Disusun oleh :
Kelompok 5
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS JEMBER
2019-2020
Kata Pengantar
Puji Syukur hanya milik Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih
sayang-Nya dan memberikan waktu kepada penulis untuk menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Kewarganegaraan yang berjudul “Hak Asasi Manusia dan Rule of Law” Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Makalah tentang ulasan mengenai Hak Asasi Manusia dan Rule of Law ini diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kewarganegaraan. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memberikan informasi lebih jauh mengenai pengertian, konsep dasar Rule of
Law serta mengenai hubungannya dengan negara dan HAM kepada pembaca.
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran baik secara tertulis ataupun secara lisan,
khususnya kepada Dosen pengampu mata kuliah Kewarganegaraan Bapak Dr. Sumardi,
M.HUM. agar penulis bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya, khususnya memahami
tentang Kewarganegaraan pada materi ini.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu kami selama proses penyelesaian makalah kewarganegaraan ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mohon maaf apabila ada salah kata atau tutur kata
yang kurang berkenan. Semoga makalah ini nantinya akan bermanfaat bagi pembaca
sekalian. Terima kasih.
Penyusun,
Kata Pengantar....................................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB 1...................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia.................................................................................................6
2.1.1 Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Progresif.......................................11
2.1.2 Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Positif.............................................14
2.2 Sejarah Terbentuknya Hak Asasi Manusia....................................................................18
2.2.1 HAM generasi pertama............................................................................................24
2.2.2 HAM generasi kedua................................................................................................25
2.2.3 HAM generasi ketiga.................................................................................................26
2.3 Pengertian dan Lingkup Rule Of Law...................................................................................26
2.3.1 Prinsip-prinsip Rule of Law.....................................................................................26
2.3.2 Perkembangan Rule Of Law.....................................................................................31
2.3.3 Sejarah Terbentuknya Rule Of Law......................................................................31
2.3.4 Latar Belakang Kelahiran Rule Of Law..................................................................34
2.4 Penegakan HAM di Indonesia.........................................................................................34
2.5 Pelanggaran HAM............................................................................................................38
2.5.1 Hambatan Dalam Pelanggaran HAM.....................................................................40
2.5.2 Keterkaitan antara Rule of Law dengan HAM.......................................................46
BAB III...............................................................................................................................................49
KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................................................49
3.1 KESIMPULAN..................................................................................................................49
3.2 SARAN...............................................................................................................................49
BAB 1
PENDAHULUAN
Sebelum membahas tentang hakikat Hak Asasi Manusia dan Rule Of Law, terlebih
dahulu akan dijelaskan pengertian dasarnya. Pada Hak Asasi Manusia hak sendiri diartikan
sebagai unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman dalam berperilaku, melindungi
kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat
dan martabat. Hak mempunyai beberapa unsur yaitu pemilik hak, ruang lingkup penerapan,
dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut saling menyatu antara
satu dengan yang lain dan membentuk pengertian dasar tentang hak.
Rule Of Law merupakan suatu doktrin yang mulai muncul pada abad ke-19,
bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi dimana konsepnya tentang
Common Law yaitu segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya
menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian.
Suatu negara memiliki Rule Of Law jika rakyatnya telah benar-benar mendapatkan keadilan
dalam kehidupan.
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar pemberian tuhan yang tidak dapat dicabut
dengan semena-mena tanpa ketentuan hukum. Hak Asasi Manusia juga tidak dapat dibagi-
bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Sehingga harus dihormati, dijaga dan
dilindungi oleh individu, masyarakat dan negara. Secara konseptual Hak Asasi Manusia dapat
dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut “Dianugerahkan secara alamiah” oleh alam
semesta, tuhan, atau nalar. Tidak hanya itu Hak Asasi Manusia juga dianggap sebagai
perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas.
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak terlepas dari hukum, mulai dari norma, nilai,
aturan dan tata krama, hingga hukum perundang-undangan dalam peradilan. Namun, hukum
di negara Indonesia ini masih sangat kurang dalam proses penegakannya, terutama penegakan
hukum di kalangan pejabat-pejabat tinggi dibandingkan dengan penegakan hukum di
kalangan menengah sampai kalangan bawah. Hal ini terjadi karena di negara Indonesia
hukum dapat dibeli dengan uang. Siapa pun yang memiliki kekuasaan, dia yang akan
memenangkan peradilan.
Dengan kenyataan seperti itu, pembenahan peradilan di negara kita khususnya
Indonesia dapat dimulai dari diri sendiri dengan mempelajar norma atau hukum sekaligus
memahami dan menegakkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keadilan yang
benar. Dalam pembahasan ini, dibahas mengenai keadilan agar dapat ditegakkan sesuai
aturan.
Terkait tentang hak asasi manusia ,maka sangat penting sebagai makhluk ciptaan
Tuhan harus saling menjaga dan menghormati hak masing-masing individu. Namun, pada
kenyataannya kita melihat perkembangan hak asasi manusia di negara ini masih banyak
terjadi pelanggaran yang sering kita temui di dalamnya. Melanggar hak asasi manusia
seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia
memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu
Komnas HAM.
PEMBAHASAN
Hak secara definisi merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berperilaku, melindungi, kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak. Dengan demikian hak merupakan
unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada
dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya
antara individu atau dengan instansi.1
Hak telah terpatri sejak manusia lahir dan melekat pada siapa saja. Di antaranya adalah hak
kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusian, hak cinta kasih sesama, hak indahnya
keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak
kesadaran, hak untuk tenteram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk
dilindungi dan melindungi, dan sebagainya. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan
bahwa hak adalah (1) yang benar, (2) milik kepunyaan, (3) kewenangan (4) kekuasaan untuk
berbuat sesuatu (5) kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, dan (6)
derajat atau martabat. Pengertian yang luas tersebut mengandung prinsip bahwa hak adalah
sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) pemilik keabsahan untuk menuntut
sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas
sesuatu, maka orang tersebut dapat melakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki,
atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya
hak asasi manusia
Hak asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar (grounded). HAM
menyatakan bahwa pada dimensi kemanusiaan manusia memiliki hak yang bersifat
mendasar. Hak yang mendasar itu melekat dengan jati diri kemanusiaan manusia. Siapa pun
manusianya berhak memiliki hak tersebut. Berarti, di samping keabsahannya terjaga dalam
eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk bisa
mengerti, memahami, dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.
Hak-hak asasi merupakan suatu perangkat atas asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang
kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan sesama
manusia. Inti paham hak asasi manusia, menurut Magnis Susesno terletak dalam kesadaran
bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijunjung tinggi kecuali setiap manusia
individual tanpa diskriminasi dan tanpa kekecualian dihormati dalam keutuhannya.
1
Kuntjoro Purbopranoto, HAM dan Pancasila, Pradya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 16.
The Cambridge dictionary of philosophy, buku yang di edit oleh Robert Audi, memberikan
penegasan tentang hak sebagai berikut:
Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru tetap melekat sebagai
pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusiaan, terlepas dari perbedaan jenis kelamin, warna
kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Inilah selanjutnya yang
menghasilkan lahirnya konsep HAM. Dengan kata lain HAM merupakan puncak
konseptualisasi pemikiran manusia tentang hakikat dirinya. Manusia adalah pengembang
fitrah kemanusiaan yang bersifat universal.
Hak dan kewajiban menurutnya adalah, bukanlah kumpulan peraturan atau kaidah melainkan
perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada
kewajiban bagi pihak lain dengan kata lain Sudikno mengatakan bahwa hak dan kewajiban
merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum. Sesungguhnya istilah
HAM sendiri terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Asasi Manusia
yang selanjutnya disebut HAM perspektif sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan
kisah manusia dalam pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimiliknya
dan kedudukannya sebagai subyek hukum. Dalam negara terdapat tanggung jawab utama
dalam pemajuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, setiap orang juga
berkewajiban menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, sebagaimana di amanatkan pada Pasal 28 ayat 1 UUDNRI Tahun
1945. Hak dan kewajiban asasi merupakan Inalienable rights and duty. Untuk menangkap
pesan aktual HAM, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahaminya
secara utuh sebagai bagian dari perkembangan pemikiran dan peradaban manusia. Tanpa
penguasaan yang utuh terhadap aspek tersebut, maka kaji ulang dan rekonstruksi HAM akan
mengalami hambatan fundamental yakni keringnya napas kesejarahan dan minusnya
sandaran teoritis konstektual terhadap HAM. Itu berarti, pengembangan HAM akan
berbenturan dengan aspek terdalamnya yakni manusia itu sendiri. Perkembangan pemikiran
HAM juga mengalami peningkatan ke arah kesatu paduan antara hak–hak ekonomi, sosial,
budaya, politik, dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak untuk
pembangunan (the rights to development). Inilah generasi HAM ketiga hak atas atau untuk
pembangunan mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju berlaku bagi segala
bangsa dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa
tersebut hak ini meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sekaligus
menikmati hasil-hasil tersebut. Menurut G.J. Wolhhoff, hak asasi manusia adalah sejumlah
hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap oknum pribadi manusia justru karena
kemanusiaannya, yang tak dapat dicabut oleh siapa pun juga, karena bila dicabut hilang juga
kemanusiaannya.
