Anda di halaman 1dari 17

MARKAS BESAR TNI ANGKATAN UDARA

PUSAT POTENSI KEDIRGANTARAAN

SURAT EDARAN
Nomor SE/ /VII/2020

tentang

PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN


TERHADAP PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA TANPA AWAK (DRONE)
DI RUANG UDARA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

1. Dasar:

a. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara


terkait mengantisipasi potensi ancaman terhadap pertahanan dan
keamanan negara melalui media udara.

b. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional


Indonesia terkait tugas TNI Angkatan Udara diantaranya menegakkan
hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai
dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi serta pemberdayaan wilayah pertahanan matra udara.

c. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan


Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan


Keselamatan Penerbangan.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan


Wilayah Udara Republik Indonesia.

f. Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun


2016 tentang Sistem Pesawat Terbang Tanpa Awak Untuk Tugas
Pertahanan dan Keamanan.
2

g. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 37


Tahun 2020 tentang Pengendalian Pengoperasian Sistem Pesawat Udara
Tanpa Awak Di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia.

h. Peraturan Kasau Nomor Perkasau/17/IV/2008 tanggal 16 April 2008


tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Dispotdirga.

i. Keputusan Kasau Nomor Kep/810/IX/2018 tanggal 17 September


2018 tentang Juknis TNI AU Tentang Penataan dan Pembinaan Potensi
Wilayah Pertahanan Aspek Kedirgantaraan.

j. Keputusan Kasau Nomor Kep/696/XII/2018 tanggal 31 Desember


2018 tentang Doktrin Potensi Dirgantara.

k. Keputusan Kasau Nomoe Kep/974/XII/2018 tanggal 31 Desember


2018 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Pembinaan Kemampuan Potensi
Dirgantara.

2. Sesuai dasar di atas, dalam rangka pengendalian dan pengawasan kegiatan


operasional penerbangan pesawat udara tanpa awak (drone) dalam wilayah
tanggung jawab Binpotdirga baik Satkowil maupun Satnonkowil jajaran TNI AU,
maka para Pejabat Binpotdirga Jajaran TNI AU dalam melaksanakan tugasnya
dapat berpedoman pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Ketentuan Operator Drone, Drone, dan Ruang Udara adalah sebagai


berikut:

1) Penerbang/Pilot/Operator Drone. Penerbang/Pilot/Operator


drone adalah personel yang mengendalikan pesawat udara tanpa
awak (drone), baik secara visual langsung maupun menggunakan
sistem instrumen kendali dan kamera. Untuk menjadi seorang
operator drone, maka seseorang harus memiliki tanda kecakapan
khusus berupa lisensi atau sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi
yang berwenang sesuai ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pada saat menerbangkan pesawat udara
tanpa awak (drone), maka seorang pilot drone harus dilengkapi
beberapa kelengkapan administrasi sebagai berikut:

a) Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu


Tanda Penduduk (KTP);

b) Memiliki lisensi atau sertifikat tanda kecakapan sebagai


operator drone;
3

c) Apabila mewakili sebuah lembaga/instansi/organisasi/


komunitas, maka harus memiliki surat perintah atau surat
penunjukan sebagai operator pesawat udara tanpa awak
drone dalam melaksanakan misi penerbangan drone.

d) Memiliki surat keterangan berkelakuan baik (SKCK)


dari Kepolisian setempat sesuai alamat domilisi KTP.

e) Memiliki surat keterangan sehat dari dokter setempat.

f) Memiliki Dokumen Asuransi.

g) Memiliki Surat Izin Terbang (SIT) dari Komandan


Satkowil TNI AU setempat.

