Anda di halaman 1dari 15

NAMA : EKA NOVRIADI SAPUTRA

NIM : 1701114093

JURUSAN : ILMU PEMERINTAHAN

JUDUL : KAPABILITAS AKTOR NEGARA DALAM METERTIBKAN

PROSTITUSI DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2018 - 2019

A. Latarbelakang

Prostitusi merupakan ketertiban yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah

kota Pekanbaru ketertiban Susila sebab masalah kesusilaan ini bukan saja merupakan

masalah hukum nasional suatu Negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua

Negara di dunia atau merupakan masalah global. Hal yang paling banyak mendapat sorotan

tajam di Pekanbaru yaitu masih banyak dijumpai wanita-wanita Pekerja Seks Komersial

atau yang biasa disebut dengan PSK. Prostitusi dimaknai dengan beragam pengertian.

Prostitusi adalah salah satu bentuk transaksi seksual. Secara etimologi atau arti kata,

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata prostitusi diartikan sebagai pertukaran

hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.1

Praktek prostitusi di berapa kawasan yang ada di kota pekanbaru sangat marak.

Modusnya mereka menyediakan jasa penginapan bagi para lelaki hidung belang yang ada

dikota ini.Penginapan yang disediakan langsung menyediakan para PSK sebagai layanan

yang memang disediakan khusus. Ada juga dari beberapa dari mereka yang menutupi

kegiatan prostitusi ini dengan kedok panti pijat serta salon. Dan yang tengah popular saat ini

di kota Pekanbaru yaitu adanya praktek prostitusi yang dilakukan secara online, yang mana

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses dari https://www.kbbi.web.id/prostitusi
praktek prostitusi ini lebih mudah para lelaki hidung belang tidak perlu datang ketempat

PSK tetapi cukup melalui telepon genggam saja para lelaki hidung belang bisa melakakukan

transaksi prostitusi. Dan melakukan transaksi di Hotel atau Wisma yang ada di Kota

Pekanbaru.

Prostitusi dapat dijalankan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi

salah satunya dengan komunikasi online di internet. Jika zaman dulu, operasi pelacuran

sangat sederhana bertemu secara langsung atau dari mulut ke mulut maka bersama

perkembangan teknologi, dunia pelacuran menjadi sangat canggih.2 Kita dapat bernegosiasi

dan memilih sendiri lawan jenis yang dapat diajak untuk dijadikan teman kencan sesuai

dengan selera dan tebal dompet kita. Prostitusi dan teknologi dua kata yang saling

beriringan. Prostitusi juga tidak buta teknologi. Prostitusi dengan memanfaatkan aplikasi

telekomunikasi untuk menawarkan jasa pelayanan seks kepada calon konsumen merupakan

bentuk prostitusi di dunia maya. Adanya faktor-faktor yang mendorong pekerja seks

melakukan praktik prostitusi menggunakan telekomunikasi.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2002 Bab 6 pasal 24 menyebutkan bahwa :

1. Dilarang setiap orang melakukan atau menimbulkan persangkaan akan berbuat asusila

atau perzinahan di rumah-rumah (Gedung, Hotel, Wisma, Penginapan dan tempattempat

usaha).

2. Dilarang setiap orang yang tingkah lakunya menimbulkan persangkaan akan berbuat

asusila/perzinahan untuk berada di jalan, taman, dan tempat umum.

3. Dilarang bagi setiap orang untuk menyuruh, menganjurkan atau dengan cara lain pada

orang lain untuk melakkan perbuatan asusila/perzinahan di jalan, jalur hijau, taman dan

tempat umum.

2
Reno Bachtiar & Edy Purnomo. Op.Cit., hlm.5
Dapat di lihat dari Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2002 Bab 6 Tentang Tertib

Sosial pasal 24 ayat 1,2,dan 3 ini menjelaskan bahwa masyarakat dilarang berbuat asusila

dan melakukan perzinahan di segala macam bentuk penginapan, tempat-tempat umum

seperti jalan, taman dan tempat usaha. Upaya dan Pengawasan yang dapat dilakukan dan

diperlukan saat ini adalah berupa tindakan tegas berupa razia atau penertiban dari para

penegak hukum seperti Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Praja (POL PP), atau pihak-

pihak terkait lainnya yang berwenang dalam menangani dan memberantas masalah ini.

