Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan
pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita
yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari
persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik
pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara
sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan
ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat
rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2
kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan
mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh
pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah
Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya
dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya kita kilas balik
mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan
effectivitee, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan
administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan
telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara
itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak
menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi
Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur
perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 10' Lintang
Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau
Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang
menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak
1

argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut


berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa
upaya maksimal yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun
1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama.
Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960
yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal
yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki
Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut.
Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua
pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita
berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama
mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang
ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia
menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan
mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan
Ligitan)
Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu
pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan
Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia
sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat, sabang ke
ujung timur, merauke.
B. Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang ambalat menjadi rebutan Malaysia dan Indonesia?
2. Bagaimana Upaya Pemerintah Indonesia Mempertahankan Ambalat?
3. Apa Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional ?
4. Bagaimana Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan
Implementasi Wawasan Nusantara ?
C. Tujuan

Mengetahui dan memahami tentang konflik perbatasan dan solusi


penyelesaiannya serta kaitannya dengan implementasi wawasan nusantara.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Ambalat
Ambalat adalah blok laut seluas 15.235 Km2 yang terletak di laut
Sulawesi atau Selat Makassar milik negara Indonesia sebagai negara kepulauan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penandatanganan Perjanjian Tapal Batas
Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani
di Kuala Lumpur, telah diratifikasi pada tanggal 7 November 1969.[1] Hal ini
kemudian menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah kedaulatan
Indonesia. Akan tetapi, letak geografis Blok Ambalat yang berbatasan langsung
dengan negara tetangga Malaysia, sehingga menimbulkan konflik perbatasan
antara Indonesia dengan Malaysia.

Entah dari mana kata awal Ambalat. Sebab tiba-tiba muncul menjadi berita
di media massa nasional dan internasional. Ibarat artis dadakan, kawasan di
perbatasan Indonesia Malaysia tersebut langsung populer. Bahkan sinarnya
melebihi kesohoran induknya Kabupaten Nunukan.
Ada yang memahami Ambalat adalah singkatan dari Ambang Batas Laut.
Tapi ternyata dalam wikipedia bahasa Indonesia tidak disebutkan demikian. Itu
berarti Ambalat adalah kata tunggal. Lagi pula ada banyak perbatasan laut
Indonesia dengan negeri tetangga selain dengan Malaysia seperti Singapura,
4

Thailand, Vietnam dan Filipina. Tapi perbatasan laut itu tidak pernah disebut
dengan kata Ambalat.
Di Malaysia, rakyat, pemerintah federal dan pihak kerajaan juga memakai
kata Ambalat. Malah sering dibumbui dengan kalimat daerah kontroversi yang
kaya minyak. Seolah-olah Malaysia ingin mengklaim bahwa negeri itu sudah
diterima masuk dalam kawasan sengketa.
Yang tidak kita ketahui; apakah kata Ambalat itu sudah didaftarkan sebagai
hak paten bahasa atau nama kawasan negeri Jiran? Sehingga suatu saat kelak
kalau sengketa batas negara ini muncul di pengadilan internasional kita akan
gelagapan lagi seperti pada sidang Pulau Sipadan dan Ligitan.
Dalam perkembangannya, Ambalat seolah-olah nama itu adalah sebuah
daerah yang berpenduduk dan bermasyarakat. Ada tokoh masyarakat memberikan
komentar di pemberitaan media dengan menyebut kalimat masyarakat Ambalat,
padahal sebenarnya kawasan tersebut merupakan perairan lautan Selat Makassar
atau laut Sulawesi alias sebelah Utara Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan.
Hamparan air 15.235 kilometer persegi. Tapi di sinilah dua negeri jiran ini
kerap adu nyali. Saling ngotot, saling gertak, saling klaim. Ambalat, perairan
yang terjepit antara Sulawesi dan Kalimantan itu adalah titik paling didih dalam
hubungan Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir. Malaysia sudah
mengincarnya sejak 1979. Ketika negeri jiran itu menerbitkan peta yang
memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi
eksklusif mereka. Di dalam peta mereka, Ambalat masuk Malaysia.
Terang saja pemerintah Indonesia menepis klaim Malaysia. Soalnya, dari
riwayata sejarahnya saja Ambalat masuk wilayah Kesultanan Bulungan
(Kalimantan Timur) yang kini menjadi bagian dari Indonesia.
Membuka lembaran hukum laut internasional atau konvensi hukum laut
PBB yang telah dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, ternyata Ambalat juga
diakui dunia Internasional sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia tetap
ngotot. Mereka mengirim kapal perangnya untuk patroli di perairan ini. Ada
nelayan Indonesia melaut ditangkap dan dipukul, juga diusir.
B. Latar Belakang Terjadinya Perebutan Ambalat
Latar belakang yang memunculkan konflik perbatasan Ambalat yaitu
Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam
wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur
5

Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada


tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling
mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah
yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu samasama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing ( Yophiandi Kurniawan,
www. tempo interaktif.com).

Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neoliberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan
minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan
Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan
ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili
Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin
kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang telah menjalin kontrak
kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni
Petronas. Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan
Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis
minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di
dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat
adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan
memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki
sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara
politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta
krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
( Yuli Prasetyaningsih, http://www.balipost.co.id)
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih
dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia
memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas
wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer
persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis
pantai Pulau Sebatik, Kaltim.

Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah


mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia
pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri
Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada
di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia. Alasannya,
Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas
pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara
atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi
Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982)
(Ken/ Wan,Dispenal mediacenter@tnial.mil.id).
Masyarakat kawasan perbatasan sendiri seperti Nunukan, Tarakan dan
Bulungan, baru mengetahui ada Ambalat di dekat rumah mereka. Selama ini yang
mereka ketahui adalah Karang Unarang, sebuah kawasan prairan yang sering
dimasuki kapal militer Malaysia.
Para nelayan di utara Kalimantan Timur sudah hafal mana kawasan
lintasan untuk perahu motor mereka, yakni kawasan yang lebih dalam. Di sana
banyak terdapat gusung alias gundukan pasir yang ketika air surut akan
membuat kandas perahu atau kapal yang terjebak di situ.
Ketika ada kapal berbendera Malaysia dan kapal perang militer negeri
Jiran itu terlihat memasuki perairan Indonesia di Karang Unarang tersebut, para
nelayan umumnya memaklumi karena kemungkinan kapal tersebut menghindari
gusung dan terpaksa meliuk memasuki perairan Indonesia.
Nah, pada posisi itulah kemudian muncul ketegangan di Indonesia.
Seolah-olah terjadi pelanggaran yang disengaja oleh Tentara Diraja Malaysia.
Pemberitaan media massa sering pula meningkatkan tensi kemarahan, sehingga
melontarkan kata-kata perang.
Dalam setiap perundingan, Malaysia tetap berkeras bahwa Blok Ambalat
merupakan bagian dari teritorinya. Bahkan mereka mengirimkan salinan nota
diplomatik yang intinya memprotes kehadiran kekuatan TNI di Blok Ambalat..
Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut sesungguhnya
merupakan akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai
kebijakan pemerintah Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan

martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana
pemerintah Malaysia lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan
para TKI asal Indonesia sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus
lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court
Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan
hubungan diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik
media di Malaysia kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik
Malaysia tidak terlibat jauh dalam sengketa politik tersebut.
C. Alasan Ambalat menjadi rebutan
Blok Ambalat merupakan sebuah kawasan yang kaya dengan kandungan
mineral. Kandungan minyak di dalamnya diperkirakan sebesar 421,61 juta barrell
dan gas alamnya sekitar 3,3 triliyun kaki kubik. Melihat kondisi alam yang
menguntungkan dari Ambalat sudah barang tentu setiap negara menginginkan
bahwa kawasan itu menjadi bagian dari dari negaranya.
Tetapi Malaysia Sesungguhnya yang mereka incar bukan hanya keinginan
memperluas batas wilayah negara, di sini ada kekayaan alam yang berlimpah di
sini. Bahkan menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia di Ambalat
ada tambahan kandungan minyak dengan produksi 30.000 40.000 barel per hari.
Mengapa Ambalat jadi rebutan? Blok Ambalat dengan luas 15.235
kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat
dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset
berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup
besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat
di sana juga yang mendapatkan dampaknya.
Ambalat memang menjadi wilayah yang disengketakan oleh Malaysia dan
Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat terjadi ketegangan di wilayah itu karena
Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam keadaan siap tempur.
Ahli geologi memperkirakan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat
ini mencapai Rp 4.200 triliun. Pemerintah melihat potensi ini. Dua perusahaan
perminyakan raksasa diizinkan beroperasi di perairan Ambalat yang terbagi dalam
tiga blok, yaitu East Ambalat, Ambalat, dan Bougainvillea, itu. Yaitu Eni Sp. A
dan Chevron Pacific Indonesia.

