Oleh : Kelompok 1
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari pemberitaan atau masyarakat jarang sekali memperhatikan tentang masalah udara,
padahal masalah tersebut sangatlah krusial. Udara menjadi tembok pertahanan Indonesia karena
luasnya merupakan bagian terbesar di antara daratan dan lautan. Indonesia kedaulatannya telah
diakui secara de facto dan de jure. De facto Indonesia memiliki teritori, pemerintahan, dan rakyat.
Wilayah udara saat ini telah di kavling oleh negara-negara di dunia melalui International
Civil Aviation Organization (ICAO) dalam bentuk Flight Region Information (FIR) sehingga
setiap pesawat baik sipil maupun militer yang akan terbang di area tersebut wajib meminta izin ke
Air Traffic Controller (ATC) terdekat yang pembagian FIR nya di atur oleh negara yang memiliki
kedaulatan di wilayah tersebut ataupun negara yang didelegasikan oleh negara yang memiliki
kedaulatan.Masalah yang berkaitan dengan FIR ini terjadi antara Indonesia dan Singapura.
Peristiwa ini terjadi di tahun 1946. Selama 74 tahun terhitung hingga 2020 ini, Singapura masih
memegang kendali atas kontrol udara di atas wilayah udara kepulauan Riau dan
1) Apa permasalahan antara Indonesia dan Singapura terkait dengan FIR dan aspek hukum
yang berkaitan ?
2) Bagaimana upaya Indonesia untuk mengambil alih kontrol udara di wilayah Natuna dan
1.3 Tujuan
Menjelaskan inti permasalahan kontrol wilayah udara di wilayah Natuna dan Riau antara
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ruang Udara
Pada Pasal 1 Konvensi Paris, tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1919, pada Convention
Relating to the Regulation of Aerial Navigation, dinyatakan bahwa tiap negara memiliki
kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang berada di atas wilayah teritorialnya.
(Pramono, 2012). Wilayah perbatasan udara negara merentang di atas wilayah daratan dan di atas
wilayah perairan, yang telah ditetapkan secara hukum dan diakui oleh masyarakat Internasional.
Pengaturan batas udara negara berperan terhadap aspek pertahanan dan keamanan negara.
(Paminto W, 2016)
Ruang udara adalah bagian integral dari satu kawasan kepentingan hidup bangsa dan
negara Indonesia. Sebagai kawasan kepentingan hidup, ruang udara digunakan untuk mewujudkan
tujuan nasional, yang tidak mengabaikan upaya pelestariannya, yang dilaksanakan secara
terintegrasi. (Risdiarto, 2016). Semua pesawat udara yang melakukan penerbangan harus
memerhatikan lalu lintas udara dan harus diawasi. Hal tersebut penting untuk diatur dan diikuti
karena berguna bagi efisiensi penerbangan, serta terutama keselamatan penerbangan, untuk
memberitahu organisasi yang bersangkutan jika dibutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan.
(Fahrazi, 2019)
Penentuan batas udara menurut Konvensi Chicago 1944 dapat dilakukan melalui dua cara;
1) Secara Horizontal : Batas wilayah udara horizontal tiap negara sama dengan luas wilayah
darat negaranya. Untuk negara berpantai, batas wilayah negara bertambah, sesuai
2
perundang-undangan yang diatur pada United Nations Convention on the Law of the Sea
1982.
2) Secara Vertikal : Belum terdapat ketentuan yang jelas untuk batas wilayah udara vertikal
internasional, prinsip hukum umum, serta yurisprudensi internasional yang mengatur hal
Konvensi Chicago menjunjung tinggi kedaulatan negara atas wilayah udaranya. Indonesia
telah menjadi negara pihak pada konvensi tersebut sejak tahun 1950. Namun, besar resiko untuk
lalu lintas transportasi udara seperti pesawat terbang negara asing, yang memiliki kepentingan
bersama secara Internasional, terbatasi oleh adanya pengaturan tersebut. Maka, diatur lalu lintas
penerbangan dalam Enroute Charts International Civil Aircraft Organization (ICAO). Perihal
pengawasan dan pengaturan lalu lintas penerbangan suatu kawasan diatur melalui penetapan Flight
Information Region (FIR) oleh ICAO. FIR adalah divisi reguler terbesar dari wilayah udara yang
digunakan oleh seluruh dunia pada saat ini, dimana informasi mengenai penerbangan pada ruang
udara telah tersedia beserta pelayanan pengawasannya. Terdapat dua FIR di Indonesia; FIR Jakarta
dan FIR Makassar, yang dibantu oleh FIR Singapura, untuk wilayah di atas Batam, Matak, dan
Natuna (sektor A, B, dan C). FIR adalah wilayah yang ditetapkan tidak berdasarkan wilayah
3
2.3.2 Prinsip Hukum Udara Internasional
kedaulatan penuh dan eksklusif dari tiap negara atas ruang udara di atas wilayahnya. Kedua
kerjasama antar negara untuk memajukan dan mengamankan penerbangan dalam navigasi udara
internasional, dan ketiga tatanan navigasi penerbang an di Indonesia memuat: ruang udara yang
dilayani, klasifikasi ruang udara, jalur penerbangan, serta jenis pelayanan navigasi penerbangan.
