Anda di halaman 1dari 52

Hak Asasi Manusia dan RULE OF LAW

Dosen Pengampu : Dr. Sumardi, M.HUM.

Disusun oleh :

Kelompok 5

Zilma Aliyah Farwah (191910401010)

Ayunda Rara Mastika (191910401011)

Muhammad Rizalludin (191910401014)

Riko Mahendra Putra (1919104010)

FAKULTAS TEKNIK

TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS JEMBER

2019-2020
Kata Pengantar

Puji Syukur hanya milik Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih
sayang-Nya dan memberikan waktu kepada penulis untuk menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Kewarganegaraan yang berjudul “Hak Asasi Manusia dan Rule of Law” Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.

Makalah tentang ulasan mengenai Hak Asasi Manusia dan Rule of Law ini diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kewarganegaraan. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memberikan informasi lebih jauh mengenai pengertian, konsep dasar Rule of
Law serta mengenai hubungannya dengan negara dan HAM kepada pembaca.

Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran baik secara tertulis ataupun secara lisan,
khususnya kepada Dosen pengampu mata kuliah Kewarganegaraan Bapak Dr. Sumardi,
M.HUM. agar penulis bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya, khususnya memahami
tentang Kewarganegaraan pada materi ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu kami selama proses penyelesaian makalah kewarganegaraan ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mohon maaf apabila ada salah kata atau tutur kata
yang kurang berkenan. Semoga makalah ini nantinya akan bermanfaat bagi pembaca
sekalian. Terima kasih.

Penyusun,

Jember, 14 Maret 2020


DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB 1...................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia.................................................................................................6
2.1.1 Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Progresif.......................................11
2.1.2 Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Positif.............................................14
2.2 Sejarah Terbentuknya Hak Asasi Manusia....................................................................18
2.2.1 HAM generasi pertama............................................................................................24
2.2.2 HAM generasi kedua................................................................................................25
2.2.3 HAM generasi ketiga.................................................................................................26
2.3 Pengertian dan Lingkup Rule Of Law...................................................................................26
2.3.1 Prinsip-prinsip Rule of Law.....................................................................................26
2.3.2 Perkembangan Rule Of Law.....................................................................................31
2.3.3 Sejarah Terbentuknya Rule Of Law......................................................................31
2.3.4 Latar Belakang Kelahiran Rule Of Law..................................................................34
2.4 Penegakan HAM di Indonesia.........................................................................................34
2.5 Pelanggaran HAM............................................................................................................38
2.5.1 Hambatan Dalam Pelanggaran HAM.....................................................................40
2.5.2 Keterkaitan antara Rule of Law dengan HAM.......................................................46
BAB III...............................................................................................................................................49
KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................................................49
3.1 KESIMPULAN..................................................................................................................49
3.2 SARAN...............................................................................................................................49
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebelum membahas tentang hakikat Hak Asasi Manusia dan Rule Of Law, terlebih
dahulu akan dijelaskan pengertian dasarnya. Pada Hak Asasi Manusia hak sendiri diartikan
sebagai unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman dalam berperilaku, melindungi
kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat
dan martabat. Hak mempunyai beberapa unsur yaitu pemilik hak, ruang lingkup penerapan,
dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut saling menyatu antara
satu dengan yang lain dan membentuk pengertian dasar tentang hak.
Rule Of Law merupakan suatu doktrin yang mulai muncul pada abad ke-19,
bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi dimana konsepnya tentang
Common Law yaitu segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya
menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian.
Suatu negara memiliki Rule Of Law jika rakyatnya telah benar-benar mendapatkan keadilan
dalam kehidupan.
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar pemberian tuhan yang tidak dapat dicabut
dengan semena-mena tanpa ketentuan hukum. Hak Asasi Manusia juga tidak dapat dibagi-
bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Sehingga harus dihormati, dijaga dan
dilindungi oleh individu, masyarakat dan negara. Secara konseptual Hak Asasi Manusia dapat
dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut “Dianugerahkan secara alamiah” oleh alam
semesta, tuhan, atau nalar. Tidak hanya itu Hak Asasi Manusia juga dianggap sebagai
perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas.
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak terlepas dari hukum, mulai dari norma, nilai,
aturan dan tata krama, hingga hukum perundang-undangan dalam peradilan. Namun, hukum
di negara Indonesia ini masih sangat kurang dalam proses penegakannya, terutama penegakan
hukum di kalangan pejabat-pejabat tinggi dibandingkan dengan penegakan hukum di
kalangan menengah sampai kalangan bawah. Hal ini terjadi karena di negara Indonesia
hukum dapat dibeli dengan uang. Siapa pun yang memiliki kekuasaan, dia yang akan
memenangkan peradilan.
Dengan kenyataan seperti itu, pembenahan peradilan di negara kita khususnya
Indonesia dapat dimulai dari diri sendiri dengan mempelajar norma atau hukum sekaligus
memahami dan menegakkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keadilan yang
benar. Dalam pembahasan ini, dibahas mengenai keadilan agar dapat ditegakkan sesuai
aturan.
Terkait tentang hak asasi manusia ,maka sangat penting sebagai makhluk ciptaan
Tuhan harus saling menjaga dan menghormati hak masing-masing individu. Namun, pada
kenyataannya kita melihat perkembangan hak asasi manusia di negara ini masih banyak
terjadi pelanggaran yang sering kita temui di dalamnya. Melanggar hak asasi manusia
seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia
memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu
Komnas HAM.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan ruang lingkup HAM dan Rule Of Law ?


2. Sejarah terbentuknya HAM dan Rule Of Law?
3. Bagaimana perkembangan HAM dan Rule Of Law di Indonesia ?
4. Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dan apa saja hambatannya ?
5. Apa saja pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia ?
6. Apa kaitan antara HAM dan Rule Of Law?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini, yaitu :


a. Untuk mengetahui pengertian Hak Asasi Manusia dan Rule of Law, serta
mengetahui ruang lingkup Hak Asasi Manusia dan Rule of Law
b. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya HAM dan Rule Of Law
c. Untuk mengetahui perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
d. Untuk mengetahui pelanggaran apa saja kah yang sering terjadi terkait dengan
Hak Asasi Manusia maupun Rule of Law
e. Agar mahasiswa mengerti, memahami dan menerapkan HAM dalam kehidupan
sehari-hari
f. Untuk mengetahui kaitan antara HAM dan Rule of Law
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak secara definisi merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berperilaku, melindungi, kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak. Dengan demikian hak merupakan
unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada
dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya
antara individu atau dengan instansi.1

Hak telah terpatri sejak manusia lahir dan melekat pada siapa saja. Di antaranya adalah hak
kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusian, hak cinta kasih sesama, hak indahnya
keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak
kesadaran, hak untuk tenteram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk
dilindungi dan melindungi, dan sebagainya. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan
bahwa hak adalah (1) yang benar, (2) milik kepunyaan, (3) kewenangan (4) kekuasaan untuk
berbuat sesuatu (5) kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, dan (6)
derajat atau martabat. Pengertian yang luas tersebut mengandung prinsip bahwa hak adalah
sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) pemilik keabsahan untuk menuntut
sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas
sesuatu, maka orang tersebut dapat melakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki,
atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya
hak asasi manusia

Hak asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar (grounded). HAM
menyatakan bahwa pada dimensi kemanusiaan manusia memiliki hak yang bersifat
mendasar. Hak yang mendasar itu melekat dengan jati diri kemanusiaan manusia. Siapa pun
manusianya berhak memiliki hak tersebut. Berarti, di samping keabsahannya terjaga dalam
eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk bisa
mengerti, memahami, dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.

