Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PENYELESAIAN MASALAH BATAS UDARA ANTARA

INDONESIA DAN SINGAPURA SEBAGAI KEDAULATAN BANGSA


TUGAS PENGAYAAN PEMETAAN BATAS WILAYAH

Oleh : Kelompok 1

Devinta Millenia Prafitri NRP 03411740000017


Maizan Rin Dalwain NRP 03411740000022
Mohamad Setyo Ari Nuswantara NRP 03411740000026
Amanda Safira NRP 03411740000049

DEPARTEMEN TEKNIK GEOFISIKA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL PERENCANAAN DAN KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi Ruang Udara 2
2.2 Penentuan Batas Udara 2
2.3 Dasaran Hukum 3
2.3.1 Konvensi Chicago 1944 Tentang Flight Information Region (FIR) 3
2.3.2 Prinsip Hukum Udara Internasional 4
2.3.3 Perundang-Undangan Indonesia 4
BAB III METODOLOGI 5
3.1 Metode Penelitian 5
BAB IV PEMBAHASAN 6
4.1. Latar Belakang Konflik 6
4.2. Kondisi Wilayah Flight Information Region Laut Natuna 6
4.3. Perkembangan Konflik 7
4.4 Upaya Pengambilalihan FIR Indonesia di Wilayah Natuna dan Riau 8
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 10
DAFTAR PUSTAKA 11

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dari pemberitaan atau masyarakat jarang sekali memperhatikan tentang masalah udara,

padahal masalah tersebut sangatlah krusial. Udara menjadi tembok pertahanan Indonesia karena

luasnya merupakan bagian terbesar di antara daratan dan lautan. Indonesia kedaulatannya telah

diakui secara de facto dan de jure. De facto Indonesia memiliki teritori, pemerintahan, dan rakyat.

De jure Indonesia telah diakui sah oleh negara lain.

Wilayah udara saat ini telah di kavling oleh negara-negara di dunia melalui International

Civil Aviation Organization (ICAO) dalam bentuk Flight Region Information (FIR) sehingga

setiap pesawat baik sipil maupun militer yang akan terbang di area tersebut wajib meminta izin ke

Air Traffic Controller (ATC) terdekat yang pembagian FIR nya di atur oleh negara yang memiliki

kedaulatan di wilayah tersebut ataupun negara yang didelegasikan oleh negara yang memiliki

kedaulatan.Masalah yang berkaitan dengan FIR ini terjadi antara Indonesia dan Singapura.

Peristiwa ini terjadi di tahun 1946. Selama 74 tahun terhitung hingga 2020 ini, Singapura masih

memegang kendali atas kontrol udara di atas wilayah udara kepulauan Riau dan

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa permasalahan antara Indonesia dan Singapura terkait dengan FIR dan aspek hukum

yang berkaitan ?

2) Bagaimana upaya Indonesia untuk mengambil alih kontrol udara di wilayah Natuna dan

Riau yang dipegang oleh Singapura?

1.3 Tujuan

Menjelaskan inti permasalahan kontrol wilayah udara di wilayah Natuna dan Riau antara

Indonesia dan Singapura .

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ruang Udara

Pada Pasal 1 Konvensi Paris, tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1919, pada Convention

Relating to the Regulation of Aerial Navigation, dinyatakan bahwa tiap negara memiliki

kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang berada di atas wilayah teritorialnya.

(Pramono, 2012). Wilayah perbatasan udara negara merentang di atas wilayah daratan dan di atas

wilayah perairan, yang telah ditetapkan secara hukum dan diakui oleh masyarakat Internasional.

Pengaturan batas udara negara berperan terhadap aspek pertahanan dan keamanan negara.

(Paminto W, 2016)

Ruang udara adalah bagian integral dari satu kawasan kepentingan hidup bangsa dan

negara Indonesia. Sebagai kawasan kepentingan hidup, ruang udara digunakan untuk mewujudkan

tujuan nasional, yang tidak mengabaikan upaya pelestariannya, yang dilaksanakan secara

terintegrasi. (Risdiarto, 2016). Semua pesawat udara yang melakukan penerbangan harus

memerhatikan lalu lintas udara dan harus diawasi. Hal tersebut penting untuk diatur dan diikuti

karena berguna bagi efisiensi penerbangan, serta terutama keselamatan penerbangan, untuk

memberitahu organisasi yang bersangkutan jika dibutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan.

