KEAMANAN INDONESIA
A. Aspek Kedaulatan
Pengakuan terhadap kedaulatan suatu negara atas ruang udara di atas wilayah
paling lambat tiga tahun sejak 12 Januari 2009 (Pasal 460). Dalam jeda waktu
cara dikelola sendiri maupun bekerjasama dengan negara lain (Singapura dan/atau
Masalah navigasi udara ini menjadi sangat penting karena sangat fital dengan
kedaulatan suatu negara. Bentuk ancaman yang bisa muncul diantara Indonesia
Singapura mencakup militer dan non militer. Persepsi ancaman ini dapat
menciptakan konflik antar kedua negara. Selain itu, pendegelasian itu juga sudah
Singapura sejak tahun 1946, akan tetapi legalitas perjanjiannya baru disahkan pada
tanggal 21 September 1995 lewat Perjanjian Penyelarasan Ulang Garis Batas FIR
Singapura dan FIR Jakarta yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden
No. 7 Tahun 1996 pada tanggal 2 Februari 1996. Berdasarkan perjanjian tersebut
semua penerbangan yang melewati FIR Singapura yang berada di atas Kepulauan
Riau dan Natuna diatur oleh Singapura tanpa melibatkan pemerintah Indonesia.
kepada Singapura merupakan masalah yang sangat rumit. Sebab, permasalahan ini
udara bagi pesawat udara yang melintas di atas wilayah Kepulauan Riau dan
Natuna. Sementara hak negara Singapura adalah antara lain memungut biaya jasa
pelayanan navigasi udara di atas wilayah tersebut atas nama pemerintah Indonesia
dan mengatur lalu lintas penerbangan baik itu penerbangan sipil maupun
kepada negara lain seperti kasus sektor C yang tidak masuk dalam perjanjian yang
pesawat yang ditumpangi mentri pertahanan Indonesia pada tahun 1991 dipaksa
mendarat oleh ATC Singapura ketika melintas di atas wilayah Natuna. Jika ada
penerbangan militer atau kenegaraan yang akan melintasi wilayah FIR tersebut,
otoritas Singapura. Otoritas Singapura dalam hal ini CAAS kemudian akan
penerbangan sipil.
strategis karena berbatasan dengan tiga negara dan terletak pada jalur Selat
Malaka. Nilai startegis inilah yang membuat keberadaan FIR di wilayah udara
Kepulauan Riau ini berarti bagi tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Singapua.
Kepentingan tiga negara bertubrukan di wilayah ini sehingga daerah ini disebut
sebagai critical border. (Priyono, 2016). Maka, kasus pendelegasian FIR ini juga
Lain halnya jika dibandingkan dengan kasus wilayah udara di atas Kepulauan
Christmas milik Australia yang dikontrol oleh FIR Jakarta. Pulau Christmas
kurang memiliki nilai strategis jika dibandingkan dengan Kepualuan Riau. Jalur
penerbangan di atas wilayah Pulau Christmas lebih sepi dibandingkan dengan jalur
penerbangan di atas Kepulauan Riau. Pesawat udara milik Australia merasa tidak
perlu untuk melaporkan flight plan kepada ATC Jakarta jika melintas di atas Pulau
Christmas sebab tidak ada perjanjian bilateral antara Australia dan Indonesia
terbaginya kedaulatan negara kepada negara lain. Padahal, menurut Dr. Ni‟matul
Huda (Huda, 2010), kedaulatan sebuah negara bersifat permanen, tidak dapat
meskipun dalam hal teknis di wilayah Indonesia meyalahi aspek atau sifat
dengan maksimal jika masih terdapat campurtangan negara lain dalam urusan
dalam negri. Oleh karena itu, pencapaian kepentingan nasional tersebut harus
Indonesia.