Hak-hak asasi merupakan suatu perangkat atas asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang
kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan sesama
manusia. Inti paham hak asasi manusia, menurut Magnis Susesno terletak dalam kesadaran
bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijunjung tinggi kecuali setiap manusia
individual tanpa diskriminasi dan tanpa kekecualian dihormati dalam keutuhannya.

1
Kuntjoro Purbopranoto, HAM dan Pancasila, Pradya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 16.
The Cambridge dictionary of philosophy, buku yang di edit oleh Robert Audi, memberikan
penegasan tentang hak sebagai berikut:

Rights, advantageous positions conferred on some processors by law, morals, rules,


or other norms. There is no agreement on the sense in which rights are advantages.
Will theories hold that rights favor the will of the processor over the conflicting will
of some other party, interest theories maintain that rights serve to protect or
promote the interest of the high holder.

Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru tetap melekat sebagai
pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusiaan, terlepas dari perbedaan jenis kelamin, warna
kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Inilah selanjutnya yang
menghasilkan lahirnya konsep HAM. Dengan kata lain HAM merupakan puncak
konseptualisasi pemikiran manusia tentang hakikat dirinya. Manusia adalah pengembang
fitrah kemanusiaan yang bersifat universal.

Adapun mengenai hak-kewajiban (rights-duty), Paton menegaskan bahwa antara keduanya


terdapat beberapa relasi hukum, yang masing-masing karakteristik yang berbeda.
Menurutnya, ada 4 unsur mutlak terpenuhinya hak hukum yaitu:

(1) The holder of the rights;


(2) The act of forbearance to which the right relates;
(3) The res concerned ( the object right );
(4) The person bound by the duty. Every rights therefore, is a relationship between two
or more legal persons, and only legal persons can be found by duties or be the
holders of legal rights. Rights and duties are correlatives, that is we cannot have a
right without corresponding duty or a duty without corresponding right.
Dengan ungkapan lain, Sudikno Merto Kesumo dikutip dari bukunya Satya Arinanto,
mengatakan bahwa setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai
dua segi yaitu satu pihak sebagai hak dan pihak lain adalah sebagai kewajiban. Tidak ada hak
tanpa kewajiban atau sebaliknya hal ini bahwa hukum berbeda dengan hak dan kewajiban
walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan sehingga lahirlah hak dan kewajiban.

Hak dan kewajiban menurutnya adalah, bukanlah kumpulan peraturan atau kaidah melainkan
perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada
kewajiban bagi pihak lain dengan kata lain Sudikno mengatakan bahwa hak dan kewajiban
merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum. Sesungguhnya istilah
HAM sendiri terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Asasi Manusia
yang selanjutnya disebut HAM perspektif sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan
kisah manusia dalam pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimiliknya
dan kedudukannya sebagai subyek hukum. Dalam negara terdapat tanggung jawab utama
dalam pemajuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, setiap orang juga
berkewajiban menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, sebagaimana di amanatkan pada Pasal 28 ayat 1 UUDNRI Tahun
1945. Hak dan kewajiban asasi merupakan Inalienable rights and duty. Untuk menangkap
pesan aktual HAM, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahaminya
secara utuh sebagai bagian dari perkembangan pemikiran dan peradaban manusia. Tanpa
penguasaan yang utuh terhadap aspek tersebut, maka kaji ulang dan rekonstruksi HAM akan
mengalami hambatan fundamental yakni keringnya napas kesejarahan dan minusnya
sandaran teoritis konstektual terhadap HAM. Itu berarti, pengembangan HAM akan
berbenturan dengan aspek terdalamnya yakni manusia itu sendiri. Perkembangan pemikiran
HAM juga mengalami peningkatan ke arah kesatu paduan antara hak–hak ekonomi, sosial,
budaya, politik, dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak untuk
pembangunan (the rights to development). Inilah generasi HAM ketiga hak atas atau untuk
pembangunan mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju berlaku bagi segala
bangsa dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa
tersebut hak ini meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sekaligus
menikmati hasil-hasil tersebut. Menurut G.J. Wolhhoff, hak asasi manusia adalah sejumlah
hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap oknum pribadi manusia justru karena
kemanusiaannya, yang tak dapat dicabut oleh siapa pun juga, karena bila dicabut hilang juga
kemanusiaannya.

Marbangun Hardjowirogo menuliskan hak-hak asasi manusia adalah hak yang diperlukan
manusia bagi kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat dan hak-hak itu meliputi hak
ekonomi, sosial dan kultural, demikian juga hak-hak sipil dan politik.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan: Hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Berdasarkan uraian tentang HAM yang telah tersebut diatas, dapat disebutkan bahwa ciri-
ciri HAM sebagai berikut:

1. Hak tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis.
2. Hak asasi berlaku dan dimiliki untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin,
ras, agama, etnis, pandangan politik, atau asal usul sosial, bangsa. Semua manusia
lahir dengan martabat yang sama.
3. Hak asasi manusia tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk
membatasi atau melanggar hak orang lain, orang tetap mempunyai HAM, walaupun
sebuah negara membuat hukum yang tidak melindung atau melanggarnya.
Selanjutnya Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori, yaitu: hak sipil, hak
ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama di hadapan
hukum, hak bebas dari kekerasan, hak bagi kelompok anggota masyarakat tertentu, dan hak
hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan
pendapat di khalayak umum. Hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan
kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari
hak memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan, dan hak memperoleh
perumahan dan pemukiman.

Seiring dengan otonomi daerah terjadi pengalihan kewenangan untuk menjamin pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah. Oleh karenanya, kini Pemerintah Daerah secara yuridis menanggung kewajiban
untuk memenuhi HAM warga sesuai dengan wilayah administrasinya. Khusus untuk
otonomi dititik beratkan pada Pemerintah Daerah Provinsi tidak pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Kewenangan Pemerintah daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta bidang lain sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah
Provinsi diserahi kewenangan untuk menegakkan HAM. Dari kewenangan politik yang ada
inilah pemerintah daerah berkewajiban untuk memenuhi seluruh hak ekonomi, sosial, dan
budaya warganya tanpa memilih usia, gender, latar belakang sosial, agama, dan pandangan
politiknya. Pemenuhan hak atas pendidikan bagi masyarakat internasional menempati
prioritas utama dalam menokohkan eksistensi diri sebagai manusia. Pasal 26 UU HAM
dengan tegas menyatakan :

1. Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis setidaknya untuk
tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan
pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang dan
pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang berdasarkan
kepantasan.
2. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas luasnya serta
memperkukuh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi,
pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di
antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama serta harus mengajukan kegiatan
perserikatan bangsa-bangsa dalam memelihara perdamaian dan.
3. Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan
diberikan kepada anak-anak mereka.
Syed yang dikutip dari bukunya Satya Arinanto, memberikan komentar atas pasal ini
menurutnya sebagai sebuah rezim hak atas pendidikan merupakan satu kesatuan bangunan
sistem hukum ham internasional. Dalam upaya memajukan hak atas pendidikan Negara wajib
memajukan nilai-nilai HAM dalam kurikulum pendidikan yang selaras dengan kontrak HAM
universal. Ia menegaskan sebagai berikut:

Pasal 13 Ayat (2) ICESCR juga mengonfirmasi pemerintah untuk mengambil langkah-
langkah cerdas dalam pemenuhan Hak atas pendidikan. Akses terhadap keseluruhan jenjang
pendidikan harus menjadi perhatian untuk pemerintah, selengkapnya Pasal 13 Ayat (2)
sebagai berikut :

Negara pihak dalam kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara
penuh.

a. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang.
b. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya termasuk pendidikan teknik dan
kejuruan tingkat kelanjutan pada umumnya harus tersedia dan terbuka bagi semua
orang dengan segala cara yang layak dan khususnya melalui pengadaan pendidikan
cuma-cuma secara bertahap.
c. Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar
kemampuan dengan cara yang layak khususnya melalui pengadaan pendidikan Cuma-
cuma secara bertahap.
d. Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi-bagi
orang-orang yang belum mendapatkan atau belu menyelesaikan pendidikan dasar
mereka.
e. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif
diupayakan suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi
material stap pengajar harus terus menerus diperbaiki.
HAM hak atas pendidikan memberikan arti penting bagi upaya pemenuhan HAM secara luas.
Penegasan ini penting artinya bagi upaya membangun kesadaran kolektif terhadap
pemenuhan hak atas pendidikan. Hak atas pendidikan berkaitan erat dengan hak sipil dan
politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan ungkapan lain Coomans dikutip dari
bukunya Satya Arinanto, mengatakan bahwa hak atas pendidikan adalah hak yang
memberdayakan (empowerment rights). Hak atas pendidikan serta efektif, memberi
pengaruh langsung bagi penikmatan dan pemenuhan hak-hak lainnya. Bagi Coomant
pemenuhan terhadap hak pendidikan adalah pemenuhan bagi jati diri dan kemartabatan
manusia. Sejalan dengan itu Manfred Nowak menegaskan education is a precondition for the
exercise of human rights. Dalam kaitan itu Nowak mengingatkan kita tentang pentingnya
pendidikan dan pendidikan HAM, sebagai bagian dari HAM.

UUDNRI tahun 1945 alinea ke 4 menegaskan bahwa salah satu tujuan pembentukan
pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan dasar ini maka pendidikan nasional harus dipahami
sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pembentukan Negara Indonesia. Pendidikan
nasional merupakan elemen dasar pembangunan nasional yang mampu menghantarkan
kemartabatan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Konsiderans UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya UU


SISDIKNAS), dengan tegas menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan
secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, atas dasar inilah kebijakan pembangunan
nasional dibidang pendidikan mesti dijalankan dengan sungguh-sungguh. Mengacu pada
ketentuan Pasal 31 Ayat (1) UUDNRI tahun 1945 pendidikan merupakan hak setiap warga
Negara implikasi yuridisnya adalah lahirnya kewajiban konstitusional bagi Negara dalam hal
ini pemerintah, untuk merealisasikan kewajiban itu dengan maksimal pula.
2.1.1 Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Progresif
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-
kata hitam-putih perundangan, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari
undang-undang atau hukum. Penerapan hukum progresif, mengarahkan hukum yang
dihasilkan oleh proses legislasi , yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan
keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak pintu masuk bagi penerapan hukum progresif
dalam praktik pengadilan di Indonesia, secara formal telah diberikan oleh Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hukum progresif berbeda
dengan hukum positif. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi
alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia
dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk
manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status Law in the
making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah:

1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.


2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang
tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4. Bersifat kritis dan fungsional.
Konsep hukum progresif yang dikemukakan oleh Soetjipto Rahardjo bilamana diartikan
secara sederhana berarti “bagaimana” membiarkan hukum tersebut mengalir untuk
menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan. Adapun pokok-pokok
pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatick dan berbagi


paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sosiological jurisprudence,
interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies.
2. Hukum menolak pendapat, bahwa ketertiban (order), hanya bekerja melalui institusi-
institusi kenegaraan.
3. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum.
4. Hukum menolak status-dua serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi
yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
5. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
6. Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat” dan “ hukum yang pro keadilan”.
7. Asumsi dasar hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada
masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan
manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum.
8. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat
bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang
merupakan penentu.
9. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the
making).
Soetjipto Rahardjo secara tegas menyampaikan hukum progresif menolak tradisi
analytical yurisprudensi atau rechdogmateik, dan berbagai paham dengan aliran legal
realism, freirechtslehre, sociological jurisprudensi, interesenjurisprudenze, teori hukum
alam dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan
sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari
dominasi suatu tipe hukum liberal.

Ide utama dari hukum progresif adalah membebaskan manusia dari belenggu hukum.
Hukum berfungsi memberi panduan bukan justru membelenggu, manusia-manusialah
yang lebih penting. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu
sendiri. Asas praduga tak bersalah terdapat ketentuannya dalam KUHAP dan Undang-
undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP terdapat
ketentuannya pada butir tiga bagian C yang rumusannya sebagai berikut:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Berdasarkan dari ketentuan KUHAP dan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 maka
dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang masih disangka-sangka belum ada putusan
pengadilan maka dianggap tidak bersalah sampai adanya kekuatan hukum tetap. Asas
praduga tak bersalah secara tersirat juga terdapat dalam di dalam ketentuan Magna Charta
1215 yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya HAM dilingkup internasional. Menurut
Living Stone Half, Pasal 39 dalam Magna Charta menentukan bahwa:

“Tidak seorang pun boleh dikurung dirampas miliknya, dikucilkan atau diambil
nyawanya, kecuali melalui hukuman yang sah oleh negaranya.”

Hak-hak tersangka dijamin dan dilindungi oleh undang-undang dalam proses


penanganan perkara pidana, hal ini menunjukkan bahwa KUHAP menghormati dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dengan memberikan perlindungan dan
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (tersangka). Dengan demikian diperoleh jaminan
bahwa tujuan akhir dari KUHAP yakni untuk menegaskan kebenaran dan keadilan secara
konkret dalam suatu perkara pidana. Perlu disadari bahwa proses hukum yang adil tidak
sekedar menerapkan peraturan perundang-undangan, namun lebih kepada sikap kita
dalam menghargai hak-hak setiap individu (termasuk tersangka dan terdakwa)
sebagaimana terkandung dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan ialah
hak segala bangsa”. Kita pun harus ingat bahwa diri kita, kita dapat mendisiplinkan diri
untuk tidak melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukankah kita tidak dapat bebas dari
risiko menjadi seorang “tersangka” kemudian pula “terdakwa?” disinilah letak pentingnya
kita memperjuangkan tegaknya hak-hak tersangka/terdakwa untuk :
1. Didengar penjelasannya;
2. Didampingi oleh penasihat hukum;
3. Dibuktikan kesalahannya oleh penuntut umum;
4. Dihadapkan pada pengadilan yang adil dan tidak berpihak.
Pasal 27 ayat (1) berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Ketentuan dalam UUD 1945 diatas, dapat ditemukan ketentuannya
dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1)
yang berbunyi: “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”.
2. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersirat di dalam
bagian menimbang huruf a yang berbunyi: “bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum yang berdasarkan atas Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan penjelasan umum
butir 3 huruf a yang berbunyi: “perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka
hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.
3. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi:
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hukum”, dan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang diakui sebagai manusia
pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang
sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”.
4. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tersirat di dalam Pasal
10 yang berbunyi: “dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum
acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan
ketentuan hukum acara pidana”.
Di dalam KUHAP terdapat 7 (tujuh) asas umum dan 3 (tiga) asas khusus yaitu
sebagai berikut:

 Asas umum
1) Perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi apa pun;
2) Praduga tidak bersalah;
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum;
5) Hak kehadiran Terdakwa di hadapan pengadilan;
6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7) Peradilan yang terbuka untuk umum.
 Asas khusus
1) Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penggeledahan, penahanan
dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan
surat perintah tertulis;
2) Hak seorang Tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
3) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-
putusannya.
Setiap orang berhak memperoleh putusan yang adil dan tidak membeda-bedakan,
dengan berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di hadapan persidangan. Menurut Mardjono
Reksodiputro, perlakuan yang sama di depan hukum tidak harus ditafsirkan terhadap
Terdakwa yang berbeda kedudukan atau kekayaannya tetapi harus lebih dari itu. Oleh karena
itu, disini adalah wajib dihindarinya diskriminasi berdasarkan : “race, sex, language,
religion, national or social origin, property, borth or other status”. 21 KUHAP melihat
peradilan dalam konteks hukum yang adil melalui asas praduga tak bersalah dan asas
kesamaan kedudukan di hadapan hukum, dalam ketentuan di dalamnya telah termaktub
tujuan menuju sistem hukum berbasis due preprocess law, namun tampaknya masih saja
banyak penyelewengan kedua asas tersebut. Indonesia benar adalah negara hukum yang
menjunjung tinggi hak-hak manusia sesuai dengan pertimbangan pertama dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi : “bahwa negara
Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta yang menjamin
segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

2.1.2 Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Positif

Dalam kaca mata aliran hukum positif, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa
atau inti aliran hukum positif ini menyatakan bahwa norma hukum adalah sah apabila ia
ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang berwenang dan didasarkan pada aturan yang lebih
tinggi, bukan digantungkan pada nilai moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain
adalah Undang-undang. Undang-undang adalah sumber hukum, di luar Undang-undang
bukan hukum. Teori hukum positif mengakui adanya norma hukum yang bertentangan
dengan nilai moral, tetapi hal ini tidak mengurangi keabsahan norma hukum tersebut.

Sebagai cermin dari kesungguhan negara Indonesia dalam menghormati, melindungi,


dan memajukan HAM bagi warganegaranya, kemudian disahkan sejumlah UU seperti:

a. UU No. 8/1999 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat;


b. UU No. 39/1999 tentang HAM;
c. UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
d. Amandemen berbagai UU untuk diselaraskan dengan prinsip-prinsip HAM,
seperti UU Parpol, UU Kekuasaan Kehakiman, pencabutan Penpres No.
11/1963, dsb.
e. Diluncurkan Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) dalam rangka
memberikan jaminan bagi peningkatan pemajuan dan perlindungan HAM di
Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan
agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Secara normatif, hal yang cukup menggembirakan dalam perlindungan HAM di
Indonesia adalah diterbitkannya UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan HAM. Menurut Penjelasan Umum UU No. 39/1999, posisi hukum UU tersebut
“adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM. Oleh
karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi
pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. UU No. 39/1999 secara rinci mengatur tentang: hak untuk hidup dan hak untuk
tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri,
hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas
kebebasan beragama. Semua hak itu terumus dalam Bab III di bawah judul HAM dan
Kebebasan Dasar Manusia (Pasal 9 - Pasal 66).

UU No. 39/1999 juga mengatur tentang Kewajiban Dasar Manusia. Dalam Pasal 69
ayat (2) dirumuskan bahwa: “Setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas
Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”. Bahkan
dalam Pasal 71 disebutkan bahwa masalah itu bukan hanya tugas pemerintah saja, namun
pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan
memajukan HAM. Di samping perkembangan HAM dalam instrumen hukum nasional yang
menggembirakan tersebut, dalam catatan ELSAM ada ironi terkait dengan legislasi HAM di
tingkat daerah. ELSAM mencatat, otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 yang telah
diganti dengan UU No. 32 /2004 ternyata berdampak banyaknya produk hukum daerah,
terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap bermasalah. Oleh karena itu, Perda-perda yang
demikian itu perlu ada perhatian tersendiri mengingat Perda merupakan satu kesatuan yang
tidak bias dilepaskan dari sistem peraturan Perundang-undangan Indonesia.

Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila
sebagai dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat. Baik yang menyangkut
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia
dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang
terdapat pada Pancasila. Dalam Undan-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada
deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain
yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia. Materi Undang- Undang ini tentu saja harus
disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.

Memperhatikan hukum positif suatu negara, tidak dapat dilepaskan dengan sistem
hukum yang berlaku di negara tersebut. Karena itu, dasar negara Pancasila yang terdiri atas
lima sila, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditambah
Pembukaan UUD 1945, terutama alinea pertama yang menyatakan: “Kemerdekaan ialah hak
segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan”, serta alinea kedua “kemerdekaan negara
menghantarkan rakyat-rakyat merdeka, bersatu, adil, dan makmur”, mengindikasikan
Indonesia adalah negara demokrasi, menjunjung tinggi supremasi hukum, serta
menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia. Apa yang digariskan di dalam
Pembukaan UUD 1945 merupakan arah dan politik hukum dalam tatanan makro, kemudian
diformalkan dalam bentuk peraturan perundangan oleh lembaga politik/DPR dan
dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah
dan peraturan lainnya sebagai pegangan para birokrat.

Karena itu, dasar negara yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 yang
keputusan dan pilihan bapak-bapak pendiri negara (the founding father), wajib menjadi
pegangan setiap pemerintahan di dalam mengisi kemerdekaan, khususnya yang terkait
dengan hak asasi manusia. Hal itu terbukti dengan pengakuan beberapa hak mendasar
tersebut dalam UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, meski UUD itu disusun dalam waktu yang singkat, dari tanggal 29 Mei
sampai dengan 16 Juli (Pide, 1999: 63). Hak-hak tersebut diantaranya adalah hak atas
kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah, hak untuk menganut agama dan
menjalankan ajaran agama/kepercayaannya, hak untuk mengemukakan pendapat, hak untuk
berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan
lain-lain. Di situlah jantung dan nafas perjuangan bangsa, disitulah politik hukum dan pilihan
hukum yang tidak dapat ditawar-tawar oleh siapa pun dan pemerintah dari kelompok/partai
mana pun juga, yaitu membangun demokrasi dan penegakan hukum, vinito.

Sila pertama dari Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Konsekuensi lebih
lanjut ialah bagaimana kalau ada warga negara Indonesia yang ateis (tidak percaya kepada
Tuhan). Pada sila pertama ada kesan “memaksa” bahwa warga negara harus ber-Tuhan.
Pemaksaan kepercayaan dikesankan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dalam
konsep HAM, termasuk aliran sempalan dari mainstream agama tertentu, Islam misalnya
terhadap Ahmadiyah. Undang-undang Dasar 1945 (yang telah di amandemen), masalah
mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara khusus dalam bab XA pasal 28A sampai
dengan 28J yang merupakan hasil amandemen kedua tahun 2000. Pemerintah dalam hal
untuk melaksanakan amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, di
bentuklah Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23
September 1999 telah disahkan Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi
Manusia.

Pertama, definisi pelanggaran Hak Asasi Manusia dideskripsikan sebagai setiap


perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang- Undang ini, dan tidak mendapatkan atau di khawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku (pasal 1 ayat 6).

Kedua, hak untuk hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat di kecualikan
dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ketiga, dalam Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan
semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi
manusia yang di jamin oleh hukum Indonesia oleh negara Republik Indonesia menyangkut
Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional.

Keempat, di dalam Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai
berikut : Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di bentuk pengadilan
dalam ayat (1) di bentuk dengan Undang- Undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun
sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (2)
di adili oleh pengadilan yang berwenang. Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) Undang- Undang
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa yang berwenang
mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undan-undang
(Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia yang bertugas
menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Namun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang pengadilan hak asasi
manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia menjadi Undang-undang dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tersebut di cabut.

Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perbuatan yang dilaksanakan sebagai bagian


dari serangan yang meluas ataupun sistematik yang diketahuinya bahwa akibat serangan itu
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan, pemusnahan,
pembudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan
atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin maupun alasan lain yang telah diakui secara Universal sebagai hal yang
dilarang oleh hukum internasional, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid.
Dari berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi telah mendorong
munculnya suatu usulan untuk membantu pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc untuk kasus-
kasus pelanggaran.

