Anda di halaman 1dari 2

Nama : Made Bellisky Mahardika

Nim : 010001800278

Mata Kuliah : Hukum Internasional

Kronologi

Semenjak berakhirnya perang dunia II, hukum laut yang merupakan cabang hukum internasional
telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam. Bahkan, dapat dikatakan telah mengalami
revolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Dua perkembangan penting setelah
berakhirnya perang dunia II adalah :

1. Penerimaan umum atas dokrin landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif
2. Keputusan-keputusan international Court Of Justice dalam perkara Anglo Norwegian
Fisheries Case

Dalil yang diungkapkan oleh Bynkersoek melalui bukunya “De Dominio Maris Desertatio” yang terbit
pada tahun 1907 memperingatkan kepada semua negara yang memiliki wilayah laut bahwa
kedaulatan suatu negara di laut sangat tergantung pada kemampuan negara tersebut melakukan
pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya itu. Semakin luas wilayah laut yang
dikuasai oleh suatu negara akan semakin besar pula tanggung jawab negara tersebut untuk
mengawasinya.

Laut territorial atau laut wilayah adalah, jalur laut yang terletak pada sisi laut garis pangkal (base-
line) dan sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer-limet) yang ditarik sejajar dengan
garis pangkal diatas. Menurut praktek negara pada dewasa ini jarak antara garis pangkal dan garis
atau batas luar tadi berlainan. Ada kalanya menggunakan jarak 3 mil (Inggris, Amerika serikat,
jepang, Nederland) 4 mil (Finlandia, Norwegia, Swedia), 5 mil (Indonesia, Saudi Arabia). Jarak yang
terletak antara garis pangkal dan batas terluar laut territorial ini, yang dijadikan dalam mil laut
merupakan lebar laut territorial suatu negara.

Pemikiran mengenai masalah laut territorial negara kepulauan sebenarnya sudah dilontarkan oleh
seorang ahli hukum internasional Austria bernama Aubert dalam siding institute de Droit
International (IDI) di Hamburg pada tahun 1889. Aubert menganjurkan agar sidang meninjau
kembali penentuan batas-batas periaran territorial negara-negara yang mempunyai kepulauan di
depan pantainya (Coastal archipelagos) seperti norwegia. Dia mengusulkan memperlakukan suatu
kepulauan (outlying archipelagso) sebagai suatu kesatuan, dengan laut marginal selebar 6 mil yang
di ukur dari pulau-pulau yang terletak pada titik atau posisi yang paling jauh dari kepulauan
meskipun demikian usul Aubert ini tidak mendapat banyak dari peserta sidang (IDI) barulah pada
tahun 1928, sidang IDI di Den Haag berhasil mengeluarkan suatu referensi yang memutuskan bahwa
pulua-pulau harus diberlakukan sebagai suatu kesatuan kepulauan, dengan ketentuan bahwa jarak
antara pulau-pulau itu tidak boleh melebihi dua kali lipat lebar laut territorial.

Gagasan Aubert diatas justru dipraktekkan oleh Norwegia sebagai negara yang memiliki banyak
pulau sepanjang pantainya dengan mengeluarkan suatu dekrit Raja pada tahun 1935 tentang
perairan territorial norwegia. Inggris salah satu negara yang menentang dekrit tersebut karena yang
tadinya wilayah tersebut merupakan laut bebas kini menjadi bagian dari wilayah Norwegia.
Penarikan garis pangkal lurus yang dicantumkan dalam decrit Raja Norwegia tersebut ternyata
mendapat pengakuan dalam hukum internasional dengan adanya putusan mahkamah internasional
tanggal 18 Desember 1951 dalam perkara sengketa Perikanan Antara Inggris dan Norwegia. Dengan
demikian maka negara-negara pantai memiliki ketambahan luas wilayah lautnya.
Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah satu landmark dalam hukum kebiasaan internasional
sehingga melahirkan Konvensi Jenewa.

Secara teknis yuridis keutuhan geografis suatu negara kepulauan ditandai oleh penggunaan sistem
tertentu yang dijadikan dasar menarik garis pangkal yang dipakai untuk mengukur laut wilayah suatu
negara. Sampai saat dicapainya persetujuan jenewa tahun 1958 dan 1960, secara konvensional
dalam masalah ini dikenal metode “normal base line” yang ditarik dari garis air rendah (low water
line) sepanjang pantai sebagaimana tertuang dalam pasal 3 konvensi jenewa dan metode “straight
base line” sebagaimana tertuang pada pasal 4 konvensi jenewa 1958 mengenai Teritorial sea and the
Contigous Zone, walaupun konvensi tersebut belum menyebut secara tersendiri mengenai masalah
negara kepulauan, tetapi konvensi telah menaruh perhatian kepada negara-negara yang memiliki
kondisi geografis yang khas.

Analisa

Prinsip hukum internasional yang terdapat dalam kasus “Anglo-Norway Fisheries Case” ini adalah
mengenai penetapan base line zona perikanan Norwegia. Laut teritorial atau laut wilayah, adalah
jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal (base line) dan di sebelah luar dibatasi oleh
garis atau batas luar (outer limit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas. Base line
merupakan garis pangkal yang dijadikan sebagai pedoman untuk menarik garis zona perikanan
sepanjang 3 mil atau 4 mil dari garis pangkal tersebut[9].

Sesuai dengan kebiasaan internasional yang dianut kedua negara penetapan garis zona perikanan
sejauh 3 mil diadopsi oleh United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia. Sehingga
dalam sengketa ini perbedaan prinsip antara kedua negara tentang penetapan laut territorial dari
garis pangkal merupakan tugas Mahkamah Internasional untuk memutuskannya, manakah kiranya
prinsip yang sesuai dengan hukum internasioanal

Menarik untuk dikaji kembali kasus perikanan Inggris dan Norwegia atau yang kita kenal Anglo-
Norway Fisheries Case yang merupakan cikal bakal sehingga dikenalnya penetapan garis pangkal
untuk negara-negara yang memiliki deretan pulau-pulau sepanjang pantainya.

Jadi sumber hukum yang digunakan adalah sumber hukum putusan mahkamah internasional .

Anda mungkin juga menyukai