Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KONTROVERSI HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF HAM DI INDONESIA

Dosen Pengampu
Ahmad Munir,SH.,MH.

Di susun oleh :

Agung Suyudi (18-74-201-150)


Didik Jati Pamungkas (18-74-201-149)
Ismail Saputra (18-74-201-160)
Ferdian Wahyu (18-74-201-113)

Kelas A 1.1 ( p2k )

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

2018-2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Makalah yang berjudul “kontroversi hukuman mati dalam
perspektif HAM di indonesia” disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“HAM dan Hukum” yang diampu oleh Bapak Ahmad Munir, SH., MH
Makalah ini berisi tentang hakikat HAM, pidana mati, hukuman mati di Indonesia, macam-
macam hukuman mati yang terdapat di Indonesia, hukuman pidana mati dalam perspektif HAM.
Kami juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan dukungan baik materi maupun pikirannya. Semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu Kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, Oktober 2019

Page | i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................2
C. TUJUAN PENULISAN...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................3
A. Pengertian........................................................................................................................................3
1. HAM............................................................................................................................................3
2. Hukum Pidana.............................................................................................................................6
3. Pidana Mati..................................................................................................................................7
B. Konsepsi HAM Dalam Perundangnan RI........................................................................................8
C. Hukuman Mati Di Indonesia............................................................................................................9
D. Macam-Macam Pidana Mati Yang Ada Di Indonesia....................................................................10
E. Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM................................................................................11
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................17

Page | ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan demokrasi kita terasa makin
mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena banyak konsepsi
yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari orang/masyarakat awam
hingga kalangan yang 'melek' HAM. HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu
pada hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu
ataupun kelompok bahkan penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan
melindunginya.Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai
daya ikat secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat
(dicantumkan dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka
semua orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang bertanggung
jawab dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut terlibat dalam atau
sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam penandatanganannya, juga terhadap piagam
yang telah disetujui bersama itu, akan terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke
dalam peraturan perundangan masimng-masing negara bersangkutan. Dalam proses
demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum. Dengan kata lain, pesan HAM
tersebut telah menjelma menjadi pesan hukum karena ia telah dinormakan yakni melalui
peraturan perundangan. Dengan demikian, konsepsi HAM yang dimuat dalam berbagai
peraturan perundangan itu akan berfungsi sebagai suatu norma yang mengikat, sehingga
harus ditaati dan dilaksanakan. Meski demikian, fungsi hukum yang mengatur tentu
selalu ada dan tampak ketika fenomena sosial itu harus diatur, karena pertama, ia harus
dilindungi dari tindakan atau perbuatan sewenang-wenang, ketidakseimbangan dan
ketidakpastian, dan sebagainya. Kedua, karena persoalan pelaksanaan (implementasi)
yang memang harus diatur pula. Semua harus berlangsung tertib dan teratur di bawah
aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian, fungsi mengatur dan menertibkan hukum
(yang ada dalam peraturan perundangan) itu, terdapat upaya 'membatasi' dalam
pelaksanaannya.

Page | 1
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka kami dapat merumuskan masalah
dalam karya tulis ini, sebagai berikut:
1.      Hakikat tentang HAM dan hukum pidana mati?
2.      Hukuman mati di Indonesia?
3.      Macam-macam hukuman mati yang terdapat di Indonesia?
4.      Hukum pidana mati dalam perspektif HAM?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah; untuk mengetahui bagaimana
hakekat sebenarnya tentang hukum pidana mati dan hukum HAM yang ada di Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Selain itupun kita dapat mengetahui bagaimana sejarah munculnya hukuman mati
di indonedia dan bagaimana Hukum HAM dalam memandang hukuman tersebut