Selama ini pemerintah kota Pekanbaru telah berupaya semaksimal mungkin untuk

mengatasi maraknya tindakan asusila ini yaitu melakukan upaya seperti : (Prayudha, 2014)

a. Razia rutin yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja yaitu tiga kali seminggu pada tahun

2001-2003, kemudian ditingkatkan menjadi setiap hari mulai tahun 2004 hingga

sekarang.

b. Melakukan pendataan terhadap para Pekerja Seks Komersial dan pasangan remaja yang

bukan muhrim nya yang tertangkap tangan pada saat dilakukannya razia.

c. Memberikan pengarahan dan pembinaan bagi mereka yang terjaring razia, dan d.

Memanggil orang tua mereka (bagi pasangan bukan suami istri)

Prostitusi di Pekanbaru Sebagai kota besar, Pekanbaru memiliki masalah yang sama

dengan kota besar lainnya terkait prostitusi sebagai sebuah “syarat wajib” untuk dapat

menjadi kota besar. Oleh karenanya, Pekanbaru membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor

05 Tahun 2002 tentang Ketertiban Sosial. Perda ini sama halnya dengan KUHP yang tidak

membahasakan secara gamblang mengenai prostitusi, namun menghaluskannya dengan kata

perbuatan asusila dan perbuatan tersebut menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Di lihat dari hirarki, maka sesungguhnya yang berwenang menangani masalah

Prostitusi ini adalah Dinas Sosial Kota Pekanbaru sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Daerah Kota Pekanbaru Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan Organisasi,

Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas-Dinas Dilingkungan Pemerintah Kota Pekanbaru.

Upaya yang di tempuh Dinas Sosial dalam menanggulangi prostitusi dilakukan dengan

melakukan pembinaan dan melatih keterampilan untuk bekal menempuh hidup yang lebih

layak dan keluar dari kehidupan prostitusi. Maka dinas sosial juga bekerja sama dengan

Satpol PP dan dinas kesehatan dalam mengadakan program yang nantinya ditujukan untuk

penanggulangan prostitusi. Ini dikarenakan didalam lembaga tersebut, sudah jelas dibentuk

bagian-bagian yang mungkin berwenang untuk menangani Prostitusi. Adapun yang

dilakukan oleh Dinas Sosial antara lain :

 Mengidentifikasi Para PSK dan mucikari yang terjaring dalam razia tersebut secara

mendetail, mulai dari daerah mana mereka berasal, umur, status, latar belakang, maupun

pandangan dan keinginan mereka terhadap upaya rehabilitasi yang nanti akan dilakukan

oleh Dinas Sosial Kota Pekanbaru.

 Pemberian pengarahan tentang begaimana cara-cara menempuh dan menjalankan hidup

yang lebih baik dan dapat diterima oleh masyarakat umum sehingga mereka bisa kembali

berbaur dengan yang lainnya tanpa ada melihat latar belakang social yang sebelumnya.

Semua nya itu tidak lepas dari bantuan Satuan Polisi Pamong Praja yang selalu

membantu jalannya penertiban sehingga keadaan menjadi tertib dan terkendali hingga dapat

menahan emosi-emosi yang bergejolak ketika dilakukannya operasi rutin. Satpol PP dan

Kepolisian merupakan lembaga yang aktif dalam menanggulangi masalah prostitusi yang

ada di kota Pekanbaru. Kebijakan Kepolisian untuk menanggulangi prostitusi di kota

Pekanbaru sebagai berikut :

1. Ditingkatkan nya operasi cipta kamtibmas dengan sandi “ Operasi Pekat “ atau penyakit

masyarakat termasuk di dalamnya miras, judi, pelacuran dan premanisme.


2. Terkhusus prostitusi, pihak kepolisian sering mengadakan razia kepolisian ke tempat-

tempat yang disinyalir sebagai tempat praktek prostitusi, seperti Hotel, Salon, Tempat

Karaoke, Panti Pijat dan sebagainya.

