Oleh
Hanna Adistyana Hefni
Pascasarjana Hukum Transnasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
A. Latar Belakang
“as the operational and technical problems inherent in different parts of the
world varied considerably, it was logical that the planning and implementation
of the required ground services should be carried out on an area or regional
basis - the geographical limits of which should be such as to encompass air
route stages having a certain degree of homogeneity, and therefore entailing a
somewhat uniform set of requirements; and
planning the requirements for air navigation facilities and services is done
through consultation among a limited number of States, rather than in
preference to planning on a world-wide basis. These consultations are carried
out on an area basis and normally through regional air navigation meetings.
The need to conduct the planning of the facilities and services required for the
world-wide network of international air routes in a small number of areas of
manageable proportions is evident.”
1
Chapter 1 Annex 11, The Convention on International Civil Aviation 1944.
2
International Civil Aviation Organization, “History of Mexico Office”,
https://www.icao.int/NACC/Pages/history.aspx, diakses pada 26 Oktober 2019.
3
Jabbar Ramdhani, detik.com, “TNI AU: FIR RI-Singapura Tak Cuma Soal Penerbangan tapi Kedaulatan
Indonesia,” https://news.detik.com/berita/d-4740177/tni-au-fir-ri-singapura-tak-cuma-soal-penerbangan-tapi-
kedaulatan-indonesia, diakses pada 26 Oktober 2019.
4
Article 2.1.9 Annex XI Chicago Convention 1944.
UNIVERSITAS INDONESIA
pengelolaan FIR5, dimana dalam kasus tertentu bahkan bisa mencakup ruang udara
nasional dari beberapa negara lainnya6. Kondisi ini menyebabkan timbulnya
kekhawatiran terkait keamanan dan kedaulatan negara pendelegasi atas ruang udara
nasionalnya, yang mana salah satunya terjadi pada Indonesia, tepatnya FIR di atas
Kepulauan Riau dan Laut Natuna, yang pengelolaannya didelegasikan kepada
Singapura7.
Kontrol yang dilakukan oleh Singapura terhadap ruang udara nasional
Indonesia tersebut mengharuskan angkutan udara yang melaksanakan aktivitas
penerbangan di wilayah udara Kepulauan Riau dan Laut Natuna memberikan laporan
kepada otoritas penerbangan Singapura. Dimana kebijakan ini tidak hanya berlaku bagi
penerbangan sipil saja, namun juga bagi penerbangan untuk kepentingan militer
Angkatan Udara Indonesia8.
Kewajiban yang timbul bagi negara pendelegasi untuk melaporkan aktivitas
penerbangannya kepada otoritas penerbangan negara yang mendapatkan delegasi
dipandang oleh sebagian pihak, khususnya angkatan militer negara, bertentangan
dengan prinsip kedaulatan negara terhadap ruang udara nasionalnya sebagaimana
dinyatakan Pasal 1 Chicago Convention 1944, bahwa suatu negara memiliki kedaulatan
penuh dan eksklusif atas ruang udaranya 9. Karenanya isu kedaulatan negara menjadi
sangat krusial dalam perdebatan mengenai pengelolaan wilayah ruang udara.
Pertentangan antara kedua isu yang meliputi FIR inilah yang akan menjadi
pokok bahasan makalah ini. Dimana pada bagian B makalah ini, penulis akan
menjabarkan isu keselamatan penerbangan sebagai faktor pendelegasian dari ICAO
kepada suatu negara untuk mengelola FIR. Kemudian pada bagian C makalah ini,
penulis akan menjelaskan isu kedaulatan negara yang muncul sebagai national interest
issue mengenai pengelolaan FIR, serta bagian D yang berisi kesimpulan dari materi
bahasan makalah ini.
5
Pembentukan FIR sebagai penyedia flight information service dan alerting service untuk suatu wilayah pada
suatu negara ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu: “Each contracting state undertakes, so far as it may practicable, to :
(a). Provide, in its territory, airports, radio services, meteorological services and other air navigation facilitate international air
navigation, in accordance with the standards and practies recommended or established from time to time, pursuant to this convention;
(b). Adopt and put into operation the appropriate standard systems of communications procedure, codes, markings, signals, lighting
and other operational practices and rules which may be recommended or established from time to time, pursuant to this Convention;
(c) Collaborate in international measures to secure the publication of aeronautical maps and charts in accordance with standards
which may be recommended or established from time to time, pursuant to this convention.” (Article 28 Chicago Convention 1944)
Apabila suatu negara tidak (atau belum) mampu untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dinyatakan oleh Chicago Convention
1944, maka negara tersebut dapat mendelegasikan kepada negara lain untuk menyediakan pelayanan lalu lintas udara bagi wilayah-
wilayahnya sebagaimana dinyatakan pada Annex 11 Chicago Convention 1944.
6
Paragraph 2.1.1 on 2.1 Establishment of Authority, Chapter 2 General, Annex 11, The Convention on
International Civil Aviation 1944.