Page | 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. HAM
Hak Asasi Manusia terkandung pengertian hak kewajiban yang dimiliki oleh
setiap orang dalam tata pergaulan hidupnya serta dengan lingkungan. Kehidupannya
serta dengan Tuhannya, terdapat beberapa tata kehidupan yang bersumber dari Tuhan
atau agama (hak kodrat) yaitu hak hidup, kebebasan (freedom) serta hak jiwa raga
yaitu hak menikmati kekayaan kebahagiaan (pursult of happiness) ketiga hak kodrati
diatas diturunkan tuhan kepada setiap umatnya tanpa pilih kasih untuk melengkapi
hidupnya sedangkan kewaiban yang dipikul oleh kita yaitu kewajiban bersyukur,
beriman dan bertakwa kepada-Nya. Di sisi lain terdapat hak kewajiban yang bersuber
daeri kehidupan sesame manusia, ingkungan hidup dimana kita hidup dimasyarakat.
Sumber ini kita kenla dengan sebutan kaidah atau norma social, kebiasaan atau adat
istiadat, hak dan kewajiban yang lain di tentukan oleh Negara dan organisasi-
organisasi seperti PBB dan lain-lain. Secara khusus hak asasi manusia ini dapat
dirinci yaitu:
a. Hak asasi pribadi, yang meliputi hak kemerdekaan memeluk agama,
menyatakan pendapat, dan kebebasan berorganisasi atyau berpartai.
b. Hak asasi ekonomi, yang meliputi hak kebebasan memiliki sesuatu, hak
membeli atau menjual sesuatu, dan hak mengadakan suatu perjanjian atau
kontrak.
c. Hak asasi mendapat pengayoman dan perlkauan yang sama dalam keadilan
dan pemerintahan (hak persamaan hukum).
HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat
pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak,
kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka hak-hak asasi
manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada hakikatannya
kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi warga negara oleh
karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati kemerdekaan nasionalnya

Page | 3
yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya misalnnya : hak mmilih dan dipilih, hak
mendapat perlindungan dan perlakuan yang baik/adil, hanya mendapat pendidikan dan
pengajaran, serta hak mendapat pekerjaan  dan penghidupan yang layak dan
kesejahteraan hidup, kesadaran menghormati hak asasi dalam pergaulan,
mencerminkan kedewasaan dan kebijakan seseorang,. Kritik dan penyampaian juga
menunjukan kematangan seseorang. Masalah hak asasi manusia adalah hak masalah
sesama manusia, hal ini mengandung arti akan menyangkut masalah hak dan
kewajiban tugas dan tangung jawab, serta penghormatan dan perlakuan terhadap
sesama manusia. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi oleh sesama warga negera,
mengakibatkan tidak adannya tertib sosial dan tertib hukum. 
1) Hak asasi manusia menurut UUD 1945
Dalam UUD 1945 pokok-pokok yang dirumuskan dalam UUD 1945, terutama
dalam pembukaan maupun dalam bartang tubuhnya yaitu merupakan hak bangsa
atas kemerdekaan atau kebebasan terlepasa dari segala bentuk penjajahan tidak saja
berlaku
bagi bangsa indonesia saja tapi bagio semua bangsa di dunia (alinea I pembukaan)
dan yang penting bagi bangsa indonesia adalah yang tercantum, pada (alinea IV
pembukaan) bahwa tujuan pemerintah Ri terhadap dunia internasional adalah ”ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial”, dan yang khas bagi negara dan bangsa indonesia adalah bahwa
kemerdekaan dan kebangsan indonesia itu dalam satu negara hukum yang
berdasarkan ”pancasila”
Mengenai hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, dalam penjelasanya
tiudak diberikan ketegasan lebih lanjut, meskipun ketika rancangan UUD ini
disusun tela beberapa kali disinggung dalam sidang-sidang badan penyelidian usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh beberapa ahliu seperti moh hata,
moh Yamin. Hal tersebut tidaklah mengherankan menginagt bahwa masalah UUD
1945 disusun pada akhir pada masa pendudukan jepang dalam suasana mendesak
yang waktrunya sangat terbatas untuk membiarakan ak-hak asasi secara mendalam,
sedang kehadiran jepang di bumi Indonesia kurang mendukung untuk merumuskan
hak-hak asasi manusia disamping itu lahir UUD 1945, beberapa tahun sebelum