3. Melakukan penyuluhan dengan dinas sosial.

4. Menindak para pelaku penyedia jasa layanan PSK atau mucikari dan tempat–tempat

penyedia sarana prasarana prostitusi.

Sedangkan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam razia Penertiban adalah:

 Mengamankan jalannya razia serta mengamankan daerah yang di razia sehingga tidak

ada satupun yang mencoba melarikan diri saat berlangsungnya operasi rutin ini.

 Mengumpulkan para PSK dan mucikari yang terjaring ketika dilakukannya razia dan

mengumpulkan mereka untuk kemudian diserahkan kepada Dinas Sosial Kota Pekanbaru.

Kemudian selanjutnya yang berperan dalam menangani masalah ketertiban susila

adalah Dinas Kesehatan. Tindakan yang dilakukan oleh Dinas kesehatan dalam hal

penanggulangan prostitusi adalah melakukan himbauan kepada masyarakat baik berbentuk

sosialisasi maupun memberikan penyuluhan dan mengadakan program-program yang

ditujukan kepada pekerja seks komersial yang sudah terdata oleh dinas sosial dengan

mengadakan klinik khusus untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke faktor

fisik dan kesehatan. Diantaranya adalah tes darah untuk diketahuinya penyakit HIV/Aids,

program skrening dimana dalam pemeriksaan ini dilakukan pengambilan sample cairan pada

kelamin untuk diketahuinya bakteri atau virus yang akan menyebabkan penyakit kelamin,

mengadakan pengobatan presumptif berkala yang diadakan 3 bulan sekali untuk

meminimalisir IMS, dan mengadakan program wajib memakai kondom. Diluar itu Dinas

kesehatan juga menjalin hubungan psikologi kepada pekerja seks komersial.


Maka di Kota Pekanbaru pun juga tidak ada aturan yang dapat membuat jera bagi

pelaku prostitusi baik pengguna dan pemberi jasa prostitusi maupun mucikari menurut Perda

Kota Pekanbaru 05/2002. Usaha preventif dan represif oleh pemerintah telah dilakukan

sebagai upaya mencegah atau menghambat perkembangan pekerja seks komersial

semaksimal mungkin, karena dalam kenyataannya ditengahtengah masyarakat praktek

pelacuran dapat menimbulkan akibat negatif. Tidak terkecuali dengan diterbitkan peraturan

pemerintah daerah

mengenai larangan kegiatan prostitusi di wilayah pekanbaru khususnya salah satunya

adalah dengan mengeluarkan peraturan daerah No. 05 Tahun 2002 tentang Ketertiban

Umum dan untuk memperkuat kebijakan maka pemerintah menerbitkan lagi peraturan

daerah kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Sosial. Ketika suatu

peraturan telah ditetapkan maka sebaiknya harus diikuti dengan tindakan. Satuan Polisi

Pamong Praja sebagai implementer kebijakan di Kota Pekanbaru. Adapun tugas dari instansi

ini adalah sebagai fasilitator dan penggerak dimana mereka memiliki peran yang sangat

penting dalam penertiban prostitusi di kota Pekanbaru. Hal ini terjadi karena kurangnya

tindakan dari pihak terkait dalam melakukan penertiban serta rendahnya partisipasi

masyarakat untuk mematuhi peraturan menjadi faktor pendukung permasalahan.

Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap aturan yang

berlaku ataupun pura-pura tidak tahu akan ketentuan peruntukan jalan.3

Upaya-upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah tiada lain mencounternya

dengan wacana-wacana (baik ide ataupun praktik) yang dapat mentransformasi konstelasi

sosial seperti yang diharapkan pemerintah. Memasukkan gagasan-gagasan tentang

3
Sharon Nitami Marreta,” Efektivitas Pelaksanaan Penertiban Prostitusi Di Kota Pekanbaru ”, JOM
FISIP Vol. 4 No. 2 – Oktober 2017, Hal 2
penggunaan internet positif dapat diperluas hingga kepada kesadaran individu melalui

institusi-institusi negara seperti institusi pendidikan, sosial, keagamaan hingga birokrasi

pemerintahan dengan ditopang oleh regulasi yang jelas dan tegas. Selain itu perlunya

menjalin relasi dengan berbagai aktor yang memfokuskan diri pada persoalan dampak

negatif yang dibawa oleh teknologi informasi agar supaya eksistensi kekuasaan pemerintah

tidak semakin tereduksi.

