Anda di halaman 1dari 2

NAMA : Helmina

NIM :20041000104

KELAS : B

PR terakhir sebelum UAS:

Apa yang anda pahami tentang klausula kaitannya dengan kontrak kerja konstruksi?

Saat ini, secara faktual terjadi distorsi antara struktur penyedia jasa konstruksi dan struktur
pasar. Secara empiris, struktur penyedia jasa konstruksi sebesar 90% adalah didominasi oleh
perusahaan kecil dan menengah, sedangkan perusahaan besar hanya berjumlah kurang lebih
10%. Sebaliknya, struktur pasar konstruksi menunjukkan bahwa 60% adalah pasar kelas kecil
dan menengah, sedangkan pasar kelas besar adalah 40%. Distorsi terjadi karena 60% pasar
diperebutkan oleh 90% perusahaan. Kondisi ini praktis menyebabkan pelaku usaha
melakukan segala macam cara untuk merebut pasar, termasuk melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN ) dengan pihak pengguna atau pemberi kerja yang memberikan proyek.
Selain KKN, alih-alih cepat mendapatkan dan menyelesaikan proyek, pelaku usaha jasa
konstruksi juga mengabaikan klausul-klausul kontrak konstruksi—yang biasanya—disusun
dan ditawarkan oleh pemberi kerja. Banyak praktisi jasa konstruksi yang memandang kontrak
hanya sebatas pemenuhan administrasi dan panduan transaksi saja. Bahwa dari sudut pemberi
kerja, kontrak hanya digunakan untuk menakut-nakuti (frightening) pihak lawan agar
mematuhi prestasi yang ada. Pandangan itu keliru. Setiap proyek konstruksi, pelaksanaan
pekerjaan dan pembayaran yang dilakukan oleh para pihak —pemberi kerja, kontraktor,
insinyur, dan manajer konstruksi—merupakan suatu hubungan kontraktual, dimana hubungan
hukum dan komersial di antara para pihak tersebut didasarkan oleh dokumen kontrak.
Kontrak jasa konstruksi itu harus memuat klausul-klausul penting seperti lingkup kerja, masa
pertanggungan, hak dan kewajiban, mekanisme pembayaran, serta tanggung jawab apabila
salah satu pihak melakukan wanprestasi. Permasalahan pertanggungjawaban kontraktual
inilah yang menjadi permasalahan dasar tulisan ini dibuat. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 Tentang Jasa Konstruksi (“UU Jasa Konstruksi 2017”) hanya mengatur ketentuan
bahwa Penyedia Jasa (Kontraktor) wajib menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat biaya,
tepat mutu, dan tepat waktu sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Penyedia Jasa yang tidak menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat biaya, tepat mutu,
dan/atau tepat waktu tersebut dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan dalam
Kontrak Kerja Konstruksi. Selain pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pihak
kontraktor tersebut, UU Jasa Konstruksi 2017 juga mengatur pertanggungjawaban yang dapat
diemban oleh pemberi pekerjaan (pengguna jasa) yaitu apabila pemberi pekerjaan yang tidak
menjamin ketersediaan biaya dan tidak melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil
pekerjaan secara tepat jumlah dan tepat waktu, maka pemberi pekerjaan juga dapat dikenai
kerugian sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Namun, UU Jasa
Konstruksi 2007 tidak mengatur mengenai nilai, ukuran, batasan, dan mekanisme ganti
kerugian akibat wanprestasi yang dilakukan kontraktor atau pemberi pekerjaan tersebut atau
akibat dari adanya kegagalan bangunan. Undang-Undang menyerahkannya pengaturan hal
tersebut dalam klausul kontrak kerja konstruksi yang disepakati para pihak. Untuk
mendapatkan kepastian terkait ganti kerugian yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan
dalam suatu kontrak, para pihak seharusnya mengatur hal tersebut dalam kontrak yang
mereka buat. Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, para pihak dapat menentukan nilai
kerugian secara spesifik dalam kontrak yang dikenal dengan klausul liquidated damages.
Namun para pihak dalam kontrak harus menentukan terlebih dahulu dengan
mengkalkulasikan ukuran kerugian yang ditetapkan dalam klausul liquidated damages
tersebut. Lalu apabila tidak terdapat klausul liquidated damages dalam kontrak, peran hakim
di pengadilan sangat dibutuhkan untuk menentukan kerugian dari pelanggaran kontrak
tersebut. Oleh karena itu, bagaimana para pihak dalam kontrak dan hakim menentukan
kerugian dalam kontrak kerja konstruksi? Penulisan artikel ini bertujuan untuk menganalisis
kerugian yang ditetapkan dalam kontrak kerja konstruksi dengan menggunakan pendekatan
analisis ekonomi terhadap hukum.

Permasalahan yang mungkin timbul dalam proses pembangunan atau konstruksi bisa
diantisipasi dengan adanya kontrak kerja yang memuat hak dan kewajiban pengguna jasa dan
penyedia jasa. Berapa pun nilai kontraknya, entah hanya merenovasi dapur atau kamar
mandi, sebaiknya pelaksanaan pekerjaan diperkuat dengan kontrak kerja.

Kontrak kerja konstruksi setidaknya harus mencakup uraian klausul mengenai beberapa hal
berikut ini.

1. Para pihak yang terkait dengan kontrak kerja dan memuat secara jelas identitas para
pihak tersebut.
2. Rumusan pekerjaan yang memuat uraian secara jelas dan rinci mengenai lingkup
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan.
3. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan. Klausul ini memuat tentang jangka
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia
jasa.
4. Tenaga ahli (jika ada). Klausul ini memuat ketentuan tentang jumlah, klasi????kasi,
dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.
5. Hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa. Klausul ini memuat hak kamu
sebagai pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta
kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan. Hak penyedia jasa
diperlukan untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya dalam
melaksanakan pekerjaan konstruksi.
6. Cara pembayaran.
Klausul ini memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan
pembayaran hasil pekerjaan konstruksi. 6. Cidera janji. Klausul ini memuat ketentuan
tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana telah diperjanjikan.
7. Penyelesaian perselisihan.
Klausul ini memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat
adanya ketidaksepakatan.
8. Pemutusan kontrak kerja konstruksi.
Klausul ini memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang
timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak.
9. Keadaan memaksa (force majeure).
Klausula ini memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan
kemampuan para pihak dan bisa menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
10. Kegagalan bangunan.
Klausul ini memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna
jasa atas kegagalan bangunan.

Anda mungkin juga menyukai