2) Pesawat Udara Tanpa Awak (Drone). Pesawat udara tanpa


awak (drone) adalah sebuah mesin terbang yang berfungsi dengan
kendali jarak jauh oleh penerbang (pilot) atau mampu
mengendalikan dirinya sendiri dengan menggunakan hukum
aerodinamika. Sesuai manfaat dan tujuannya maka drone dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok drone yaitu:

a) Drone dengan berat sampai dengan 15 pounds/7kg,


digunakan untuk rekreasi dan hobi. Dalam menerbangkan
drone jenis ini harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam
sub bagian 107.2 dari CASR Part 107.

b) Drone dengan berat 16 sampai dengan 55 pounds, atau


8 sampai dengan 23 kg, bukan untuk hobi dan rekreasi tapi
untuk kegiatan komersil dengan membawa kamera. Dalam
menerbangkan drone jenis ini harus mematuhi ketentuan
yang diatur dalam Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil
Bagian 107/Civil Aviation Safety Regulation (CASR) Part 107.

c) Drone dengan berat di atas 55 pound/di atas 23 kg,


digunakan untuk misi tertentu, dengan membawa kamera
dan beban, misalnya pupuk atau obat-obatan disinfektan
untuk disemprot dari atas udara pada suatu areal pertanian
dan pemukiman.Drone jenis ini harus mematuhi ketentuan
yang berlaku di penerbangan umum (General Operation &
Flight Rules).
4

3) Ruang Udara. Ruang udara adalah ruang yang terletak di


atas ruang daratan dan/atau ruang lautan sekitar wilayah negara
dan melekat pada bumi dimana suatu negara mempunyai hak
yurisdiksi. Dalam menerbangkan pesawat udara tanpa awak
(drone) harus menggunakan ruang udara tertentu yaitu ruang udara
yang ditentukan untuk melaksanakan operasi penerbangan pesawat
udara tanpa awak (drone) yang meliputi:

a) Ruang udara yang dikendalikan (Controlled Airspace);

b) Ruang udara yang tidak dikendalikan (Uncontrolled


Airspace);

c) Ruang udara Republik Indonesia yang pelayanan


navigasi penerbangannya masih dilayani negara lain.

b. Pembatasan. Pesawat udara tanpa awak (drone) tidak boleh


melakukan operasi penerbangan di atas kawasan udara terlarang,
terbatas dan berbahaya serta Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan
(KKOP) yaitu:

1) Kawasan Udara Terlarang (Prohibited Area) adalah ruang


udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, dengan
pembatasan yang bersifat permanen dan menyeluruh bagi semua
pesawat udara. Kawasan ini adalah kawasan yang dipublikasikan
di dalam Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia Volume
I General & Enroute. Yang termasuk dalam kawasan udara
terlarang adalah sebagai berikut:

a) ruang udara di atas istana presiden;

b) ruang udara di atas instalasi nuklir; dan

c) ruang udara di atas obyek vital nasional yang bersifat


strategis tertentu.

2) Kawasan Udara Terbatas (Restricted Area) adalah ruang udara


tertentu di atas daratan dan/atau perairan dengan pembatasan
bersifat tidak tetap dan hanya dapat digunakan untuk operasi
penerbangan negara dan pada waktu tidak digunakan (tidak aktif),
kawasan ini dapat dipergunakan untuk penerbangan sipil.
Kawasan ini adalah kawasan yang dipublikasikan di dalam
Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia Volume I General
5

& Enroute. Yang termasuk dalam kawasan udara terbatas adalah


sebagai berikut:
a) Markas Besar Tentara Nasional Indonesia;

b) Pangkalan Udara Tentara Nasional Indonesia;

c) kawasan latihan militer;

d) kawasan operasi militer;

e) kawasan latihan penerbangan militer;

f) kawasan latihan penembakan militer;

g) kawasan peluncuran roket dan satelit; dan

h) ruang udara yang digunakan untuk penerbangan


dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang setingkat
kepala negara dan/atau kepala pemerintahan.

3) Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP).


Kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) sebuah
bandara adalah wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang
udara disekitar Bandar Udara yang digunakan untuk kegiatan
operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan
penerbangan. Kawasan ini adalah kawasan dengan batas
horisontal dan vertikal sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai penyusunan kawasan keselamatan
operasi penerbangan di bandar udara dan sekitarnya.

