Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PEMBUATAN AKTA PEMECAHAN DAN PEMBAGIAN HARTA


PENINGGALAN (TPA-II)

Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian

Oleh:

Nama : ALFAT MUBAROQ

NIM : 02022682024008

Kelas :C

Dosen : H. KMS. ABDULLAH HAMID, S.H.,SP.N.,M.H.

MAGISTER KENOTARIATAN (S2)


UNIVERSITAS NEGERI SRIWIJAYA PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pembagian Harta
Bersama Akibat Perceraian ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
H. KMS. ABDULLAH HAMID, S.H.,SP.N.,M.H. pada bidang studi Pembuatan
Akta Pemecahan Dan Pembagian Harta Peninggalan (TPA-II). Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pembagian Harta
Bersama Akibat Perceraian bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. KMS. ABDULLAH HAMID,


S.H.,SP.N.,M.H., selaku dosen bidang studi Pembuatan Akta Pemecahan Dan
Pembagian Harta Peninggalan (TPA-II) yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Palembang, 28 September 2021

Penilis
DAFTAR ISI

JUDUL.................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR........................................................................................... 2

DAFTAR ISI......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 4


B. Rumusan Masalah..................................................................................... 7
C. Tujuan Pembahasan................................................................................... 7

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 8

A. Cuti Notaris............................................................................................... 8
B. Mekanisme Pengajuan Cuti Notaris.......................................................... 10
C. Batasan Jabatan Pejabat Negara yang Dilarang Rangkap Jabatan oleh
Notaris....................................................................................................... 12
D. Relevansi Larangan bagi Notaris Merangkap Jabatan Sebagai Pejabat
Negara dalam Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Notaris.................... 15