Marbangun Hardjowirogo menuliskan hak-hak asasi manusia adalah hak yang diperlukan
manusia bagi kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat dan hak-hak itu meliputi hak
ekonomi, sosial dan kultural, demikian juga hak-hak sipil dan politik.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan: Hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan uraian tentang HAM yang telah tersebut diatas, dapat disebutkan bahwa ciri-
ciri HAM sebagai berikut:
1. Hak tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis.
2. Hak asasi berlaku dan dimiliki untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin,
ras, agama, etnis, pandangan politik, atau asal usul sosial, bangsa. Semua manusia
lahir dengan martabat yang sama.
3. Hak asasi manusia tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk
membatasi atau melanggar hak orang lain, orang tetap mempunyai HAM, walaupun
sebuah negara membuat hukum yang tidak melindung atau melanggarnya.
Selanjutnya Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori, yaitu: hak sipil, hak
ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama di hadapan
hukum, hak bebas dari kekerasan, hak bagi kelompok anggota masyarakat tertentu, dan hak
hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan
pendapat di khalayak umum. Hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan
kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari
hak memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan, dan hak memperoleh
perumahan dan pemukiman.
Seiring dengan otonomi daerah terjadi pengalihan kewenangan untuk menjamin pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah. Oleh karenanya, kini Pemerintah Daerah secara yuridis menanggung kewajiban
untuk memenuhi HAM warga sesuai dengan wilayah administrasinya. Khusus untuk
otonomi dititik beratkan pada Pemerintah Daerah Provinsi tidak pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Kewenangan Pemerintah daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta bidang lain sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah
Provinsi diserahi kewenangan untuk menegakkan HAM. Dari kewenangan politik yang ada
inilah pemerintah daerah berkewajiban untuk memenuhi seluruh hak ekonomi, sosial, dan
budaya warganya tanpa memilih usia, gender, latar belakang sosial, agama, dan pandangan
politiknya. Pemenuhan hak atas pendidikan bagi masyarakat internasional menempati
prioritas utama dalam menokohkan eksistensi diri sebagai manusia. Pasal 26 UU HAM
dengan tegas menyatakan :
1. Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis setidaknya untuk
tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan
pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang dan
pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang berdasarkan
kepantasan.
2. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas luasnya serta
memperkukuh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi,
pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di
antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama serta harus mengajukan kegiatan
perserikatan bangsa-bangsa dalam memelihara perdamaian dan.
3. Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan
diberikan kepada anak-anak mereka.
Syed yang dikutip dari bukunya Satya Arinanto, memberikan komentar atas pasal ini
menurutnya sebagai sebuah rezim hak atas pendidikan merupakan satu kesatuan bangunan
sistem hukum ham internasional. Dalam upaya memajukan hak atas pendidikan Negara wajib
memajukan nilai-nilai HAM dalam kurikulum pendidikan yang selaras dengan kontrak HAM
universal. Ia menegaskan sebagai berikut:
Pasal 13 Ayat (2) ICESCR juga mengonfirmasi pemerintah untuk mengambil langkah-
langkah cerdas dalam pemenuhan Hak atas pendidikan. Akses terhadap keseluruhan jenjang
pendidikan harus menjadi perhatian untuk pemerintah, selengkapnya Pasal 13 Ayat (2)
sebagai berikut :
Negara pihak dalam kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara
penuh.
a. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang.
b. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya termasuk pendidikan teknik dan
kejuruan tingkat kelanjutan pada umumnya harus tersedia dan terbuka bagi semua
orang dengan segala cara yang layak dan khususnya melalui pengadaan pendidikan
cuma-cuma secara bertahap.
c. Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar
kemampuan dengan cara yang layak khususnya melalui pengadaan pendidikan Cuma-
cuma secara bertahap.
d. Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi-bagi
orang-orang yang belum mendapatkan atau belu menyelesaikan pendidikan dasar
mereka.
e. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif
diupayakan suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi
material stap pengajar harus terus menerus diperbaiki.
HAM hak atas pendidikan memberikan arti penting bagi upaya pemenuhan HAM secara luas.
Penegasan ini penting artinya bagi upaya membangun kesadaran kolektif terhadap
pemenuhan hak atas pendidikan. Hak atas pendidikan berkaitan erat dengan hak sipil dan
politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan ungkapan lain Coomans dikutip dari
bukunya Satya Arinanto, mengatakan bahwa hak atas pendidikan adalah hak yang
memberdayakan (empowerment rights). Hak atas pendidikan serta efektif, memberi
pengaruh langsung bagi penikmatan dan pemenuhan hak-hak lainnya. Bagi Coomant
pemenuhan terhadap hak pendidikan adalah pemenuhan bagi jati diri dan kemartabatan
manusia. Sejalan dengan itu Manfred Nowak menegaskan education is a precondition for the
exercise of human rights. Dalam kaitan itu Nowak mengingatkan kita tentang pentingnya
pendidikan dan pendidikan HAM, sebagai bagian dari HAM.
UUDNRI tahun 1945 alinea ke 4 menegaskan bahwa salah satu tujuan pembentukan
pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan dasar ini maka pendidikan nasional harus dipahami
sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pembentukan Negara Indonesia. Pendidikan
nasional merupakan elemen dasar pembangunan nasional yang mampu menghantarkan
kemartabatan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Ide utama dari hukum progresif adalah membebaskan manusia dari belenggu hukum.
Hukum berfungsi memberi panduan bukan justru membelenggu, manusia-manusialah
yang lebih penting. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu
sendiri. Asas praduga tak bersalah terdapat ketentuannya dalam KUHAP dan Undang-
undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP terdapat
ketentuannya pada butir tiga bagian C yang rumusannya sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Berdasarkan dari ketentuan KUHAP dan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 maka
dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang masih disangka-sangka belum ada putusan
pengadilan maka dianggap tidak bersalah sampai adanya kekuatan hukum tetap. Asas
praduga tak bersalah secara tersirat juga terdapat dalam di dalam ketentuan Magna Charta
1215 yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya HAM dilingkup internasional. Menurut
Living Stone Half, Pasal 39 dalam Magna Charta menentukan bahwa:
“Tidak seorang pun boleh dikurung dirampas miliknya, dikucilkan atau diambil
nyawanya, kecuali melalui hukuman yang sah oleh negaranya.”
1. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1)
yang berbunyi: “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”.
2. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersirat di dalam
bagian menimbang huruf a yang berbunyi: “bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum yang berdasarkan atas Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan penjelasan umum
butir 3 huruf a yang berbunyi: “perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka
hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.
3. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi:
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hukum”, dan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang diakui sebagai manusia
pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang
sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”.
4. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tersirat di dalam Pasal
10 yang berbunyi: “dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum
acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan
ketentuan hukum acara pidana”.
Di dalam KUHAP terdapat 7 (tujuh) asas umum dan 3 (tiga) asas khusus yaitu
sebagai berikut:
Asas umum
1) Perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi apa pun;
2) Praduga tidak bersalah;
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum;
5) Hak kehadiran Terdakwa di hadapan pengadilan;
6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7) Peradilan yang terbuka untuk umum.
Asas khusus
1) Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penggeledahan, penahanan
dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan
surat perintah tertulis;
2) Hak seorang Tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
3) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-
putusannya.