4) Pesawat terbang tanpa awak drone dilarang beroperasi pada


jarak 5 mile atau 8 kilometer dari lingkaran terluar dari Kawasan
Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP).

5) Pengoperasian pesawat udara tanpa awak drone diprioritas-


kan dengan menggunakan kaidah Visual Line of Sight (VLOS).

6) Dalam hal pengoperasian pesawat udara tanpa awak drone


menggunakan kaidah Beyond Visual Line-of Sight (BVLOS), maka
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a) Pesawat udara tanpa awak drone harus memiliki


kemampuan Detect and Avoid (DAA) yang digunakan untuk
memastikan bahwa pengoperasian pesawat udara tanpa awak
6

(drone) tidak mengganggu pengoperasian pesawat udara atau


mendeteksi kondisi meteorologi yang berbahaya serta adanya
halangan atau rintangan; dan

b) Memiliki kemampuan tracking system untuk memudah-


kan monitoring pengoperasian pesawat udara tanpa awak
(drone).

c. Pembatasan Khusus. Terdapat beberapa pembatasan khusus


yang mengatur ketentuan tentang operasi penerbangan pesawat udara
tanpa awak (drone) untuk menjaga kemanan dan keselamatan
penerbangan lain pada umunya, keamanan ruang udara tertentu, serta
masyarakat atau pendudukan disekitar lokasi penerbangan pesawat
(drone), antara lain:

1) Tinggi terbang maksimum sebuah pesawat terbang tanpa


awak drone adalah 400 feet Abouve Ground Level (AGL) atau 120
meter dari atas permukaan daratan.

2) Dalam kondisi khusus untuk kepentingan pemerintah seperti


patroli batas wilayah negara, patroli wilayah laut negara,
pengamatan cuaca, survey dan pemetaan, maka tinggi terbang
pesawat udara tanpa awak (drone) dapat melaksanakan terbang
lebih tinggi di atas 120 meter dari atas permukaan daratan dengan
izin yang diberikan Dirjen Perhubungan Udara setelah
mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertahanan dan
Dansatkowil TNI AU setempat. Izin tersebut harus diperoleh
pilot/operator pesawat udara tanpa awak (drone) sebelum
melakukan lepas landas.

3) Pesawat udara tanpa awak (drone) yang membawa kamera


dilarang beroperasi 500 meter dari batas terluar dari suatu ruang
udara tertentu yang dilarang terbang (prohibited area) atau Ruang
udara Terbatas (restricted area).

4) Pesawat udara tanpa awak (drone) dengan membawa beban


peralatan pertanian (penyemprot hama dan/atau penabur benih)
hanya dapat beroperasi pada areal pertanian/perkebunan yang
dijelaskan dalam pengajuan rencana terbang (flight plan), atau tidak
boleh beroperasi di luar kawasan yang dijelaskan dalam flight plan.

5) Pada kegiatan penyemprotan hama dan/atau penaburan


benih dengan menggunakan teknologi pesawat udara tanpa awak
(drone), maka dalam radius 500 meter jarak dari batas terluar areal
7

pertanian/perkebunan dimaksud tidak boleh ada pemukiman


penduduk, apabila ada pemukiman penduduk pada jarak tersebut
maka kegiatan penerbangan tersebut tidak diizinkan.

6) Dilarang menerbangkan pesawat udara tanpa awak (drone) di


suatu kawasan ruang udara, dimana terdapat kerumunan massa di
bawah ruang udara tersebut, seperti di stadion olahraga, pada
lokasi event suatu kegiatan pameran, pasar, terminal bus, dan lain-
lain.

7) Dalam hal kondisi kejadian kecelakaan atau bencana alam,


maka sebuah sistem pesawat udara tanpa awak (drone) dapat
dioperasikan di lokasi kejadian tersebut dengan terlebih dahulu
koordinasi dengan Komandan Satkowil TNI AU setempat dan unit
pelayanan navigasi penerbangan (Airnav) setempat untuk
mendapatkan surat izin terbang (SIT) dan mendapatkan batas
horisontal dan vertikal daerah pengoperasian yang diperbolehkan.

d. Prosedur Perizinan Pengoperasian Drone. Dalam pelaksanaan


perizinan untuk melakukan operasi penerbangan pesawat udara tanpa
awak (drone), maka terdapat dua macam mekanisme perizinan sesuai misi
penerbangan drone tersebut, yaitu:

1) Prosedur perizinan untuk kegiatan rekreasi dan hobi.