Tulisan ini merupakan studi mengenai bagaimana kapabilitas pemerintah kota

pekanbaru dalam menertipkanprostitusi online. Prostitusi online itu berjalan melalui dunia

virtual dan mengaitkannya dengan relasi kuasa pemerintah dalam mengatur prostitusi online

tersebut. Pemerintah dalam hal ini merupakan salah satu pihak yang memiliki kekuasaan

(otoritas) dan memiliki fungsi mengatur kehidupan sosial masyarakat.

Adapun identifikasi masalah yang penulis temui berdasarkan fenomena diatas adalah :

1. Upaya yang di tempuh Dinas Sosial dalam menanggulangi prostitusi dilakukan dengan

melakukan pembinaan dan melatih keterampilan untuk bekal menempuh hidup yang

lebih layak dan keluar dari kehidupan prostitusi. Tapi pada kenyataannya masih banyak

kita dijumpai kegiatan Prostitusi dan para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang terang-

terangan jajakan diri mereka di tempat umum, penginapan dan tempat usaha yang dimana

kegiatan seperti ini tidak dibenarkan dalam pasal 24 sehingga menimbulkan keresahan

yang amat besar terhadap masyarakat.

Masih maraknya rumah liar (ruli) yang dijadikan warung remang-remang di Jalan

SM Amin ujung, hingga saat ini belum juga ditertibkan oleh Pemerintah Kota (Pemko)

Pekanbaru. Bahkan, keberadaan warung remang-remang tersebut, seakan dibiarkan oleh

pemko. Keberadaan warung remang-remang selain dijadikan sebagai tempat prostitusi


oleh pekerja seks komersial (PSK) juga sebagai tempat pesta minuman keras dan tuak

dengan dentuman musik sebagai penghibur suasana. (Iskandar, 2020)

2. Polisi Pamong Praja ndan Kepolisian juga tak lepas membantu dalam penertiban

tindakkan prostitusi. Satpol PP dan Kepolisian merupakan lembaga yang aktif dalam

menanggulangi masalah prostitusi yang ada di kota Pekanbaru. Kebijakan Kepolisian

untuk menanggulangi prostitusi di kota Pekanbaru dengan di tingkatkan nya operasi cipta

kamtibmas, melakukan razia ketempat-tempat praktek prostitusi, seperti hotel, salon,

tempat karoke dan panti pijat sebagainya. Namun pada kenyataan nya pada saat

dilakukannya razia, para Pekerja Seks Komersial yang tertangkap tidak dikenakan

hukuman yang berarti yang bisa menimbulkan efek jera bagi mereka. Dalam

kenyataannya mereka hanya diberikan berupa surat peringatan untuk tidak mengulangi

kegiatan mereka atau memulangkan mereka kedaerah asal mereka. Tidak menutup

kemungkinan mereka bisa kembali ke kota bertuah ini, akibatnya ketika terjadi razia yang

terjaring merupakan wajah-wajah lama.

“Langkah berani dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Kota Pekanbaru

dengan menutup lokalisasi Maredan yang selama ini terkenal dengan maraknya aksi

prostitusi. Bahkan, tim Penegak Peraturan Daerah (Perda) Pekanbaru telah

mengembalikan para Pekerja Seks Komersil (PSK) ke kampung asal setelah didata dan

diserahkan ke Dinas Sosial (Dinsos) Pekanbaru.” (Aprianto, 2018).

3. Tindakan yang dilakukan oleh Dinas kesehatan dalam hal penanggulangan prostitusi

adalah melakukan himbauan kepada masyarakat baik berbentuk sosialisasi maupun

memberikan penyuluhan dan mengadakan program-program yang ditujukan kepada

pekerja seks komersial yang sudah terdata oleh dinas sosial dengan mengadakan klinik

khusus untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke faktor fisik dan
kesehatan. Namun pada kenyataan nya banyak para pekerja seks komersial yang

melakukan kegiatan prostitusi, para psk tidak takut terinfeksi penyakit yang dapat di

sebabkan oleh perbuatan prostitusi, walaupun sudah dilakuakan penyuluhan dan

sosialisasi dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru.