Setiap orang berhak memperoleh putusan yang adil dan tidak membeda-bedakan,
dengan berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di hadapan persidangan. Menurut Mardjono
Reksodiputro, perlakuan yang sama di depan hukum tidak harus ditafsirkan terhadap
Terdakwa yang berbeda kedudukan atau kekayaannya tetapi harus lebih dari itu. Oleh karena
itu, disini adalah wajib dihindarinya diskriminasi berdasarkan : “race, sex, language,
religion, national or social origin, property, borth or other status”. 21 KUHAP melihat
peradilan dalam konteks hukum yang adil melalui asas praduga tak bersalah dan asas
kesamaan kedudukan di hadapan hukum, dalam ketentuan di dalamnya telah termaktub
tujuan menuju sistem hukum berbasis due preprocess law, namun tampaknya masih saja
banyak penyelewengan kedua asas tersebut. Indonesia benar adalah negara hukum yang
menjunjung tinggi hak-hak manusia sesuai dengan pertimbangan pertama dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi : “bahwa negara
Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta yang menjamin
segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Dalam kaca mata aliran hukum positif, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa
atau inti aliran hukum positif ini menyatakan bahwa norma hukum adalah sah apabila ia
ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang berwenang dan didasarkan pada aturan yang lebih
tinggi, bukan digantungkan pada nilai moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain
adalah Undang-undang. Undang-undang adalah sumber hukum, di luar Undang-undang
bukan hukum. Teori hukum positif mengakui adanya norma hukum yang bertentangan
dengan nilai moral, tetapi hal ini tidak mengurangi keabsahan norma hukum tersebut.
UU No. 39/1999 juga mengatur tentang Kewajiban Dasar Manusia. Dalam Pasal 69
ayat (2) dirumuskan bahwa: “Setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas
Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”. Bahkan
dalam Pasal 71 disebutkan bahwa masalah itu bukan hanya tugas pemerintah saja, namun
pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan
memajukan HAM. Di samping perkembangan HAM dalam instrumen hukum nasional yang
menggembirakan tersebut, dalam catatan ELSAM ada ironi terkait dengan legislasi HAM di
tingkat daerah. ELSAM mencatat, otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 yang telah
diganti dengan UU No. 32 /2004 ternyata berdampak banyaknya produk hukum daerah,
terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap bermasalah. Oleh karena itu, Perda-perda yang
demikian itu perlu ada perhatian tersendiri mengingat Perda merupakan satu kesatuan yang
tidak bias dilepaskan dari sistem peraturan Perundang-undangan Indonesia.
Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila
sebagai dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat. Baik yang menyangkut
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia
dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang
terdapat pada Pancasila. Dalam Undan-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada
deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain
yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia. Materi Undang- Undang ini tentu saja harus
disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Memperhatikan hukum positif suatu negara, tidak dapat dilepaskan dengan sistem
hukum yang berlaku di negara tersebut. Karena itu, dasar negara Pancasila yang terdiri atas
lima sila, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditambah
Pembukaan UUD 1945, terutama alinea pertama yang menyatakan: “Kemerdekaan ialah hak
segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan”, serta alinea kedua “kemerdekaan negara
menghantarkan rakyat-rakyat merdeka, bersatu, adil, dan makmur”, mengindikasikan
Indonesia adalah negara demokrasi, menjunjung tinggi supremasi hukum, serta
menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia. Apa yang digariskan di dalam
Pembukaan UUD 1945 merupakan arah dan politik hukum dalam tatanan makro, kemudian
diformalkan dalam bentuk peraturan perundangan oleh lembaga politik/DPR dan
dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah
dan peraturan lainnya sebagai pegangan para birokrat.
Karena itu, dasar negara yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 yang
keputusan dan pilihan bapak-bapak pendiri negara (the founding father), wajib menjadi
pegangan setiap pemerintahan di dalam mengisi kemerdekaan, khususnya yang terkait
dengan hak asasi manusia. Hal itu terbukti dengan pengakuan beberapa hak mendasar
tersebut dalam UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, meski UUD itu disusun dalam waktu yang singkat, dari tanggal 29 Mei
sampai dengan 16 Juli (Pide, 1999: 63). Hak-hak tersebut diantaranya adalah hak atas
kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah, hak untuk menganut agama dan
menjalankan ajaran agama/kepercayaannya, hak untuk mengemukakan pendapat, hak untuk
berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan
lain-lain. Di situlah jantung dan nafas perjuangan bangsa, disitulah politik hukum dan pilihan
hukum yang tidak dapat ditawar-tawar oleh siapa pun dan pemerintah dari kelompok/partai
mana pun juga, yaitu membangun demokrasi dan penegakan hukum, vinito.
Sila pertama dari Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Konsekuensi lebih
lanjut ialah bagaimana kalau ada warga negara Indonesia yang ateis (tidak percaya kepada
Tuhan). Pada sila pertama ada kesan “memaksa” bahwa warga negara harus ber-Tuhan.
Pemaksaan kepercayaan dikesankan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dalam
konsep HAM, termasuk aliran sempalan dari mainstream agama tertentu, Islam misalnya
terhadap Ahmadiyah. Undang-undang Dasar 1945 (yang telah di amandemen), masalah
mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara khusus dalam bab XA pasal 28A sampai
dengan 28J yang merupakan hasil amandemen kedua tahun 2000. Pemerintah dalam hal
untuk melaksanakan amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, di
bentuklah Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23
September 1999 telah disahkan Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Kedua, hak untuk hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat di kecualikan
dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ketiga, dalam Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan
semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi
manusia yang di jamin oleh hukum Indonesia oleh negara Republik Indonesia menyangkut
Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional.
Keempat, di dalam Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai
berikut : Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di bentuk pengadilan
dalam ayat (1) di bentuk dengan Undang- Undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun
sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (2)
di adili oleh pengadilan yang berwenang. Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) Undang- Undang
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa yang berwenang
mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undan-undang
(Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia yang bertugas
menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Namun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang pengadilan hak asasi
manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia menjadi Undang-undang dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tersebut di cabut.
Hak Asasi Manusia berat di Aceh. Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usulan
kepada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia ad
hoc telah disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
a. Contoh kasus:
Nenek Minah yang berusia 55 tahun tak pernah menyangka perbuatan isengnya
memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan
menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Kejadian ini berawal saat
Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Lahan garapan
Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang seru
memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari
sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di
tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan
digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang
mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik
buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun
diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar
perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan
melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor
tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaannya
meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia
mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai
akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan
Negeri (PN) Purwokerto.
b. Putusan
Minah dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman enam bulan penjara. Hakim memfonis hukuman 1 bulan 15 hari dengan
masa percobaan selama 3 bulan. Vonis yang dihadapi Minah tidak sebanding dengan
harga kakao yang konon dicurinya. Harga satu kilogram kakao basah saat ini sekitar
Rp7.500. "Itu kalau biji kakao telah dikerok dari buahnya," kata Amanah (70), kakak
Minah. Menurut dia, dari tiga butir buah kakao hanya menghasilkan tiga ons biji kakao
basah. "Jika dijual, harganya sekitar Rp2.000," katanya. Akan tetapi dalam dakwaan
yang ditujukan kepada Minah, jumlah kerugiannya mencapai Rp30 ribu atau Rp10
ribu per butir. Dia mengaku heran terhadap dakwaan yang ditujukan kepada adiknya
karena selama ini dalam pemberitaan di televisi, banyak pelaku tindak pidana korupsi
yang menggerogoti keuangan negara ratusan juta hingga miliaran rupiah, hanya
dituntut hukuman maupun vonis yang ringan.
3
Universal Declaration of Human Eights, U.N. Doc. A/811, Dec. 16, 1948; Department of State Publication No. 3381 (International
Organization and Conference Series I I I , 20).
manusia yang secara alami atau budak. Benar, kaum Stoa menentang perbudakan, dan para
ahli hukum Romawi kemudian mengambil alih hukum kodrat Stoic; tetapi mereka tidak
pernah meragukan bahwa hukum positif perbudakan menang.
Di "zaman akal", perjuangan untuk hak-hak manusia didasarkan hukum kodrat
karakter revolusioner. Mengatakan bahwa "hak manusia" melekat, tidak dapat dicabut, sudah
ada sebelumnya untuk negara yang harus dilindungi negara, tetapi tidak bisa melimpahkan,
adalah senjata yang tangguh dalam pertempuran politik melawan tirani. Tidak ada keraguan
bahwa banyak perumusan RUU Hak "diambil dalam bahasa ideologis abad kedelapan belas.