Hak Asasi Manusia berat di Aceh. Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usulan
kepada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia ad
hoc telah disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
a. Contoh kasus:
Nenek Minah yang berusia 55 tahun tak pernah menyangka perbuatan isengnya
memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan
menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Kejadian ini berawal saat
Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Lahan garapan
Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang seru
memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari
sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di
tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan
digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang
mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik
buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun
diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar
perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan
melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor
tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaannya
meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia
mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai
akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan
Negeri (PN) Purwokerto.
b. Putusan
Minah dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman enam bulan penjara. Hakim memfonis hukuman 1 bulan 15 hari dengan
masa percobaan selama 3 bulan. Vonis yang dihadapi Minah tidak sebanding dengan
harga kakao yang konon dicurinya. Harga satu kilogram kakao basah saat ini sekitar
Rp7.500. "Itu kalau biji kakao telah dikerok dari buahnya," kata Amanah (70), kakak
Minah. Menurut dia, dari tiga butir buah kakao hanya menghasilkan tiga ons biji kakao
basah. "Jika dijual, harganya sekitar Rp2.000," katanya. Akan tetapi dalam dakwaan
yang ditujukan kepada Minah, jumlah kerugiannya mencapai Rp30 ribu atau Rp10
ribu per butir. Dia mengaku heran terhadap dakwaan yang ditujukan kepada adiknya
karena selama ini dalam pemberitaan di televisi, banyak pelaku tindak pidana korupsi
yang menggerogoti keuangan negara ratusan juta hingga miliaran rupiah, hanya
dituntut hukuman maupun vonis yang ringan.

2.2 Sejarah Terbentuknya Hak Asasi Manusia

Berpegangan pada batasan-batasan sederhana yang ada di dunia, dapat dikatakan


bahwa HAM ada sejak manusia ada, karena syarat untuk memiliki HAM itu sendiri hanya
ada satu, yaitu ia adalah manusia. Persoalannya kemudian yaitu bagaimana cara hukum
mengatur HAM sebagai suatu aturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa. Berbicara tentang HAM tidak dapat dilepaskan dari 2 teori,
yaitu teori hukum alam dan teori positivisme. Menurut Teori hukum alam, hukum berlaku
universal dan abadi, berlakunya tidak tergantung pada tempat dan waktu. Hukum alam
berlaku di mana saja dan kapan saja. Dengan demikian, dalam kajian hukum alam, HAM
berlaku kapan saja dan di mana saja, mengikuti sejarah manusia. 2
Ada dua teori/ aliran utama yang mendasari hukum alam, yaitu aliran rasional dan
aliran irasional. Aliran irasional, menganut paham bahwa hukum (alam) berasal dari perintah
Tuhan. Dengan demikian apabila seseorang percaya kepada Tuhan, maka harus juga percaya
bahwa HAM adalah hak yang berasal dari Tuhan yang harus dipatuhi. Aliran rasional
berpendapat bahwa hukum alam berasal dari pikiran manusia, sehingga apabila manusia
merupakan makhluk berakal maka seharusnya ia akan menghormati HAM. Melalui
pandangan teori hukum alam ini, diharapkan kita dapat memahami bagaimana kedudukan
HAM dalam hukum.
Menurut Positivisme, hukum adalah kehendak penguasa, sehingga hubungan hukum
dengan HAM, dianggap sebagai kehendak para penguasa sehingga pengaturannya sangat
tergantung dari penguasa. Secara telaahan teoretik, positivisme, dan juga utilitirianisme
merupakan aliran yang ‘menyerang’ konsep hak dasar yang dipelopori teori hak kodrat atas
dasar teori hukum kodrat (hukum alam). Jeremy Bentham, filsuf utilitarian dari Inggris,
dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan menyatakan bahwa hak adalah
anak kandung hukum. Dari hukum riil lahir pula hak-hak riil, namun dari hukum imajiner
(hukum kodrati), yang dikhayal dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam
rupa racun moral dan intelektual- lahirlah hak-hak rekaan. Hak-hak kodrati adalah omong
kosong yang dungu dimana hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong
yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya. Dinyatakannya lebih lanjut
bahwa hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah.
Pernyataan bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia. Pada tengah malam 10
Desember 1948, Majelis Umum Amerika, Bangsa-bangsa diadopsi di Sesi Paris, Deklarasi
Human Eights. 3 Sekarang pencapaian pertama di bidang ini telah tercapai, sekarang saatnya
untuk mempertimbangkan situasi hukum secara teoretis, historis, kritis, dan terlihat pada
tugas yang lebih penting dan lebih sulit yang masih harus dilakukan. Perjuangan untuk "hak-
hak manusia" pertama kali dilakukan di negara bagian. Negara-kota Yunani yang demokratis,
yang pada saat yang sama Gereja, bahkan tidak tahu hak warga negara penuh terhadap
negara. Bahkan lebih sedikit ada hak untuk semua pria. Bahkan Aristoteles berbicara tentang
2
Kertha Widya, “Sejarah Perkembangan Konsep Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum, Vol. 2 No. 1, Agustus 2014, 112

3
Universal Declaration of Human Eights, U.N. Doc. A/811, Dec. 16, 1948; Department of State Publication No. 3381 (International
Organization and Conference Series I I I , 20).
manusia yang secara alami atau budak. Benar, kaum Stoa menentang perbudakan, dan para
ahli hukum Romawi kemudian mengambil alih hukum kodrat Stoic; tetapi mereka tidak
pernah meragukan bahwa hukum positif perbudakan menang.
Di "zaman akal", perjuangan untuk hak-hak manusia didasarkan hukum kodrat
karakter revolusioner. Mengatakan bahwa "hak manusia" melekat, tidak dapat dicabut, sudah
ada sebelumnya untuk negara yang harus dilindungi negara, tetapi tidak bisa melimpahkan,
adalah senjata yang tangguh dalam pertempuran politik melawan tirani. Tidak ada keraguan
bahwa banyak perumusan RUU Hak "diambil dalam bahasa ideologis abad kedelapan belas.
Namun seberapa besar pengaruh "usia akal" dalam hal ini, itu akan menjadi kesalahan untuk
percaya bahwa gagasan "hak-hak manusia" adalah tidak dikenal pada Abad Pertengahan. Dua
sumber lagi tidak boleh dilupakan. Pertama, Kekristenan yang membawa ide ini. Hukum
kodrat Katolik sebagai berikut diungkapkan oleh St Thomas dari Aquinas dan oleh orang-
orang Spanyol, Francisco de Vitoria 4dan Suarez, mengajarkan kesetaraan bagi semua pria.
Itu adalah Katolik hukum kodrat yang menekankan martabat manusia sebagai makhluk yang
rasional, berpartisipasi dalam lex aeterna, dibuat untuk gambar Allah dan memiliki takdir
abadi Ini adalah hukum kodrat Katolik yang tidak mengenal diskriminasi.
"Di Pan America, Konferensi Kota Meksiko tahun 1945 menuntut Komite Yurisdiksi
Antar-Amerika untuk merumuskan Deklarasi Hak dan Tugas Manusia. Piagam Bogota baru
menyatakan dalam Pasal 5, (j) "Hak-hak dasar individu tanpa perbedaan ras, kebangsaan,
kepercayaan atau jenis kelamin, "dan Konferensi Bogota juga mengadopsi "Deklarasi
Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia." Piagam PBB menangani hak asasi manusia
tujuh kali. Perdamaian Perjanjian 1947 memberlakukan kewajiban hukum untuk mengambil
semua musuh mantan musuh langkah-langkah untuk menjamin semua orang di bawah
yurisdiksi mereka menikmati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Norma analog
terkandung dalam Statuta Organik Wilayah Bebas Trieste.