Page | 4
perntyataan hak-hak asasi diterima oleh PBB walaupun sebelumnnya telah banyak
piagam-piagam yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.
Diterimanya pernyataan HAM oleh PBB, sekaligus menunjukan dengan
jelas bahwa gagasan mengenai perluannya HAM dijamin, hal ini benara-benar
didukung oleh seluruh umat manusia seluruh dunia. Hala ini pun dirasakan oleh
bangsa indonesia, dapat kita buktikan dalam UU berkonstitusi berikutnnya yang
pernah digunakan di Indonesia: yaitu konstitusi RI serikat 1949 dan UUD
sementara 1950 bahwa hak asasi ditambah dan diperlengkap.
Secara garis besar dasar pemikiran HAM dalam pembukaan UUD 1945
mengandung prinsip :
a. kemerdekaan indonesia sesungguhnya adalah berkat Rahmat allah yang
Maka kuasa.
b. segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah indonesia di lindungi.
c. negara memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
d. negara ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdaaian abadi, dan keadilan sosial.
e. negara republik indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila.
Hak dan kewajiban yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu:
a) pasal 27, ayat (1) menyatakan bahwa ”segala warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan. Dan
wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
Ayat (2), menyatakan bahwa : ”tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia”.
b) Pasal 28 menyatakan bahwa ”kemerdekaan berserikat dan
bverkumpul mengeluarkan pikioran dengan lisan maupun tulisan
dan sebagainnya ditetapkan dengan UU”
c) Pasal 29 ayat (2), menyaakan bahwa ”negara menjamin
kemerdekaan penduiduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribdah dan kepercayaannya itu”.

Page | 5
2) Pemahaman tentang Hak Asasi Manusia
Didalam mukadimah deklarasi universal tentang HAM yang telah disetujui dan
diuumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 217 A(III) tanggal 10 – 12 -1948
terdapat pertindang-pertindangan berikut :
a. Menimbang  bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak
yang sama yang tidak terasingkan dari semua anggota keluarga manusia,
keadilan dan perdamaian di dunia.
b. Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak
asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang
menimbulkan rasa kemarahandalam hati nurani umat manuysia dan bahwa
terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan m,engecap kenikmatan
kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi
tertingi dari rakyat jelata.
menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi peraturan hukum
supaya orang tidak terpaksa emilih pemberontakan sebagai usaha yang
terakhir untuk menentang kelaliman dan penjajahan.
2. Hukum Pidana
Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah “Hukum yang memuat
peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya
yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan”. Pengertian lain adalah, “Hukum
pidana adalah peraturan hukum tentang pidana”. Kata “pidana” berarti hal yang
“dipidanakan”, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada
seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak
dilimpahkan sehari-hari. Sedangkan Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan
berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa “Hukum pidana adalah
bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-
dasar dan aturan-aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut;

Page | 6
2) Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan
itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan
apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut “.
Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan
definisi sebagai berikut; “Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang
diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan,
selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang
mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai
kepentingan umum“.
Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T kansil adalah:
a. Badan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga
negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan
pemerintah dan sebagainya.
b. Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga, tubuh, kemerdekaan,
kehormatan, dan hak milik/harta benda.
3. Pidana Mati
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman
yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana
terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia,
maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak
pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu
yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah
orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk
menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan
hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan
pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan.

Page | 7
Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak
perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka
tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya
maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah
untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada
tindakan yang sama.
Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak
ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melakukan
perbuatan-perbuatan kejam.

B. Konsepsi HAM Dalam Perundangnan RI.


Penuangan konsep HAM dalam pembagai peraturan perundangan tidak boleh dikatakan
purna atau tidak purna, karena sesungguhnya pencantuman pernyataan HAM di dalam
peraturan perundangan itu bermaksud awal, menegaskan kembali hak yang telah ada dan
mungkin lebih dahulu disebut dalam beragam peraturan perundangan lain. Meski, akomodasi
mengenai HAM dalam berbagai peraturan perundangan lain itu tidak langsung dan agak
samar-samar. Mengapa konstitusi kita (UUD 1945) tidak banyak memuat ketentuan
mengenai HAM, mulanya adalah karena pada waktu itu awal pembentukan negara dan
Konstitusi itu sendiri. Kita beranggapan, cukup 'diwakili' oleh Pembukaan UUD 1945
sehingga dalam Batang Tubuh (pasal-pasal)-nya tidak dijabarkan lagi.
Akan tetapi kini ternyata kita 'terpaksa'. mencantumkan/menjabarkannya ke dalam pasal-
pasal UUD 1945. Bahkan melalui amandemen kedua, kita menambah dan memperjelas
ketentuan berkenaan HAM dalam satu bab tersendiri, yakni Bab XA dari pasal 28A hingga 28
J UUD 1945. Hal ini bisa jadi dapat dianggap masih kurang, meski sebenarnya telah cukup
karena nantinya secara rinci juga akan dijabarkan ke dalam peraturan perundangan khusus
berkenaan HAM. Lahirnya UU Nomor 33 Tahun 1999 tentang HAM dan seperangkat
peraturan perundangan yang ada mengenai HAM sebagai penjabaran lebih lanjutnya,
termasuk UU yang berasal dari ratifikasi konvensi internasional mengenai HAM,
sesungguhnya menguatkan adanya indikasi bahwa RI berupaya sungguh-sungguh
memperhatikan persoalan yang berkenaan dengan HAM. Meski demikian, karena konsepsi
HAM yang tidak harus sama antara satu negara dengan negara lainnya terutama karena