Namun seberapa besar pengaruh "usia akal" dalam hal ini, itu akan menjadi kesalahan untuk
percaya bahwa gagasan "hak-hak manusia" adalah tidak dikenal pada Abad Pertengahan. Dua
sumber lagi tidak boleh dilupakan. Pertama, Kekristenan yang membawa ide ini. Hukum
kodrat Katolik sebagai berikut diungkapkan oleh St Thomas dari Aquinas dan oleh orang-
orang Spanyol, Francisco de Vitoria 4dan Suarez, mengajarkan kesetaraan bagi semua pria.
Itu adalah Katolik hukum kodrat yang menekankan martabat manusia sebagai makhluk yang
rasional, berpartisipasi dalam lex aeterna, dibuat untuk gambar Allah dan memiliki takdir
abadi Ini adalah hukum kodrat Katolik yang tidak mengenal diskriminasi.
"Di Pan America, Konferensi Kota Meksiko tahun 1945 menuntut Komite Yurisdiksi
Antar-Amerika untuk merumuskan Deklarasi Hak dan Tugas Manusia. Piagam Bogota baru
menyatakan dalam Pasal 5, (j) "Hak-hak dasar individu tanpa perbedaan ras, kebangsaan,
kepercayaan atau jenis kelamin, "dan Konferensi Bogota juga mengadopsi "Deklarasi
Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia." Piagam PBB menangani hak asasi manusia
tujuh kali. Perdamaian Perjanjian 1947 memberlakukan kewajiban hukum untuk mengambil
semua musuh mantan musuh langkah-langkah untuk menjamin semua orang di bawah
yurisdiksi mereka menikmati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Norma analog
terkandung dalam Statuta Organik Wilayah Bebas Trieste.
Disini kita memiliki norma hukum positif. Benar, kewajiban terdiri dari respons
undang-undang kota, administrasi dan keadilan; tapi ini hukum kota diperintahkan oleh
hukum internasional. Kegagalan dalam hukum kota merupakan pelanggaran perjanjian. Yang
sepenuhnya berbeda adalah karakter dari artikel yang sesuai di Piagam PBB. 5Mereka bukan
merupakan norma hukum, tetapi hanya prinsip panduan. PBB "akan mempromosikan dan
mendorong," "membantu realisasi," "membuat rekomendasi," "mempromosikan universal
4
In Ms Selecciones de Jndis (1539)
5
For an excellent, sober and strictly legal analysis see Jacob Eobinson, Human Eights and Fundamental Freedoms in the Charter of the U.
N. A Commentary (New York,
6
penghormatan dan kepatuhan terhadap hak asasi manusia; ia tidak bisa melindungi mereka,
tidak bisa mengambil tindakan, terlepas dari kasus pelanggaran HAM itu merupakan bahaya
bagi perdamaian. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 2, ayat 7, yang berisi larangan untuk campur
tangan dalam hal-hal yang pada dasarnya dalam yurisdiksi domestik negara bagian mana pun
(Anggota atau bukan), tindakan apa pun oleh PBB dihalangi, karena, di bawah hukum
internasional yang positif, masalah-masalah ini tidak diragukan lagi berada di bawah
yurisdiksi domestik. Ketika perawatan orang Hindu di Uni Afrika Selatan muncul, bahkan
seorang pria seperti Smuts segera mengangkat penghalang kurangnya yurisdiksi. Meskipun
7
Pendapat Jessup, kami memiliki wewenang Direktur Divisi Human Eights di Sekretariat
PBB bahwa itu terutama karena dugaan pelanggaran perjanjian, bukan karena akun dugaan
pelanggaran hak asasi manusia, yang diterima Majelis yurisdiksi. 8Dalam hal apa pun,
hasilnya hingga sekarang tidak ada.
Karena artikel yang sesuai dari Piagam PBB hanya berisi program prinsip, bukan
norma hukum, dan karena mereka tidak mendefinisikan ini hak dan kebebasan mendasar,
jelas perlu untuk membuat secara hukum norma yang mengikat, mendefinisikan hak-hak ini,
mengeluarkannya dari masalah secara esensial dalam yurisdiksi domestik dan membangun
mesin internasional pelaksanaan. Sebagai amandemen Piagam tidak memiliki kesempatan
dan sebagaimana Pasal 68 membayangkan Komisi Hak Asasi Manusia khusus, cara resolusi
dan rancangan perjanjian telah dipilih. Dalam hampir tiga tahun bekerja Komisi ini, di bawah
kepemimpinan Mrs. Franklin D. Roosevelt, telah dielaborasi Deklarasi Hak Asasi Manusia
yang sekarang telah diadopsi, dan sekarang bekerja pada Kovenan tentang Hak Asasi
Manusia dan Protokol Implementasi. Ketiga dokumen bersama akan membentuk
"International Bill of Hak. "Penyusunannya diikuti dengan minat Amerika Asosiasi Bar.
Deklarasi yang sekarang diadopsi jelas merupakan program maksimal. 31 artikel Deklarasi
menyatakan hak politik, kemudian hak asasi manusia tradisional demokrasi liberal, hak
intelektual dan akhirnya hak ekonomi. Semua hak berasal dari aksioma kardinal bahwa
semua manusia dilahirkan bebas dan setara, dalam martabat dan hak, dan diberkahi dengan
akal dan hati nurani. Semua hak dan kebebasan dimiliki untuk semua orang, tanpa perbedaan
apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau lainnya, asal
kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.
6
That the members of the U. N. already have a certain legal obligation under the preamble and Arts. 1 and 55 of the Charter was stated by
Judge J. M. MacKay, Superior Court of Ontario, in the case Be Drummond Wren (1945, Ont. E. 778). See also P. Sayre, "Shelley v.
Kraemer and United Nations Law," Iowa Law Eeview, Vol. 34, No- 1 (Nov. 1948), pp. 1-11.
7
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations (New York, 1948), Ch. IV (pp. 68-93), at pp. 87 ff.
8
John P. Humphrey, in ' ' The Annals,'' January, 1948, pp. 15-16.
Kaum positivisme berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan
dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia
tidak datang dari “alam” atau “moral”. Gagasan bahwa manusia adalah makhluk yang
seharusnya bebas dari penindasan, dalam catatan sejarah pertama diperjuangkan di Inggris
pada awal abad ke-13, dalam bentuk perjuangan kaum bangsawan melawan Raja John
Lockland yang berkuasa tanpa batas. Kekuasaan demikian menimbulkan tekanan dan
penderitaan luar biasa pada rakyat Inggris. Perjuangan tersebut berujung pada pembatasan
kekuasaan raja, dan diakuinya hak rakyat, yang meliputi: hak kemerdekaan (kebebasan) tidak
boleh dirampas tanpa keputusan pengadilan, dan pemungutan pajak harus dengan persetujuan
dari dewan permusyawaratan. Semuanya tertuang dalam bentuk Piagam Agung, yang lazim
disebut Magna Charta, pada tahun 1215.
Hak asasi manusia yang dikenal saat ini dalam berbagai piagam atau konstitusi
sesungguhnya telah diperjuangkan sejak abad ke 13 di inggris. Pada masa raja Inggris John
Lackland (1199-1216) memerintah secara kehendaknya telah timbul protes keras di kalangan
para bangsawan. Protes tersebut melahirkan sebuah piagam agung yang dikenal dengan nama
Magna Charta. Di dalam piagam ini pengertian hak asasi belum sempurna karena terbatas
hanya memuat jaminan perlindungan terhadap hak – hak kaum bangsawan dan gereja.
Pada tahun 1628 di Inggris pula terjadi pertentangan antara raja Charles I dengan
parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (the house of summons) yang menghasilkan petition
of rights. Petisi ini membuat ketentuan bahwa penetapan pajak dan hak – hak istimewa harus
dengan izin parlemen, dan bahwa siapa pun tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan – tuduhan
yang sah. Perjuangan hak asasi manusia yang lebih nyata terjadi pada tahun 1689 ketika raja
Willem III revolution. Revolusi ini besar mengawali babak baru kehidupan demokrasi di
Inggris dengan suatu perpindahan kekuasaan dari tangan raja ke parlemen. 9
Pada tahun 1689, kembali terjadi gejolak di Inggris, di mana parlemen menyerang
Raja James II, memperjuangkan hak-hak dasar rakyat, yang berujung pada disusunnya
Declaration and Bill of Human Rights 1689, yang memuat pengakuan bahwa hak-hak rakyat
tidak dapat diganggu gugat (dituntut) atas ucapan-ucapannya. Declaration of Independence
Amerika tahun 1776, juga dianggap sebagai tonggak sejarah pengakuan terhadap HAM. Pada
tahun 1789 Rakyat Amerika memperjuangkan sebuah naskah undang-undang yang disebut
Undang-undang Hak (Bill of Rights), yang pada tahun 1791 menjadi bagian dari Undang-
undang Dasar Amerika Serikat.
