Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penetapan Batas Darat Indonesia-Malaysia
1. Konvensi Tahun 1891
Konvensi Tahun 1891 di tandatangani di London pada tahun 1891 yang diwakili
oleh Duta Besar Kerajaan Belanda C. Van Bylandt dan Menteri Luar Negeri Inggris
Salyburry. Masing-masing negara meratifikasi konvensi tesebut dan dilakukan pertukaran
piagam ratifikasi pada tanggal 11 Mei 1892. Di dalam konvensi ini diatur berbagai hal
yang menyangkut penentuan batas secara umum seperti penentuan watershed (batas air)
maupun hal-hal khusus yang menyangkut kasus-kasus pada wilayah tertentu termasuk
juga dalam penyelesaian Outstanding Bounday Problems (OBP).1
Departemen Pertahanan Republik Indonesia melalui Direktur Wilayah
Pertahanan, Brigjen Frans. B Workala melihat makna yang terkandung dalam konvensi
tersebut yakni :
- Konvensi 1891 harus dilihat sebagai sebuah produk penetapan batas kedua negara
yang dibuat oleh para pejabat dan para profesional bidang survei dan pemetaan
warisan dari Belanda dan Inggris
- Konvensi 1891 memanfaatkan fenomena alam sebagai batas kedua negara
Dalam Konvensi Tahun 1891 ini terkandung 2 (dua) esensi yakni yang disebutkan
dalam pasal 2 dan 3 konvensi ini di mana inti dari kedua pasal tersebut adalah Belanda
maupun Inggris sepakat bahawa batas kedua negara ditandai dengan bentang alam berupa
watershed atau aliran sungai yang terdapat pada punggung gunung atau aliran sungai di
lereng lembah yang menjadi batas kedua negara, dengan demikian maka watershed yang
dimaksud adalah watershed yang utama, artinya apabila di wilayah tersebut terdapat
beberapa watershed, maka yang menjadi batas antar negara adalah watershed dari
punggung gunung yang paling besar dan yang paling tinggi. Dalam konvensi ini juga
dijelaskan bahwa pengukuran dan penetapan batas wilayah di mulai pada titik datum
4°10’ LU, melintasi tepat titik 4°20’ LU dan harus mencapai titik akhir 117° BT
(Hadiwijoyo, 2011 : 150-151).

1http://download.portalgaruda.org/article/Yustina/Dwi/Jayanti“penyelesaian/sengketa/batas/wilayah/darat/antara/indonesia/dan/m

alaysia/(diaksespada 30 Agustus 2017 pukul 08.01 WIB)

8
2. Konvensi Tahun 1915
Setelah dilakukan Konvensi pada Tahun 1891, batas negara secara utuh
digambarkan sebagai watershed, namun pada kenyataanya keadaan di lapangan tidak
sesuai dengan gambarannya karena masih terdapat wilayah-wilayah yang watershednya
terpotong. Hal tersebut membuat kedua negara untuk melakukan penegasan kembali pada
tahun 1915 yang terbukti dengan adanya Konvensi Tahun 1915. Konvensi tahun 1915
ditandatangani oleh Ir. JHG. Schepers sebagai anggota Brigade Triangulasi dan Letnan
Laut EA. Vrede sebagai perwakilan dari Kerajaan Belanda sedangkan perwakilan dari
Inggris adalah ahli pemetaan HWL. Bunbury dan G.St. V. Keddel. Konvensi tersebut di
tandatangani pada tanggal 17 Februari 1913 di Tawao Borneo Inggris.
Penegasan oleh kedua negara tersebut dilakukan dengan melakukan survei dan
pengukuran ke lokasi perbatasan. Persetujuan tersebut dikukuhkan pada tanggal 28
September 1915 di London. Di mana inti dari Konvensi ini adalah bahwa penetapan garis
batas di darat ditentukan dengan menggunakan watershed dan garis lurus. Sedangkan
penetapan garis batas darat pada Konvensi 1891 adalah hanya menyebutkan titik awal
4°10’ LU, melintasi tepat titik 4°20’ LU dan titik akhir mencapai 117° BT tanpa
menjelaskan apakah garis batas tersebut dapat ditentukan dengan watershed ataupun garis
lurus (Hadiwijoyo, 2009 : 122-123).