Khusus untuk pesawat udara tanpa awak (drone) dengan berat
sampai dengan 15 pounds/7 kg (ukuran kecil). Izin diberikan
kepada sistem dan pilot/operator pesawat terbang tanpa awak
(drone) yang telah disertifikasi oleh lembaga atau organisasi yang
berbasis komunitas tingkat nasional, sesuai ketentuan yang diatur
dalam sub bagian 107.2 dari CASR Part 107. Izin diajukan kepada
Komandan Satkowil TNI AU setempat guna mendapatkan Surat Izin
Terbang (SIT) dan proses pengajuan NOTAM kepada Airnav
setempat yang wajib dimiliki pilot/operator sesaat sebelum
mengoperasikan pesawatnya, dengan dilengkapi dokumen
pendukung, yaitu:

a) Nama dan kontak operator;

b) Spesifikasi teknis airborne system;

c) Spesifikasi teknis ground system;

d) Maksud dan tujuan pengoperasian (misi penerbangan);


8

e) Rencana penerbangan (flght plan) yang sekurang-


kurangnya menjelaskan informasi sebagai berikut:

(1) Identifikasi pesawat;

(2) Jenis pengoperasian (terbatas uji performa atau


rekreasi dan hobi saja);

(3) Peralatan yang dibawa (Tidak membawa peralatan


seperti kamera atau sprayer, dan lain-lain);

(4) Tempat/titik lepas landas;

(5) Cruising speed;

(6) Cruising level;

(7) Tempat/titik pendaratan;

(8) Tempat/titik alternatif pendaratan;

(9) Estimated operation time;

(10) Ketahanan baterai/bahan bakar;

(11) Jangkauan jelajah pengoperasian;

(12) Area manuver pengoperasian;

(13) Personel remote pilot dan kru (Visual/Observer);

(14) Kaidah pengoperasian yang digunakan antara


lain VLOS atau BVLOS; dan

(15) Remote pilot station.

f) Prosedur pengoperasian;

g) Prosedur emergency, yang meliputi:

(1) Kegagalan komunikasi antara operator dengan


pemandu lalu lintas udara dan atau pemandu
komunikasi penerbangan; dan
9

(2) Kegagalan komunikasi antara ground system


dengan airborne system.

h) Kompetensi dan pengalaman pilot/operator; dan

i) Dokumen asuransi kerugian yang mungkin terjadi


karena kegagalan sistem pesawat terbang tanpa awak (drone).

2) Prosedur perizinan untuk tujuan tertentu/khusus/Komersil.


Khusus untuk pesawat udara tanpa awak (drone) dengan berat 16
sampai dengan 55 pounds 8 sampai dengan 23 kg (ukuran sedang),
dan pesawat udara tanpa awak (drone) dengan berat di atas 55
pounds/di atas 23 kg (ukuran besar).

a) Tujuan atau misi dari penerbangan jenis ini meliputi:

(1) Patroli batas wilayah negara;

(2) Patroli wilayah laut negara;

(3) Pengamatan cuaca;

(4) Pencarian dalam operasi SAR;

(5) Pengamatan aktivitas hewan dan tumbuhan di


taman nasional, kebun raya, dan kebun binatang, dan
lain-lain;

(6) Survey dan pemetaan;

(7) Pemotretan udara;

(8) Perfilman dan pemetaan yang bersifat rutin dan


terjadwal dengan lingkup penerbangan tertentu (area
tertentu).

b) Izin diberikan kepada sistem dan pilot/operator


pesawat udara tanpa awak (drone) dengan ketentuan sebagai
berikut:

(1) Yang telah disertifikasi oleh Direktur Jenderal


Perhubungan Udara.
10

(2) Izin operasional penerbangan pesawat udara


tanpa awak drone diajukan kepada Dirjen Perhubungan
Udara selama 14 (empat belas) hari kerja sebelum
kegiatan penerbangan dilaksanakan.

