Anda di halaman 1dari 9

DAMPAK FIR SINGAPURA TERHADAP KEDAULATAN DAN

KEAMANAN INDONESIA

A. Aspek Kedaulatan

Pengakuan terhadap kedaulatan suatu negara atas ruang udara di atas wilayah

teritorialnya dinyatakan dalam Artikel 1 Konvensi Chicago 1944. Demikian pula

Pasal 5 UU Penerbangan yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia

berdaulat penuh dan utuh atas wilayah Republik Indonesia.

Pengambilan pengelolaan pelayanan navigasi penerbangan di ruang udara

Sektor A, B, dan C tersebut menjadi suatu kewajiban dengan diundangkannya UU

Penerbangan, dimana pada Pasal 458 mengamanatkan bahwa seluruh wilayah

udara di wilayah kedaulatan RI yang pemberian pelayanan navigasi

penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dilayani oleh

lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan dalam waktu 15 tahun

sejak 21 Januari 2009. Sedangkan lembaga penyelenggara tersebut harus terbentuk

paling lambat tiga tahun sejak 12 Januari 2009 (Pasal 460). Dalam jeda waktu

selama 15 tahun tersebut Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian

Perhubungan, perlu mengefektifkan pengelolaan Sektor A, B, dan C baik dengan

cara dikelola sendiri maupun bekerjasama dengan negara lain (Singapura dan/atau

Malaysia) guna memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi negara.

Pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan pola pengelolaan ruang udara


secara bersama-sama diantara negara-negara ASEAN seperti yang dilakukan di

negara-negara Eropa dengan membentuk EuroControl. (Zuraida, 2012).

Masalah navigasi udara ini menjadi sangat penting karena sangat fital dengan

kedaulatan suatu negara. Bentuk ancaman yang bisa muncul diantara Indonesia

Singapura mencakup militer dan non militer. Persepsi ancaman ini dapat

menciptakan konflik antar kedua negara. Selain itu, pendegelasian itu juga sudah

merupakan pelanggaran wilayah udara. (Retaduari, 2017)

Wilayah udara Kepulauan Riau sendiri sudah dipegang kendalinya oleh

Singapura sejak tahun 1946, akan tetapi legalitas perjanjiannya baru disahkan pada

tanggal 21 September 1995 lewat Perjanjian Penyelarasan Ulang Garis Batas FIR

Singapura dan FIR Jakarta yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden

No. 7 Tahun 1996 pada tanggal 2 Februari 1996. Berdasarkan perjanjian tersebut

semua penerbangan yang melewati FIR Singapura yang berada di atas Kepulauan

Riau dan Natuna diatur oleh Singapura tanpa melibatkan pemerintah Indonesia.

Kewenangan yang dimiliki Singapura itu disebut FIR.

Kasus pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan di atas Kepulauan Riau

kepada Singapura merupakan masalah yang sangat rumit. Sebab, permasalahan ini

tetap menyerempet aspek kedaulatan negara, meskipun FIR hanya menyangkut

masalah teknis pelayanan navigasi penerbangan. Pemerintah Singapura atas dasar

amanat Konvensi Chicago 1944 wajib menyediakan fasilitas pelayanan navigasi

udara bagi pesawat udara yang melintas di atas wilayah Kepulauan Riau dan

Natuna. Sementara hak negara Singapura adalah antara lain memungut biaya jasa
pelayanan navigasi udara di atas wilayah tersebut atas nama pemerintah Indonesia

dan mengatur lalu lintas penerbangan baik itu penerbangan sipil maupun

kenegaraan. Pengaturan tersebut termasuk mendelegasikan lagi wilayah tersebut

kepada negara lain seperti kasus sektor C yang tidak masuk dalam perjanjian yang

didelegasikan kepada pemerintah Malaysia menyangkut masalah hak komunikasi

antara Malaysia Barat dan Malaysia Timur.

Pengaturan navigasi wilayah udara yang dilakukan oleh Singapura tersebut

mendatangkan dampak yang buruk bagi kedaulatan Indonesia. Contohnya, ketika

pesawat yang ditumpangi mentri pertahanan Indonesia pada tahun 1991 dipaksa

mendarat oleh ATC Singapura ketika melintas di atas wilayah Natuna. Jika ada

penerbangan militer atau kenegaraan yang akan melintasi wilayah FIR tersebut,

maka pihak kementrian perhubungan Indonesia harus memberitahukan kepada

otoritas Singapura. Otoritas Singapura dalam hal ini CAAS kemudian akan

menindaklanjuti dengan memberitahukannya kepada seluruh penerbangan.

Pemerintah Singapura berhak menentukan wilayah terlarang bagi aktivitas militer

Indonesia di wilayah FIR yang didelegasikan dengan alasan keamanan

penerbangan sipil.