3. Konvensi Tahun 1928


Setelah melakukan Konvensi pada Tahun 1891 dan 1915, maka pada tahun 1928
dilakukan kembali Konvensi antara Belanda dan Inggris yang berkaitan dengan batas
wilayah di Pulau Borneo. Konvensi tersebut ditandatangani di Den Haag pada tanggal 26
Maret 1928. Konvensi ini merupakan Konvensi yang terakhir untuk penegasan batas
wilayah antar kedua negara. Esensi dari Konvensi ini terletak pada bagaimana Inggris dan
Belanda menentukan batas kedua negara pada wilayah lembah yang di dalamnya terdapat
beberapa sungai. Apabila dalam Konvensi 1819 menegaskan penetapan batas melalui
watershed dari punggung gunung tertinggi, namun pada kenyataanya masih banyak
watershed yang terputus maka Konvensi 1915 menegaskan apabila terdapat watershed
yang terputus akan ditetapkan melalui garis lurus.

9
Penegasan dalam Konvensi tahun 1928 ini menyatakan bahwa apabila di wilayah
tersebut terdapat watershed maka watershed lah yang akan menjadi batas antar kedua
negara, tetapi apabila tidak terdapat watershed pada wilayah tersebut maka batas akan
ditentukan dengan mengikuti sisi kanan sungai yang mengalir dan pada sisi kanannya
akan diberi tanda patok Kayu Belian. Namun apabila tidak dijumpai sungai maka batas
tersebut baru dapat berupa garis lurus (Hadiwijoyo, 2011 : 155-156).

10
2.1. Outstanding Boundary Problems (OBP)
Sejak kedua negara kolonial Belanda dan Inggris meninggalkan kedua wilayah yakni
Indonesia dan Malaysia kemudian mereka menjadi negara baru, maka penyelesaian perbatasan
darat dilanjutkan. Permasalahn muncul sejak dilakukanya pengukuran ulang pada tahun 1970-an
bahwa pengukuran baru di lapangan oleh kedua negara berbeda dengan hasil dari konvensi
Belanda dan Inggris. Sampai saat ini permasalahan perbatasan darat menyisakan 9 titik yang
disebut Outstanding Boundary Problems (OBP) yang merupakan perbatasan lintas darat antara
Indonesia dengan Malaysia di Pulau Kalimantan. Penetapan batas darat kedua negara ditetapkan
berdasarkan Konvensi Belanda-Inggris tahun 1991, 1915 dan 1928. Upaya penyelesaian
demarkasi (penegasan perbatasan darat) masih menyisakan 9 titik OBP di Pulau Kalimantan. 9
titik tersebut belum dapat terselasaian dikarenakan berbagai hal seperti perbedaan persepsi antara
RI-Malaysia ketika terjun ke lapangan, hilangnya patok batas kedua negara, perbedaan peta
kedua negara.
Titik-titik OBP tersebut terbagi ke dalam dua sektor yaitu sektor barat yang terletak di
Provinsi Kalimantan Barat dengan 4 titik yaitu Titik D400, Gunung Raya, Gunung Jagoi, dan
Batu Aum. Sedangkan untuk sektor Timur terletak di Provinsi Kalimantan Utara (dahulu
Kalimantan Timur) yang terdapat 5 titik yaitu Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Simantipal,
Titik C500-C600 dan Titik B2700-B100. Sesuai dengan Rencana Strategis Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) sampai saat ini memfokuskan penyelesaian Outstanding Boundary
Problems (OBP) sektor timur di Kalimantan Utara. (Wasono Ponco K, Kabid Ancaman
Terhadap Negara Kemenko Polhukam, 2017). Gambaran umum permasalahan lima titik OBP
sektor timur adalah sebagai berikut:
a. Pulau Sebatik : permasalahan yang terjadi di wilayah Pulau Sebatik bahwa hasil pengukuran
yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia berbeda dengan hasil yang telah ada di dalam
Konvensi Belanda-Inggris.
b. Sungai Sinapad : permasalahan yang terjadi berawal ketika Malaysia mengklaim bahwa
sungai Sinapad adalah anak sungai dari Sungai Sedalir yang bermuara di Malaysia, namun
Indonesia menolak karena percabangan sungai tidak berda pada titik koordinat yang
ditentukan.