BAB III PENUTUP............................................................................................... 20

A. Kesimpulan................................................................................................ 20
B. Saran.......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Nikah pada hakikatnya adalah
akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan
menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga. Defini
perkawinan juga sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yang
berbunyi: Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut UU. No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, definisi perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 adalah:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut bahasa nikah adalah al-dhammu atau altadakhul yang artinya
berkumpul atau saling memasuki. (A. W. Munawwir, 1997:392,829)
Menurut Ahli Usul, nikah berarti:
a. Menurut aslinya berarti setubuh, dan secara majazi (metaphoric) ialah akad
yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Ini
pendapat Ahli Usul Hanafiyah.
b. Ahli Usul Syafi’iyah mengatakan, nikah menurut aslinya ialah akad yang
menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Sedang menurut
arti majazi (metaphoric) ialah bersetubuh.
c. Abu Qasim al-Zayyad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ahli usul
dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua
arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh.(Abu al- ‘Ainain, 2002:18)
Secara psikologi, setiap orang yang membentuk keluarga melalui lembaga
perkawinan yang sah mendapatkan kenyamanan dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan psikisnya. Tujuan perkawinan sendiri dapat dikembangkan menjadi lima,
yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Memenuhi kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan
kewajiban.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam menjalani suatu hubungan rumah tangga pasti sepasang suami istri
menginginkan hubungan yang harmonis dan bebas dari pertentangan namun
seringkaliharapan itu harus pupus ditengah jalan, banyak sepasang suami istri yang
merasa tidak cocok satu sama lain atas beberapa faktor dan akhirnya membuat
pernikahan yang mereka jalani selama ini harus kandas ditengah jalan atau akrab kita
kenal dengan istilah “perceraian”. Istilah perceraian secara yuridis berarti putusnya
perkawinan yang menyebabkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti
berlaki-bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Perceraian menurut ahli fikih disebut talaq atau firqoh. Talak diambil dari
kata ‫( اطالق‬illaq), artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah
syara', talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, Atau rusaknya hubungan
perkawinan.
Contoh faktor perceraian yang sangat sering terjadi adalah karena adanya orang
ketiga seperti yang kita ketahui, perselingkuhan dalam bahtera rumah tangga menurut
hukum islam menyebutkan bahwa Perselingkuhan adalah perbuatan yang menjurus
pada perzinahan dan bisa dikatakan perselingkuhan adalah perbuatan zina yang
dilakukan secara berulang kali oleh pelaku. Perselingkuhan bisa dipastikan menjadi
cara seseorang lebih cepat masuk ke dalam api neraka jika tidak segera bertaubat
serta menjalankan amalan penghapus dosa zina dan ini sudah menjadi akibat yang
pastinya harus ditanggung para pria atau wanita yang berselingkuh.
Perkawinan dan perceraian secara yuridis dan kultural yang berlaku pada suatu
masyarakat atau bangsa tidak dapat terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan
dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Tegasnya perkawinan
dan perceraian dapat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan
keagamaan yang dianut oleh masyarakat bersangkutan, sebagai contoh, hukum
perkawinan dan perceraian yang berlaku secra nasional di Indonesia tidak hanya
dipengaruhi oleh hukum-hukum yag bersumber dari ajaran agama-agama yang dianut
oleh masyarakat indonesia secara hukum Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu
maupun Konghucu, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya perkawinan barat, sehingga
mengakibatkan beragamnya hukum dan budaya perkawinan yang berkembang di
Indonesia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 113, disebutkan bahwa perkawinan
dapat putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian
3. Putusan Pengadilan
Dalam bidang perceraian, undang-undang perkawinan mengatur bahwa
perceraian hanya bisa jatuh (diakui dan mempunyai kekuatan hukum) apabila terjadi
di sidang pengadilan dan berlaku sejak adanya putusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap. Proses perceraian di lembaga peradilan memakan waktu yang
relatif cukup panjang. Pendaftaran perkara di pengadilan sampai adanya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan proses beracara yang
harus dilalui oleh suami istri (atau kuasa hukumnya) ketika akan melangsungkan
perceraian.
Bila terjadi perceraian maka muncul berbagai macam masalah yaitu:
1. Anak
2. Harta Perkawinan
Ad.1 Anak
Mengenai anak ini kedudukannya jika anak itu sudah besar dapat mengikuti
ayahnya, dan yang masih kecil mengikuti ibunya, apabila mereka kelak sudah
meningkat dewasa diserahkan kepada anak-anak itu akan ikut ayahnya.
Ad.2 Harta Perkawinan
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah harta perkawinan
diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal 65. Dalam pasal-
pasal tersebut terdapat ketentuan-ketentuan mengenai harta perkawinan
selama tidak ada perjanjian lain mengenainya. Menurut Pasal 35 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Selain itu, harta bawaan dari masing-
masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hal apa saja yang perlu
diperhatikan dalam pembagian harta akibat perceraian.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah implikasi pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Akibat
Perceraian yang Berbasis Nilai Keadilan?
2. Bagaimanakah Peran Notaris Terhadap Pembagian Harta Bersama Akibat
Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk membahas bagaimanakah implementasi pelaksanaan harta bersama
akibat perceraian yang berbasis nilai keadilan.
2. Peran Notaris Terhadap Pembagian Harta Bersama Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Implikasi pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian yang