(Fahrazi, 2019)

2.2 Penentuan Batas Udara

Penentuan batas udara menurut Konvensi Chicago 1944 dapat dilakukan melalui dua cara;

secara horizontal dan vertikal, sebagai berikut:

1) Secara Horizontal : Batas wilayah udara horizontal tiap negara sama dengan luas wilayah

darat negaranya. Untuk negara berpantai, batas wilayah negara bertambah, sesuai

2
perundang-undangan yang diatur pada United Nations Convention on the Law of the Sea

1982.

2) Secara Vertikal : Belum terdapat ketentuan yang jelas untuk batas wilayah udara vertikal

tiap negara, yang disebabkan belum adanya perjanjian internasional, kebiasaan

internasional, prinsip hukum umum, serta yurisprudensi internasional yang mengatur hal

tersebut. (Setiawan, 2020)

2.3 Dasaran Hukum

2.3.1 Konvensi Chicago 1944 Tentang Flight Information Region (FIR)

Konvensi Chicago menjunjung tinggi kedaulatan negara atas wilayah udaranya. Indonesia

telah menjadi negara pihak pada konvensi tersebut sejak tahun 1950. Namun, besar resiko untuk

lalu lintas transportasi udara seperti pesawat terbang negara asing, yang memiliki kepentingan

bersama secara Internasional, terbatasi oleh adanya pengaturan tersebut. Maka, diatur lalu lintas

penerbangan dalam Enroute Charts International Civil Aircraft Organization (ICAO). Perihal

pengawasan dan pengaturan lalu lintas penerbangan suatu kawasan diatur melalui penetapan Flight

Information Region (FIR) oleh ICAO. FIR adalah divisi reguler terbesar dari wilayah udara yang

digunakan oleh seluruh dunia pada saat ini, dimana informasi mengenai penerbangan pada ruang

udara telah tersedia beserta pelayanan pengawasannya. Terdapat dua FIR di Indonesia; FIR Jakarta

dan FIR Makassar, yang dibantu oleh FIR Singapura, untuk wilayah di atas Batam, Matak, dan

Natuna (sektor A, B, dan C). FIR adalah wilayah yang ditetapkan tidak berdasarkan wilayah

teritorial, namun berdasarkan kepentingan dan pertimbangan keselamatan penerbangan (safety

consideration). (Fahrazi, 2019)

3
2.3.2 Prinsip Hukum Udara Internasional

Prinsip Hukum Udara Internasional menyatakan hal-hal berikut, pertamapengakuan

kedaulatan penuh dan eksklusif dari tiap negara atas ruang udara di atas wilayahnya. Kedua

kerjasama antar negara untuk memajukan dan mengamankan penerbangan dalam navigasi udara

internasional, dan ketiga tatanan navigasi penerbang an di Indonesia memuat: ruang udara yang

dilayani, klasifikasi ruang udara, jalur penerbangan, serta jenis pelayanan navigasi penerbangan.

(Diederiks-Verschoor, 1991)

2.3.3 Perundang-Undangan Indonesia

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memertahankan kedaulatan ruang udara

yang telah dituliskan dalam pembentukan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan (UU Penerbangan), yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdaulat penuh dan

utuh atas wilayah udara Republik Indonesia. (Fahrazi, 2019)

Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh suatu negara pada ruang udara nasional berbeda

dengan sifat kedaulatan negara atas wilayah lautnya. Pada ruang udara, tidak dikenal hak lintas

damai atau innocent passage pihak asing seperti pada wilayah laut. Ruang udara suatu negara

bersifat tertutup bagi pesawat asing, baik sipil maupun militer, mengingat bahwa udara adalah

ruang gerak yang sangat rawan dalam segi pertahanan keamanan negara. Serangan militer melalui

jalur udara memiliki keunggulan dalam hal kecepatan, jangkauan, waktu yang mendadak, serta

penyusupan. (Risdiarto, 2016)

4
BAB III
METODOLOGI
3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dimana penelitian dengan

cara menganalisis permasalahan hukum melalui perjanjian internasional, peraturan perundang-

undangan, literatur, dan bahan referensi lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.

Pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),

yang mana pendekatan dilakukan dengan mengkaji semua peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan permasalahan hukum yang diteliti. Tujuan pendekatan perundang-undangan ini

adalah untuk menemukan konsistensi dan kesesuaian antara undang-undang yang satu dengan

undang-undang dasar dan yang lainnya. Digunakan juga pendekatan lain berupa pendekatan kasus

(case approach), dimana pendekatan dilakukan dengan mengkaji kasus-kasus yang berkaitan

dengan permasalahan hukum yang dibahas.

