Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Konferensi Hukum Laut Internasional

Dari pertentangan antara Portugal, Spanyol, Inggris dan Belanda timbul sebuah teori Mare
Liberum Belanda dan Mare Clausum Inggirs.

1. Mare Liberum
Merupakan teori yang mengemukakan bahwa “laut itu tidak memiliki batas sehingga
tidak dapat dimiliki”.
2. Mare Clausum
Merupakan teori yang mengemukakan bahwa ”bahwa laut dapat dimiliki oleh suatu
negara”.

Kedua pertentangan tersebut dibuktikan oleh sejarah dengan menganalisis ajaran masing-
masing yang kemudian dalam bukunya Grotius yang berjudul De Jure Belli Ac Paris (1625)
mengakui bahwa laut di suatu negara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasasi dari darat.

Oleh karena itu sejak akhir abad ke-19, muncul berbagai organisasi dan lembaga
internasional yang membahas permasalahan diatas. Lembaga tersebut yakni:

1. Institut de Droit Internasional


Resolusi akhir dari lembaga ini menghasilkan:
1) Lebar laut teritorial untuk suatu keperluan tidak perlu sama dengan lebar untuk
keperluan lainnya, misal antara keperluan perikanan dan keperluan netralitas.
2) Ajaran lebar laut teritorial 3 mil.
3) Kedaulatan negara Pantai atas laut wilayah diakui.
4) Teluk sejarah yang diakui secara historis menjadi milik suatu negara.
5) Dalam keadaan perang, masih dapat ditetapkan di luar laut teritorial yang 6 mil
sampai jarak tembakan Meriam yang sesungguhnya di darat.
6) Hak ”hot porsuit” yaitu hak memburu pelanggar hukum di laut territorial yang
melarikan diri ke laut bebas, dan hak lintas damai di wilayah laut.
2. International Law Association (ILA)
Reolusi akhid dari sidang di Brussls (1895) menghasilkan:
1) Prinsip lebar laut teritorial 6 mil diterima.
2) Baseline untuk mulut teluk diterima 6 mil.
3) Hak negara pantai untuk mentapkan wilayahnya sendiri diakui.
4) Selat yang kedua tepinya dipunyai suatu negara diakui milik negara tersebut.
5) Pengakuan hak ”hot porsuit”.
3. Japananese Association of International Law
Menerima lebar laut territorial 3 mil dan panjangnya garis dasar yang diperkenankan
untuk mulut teluk adalah 10 mil.
4. American Insititute of International Law
Mengakui negara pantai mempunyai kedaulatannya diatas laut teritorialnya hingga
dasar laut dan tanah dibawahnya, serta udara diatas laut teritorialnya.
5. Harvard Reasearch
Seluruh kesepakatan diatas diakui.

Secara singkat, seluruh organisasi dan lembaga internasional yang membahas permasalahan
diatas hanya saling menguatkan mengenai ketentuan apa saja yang disepakati dalam
mengclaim sebuah laut dalam negara.

Kemudian, dalam keberjalanannya muncul konferensi-konferensi untuk mengkodifikasi


hukum laut internasional ini. Beberapa konferensi tersebut diantaranya:

A. KONFERENSI KODIFIKASI HUKUM INTERNASIONAL DEN HAAG 1930


Ketidakjelasan mengenai lebar laut teritorial menjadi perhatian khusus pada
awal abad ke-20. Hal ini karena pantai di suatu negara muali meninggalkan lebar laut
3 mil, sehingga setiap negara berbeda-beda dengan ada yang menggunakan 4 mil dan
9 mil laut. Konferensi ini dihadiri oleh 47 negara. Adapun bidang hukum internasional
yang dikodifikasi antara lain 1) kewenangan kewarganegaraan, 2) perairan teritorial,
3) tanggungjawab negara terhadap kerugian yang diderita perorangan ataupun harta
kekayaan orang asing yang ada di wilayah negara lain.
Namun Konferensi Den Haag 1930 ini tidak menghasilkan suatu konvensi
kecuali hanya beberapa rancangan pasal yang disetujui sementara. Hal ini karena
perbedaan pendapat peserta konferensi mengenai batas luar laut teritorial, seperti ada
yang menginginkan 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), serta negara Nordic selebar
4 mil. Kemudian muncul konferensi lain ditahun yang berbeda.
B. KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA 1958
Kegagalan dalam Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag
memunculkan konferensi ini karena pada konferensi sebelumnya menyisakan
ketidakseragaman lebar laut territorial dan klaim sepihak lebar laut teritorial.
Beberapa pencapaian dari konferensi ini adalah:
1) Hak atas suatu zona di luar laut teritorialnya dengan menerapkan hukum
nasionalnya terhadap tindak pidana yang terjadi dalam wilayahnya untuk
mengadili si pelaku.
2) Convention on the Teritorial Sea and Contigous Zone (Konverensi tentang
Laut Teritorial dan Zona Tambahan seperti no 1) mulai berlaku pada tanggal
10 September 1964.
3) Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas) mulai
diberlakukan pada tanggal 30 September 1964.
4) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High
Seas (Konverensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber Daya Hayati
Laut Lepas) mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966.
5) Convention on the Continential Shelf (Konvensi tentang Landas Kontinen)
mulai berlaku pada tanggal 10 Juni 1964.
C. KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA 1960
Konferensi ini ada karena merasa bahwa dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958
tidak dapat menetapkan tetapnya lebar laut wilayah karena perbedaan pendapat pada
negara-negara maritim dan negara non-maritim. Sehingga dalam konferensi ini
dihadiri sebanyak 88 negara termasuk Indonesia untuk membicarakan mengenai lebar
laut wilayah dan zona tambahan perikanan. Namun kegagalanpun dialami dalam
Konferensi ini untuk menetapkan laut teritorial. Hal itu terjadi juga karena
ketidakpastian yang mengarahkan pada sengketa wilayah laut seperti kasus Landas
Kontinen antara China Selatan yang memperebutkan Kepulauan Paracel dan Spartley.
D. KONFERENSI HUKUM LAUT 1982
Seolah belajar dari seluruh permasalahan diatas dan dengan makin matangnya hasil
pembahasan naskah Konvensi, maka Majelis Umum PBB dalam sidang tahun 1973
mengesahkan Resolusi Nomor 3067. Konferensi ini dilakukan silih berganti di New
York dan Jenewa hingga berakhir penyusunan final yang ditandatangani di Montego
Bay, Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982. Konferensi ini merupakan puncak dari
PBB yang menghasilkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau dikenal dengan
UNITED NATION CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA yang kemudian
disebut UNCLOS 1982.

Anda mungkin juga menyukai