9
KNHA Manusia - Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997 - academia.edu
Pemerintahan raja yang sewenang – wenang dan kaum bangsawan yang feodalistis
menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis
XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan
nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang
lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional
sebagai perwakilan bangsa Perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah strukturnya
dari feodalistis menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah pemerintah baru.10
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak
sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari
tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan
kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi
kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri
(kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan
jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak
12
Kertha Widya, “Sejarah Perkembangan Konsep Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum, Vol. 2 No. 1, Agustus 2014, 115
milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan
menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak
bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan
proses peradilan yang adil.
Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak
terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap
hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana
individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini
dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun
kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Jadi negara tidak boleh
berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-
hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua,
yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan
hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan.
Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi
atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif:
“hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah
yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini
adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan,
hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan
yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan, dan kesenian.
Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini
sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Dimaksud dengan positif di sini adalah
bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Jadi untuk
memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan
untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut.
2.2.3 HAM generasi ketiga.
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau
“hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga
atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara
berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif
bagi terjaminnya hak-hak sebagai berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii)
hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan
budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya
hanya mengonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi
manusia terdahulu.
Dalam Hukum Internasional dikenal adanya hak dari negara untuk membatasi atau
menunda pelaksanaan HAM manakala negara dalam keadaan bahaya. Namun, sekalipun
negara dalam keadaan bahaya ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan, yang
disebut non-derogable rights, yaitu meliputi: hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, hak
untuk tidak mendapat perlakuan yang merendahkan harkat martabat manusia, hak untuk
mendapatkan peradilan yang jujur, dan hak untuk tidak diperbudak.
Hal-hal yang sering mengemuka dalam kaitannya dengan rule of law, antara lain
Selain itu, (4) apa yang harus dilakukan agar rule of law dapat berjalan efektif ?
Secara Formal Di Indonesia, prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam
pembukaan UUD 1945 yang menyatakan
1. bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, ….karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan “peri keadilan”;
2. ….kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur
3. ….untuk memajukan “kesejahteraan umum”, ….dan “keadilan sosial”
4. ….disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-undang
Dasar Negara Indonesia”
5. “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
6. …..serta dengan mewujudkan suatu “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa
keadilan” bagi rakyat Indonesia, juga “keadilan sosial” sehingga pembukaan UUD 1945
bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, inti dari rule of
law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-
prinsip diatas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggaraan
Negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan
atas rasa keadilan terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD
1945, yaitu :
3).Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 Pasal, antara lain bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta
perlakuan yang di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1).
4).Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D Ayat 2).
Terdapat perlindungan konstitusional. Artinya, segala konstitusi selain yang menjamin hak-
hak individu harus juga menentukan cara atau prosedur untuk mendapatkan perlindungan atas
hak-hak yang dijamin.
a. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak kelompok mana pun.
b. Adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat.
c. Pemilihan umum berjalan dengan bebas.
d. Terdapat kebebasan untuk berorganisasi dan berposisi.
e. Pendidikan kewarganegaraan.
Dengan alasan di atas, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqqie, S.H., merumuskan kembali dua belas
prinsip pokok negara hukum (Rechstaat) yang sesuai dengan zaman sekarang. Dua belas
prinsip rule of law ini menjadi pilar utama yang menyangga tegaknya sebuah negara modern
yang menamakan dirinya negara hukum. Dua belas prinsip pokok itu adalah:
1) Supremasi hukum (Supremacy of Law).
2) Persamaan dalam hukum (Equality before the Law).
3) Asas legalitas (Due Process of Law).
4) Pembatasan kekuasaan.
5) Organ-organ eksekutif independen.
6) Peradilan bebas dan tidak memihak, yang merupakan esensi dari sebuah sistem
hukum kota. Institusi peradilan harus bisa bertindak bebas dalam menentukan
keputusannya.
7) Peradilan tata usaha negara.
8) Peradilan tata negara (Constitutional Court).
9) Perlindungan hak asasi manusia.
10) Bersifat demokratis (Democratiche Rechstaat).
11) Memiliki fungsi sebagai saranan mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechstaat).
12) Transparansi dan kontrol sosial.
Di Indonesia, rule of law diterima begitu saja sebagai satu-satunya pemikiran hukum.
Padahal, dalam kenyataannya hukum yang diterapkan sendiri tidak mencerminkan keadilan
sosial dan tidak dekat dengan masyarakat. Dari situ mulai bermunculan tawaran untuk mulai
mempertimbangkan konsep hukum lain yang dinilai lebih dinamis, seperti rule of justice,
rule of social justice, rule of moral, atau rule of Pancasila dalam rangka menciptakan hukum
yang lebih adil dan memihak.
Mochammad Mahfud MD (1999 : 139) menyatakan bahwa konsep negara hukum di
Indonesia merupakan konsepsi sistetis dari beberapa konsep yang memiliki tradisi hukum
berbeda, seperti rechstaat, rule of law, negara hukum formal dan negara hukum material,
yang selanjutnya diwarnai dengan nilai-nilai Indonesia sehingga menjadi negara hukum
Pancasila dengan ciri-ciri demokrasi Pancasila yang lebih khusus. Konsep seperti ini,
meskipun telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri, juga memiliki
risiko adanya perdebatan akan konsep negara hukum dengan acuan yang berbeda yang
terkadang tidak berjalan beriringan.
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini,
realisasi negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan oleh pendiri negara. Dari berbagai
kekurangan pemerintahan di masa lalu dalam menegakkan hukum di Indonesia, pemerintahan
di rezim Orde Baru disebut sebagai pemerintahan yang paling gagal. Bukan hanya gagal,
bahkan rezim tersebut secara langsung maupun tidak dinilai menginjak-injak hukum,
mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum dan merekayasa hukum sebagai upaya
pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, menurut MD Kartaprawira (2000), bukan lagi rule of law yang berlaku
untuk menuntut tegaknya keadilan dan perlindungan hak-hak sosial dan politik dari
pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Akan tetapi,
segala peraturan hukum yang berlaku memiliki tujuan untuk mengabdi kepada kepentingan
penguasa dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti demokrasi, anti nasional, anti
keadilan dan anti HAM. Di rezim Orde Baru itu hukum menjadi alat untuk mendominasi
politik, mengendalikan dan ikut campur dalam lembaga-lembaga negara dan partai politik
agar tidak mengancam kekuasaannya.
Sementara itu, di era Reformasi keadaan menjadi sedikit lebih baik. Kebebasan untuk
berorganisasi dan berpolitik mulai memiliki tempat di masyarakat. Lembaga hukum tidak lagi
dalam kendali penuh pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat pemerintah
pun mulai diadili meskipun akhir untuk penyelesaiannya belum menggembirakan. Di antara
fenomena yang paling menyita perhatian belakangan adalah praktik suap yang dilakukan
pada hakim dan jaksa dalam penanganan perkara yang banyak terjadi. Keterlibatan para
penegak hukum dalam kasus suap dan korupsi menjadi fakta yang tidak lagi bisa ditutupi dan
menunjukkan kebobrokan penegakan hukum di negara kita.
2.3.2 Perkembangan Rule Of Law
The rule of law pertama supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan,
prerogatif, discretionary authority yang luas dari pemerintah. kedua, bersamaan di hadapan
hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of theland
yang dilaksanakan oleh ordinary court. Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di
atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum
yang sama; tidak ada peradilan administrasi; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary
law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi
dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya,
prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian
diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.10 E.C.S.