11
c. Sungai Simantipal : permasalahan yang terjadi di sungai ini sama dengan permasalahan yang
terjadi di sungai Sinapad yaitu Malaysia juga mengklaim bahwa sungai Simantipal juga
merupakan anak sungai dari sungai Sedalir namun Indonesia tetap menolak.
d. Titik C500-C600 : permasalahan yang terjadi di wilayah ini bahwa adanya perbedaan peta
yang digunakan oleh kedua negara, karena dalam permasalahan ini Malaysia secara sepihak
membuat peta sendiri dan menginginkan pengukuran bersama juga menggunakan acuan peta
Malaysia, namun Indonesia menolak.
e. Titik B2700-B3100 : permasalahan di wilayah ini sama persis dengan permasalahan di Titik
C500-C600 yakni Malaysia mempunyai peta sendiri dalam menentukan wilayah namun
Indonesia menolak hal tersebut.

12
2.2. Uti Possidetis sebagai Dasar Hukum dalam Penentuan Perbatasan
Negara
Uti Possedetis merupakan salah satu dasar hukum yang dapat digunakan untuk berbicara
tentang geopolitik termasuk dalam hal ini adalah tentang perbatasan. Uti Possidetis pertama kali
digunakan oleh hakim Romawi dalam hukum kotamadya yang berarti bahwa wilayah dan
kekayaan lainya mengikuti pemilik asal pada akhir konflik antar negara baru dengan penguasa
sebelumnya yang disajikan dalam sebuah perjanjian. Hakim Roma menerapkan Uti Possidetis
yang terkenal dalam bahasa Inggris berarti “as you possess, so you may possess”, sebagai milik
anda maka anda boleh memilikinya. Moore 1913, menjelaskan bahwa Uti Possidetis selama era
Romawi sebagai sebuah dasar hukum yang mempertahankan kepemilikan harta. Uti Possedetis
sangat terkait dengan kedaulatan teritorial suatu negara. Uti Possidetis adalah dasar hukum yang
menunjukkan hubungan mendalam dengan penjajahan, penentuan nasib sendiri, integritas
teritorial, kedaulatan, kenegaraan, penciptaan negara, dan batas-batas teritorial.
Tujuan Uti Possidetis ini adalah untuk menjaga stabilitas teritorial negara-negara yang
baru dibuat pada saat dekolonisasi dan juga untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
gelar, batas demarkasi, dan pembatasan area maritim dalam situasi di mana sebuah perjanjian
tidak ada atau tidak ditangani. Uti Possidetis ini dihargai oleh negara-negara yang muncul
melalui proses dekolonisasi, karena menjamin integritas teritorial mereka. Selama bertahun-
tahun Uti Possidetis telah digunakan dan diterapkan pada batas-batas postkolonial untuk
mempertahankan finalitas perbatasan dalam situasi seperti perpecahan teritorial.2
Pada awal abad ke 17 terminoligi Uti Possidetis ini digunakan oleh penguasa Inggris
dalam kasus penolakanya terhadap penguasa Spanyol yang melakukan kontrol secara efektif
terhadap wilayah Western Hemisphere. Dalam perkembangan berikutnya Uti Possedetis ini
banyak digunakan oleh negara-negara baru dalam menentukan titik terdepanya setelah terlepas
dari negara kolonial. Pada abad ke 19 Uti Possedetis juga diterapkan di Amerika Selatan ketika
Spanyol menarik diri dari negara tersebut. Kemudian prinsip ini diterapkan oleh negara-negara
Afrika dan Asia setelah kolonial Eropa menarik diri dari negara-negara wilayah Afrika dan Asia.
Alasan mengapa Uti Possidetis ini dijadikan dasar hukum yang sangat kuat bagi negara-negara
pasca kolonialisme karena penguasa kolonial telah meletakan dasar-dasar negara secara jelas

