PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan
pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita
yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari
persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik
pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara
sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan
ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat
rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2
kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan
mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh
pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah
Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya
dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya kita kilas balik
mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan
effectivitee, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan
administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan
telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara
itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak
menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi
Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur
perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 10' Lintang
Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau
Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang
menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Ambalat
Ambalat adalah blok laut seluas 15.235 Km2 yang terletak di laut
Sulawesi atau Selat Makassar milik negara Indonesia sebagai negara kepulauan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penandatanganan Perjanjian Tapal Batas
Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani
di Kuala Lumpur, telah diratifikasi pada tanggal 7 November 1969.[1] Hal ini
kemudian menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah kedaulatan
Indonesia. Akan tetapi, letak geografis Blok Ambalat yang berbatasan langsung
dengan negara tetangga Malaysia, sehingga menimbulkan konflik perbatasan
antara Indonesia dengan Malaysia.
Entah dari mana kata awal Ambalat. Sebab tiba-tiba muncul menjadi berita
di media massa nasional dan internasional. Ibarat artis dadakan, kawasan di
perbatasan Indonesia Malaysia tersebut langsung populer. Bahkan sinarnya
melebihi kesohoran induknya Kabupaten Nunukan.
Ada yang memahami Ambalat adalah singkatan dari Ambang Batas Laut.
Tapi ternyata dalam wikipedia bahasa Indonesia tidak disebutkan demikian. Itu
berarti Ambalat adalah kata tunggal. Lagi pula ada banyak perbatasan laut
Indonesia dengan negeri tetangga selain dengan Malaysia seperti Singapura,
4
Thailand, Vietnam dan Filipina. Tapi perbatasan laut itu tidak pernah disebut
dengan kata Ambalat.
Di Malaysia, rakyat, pemerintah federal dan pihak kerajaan juga memakai
kata Ambalat. Malah sering dibumbui dengan kalimat daerah kontroversi yang
kaya minyak. Seolah-olah Malaysia ingin mengklaim bahwa negeri itu sudah
diterima masuk dalam kawasan sengketa.
Yang tidak kita ketahui; apakah kata Ambalat itu sudah didaftarkan sebagai
hak paten bahasa atau nama kawasan negeri Jiran? Sehingga suatu saat kelak
kalau sengketa batas negara ini muncul di pengadilan internasional kita akan
gelagapan lagi seperti pada sidang Pulau Sipadan dan Ligitan.
Dalam perkembangannya, Ambalat seolah-olah nama itu adalah sebuah
daerah yang berpenduduk dan bermasyarakat. Ada tokoh masyarakat memberikan
komentar di pemberitaan media dengan menyebut kalimat masyarakat Ambalat,
padahal sebenarnya kawasan tersebut merupakan perairan lautan Selat Makassar
atau laut Sulawesi alias sebelah Utara Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan.
Hamparan air 15.235 kilometer persegi. Tapi di sinilah dua negeri jiran ini
kerap adu nyali. Saling ngotot, saling gertak, saling klaim. Ambalat, perairan
yang terjepit antara Sulawesi dan Kalimantan itu adalah titik paling didih dalam
hubungan Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir. Malaysia sudah
mengincarnya sejak 1979. Ketika negeri jiran itu menerbitkan peta yang
memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi
eksklusif mereka. Di dalam peta mereka, Ambalat masuk Malaysia.
Terang saja pemerintah Indonesia menepis klaim Malaysia. Soalnya, dari
riwayata sejarahnya saja Ambalat masuk wilayah Kesultanan Bulungan
(Kalimantan Timur) yang kini menjadi bagian dari Indonesia.
Membuka lembaran hukum laut internasional atau konvensi hukum laut
PBB yang telah dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, ternyata Ambalat juga
diakui dunia Internasional sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia tetap
ngotot. Mereka mengirim kapal perangnya untuk patroli di perairan ini. Ada
nelayan Indonesia melaut ditangkap dan dipukul, juga diusir.
B. Latar Belakang Terjadinya Perebutan Ambalat
Latar belakang yang memunculkan konflik perbatasan Ambalat yaitu
Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam
wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur
5
Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neoliberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan
minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan
Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan
ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili
Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin
kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang telah menjalin kontrak
kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni
Petronas. Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan
Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis
minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di
dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat
adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan
memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki
sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara
politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta
krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
( Yuli Prasetyaningsih, http://www.balipost.co.id)
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih
dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia
memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas
wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer
persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis
pantai Pulau Sebatik, Kaltim.
martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana
pemerintah Malaysia lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan
para TKI asal Indonesia sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus
lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court
Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan
hubungan diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik
media di Malaysia kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik
Malaysia tidak terlibat jauh dalam sengketa politik tersebut.