Berbasis Nilai Keadilan
Majelis Hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat perceraian
lebih berpedoman kepada Ijtihad (penemuan hukum). Ijtihad yang dilakukan oleh
Majelis Hakim adalah Ijtihad Tathbiqiy, yaitu upaya menerapkan hukum secara tepat
terhadap suatu kasus. Wujud Ijtihad Tathbiqiy yang dilakukan oleh Majelis Hakim
dalam menentukan pembagian harta bersama akibat perceraian tersebut adalah ketika
Majelis Hakim menggunakan Teori Hukum dalam memeriksa Kasus dengan
mengutamakan nilai keadilan dan Kemaslahatan. Teori Keadilan yang dimaksudkan
di sini adalah Keadilan Distributif dan keadilan Principle Difference.
Keadilan Distributif adalah memberikan jatah kepada setiap orang berdasarkan
jasanya atau memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan
kepada azas keseimbangan atau memberikan hak kepada setiap orang berdasarkan
prestasinya atau memberikan penghargaan kepada pihak yang berprestasi atau
melindungi pihak yang berprestasi (pihak yang kuat). Keadilan Principle Difference
adalah memberikan manfaat yang paling besar kepada orang yang paling kurang
beruntung atau memberikan jatah kepada pihak yang tidak berprestasi (pihak yang
lemah) atau melindungi pihak yang tidak berprestasi (pihak yang lemah) agar
mendapat kesejahteraan. Teori Kemaslahatan yang dimaksudkan di sini adalah
kemaslahatan melalui Maqashidusy Syari’ah dengan Metode Ta’lili, Metode Istihsan
dan Metode Istishlahi. Makna Maqashidusy Syari’ah dengan Metode Ta’lili, Metode
Istihsan dan Metode Istishlahi adalah maksud dan tujuan diberlakukannya hukum
adalah karena ada ‘illat hukum yang melatarbelakanginya dan bertujuan untuk
kebaikan dan untuk kemaslahatan
Namun demikian, apabila selama berumah tangga suami tidak pernah
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga, yaitu suami tidak
pernah memberi nafkah kepada istrinya sebagaimana ketentuan Pasal 31 Ayat (3) dan
Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Al-Quran Surat An-Nisa’ Ayat 34, sedangkan istri berperan sebagai ibu rumah tangga
dan mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya sebagaimana ketentuan Pasal 31
Ayat (3) dan Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan pula istri yang justru memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga, yaitu istri yang justru memberi nafkah kepada suaminya, dengan
perkataan lain, bahwa istri menjadi tulang punggung keluarga dan seluruh harta
bersama diperoleh dari hasil kerja istri, kemudian mereka terjadi perceraian dan
terjadi perselisihan tentang pembagian harta bersama, maka “bagian harta bersama
untuk istri yang menjadi janda cerai hidup lebih besar dibanding dengan bagian harta
bersama untuk suami yang menjadi duda cerai hidup.
Bagian harta bersama untuk istri yang menjadi janda cerai hidup sebesar dua
pertiga bagian dari harta bersama, sedangkan untuk suami yang menjadi duda ceerai
hidup mendapatkan sepertiga bagian dari harta bersama” atau bisa jadi “bagian harta
bersama untuk istri yang menjadi janda cerai hidup sebesar tiga perempat bagian dari
harta bersama, sedangkan bagian harta bersama untuk suami yang menjadi duda cerai
hidup sebesar seperempat bagian dari harta bersama”. Memberikan bagian harta
bersama akibat perceraian yang lebih besar kepada istri yang menjadi janda cerai
hidup dibanding bagian suami yang menjadi duda cerai hidup sebagaimana tersebut
di atas adalah semata-mata untuk memberikan penghargaan kepada pihak yang
berprestasi (pihak yang kuat), yaitu istri dengan maksud dan tujuan untuk kebaikan
dan untuk kemaslahatan istri yang menjadi janda cerai hidup, sedangkan memberikan
bagian harta bersama akibat perceraian yang lebih kecil kepada suami yang menjadi
duda cerai hidup dibanding bagian harta bersama akibat perceraian kepada istri yang
menjadi janda cerai hidup sebagaimana tersebut di atas adalah untuk melindungi
pihak yang tidak berprestasi (pihak yang lemah), yaitu suami yang menjadi duda cerai
hidup dengan maksud dan tujuan untuk kebaikan dan untuk kemaslahatan suami yang
menjadi duda cerai hidup.
Pihak yang berprestasi (pihak yang kuat) dalam kasus pembagian harta bersama
tersebut adalah janda cerai hidup, yaitu Majelis Hakim menentukan untuk janda cerai
hidup berhak memperoleh bagian harta bersama yang lebih banyak dibanding bagian
harta bersama untuk pihak yang tidak berprestasi (pihak yang lemah), yaitu duda
cerai hidup karena memang telah ternyata, bahwa selama duda cerai hidup dengan
janda cerai hidup ketika masih menjadi suami-istri, duda cerai hidup tersebut tidak
pernah memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga, yaitu duda cerai
hidup tidak pernah memberi nafkah kepada janda cerai hidup sebagaimana ketentuan
Pasal 31 Ayat (3) dan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan AlQuran Surat An-Nisa’ Ayat 34, sedangkan janda cerai
hidup berperan sebagai ibu rumah tangga dan mengatur urusan rumah tangga sebaik-
baiknya sebagaimana ketentuan Pasal 31 Ayat (3) dan Pasal 34 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pula janda cerai hidup
tersebut justru yang memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga,
yaitu janda cerai hidup yang justru memberikan nafkah kepada duda cerai hidup