Rupanya Malaysia juga tergiur dengan isi perut Ambalat. Dua blok
penghasil minyak di Ambalat itu mereka beri nama Blok Y dan Z. Belakangan
Malaysia menyebutnya dengan Blok ND6 dan ND7. Negara yang berupaya
mengklaim Ambalat masuk ke wilayahnya ini pun belakangan meminta Petronas
Carigali Sdn Bhd, perusahaan minyak dan gas lokal Malaysia, masuk Ambalat,
pada 2002.
Dua tahun berselang Malaysia menggandeng Shell, perusahaan yang
bernama lengkap Royal Dutch Shell plc., masuk Ambalat. Bermarkas di Den
Haag, Belanda, dan London, Inggris, ini telah ada sejak 1928. Perusahaan berada
pada peringkat empat swasta minyak dan gas di dunia. Di Indonesia Shell sudah
hadir sejak 2005.
Indonesia, sebagai negara ASEAN yang memiliki wilayah paling luas
tidak memiliki ambisi teritorial untuk mencaplok wilayah negara lain. Hal
tersebut sangat berbeda dengan Malaysia yang rakus untuk memperluas
wilayahnya. Kita semua sudah tahu bahwa titik-titik perbatasan darat Indonesia
Malaysia di Pulau Kalimantan selalu digeser oleh Malaysia. Wilayah kita semakin
sempit sementara wilayah Malaysia semakin luas.
Ambisi teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kita
tentu ingat Sipadan dan Ligitan yang lepas dari Indonesia hanya karena Malaysia
membangun kedua pulau tersebut sedangkan Indonesia yang menjunjung
kejujuran dengan tidak membangun wilayah yang dipersengketakan dikalahkan
oleh hakim-hakim Mahkamah Internasional. Bukan hanya Sipadan dan Ligitan
yang dibangun oleh Malaysia. Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak
negara (a.l. Malaysia, China, Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia.
Mungkin Malaysia ingin mengulang kisah suksesnya dalam menganeksasi
Sipadan dan Ligitan.
D. Dasar Hukum Kepemilikan Ambalat
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara
kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini
dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan
Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di
Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya

kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut


dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara
maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada
empat golongan yang berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan,
yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan
negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia. Kedua, negara yang
berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel komunikasi di dasar
laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di Perairan Indonesia
sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu
lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk negara- negara Eropa Barat
yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat, negara maritim besar yang
mempunyai kepentingan terhadap strategi militer, seperti Amerika Serikat dan
Rusia.
Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan
Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972,
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan
suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah
Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3
mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO)
1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas
(high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang
terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi
Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu
Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh
UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi negara
kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982
yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting
karena

selama

25

tahun

secara

terus-menerus

Pemerintah

Indonesia

10

memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara


kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu
kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957
dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garisgaris Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan
Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan
keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya konflik MalaysiaIndonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia
dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line) pascasidang kasus SipadanLigitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak
Pemerintah

Malaysia

menempatkan

dirinya

sebagai

negara

kepulauan

(archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan


(straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga
wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan
Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah,
benarkah

Malaysia

merupakan

negara

kepulauan

sebagaimana

yang

dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?


Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara
kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih
kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan kepulauan
adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan (interconnecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang
demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis,
dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47).
Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus
kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan
Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural
prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar dari tepian

11

kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagilagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak
melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka
batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.
( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com)
E. Hikmah dan Solusi

Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi

Wawasan Nusantara
Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, kami akan memulai
dengan melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia
terhadap isu ini. Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam
wawancaranya

dengan

Gatra,

masyarakatnya

tenang-tenang

saja

dan

menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan pemerintah. Memakai pemikiran


Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgivenessin Politics , reaksi keras
semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat memori kolektif sejarah kekalahan
Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa konfrontasi dengan Malaysia di
zaman Sukarno, dan kemudian kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus
Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional, serta merta membangkitkan
kemarahan kolektif juga ketika Malaysia diberitakan berulah lagi. Hal ini bisa
dilihat dari porsi demikian besar yang diberikan media terhadap masalah ini.
Selain itu terlihat juga melalui komentar-komentar yang dilontarkan, bukan hanya
oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi. Banyak yang mendorong
pemerintah untuk bersikap keras, bahkan Zaenal Maarif, seorang politisi dari
Partai Bintang Reformasi (PBR) meminta pemerintah untuk segera menyatakan
perang melawan Malaysia.
Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif kekalahan terhadap Malaysia
ini bisa dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu
nasib sebagai pekerja kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa
bisa jadi tanda disadari telah tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga
ketika ada gejolak sedikit saja, rasa terinjak-injak itu begitu kuat. Namun
demikian, kami menyadari juga bahwa untuk menelusuri memori kolektif ini,
diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan
memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras masyarakat
12

Indonesia, setiap kali terjadi persinggungan dengan Malaysia , kami berpendapat


bahwa langkah awal untuk menyelesaikan masalah dengan Malaysia untuk jangka
panjang adalah dengan menelusuri dan mengungkapkan memori kolektif itu.
Tanpa itu dilakukan, hubungan kedua bangsa yang bertetangga dan bersaudara
serumpun ini, akan terus mengalami gejolak seperti yang terjadi belakangan ini.
Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya
adalah mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini.
Memang informasi yang dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak,
karena pemerintah Malaysia maupun media Malaysia kelihatannya tidak terlalu
membicarakan hal ini dengan terbuka. Akan tetapi, kami tertarik melihat sikap
Malaysia yang terlihat begitu enteng dalam melakukan klaim, dan juga begitu
yakin akan posisinya.
PM Malaysia ketika ditanya tentang protes Indonesia terhadap klaim
Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang diberikan Petronas
kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia.
Petronas pasti mengerti bahwa wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika
itu

wilayah

orang

lain,

untuk

apa

Petronas

sampai

ke

sana.

Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan
memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal
Malaysia bukan termasuk Negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka
terlihat bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja,
tetapi bisa jauh masuk ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur
dan Sulawesi Utara bagian Barat.
Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia
menganggap masalah ini hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi
Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan
sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah kedaulatan
Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah
kedaulatan. Bahkan blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia
mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara
lain. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah

13

kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber
daya alam.
Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan perdamaiannya Glenn
Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk
menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika
Menlu Malaysia mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak
yang merasa dirugikan oleh klaimnya.
Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen
adalah menetapkan keamanan bersama (affirm common security), dengan
membangun tatanan yang damai dan adil bagi semua pihak. Penetapan batas
wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan memakai pertimbangan
menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia, adalah
tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah
seperti itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan
ancaman bagi pihak yang lain. Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau
diadakan pun akan menjadi lebih sulit untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat
dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas masalah Ambalat yang
diadakan di Bali tanggal 22-23 Maret lalu. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apaapa, karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing.
Karena dalam kasus ini ancaman sudah terjadi, dan tatanan yang damai
dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen perlu
diperhatikan baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk
perdamaian (take independent initiatives). Dalam kasus ini, pihak yang
manakah yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk menyelesaikan masalah?
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah mengupayakan dialog atas klaim
Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak mendapat tanggapan
berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada Shell
oleh Petronas Malaysia.
Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru
Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercusuar
di atol Karang Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan
Malaysia selalu siap untuk berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak

14

Indonesia adalah berunding dengan kondisi seperti apa? Apakah dengan kondisi
melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih dulu (dengan tidak
memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia
bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercusuar itu, karena itu
termasuk wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan
membiarkan wilayah itu menjadi wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai
ditemukan titik temu melalui dialog. Namun, melihat perkembangan yang ada
sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga enggan untuk diterima.
Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy.
Bicaralah, lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan
memakai metode-metode penyelesaian konflik Tentang hal ini, sudah
dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun dijanjikan untuk bertemu
kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu.
Sambil menunggu, langkah keempat mungkin bisa dilakukan. Itu
adalah mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian konflik
yang sudah terjadi harus mengingat hal ini. Kampanye-kampanye anti Malaysia
dengan semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia,
merekrut sukarelawan yang siap membela tanah air melawan Malaysia, harus
ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan. Pengalaman
konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran. Banyak
jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang
harus dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama
akibat memori kolektif tadi itu.
Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia
adalah meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia.
Sudah lama wilayah-wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung
Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor, dan ujung Timur Papua, menjadi anak
terlantar. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial bagi masyarakat di
wilayah-wilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai
wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua
wilayah itu tidak pernah disentuh oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola
oleh Malaysia.
15