Page | 8
persoalan ideologi dan sebagainya, maka yang disebut sebagai 'pengakuan' HAM itu menjadi
berbeda pula. Dengan kata lain, terdapat batasan dalam penerimaan konsepsi HAM tersebut.
Nilai persamaan dan kebebasan yang ada dalam konsepsi HAM khususnya yang berasal
dari negara Barat, berbeda dengan negara Timur dan RI. Landasan yang dipergunakan
Indonesia dalam memahami HAM adalah agama, nilai luhur budaya bangsa yang berakar
pada Pancasila sebagai ideologi negara, juga nilai moral yang berlaku universal. Jika fungsi
peraturan perundangan membatasi HAM dalam pelaksanaannya, maka tentu dimaknai lebih
dahulu bahwa tujuannya adalah dalam rangka perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan
HAM. Tegak dan terlaksananya HAM bila kewajiban asasi dilaksanakan, dan untuk
melaksanakan semua ini diperlukan peraturan perundangan. Membatasi pelaksanaan HAM
tidak sama dengan menghilangkan atau merampas hak azasi orang, karena pada dasarnya
HAM itu bersifat inviolable (tidak boleh diganggu gugat keabsahannya) dan inelienable (tidak
boleh dicabut atau diserahkan pada siapa pun yang berkuasa).

C. Hukuman Mati Di Indonesia.


Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati.
Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia
termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada
sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara
yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71
negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk
dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara
bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal seperti diketahui,
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam
menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih
tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.

Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika
Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak
kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya
hukum di pengadilan lanjutan . Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi
politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana

Page | 9
merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural
dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan
ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan
Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga
didominasi oleh penduduk muslim.

Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman
mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah
dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di
penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau
kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak
dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban
bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku
kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku
kejahatan .

D. Macam-Macam Pidana Mati Yang Ada Di Indonesia.


Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut
ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh
algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada
tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan
ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus 1945. Pasal 1
aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini yang ditentukan dalam
undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer),
sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara menembak
mati”.untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun
1964.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi hukuman
mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan
cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.

Page | 10
Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah sebagai berikut:
1. Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak
terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
2. Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
3. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah
hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
4. Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai
pelaksanaannya;
5. Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah
pimpinan seorang perwira polisi;
6. Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
7. Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
8. Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;
9. Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus
membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan
surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

E. Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM.


Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari peraturan-
peraturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak
hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum
adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan
perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan
dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan
konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih
tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus
amandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar
mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
1. Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar
HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati

Page | 11
melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat
bagaimana HAM korban kejahatan itu di langgar. Selanjutnya
2. Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang
yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh
mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-
undangan yang ada.

Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian


merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif
apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena itu hukuman mati bisa
dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga hukuman mati diterapkan sebagai upaya
terakhir untuk mengayomi masyarakat. Di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar
pemerintah bersikap tegas. Proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat
timbulnya rasa kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati.
Walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah
upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru
mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.

Umumnya pelanggaran berat yang dimaksud hanya diketahui beberapa, seperti


pembunuhan berancana atau penyelundupan narkoba yang sekarang sedang marak
diperbincangkan. Padahal dalam perundang-undangan Indonesia ada banyak hal lainnya yang
bisa membawa pelakunya meregang nyawa di tangan regu tembak.