Penelitian ini menggunakan bahan hukum seperti Undang-Undang Penerbangan No. 1

Tahun 2009 pada Pasal 5 dan Pasal 458, Pasal 1 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional

(Konvensi Chicago 1994), dan UNCLOS 1982. Untuk prosedur pengumpulan bahan hukum

dilakukan melalui studi pustaka yang diawali dengan melakukan inventarisasi bahan hukum serta

klasifikasi bahan hukum yang tersedia untuk digunakan sebagai pedoman dalam menjawab

rumusan permasalahan yang ada.

5
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Latar Belakang Konflik

Melihat sejarah penetapan FIR (Flight Information Region) Kepulauan Riau dan Natuna,

diketahui sejak tahun 1946 FIR Singapura telah mengontrol wilayah udara tersebut. Pada waktu

tersebut Singapura tidak membutuhkan izin Indonesia karena sebagian wilayah ini pada waktu itu

adalah laut bebas. Selain itu FIR Indonesia di Riau dikontrol oleh FIR Singapura karena waktu itu

FIR Indonesia belum mampu untuk mengurus wilayah Udara. Tahun 1998 Indonesia memperlebar

wilayah kedaulatannya di Perairan Natuna dengan menggeser garis-garis pangkal lurus ke arah

utara sehingga sebagian perairan yang semula laut bebas berubah menjadi perairan kepulauan

Indonesia. Sebelum UNCLOS 1982, Indonesia telah mendelegasikan hak pengaturan udara kepada

Singapura pada tahun 1973 yang kemudian disahkan oleh ICAO. Sejarah ini justru membuktikan

bahwa Indonesia berdaulat terhadap wilayah udaranya sebelum UNCLOS 1982 merestuinya.

4.2. Kondisi Wilayah Flight Information Region Laut Natuna

Berikut merupakan peta zona (Flight Information Region) FIR wilayah Kepulauan Riau

dan Laut Natuna.

Gambar 4.1. Peta Mengenai Zona FIR

Gambar 4.1. merupakan peta mengenai zona FIR pada wilayah Kepulauan Riau dan laut

Natuna. Flight Information Region (FIR) Sektor A dan B merupakan FIR milik Singapura. FIR
6
sektor A mencakup wilayah kepulauan Riau dan sektor B mencakup wilayah Natuna. Untuk

wilayah udara Indonesia yang masuk pada FIR sektor A yaitu di kepulauan Riau termasuk di

beberapa kepulauan kecil seperti pulau Pedang, pulau Tebing tinggi, dan pulau Rangsang.

Wilayah-wilayah tersebut dikontrol oleh Singapura, sehingga ada konsekuensi bahwa seluruh

pesawat yang melintas di wilayah tersebut harus meminta izin terbang dan masuk dari ATC di

Singapura bahkan hanya untuk menyalakan mesin. Ini yang merupakan akar dari masalah dimana

Indonesia berada di teritorinya sendiri.

4.3. Perkembangan Konflik

Indonesia terlihat sangat ingin agar dapat mengontrol FIR kembali. Selain itu wilayah

military training area (MTA) di sekitar kepulauan Riau kerap menjadi tempat latihan angkatan

udara Singapura, sehingga wilayah udara Kepulauan Riau menjadi danger area. Ketakutan akan

ancaman dari negara lain merupakan salah satu alasan mengapa masalah ini penting, ini juga yang

akan memicu border dispute. Presiden Jokowi dalam memerintahkan jajarannya untuk merebut

FIR Singapura didukung oleh amanat Undang-Undang Penerbangan yang terbit pada 12 Januari

2009 Pasal 458 UU 1/2009.

Eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat yang mempunyai hak penuh untuk mengatur

segala urusan dalam negeri. Hal ini dipertanyakan oleh sebagian pihak dengan memberikan hak

pengaturan lalu lintas ruang udaranya. Meskipun kedaulatan udara Indonesia tidak serta-merta

diambil oleh Singapura, namun dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas udara yang

merupakan salah satu penjabaran dari hak Indonesia untuk mengatur urusan dalam negeri. Secara

tidak langsung, Indonesia sudah mendelegasikan sebagian haknya untuk mengatur lalu lintas ruang

udaranya kepada Singapura. Dengan munculnya konflik ini dapat menjadi ancaman berupa

pelemahan Indonesia di bidang pertahanan yang akan mengancam keamanan dan kedaulatan

7
negara Republik Indonesia. Di sisi yang lain Indonesia akan kehilangan pendapatan dari fee

penerbangan yang melintas di wilayah udara Indonesia karena fee ini akan masuk ke negara lain

(Singapura).