Disini kita memiliki norma hukum positif. Benar, kewajiban terdiri dari respons
undang-undang kota, administrasi dan keadilan; tapi ini hukum kota diperintahkan oleh
hukum internasional. Kegagalan dalam hukum kota merupakan pelanggaran perjanjian. Yang
sepenuhnya berbeda adalah karakter dari artikel yang sesuai di Piagam PBB. 5Mereka bukan
merupakan norma hukum, tetapi hanya prinsip panduan. PBB "akan mempromosikan dan
mendorong," "membantu realisasi," "membuat rekomendasi," "mempromosikan universal

4
In Ms Selecciones de Jndis (1539)
5
For an excellent, sober and strictly legal analysis see Jacob Eobinson, Human Eights and Fundamental Freedoms in the Charter of the U.
N. A Commentary (New York,
6
penghormatan dan kepatuhan terhadap hak asasi manusia; ia tidak bisa melindungi mereka,
tidak bisa mengambil tindakan, terlepas dari kasus pelanggaran HAM itu merupakan bahaya
bagi perdamaian. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 2, ayat 7, yang berisi larangan untuk campur
tangan dalam hal-hal yang pada dasarnya dalam yurisdiksi domestik negara bagian mana pun
(Anggota atau bukan), tindakan apa pun oleh PBB dihalangi, karena, di bawah hukum
internasional yang positif, masalah-masalah ini tidak diragukan lagi berada di bawah
yurisdiksi domestik. Ketika perawatan orang Hindu di Uni Afrika Selatan muncul, bahkan
seorang pria seperti Smuts segera mengangkat penghalang kurangnya yurisdiksi. Meskipun
7
Pendapat Jessup, kami memiliki wewenang Direktur Divisi Human Eights di Sekretariat
PBB bahwa itu terutama karena dugaan pelanggaran perjanjian, bukan karena akun dugaan
pelanggaran hak asasi manusia, yang diterima Majelis yurisdiksi. 8Dalam hal apa pun,
hasilnya hingga sekarang tidak ada.

Karena artikel yang sesuai dari Piagam PBB hanya berisi program prinsip, bukan
norma hukum, dan karena mereka tidak mendefinisikan ini hak dan kebebasan mendasar,
jelas perlu untuk membuat secara hukum norma yang mengikat, mendefinisikan hak-hak ini,
mengeluarkannya dari masalah secara esensial dalam yurisdiksi domestik dan membangun
mesin internasional pelaksanaan. Sebagai amandemen Piagam tidak memiliki kesempatan
dan sebagaimana Pasal 68 membayangkan Komisi Hak Asasi Manusia khusus, cara resolusi
dan rancangan perjanjian telah dipilih. Dalam hampir tiga tahun bekerja Komisi ini, di bawah
kepemimpinan Mrs. Franklin D. Roosevelt, telah dielaborasi Deklarasi Hak Asasi Manusia
yang sekarang telah diadopsi, dan sekarang bekerja pada Kovenan tentang Hak Asasi
Manusia dan Protokol Implementasi. Ketiga dokumen bersama akan membentuk
"International Bill of Hak. "Penyusunannya diikuti dengan minat Amerika Asosiasi Bar.
Deklarasi yang sekarang diadopsi jelas merupakan program maksimal. 31 artikel Deklarasi
menyatakan hak politik, kemudian hak asasi manusia tradisional demokrasi liberal, hak
intelektual dan akhirnya hak ekonomi. Semua hak berasal dari aksioma kardinal bahwa
semua manusia dilahirkan bebas dan setara, dalam martabat dan hak, dan diberkahi dengan
akal dan hati nurani. Semua hak dan kebebasan dimiliki untuk semua orang, tanpa perbedaan
apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau lainnya, asal
kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.

6
That the members of the U. N. already have a certain legal obligation under the preamble and Arts. 1 and 55 of the Charter was stated by
Judge J. M. MacKay, Superior Court of Ontario, in the case Be Drummond Wren (1945, Ont. E. 778). See also P. Sayre, "Shelley v.
Kraemer and United Nations Law," Iowa Law Eeview, Vol. 34, No- 1 (Nov. 1948), pp. 1-11.
7
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations (New York, 1948), Ch. IV (pp. 68-93), at pp. 87 ff.
8
John P. Humphrey, in ' ' The Annals,'' January, 1948, pp. 15-16.
Kaum positivisme berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan
dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia
tidak datang dari “alam” atau “moral”. Gagasan bahwa manusia adalah makhluk yang
seharusnya bebas dari penindasan, dalam catatan sejarah pertama diperjuangkan di Inggris
pada awal abad ke-13, dalam bentuk perjuangan kaum bangsawan melawan Raja John
Lockland yang berkuasa tanpa batas. Kekuasaan demikian menimbulkan tekanan dan
penderitaan luar biasa pada rakyat Inggris. Perjuangan tersebut berujung pada pembatasan
kekuasaan raja, dan diakuinya hak rakyat, yang meliputi: hak kemerdekaan (kebebasan) tidak
boleh dirampas tanpa keputusan pengadilan, dan pemungutan pajak harus dengan persetujuan
dari dewan permusyawaratan. Semuanya tertuang dalam bentuk Piagam Agung, yang lazim
disebut Magna Charta, pada tahun 1215.
Hak asasi manusia yang dikenal saat ini dalam berbagai piagam atau konstitusi
sesungguhnya telah diperjuangkan sejak abad ke 13 di inggris. Pada masa raja Inggris John
Lackland (1199-1216) memerintah secara kehendaknya telah timbul protes keras di kalangan
para bangsawan. Protes tersebut melahirkan sebuah piagam agung yang dikenal dengan nama
Magna Charta. Di dalam piagam ini pengertian hak asasi belum sempurna karena terbatas
hanya memuat jaminan perlindungan terhadap hak – hak kaum bangsawan dan gereja.
Pada tahun 1628 di Inggris pula terjadi pertentangan antara raja Charles I dengan
parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (the house of summons) yang menghasilkan petition
of rights. Petisi ini membuat ketentuan bahwa penetapan pajak dan hak – hak istimewa harus
dengan izin parlemen, dan bahwa siapa pun tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan – tuduhan
yang sah. Perjuangan hak asasi manusia yang lebih nyata terjadi pada tahun 1689 ketika raja
Willem III revolution. Revolusi ini besar mengawali babak baru kehidupan demokrasi di
Inggris dengan suatu perpindahan kekuasaan dari tangan raja ke parlemen. 9
Pada tahun 1689, kembali terjadi gejolak di Inggris, di mana parlemen menyerang
Raja James II, memperjuangkan hak-hak dasar rakyat, yang berujung pada disusunnya
Declaration and Bill of Human Rights 1689, yang memuat pengakuan bahwa hak-hak rakyat
tidak dapat diganggu gugat (dituntut) atas ucapan-ucapannya. Declaration of Independence
Amerika tahun 1776, juga dianggap sebagai tonggak sejarah pengakuan terhadap HAM. Pada
tahun 1789 Rakyat Amerika memperjuangkan sebuah naskah undang-undang yang disebut
Undang-undang Hak (Bill of Rights), yang pada tahun 1791 menjadi bagian dari Undang-
undang Dasar Amerika Serikat.