Wade dan Godfrey Philips dalam bukunya Constitutional and Administrative Law
memberikan catatan atas pemikiran Dicey. Pertama, terhadap yang pertama
dipermasalahkan mengena pengertian regula law and arbitrary power; kedua, terhadap
pengertian equality before the law dipermasalahkan mengenai penggolongan dalam
masyarakat berdasarkan pertimbangan sosial ekonomi ataupun status hukum juga
mengenai peradilan administrasi yang dewasa ini dianggap sama baiknya dengan
perlindungan hukum yang dilakukan oleh ordinary court; dan ketiga, permasalahan
konstitusi sebagai akibat dari ordinary law of the land yang didasarkan atas, keyakinan
bahwa common law memberikan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap
warganegara daripada perlindungan oleh konstitusi tertulis. Terhadap permasalahan ini
Wade dan Godfrey Philips mengemukakan tiga sanggahan, yaitu: pertama common law
tunduk kepada modifikasi oleh parlemen, dengan demikian ada kemungkinan banyak
kebebasan fundamental diganti oleh statute; kedua, common law tidak menjamin
keadilan sosial ekonomi dari warganegara; dan ketiga, meskipun tetap esensial
bahwa legal remedies seyogianya efektif, pengalaman negara-negara Barat
menunjukkan bahwa perlu diletakan batas-batas terhadap kekuasaan legislatif
agar tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan di pihak lain, the European
Convention of Human Rights telah menunjukkan perlunya supra-national remendies.
Konsep yang pertama bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental yang biasa
disebut civil law. Sedang konsep yang terakhir bertumpu pada sistem hukum comman law
atau Anglosakson. Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap
kekuasaan, pada dasarnya, dikarenakan politik kekuasaan yang cenderung korup. Hal ini
dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan individu dan
masyarakat. Atas dasar itu, terdapat keinginan yang besar agar dilakukan pembatasan
kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari penguasa yang otoriter. Di sinilah
konstitusi menjadi penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dijadikan sebagai
perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah,
sesuai dengan dalil government by laws, not by men (pemerintahan berdasarkan hukum
bukan berdasarkan manusia)14
A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari “The Rule Of Law” pertama, supremasi
absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power
13
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 23.
14
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 57.
15
Jimly Assiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, trial::http://www. docudesk.com, diakses pada tanggal 28 Maret 2020, pukul
13:37 Wib.
dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif, discretionary authority yang luas dari
pemerintah; kedua, bersamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court.
Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun
warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang sama; tidak ada peradilan
administrasi; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui
tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan
pejabat-pejabatnya.16
E.C.S. Wade dan Godfrey Philips dalam bukunya Constitutional and Administrative
Law memberikan catatan atas pemikiran Dicey. Pertama, terhadap yang pertama
dipermasalahkan mengenai pengertian regular law and arbitrary power; kedua, terhadap
pengertian equality before the law dipermasalahkan mengenai penggolongan dalam
masyarakat berdasarkan pertimbangan sosial ekonomi ataupun status hukum, juga mengenai
peradilan administrasi yang dewasa ini dianggap sama baiknya dengan perlindungan hukum
yang dilakukan oleh ordinary court; DAN ketiga, permasalahan konstitusi sebagai akibat dari
ordinary law of the land yang didasarkan atas, keyakinan bahwa common law memberikan
perlindungan hukum yang lebih baik terhadap warganegara daripada perlindungan oleh
konstitusi tertulis.
Terhadap permasalahan ini Wade dan Godfrey Philips mengemukakan tiga
sanggahan, yaitu: pertama, common law tunduk kepada modifikasi oleh parlemen, dengan
demikian ada kemungkinan banyak kebebasan fundamental diganti oleh statute; kedua,
common law tidak menjamin keadilan sosial ekonomi dari warganegara; dan ketiga,
meskipun tetap esensial bahwa legal remedies seyogianya efektif, pengalaman negara-negara
Barat menunjukkan bahwa perlu diletakan batas-batas terhadap kekuasaan legislatif agar
tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan di pihak lain, the European Convention of
Human Rights telah menunjukkan perlunya supra-national remendies.
a). Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan
Negara.
16
E.C.S. Wade dan G. Philips, Constitutional and Administrative Law, A.V.Dicey, op.cit., halaman 202-203.
b). Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional.
c). Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum. Rule of
law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring dengan negara konstitusi
dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law.17
Paham rule of law di Inggris diletakan pada hubungan antara hukum dan keadilan, di
Amerika di letakan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari
paham kedaulatan Negara, melalui paham kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan
tugas kekuatan pemerintah. Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya
keadilan bagi seluruh masyarakatnya, khususnya keadilan sosial.
Penegakan hukum merupakan isu yang menarik untuk diteliti karena berkaitan dengan
implementasi peraturan perundang-undangan yang berlaku, penegakan hukum sangat
berkaitan dengan semua aspek kehidupan manusia. Definisi penegakan hukum menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan
represif, cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahannya turut aktif dalam
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
17
https://www.coursehero.com/file/p12jaqal/24-Sejarah-Berdirinya-Rule-Of-Law-1-Latar-belakang-kelahiran-rule-of-law-a/ diakses pada
tanggal 28 Maret 2020, pukul 14:05 Wib.
18
Soetjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 24 Jurnal
Unifikasi, ISSN 2354-5976 Vol.03 Nomor 01 Januari 2016
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan
hukum yang harus dijalankan itu dibuat.19
Sementara itu, Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam
proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak
jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo
membedakan 3 (tiga) unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum 21 Pertama,
unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum
seperti polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga
negara dan sosial.
19
Ibid, hal, 25
20
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Bina cipta, hal. 15
21
Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum ,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24.
22
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it
affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, hal 16.
Menurut Soerjono Soekanto secara umum ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum yaitu :23
C. Unsur ketiga adalah keadilan. Dalam penegakan hukum keadilan harus diperhatikan,
namun demikian hukum tidak identik dengan keadilan, karena hukum sifatnya umum,
mengikat setiap orang, dan menyamaratakan ; bunyi hukum: Barang siap mencemarkan
lingkungan hidup harus dihukum”, artinya setiap orang yang mencemarkan lingkungan harus
dihukum tanpa membeda-bedakan kedudukan atau jabatan siapa yang mencemarkan. Tetapi
sebaliknya, keadilan bersifat subjektif, individualistis dan menyamaratakan, artinya adil bagi
23
9Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Press. 1983. Jakarta.
hal. 4-5.
si A belum tentu adil bagi si B, pencemar yang dimenangkan akan mengatakan bahwa
keputusan tersebut adil, tetapi hal itu tentu dirasakan tidak adil bagi si korban.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa tanpa kepastian orang tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi apabila kita terlalu mengejar
kepastian hukum, terlalu ketat dalam menaati peraturan hukum akibatnya akan menjadi kaku
dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Kalau dalam penegakan hukum hanya memperhatikan
kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya akan dikorbankan. Demikian pula kalau yang
diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan,
demikian seterusnya. Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur
tersebut, yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya
harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang dalam penanganannya, meskipun
dalam praktik tidak selalu mudah melakukannya.
Penegakan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak dapat di tegakkan selama
pola pemikirannya hanya bersandar pada nilai-nilai Hak Asasi Manusia suatu negara. Sebab
penegakan terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam setiap wilayah negara akan
berbeda-beda karena dipengaruhi oleh kultur budaya, sosial dan religius suatu bangsa, jika
Indonesia ingin penegakan Hak Asasi Manusia berdiri di negara ini serta harus sesuai dengan
nilai kaidah yang ada di dalam jiwa bangsa Indonesia, selama itu belum dipahami nilai
penegakan Hak Asasi Manusia hanya sebagai platform belaka24
24
Wawancara, Abdurrahman Wahid, kongko-kongko bersama Gus Dur, radio 68 H, Utan Kayu, sabtu, jam
10.00-11.00 WIB, 2006.
2.5 Pelanggaran HAM
Banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang sampai detik ini tidak
kunjung jelas penyelesaiannya. Padahal dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia terutama dalam kategori “berat” tidak berlaku surut atau tidak ada kadaluwarsa.
Sehingga meskipun aturan normatif tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia baru secara
tegas diatur pada tahun 2000, akan tetapi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di
masa lalu diharapkan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Sampai detik ini penegakan
hukum terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia masih merupakan suatu cita-cita. Karena
faktanya penerapannya belum seindah sebagaimana peraturan yang sudah melekat terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia merupakan salah satu
tindak pidana yang dapat bersifat pelanggaran berat maupun pelanggaran ringan. Yang
banyak menyita perhatian dunia adalah terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat
Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila sebagai
dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat, baik yang menyangkut mengenai
hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia dengan
manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang terdapat
pada Pancasila. Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur
mengenai Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini tentu saja harus disesuaikan
dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Sedangkan di dalam Undang- Undang Dasar
1945 (yang telah diamendemen), masalah mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara
khusus dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan hasil amandemen
kedua tahun 2000.9 Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan amanah yang telah
diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, di bentuklah Undang- Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang-
undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur beberapa hal penting
yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa yang berwenang mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat adalah pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tanggal 8 Oktober 1999
ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1tahun 1999
tentang pengadilan Hak Asasi Manusia yang bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat. Namun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No. 1 Tahun 1999 tentang pengadilan hak asasi manusia yang dinilai tidak memadai,
sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi
Undang-undang dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
tersebut di cabut.