Langkah kelima dan keenam, yang menurut kami masih berkaitan


erat adalah Memutus lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam
penciptaan perdamaian dan Mengakhiri propaganda saling menyalahkan,
termasuk memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang dirugikan.
Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan Indonesia,
menurut saya kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang, sejarah konflik
yang pernah terjadi antara kedua bangsa harus diungkapkan, dan kemudian
mencari jalan untuk mengakhiri semua kecurigaan satu dengan yang lain .Kedua
langkah ini terkait erat dengan teori Shriver, mengungkapkan untuk mengingat
kejahatan yang sudah dilakukan, dan kemudian mengampuni.
Kemudian langkah yang terakhir adalah bekerja bersama-sama
untuk menyelesaikan konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua
upaya untuk pengungkapan masalah dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk
kedua bangsa. Kami tidak setuju dengan pendapat Menlu Malaysia yang
mengatakan bahwa masalah ini hanya masalah teknis sehingga masyarakat
Malaysia tidak perlu tahu. Ini hanya urusan dua pemerintahan. Proses negosiasi,
kemajuan-kemajuan dan hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada
publik, sehingga publik bisa turut berpartisipasi dengan menyumbangkan
opininya.
Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang
logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan
peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing
negara bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat
mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai.
Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah
ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan
nasional yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia.
Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan
Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita
masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran
untuk:
a.
Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara
serta hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa
16

Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan
b.

Wawasan Nuasantara
Mengerti, memahami, dan menghayati bahwa di dalam menyelenggarakan
kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga
sadar sebagai warga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai
cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang

berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini
dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar
wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan
kebhinekaan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah perbatasan wilayah antar Negara merupakan salah satu bentuk
ancaman bagi keutuhan wilayah Nusantara. Kasus ambalat harusnya
menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kita sudah jauh dari Konsep Wawasan
Nusantara dan Juga kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas
terluar kepulauan Indonesia . Selama ini wawasan nusantara hanya jadi sebuah
slogan tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetuk hati nurani setiap
warga Negara Indonesia agar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
diperlukan pendekatan dengan program yang teratur, terjadwal dan terarah. Hal
ini akan mewujudkan keberhasilan dan implementasi wawasan nusantara.
Dengan demikian wawasan nusantara terimplementasi dalam kehidupan
nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal dalam rangka menjaga
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
17

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Etty, R.1988. masalah
sekitar Ratifikasi dan
Implementasi konvensi hukum Laut 1982. Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung.
Basril, Chaidir. 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan
Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta.
Djalal, Hasyim., 1979, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum
Laut. Bina Cipta, Bandung.
Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983. Geopolitik. Usaha Nasional,
Surabaya.
Ken/ Wan. 07 Maret 2005. Hari ini Presiden Yudhoyono Ke
Ambalat. Dispenal mediacenter@tnial.mil.id
Kurniawan, Yophiandi. 27 Februari 2005. Protes Indonesia atas
Ambalat . Tempo Interaktif.
Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara
Kepulauan Republik Indonesia. http://www.kompas.com
Pernyataan Pers DR.N. Hassan Wirajuda, Menteri luar Negeri RI.
Tentang kasus Sipadan dan Ligitan. 17 Desember 2002.
Embassy of the Republic of Indonesia- Wellington.
Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan
Reaktualisasi
Nasionalisme.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/18/o2.html
Sumarsono, dkk., 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. PT Sun,
Jakarta.
Tim Dosen UGM Yogyakarta. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Perguruan Tinggi. Paradigama, Yogyakarta.
Turmudzi, Didi, Prof. Dr. H.M. Membangun Visi Negara Kepulauan.
http://www.pikiran-rakyat.com

18

Anda mungkin juga menyukai