(3) Setelah mendapat izin tersebut pilot/operator


melakukan koordinasi dan permohonan kepada
Komandan Satkowil TNI AU setempat guna
mendapatkan Surat Izin Terbang (SIT) dan proses
pengajuan NOTAM kepada Airnav setempat.

(4) Perubahan atas rencana penerbangan tersebut


akan merubah izin yang telah diterbitkan, karena itu
jika ada permintaan perubahan maka harus diajukan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum hari
pelaksanaan (yang baru), dan operator segera
koordinasi dengan instansi yang berwenang atas ruang
udara yang memberikan rekomendasi, Komandan
Satkowil TNI AU setempat dalam rangka merubah surat
izin terbang (SIT), serta unit pelayanan navigasi
penerbangan setempat untuk merubah NOTAM.

c) Izin operasional penerbangan pesawat udara tanpa


awak (drone) untuk tujuan komersil tersebut wajib dimiliki
pilot/operator sesaat sebelum mengoperasikan pesawatnya,
dengan dilengkapi dokumen pendukung, yaitu:

(1) Nama dan kontak operator;

(2) Spesifikasi teknis airborne system;

(3) Spesifikasi teknis ground system;

(4) Maksud dan tujuan pengoperasian (misi


penerbangan);

(5) Rencana penerbangan (flght plan) yang sekurang-


kurangnya menjelaskan informasi sebagai berikut:

(a) Identifikasi pesawat;

(b) Jenis pengoperasian (tujuan tertentu/


khusus/komersil saja);
11

(c) Peralatan yang dibawa (kamera, sprayer,


dan lain-lain);

(d) Tempat/titik lepas landas;

(e) Cruising speed;

(f) Cruising level;

(g) Tempat/titik pendaratan;


(h) Tempat/titik alternatif pendaratan;

(i) Estimated operation time;

(j) Ketahanan baterai/bahan bakar;

(k) Jangkauan jelajah pengoperasian;

(l) Area manuver pengoperasian;

(m) Personel remote pilot dan kru (Visual/


Observer);

(n) Kaidah pengoperasian yang digunakan


antara lain VLOS atau BVLOS; dan

(o) Remote pilot station.

(6) Prosedur pengoperasian;

(7) Prosedur emergency, yang meliputi:

(a) Kegagalan komunikasi antara operator


dengan pemandu lalu lintas udara dan atau
pemandu komunikasi penerbangan; dan

(b) Kegagalan komunikasi antara ground


system dengan airborne system.

(8) Kompetensi dan pengalaman pilot/operator;

(9) Surat hasil pelaksanaan safety assestment dari


Perusahan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan
12

Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI) terkait


rencana pengoperasian pesawat udara tanpa awak
(drone) yang dilaksanakan oleh operator, dimana paling
sedikit memuat penilaian terhadap kondisi sebagai
berikut:

(a) Obstacle assestment; dan

(b) Operasional pelayanan navigasi penerbang-


an.

(10) Registrasi dan sertifikat kelaikudaraan pesawat


udara tanpa awak (drone);

(11) Surat rekomendasi dari beberapa instansi terkait,


yaitu:

(a) Rekomendasi dari instansi/lembaga/


pengelola kawasan ruang udara terbatas dan
ruang udara terlarang apabila akan
menggunakan ruang udara di atas kawasan
tersebut.

(b) Rekomendasi dari kawasan objek vital


nasional strategis tertentu apabila akan
menggunakan ruang udara di atas kawasan
tersebut.

(c) Apabila akan melakukan pemotretan,


perfilman atau pemetaan di suatu wilayah/
daerah, maka harus melampirkan surat izin dari
pejabat daerah/wilayah dimana wilayahnya akan
dipotret, difilmkan atau dipetakan sesuai
ketentuan peraturan atau perundang-undangan
yang berlaku.