7
Article 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pengesahan Agreement
Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the
Realignment of the Boundary Between the Singapore Flight Information Region and The Jakarta Flight
Information Region.
8
Article 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pengesahan Agreement
Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the
Realignment of the Boundary Between the Singapore Flight Information Region and The Jakarta Flight
Information Region.
9
Article 1 Chicago Convention 1944.
UNIVERSITAS INDONESIA
B. Keselamatan Penerbangan sebagai Faktor Utama Penentuan FIR
10
Preambule Chicago Convention 1944.
11
International Civil Aviation Organization, “Global Aviation Safety Plan: 2013”, pg. 14.
12
Irma Hanafi, “FIR (Flight Information Region) di Wilayah Udara Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas
Pattimura, Maluku, https://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-internasional/358-fir-flight-information-region, diakses
pada 26 Oktober 2019.
13
Nur Yasmin, Jakarta Globe, “Indonesia, Singapore Discuss Control of Airspace Above Riau Islands”, edisi
16 Juli 2019, https://jakartaglobe.id/context/indonesia-singapore-discuss-control-of-airspace-above-riau-islands,
diakses pada 26 Oktober 2019.
UNIVERSITAS INDONESIA
Indonesia. Mengingat bahwa pada saat kebijakan tersebut diambil Indonesia tidak
mengirimkan delegasinya pada pertemuan negara-negara anggota ICAO 1946 untuk
memberikan sanggahan, penolakan, ataupun persetujuan. Karenanya, apabila
menitikberatkan pada prinsip kedaulatan negara, maka Indonesia dapat mengajukan
keberatan atas keputusan ICAO tersebut dan menyatakan bahwa ICAO telah melanggar
kedaulatan negara Indonesia atas yurisdiksi di ruang udara nasionalnya.
Pemerintah Indonesia justru melakukan hal sebaliknya dalam menanggapi
keputusan ICAO tersebut, yaitu melakukan follow-up dengan mengadakan perjanjian
bersama Pemerintah Singapura terkait pendelegasian FIR Indonesia di atas Kepulauan
Riau dan Laut Natuna pada 21 September 1995 di Singapura, yang disahkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Agreement Between the
Government of The Republic of Indonesia and the Government of The Republic of
Singapore on the Realignment of The Boundary Between the Singapore Flight
Information Region and the Jakarta Flight Information Region14, dan sebagai bentuk
implementasi dari Pasal 2.1.1 Annex XI Chicago Convention 1944 yang menyatakan
bahwa,
“If one State delegates to another State the responsibility for the provision of
air traffic services over its territory, it does so without derogation of its national
sovereignty. Similarly, the providing State’s responsibility is limited to
technical and operational considerations and does not extend beyond those
pertaining to the safety and expedition of aircraft using the concerned airspace.
Furthermore, the providing State in providing air traffic services within the
territory of the delegating State will do so in accordance with the requirements
of the latter which is expected to establish such facilities and services for the
use of the providing State as are jointly agreed to be necessary. It is further
expected that the delegating State would not withdraw or modify such facilities
and services without prior consultation with the providing State. Both the
delegating and providing States may terminate the agreement between them at
any time.”
14
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pengesahan
Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of
Singapore on the Realignment of the Boundary Between the Singapore Flight Information Region and The Jakarta
Flight Information Region.
15
Annex 11 Chicago Convention 1944.
UNIVERSITAS INDONESIA
Karenanya, isu kedaulatan negara tidak cukup relevan untuk dikaitkan dalam
pengelolaan FIR, menimbang bahwa sejak awal penentuan FIR sudah ditujukan untuk
mencapai cita keselamatan penerbangan internasional tanpa melibatkan embel-embel
penyerahan kedaulatan sebagaimana terdapat pada Pasal 2.2 Annex XI Chicago
Convention 194416. Catatan penjelasan pasal 2.1.1 Annex XI Chicago Convention 1944
di atas juga menegaskan tanggungjawab negara yang mendapatkan delegasi dari negara
pendelegasi hanya melingkupi hal-hal teknis dan operasional keselamatan dan
ekspedisi angkutan udara di ruang udara negara pendelegasi. Sehingga isu kedaulatan
yang terseret ke dalam hal penguasaan dan pengelolaan atas FIR nampaknya hanyalah
satu dari segelintir kepentingan nasional negara yang membalut hubungan diplomasi di
bidang aviasi internasional antarnegara, termasuk salah satunya Indonesia.
16
“Objectives of the air traffic services” The objectives of the air traffic services shall be to: a) prevent
collisions between aircraft; b) prevent collisions between aircraft on the manoeuvring area and obstructions on
that area; c) expedite and maintain an orderly flow of air traffic; d) provide advice and information useful for the
safe and efficient conduct of flights; e) notify appropriate organizations regarding aircraft in need of search and
rescue aid, and assist such organizations as required. (Article 2.2 Chapter 2 General Annex XI Chicago
Convention 1944)
17
Pasal 30 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
18
Toh Ee Ming, The Week in Asia, “Explained: What’s Behind Indonesia’s Move to Reclaim Control of Riau
Islands Airspace from Singapore”, https://www.scmp.com/week-asia/explained/article/3023918/whats-behind-
indonesias-move-reclaim-control-riau-islands, diakses pada 26 Oktober 2019.