Selain itu, Singapura berpotensi melakukan tindakan pelanggaran kedaulatan

akibat otoritasnya di wilayah tersebut. Pelanggaran kedaulatan yang dimaksud

adalah manuver-manuver pesawat militer Singapura yang dilakukan tanpa

koordinasi dengan pihak militer Indonesia. Manuver-manuver tersebut berpotensi

menimbulkan kegiatan spionase yang membahayakan keamanan negara Indonesia.


Wilayah udara Indonesia di Kepulauan Riau merupakan wilayah udara

strategis karena berbatasan dengan tiga negara dan terletak pada jalur Selat

Malaka. Nilai startegis inilah yang membuat keberadaan FIR di wilayah udara

Kepulauan Riau ini berarti bagi tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Singapua.

Kepentingan tiga negara bertubrukan di wilayah ini sehingga daerah ini disebut

sebagai critical border. (Priyono, 2016). Maka, kasus pendelegasian FIR ini juga

merupakan masalah kedaulatan.

Lain halnya jika dibandingkan dengan kasus wilayah udara di atas Kepulauan

Christmas milik Australia yang dikontrol oleh FIR Jakarta. Pulau Christmas

kurang memiliki nilai strategis jika dibandingkan dengan Kepualuan Riau. Jalur

penerbangan di atas wilayah Pulau Christmas lebih sepi dibandingkan dengan jalur

penerbangan di atas Kepulauan Riau. Pesawat udara milik Australia merasa tidak

perlu untuk melaporkan flight plan kepada ATC Jakarta jika melintas di atas Pulau

Christmas sebab tidak ada perjanjian bilateral antara Australia dan Indonesia

menyangkut FIR di atas Pulau Christmas.

Adanya otoritas Singapura di wilayah negara Indonesia ini mengindikasikan

terbaginya kedaulatan negara kepada negara lain. Padahal, menurut Dr. Ni‟matul

Huda (Huda, 2010), kedaulatan sebuah negara bersifat permanen, tidak dapat

dibagi-bagi, tunggal, dan tidak terbatas. Sehingga keberadaan otoritas Singapura

meskipun dalam hal teknis di wilayah Indonesia meyalahi aspek atau sifat

kedaulatan sebuah negara.


Negara Republik Indonesia memiliki kepentingan nasional yang perlu

diperjuangkan. Namun, pencapaian tujuan nasional tersebut tidak dapat terlaksana

dengan maksimal jika masih terdapat campurtangan negara lain dalam urusan

dalam negri. Oleh karena itu, pencapaian kepentingan nasional tersebut harus

sejalan dengan tegaknya kedaulatan di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

B. Aspek Keamanan

Kehilangan kontrol atas ruang udara yang berada dalam kedaulatan negara

memiliki dimensi politik dan pertahanan keamanan negara, diantaranya terdapat

pembatasan keleluasaan dalam patroli penegakan hukum yang dilakukan oleh TNI

dan pesawat negara lainnya, terutama terkait dengan kewajiban permintaan izin

bagi pesawat patroli tersebut kepada CAAS. Dalam Pasal 5 Perjanjian Indonesia

Singapura Tahun 1995 telah ditetapkan bahwa apabila Pemerintah Indonesia

bermaksud melaksanakan kegiatan misalnya operasi pertolongan dan latihan

militer yang akan mempengaruhi para pengguna ruang udara yang telah

didelegasikan ke Singapura, maka Direktorat Jenderal Perhubungan Udara

Indonesia akan memberitahukan kepada Badan Penerbangan Sipil Singapura atas

kegiatan tersebut sesuai dengan ketentuan ICAO. Selanjutnya Badan Penerbangan

Sipil Singapura akan memberitahukan kepada seluruh penerbangan sipil

internasional mengenai kegiatan tersebut sesuai ketentuan ICAO.

Dengan demikian atas ruang udara tersebut Pemerintah Indonesia tidak

mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh. Indonesia tidak bebas menggunakan
ruang udara untuk kepentingan militernya. Kedaulatan Indonesia atas ruang

udaranya yang utuh dan penuh, dikaitkan dengan ruang udara yang telah

didelegasikan pengendaliannya kepada Singapura telah dibatasi dengan ketentuan

Pasal 5 perjanjian tersebut.

Selain itu, terdapat perbedaan dalam kebijakan dan prosedur dalam pengelolaan

navigasi penerbangan, termasuk aspek teknis terutama menyangkut pengaturan

zona ketinggian pesawat yang berbeda antara Indonesia dan Singapura serta

peralatan avionik pesawat yang harus sesuai dengan ketentuan Pemerintah

Singapura. Prosedur penerbangan yang diberlakukan di Singapura dalam ruang

udara yang didelegasikan, tidak dapat sepenuhnya sesuai dengan prosedur yang

diberlakukan di Indonesia. Sebagai contoh pada pelaksanaan Reduced Vertical

Separation Minimum (RVSM) (FAA, 2017) yang tidak harmonis, Indonesia

melaksanakan pada 27 Nopember 2003 (FL310-FL410) sedang Singapura

memberlakukan sejak Februari 2002 (FL290- FL410), juga pada pelaksanaan

penggunaan transponder TCAS versi 7 untuk semua jenis pesawat yang melintasi

ruang udara tersebut diberlakukan sejak 1 Januari 2003 oleh Singapura, sementara

Indonesia belum memastikan jadwal pelaksanaannya. (Suratman, 2004).

