Anda di halaman 1dari 6

Kegagalan bangunan diindikasikan dengan dampak negatif dari lingkungan politik dan sosial.

Lingkungan tercemar juga merupakan dasar dari kegagalan bangunan . Bukan hanya saat pelaksanaan konstruksi, kesalahan desain memberikan kontribusi terhadap kegagalan bangunan. Bangunan yang mengalami gagal fungsi sebelum akhir umur pemakaiannya yang direncanakan termasuk dalam kegagalan bangunan. Bangunan yang berefek jelek terhadap lingkungan sekitarnyanya terjadi karenakesalahan dalam konsep desain,

walau pelaksanaannya benar, termasuk dalam kegagalan bangunan juga. Pemerintah sebenarnya sudah memperbaharui sangksi pidana di dalam pasal 43 Undangundang Jasa konstruksi (UUJK) No. 18 Tahun 1999. Perencana (Konsultan, Pelaksana (kontraktor) dan pengawas (inspektur) masuk dalam jeratan hukum apabila terjadi gagal bangunan. Pada UU tersebut disebutkan bahwa Barang siapa yang yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan, dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak, Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan atau menyebabkan timbulanya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak. Namun ,sampai sekarang belum tegas penegakan sangsi dalam kegagalan bangunan. Hingga dari sisi pihak yang terkait langsung dengan pekerjaan konstruksi perlu sekali ditegakkan kode etik secara benar. Karena pada dasarnya sudah kelemahan manusia umumnya yang cenderung berprilaku ,demi mendapat keuntungan pribadi. Dengan prosedur dan kode etik kelemahan mental tersebut dapat diantisipasi. Sebuah pemikiran yang selalu di dengungkan dan menjadi acara tetap dalam pembekalan untuk para calon anggota ATAKI.

Marilah dari kejadian yang banyak terjadi akhir-akhir ini dapat kita jadikan titik balik untuk memperbaiki kelemahan yang masih ada. Walaupun Kita tidak mempunyai pedoman lengkap perencanaan, pedoman pengawasan dan konsep design reviewuntuk diterapkan pada proses konstruksi. Ataupun biasa saja kegagalan konstruksi terjadi akibat material bangunan tetapi kontrol kualitas bahan bangunan setidaknya sudah menjadi tanggung jawab dari pelaku konstruksi hingga terciptanya suatu standarisasi industri berdasarkan kode etik. Apa itu Kegagalan Konstruksi? Undang - Undang 18 / 1999 tentang Jasa Konstruksi pasal 22 ayat g mengamanatkan bahwa ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi pasal 31 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat dari kesalahan dari pengguna jasa atau penyedia jasa Selanjutnya dalam PP 29/2000 pasal 23 ayat 1 (g) lebih menyelaskan tentang cidera janjidalam pekerjaan konstruksi, sebagai berikut: 1) Bentuk cidera janji : a. Penyedia Jasa Tidak menyelesaikan tugas; Tidak memenuhi mutu; Tidak memenuhi kuantitas; Tidak menyerahkan hasil pekerjaan. b. Pengguna Jasa Terlambat membayar; Tidak membayar; Terlambat menyerahkan sarana pelaksanaan pekerjaan. 2) Dalam hal cidera janji yang dilakukan oleh penyedia jasa atau pengguna jasa, pihak yang dirugikan berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi. Dari peraturan perundangan diatas, maka lingkup kegagalan konstruksi berada pada periode kontrak, tepatnya terhitung sejak kontrak ditanda tangani sampai dengan serah terima pekerjaan untuk terakhir/kedua kalinya (FHO), karena dalam periode kontrak ini masih berlangsung perikatan hukum antara pengguna jasa dengan penyedia jasa.