Pada tanggal 23 November 2000 di tetapkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999. Pengadilan
Hak Asasi Manusia bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat dalam hal ini adalah kejahatan genosida yaitu penghancuran atau pemusnahan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok. Mengakibatkan penderitaan fisik
dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok. Menciptakan kondisi
kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah. Memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mengenai kelahiran dalam kelompok tersebut.
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sungguhpun Begitu, prospek penegakan Hak Asasi Manusia kedepan tentu akan lebih
baik dan cerah, mengingat pada satu sisi proses institusional Hak Asasi Manusia, antara
lain melalui pembaruan serta pembentukan hukum terus menunjukkan kemajuan yang
berarti, maupun pada sisi lain terbangunnya ruang publik yang lebih terbuka bagi
perjuangan Hak Asasi Manusia dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini.
Antonius Sujata mensinyalir banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
hilang dan masyarakat menganggap kasus-kasus Hak Asasi Manusia itu tidak ada
penyelesaiannya. Peradilan HAM hanya mencakup pelanggaran HAM berat dimaksudkan
untuk meminimalisir hilangnya kasus-kasus pelanggaran HAM sebagaimana selama ini
dirasakan oleh masyarakat. Dalam satu telaah mengenai keruntuhan Orde Baru yang
dikaitkan dengan pelanggaran HAM, dimulai ketika penguasa Orde Baru melakukan
pelanggaran HAM maka pada saat itulah ia mulai menanamkan bibit keruntuhan
kekuasaan. Pelanggaran HAM merupakan salah satu sebab kegagalan Orde Baru.25
Pelanggaran Hak Asai Manusia yang terjadi di Indonesia terutama di daerah- daerah
telah sangat menyesakkan sanubari bangsa Indonesia selaku bangsa yang menjunjung tinggi
nilai dan harkat serta martabat seorang manusia di muka bumi ibu pertiwi. Peristiwa-
peristiwa dari waktu ke waktu masih saja terus berlangsung walau intens terjadinya
mengalami suatu saat pasang surut adakalanya kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia
rendah dan di lain waktu meningkat. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi bangsa
Indonesia yang berbudi luhur berdasar kan nilai- nilai yang terkandung pada Pancasila yang
di jabarkan dengan 5 butir kalimah syahdu. Negara Indonesia dalam hal ini pemerintah yang
mempunyai amanah dari rakyat, yang mana amanah itu untuk meninggikan kesejahteraan dan
kedamaian antar sesama masyarakat sudah seyogyanya berikhtiar untuk mencari cara
penyelesaian yang mengedepankan sisi- sisi kemanusiaan yang beradab dan berkepribadian
25
Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Jambata, Jakarta, hlm. 55
luhur. Memang dalam rangka untuk mengurangi sampai menghapuskan bentuk-bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia bukan suatu pekerjaan yang mudah dan asal-asalan
melainkan dibutuhkan suatu kinerja dari segala elemen bangsa Indonesia untuk menciptakan
suasana yang kondusif bagi penegakan Hak Asasi Manusia tentu dengan penyelesaian yang
demokratis, komprehensif dan menyentuh hati nurani masyarakat itu sendiri. Permasalahan di
wilayah NKRI yang berkenaan dengan kasus- kasus kekerasan yang mengakibatkan
bermuara pelanggaran Hak Asasi Manusia harus dapat menguraikan variabel-variabel
mengapa terjadi pelanggaran tersebut, dalam hal untuk mencari akar permasalahan tentu
harus di identifikasi terlebih dahulu dengan menelusuri data- data yang ada di dalam
masyarakat, sebab di sana sesungguhnya endapan dilema- dilema yang harus di aktualisasi
guna terselesaikan.
Pemerintah adalah salah satu penyebab dapat terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia oleh karena itu memunculkan kendala- kendala yang mengakibatkan tidak dapat
terselesaikannya permasalahan di Indonesia seperti dalam hal pengambilan kebijakan-
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak mengenai dan menyentuh dasar
permasalahan “basic problem” yang ada di wilayah daerah rawan terjadinya pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Dalam rangka penegakan hukumnya pemerintah hanya sekedar
menyelesaikan masalah pada lapisan kulitnya saja “liptsic spare” seperti sidang
pengadilan Hak Asasi Manusia yang terkesan sandiwara politik, diadili prajurit yang
berpangkat rendah sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam hal untuk
mengusut pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para “actor eksekutif” terkesan bertele-
tele dan lamban sehingga memunculkan “stereothipe” masyarakat terhadap proses
penegakan hukum ”law suprimacy” tidak adil ataupun setengah hati “a half heart”.
Pemerintah juga terkesan dalam melakukan diplomasi perdamaian “diplomacy of peace”
terkesan tidak serius yaitu menggunakan jalur diplomasi pada tataran eksekutif tetapi
ditataran akar rumput “grass root” yang menggunakan langkah- langkah militer.
Dalam penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat maka sarana
penyelesaiannya di dalam pengadilan Hak Asasi Manusia. Jika tidak terbukti terjadi
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat maka perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia dilakukan di pengadilan umum dimana terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia itu terjadi. Di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Sarana
penyelesaian terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah sebagai berikut
Pasal 4
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Yang dimaksud dengan memeriksa
dan memutuskan dalam ketentuan ini adalah termasuk penyelesaian perkara yang
menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan per undang-
undangan. Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat terdiri dari kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
sesuai dengan “Roma Stalute of the International Criminal Count” kejahatan genosida
adalah setiap pembuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, etnis, kelompok
Agama dengan cara :
a) Pembunuhan.
b) Pemusnahan.
c) Perbudakan.
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara wewenang dan yang melanggar asas-asas ketentuan
pokok hukum internasional.
f) Penyiksaan.
g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang di dasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan
lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional.
i) Penghilangan orang secara paksa.
j) Kejahatan apartheid.
Pasal 43
1) Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum di undangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputuskan pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
2) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa
tertentu dengan keputusan Presiden.
3) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada dilingkungan peradilan umum.
Dapat dijabarkan bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum
adanya Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
dapat diperiksa dan diputuskan dalam pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc.
Pasal 45
1. Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai mana dimaksud dalam pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya,
Medan dan Makassar.
2. Daerah hukum pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada pada pengadilan negeri di:
a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah daerah khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa
Barat, Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah.
b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur.
d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatra Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi,
dan Sumatra Barat.
Pasal 47
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
2. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang.
Terlepas dari siapa yang mulai membuat situasi yang disorganisasi dalam masyarakat
yang terjadi pelanggaran HAM, haruslah disadari sarana penyelesaian dengan kekerasan atau
senjata sudah tidak efektif dalam menyelesaikan segala permasalahan. Sarana penyelesaian
yang dapat di terima oleh semua pihak lapisan masyarakat tentunya penyelesaian yang
mengedepankan nilai-nilai manusia tentu dengan menggunakan cara-cara yang lebih manusia
yaitu dengan cara mediasi dialog damai antara kelompok-kelompok yang bertikai. Karena
sarana penyelesaian dengan damai lebih menguntungkan segala pihak-pihak yang bertikai
dan dapat mengurangi dampak kerugian akibat terjadinya peperangan. Sarana penyelesaian
melalui perundingan, dialog lebih arif dan bijaksana dari pada penyelesaian masalah dengan
senjata. Manusia dimanapun ketika dihargai dan dihormati nilai-nilai dasar sebagai manusia,
tidak akan merendahkan Hak Asasi Manusia lainnya namun sebaliknya, itulah mengapa para
pengamat para tokoh-tokoh negarawan lebih mengedepan penyelesaian permasalahan
pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan cara damai dan lebih bermartabat.
Maka dari itu seyogyanya pelaksanaan segala kebijakan republik terhadap masyarakat yang
terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM tentunya berkiblat kepada nilai-nilai budaya, sosial,
agama dan ekonomi masyarakat itu sendiri. Dalam rangka untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang timbul dengan damai dan bermartabat diperlukan suatu
cara yang terus menerus dan tuntas hingga ke akar segala permasalahan di provinsi itu. Mulai
dari segi ekonomi hingga pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri bukan muncul
karena tidak bersebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran di karena kan terjadinya benturan-
benturan kepentingan antara daerah dengan pusat, ketidakadilan yang telah lama dirasakan
oleh masyarakat di sana karena dianggap sebagai sapi perahan kebijakan pusat yang tanpa
peduli untuk membangun daerah yang telah memberikan pendapatan bagi anggaran pendapat
belanja negara.