(d) Izin Keamanan (Security Clearance) dari


Dirjen Pothan Kementerian Pertahanan RI.

(e) Surat perintah Flight Security Officer (FSO)


sebagai Observer pada kegiatan penerbangan
tersebut dari Asops Panglima TNI.
13

(f) Izin Keamanan Terbang (Flight Security


Clearance) dari Kadispamsanau.

(g) Rekomendasi penanggungjawab keamanan


wilayah udara setempat yaitu Komandan Satkowil
TNI AU setempat.

(12) Dokumen asuransi kerugian yang mungkin


terjadi karena kegagalan sistem pesawat terbang tanpa
awak (drone).

e. Pembatalan Perizinan. Dalam hal tertentu persetujuan/ perizinan


pengoperasian pesawat udara tanpa awak (drone) dapat dibatalkan atau
ditunda pelaksanaannya, yang termasuk dalam kategori hal tertentu
meliputi:

1) Untuk kepentingan angkutan udara yang memerlukan


prioritas penggunaan ruang udara;

2) Untuk kepentingan kenegaraan;

3) Kondisi darurat sipil;

5) Kondisi darurat militer;

6) Kondisi darurat perang; dan

7) Kondisi bencana.

f. Pengawasan. Pengawasan pengoperasian pesawat udara tanpa


awak (drone) pada ruang udara RI dilaksanakan Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara yang dilakukan dengan bekerjasama dengan instansi
terkait dalam hal ini TNI AU sesuai dengan tugas dan kewenangannya
yaitu menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara
yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum
internasional yang telah diratifikasi, serta dalam rangka mengantisipasi
potensi ancaman terhadap pertahanan dan keamanan negara melalui
media udara. Objek pengawasan sekurang-kurangnya meliputi:

1) Penetapan pengoperasian sistem pesawat udara tanpa awak


(drone) yang diterbitkan instansi terkait;
14

2) Pengoperasian yang meliputi ketinggian, area ruang udara


dan waktu sesuai yang dipublikasikan pada NOTAM;

3) Registrasi dan kelaikudaraan pesawat udara tanpa awak


(drone) sesuai ketentuan perundang-undangan;

4) Sertifikasi operator sesuai ketentuan perundang-undangan;

5) Sertifikat remote pilot sesuai ketentuan perundang-undangan;


dan

6) Izin Keamanan (Security Clearance) yang diterbitkan instansi


terkait.

g. Sanksi dan Tindakan. Pengoperasian pesawat udara tanpa awak


drone di kawasan ruang udara terlarang (prohibited area), kawasan ruang
udara terbatas (restricted area), kawasan objek vital nasional strategis
tertentu, ruang udara controlled airspace, uncontrolled airspace, kawasan
KKOP, kawasan ruang udara Indonesia yang navigasi penerbangannya
masih dilayani negara lain, apabila melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, maka akan diberikan sanksi dan tindakan tegas
oleh pihak yang berwenang, sebagai berikut:

1) Pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:

a) Melanggar wilayah kedaulatan dan keamanan udara;

b) Mengancam keselamatan dan keamanan penerbangan;

c) Memiliki dampak ancaman terhadap pusat pemerintah,


pusat ekonomi, objek vital nasional, dan keselamatan negara;

d) Tidak memiliki persetujuan/perizinan; dan

e) Beroperasi tidak sesuai dengan persetujuan/perizinan


yang diberikan.

2) Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran hukum oleh


operator/remote pilot dalam mengoperasikan pesawat udara tanpa
awak (drone) di kawasan udara terlarang (prohibited area), kawasan
udara terbatas (restricted area), kawasan objek vital nasional
strategis tertentu, ruang udara controlled airspace, uncontrolled
15

airspace, kawasan KKOP, kawasan ruang udara Indonesia yang


navigasi penerbangannya masih dilayani negara lain, meliputi:

a) Pengenaan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan


perundang-undangan;

b) Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan


persetujuan/perizinan dan dimasukan ke dalam daftar hitam
(blacklist); dan

c) Pengenaan tindakan berupa:

(1) Jamming frekwensi;

(2) Pemaksaan untuk keluar dari kawasan atau


ruang udara;

(3) Penghentian pengoperasian dalam bentuk


menjatuhkan pada area yang aman dan tindakan yang
diperlukan lainnya; dan

(4) Pengenaan tindakan pemaksaan dan


menjatuhkan pesawat udara tanpa awak (drone) yang
melanggar hukum tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan peralatan anti drone dan/atau upaya lain
sesuai situasi dan kondisi.

d) Tindakan jamming frekwensi, pemaksaan keluar dari


kawasan, dan penghentian dengan menjatuhkan pesawat
udara tanpa awak (drone) yang melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku harus dilakukan dengan
memperhatikan:

(1) Kepentingan pertahanan dan pengamanan


wilayah udara;

(2) Kepentingan keselamatan pengguna (user)


kawasan/ruang udara; dan

(3) Perlindungan terhadap bangunan, property dan


manusia yang berada dibawah dimana pesawat udara
tanpa awak (drone) tersebut beroperasi.
16

e) Pihak yang berwenang melakukan tindakan terhadap


pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam kegiatan penerbangan pesawat udara tanpa awak
(drone), adalah sebagai berikut:

(1) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, pemberi


sanksi bagi pesawat udara tanpa awak (drone) yang
melanggar ketentuan hukum dan perundangan yang
berlaku yang melaksanakan operasi penerbangan pada:

(a) Kawasan Keselamatan Operasi Penerbang-


an (KKOP);

(b) Controlled Airspace; dan


(c) Uncontrolled Airspace pada ketinggian lebih
dari 400 feet (120 meter) Abouve Ground Level
(Agl) atau dari atas permukaan daratan.

(2) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara


dalam hal ini Komandan Satkowil TNI AU setempat,
sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu
menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah
udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan
hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi, serta dalam rangka mengantisipasi potensi
ancaman terhadap pertahanan dan keamanan negara
melalui media udara, maka TNI AU melalui Dansatkowil
TNI AU setempat dapat langsung melakukan tindakan
penghentian pengoperasian terhadap pesawat udara
tanpa awak (drone) yang melanggar ketentuan hukum
dan perundangan yang berlaku yang melaksanakan
operasi penerbangan pada semua kawasan ruang udara
di seluruh wilayah NKRI yang meliputi:

(a) Kawasan udara terlarang (prohibited area);

(b) Kawasan udara terbatas (restricted area);

(c) Objek vital nasional bersifat strategis


tertentu; dan

(d) Ruang udara nasional NKRI yang navigasi


penerbangannya masih dilayani negara lain.
17

(e) Kawasan Keselamatan Operasi Penerbang-


an (KKOP);

(f) Controlled Airspace; dan

(g) Uncontrolled Airspace pada ketinggian lebih


dari 400 feet (120 meter) Abouve Ground Level
(AGL) atau dari atas permukaan daratan.

Surat Edaran ini disampaikan sebagai pedoman bagi pejabat Binpotdirga baik
Satkowil maupun Satnonkowil Jajaran TNI AU dalam melaksanakan
pengendalian dan pengawasan kegiatan operasional penerbangan pesawat
udara tanpa awak (drone) di wilayah tanggung jawab masing-masing.

3. Demikian mohon dimaklumi.

Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal Juli 2020

Kepala Pusat Potensi Kedirgantaraan,

Kepada Yth:

Para Pejabat Binpotdirga tersebut


pada lampiran Basuki Rochmat
Marsekal Pertama TNI
Tembusan:

1. Aspotdirga Kasau
2. Pangkoopsau I, II dan III
3. Dankodiklatau
4. Dankorpasgat Paraf
5. Dankoharmatau
Sesdispotdirga

Kasubdisbinwilhan

Kasubdisnatdirga

Kasubdisbinsumda

Kasubdis Bakti

Kabagum

Anda mungkin juga menyukai