4.4 Upaya Pengambilalihan FIR Indonesia di Wilayah Natuna dan Riau

Pada UU No.1 Tahun 2009 menyatakan bahwa pelayanan FIR yang didelegasikan kepada

negara lain, khususnya pada wilayah Pulau Natuna dalam kurun waktu 15 tahun terhitung sejak

UU No. 1 Tahun 2009 berlaku, harus sudah dikembalikan kepada Indonesia. Hal itu menandakan

bahwa pada sekitar tahun 2024 FIR untuk udara di atas Kepulauan Riau sudah dikendalikan oleh

Indonesia. Apabila terdapat kesalahan teknis, dapat mengakibatkan terhambatnya arus

penerbangan yang telah diatur sedemikian rupa yang akan mengakibatkan perjalanan lewat udara

tertunda. Oleh karena itu, Air Traffic Control (ATC) harus bekerja seoptimal mungkin untuk

mencegah terjadinya permasalahan lalu lintas di udara. Indonesia pada saat ini baru memiliki

peralatan navigasi penerbangan seperti yang dimiliki Singapura terutama dalam akurasi radar

cuaca. Oleh karena itu, perkembangan teknologi dan penguasaannya sudah sangat mendesak untuk

dilakukan agar dapat menguasai ATC dan mendapatkan FIR di bawah kendali Indonesia.

Pengendalian FIR oleh negara lain di wilayah udara RI sangat berpengaruh terhadap sistem

pertahanan udara nasional dan dapat menyebabkan kendala dalam melaksanakan penegakan

hukum dan kedaulatan di udara. Langkah awal diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia

untuk menata ulang pengelolaan ruang udara yang digunakan untuk memberikan pelayanan lalu

lintas udara di atas Natuna, Tarempa, dan Kepulauan Riau telah dituangkan dalam kerangka kerja

perundingan FIR antara RI dengan Singapura. Pada UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

terdapat klausul pengambil alihan FIR tersebut, yaitu pasal 5 yang menyatakan bahwa “Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara RI.” Acuan hukum

8
yang lainnya itu, pada Pasal 458 yang berbunyi “Wilayah udara Republik Indonesia, yang

pelayanan navigasi penerbangannya didelegasika kepada negara lain berdasarkan perjanjian,

sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan

paling lambat 15 tahun sejak UU ini berlaku.” Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka ruang

udara Indonesia yang dikendalikan oleh negara asing harus berada dalam kontrol Indonesia paling

lambat tahun 2024.

Sejak 1983 pemerintahan Indonesia telah berusaha untuk mengambil daerah FIR di

Kepulauan Natuna dan Kepulauan Riau. Berikut ini beberapa langkah yang pernah di tempuh

Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah udara Kepulauan Riau dan Kepulauan

Natuna :

1) Membentuk Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan

(LPPNPI) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang Perusahaan

Umum (Perum) Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia.

Maksud dibentuknya lembaga ini adalah menyediakan layanan navigasi yang baik di

Indonesia.

2) Indonesia telah berusaha untuk bisa masuk dalam Dewan Penerbangan Sipil Internasional

(ICAO) pada 2016. Dan apabila Indonesia ingin mengambil alih wilayah udaranya maka

harus melalui persetujuan seluruh anggota ICAO. Namun hal tersebut tidak disetujui

Malaysia karena dirasa tidak menguntungkan pihaknya jika terdapat joint latter antara

Indonesia dan Singapura.

3) Modernisasi alat navigasi penerbangan di Indonesia yang bekerjasama dengan The MITRE

Corporation Air Navigation. Tujuannya untuk meningkatkan sistem navigasi penerbangan

Indonesia.

9
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Batas wilayah udara di Indonesia (FIR) yang terletak pada di Kepulauan Riau telah lama

dikontrol oleh Singapura. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut salah satu

diantaranya pihak Indonesia merasa belum mampu pada saat itu untuk mengontrol dan mengelola

wilayah udara Kepulauan Riau. Selain itu, aspek wilayah udara Indonesia khususnya di Kepulauan

Riau telah diatur pada hukum nasional yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 2009. Undang-Undang

ini menyatakan bahwa pelayanan FIR yang didelegasikan kepada negara lain, khususnya pada

wilayah Pulau Natuna dalam kurun waktu 15 tahun terhitung sejak UU No. 1 Tahun 2009 berlaku,

harus sudah dikembalikan kepada Indonesia.