Kurang tegasnya regulasi pemerintah dalam pengaturan prostitusi baik secara online

maupun offline di sisi lain dimanfaatkan oleh para aktor pelaku praktek prostitusi untuk

semakin menguatkan eksistensi dan keuntungan yang didapatkannya. Relasi kuasa yang

terjalin dalam praktek prostitusi online telah menyebabkan ruang gerak kekuasaan

pemerintah semakin terbatasi. Internet menjadi media perkembangan prostitusi online yang

semakin pesat sehingga hampir menisbikan kekuasaan pemerintah untuk mengaturnya.

Dari uraian diatas maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan mengambil judul

“KAPABILITAS AKTOR NEGARA DALAM METERTIBKAN PROSTITUSI DI

KOTA PEKANBARU TAHUN 2018 – 2019 ”

B. Rumusan masalah.

Sehubungan dengan semakin hari tiada habisnya kegiatan prostitusi di kota

Pekanbaru, maka adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru

Nomor 5 Tahun 2002 tentang Ketertiban Umum?

2. Bagaimana Kapabilitas yang dilakukan pemerintah Kota Pekanbaru dalam Pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2002 tentang Ketertiban Umum yang

dilakukan oleh Dinas Sosial dengan Satuan Polisi Pamong Praja?


C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Peraturan Daerah

Kota Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2002 tentang Ketertiban Umum.

2. Bagaimana Kapabilitas yang dilakukan pemerintah Kota Pekanbaru dalam Pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2002 tentang Ketertiban Umum yang

dilakukan oleh Dinas Sosial dengan Satuan Polisi Pamong Praja.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Studi Terdahulu

1. Jurnal Dian Suluh Kusuma Dewi , Yusuf Adam Hilman yang berjudul Relokasi Pekerja

Seks Komersial setelah Penutupan Lokalisasi Kedung Banteng, dalam jurnal JURNAL

ILMU PEMERINTAHAN Kajian Ilmu Pemerintahan dan Politik Daerah Volume 4– Nomor

1, April 2019, (Hlm 1-12), berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan Pelaksanaan

penutupan lokalisasi kedung banteng di dasarkan pada kebijakan gubernur dan peraturan

bupati, yaitu: 1). SK tanggal 20 Oktober 2011, No: 460/031/2011; Perihal Penanganan

Lokalisasi WTS di Jawa Timur. 2). Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2015 tentang

penutupan Lokalisasi WTS di Desa Kedung Banteng, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten

Ponorogo.

2. jurnal AGUS DEDI Dosen Kopertis Wilayah IV Jabar-Banten DPK FISIP Universitas

Galuh Ciamis yang berjudul Kapabilitas Sistem Politik Sebagai Parameter Keberhasilan
Suatu Pemerintahan, berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan Hasil penelitian ini

juga sekaligus memberikan gambaran tentang beberapa capaian dari kapabilitas sistem

politik pemerintahan Indonesia saat ini cukup signifikan. Walaupun ada beberapa

kapabilitas sistem politik yang belum terlaksana sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini

terjadi karena saat ini sumber daya manusia yang ada di Indonesia belum semuanya mampu

menjawab tantangan dan tuntutan secara komprehensif.

3. jurnal Donie Tuah Fitriano Putra yang berjudul Kapabilitas Dynamic Governance Dalam

Pencapaian Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2012 –2017, dalam

jurnal Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan Volume 04 Nomor 02 Februari 2020 berdasarkan

penelitian dapat di simpulkan apabilitas pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dalam

pencapaian pertumbuhan ekonomi tahun 2012-2017 belum mencerminkan kapabilitas

dynamic governance. Di mana empat dari enam indikator dalam dynamic governance,

yaitu: thinking across, able people, agile process dan culture belum terwujud pada

penyelenggaraan pemerintahan. Kemampuan thinking across untuk mengadopsi kebijakan

ekonomi dari daerah lain tidak dilakukan. Dukungan able people yang masih kurang optimal

karena dalam pengisian jabatan - jabatan struktural, walaupun sudah melalui seleksi terbuka

(open bidding) masih didapati indikasi melanggar aturan. Kemudian agile process tidak

berjalan karena terlambatnya pemerintah Provinsi Kepulauan Riau merespon gejala - gejala

perlambatan perekonomian yang sudah terlihat dari tahun 2012.