C. Alasan Ambalat menjadi rebutan
Blok Ambalat merupakan sebuah kawasan yang kaya dengan kandungan
mineral. Kandungan minyak di dalamnya diperkirakan sebesar 421,61 juta barrell
dan gas alamnya sekitar 3,3 triliyun kaki kubik. Melihat kondisi alam yang
menguntungkan dari Ambalat sudah barang tentu setiap negara menginginkan
bahwa kawasan itu menjadi bagian dari dari negaranya.
Tetapi Malaysia Sesungguhnya yang mereka incar bukan hanya keinginan
memperluas batas wilayah negara, di sini ada kekayaan alam yang berlimpah di
sini. Bahkan menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia di Ambalat
ada tambahan kandungan minyak dengan produksi 30.000 40.000 barel per hari.
Mengapa Ambalat jadi rebutan? Blok Ambalat dengan luas 15.235
kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat
dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset
berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup
besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat
di sana juga yang mendapatkan dampaknya.
Ambalat memang menjadi wilayah yang disengketakan oleh Malaysia dan
Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat terjadi ketegangan di wilayah itu karena
Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam keadaan siap tempur.
Ahli geologi memperkirakan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat
ini mencapai Rp 4.200 triliun. Pemerintah melihat potensi ini. Dua perusahaan
perminyakan raksasa diizinkan beroperasi di perairan Ambalat yang terbagi dalam
tiga blok, yaitu East Ambalat, Ambalat, dan Bougainvillea, itu. Yaitu Eni Sp. A
dan Chevron Pacific Indonesia.
Rupanya Malaysia juga tergiur dengan isi perut Ambalat. Dua blok
penghasil minyak di Ambalat itu mereka beri nama Blok Y dan Z. Belakangan
Malaysia menyebutnya dengan Blok ND6 dan ND7. Negara yang berupaya
mengklaim Ambalat masuk ke wilayahnya ini pun belakangan meminta Petronas
Carigali Sdn Bhd, perusahaan minyak dan gas lokal Malaysia, masuk Ambalat,
pada 2002.
Dua tahun berselang Malaysia menggandeng Shell, perusahaan yang
bernama lengkap Royal Dutch Shell plc., masuk Ambalat. Bermarkas di Den
Haag, Belanda, dan London, Inggris, ini telah ada sejak 1928. Perusahaan berada
pada peringkat empat swasta minyak dan gas di dunia. Di Indonesia Shell sudah
hadir sejak 2005.
Indonesia, sebagai negara ASEAN yang memiliki wilayah paling luas
tidak memiliki ambisi teritorial untuk mencaplok wilayah negara lain. Hal
tersebut sangat berbeda dengan Malaysia yang rakus untuk memperluas
wilayahnya. Kita semua sudah tahu bahwa titik-titik perbatasan darat Indonesia
Malaysia di Pulau Kalimantan selalu digeser oleh Malaysia. Wilayah kita semakin
sempit sementara wilayah Malaysia semakin luas.
Ambisi teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kita
tentu ingat Sipadan dan Ligitan yang lepas dari Indonesia hanya karena Malaysia
membangun kedua pulau tersebut sedangkan Indonesia yang menjunjung
kejujuran dengan tidak membangun wilayah yang dipersengketakan dikalahkan
oleh hakim-hakim Mahkamah Internasional. Bukan hanya Sipadan dan Ligitan
yang dibangun oleh Malaysia. Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak
negara (a.l. Malaysia, China, Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia.
Mungkin Malaysia ingin mengulang kisah suksesnya dalam menganeksasi
Sipadan dan Ligitan.
D. Dasar Hukum Kepemilikan Ambalat
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara
kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini
dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan
Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di
Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya
selama
25
tahun
secara
terus-menerus
Pemerintah
Indonesia
10
Malaysia
menempatkan
dirinya
sebagai
negara
kepulauan
Malaysia
merupakan
negara
kepulauan
sebagaimana
yang
11
kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagilagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak
melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka
batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.
( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com)
E. Hikmah dan Solusi
Wawasan Nusantara
Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, kami akan memulai
dengan melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia
terhadap isu ini. Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam
wawancaranya
dengan
Gatra,
masyarakatnya
tenang-tenang
saja
dan
wilayah
orang
lain,
untuk
apa
Petronas
sampai
ke
sana.
Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan
memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal
Malaysia bukan termasuk Negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka
terlihat bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja,
tetapi bisa jauh masuk ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur
dan Sulawesi Utara bagian Barat.
Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia
menganggap masalah ini hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi
Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan
sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah kedaulatan
Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah
kedaulatan. Bahkan blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia
mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara
lain. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah
13
kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber
daya alam.
Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan perdamaiannya Glenn
Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk
menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika
Menlu Malaysia mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak
yang merasa dirugikan oleh klaimnya.
Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen
adalah menetapkan keamanan bersama (affirm common security), dengan
membangun tatanan yang damai dan adil bagi semua pihak. Penetapan batas
wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan memakai pertimbangan
menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia, adalah
tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah
seperti itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan
ancaman bagi pihak yang lain. Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau
diadakan pun akan menjadi lebih sulit untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat
dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas masalah Ambalat yang
diadakan di Bali tanggal 22-23 Maret lalu. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apaapa, karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing.
Karena dalam kasus ini ancaman sudah terjadi, dan tatanan yang damai
dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen perlu
diperhatikan baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk
perdamaian (take independent initiatives). Dalam kasus ini, pihak yang
manakah yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk menyelesaikan masalah?
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah mengupayakan dialog atas klaim
Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak mendapat tanggapan
berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada Shell
oleh Petronas Malaysia.
Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru
Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercusuar
di atol Karang Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan
Malaysia selalu siap untuk berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak
14
Indonesia adalah berunding dengan kondisi seperti apa? Apakah dengan kondisi
melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih dulu (dengan tidak
memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia
bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercusuar itu, karena itu
termasuk wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan
membiarkan wilayah itu menjadi wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai
ditemukan titik temu melalui dialog. Namun, melihat perkembangan yang ada
sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga enggan untuk diterima.
Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy.
Bicaralah, lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan
memakai metode-metode penyelesaian konflik Tentang hal ini, sudah
dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun dijanjikan untuk bertemu
kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu.
Sambil menunggu, langkah keempat mungkin bisa dilakukan. Itu
adalah mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian konflik
yang sudah terjadi harus mengingat hal ini. Kampanye-kampanye anti Malaysia
dengan semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia,
merekrut sukarelawan yang siap membela tanah air melawan Malaysia, harus
ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan. Pengalaman
konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran. Banyak
jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang
harus dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama
akibat memori kolektif tadi itu.
Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia
adalah meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia.
Sudah lama wilayah-wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung
Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor, dan ujung Timur Papua, menjadi anak
terlantar. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial bagi masyarakat di
wilayah-wilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai
wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua
wilayah itu tidak pernah disentuh oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola
oleh Malaysia.
15
Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan
b.
Wawasan Nuasantara
Mengerti, memahami, dan menghayati bahwa di dalam menyelenggarakan
kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga
sadar sebagai warga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai
cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang
berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini
dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar
wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan
kebhinekaan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah perbatasan wilayah antar Negara merupakan salah satu bentuk
ancaman bagi keutuhan wilayah Nusantara. Kasus ambalat harusnya
menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kita sudah jauh dari Konsep Wawasan
Nusantara dan Juga kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas
terluar kepulauan Indonesia . Selama ini wawasan nusantara hanya jadi sebuah
slogan tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetuk hati nurani setiap
warga Negara Indonesia agar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
diperlukan pendekatan dengan program yang teratur, terjadwal dan terarah. Hal
ini akan mewujudkan keberhasilan dan implementasi wawasan nusantara.
Dengan demikian wawasan nusantara terimplementasi dalam kehidupan
nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal dalam rangka menjaga
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
17
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Etty, R.1988. masalah
sekitar Ratifikasi dan
Implementasi konvensi hukum Laut 1982. Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung.
Basril, Chaidir. 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan
Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta.
Djalal, Hasyim., 1979, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum
Laut. Bina Cipta, Bandung.
Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983. Geopolitik. Usaha Nasional,
Surabaya.
Ken/ Wan. 07 Maret 2005. Hari ini Presiden Yudhoyono Ke
Ambalat. Dispenal mediacenter@tnial.mil.id
Kurniawan, Yophiandi. 27 Februari 2005. Protes Indonesia atas
Ambalat . Tempo Interaktif.
Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara
Kepulauan Republik Indonesia. http://www.kompas.com
Pernyataan Pers DR.N. Hassan Wirajuda, Menteri luar Negeri RI.
Tentang kasus Sipadan dan Ligitan. 17 Desember 2002.
Embassy of the Republic of Indonesia- Wellington.
Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan
Reaktualisasi
Nasionalisme.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/18/o2.html
Sumarsono, dkk., 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. PT Sun,
Jakarta.
Tim Dosen UGM Yogyakarta. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Perguruan Tinggi. Paradigama, Yogyakarta.
Turmudzi, Didi, Prof. Dr. H.M. Membangun Visi Negara Kepulauan.
http://www.pikiran-rakyat.com
18