(Diederiks-Verschoor, 1991)
yang telah dituliskan dalam pembentukan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan (UU Penerbangan), yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdaulat penuh dan
Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh suatu negara pada ruang udara nasional berbeda
dengan sifat kedaulatan negara atas wilayah lautnya. Pada ruang udara, tidak dikenal hak lintas
damai atau innocent passage pihak asing seperti pada wilayah laut. Ruang udara suatu negara
bersifat tertutup bagi pesawat asing, baik sipil maupun militer, mengingat bahwa udara adalah
ruang gerak yang sangat rawan dalam segi pertahanan keamanan negara. Serangan militer melalui
jalur udara memiliki keunggulan dalam hal kecepatan, jangkauan, waktu yang mendadak, serta
4
BAB III
METODOLOGI
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dimana penelitian dengan
undangan, literatur, dan bahan referensi lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.
yang mana pendekatan dilakukan dengan mengkaji semua peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan permasalahan hukum yang diteliti. Tujuan pendekatan perundang-undangan ini
adalah untuk menemukan konsistensi dan kesesuaian antara undang-undang yang satu dengan
undang-undang dasar dan yang lainnya. Digunakan juga pendekatan lain berupa pendekatan kasus
(case approach), dimana pendekatan dilakukan dengan mengkaji kasus-kasus yang berkaitan
Tahun 2009 pada Pasal 5 dan Pasal 458, Pasal 1 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional
(Konvensi Chicago 1994), dan UNCLOS 1982. Untuk prosedur pengumpulan bahan hukum
dilakukan melalui studi pustaka yang diawali dengan melakukan inventarisasi bahan hukum serta
klasifikasi bahan hukum yang tersedia untuk digunakan sebagai pedoman dalam menjawab
5
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Latar Belakang Konflik
Melihat sejarah penetapan FIR (Flight Information Region) Kepulauan Riau dan Natuna,
diketahui sejak tahun 1946 FIR Singapura telah mengontrol wilayah udara tersebut. Pada waktu
tersebut Singapura tidak membutuhkan izin Indonesia karena sebagian wilayah ini pada waktu itu
adalah laut bebas. Selain itu FIR Indonesia di Riau dikontrol oleh FIR Singapura karena waktu itu
FIR Indonesia belum mampu untuk mengurus wilayah Udara. Tahun 1998 Indonesia memperlebar
wilayah kedaulatannya di Perairan Natuna dengan menggeser garis-garis pangkal lurus ke arah
utara sehingga sebagian perairan yang semula laut bebas berubah menjadi perairan kepulauan
Indonesia. Sebelum UNCLOS 1982, Indonesia telah mendelegasikan hak pengaturan udara kepada
Singapura pada tahun 1973 yang kemudian disahkan oleh ICAO. Sejarah ini justru membuktikan
bahwa Indonesia berdaulat terhadap wilayah udaranya sebelum UNCLOS 1982 merestuinya.
Berikut merupakan peta zona (Flight Information Region) FIR wilayah Kepulauan Riau
Gambar 4.1. merupakan peta mengenai zona FIR pada wilayah Kepulauan Riau dan laut
Natuna. Flight Information Region (FIR) Sektor A dan B merupakan FIR milik Singapura. FIR
6
sektor A mencakup wilayah kepulauan Riau dan sektor B mencakup wilayah Natuna. Untuk
wilayah udara Indonesia yang masuk pada FIR sektor A yaitu di kepulauan Riau termasuk di
beberapa kepulauan kecil seperti pulau Pedang, pulau Tebing tinggi, dan pulau Rangsang.