dengan Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Berbasis Nilai Keadilan Radi
Yusuf 79 Jurnal Pembaharuan Hukum Volume I No.1 Januari –April 2014 perkataan
lain, bahwa janda cerai hidup menjadi tulang punggung keluarga dan seluruh harta
bersama diperoleh dari hasil kerja janda cerai hidup.
Maksud dan tujuan pembagian harta bersama akibat perceraian dengan
menentukan bagian harta bersama untuk janda cerai hidup lebih besar dibanding
bagian duda cerai hidup dalam kasus tersebut adalah karena ada ‘illat hukum yang
melatarbelakanginya. ‘Illat hukum yang melatarbelakanginya adalah karena duda
cerai hidup dengan janda cerai hidup ketika masih menjadi suami-istri, duda cerai
hidup tersebut tidak pernah memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga, yaitu duda cerai hidup tidak pernah memberi nafkah kepada janda cerai hidup
sebagaimana ketentuan Pasal 31 Ayat (3) dan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan AlQuran Surat An-Nisa’ Ayat 34,
sedangkan janda cerai hidup berperan sebagai ibu rumah tangga dan mengatur urusan
rumah tangga sebaik-baiknya sebagaimana ketentuan Pasal 31 Ayat (3) dan Pasal 34
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pula janda
cerai hidup tersebut justru yang memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga, yaitu janda cerai hidup yang justru memberikan nafkah kepada duda cerai
hidup dengan perkataan lain, bahwa janda cerai hidup menjadi tulang punggung
keluarga, dan seluruh harta bersama diperoleh dari hasil kerja janda cerai hidup.
Demikian pula maksud dan tujuan pembagian harta bersama akibat perceraian
dengan menentukan bagian harta bersama untuk janda cerai hidup lebih besar
dibanding bagian duda cerai hidup dalam kasus tersebut adalah untuk kebaikan dan
kemaslahatan janda cerai hidup dan untuk kebaikan dan kemaslahatan duda cerai
hidup dan pula untuk kebaikan dan kemaslahatan harta tersebut. Implikasi
pelaksanaan pembagian harta bersama akibat perceraian yang berbasis nilai keadilan
tersebut adalah:
1. Perubahan paradigma konsep pembagian harta bersama akibat perceraian.
Hakim sebagai wakil Tuhan dimuka bumi yang bertugas menerima,
memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya
(kepada Pengadilan) termasuk perkara perselisihan tentang pembagian harta
bersama akibat perceraian yang semula masih menitikberatkan Hakim
sebagai penerap pasal perundang-undangan dan sebagai corong undang-
undang berubah menjadi paradigma Hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan serta Hakim sebagai penemu hukum dan berdasarkan hukum dan
keadilan dalam memutus suatu kasus yang ditanganinya.
2. Perubahan model pembagian harta bersama akibat perceraian. terdapat 2
(dua) model dalam pelaksanaan pembagian harta bersama akibat perceraian
berbasis keadilan, yaitu:
a. Harta bersama dibagi sesuai dengan ketentuan Pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam, Yaitu:
- Selama berumah tangga, suami memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga, yaitu suami memberi nafkah kepada istrinya dan
anaknya, dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga dan mengatur
urusan rumah tangga sebaikbaiknya, maka harta bersama dibagi menjadi
seperdua bagian dari harta bersama untuk suami (duda cerai hidup) dan
seperdua bagian dari harta bersama untuk istri (janda cerai hidup).
- Harta bersama dibagi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 97
Kompilasi Hukum Islam. Yaitu selama berumah tangga, suami tidak
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga, yaitu
suami tidak memberi nafkah kepada istrinya dan anaknya, tetapi istri
yang justru memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga, yaitu istri yang justru memberi nafkah kepada suaminya dan
anaknya, maka harta bersama dibagi tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Bagian harta bersama untuk istri
(janda cerai hidup) harus lebih besar daripada bagian untuk suami (duda
cerai hidup). Bisa jadi tiga perempat bagian dari harta bersama untuk
istri (janda cerai hidup) dan seperempat bagain dari harta bersama untuk
suami (duda cerai hidup) atau bisa jadi dua pertiga bagian dari harta
bersama untuk istri (janda cerai hidup) dan sepertiga bagian dari harta
bersama untuk suami (duda cerai hidup).
Pembagian harta bersama akibat perceraian yang berbasis nilai keadilan harus
mengutamakan Nilai Keadilan, yaitu Keadilan Distributif dan Keadilan principle
Difference, sistem pembagian harta bersama harus memberikan penghargaan kepada
pihak yang berprestasi (yang kuat) dan harus melindungi pihak yang lemah (pihak
yang tidak berprestasi) dan juga mengutamakan teori Kemaslahatan, yaitu
Kemsalahatan melalui Maqashidusy Syari’ah dengan Metode Ta’lili, Metode Istihsan
dan Metode Istishlahi.
Makna Maqashidusy Syari’ah dengan Metode Ta’lili ialah dalam menentukan
pembagian harta bersama akibat perceraian tersebut, Majelis Hakim mengedepankan
tujuan diberlakukannya hukum serta alasan diberlakukannya hukum. Tujuan
berlakunya hukum adalah untuk kemaslahatan, demikian juga mengenai alasan
diberlakukannya hukum adalah demi kemaslahatan. Sehingga tujuan pembagian harta
bersama akibat perceraian tersebut adalah untuk mewujudkan nilai keadilan dan
kemaslahatan.