4. Jurnal Dian Fitriani Afifah Neneng Yani Yuningsih yang berjudul ANALISIS

KEBIJAKAN PEMERINTAH Tentang Pencegahan Dan Penanganan Korban Perdagangan

(Trafficking) Perempuan Dan Anak Di Kabupaten Cianjur, dalam jurnal CosmoGov, Vol.2

No.2, Oktober 2016, dari hasil penelitian dapat di simpulkan Angka perdagangan manusia di

Kabupaten Cianjur terus meningkat setiap tahunnya, walaupun telah memiliki Perda No 03

Tahun 2010, Peraturan Bupati tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda, P2TP2A, dan Gugus
Tugas sebagai lembaga koordinasi yang memiliki program kerja. Kebijakan-kebijakan

tersebut belum mampu untuk meminimalisir permasalahan ini, sehingga Cianjur masih

menempati peringkat ke-tiga di Jawa Barat sebagai Kabupaten dengan angka korban

trafficking yang tinggi. Walaupun menurut Riant Nugroho 60 persen keberhasilan kebijakan

dilihat dari implementasinya, namun dalam menyelesaikan permasalahan kasus trafficking

yang terjadi di Kabupaten Cianjur diperlukan sebuah penguatan kelembagaan P2TP2A.

5. Jurnal Diah Setiowati yang berjudul Evaluasi Perda Nomor 6 Tahun 2011 Tentang

Pemberantasan Pelacuran Di Wilayah Kabupaten Batang dalam jurnal JURNAL ILMU

PEMERINTAHAN Volume: Nomor: Tahun 2013 Halaman dari hasil penelitian dapat di

simpulkan Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Pelacuran di Wilayah

Kabupaten Batang belum dapat diimplementasikan dengan baik. Implementasi Perda tidak

berjalan baik karena komunikasi antara implementator dengan kelompok sasaran kurang

dilakukan secara intensif, sumber daya implementasi kebijakan yang berasal dari pelaksana

masih ada yang memiliki tingkat pendidikan rendah sehingga kurang memahami SOP, serta

masih terdapat anggota yang belum memiliki komitmen dan kejujuran terhadap tujuan

Perda.

6. Jurnal Dicky Prayudha yang berjudul Komunikasi Pemerintah Dalam Pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Ketertiban Umum, dalam

Jurnal JOM, Vol 1 Nomor 1 tahun 2014, dari penelitian inidapat disimpulkan Berdasarkan

hasil penelitian pengolahan data dan analisa data yang telah dilakukan, maka kesimpulan

peneliti mengenai Komunikasi Pemerintah Dalam Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota

Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Ketertiban Umum di kecamatan Lima Puluh yaitu

Pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial Kota Pekanbaru yang mana sebagai badan yang

berwenang mengangani masalah prostitusi telah membentuk badan-badan yang menangani

masalah pekerja seks komersial ini. Badan itu sendiri berada di dalam Dinas Sosial langsung
yang berperan memberikan penyuluhan, bimbingan, pelatihan dan rehabilitasi bagi mereka

yang ingin kembali membaur dengan masyarakat lainnya. Pemerintah telah melakukan

tidakan tegas kepada para pekerja seks komersial berupa sanksi bagi mereka yang terjaring

dalam operasi penertiban. Sebagai Dinas yang berwenag, Dinas Sosial tidaklah lupu dari

bantuan dari Dinas-Dinas lain seperti Satpol PP, Kepolisian, Dinas Kesehatan bahkan

hingga Departemen Agama. Mereka semua mempunyai fungsi dan peranan masingmasing

dalam menangani masalah prostitusi ini.