Pelanggaran-pelanggaran hukum berat yang hukuman maksimalnya diancam dengan


hukuman mati:

1. Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan
kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah. (KUHP pasal 104),
2. Membantu atau melindungi musuh negara Indonesia pada saat perang (KUHP pasal 123
& 124)
3. Penipuan dalam pengiriman bahan militer pada saat perang (KUHP pasal 127)
4. Membunuh kepala negara dari negara sahabat (KUHP pasal 140)
5. Pembunuhan berencana (KUHP pasal 340)

Page | 12
6. Perampokan atau pencurian yang mengakibatkan kematian (KUHP pasal 365)
7. Pembajakan yang menyebabkan kematian (KUHP pasal 444)
8. Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi
dikalangan Angkatan Perang. (KUHP)
9. Pemerasan dengan kekerasan yang menyebabkan kematian (KUHP)
10. Kepemilikan dan penyalahgunaan senjata api dan / atau bahan peledak lainnya (UU
Darurat No. 12/1951)
11. Tindak pidana dalam penerbangan udara atau terhadap infrastruktur penerbangan (UU
No. 4/1976)
12. Penyalahgunaan dengan memproduksi, menggunakan, mengedarkan, mengimpor, dan
kepemilikan obat psikotropika golongan I secara terorganisasi (UU No. 5/1997 tentang
Psikotropika)
13. Penyalahgunaan dengan memproduksi, mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk
dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,menjadi perantara
dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I (UU No. No. 22/1997 tentang
Narkotika)
14. Korupsi dalam "keadaan tertentu," termasuk korupsi yang dilakukan berulang-ulang dan
korupsi yang dilakukan selama masa darurat / bencana nasional (UU No. 31/1999 tentang
Korupsi)
15. Pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM)
16. Aksi terorisme (UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme).

Sumber: KontraS, The Death Penalty (2006)

Tentunya hukuman tersebut berlaku di wilayah hukum Republik Indonesia dan mengikat
siapapun yang berada di dalamnya, dalam artian warga Indonesia yang berada di Indonesia
serta warga negara asing yang berada di Indonesia. Warga negara Indonesia yang melakukan
kejahatan tersebut di luar wilayah RI tentu akan diadili dengan hukum di negara mana ia
melakukan kejahatan, bisa lebih ringan atau lebih berat hukumannya, contohnya yang dialami
banyak TKI kita di timur tengah.

Page | 13
Dari hal-hal di atas, kebanyakan kasus yang menyebabkan hukuman mati saat ini (era
reformasi) memang kasus pembunuhan berencana dan kasus narkotika, dalam kasus terorisme
hukuman mati juga telah dilakukan sekali pada 3 terpidana. Hukuman mati terhadap
pembajak pesawat pernah dilakukan di era Orba (peristiwa Woyla). Dalam era orde baru
banyak juga terpidana mati yang dihukum berkaitan dengan peristiwa G30S, entah delik yang
dipakai pemerintah saat itu tentang pembunuhan berencana, pemberontakan, atau malah
pelanggaran HAM berat. Bisa jadi pula hukuman mati yang diterapkan di era orde baru lebih
banyak dari data yang bisa dicatat, mengingat di masa itu bisa saja terjadi hukuman mati
tanpa proses peradilan dan bersifat rahasia karena alasan politik, hal yang sulit jika terjadi di
masa sekarang.

Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, agaknya
harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar Konstitusi RI UUD
1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini.

Pasal 28A UUD ‘45 (Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara itu pasal 28I
ayat (1) UUD ‘45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.

Page | 14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat
pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya
oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan,
keselamatan dan kebahagiaan.
Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan
pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi masih
mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana
mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena
bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia,
setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya.
Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang
mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi
dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus
diamandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis
besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
1. Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar
HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati
melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat
bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.
2. Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang
yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh
mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-
undangan yang ada.

Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian


merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi
alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena itu hukuman mati
bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga hukuman mati diterapkan sebagai

Page | 15
upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Di samping itu rekomendasi juga diarahkan
agar pemerintah bersikap tegas. Proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut
membuat timbulnya rasa kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di
pidana mati. Walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama
tersebut adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa
disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.

Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, agaknya harus
diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar Konstitusi RI UUD
1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal 28A UUD ‘45
(Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara itu pasal 28I ayat (1) UUD
‘45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.

Page | 16
DAFTAR PUSTAKA

Bachsan Mustofa, Sistem Hukum Indonesia,Remaja karya, Bandung; 1984

Azyumardi azra, Demokrasi HAM dan masyarakat madani, Tim ICCE UIN

Jakarta; 2003

Prof. Mr Dr L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; PT. Pradinya

Paramita, 1999R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta; Raja Grafindo
Persada,

2007

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002

Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta;

Alumni Ahaem, 1986

Moeljatno, Kitab Undang-undang Pidana, Jakarta;Bumiaksara, 2008

Page | 17

Anda mungkin juga menyukai