Wilayah-wilayah tersebut dikontrol oleh Singapura, sehingga ada konsekuensi bahwa seluruh
pesawat yang melintas di wilayah tersebut harus meminta izin terbang dan masuk dari ATC di
Singapura bahkan hanya untuk menyalakan mesin. Ini yang merupakan akar dari masalah dimana
Indonesia terlihat sangat ingin agar dapat mengontrol FIR kembali. Selain itu wilayah
military training area (MTA) di sekitar kepulauan Riau kerap menjadi tempat latihan angkatan
udara Singapura, sehingga wilayah udara Kepulauan Riau menjadi danger area. Ketakutan akan
ancaman dari negara lain merupakan salah satu alasan mengapa masalah ini penting, ini juga yang
akan memicu border dispute. Presiden Jokowi dalam memerintahkan jajarannya untuk merebut
FIR Singapura didukung oleh amanat Undang-Undang Penerbangan yang terbit pada 12 Januari
Eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat yang mempunyai hak penuh untuk mengatur
segala urusan dalam negeri. Hal ini dipertanyakan oleh sebagian pihak dengan memberikan hak
pengaturan lalu lintas ruang udaranya. Meskipun kedaulatan udara Indonesia tidak serta-merta
diambil oleh Singapura, namun dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas udara yang
merupakan salah satu penjabaran dari hak Indonesia untuk mengatur urusan dalam negeri. Secara
tidak langsung, Indonesia sudah mendelegasikan sebagian haknya untuk mengatur lalu lintas ruang
udaranya kepada Singapura. Dengan munculnya konflik ini dapat menjadi ancaman berupa
pelemahan Indonesia di bidang pertahanan yang akan mengancam keamanan dan kedaulatan
7
negara Republik Indonesia. Di sisi yang lain Indonesia akan kehilangan pendapatan dari fee
penerbangan yang melintas di wilayah udara Indonesia karena fee ini akan masuk ke negara lain
(Singapura).
Pada UU No.1 Tahun 2009 menyatakan bahwa pelayanan FIR yang didelegasikan kepada
negara lain, khususnya pada wilayah Pulau Natuna dalam kurun waktu 15 tahun terhitung sejak
UU No. 1 Tahun 2009 berlaku, harus sudah dikembalikan kepada Indonesia. Hal itu menandakan
bahwa pada sekitar tahun 2024 FIR untuk udara di atas Kepulauan Riau sudah dikendalikan oleh
penerbangan yang telah diatur sedemikian rupa yang akan mengakibatkan perjalanan lewat udara
tertunda. Oleh karena itu, Air Traffic Control (ATC) harus bekerja seoptimal mungkin untuk
mencegah terjadinya permasalahan lalu lintas di udara. Indonesia pada saat ini baru memiliki
peralatan navigasi penerbangan seperti yang dimiliki Singapura terutama dalam akurasi radar
cuaca. Oleh karena itu, perkembangan teknologi dan penguasaannya sudah sangat mendesak untuk
dilakukan agar dapat menguasai ATC dan mendapatkan FIR di bawah kendali Indonesia.
Pengendalian FIR oleh negara lain di wilayah udara RI sangat berpengaruh terhadap sistem
pertahanan udara nasional dan dapat menyebabkan kendala dalam melaksanakan penegakan
hukum dan kedaulatan di udara. Langkah awal diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia
untuk menata ulang pengelolaan ruang udara yang digunakan untuk memberikan pelayanan lalu
lintas udara di atas Natuna, Tarempa, dan Kepulauan Riau telah dituangkan dalam kerangka kerja
perundingan FIR antara RI dengan Singapura. Pada UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
terdapat klausul pengambil alihan FIR tersebut, yaitu pasal 5 yang menyatakan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara RI.” Acuan hukum
8
yang lainnya itu, pada Pasal 458 yang berbunyi “Wilayah udara Republik Indonesia, yang
sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
paling lambat 15 tahun sejak UU ini berlaku.” Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka ruang
udara Indonesia yang dikendalikan oleh negara asing harus berada dalam kontrol Indonesia paling
Sejak 1983 pemerintahan Indonesia telah berusaha untuk mengambil daerah FIR di
Kepulauan Natuna dan Kepulauan Riau. Berikut ini beberapa langkah yang pernah di tempuh
Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah udara Kepulauan Riau dan Kepulauan
Natuna :
Maksud dibentuknya lembaga ini adalah menyediakan layanan navigasi yang baik di
Indonesia.