7. Skripsi Muhammad Reza Hidayatullah 09230051 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang 2014, yang berjudul

Efektifitas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tempat

Prostitusi (Studi di Kawasan Wisata Tretes Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan), dari

penelitian ini dapat disimpulkan. Lemahnya penegakan hukum tersebut adalah faktor

hukumnya, faktor penegak hukum, faktor fasilitas/sarana dan faktor masyarakat yakni

lingkungan tersebut. Karena adanya kelemahan dari 5 faktor tersebut yang menjadi tolak

ukur suatu peraturan, maka dapat dikatakan Perda No. 10 Tahun 2001 tidak berlaku efektif.

Adapun faktor-faktor penghambat bagi Satuan Polisi Pamong Praja yaitu tidak adanya

lembaga khusus untuk menangani para PSK, kurangnya sarana dan prasarana, minimnya

jumlah Anggota Sat Pol PP, banyaknya faktor kepentingan dalam perputaran perekonomian

disekitar tempat prostitusi, kebocoran informasi tentang operasi/razia dan tidak adanya

wewenang bagi PPNS untuk menahan para PSK.

8. Skripsi Anissa Safira Hidayat 1210832026 Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan

Ilmu Politik Universitas Andalas 2017, yang berjudul Implementasi Peraturan Daerah

Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pemberantasan Pelacuran Dan Perbuatan Asusila Di Kota

Jambi, dari penelitian ini dapat disimpulkan Berdasarkan dari hasil penelitian yang

dilakukan terhadap bagaimana implementasi Perda Nomor 2 Tahun 2014 Tentang


Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan Asusila di Kota Jambi, maka dari penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa dalam peraturan ini sangat positif untuk diterapkan di Kota Jambi

menimbang adanya lokalisasi yang sudah tua dan dikenal masyarakat dalam maupun luar

Provinsi Jambi, yaitu Payosigadung dan Langit Biru. Sebelum adanya Perda tentang

pemberantasan pelacuran dan perbuatan asusila, pemerintah Kota Jambi khususnya Satpol

PP tidak memiliki aturan hukum yang tegas sehingga tidak memberikan efek jera kepada

para pelaku. Perda Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan

Asusila berjalan sejak tanggal 13 Oktober 2014 seiring dengan penutupan 2 lokalisasi

Payosigadung dan Langit Biru.

9. Skripsi Adis Puji Astuti 1110112000040 Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial

Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 yang berjudul

Kebijan Walikota Surabaya Dalam Penutupan Lokalisasi Dolly Surayabaya Tahun 2014,

dari penelitian ini dapat di simpulkan Terdapat Political Will Walikota Surabaya dalam

penutupan lokalisasi dolly yang mengacu pada Perda KotamadyaTingkat II Surabaya

Nomor 7 tahun 1999 dan surat Gubernur Jawa Timur. Dengan beberapa alasan yang

disampaikan Walikota Surabaya untuk menutup Lokalisasi Dolly. Pertama letraknya yang

berbaur dengan pemukiman masyarakat umum; kedua terdapatnya peraturan daerah yang

melarang perdangan manusia; dan ketiga pertimbangan dampak sosial yang buruk bagi

anak-anak yang tinggal di sekitar lokalisasi.

10. Skripsi Rusi Ariyanti 079715537 Program Studi Administrasi Negara Dapertemen Ilmu

Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 2009 yang berjudul Inkonsistensi Kebijakan

Pemerintah Kota Surabaya Terkait Dengan Masalah Prostitusi Di Surabaya, dari penelitian

ini dapat di simpulkan Fase pembuatan keputusan dalam kebijakan ini bergaya pemuasan,

yaitu hanya untuk memuaskan opini publik yang berkembang sebelum keputusan itu

diambil.selain itu berkembangnya dua opini berlawanan membuat keputusan yang diambil
menjadi Peraturan Daerah bertentangan apa yang diundangkan melalui SK Walikota

sehingga muncul inkonsistensi antara Peraturan Daerah No.7 Tahun 1999 dengan SK

Walikota No.50 Tahun 2002.

Anda mungkin juga menyukai