9
KNHA Manusia - Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997 - academia.edu
Pemerintahan raja yang sewenang – wenang dan kaum bangsawan yang feodalistis
menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis
XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan
nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang
lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional
sebagai perwakilan bangsa Perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah strukturnya
dari feodalistis menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah pemerintah baru.10

Sebelumnya gejolak memperjuangkan HAM terjadi di Perancis antara rakyat


melawan rezim lama dan berakhir dengan dokumen hukum yang disebut Pernyataan Hak-hak
Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits l’home et du Citoyen (1789). Deklarasi
ini dianggap sebagai salah satu puncak perjuangan HAM dan menegaskan, bahwa: semua
manusia dilahirkan bebas dan sama di depan hukum; perbedaan sosial hanya didasarkan pada
kegunaan umum; tujuan negara melindungi hak-hak alami dan tidak dapat dicabut
(dirampas). Hak-hak alami meliputi hak kebebasan, hak milik, hak keamanan, dan hak
perlindungan (bebas dari penindasan). 11
Hak-hak yang diperjuangkan pada umumnya adalah hak-hak politik (political rights)
seperti hak atas kesamaan, hak atas kebebasan, dan hak untuk memilih. Perjuangan tersebut
sebagai telah disebut, mendapat pengaruh besar dari gagasan pemikiran hukum dan politik
yang berkembang saat itu, seperti gagasan hukum alam dari John Locke (1632-1714) dan
Jean Jaques Rousseau (1712-1778).
Gerakan teori hak kodrati mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di
panggung internasional. Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust
Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati.
Setelah kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama Perang Dunia II, gerakan
untuk menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan dirancangnya instrumen
internasional yang utama mengenai hak asasi manusia. Hal ini dimungkinkan dengan
terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya
perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia. Dengan mendirikan PBB,
masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan,
dan karena itu menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap
martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan
kesetaraan negara besar dan kecil.
10
E Sari - Jurnal Demokrasi, 2003 - ejournal.unp.ac.id
11
Kertha Widya, “Sejarah Perkembangan Konsep Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum, Vol. 2 No. 1, Agustus 2014, 114
Gagasan tentang HAM mendapat perluasan pada abad ke-20, dari sekadar hak-hak politik ke
arah hak-hak lain, seperti:
a. hak kebebasan beragama (freedom of religion).

b. Hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat.

c. Hak kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).

d. Hak kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).

Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, pada permulaan Perang Dunia II


merumuskan kembali hak-hak asasi tersebut dengan sebutan The Four Freedom sebagai
bentuk reaksi terhadap tekanan kemanusiaan yang dilakukan oleh Nazi-Jerman.
Pada tahun 1946, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendirikan Komisi Hak-hak
Asasi Manusia (Commission on Human Rights). Pada tahun 1948 Komisi ini menghasilkan
dokumen hukum tentang HAM yang monumental, yang disebut Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Deklarasi ini menjadi cikal bakal
berbagai instrumen HAM yang lahir berikutnya, seperti Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights), dan konvensi Hak-hak
Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) (1966), yang kemudian
berkembang menjadi berbagai perjanjian internasional, baik regional maupun universal. 12
Dalam perkembangannya kemudian dikenal adanya pembabakan dari HAM. Karel
Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, menggunakan istilah “generasi” untuk
menunjukkan pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun
waktu tertentu. Vasak membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang
terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”
2.2.1 HAM generasi pertama.

“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak
sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari
tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan
kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi
kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri
(kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan
jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak

12
Kertha Widya, “Sejarah Perkembangan Konsep Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum, Vol. 2 No. 1, Agustus 2014, 115
milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan
menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak
bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan
proses peradilan yang adil.
Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak
terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap
hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana
individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini
dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun
kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Jadi negara tidak boleh
berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-
hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua,
yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan
hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.

2.2.2 HAM generasi kedua.

“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan.
Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi
atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif:
“hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah
yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini
adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan,
hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan
yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan, dan kesenian.
Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini
sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Dimaksud dengan positif di sini adalah
bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Jadi untuk
memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan
untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut.
2.2.3 HAM generasi ketiga.

“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau
“hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga
atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara
berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif
bagi terjaminnya hak-hak sebagai berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii)
hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan
budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya
hanya mengonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi
manusia terdahulu.
Dalam Hukum Internasional dikenal adanya hak dari negara untuk membatasi atau
menunda pelaksanaan HAM manakala negara dalam keadaan bahaya. Namun, sekalipun
negara dalam keadaan bahaya ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan, yang
disebut non-derogable rights, yaitu meliputi: hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, hak
untuk tidak mendapat perlakuan yang merendahkan harkat martabat manusia, hak untuk
mendapatkan peradilan yang jujur, dan hak untuk tidak diperbudak.

2.3 Pengertian dan Lingkup Rule Of Law

Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi 2


(dua),yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara
hakiki/materiil (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan
umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya Negara. Sementara itu, secara
hakiki, rule of law terkait dengan penegakan rule of law karena menyangkut ukuran hukum
yang baik dan buruk. Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga rule of law harus
menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Rule of law merupakan suatu legalisme
sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem
peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom.

2.3.1 Prinsip-prinsip Rule of Law

Hal-hal yang sering mengemuka dalam kaitannya dengan rule of law, antara lain

(1) masih relevankah rule of law di Indonesia ?

(2) bagaimana seharusnya rule of law itu dilaksanakan ?


(3) sejauh mana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of
law?

Selain itu, (4) apa yang harus dilakukan agar rule of law dapat berjalan efektif ?

Secara Formal Di Indonesia, prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam
pembukaan UUD 1945 yang menyatakan

1. bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, ….karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan “peri keadilan”;
2. ….kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur
3. ….untuk memajukan “kesejahteraan umum”, ….dan “keadilan sosial”
4. ….disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-undang
Dasar Negara Indonesia”
5. “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
6. …..serta dengan mewujudkan suatu “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia.

Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa
keadilan” bagi rakyat Indonesia, juga “keadilan sosial” sehingga pembukaan UUD 1945
bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, inti dari rule of
law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-
prinsip diatas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggaraan
Negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan
atas rasa keadilan terutama keadilan sosial.

Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD
1945, yaitu :

1). Negara Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 Ayat (3))

2).Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan


peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 Ayat 1)warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1)

3).Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 Pasal, antara lain bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta
perlakuan yang di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1).

4).Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D Ayat 2).

Secara Hakiki dalam Penyelenggaraan Pemerintah Prinsip-prinsip rule of law secara


hakiki (materiil) sangat erat kaitannya dengan “the enforcement of the rules of law” dalam
penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi
prinsip-prinsip rule of law. Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian,
menunjukkan bahwa keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada
kepribadian nasional setiap bangsa (sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung oleh
kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis
yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Rule of law ini juga merupakan
legalisme; suatu aliran pemikiran hukum yang didalamnya terkandung wawasan sosial. Rule
of law juga merupakan gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan Negara
yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu yang memiliki struktur sosiologis sendiri.
Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan
sistem peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal,
dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rule of
law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum mencapai hasil yang
optimal sehingga rasa keadilan bisa secara optimal dilaksanakan.