2http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199796953/obo-9780199796953-0065.xml (diakses pada 29


Agustus 2017 pukul 11.25 WIB0

13
dalam sebuah perjanjian, sehingga negara-negara yang baru merdeka dari penguasa tinggal
meneruskan warisan perbatasan negara.
Terkait dengan pelaksanaan Uti Possidetis sebagai dasar hukum yang bersifat universal
dalam hukum internasional dalam penentuan wilayah negara baru, maka berkaitan erat pula
dengan kasus perbatasan darat antara Indonesia dengan Malaysia yang berada di Kalimantan
Utara. Persoalan alokasi wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia, maka
pembentukan garis imajiner perbatasan darat antara Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan
adalah didasarkan pada hasil warisan kolonial (Inggris dan Belanda) pada masa penjajahan.
Dalam konteks ini,para kolonial membagi garis perbatasan menjadi dua bagian, yaitu: garis
perbatasan darat dan garis perbatasan laut (landas kontinen). Pada garis perbatasan darat yang
sudah dibuat tersebut terdapat di dua tempat, yaitu di Pulau Kalimantan dan di sebuah Pulau
Kecil di sebelah timur Pulau Kalimantan, yaitu Pulau Sebatik. Garis perbatasan darat di Pulau
Kalimantan, yang panjangnya ± 970 mil, membelah Pulau Kalimantan menjadi Propinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur negara Republik Indonesia dan negeri-negeri Sarawak
dan Sabah masuk ke dalam negara Federasi Malaysia.3 Sehingga dalam penyelesaian
permasalahan perbatasan darat antara Indonesia masih didasarkan pada dasar hukum Possedetis
Juris di mana seluruh wilayah negara Indonesia didasarkan pada warisan Belanda sedangkan
seluruh wilayah Malaysia didasarkan pada warisan negara Inggris.
Seiring berjalanya waktu penentuan batas wilayah darat antara Indonesia dan Malaysia
sampai saat ini masih tetap memegang dasar hukum yaitu Uti Possedetis dengan bukti masih
diberlakukanya Konvensi Perbatasan tahun 1819, 1915 dan 1928. Uti Possidetis ini menjadi
dasar bagi Indonesia dan Malaysia karena Uti Possidetis ini adalah dasar yang paling relevan
dalam penyelesaian permasalahan perbatasan darat kedua negara. Rangkaian sejarah perbatasan
Malaysia di Kalimantan tersebut merupakan argumentasi historis yang memperkuat alokasi
wilayah Indonesia di Kalimantan, sehingga hal ini sangat bermanfaat bagi penetapan delimitasi
dan demarkasi perbatasan Indonesia.

3e-Journal Saru Arifin “Pelaksanaan Asas Uti Possidetis Dalam Penentuan Titik Patok Perbatasan Darat Indonesia dengan
Malaysia”http://jurnal.uii.ac.id/index.php/IUSTUM/article/view/3847/3423 (diakses pada 29 Agustus 2017 pukul 11.57 WIB)