Demikan pula dengan adanya DCA yang telah ditandatangani di Istana

Presiden Tampaksiring, Bali pada 27 April 2007 oleh Menhan kedua negara

disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri (PM)

Singapura Lee Hsien Loong. Kerjasama itu akan berlaku selama 30 tahun lebi

dan dapat ditinjau setelah 13 tahun dan berikutnya dikaji setiap enam tahun, dan
merupakan kelanjutan dari pengaturan wilayah latihan militer (Military Training

Area-MTA) yang pernah disepakati antara RI dan Singapura selama 1995 hingga

2003. (aan/nrl, 2017)

Dalam butir-butir kerjasama pertahanan disebutkan antara lain, Singapura

berhak menggunakan tiga wilayah di Indonesia untuk latihan militer, test terbang,

dan penembakan rudal. Bukan hanya itu, Singapura juga diijinkan melakukan

latihan dengan negara ketiga. Beberapa poin perjanjian ini, antara lain: Indonesia

menyediakan wilayah udara dan laut untuk latihan angkatan bersenjata Singapura.

Ada tiga area: Area Alfa 1: tes kelaikan terbang, Check penanganan dan latihan

terbang. Area Alfa 2: latihan matra udara. Area Bravo: Latihan manuver laut

Angkatan Laut Singapura, Penembakan rudal. Dalam perjalanannya, kedua negara

tidak dapat melaksanakan kesepakatan kerja sama itu secara mulus karena menuai

kontroversi di masing-masing pihak, terutama menyangkut Implementing

Arrangement (IA) Military Training Area (MTA) di Area Bravo yang berada di

Kepulauan Natuna.

Walaupun keuntungan yang diperoleh militer Indonesia melalui kerjasama itu

lebih besar dibandingkan kerjasama sebelumnya, terutama dalam mengakses

informasi dan teknologi militer Singapura yang jauh lebih maju, namun mengingat

kesepakatan Indonesia-Singapura soal MTA terpaksa dihentikan secara sepihak

oleh Indonesia pada 2003 karena Singapura ditengarai melakukan pelanggaran

wilayah Indonesia lewat MTA tersebut, terlebih dengan melibatkan Amerika

Serikat (AS) dan Australia dalam setiap latihan militer di wilayah Indonesia. Pa
DCA inipun, terdapat celah keamanan yang ada pada butir tambahan,

dimana Angkatan bersenjata Singapura berhak mengadakan latihan dengan negara

ketiga dengan seizin Indonesia. Hal ini menjadi titik kelemahan bagi Indonesia,

yang mempunyai teknologi yang uzur, kekuatan udara yang kurang, serta

kemampuan dalam menghadapi tekanan pihak ketiga yang masuk Indonesia.

Implikasi lainnya adalah apabila DCA ini diterima, implementasinya baru akan

bisa ditinjau ulang setelah berlaku selama 13 tahun, dan hal itu hanya bisa

dilakukan secara periodik 6 tahunan. Sehingga jika dalam setiap periode waktu 13

tahun, dengan setahun frekuensi latihan sebanyak 4 kali, kemudian timbul eses

akibat latihan militer tersebut, maka dipastikan Riau daratan akan rata dengan

tanah.

Selanjutnya, terhadap permasalahan tentang bagaimana mekanisme perijinan

bagi pesawat negara asing apabila melewati wilayah Indonesia yang masuk dalam

wilayah FIR Singapura. Pada dasarnya wilayah udara suatu negara tertutup bagi

pesawat udara negara lain. Oleh karena itu, setiap penerbangan yang memasuki

wilayah udara negara oleh pesawat udara lain tanpa izin sebelumnya dari negara

yang wilayahnya dimasuki, merupakan pelanggaran wilayah udara. Sifat tertutup

ruang udara nasional itu dapat dipahami mengingat udara sebagai media gerak

sangat rawan ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan negara kolong.

Keuntungan-keuntungan serangan militer seperti kecepatan (speed), jangkauan

(range), pendadakan (surprise), penyusupan (penetration) dapat dilakukan dengan

optimal hanya melalui media udara dengan pesawat udara. Hal ini mendorong
setiap negara mengenakan standar penjagaan ruang udara nasionalnya secara ketat

dan kaku.

Anda mungkin juga menyukai