Disusun oleh :
Nama : Rahardian Wahyu Susanta
NIM : 202020074
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam penyelesaian kasus perdata, biasanya terdapat dua jalur yang menjadi penawaran
bagi pihak yang bersengketa yaitu jalur litigasi dan non litigasi. Yang dimaksud dengan Litigasi
adalah bentuk penanganan kasus melalui jalur proses di peradilan baik kasus perdata maupun
pidana, sedangkan Non Litigasi adalah penyelesaian masalah hukum diluar proses peradilan. Non
litigasi ini pada umunya dilakukan pada kasus perdata saja karena lebih bersifat privat.
Non litigasi mempunyai beberapa bentuk untuk menyelesaikan sengketa yaitu Negosiasi,
Mediasi, dan Arbritase. Ketiga bentuk penyelesaian sengketa tersebut dilakukan oleh pihak yang
merasa dirugikan atau terjadinya perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok maupun
antar badan usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi ini dilakukan untuk
menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil penyelesaian konflik atau
sengketa secara kekeluargaan.
❖ Apa tahapan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan (Non Litigasi)?
❖ Bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan menurut UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Dengan kata lain pertentangan atau
konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai
hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
2.2. Pengertian Lingkungan Hidup
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh
adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (Pasal 1 Angka 19
UU Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari
kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. (Pasal 1 Angka 25 UU
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan hidup).
Litigasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi
secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan
menghindari permasalahan yang tak terduga. Sedangkan jalur litigasi adalah penyelesaian masalah
hukum melalui jalur pengadilan. Pada umumnya, pelaksanaan gugatan disebut litigasi. Gugatan
adalah suatu tindakan sipil yang dibawa di pengadilan hukum di mana penggugat, pihak yang
mengklaim telah mengalami kerugian sebagai akibat dari tindakan terdakwa, menuntut upaya
hukum atau adil. Terdakwa diperlukan untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika penggugat
berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai perintah pengadilan
mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan penghargaan, atau memberlakukan
perintah sementara atau permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan. Orang yang memiliki
kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi non-yudisial yang disebut sadar hukum.
Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non-litigasi ini
dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian perkara diluar pengadilan ini
diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa, "Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli."
2.5. Tahapan Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi
A. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang atau lebih dari para
pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling melakukan kompromi atau tawar
menawar terhadap kepentingan penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai
kesepakatan. Pihak yang melakukan negosiasi disebut negosiator, sebagai seorang yang
dianggap bisa melakukan negosiasi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan negosiasi, diantaranya:
1. Memahami tujuan yang ingin dicapai
2. Menguasai materi negosiasi
3. Mengetahui tujuan negosiasi
4. Menguasai keterampilan teknik negosiasi, didalamnya menyangkut keterampilan
komunikasi.
B. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan yang kurang lebih hampir sama
dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai
penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga
tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya
yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga
harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan
memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan
perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib
memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal
barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator
professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.
• Tujuan Mediasi adalah lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk:
1. Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan.
2. Melenyapkan kesalahpahaman.
3. Menentukan kepentingan yang pokok.
4. Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat disetujui.
5. Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri
oleh para pihak.
• Manfaat mediasi, meliputi :
1. Kontrol terhadap para pihak mudah
2. Kerahasiaan
3. Murah
4. Cepat
5. Fleksibel
6. Peningkatan hubungan
7. Penyelesaian masalah lebih kreatif
8. Mengurangi hambatan komunikasi
9. Menyelesaikan sengketa bagian demi bagian
10. Berfokus pada pemecahan masalah
11. Asumsi-asumsi pertanyaan (penelaahan)
12. Perubahan persepsi
13. Menyadarkan dengan diplomatis atas harapan yang tidak rill
14. Membedakan jabatan dan kepentingan (bagaimana dan mengapa)
15. Memenuhi kebutuhan semua orang yang terlibat (penawaran berdasarkan
kepentingan)
16. Menyelenggarakan pertemuan terpisah (mengadakan rapat)
17. Memaksimalkan pilihan (memperluas alternative)
18. Membantu pihak terkait mengemban tanggung jawab dan menerima
konsekuensinya (pemberdayaan diri sendiri)
C. Arbitrase
Arbitrase adalah yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter.
Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "Klausula
Arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian
tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak
ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian
arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika
perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena
perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya
klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Pengertian Sengketa Lingkungan menurut UU No.32 Tahun 2009 adalah perselisihan antara
dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada
lingkungan hidup. Sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu:
Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara
pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu
sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan sumber
daya alam. Di sisi lain sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada
umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut
terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya
terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup pada UU No. 32 Tahun 2009 melengkapi dari
undang-undang sebelumnya, sebagaimana yang tercantum pada BAB XIII UU No. 32 Tahun 2009
dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan
atau diluar pengadilan. Pada bagian kedua tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar
pengadilan dikatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai:
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Mekanisme inilah yang perlu terus dilakukan ke depan sehingga dapat menghindari
“kemacetan keadilan” akibat buruknya praktek peradilan di Indonesia. Namun tantangan berat
juga terjadi ketika kesadaran hukum masyarakat masih rendah dan merasa belum puas dalam
penyelesaian sengketa ketika belum di bawa ke pengadilan. Hal ini merupakan tantangan tersendiri
menyangkut sikap mental dan kemauan untuk berubah menuju yang lebih baik.
3.2. Saran
Kepada pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan atau pencemaran lingkungan
yang berujung pada sengketa lingkungan harus bertanggung jawab sesuai dengan peraturan yang
ada pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup baik
melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/download/6309/5198
https://jurnal.umko.ac.id/index.php/legalita/article/download/33/17/