14
2.3. Teori Neo Realisme
Perkembangan dunia yang semakin maju dari waktu ke waktu menimbulkan pemikiran-
pemikiran baru yang tentunya lebih maju yang tentunya mampu dan relevan dalam merespon
perubahan-perubahan dan perkembangan di dunia. Salah satu teori yang sangat laris sejak dahulu
adalah teori realisme yang dianggap sebagai teori yang mampu menjelesakan berbagai fenomena
yang terjadi sejak dahulu sampai saat ini. Namun pada kenyataanya, fenomena hubungan
internasional tidak dapat dipahami dengan satu teori saja, atas dasar mengikuti perkembangan
dan perubahan dunia muncul pendekatan baru yaitu neorealisme.
Neorealisme adalah salah satu pendekatan baru yang merupakan pengembangan dari teori
realisme. Berbicara tentang neorealisme maka tidak dapat dilepaskan dari pemikiran seorang
neorealisme yang sangat terkenal yaitu Kenneth Waltz tahun 1979. Asumsi-asumsi yang yang
diungkapkan dalam neorealis adalah bahwa neorealis mengandung konsep-konsep yaitu anarki,
self interest dan kemungkinan untuk bekerja sama. Namun beberapa asumsi dari pendekatan
lanjutan ini masih bisa dikatakan sama misalnya dalam konsep power. Di dalam realisme
menjelaskan bahwa power lebih mengarah pada kekuatan-kekuatan militer suatu negara
sedangakan di dalam neorealis power merupakan gabungan dari kekuatan-kekuatan yang
dimiliki oleh suatu negara dan power tersebut menentukan posisi negara tersebut di dunia.
Di dalam neorealisme, Waltz tidak membahas tentang sifat dasar manusia sebagaimana
hal tersebut dibahas di dalam realisme, namun Waltz lebih berfokus pada sistem yang mengatur
pola perilaku manusia. Dalam hal ini Waltz juga mengungkapkan tentang bagaimana suatu
negara bisa melakukan kerjasama dalam situasi yang anarki. Dalam realisme menjelaskan bahwa
negara merupakan aktor yang paling utama dan pemikiran ini berkembang pada neorealis yang
menjadikan negara sebagai satu-satunya aktor dalam hubungan internasional. Meskipun suatu
negara menjadi satu-satunya aktor dalam hubungan internasional, namun negara-negara di dunia
ini hidup dalam suatu sistem internasional yang terdapat banyak negara-negara. Sehingga dalam
rangka mencapai tujuan atau kepentinganya untuk bertahan hidup maka diperlukanya sikap yang
kompetitif. Sikap kompetitif ini yang nantinya membawa negara-negara untuk saling bekerja
sama satu dengan yang lainya. Waltz juga menjelaskan tentang konsep power yang dikaitkan
dengan kemungkinan terjadinya kerjasama. Dalam neorealis masih membuka kemungkinan
suatu negara untuk melakukan kerjasama dengan negara yang lain, namun kerjasama yang
dilakukan adalah berdasarkan power yang dimiliki oleh suatu negara tertentu. Neorealis

15
meyakini bahwa negara merupakan aktor yang rasional di mana suatu negara akan
memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian, oleh karena itu strategi untuk
memaksimalkan power itu menjadi sangat penting bagi satu negara. Sehingga neorealis
menganggap bahwa kerjasama masih mungkin terjadi dalam kondisi yang anarki dilihat sebagai
pemikiran yang lebih sesuai karena dalam dunia internasional negara-negara tidak dapat hidup
sendiri melainkan negara-negara hidup berdampingan untuk mencapai kepentinganya. (Sorensen
dan Jackson, 2005 ː 110-116)
Teori neorealisme dianggap relevan untuk melakukan penelitian ini karena teori ini dapat
digunakan untuk menganalisa tentang strategi-strategi yang dilakukan pemerintah Indonesia
untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di lima titik OBP di Kalimantan Utara. Karena
ketika berbicara tentang strategi maka akan ada langkah-langkah yang akan dilakukan oleh
Indonesia untuk mencapai apa yang menjadi kepentingan Indonesia sendiri. Namun dalam
rangka mencapai kepentinganya Indonesia sendiri tidak dapat secara sepihak meyelesaikan
permasalahan tersebut karena masih ada pihak yang tentunya sangat berkaitan dengan
permasalahan tersebut yakni Malaysia yang mungkin juga memiliki kepentingan-kepentingan
yang harus dicapai. Sehingga dalam hal ini kedua negara terlihat masing-masing memiliki
kepentingan dan dalam mencapai kepentingan dan titik temu permasalahan masih dimungkinkan
untuk mereka saling melakukan kerjasama.