Lebih lanjut dalam penjelasan UU 18/1999 pasal 22 Ayat (2) huruf g bahwa cidera janji adalah suatu keadaan apabila salah satu pihak dalam kontrak kerja konstruksi : 1) Tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; dan/atau 2) Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; dan/atau 3) Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat; dan/atau 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Dengan demikian jelas kiranya bahwa kegagalan konstruksi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi itu ranahnya cidera janji atau wan-prestasi tentunya jika memenuhi unsur-unsur tersebut diatas, oleh karena itu penyelesaiannya diatur dalam UU 18/1999 pasal 22 ayat g dan PP 29/2000 pasal 23 ayat 1 (g) butir 2) yaitu pihak yang dirugikan berhak menerima kompensasi, dst. sedangkan kalau bicara hukum maka wilayah hukumnya perdata. Kegagalan bangunan pekerjaan konstruksi.... Sebelumnya harus dipahami benar pengertian tentang kegagalan bangunan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi karena diyakini masih banyak pihak yang rancu dalam memahami kegagalan bangunan maupun kegagalan konstruksi, sebagaimana dinyatakan dalam UU 18/1999 pasal 1 ayat 6 bahwa yang dimaksud dengan kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan yang setelah diserah-terimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia dan / atau pengguna jasa, sedangkan pengertian menurut PP 29/2000 pasal 34 mendefinisikan kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia dan / atau Pengguna setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi (FHO, Final Hand Over) Jelas bahwa kegagalan bangunan ditinjau dari sisi waktu periodenya setelah pekerjaan konstruksi diserahterimakan untuk terakhir kalinya (FHO), bila ditinjau dari substansi pekerjaan maka kegagalan bangunan telah terjadi ketidak-fungsian baik sebagian atau seluruhnya atas hasil pekerjaan konstruksi dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja; ringkasnya waktunya setelah FHO, karena tidak berfungsinya hasil pekerjaan konstruksi.

Tentang waktu, itupun dibatasi oleh pasal 25 ayat (2) UU 18/1999 yaitu selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau selama-lamanya sesuai dengan umur rencana konstruksi terhitung sejak pekerjaan konstruksi diserah terimakan untuk terakhir kalinya (FHO) dan ditetapkan oleh Pihak Ketiga selaku Penilai Ahli. Sedangkan Penilai Ahli adalah seseorang yang memiliki pengalaman di bidang penyelenggaraan konstruksi, memiliki sertifikat keahlian penilai ahli, bersifat independen dan selalu menerapkan moral dan etika profesi penilai ahli serta mampu memberikan penilaian secara obyektif dan profesional dalam hal kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan. Bahwa hasil penilaian Penilai Ahli ini yang kemudian digunakan sebagai pedoman dalam pemberian sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kegagalan bangunan tersebut, karena dalam UU 18/1999 pasal 43 dinyatakan uraian tentang sanksi bagi para pihak penyelenggara pekerjaan konstruksi adalah penyedia jasa (perencana, pelaksana dan pengawas) maupun pengguna jasa. Penilai Ahli harus memiliki sertifikat keahlian dan terdaftar pada Lembaga (LPJK), sebagaimana diamanatkan dalam pasal 37 PP 29/2000, sedang pasal 36 PP 29/2000 menyatakan bahwa : 1) Kegagalan Bangunan dinilai satu atau lebih Penilai Ahli yang profesional & kompeten di bidangnya, bersifat independen, obyektif dalam waktu maksimum 1 bulan; 2) Penilai Ahli dipilih dan disepakati bersama oleh pengguna danpenyedia jasa. Adapun tugas seorang Penilai Ahli adalah : (pasal 38 PP 29/2000) 1) Menetapkan sebab-sebab terjadinya Kegagalan Bangunan; 2) Menetapkan tidak berfungsinya sebagian/keseluruhan bangunan; 3) Menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan serta tingkat dan sifat kesalahan; 4) Menetapkan besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak-pihak yang melalukan kesalahan; 5) Menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian. Berdasarkan uraian diatas, diharapkan para pemangku kepentingan (stake holder) menjadi lebih gamblang dan memahami makna secara utuh ketentuan perundang- undangan tentang kegagalan bangunan termasuk sanksi-sanksinya yang melekat pada masing-masing pelaku penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta siapa-siapa saja yang terlibat dalam hal terjadi kegagalan bangunan pekerjaan konstruksi termasuk penilai ahli dibidangnya