Upaya penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi pada masa
lalu memang telah diberi tempat di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dalam
kasus Tanjung Priok maupun kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur diakui
belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pengadilan-pengadilan yang dilaksanakan
nampan hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat Internasional dan memenuhi amanat
undang-undang saja.
Putusan-putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc itu dirasa belum
memenuhi rasa keadilan terutama bagi korban pelanggaran HAM berat itu. Adanya peluang
penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat melalui pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus dipandang sebagai alternatif lain
yang lebih memberikan keadilan kepada masyarakat khususnya para korban dan pelaku
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat itu sendiri. Konstitusi Republik Indonesia Undang-
undang Dasar 1945 menjamin Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28A-28J.
Dalam konstitusi tersebut dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia sangat dijunjung tinggi bagi
setiap orang baik. Adapun pengaturan lebih lanjut terkait Hak Asasi Manusia akan diatur
dalam perundang-undangan yang ada. Akan tetapi pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia sudah terjadi bahkan sejak Indonesia dijajah dan berlanjut setelah Indonesia
merdeka. Penyelesaian terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi belum
mendapatkan penyelesaian yang seadil-adilnya. Padahal Hak Asasi Manusia sebagaimana
yang dijamin dalam konstitusi merupakan hak yang paling hakiki dan harus dijamin
keberadaannya. Selain itu, negara wajib untuk melindungi warga negaranya dari pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Dalam kenyataannya selama lebih dari lima puluh tahun usia Republik
Indonesia, pelaksanaan penghormatan perlindungan atau penegakan Hak Asasi Manusia
masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian penangkapan penahanan
yang tidak sah, penculikan aktivis-aktivis keagamaan, penganiayaan, perkosaan,
penghancuran rumah ibadah dan sebagainya. Disamping itu terjadi pula penyalahgunaan
kekuasaan oleh aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum pemelihara
keamanan dan perlindungan masyarakat tetapi justru mengintimidasi, menganiaya sampai
penghilangan nyawa manusia dan tanpa proses hukum. Pertanggungjawaban dan
penghukuman pidana, tidak saja untuk memberikan penjeraan (detterence) bagi pelaku tetapi
sekaligus juga untuk melakukan perlindungan bagi masyarakat (social defence) untuk
memastikan adanya perlindungan bagi masyarakat dari ancaman kejahatan yang langsung
maupun tidak langsung (direct maupun indirect). Untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang terjadi di masa lampau perlu adanya penegakan hukum secara tegas.
Semua aparat penegak hukum memiliki kapabilitas serta tanggung jawab yang sama untuk
menegakkan hukum dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sayangnya, selama ini
penyelesaian tindak pidana Hak Asasi Manusia terutama dalam kategori berat terkenal oleh
tertutupnya pemerintah yang cenderung tidak bertindak serius. Diakui atau tidak sejumlah
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Indonesia lebih banyak melibatkan
aparat penegak hukum dan juga pemerintah.
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia sejak dia lahir. Hak
ini harus dihormati dan tidak dapat diambil darinya. Namun dalam kenyataannya, banyak
sekali pelanggaran terhadap hak ini. Sehingga, untuk melindungi hak asasi ini diperlukan rule
of law, yaitu aturan hukum yang kuat dan dapat melindungi setiap orang secara adil di depan
hukum. Dalam Undang-undang Dasar 1945 kesetaraan dimata hukum ini dijamin pada pasal
27 ayat 1 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya". Dengan demikian, misalnya, setiap orang apa pun agamanya akan mendapat
perlindungan yang sama di depan hukum untuk memeluk agama yang diyakininya dan untuk
beribadah sesuai dengan ajaran agamanya. Kebebasan ini dijamin oleh hukum, dan sesuai
dengan prinsip rule of law, kebebasan ini dijamin secara merata sama di mata hukum, tanpa
memandang apa agama yang dianut. Bila kemudian ada seorang warga negara yang hak
beribadahnya diganggu, maka hukum harus melindunginya dan menghukum orang yang
melanggar hak asasi tersebut.
A. HAM
Hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang-undang No.39 tahun 1999
pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara
kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati,
dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kecerdasan serta keadilan. “Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar
yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.Ini
berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat
dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh
suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika halitu terjadi maka manusia
kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Hak asasi mencangkup
hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Ditinjau dari berbagai
bidang, HAM meliputi :
B. Rule of Law
Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Berdasarkan pengertian
tersebut maka setiap negara yang legal senantiasa menegakkan Rule of Law. Rule of Law
berdasarkan substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan
mendasarkan pada Rule of Law dalam kehidupan kenegaraannya, meskipun negara tersebut
adalah negara otoriter.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan
dengan pengertian Negara hukum. Negara yang menganut sistem Rule of Law harus
memiliki prinsip-prinsip yang jelas.
a. Negara yang menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas,
terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu sendiri.
b. Menurut Albert Venn Dicey dalam Introduction to the Law of The Constitution,
memperkenal istilah the Rule of Law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu
keteraturan hukum.
c. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu:
Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang,
dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum.
Kedudukan yang sama di muka hukum.
Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-keputusan
pengadilan.
BAB III
3.1 KESIMPULAN
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak
sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari
tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan
kekuatan-kekuatan sosial lainnya.
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada
kesehatan.
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara
berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil.
Rule Of Law merupakan suatu doktrin yang mulai muncul pada abad ke-19,
bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi dimana konsepnya tentang
Common Law yaitu segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh
kelembagaannya menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip
keadilan dan egalitarian. Suatu negara memiliki Rule Of Law jika rakyatnya telah benar-
benar mendapatkan keadilan dalam kehidupan. Dimana secara kuantitatif, peraturan
perundang-undangan yang terkait rule of law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi
implementasinya belum mencapai hasil yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai
perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan di masyarakat
3.2 SARAN
Hukum di negara Indonesia ini masih sangat kurang dalam proses penegakannya,
terutama penegakan hukum di kalangan pejabat-pejabat tinggi dibandingkan dengan
penegakan hukum di kalangan menengah sampai kalangan bawah. Hal ini terjadi karena
di negara Indonesia hukum dapat dibeli dengan uang. Siapa pun yang memiliki
kekuasaan, dia yang akan memenangkan peradilan dengan kenyataan seperti itu,
pembenahan peradilan di negara kita khususnya Indonesia dapat dimulai dari diri sendiri
dengan mempelajar norma atau hukum sekaligus memahami dan menegakkannya dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dengan keadilan yang benar.
Supriyanto, Bambang Heri. "Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Hukum Positif di Indonesia." Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial 2.3
(2016): 151-168.
Bawono, Bambang Tri, dan Anis Mashdurohatun. "Penegakan Hukum Pidana Di Bidang
Illegal Logging Bagi Kelestarian Lingkungan Hidup Dan Upaya
Penanggulangannya." Jurnal Hukum 26.2 (2020): 590-611.
Julia, S. (2006). Pelanggaran HAM dan Peranan Polri Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia.
Astuti, L. (2017). Penegakan Hukum Pidana Indonesia dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Kosmik Hukum, 16(2).
Kuntjoro Purbopranoto, HAM dan Pancasila, Pradya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 16.
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An invalueable guide to the many faces of the
law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company
Karlina Leksono dan Supelli, Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal Demokrasi
dan HAM, Jakarta : ID H-THC, 2001
E.C.S. Wade dan G. Philips, Constitutional and Administrative Law, A.V.Dicey, op.cit.
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 57.
Besar. (2016). DAN DEMOKRASI DI INDONESIA Permasalahan. Jurnal Ham, (9), 201–
213.
Nur Choerun Nisa, E. S. (n.d.). Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi ( Hots ) Tentang
Lingkungan Berdasarkan Latar Belakang Akademik Siswa, XIX September 2018
Universal Declaration of Human Eights, U.N. Doc. A/811, Dec. 16, 1948; Department of
State Publication No. 3381 (International Organization and Conference Series I I I , 20).
Kertha Widya, “Sejarah Perkembangan Konsep Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum, Vol. 2
No. 1, Agustus 2014, 115
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
2005.