B. Aspek Keamanan
Kehilangan kontrol atas ruang udara yang berada dalam kedaulatan negara
pembatasan keleluasaan dalam patroli penegakan hukum yang dilakukan oleh TNI
dan pesawat negara lainnya, terutama terkait dengan kewajiban permintaan izin
bagi pesawat patroli tersebut kepada CAAS. Dalam Pasal 5 Perjanjian Indonesia
militer yang akan mempengaruhi para pengguna ruang udara yang telah
mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh. Indonesia tidak bebas menggunakan
ruang udara untuk kepentingan militernya. Kedaulatan Indonesia atas ruang
udaranya yang utuh dan penuh, dikaitkan dengan ruang udara yang telah
Selain itu, terdapat perbedaan dalam kebijakan dan prosedur dalam pengelolaan
zona ketinggian pesawat yang berbeda antara Indonesia dan Singapura serta
udara yang didelegasikan, tidak dapat sepenuhnya sesuai dengan prosedur yang
penggunaan transponder TCAS versi 7 untuk semua jenis pesawat yang melintasi
ruang udara tersebut diberlakukan sejak 1 Januari 2003 oleh Singapura, sementara
Presiden Tampaksiring, Bali pada 27 April 2007 oleh Menhan kedua negara
Singapura Lee Hsien Loong. Kerjasama itu akan berlaku selama 30 tahun lebi
dan dapat ditinjau setelah 13 tahun dan berikutnya dikaji setiap enam tahun, dan
merupakan kelanjutan dari pengaturan wilayah latihan militer (Military Training
Area-MTA) yang pernah disepakati antara RI dan Singapura selama 1995 hingga
berhak menggunakan tiga wilayah di Indonesia untuk latihan militer, test terbang,
dan penembakan rudal. Bukan hanya itu, Singapura juga diijinkan melakukan
latihan dengan negara ketiga. Beberapa poin perjanjian ini, antara lain: Indonesia
menyediakan wilayah udara dan laut untuk latihan angkatan bersenjata Singapura.
Ada tiga area: Area Alfa 1: tes kelaikan terbang, Check penanganan dan latihan
terbang. Area Alfa 2: latihan matra udara. Area Bravo: Latihan manuver laut
tidak dapat melaksanakan kesepakatan kerja sama itu secara mulus karena menuai
Arrangement (IA) Military Training Area (MTA) di Area Bravo yang berada di
Kepulauan Natuna.
informasi dan teknologi militer Singapura yang jauh lebih maju, namun mengingat
Serikat (AS) dan Australia dalam setiap latihan militer di wilayah Indonesia. Pa
DCA inipun, terdapat celah keamanan yang ada pada butir tambahan,
ketiga dengan seizin Indonesia. Hal ini menjadi titik kelemahan bagi Indonesia,
yang mempunyai teknologi yang uzur, kekuatan udara yang kurang, serta
Implikasi lainnya adalah apabila DCA ini diterima, implementasinya baru akan
bisa ditinjau ulang setelah berlaku selama 13 tahun, dan hal itu hanya bisa
dilakukan secara periodik 6 tahunan. Sehingga jika dalam setiap periode waktu 13
tahun, dengan setahun frekuensi latihan sebanyak 4 kali, kemudian timbul eses
akibat latihan militer tersebut, maka dipastikan Riau daratan akan rata dengan
tanah.
bagi pesawat negara asing apabila melewati wilayah Indonesia yang masuk dalam
wilayah FIR Singapura. Pada dasarnya wilayah udara suatu negara tertutup bagi
pesawat udara negara lain. Oleh karena itu, setiap penerbangan yang memasuki
wilayah udara negara oleh pesawat udara lain tanpa izin sebelumnya dari negara
ruang udara nasional itu dapat dipahami mengingat udara sebagai media gerak
sangat rawan ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan negara kolong.
optimal hanya melalui media udara dengan pesawat udara. Hal ini mendorong
setiap negara mengenakan standar penjagaan ruang udara nasionalnya secara ketat
dan kaku.