Fakta di lapangan ................ Kejadian, kasus dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sering menyimpang dari aturan yang semestinya, terhadap kasus penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang diangkat ke ranah hukum, sangat mungkin disebabkan karena kurangnya pemahaman tentang periode terjadinya atau substansi atas kejadian kegagalan pada pekerjaan konstruksi itu sendiri sehingga sering keliru dalam penerapan hukumnya. Ketika permasalahan penyelenggaraan konstruksi dan jelas-jelas terjadi pada periode kontrak (belum diserah terimakan terakhir, FHO) yang seharusnya diselesaikan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak tetapi faktanya didakwa mendasarkan hukum pidana bahkan sering dikenakan tindak pidana khusus Tipikor; kondisi seperti ini sudah banyak memakan korban. Sebenarnya persoalan ini sudah sering dibahas dalam diskusi atau seminar bahkan tidak kurang pihak Kejaksaan Agung pun telah menerbitkan surat yang ditujukan kepada jajaran dibawahnya para Kepala Kejaksaan Tinggi dengan nomor: B-1237/F/Fd.1/06/2009 tanggal 25 Juni 2009 tentang Penanganan Laporan dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pemerintah masih pada tahap pelelangan, namun kenyataannya kasus-kasus pekerjaan konstruksi semacam itu masih saja terjadi, sepertinya surat Kejagung tersebut tidak dipedulikan. Kasus lain yang tidak kalah menariknya adalah hasil pekerjaan konstruksi yang telah diserahterimakan untuk terakhir kalinya (FHO) selangbeberapa tahun, tanpa ada gejala yang mengarah kegagalan bangunan kemudian dilakukan penelitian / pengujian oleh aparat penegak hukum dan ditemukan kekurangan mutu / kuantitas dan ujung-ujungnya terjadi kerugian negara, kemudian dibidik dengan pasal tindak pidana korupsi ?? Lha kalau itu pekerjaan konstruksinya itu yang berupa infrastruktur publik seperti jalan, jembatan, irigasi atau pekerjaan konstruksi yang sejenis, jika diteliti dan diuji setelah sekian lama pekerjaan konstruksi tersebut dioperasikan pasti ditemukan selisih, walau nilainya kecil dan sekecil apapun nominalnya, menurut kaidah hukum tetap telah terjadi kerugian negara dan ancaman hukum UU Tipikor telah terpenuhi unsurnya ?? Ironinya, jika persoalan hukum pekerjaan konstruksi yang didakwa dengan mendasarkan UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Tipikor didalam proses pengadilan amat sulit terdakwa lepas dari jeratan hukum, walaupun dalam persidangan terungkap dan tidak bisa dibuktikan dakwaannya bahkan tidak terjadi kerugian negara tidak ada (nol), majelis hakim tetap tidak

berani untuk membebaskan terdakwa kasus korupsi karena mereka takut diperiksa oleh atasannya, ini sebuah kenyataan ?? Tulisan ini diturunkan dikandung maksud agar para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi penyedia / pengguna jasa demikian pula institusi penegak hukum yang sering menangani kasus penyelenggaraan konstruksi baik Polri, Kejaksaan dan Pengadilan :

memahami seutuhnya pengertian tentang kegagalan konstruksi / bangunan termasuk penyelenggaraan pekerjaan konstruksi secara umum,

pengguna/penyedia jasa agar lebih mencermati serta melaksanakan hak dan kewajiban masingmasing sesuai kontrak/perjanjian kerja konstruksi, dalam upaya

menghindari kebersinggungan dengan hukum, penyedia jasa agar lebih berhatihati menjalankan usahanya guna memperoleh rasa aman dan nyaman,

perlu belajar seluk beluk hukum tentang usahanya serta menjalin hubungan / konsultasi dengan ahlihukum,

pengguna/penyedia jasa agar selalu meningkatkan dirinya dalam penguasaan pengelolaan proyekkonstruksi yang benar,

pemerintah sebagai Pembina Jasa Konstruksi, agar terus menerus melakukan upaya mengeliminasi kasus-kasus hukum dalam penyelenggaraan konstruksi, utamanya adanya ketidak-harmonisan peraturan/perundang an tentang penyelenggaraan kons

truksi atau setidak-tidaknya mengupayakan penyamaan persepsi diantara para pihak yang terkait.

Anda mungkin juga menyukai