19
Sudrajat, Detik.com, “Pesawat Asing dan Lika Liku Pengambilalihan FIR dari Singapura”,
https://news.detik.com/berita/d-4284760/pesawat-asing-dan-lika-liku-pengambilalihan-fir-dari-singapura,
diakses pada 26 Oktober 2019.
20
Pasal 458 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
UNIVERSITAS INDONESIA
penerbangan Singapura dalam mengelola FIR Indonesia, yaitu berupa pelanggaran
terhadap kedaulatan negara Indonesia dan berdampak pada retaknya hubungan
persaudaraan sesama negara anggota ASEAN antara Indonesia dan Singapura21. Dari
sini dapat diartikan bahwa upaya pengambilalihan yang dilakukan pemerintah
Indonesia atas FIR-nya semata-mata sebagai isu kepentingan nasional dan langkah
pertahanan negara untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan Indonesia dari ancaman
pihak asing, dan bukan untuk tujuan lain.
Kekhawatiran yang dialami Indonesia—dan negara lain yang bernasib serupa—
tersebut sesungguhnya dapat diatasi melalui klausul penarikan kembali pendelegasian
dalam situasi kritis yang mengancam keamanan negara pada perjanjian internasional
tentang pendelegasian FIR dan mengikuti Circular 330 Civil-Military Cooperation in
Air Traffic Management yang dikeluarkan ICAO sebagai panduan dan praktik berbagai
negara22. Hanya saja, Indonesia belum atau tidak dapat menarik kembali pengelolaan
FIR-nya dari Singapura saat ini dikarenakan syarat “situasi kritis” belum atau tidak
terpenuhi. Sehingga Indonesia tetap harus terus berusaha melakukan diplomasi, serta
menunggu persetujuan dari ICAO dan Singapura untuk menyatakan bahwa Indonesia
telah mampu mengelola sendiri FIR-nya di Kepulauan Riau dan Laut Natuna.
D. Kesimpulan
21
Muhammad Fitrah Zulkarnain, “Flight Information Region (FIR) Singapura dan Dampaknya Terhadap
Kedaulatan dan Keamanan Indonesia”, Skripsi, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas
Hasanuddin, 2018, hal. 74.
22
Abdul Kadir Jailani, Dubes RI untuk Kanada dan Wakil Tetap RI di ICAO, Sindonews.com, “FIR dan
Kedaulatan”, https://nasional.sindonews.com/read/1450982/18/fir-dan-kedaulatan-1571695683, diakses pada 27
Oktober 2019.
UNIVERSITAS INDONESIA
E. Daftar Pustaka
Regulasi Nasional
Regulasi Internasional
Internet
Abdul Kadir Jailani, Dubes RI untuk Kanada dan Wakil Tetap RI di ICAO,
Sindonews.com, “FIR dan Kedaulatan”,
https://nasional.sindonews.com/read/1450982/18/fir-dan-kedaulatan-
1571695683, diakses pada 27 Oktober 2019.
Irma Hanafi, “FIR (Flight Information Region) di Wilayah Udara Indonesia”, Fakultas
Hukum Universitas Pattimura, Maluku, https://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-
internasional/358-fir-flight-information-region, diakses pada 26 Oktober 2019.
UNIVERSITAS INDONESIA
Jabbar Ramdhani, detik.com, “TNI AU: FIR RI-Singapura Tak Cuma Soal
Penerbangan tapi Kedaulatan Indonesia,” https://news.detik.com/berita/d-
4740177/tni-au-fir-ri-singapura-tak-cuma-soal-penerbangan-tapi-kedaulatan-
indonesia, diakses pada 26 Oktober 2019.
Nur Yasmin, Jakarta Globe, “Indonesia, Singapore Discuss Control of Airspace Above
Riau Islands”, edisi 16 Juli 2019, https://jakartaglobe.id/context/indonesia-
singapore-discuss-control-of-airspace-above-riau-islands, diakses pada 26
Oktober 2019.
Sudrajat, Detik.com, “Pesawat Asing dan Lika Liku Pengambilalihan FIR dari
Singapura”, https://news.detik.com/berita/d-4284760/pesawat-asing-dan-lika-
liku-pengambilalihan-fir-dari-singapura, diakses pada 26 Oktober 2019.
Toh Ee Ming, The Week in Asia, “Explained: What’s Behind Indonesia’s Move to
Reclaim Control of Riau Islands Airspace from Singapore”,
https://www.scmp.com/week-asia/explained/article/3023918/whats-behind-
indonesias-move-reclaim-control-riau-islands, diakses pada 26 Oktober 2019.
UNIVERSITAS INDONESIA