Anda di halaman 1dari 2

Nama : Theodorus Steven Sitanggang

NIM : 18. C1.0136

LAPORAN PERTUKARAN PELAJAR ONLINE

Program ini dilaksanakan oleh Universitas Tarumanegara yang bekerjasama dengan


University of Malaya dan diikuti oleh Universitas Pancasila, Universitasa Mahasaraswati sebagai
peserta delegasi, dan beberapa universitas swasta lainnya sebagai peserta non-delegasi. Kurang
lebih ada 280 peserta yang bergabung. Acara dibagi ke dalam dua hari. Hari pertama
dikhususkan untuk pemberian materi akademis di mana ada lima dosen (satu dari Universitas
Malaya, dan empat lainnya dari Universitas Tarumanegara, Universitas Pancasila, Universitas
Mahasaraswati). Materi yang diberikan adalah seputar sistem hukum di masing-masing negara.
Yang Indonesia mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana hukum dan sistemnya di
Malaysia, dan yang Malaysia mendapatkan gambaran mengenai sistem hukum di Indonesia. Di
akhir sesi, diadakan sesi diskusi yang dibagi ke dalam beberapa ruang-ruang online. Di situ
mahasiswa dari dua negara saling berdiskusi mengenai pengangguran dan pengantisipasiannya di
masa pandemi terkhusus bagi mahasiswa yang baru lulus.
Di hari kedua, acara dikhususkan sebagai pertukaran budaya atau promosi budaya baik itu
berupa kesenian, tempat wisata, dsb. Agak sedikit wagu memang sesi kedua ini, sebab formatnya
yang online tidak memberikan pengalaman langsung yang nyata. Pun, bentuk promosinya hanya
berupa dokumentasi peristiwa lawas, bukan live streaming. Tentu saja, hal ini dapat dipahami
mengingat adanya peraturan untuk tidak berkumpul selama masa karantina, dan Malaysia adalah
salah satu negara yang ketat melaksanakan hal itu. Namun, secara keseluruhan, acaranya cukup
bagus, memberi wawasan budaya, memberi kesadaran bahwa di antara dua negara ada perbedaan
dalam kesamaan dan ada kesamaan yang lahir dalam perbedaan.
Mengikuti acara ini memberikan kesan tersendiri bagi saya, mengingat bahwa saya belum
pernah mengikuti acara pertukaran pelajar sebelumnya. Sepanjang acara, bahasa yang digunakan
adalah bahasa Inggris. Tidak bermaksud apapun, namun, bila harus membandingkan, terdapat
kejomplangan yang nyata antara skill berbahasa Inggris peserta Indonesia (termasuk dosennya)
dan peserta Malaysia. Tentu, ini adalah hasil dari penerapan bahasa Inggris sejak dini di sistem
pendidikan mereka. Di satu sisi hal ini baik, namun di sisi lain, sebagaimana lumrah diketahui
banyak orang, Malaysia menjadi sedikit “kabur” dalam identitas nasionalnya. Dalam beberapa
kesempatan hal ini memicu konflik.
Saya sangat berharap bahwa akan ada kesempatan lainnya untuk saya dan teman-teman
yang lain mengikuti acara serupa atau sejenis. Pengalaman ini sangat langka dan sekiranya
Fakultas (khusus dalam program studi Ilmu Hukum) ataupun Universitas (secara umum)
mengakomodasi aspirasi ini untuk semata membentuk mahasiswa yang berwawasan luas dan
internasional.

Anda mungkin juga menyukai