dari penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum
internasional. Pertimbangan mahkamah internasional adalah pertama, sudah menjadi hukum
kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17 daerah tersebut milik Norwegia. Yang kedua, bahwa
skaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan territorial dengan daratan Noorwegia,
sehingga secara yurisdiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Yang ketiga, bahwa
wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk local Norwegia, dimana wilayah
yang kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber matapencaharian bagi nelayannelayan Norwegia, sejak abad ke 17. Yang keempat adalah melihat kondisi geografis dari
Norwegia sendiri yang memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantaipantainya yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan. Pertimbanganpertimbangan tersebut yang diambil oleh mahkamah internasional untuk memutus bahwa kasus
ini dimenangkan oleh Norwegia. Dari kasus ini general principles yang dapat diambil adalah
bahwa penetapan baseline atau garis pangkal laut territorial sebuah Negara pantai dapat pula
diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai hubungan territorial dengan
daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah satu landmark dalam hokum kebiasaan
internasional sehingga melahirkan Konvensi Jenewa
Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the
Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari
ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut
pedalaman di mana harus ada hak lalu-lintas damai (right of innocent passage). Dalam Konvensi
I Jenewa tahun 1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem
penarikan garis pangkal lurus, yakni: (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak liku-liku tajam
atau laut masuk jauh ke dalam dan (2) apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari
pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan
penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama
adalah bahwa garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum
daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis
demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh ketentuan perairan
pedalaman (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua
pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (lowtide elevations) kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi-instalasi
serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah penarikan garis
pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah
negara lain dengan laut lepas ( ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan ketentuan ayat 1 menegenai penetapan garis lurus
sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam penetapan garis pangkal lurus dapat
diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang
dapat dibuktikan oleh kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
Ketentuan dalam ayat 1 menunjukkan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara penarikan
garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan suatu negara. Ketentuan ini berarti bahwa satu
Negara dapat menggunakannya disebagian pantainya, yang memenuhi syarat ayat 1. Dengan
perkataan lain, suatu Negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem normal base-line
dan straight base-line .