6) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang berbunyi :

“Setelah terjadinya Keadaan Kahar, para pihak dapat melakukan kesepakatan, yang
dituangkan dalam perubahan Kontrak”15

15
Pasal 91 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010

8
Daftar Pustaka

Buku :

Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti)

Subekti, Hukum Perjannjian, (Jakarta : PT Internusa, 2004)

Peraturan Perundang-undangan :

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan


Barang/Jasa Pemerintah

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jurnal :

Alfiana Messah, Yunita, dkk, Kajian Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek


Konstuksi Gedung Di Kota Kupang, (Jurnal Teknik Sipil, Vol. II, No. 2, September
2013).

Sahrudin, dkk, Tanggung Jawab Atas Risiko Musnahnya Objek Pengadaan Barang/Jasa
Sebelum Serah Terima Pekerjaan Sebagai Akibat Dari Terjadinya Force Majeure
(Jurnal Risalah Kenotariatan Volume 1 No. 2, Desember 2020).

Sinaga, Aryuda, dkk, Pertanggungjawaban Kontraktor Terhadap Sebuah Kontrak Kerja


Yang Telah Melewati Batas Waktu Kontrak, (Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan
Vol. 5 N0. 4 November-Desember 2019)

Yushar, Tanggung Gugat Kontraktor dalam Kegagalan Bangunan, (Jurnal Media Luris, Vol.
2, No. 3, Oktober 2019)

Anda mungkin juga menyukai