B. Peran Notaris Terhadap Pembagian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan


Karena Perceraian
Peran notaris sebagaimana disebutkan padal pasal 15 ayat (1) tentang akta
autentik terkait pembagian harta bersama yaitu akta kesepakatan dan Pembagian harta
bersama,dalam hal ini notaris harus memastikan bahwa status harta bersama yang
akan menjadi objek didalam akta dari para pihak jelas guna menciptakan kepastian
dan perlindungan hukum bagi para pihak, karena notaris sebagai pejabat umum
berwenang untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tersebut tidak
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Kepastian dan perlindungan hukum itu
tampak melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang sempurna di
pengadilan. Alat bukti sempurna karena akta otentik memiliki tiga kekuatan
pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijsracht), kekuatan
pembuktian formal (formele bewijskracht) dan kekuatan pembuktian material
(materiele bewijskracht).14 Mengingat bahwa notaris dianggap sebagai profesi yang
terhormat karena bertugas melayani kepentingan masyarakat umum. Kedudukan yang
terhormat memberikan beban dan tanggungjawab bagi setiap notaris untuk menjaga
wibawa dan kehormatan profesi notaris. Wibawa dan kehormatan profesi notaris
dalam menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum harus dijaga, Jabatan notaris
merupakan jabatan kepercayaan, harus sedemikian rupa mengatur kewajiban notaris
secara seksama dan mendalam. Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban
senantiasa berlandaskan pada standar etika yang tinggi, baik yang ditentukan oleh
undangundang maupun kode etik organisasi notaris. Pembuatan akta kesepakatan dan
pembagian harta bersama merupakan bentuk akta yang dibuat di hadapan (ten
oVERStaan) notaris atau dinamakan akta partij” (partij akten). Dalam akta partij ini,
dicantumkan secara otentik keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak
sebagai pihak-pihak dalam akta tersebut. Akta Kesepakatan dan Pembagian Harta
Bersama ini harus berdasarkan kepada keotentikan sebuah akta, yang mana harus
memenuhi syaratsyarat yang diatur dalam undang-undang, mengenai keabsahan dan
kelengkapan dalam pembuatan sebuah akta otentik. Notaris juga dapat memberikan
arahan mengenai isi akta kesepakatan dan pembagian harta bersama, tidak melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian memastikan dari para pihak
bahwa harta yang akan dibagi merupakan harta bersama bukan termasuk harta
bawaan, misalnya : hibah, hadiah dan warisan.
BAB III

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum
Islam, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 5, No. 2,
Desember 2014, hlm. 288.

Ali Imron, Rekonstruksi Hukum Putusnya Perkawinan Dalam Undang-Undang Perkawinan,


Jurnal Ilmu Hukum, (Semarang: Universitas Wahid Hasyim, 2017), hlm. 33.

Choirunnisa Nur Novitasari, Dian Latifiani, Ridwan Arifin, Analisis Hukum Islam terhadap
Faktor Putusnya Tali Perkawinan, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, (Semarang:
UNNES, 2019), hlm. 326.

Eko Afrianto , Yaswirman, Neneng Oktarina, Akta Perjanjian Perkawinan: Analisis


Perbandingan Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif Serta Kedudukanya Terhadap Harta
Perkawinan, Soumatera Law Review, Vol.3, No.2, 2020, hlm. 198.

H. Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Yogyakarta: Ladang Kata,


2020), hlm. 1.

Hadi Pranoto, Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Terhadap Perkawinan


Menurut Hukum Adat, Tesis, Universitas Diponogoro Semarang, 2005, hlm. 8.

Puniman, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, Yustitia, Vol. 19, No. 1, 2018, hlm. 88.

Anda mungkin juga menyukai