Oleh:
NIM : 02022682024008
Kelas :C
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pembagian Harta
Bersama Akibat Perceraian ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
H. KMS. ABDULLAH HAMID, S.H.,SP.N.,M.H. pada bidang studi Pembuatan
Akta Pemecahan Dan Pembagian Harta Peninggalan (TPA-II). Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pembagian Harta
Bersama Akibat Perceraian bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penilis
DAFTAR ISI
JUDUL.................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR........................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 8
A. Cuti Notaris............................................................................................... 8
B. Mekanisme Pengajuan Cuti Notaris.......................................................... 10
C. Batasan Jabatan Pejabat Negara yang Dilarang Rangkap Jabatan oleh
Notaris....................................................................................................... 12
D. Relevansi Larangan bagi Notaris Merangkap Jabatan Sebagai Pejabat
Negara dalam Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Notaris.................... 15
A. Kesimpulan................................................................................................ 20
B. Saran.......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Nikah pada hakikatnya adalah
akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan
menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga. Defini
perkawinan juga sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yang
berbunyi: Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut UU. No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, definisi perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 adalah:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut bahasa nikah adalah al-dhammu atau altadakhul yang artinya
berkumpul atau saling memasuki. (A. W. Munawwir, 1997:392,829)
Menurut Ahli Usul, nikah berarti:
a. Menurut aslinya berarti setubuh, dan secara majazi (metaphoric) ialah akad
yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Ini
pendapat Ahli Usul Hanafiyah.
b. Ahli Usul Syafi’iyah mengatakan, nikah menurut aslinya ialah akad yang
menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Sedang menurut
arti majazi (metaphoric) ialah bersetubuh.
c. Abu Qasim al-Zayyad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ahli usul
dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua
arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh.(Abu al- ‘Ainain, 2002:18)
Secara psikologi, setiap orang yang membentuk keluarga melalui lembaga
perkawinan yang sah mendapatkan kenyamanan dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan psikisnya. Tujuan perkawinan sendiri dapat dikembangkan menjadi lima,
yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Memenuhi kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan
kewajiban.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam menjalani suatu hubungan rumah tangga pasti sepasang suami istri
menginginkan hubungan yang harmonis dan bebas dari pertentangan namun
seringkaliharapan itu harus pupus ditengah jalan, banyak sepasang suami istri yang
merasa tidak cocok satu sama lain atas beberapa faktor dan akhirnya membuat
pernikahan yang mereka jalani selama ini harus kandas ditengah jalan atau akrab kita
kenal dengan istilah “perceraian”. Istilah perceraian secara yuridis berarti putusnya
perkawinan yang menyebabkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti
berlaki-bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Perceraian menurut ahli fikih disebut talaq atau firqoh. Talak diambil dari
kata ( اطالقillaq), artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah
syara', talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, Atau rusaknya hubungan
perkawinan.
Contoh faktor perceraian yang sangat sering terjadi adalah karena adanya orang
ketiga seperti yang kita ketahui, perselingkuhan dalam bahtera rumah tangga menurut
hukum islam menyebutkan bahwa Perselingkuhan adalah perbuatan yang menjurus
pada perzinahan dan bisa dikatakan perselingkuhan adalah perbuatan zina yang
dilakukan secara berulang kali oleh pelaku. Perselingkuhan bisa dipastikan menjadi
cara seseorang lebih cepat masuk ke dalam api neraka jika tidak segera bertaubat
serta menjalankan amalan penghapus dosa zina dan ini sudah menjadi akibat yang
pastinya harus ditanggung para pria atau wanita yang berselingkuh.
Perkawinan dan perceraian secara yuridis dan kultural yang berlaku pada suatu
masyarakat atau bangsa tidak dapat terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan
dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Tegasnya perkawinan
dan perceraian dapat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan
keagamaan yang dianut oleh masyarakat bersangkutan, sebagai contoh, hukum
perkawinan dan perceraian yang berlaku secra nasional di Indonesia tidak hanya
dipengaruhi oleh hukum-hukum yag bersumber dari ajaran agama-agama yang dianut
oleh masyarakat indonesia secara hukum Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu
maupun Konghucu, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya perkawinan barat, sehingga
mengakibatkan beragamnya hukum dan budaya perkawinan yang berkembang di
Indonesia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 113, disebutkan bahwa perkawinan
dapat putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian
3. Putusan Pengadilan
Dalam bidang perceraian, undang-undang perkawinan mengatur bahwa
perceraian hanya bisa jatuh (diakui dan mempunyai kekuatan hukum) apabila terjadi
di sidang pengadilan dan berlaku sejak adanya putusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap. Proses perceraian di lembaga peradilan memakan waktu yang
relatif cukup panjang. Pendaftaran perkara di pengadilan sampai adanya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan proses beracara yang
harus dilalui oleh suami istri (atau kuasa hukumnya) ketika akan melangsungkan
perceraian.
Bila terjadi perceraian maka muncul berbagai macam masalah yaitu:
1. Anak
2. Harta Perkawinan
Ad.1 Anak
Mengenai anak ini kedudukannya jika anak itu sudah besar dapat mengikuti
ayahnya, dan yang masih kecil mengikuti ibunya, apabila mereka kelak sudah
meningkat dewasa diserahkan kepada anak-anak itu akan ikut ayahnya.
Ad.2 Harta Perkawinan
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah harta perkawinan
diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal 65. Dalam pasal-
pasal tersebut terdapat ketentuan-ketentuan mengenai harta perkawinan
selama tidak ada perjanjian lain mengenainya. Menurut Pasal 35 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Selain itu, harta bawaan dari masing-
masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hal apa saja yang perlu
diperhatikan dalam pembagian harta akibat perceraian.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah implikasi pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Akibat
Perceraian yang Berbasis Nilai Keadilan?
2. Bagaimanakah Peran Notaris Terhadap Pembagian Harta Bersama Akibat
Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk membahas bagaimanakah implementasi pelaksanaan harta bersama
akibat perceraian yang berbasis nilai keadilan.
2. Peran Notaris Terhadap Pembagian Harta Bersama Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum
Islam, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 5, No. 2,
Desember 2014, hlm. 288.
Choirunnisa Nur Novitasari, Dian Latifiani, Ridwan Arifin, Analisis Hukum Islam terhadap
Faktor Putusnya Tali Perkawinan, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, (Semarang:
UNNES, 2019), hlm. 326.
Puniman, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, Yustitia, Vol. 19, No. 1, 2018, hlm. 88.