Selain mengikat kedaulatan wilayah udara Indonesia ini melalui dasar hukum, pihak

Indonesia melakukan upaya-upaya diantaranya Membentuk Lembaga (LPPNPI) untuk

menyediakan layanan navigasi yang baik di Indonesia. Selain itu Indonesia berusaha untuk bisa

masuk dalam ICAO pada 2016, serta meningkatkan sistem navigasi penerbangan Indonesia.

FIR pada hakikatnya adalah persoalan manajemen lalu lintas udara yang harus diatur

dengan tujuan demi keselamatan lalu lintas udara. Bahwa setiap negara berhak mengatur wilayah

udaranya serta kedaulatan ini didsari oleh hukum internasional yang mengatur agar tidak

terjadinya konflik perebutan wilayah antar negara. Dengan adanya kedaulatan wilayah udara ini

diharapkan Indonesia dapat mengontrol pengendalian lalu lintas udara agar terjamin

keselamatannya. Indonesia harus segera menyiapkan teknologi yang bisa menyamai ATC di

Singapura, agar di 2024 bisa mengambil alih FIR Kepulauan Riau dan Natuna. Selain itu Indonesia

harus menjaga kedaulatannya supaya tetap mempunyai kewenangan atas kedaulatan di wilayah

udaranya

10
DAFTAR PUSTAKA

Asep Adang Supriyadi, Masita Dwi Mandini Manessa, Rudy Agus Gemilang Gultom, (2018) “:Isu

Penyelarasan Flight Information Region di Atas Wilayah Natuna Issue on Flight Information

Region above Natuna Area”, Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik, Vol. 05 No. 03

Diederiks-Verschoor. (1991). Beberapa Persamaan dan Perbedaan antara Hubungan Udara dan

Hukum Ruang Angkasa Khusus dalam Bidang Hukum Perdata Internasional. Jakarta: Sinar

Grafika

Fahrazi, Mahfud. (2019). Pengelolaan Flight Information Region di Wilayah Kepulauan Riau dan

Natuna. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26, No. 2

Paminto, Andre. (2016). Penegakan Hukum di Perbatasan Wilayah Udara Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Subdiskumdirga Dinas Hukum Angkatan Udara Jakarta

Pramono, Agus. (2012). Wilayah Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara dalam Perspektif Hukum

Internasional. MMH, Jilid 41, No. 2

Risdiarto, Danang. (2016) Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Wilayah Udara Yurisdiksi

Indonesia oleh Pesawat Terbang Asing Tidak Terjadwal. Jurnal RechtsVinding, Vol. 5, No. 1

Simanjuntak, Mangisi. (2020). Pengambilalihan Flight Information Region (FOR) Indonesia dari

Singapura. Jurnal Hukum To-Ra: Hukum untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat, Vol.

6. No. 2

Diakses melalui website :

Abraham Utama. “Sengkarut Area Militer Singapura Di Langit Indonesia.” nasional, October 5,

2015. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004172628-20-82700/sengkarutarea-

militer-singapura-di-langit-indonesia. (diakses pada 20 November 202020)

11
CNN Indonesia Sengkarut Area Militer Singapura di Langit Indonesia

m.cnnindonesia.com/nasional/20151004172628-20-82700/sengkarut-area-militer-singapura-

di-langit-indonesia/ (diakses pada tanggal 21 November 2020)

Kusumadewi. "'Perang' Udara Indonesia-Singapura." Gaya Hidup. October 05, 2015.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004164716-20-82695/perang-udara-

indonesiasingapura. (diakses pada 23 November 2020)

Perubahan Batas FIR: Apa Yang Harus Disiapkan Oleh Indonesia.".

https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Perubahan-Batas-Flight-Information-Region-Apa-

yang- Harus-Disiapkan-oleh-Indonesia.aspx. (diakses pada 24 November 2020)

Setiawan, Samhis. "Batas Wilayah Udara: Cara Menentukan Secara Horizontal dan Vertikal"

https://www.gurupendidikan.co.id/batas-wilayah-udara-cara-menentukan-secara-horizontal-

vertikal/. (diakses pada 24 November 2020)

Sudrajat. "Pesawat Asing Dan Lika-Liku Pengambilalihan FIR Dari Singapura"

https://news.detik.com/berita/d-4284760/pesawat-asing-dan-lika-liku-pengambilalihan-fir-

darisingapura. (diakses pada 24 November 2020)

12

Anda mungkin juga menyukai