16
2.4. Penelitian terdahulu
Dalam bagian ini akan di paparkan mengenai landasan penelitian terdahulu sebagai
pedoman dan rujukan dalam melakukan penelitian terakait dengan 5 titik Oustanding Boundary
Problems (OBP) di Kalimantan Utara. Dalam penelitian ini akan menggunakan rujukan
penelitian terdahulu dari :
Tabel 1. Penelitian terdahulu

Nama Judul Tujuan Penelitian Hasil Penelitian


1.Yustina Penyelesaian Sengketa • Untuk menganalisis • Dasar hukum batas
Dwi Jayanti Batas Wilayah Darat apa yang menjadi wilayah darat Indonesia
(Fakultas antara Indonesia dan dasar hukum dari Malaysia adalah
Hukum Malaysia (Studi Kasus penentuan garis Memorandum of
Universitas di Kabupaten batas wilayah darat Understanding (MoU)
Brawijaya) Bengkayang, Indonesia Malaysia yang berorientasi pada
Kalimantan Barat) yang teletak di Pulau Tratat London buatan
Kalimantan. Belanda Inggris yang
• Untuk menganalisis menjajah kedua negara.
tentang cara • Penyelesaian 4 titik di
penyelesaian Kalimantan Barat
sengketa batas dilakukan melalui jalan
wilayah darat antara negoisasi mesipun sampai
Indonesia Malaysia saat ini belum ada titik
di Kalimantan penyelesaian.

2. Sandy Nur Kebijakan • Untuk • Keadaan perbatasan darat


Ikfal Raharjo Pengelolaan Kawasan mengidetifikasi di Kecamatan Entikong
(Lembaga Perbatasan Darat masalah utama Kalimantan Barat
Pengetahuan Indonesia Malaysia perbatasan darat menunjukkan kurangnya
Indonesia) (Studi Evaluatif di Indonesia Malaysia pembangunan di berbagai
Kecamatan Entikong) • Untuk megetahui bidang seperti ifrastruktur
kebijakan terliat pembangunan jalan
pemerintah untuk dan akses listrik yang
mengelola kawasan belum merata,
perbatasan. perdagangan yang tidak
seimbang, pendidikan di
mana masih kekurangan
banyak guru dan murid
putus sekolah karena akses
jalan yang sulit, sosial
budaya yang tidak
seimbang dan
pemerintahan yang tidak

17
ada koordinasi antar
departemen.
• Kebijakan pemerintah
Indonesia dalam
mengelola perbatasan
adalah dibentuknya Badan
Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP).
3.Muhammad Evoulusi Pengelolaan
Nizar Hidayat Kawasan Perbatasan • Untuk • Kawasan perbatasan di
(Universitas Indonesia di mendiskripsikan Kalimantan Timur yang
Mulawarman Kalimantan Utara pengelolaan berbatasan langsung
Smarinda) kawasan perbatasan dengan Malaysia memiliki
Indonesia di banyak permasalahan
Provinsi Kalimantan sampai saat ini ketika
Utara dalam hal ini Kalimantan Utara
termasuk pada memisahkan diri masalah-
pembahasan masalah masih muncul
mengenai kebijakan seperti tidak jelasnya garis
pengelolaan batas akibat patok yang
masyarakat telah rusak, ketertinggalan
perbatasan di perekonomian antara
kawasan tersebut masyarakat perbatasan
ketika Kalimantan Indonesia dengan
Utara masih Malaysia dan tingkat
tergabung dalam kesehatan yang rendah.
Provinsi Kalimantan Namun disisi lain sejak
Timur dahulu sampai sekarang
kawasan perbatasan telah
dipegang oleh General
Border Committee (GBC)
dan lembaga-lembaga
pemerintah maupun non
pemerintah. Namun
setelah pemerintah
membentuk Badan
Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP), BNPP
lah yang kemudian
menjadi koordinator dalam
permasalahan perbatasan
di Kalimantan Utara.