2) Indonesia telah berusaha untuk bisa masuk dalam Dewan Penerbangan Sipil Internasional
(ICAO) pada 2016. Dan apabila Indonesia ingin mengambil alih wilayah udaranya maka
harus melalui persetujuan seluruh anggota ICAO. Namun hal tersebut tidak disetujui
Malaysia karena dirasa tidak menguntungkan pihaknya jika terdapat joint latter antara
3) Modernisasi alat navigasi penerbangan di Indonesia yang bekerjasama dengan The MITRE
Indonesia.
9
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Batas wilayah udara di Indonesia (FIR) yang terletak pada di Kepulauan Riau telah lama
dikontrol oleh Singapura. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut salah satu
diantaranya pihak Indonesia merasa belum mampu pada saat itu untuk mengontrol dan mengelola
wilayah udara Kepulauan Riau. Selain itu, aspek wilayah udara Indonesia khususnya di Kepulauan
Riau telah diatur pada hukum nasional yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 2009. Undang-Undang
ini menyatakan bahwa pelayanan FIR yang didelegasikan kepada negara lain, khususnya pada
wilayah Pulau Natuna dalam kurun waktu 15 tahun terhitung sejak UU No. 1 Tahun 2009 berlaku,
Selain mengikat kedaulatan wilayah udara Indonesia ini melalui dasar hukum, pihak
menyediakan layanan navigasi yang baik di Indonesia. Selain itu Indonesia berusaha untuk bisa
masuk dalam ICAO pada 2016, serta meningkatkan sistem navigasi penerbangan Indonesia.
FIR pada hakikatnya adalah persoalan manajemen lalu lintas udara yang harus diatur
dengan tujuan demi keselamatan lalu lintas udara. Bahwa setiap negara berhak mengatur wilayah
udaranya serta kedaulatan ini didsari oleh hukum internasional yang mengatur agar tidak
terjadinya konflik perebutan wilayah antar negara. Dengan adanya kedaulatan wilayah udara ini
diharapkan Indonesia dapat mengontrol pengendalian lalu lintas udara agar terjamin
keselamatannya. Indonesia harus segera menyiapkan teknologi yang bisa menyamai ATC di
Singapura, agar di 2024 bisa mengambil alih FIR Kepulauan Riau dan Natuna. Selain itu Indonesia
harus menjaga kedaulatannya supaya tetap mempunyai kewenangan atas kedaulatan di wilayah
udaranya
10
DAFTAR PUSTAKA
Asep Adang Supriyadi, Masita Dwi Mandini Manessa, Rudy Agus Gemilang Gultom, (2018) “:Isu
Penyelarasan Flight Information Region di Atas Wilayah Natuna Issue on Flight Information
Region above Natuna Area”, Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik, Vol. 05 No. 03
Diederiks-Verschoor. (1991). Beberapa Persamaan dan Perbedaan antara Hubungan Udara dan
Hukum Ruang Angkasa Khusus dalam Bidang Hukum Perdata Internasional. Jakarta: Sinar
Grafika
Fahrazi, Mahfud. (2019). Pengelolaan Flight Information Region di Wilayah Kepulauan Riau dan
Paminto, Andre. (2016). Penegakan Hukum di Perbatasan Wilayah Udara Negara Kesatuan
Pramono, Agus. (2012). Wilayah Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara dalam Perspektif Hukum
Risdiarto, Danang. (2016) Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Wilayah Udara Yurisdiksi
Indonesia oleh Pesawat Terbang Asing Tidak Terjadwal. Jurnal RechtsVinding, Vol. 5, No. 1
Simanjuntak, Mangisi. (2020). Pengambilalihan Flight Information Region (FOR) Indonesia dari
Singapura. Jurnal Hukum To-Ra: Hukum untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat, Vol.
6. No. 2
Abraham Utama. “Sengkarut Area Militer Singapura Di Langit Indonesia.” nasional, October 5,
2015. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004172628-20-82700/sengkarutarea-
11
CNN Indonesia Sengkarut Area Militer Singapura di Langit Indonesia
m.cnnindonesia.com/nasional/20151004172628-20-82700/sengkarut-area-militer-singapura-
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004164716-20-82695/perang-udara-
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Perubahan-Batas-Flight-Information-Region-Apa-
Setiawan, Samhis. "Batas Wilayah Udara: Cara Menentukan Secara Horizontal dan Vertikal"
https://www.gurupendidikan.co.id/batas-wilayah-udara-cara-menentukan-secara-horizontal-
https://news.detik.com/berita/d-4284760/pesawat-asing-dan-lika-liku-pengambilalihan-fir-
12