18
Penelitian terdahulu mengulas tentang dasar hukum yang digunakan dan proses
penyelesaian batas darat antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan dan berbicara pula tentang
kebijakan pemerintah untuk mengelola masyarakat di kawasan perbatasan yang belum
mendapatkan perhatian secara penuh dan ketertinggalan infrastruktur. Uraian dari penelitian
terdahulu lebih berbicara tentang keadaaan masyarakat di perbatasan meskipun dalam penelitian
terdahulu tersebut disinggung pula tentang kebijakan pengelolaan Indonesia dan badan-badan
yang menangani perbatasan. Namun dalam penelitian ini, peneliti akan lebih menguraikan lebih
banyak tentang faktor-faktor yang menghambat belum terselesaianya lima titik OBP dengan
batasan lima titik OBP di Kalimantan Utara yang menjadi fokus pemerintah pada masa
pemerintahan Jokowi ini. Peneliti akan mendiskripsikan tentang bagaimana strategi Indonesia
pada masa pemerintahan Jokowi-JK yang telah secara jelas akan membangun perbatasan yang
dituangkan dalam Nawacita yang ketiga. Jadi penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas
akan dijadikan sebagai pedoman dan rujukan dalam melakukan penelitian terakait dengan 5 titik
Oustanding Boundary Problems (OBP) di Kalimantan Utara.

19
2.5. Kerangka Pikir

Penetapan Batas Darat


Indonesia-Malaysia

Outstanding Boundary
Problems (OBP)
RI-MALAYSIA

Sektor Barat di Sektor Timur di


Kalimantan Barat Kalimantan Utara

Uti Possidettis Pulau Sungai Sungai Titik Titik


Sebatik Sinapad Simantipal C500- B2700-
Juris C600 B100

Faktor-faktor
penghambat

Strategi
Teori Neo Realisme Pemerintah RI

20
Melalui kerangka pikir di atas, peneliti mencoba untuk memulai pembahasan terkait
dengan penetapan batas darat antara Indonesia dan Malaysia yang ada di Pulau Kalimantan.
Peneliti akan menguraiakan melalui Konvensi-konvensi yang telah di hasilkan oleh Belanda dan
Inggris. Seiring berjalanya waktu sampai kedua negara kolonial meninggalkan Indonesia dan
Malaysia, peneliti akan menguraikan tentang implikasi dari pada konvensi-konvensi yang telah
di buat yang kemudian menghasilkan apa yang di sebut dengan Outstanding Boundary Problems
(OBP). Peneliti kemudian membagi OBP ke dalam dua sektor dan peneliti mengambil fokus
pada lima titik OBP di sektor timur tepatnya di Kalimantan Utara. Peneliti akan menguraikan
permasalahan di masing-masing titik di sektor timur kemudian akan menggunakan satu dasar
hukum yaitu Uti Possedetis Juris dalam melihat setiap permasalahan yang terjadi. Peneliti akan
menguraikan juga tentang bagaimana hubungan antara dasar hukum tersebut dengan
permasalahan lima titik OBP sektor timur. Peneliti juga akan menghubungkan Uti Possedetis
Juris ke teori hubungan internasional yaitu teori neorealisme, di mana teori neorealisme juga
akan digunakan oleh peneliti untuk masuk pada permasalahan yang akan di cari yaitu
mendiskripsikan faktor-faktor penghambat penyelesaian dan strategi pemerintah Indonesia era
Jokowi-JK dalam menyelesaikan lima titik OBP sektor timur di Kalimantan Utara.

21

Anda mungkin juga menyukai