A. Ciri-ciri yang ada dalam rule of law adalah sebagai berikut:


1). Adanya Supremasi Aturan-aturan Hukum
Dengan supremasi aturan-aturan hukum, tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang.
Artinya, seseorang baru boleh dikenakan sanksi hukum jika memang dirinya melakukan
pelanggaran hukum. Hukum reguler bersifat superior dan mutlak, bertentangan dengan segala
pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, serta mencabut hak prerogatif atau bahkan
kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah. Supremasi hukum ini bisa dilihat
sebagai sebuah unsur utama yang menjadi dasar terciptanya masyarakat yang demokratis dan
adil. Jika hukum bisa benar-benar ditegakkan, tidak akan ada kecenderungan pihak yang kuat
bisa bersikap sewenang-wenang dan pihak yang lemah menerima ketidakadilan.
2). Adanya Kesamaan Kedudukan Di Depan Hukum
Semua orang, baik masyarakat biasa maupun pejabat negara berkedudukan sama di
hadapan hukum. Maka, seluruh lapisan masyarakat harus memiliki ketundukan yang setara
kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh Mahkamah hukum umum tanpa terkecuali.
Pihak yang lemah bisa dicabut haknya, bukan karena pihak yang kuat lebih berhak,
melainkan karena pihak yang lemah memang melakukan kesalahan. Hukum memegang
otoritas tertinggi dan semua warga negara, termasuk para pejabat pemerintahan, tunduk pada
hukum dan sama-sama memiliki hak untuk dilindungi.
3). Adanya Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Undang-undang atau keputusan pengadilan menjamin adanya perlindungan untuk hak
asasi manusia. Terdapat karakteristik HAM yang bersifat universal dan harus diakui oleh
setiap negara di dunia. Jaminan akan perlindungan hak asasi manusia ini tertuang dalam
beragam instrumen hukum HAM yang diakui oleh masyarakat internasional. Ada berbagai
doktrin yang memberi ciri-ciri sebuah negara hukum seiring dengan semakin berkembangnya
konsep negara hukum, baik di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon maupun
sistem hukum Eropa Kontinental.
Jika dalam sistem hukum Anglo Saxon negara hukum umumnya disebut sebagai Rule of
Law, lain halnya di negara dengan sistem Eropa Kontinental. Di negara yang menganut
sistem hukum Eropa Kontinental, negara hukum disebut sebagai Rechstaat.
Menurut Frederich Julius Stahl, yang merupakan seorang ahli hukum Eropa Kontinental,
ciri sistem hukum Eropa Kontinental atau Rechtstaat memiliki ciri-ciri seperti berikut ini:
a. Adanya hak asasi manusia.
b. Terdapat pemisahan atau pembagian kekuasaan yang berguna untuk menjamin hak
asasi manusia. Pemisahan ini biasa dikenal dengan istilah Trias Politica.
c. Pemerintahan didasarkan pada peraturan.
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Beberapa ciri negara hukum yang disebutkan di atas, dalam penerapannya di berbagai
negara demokrasi modern, secara keseluruhan umumnya dapat dilaksanakan. Namun, sering
kali teori berbeda dengan praktiknya, atau law in the book berbeda dengan law in action.
Terjadi penyimpangan-penyimpangan antara hukum yang telah dibuat sebagai fungsi rule of
law dengan kenyataan yang terdapat intervensi kekuasaan atas pelaksanaan hukum. Hal ini
bisa terjadi karena adanya gagasan tentang welfare state (negara hukum material) yang
didorong oleh sejumlah faktor akibat ekses industrialisasi dalam sistem kapitalis, paham
sosialisme yang menginginkan adanya pembagian kekayaan secara merata dan kemenangan
beberapa partai sosialisme di Eropa.
Berbeda dengan gagasan hukum formal yang tidak mengizinkan pemerintah ikut
campur dalam kegiatan masyarakat, gagasan negara hukum material justru menuntut
pemerintah untuk ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
pemerintah dituntut untuk berperan aktif. Selain itu, ruang lingkup dari demokrasi pun
diperluas hingga ke bidang sosial dan ekonomi, tidak hanya terbatas pada perlindungan hak
sipil dan politik saja. Dibutuhkan adanya sebuah sistem yang bisa menguasai kekuatan
ekonomi yang bisa memperkecil ketimpangan sosial dan ketidakmerataan distribusi kekayaan
di masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan untuk turut mencampuri berbagai kegiatan
masyarakat dengan membuat regulasi, penetapan dan material dad. Maka, dengan hal tersebut
perumusan kembali ciri-ciri rule of law dipandang perlu. Perumusan kembali ciri-ciri dari
rule of law akhirnya dihasilkan dalam International Commission of Jurist pada konferensinya
di Bangkok pada tahun 1965 yang di dalam rumusan tersebut berisi ciri-ciri negara
demokratis dengan rule of law yang dinamis atau negara hukum material, antara lain:

Terdapat perlindungan konstitusional. Artinya, segala konstitusi selain yang menjamin hak-
hak individu harus juga menentukan cara atau prosedur untuk mendapatkan perlindungan atas
hak-hak yang dijamin.
a. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak kelompok mana pun.
b. Adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat.
c. Pemilihan umum berjalan dengan bebas.
d. Terdapat kebebasan untuk berorganisasi dan berposisi.
e. Pendidikan kewarganegaraan.
Dengan alasan di atas, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqqie, S.H., merumuskan kembali dua belas
prinsip pokok negara hukum (Rechstaat) yang sesuai dengan zaman sekarang. Dua belas
prinsip rule of law ini menjadi pilar utama yang menyangga tegaknya sebuah negara modern
yang menamakan dirinya negara hukum. Dua belas prinsip pokok itu adalah:
1) Supremasi hukum (Supremacy of Law).
2) Persamaan dalam hukum (Equality before the Law).
3) Asas legalitas (Due Process of Law).
4) Pembatasan kekuasaan.
5) Organ-organ eksekutif independen.
6) Peradilan bebas dan tidak memihak, yang merupakan esensi dari sebuah sistem
hukum kota. Institusi peradilan harus bisa bertindak bebas dalam menentukan
keputusannya.
7) Peradilan tata usaha negara.
8) Peradilan tata negara (Constitutional Court).
9) Perlindungan hak asasi manusia.
10) Bersifat demokratis (Democratiche Rechstaat).
11) Memiliki fungsi sebagai saranan mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechstaat).
12) Transparansi dan kontrol sosial.
Di Indonesia, rule of law diterima begitu saja sebagai satu-satunya pemikiran hukum.
Padahal, dalam kenyataannya hukum yang diterapkan sendiri tidak mencerminkan keadilan
sosial dan tidak dekat dengan masyarakat. Dari situ mulai bermunculan tawaran untuk mulai
mempertimbangkan konsep hukum lain yang dinilai lebih dinamis, seperti rule of justice,
rule of social justice, rule of moral, atau rule of Pancasila dalam rangka menciptakan hukum
yang lebih adil dan memihak.
Mochammad Mahfud MD (1999 : 139) menyatakan bahwa konsep negara hukum di
Indonesia merupakan konsepsi sistetis dari beberapa konsep yang memiliki tradisi hukum
berbeda, seperti rechstaat, rule of law, negara hukum formal dan negara hukum material,
yang selanjutnya diwarnai dengan nilai-nilai Indonesia sehingga menjadi negara hukum
Pancasila dengan ciri-ciri demokrasi Pancasila yang lebih khusus. Konsep seperti ini,
meskipun telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri, juga memiliki
risiko adanya perdebatan akan konsep negara hukum dengan acuan yang berbeda yang
terkadang tidak berjalan beriringan.
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini,
realisasi negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan oleh pendiri negara. Dari berbagai
kekurangan pemerintahan di masa lalu dalam menegakkan hukum di Indonesia, pemerintahan
di rezim Orde Baru disebut sebagai pemerintahan yang paling gagal. Bukan hanya gagal,
bahkan rezim tersebut secara langsung maupun tidak dinilai menginjak-injak hukum,
mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum dan merekayasa hukum sebagai upaya
pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, menurut MD Kartaprawira (2000), bukan lagi rule of law yang berlaku
untuk menuntut tegaknya keadilan dan perlindungan hak-hak sosial dan politik dari
pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Akan tetapi,
segala peraturan hukum yang berlaku memiliki tujuan untuk mengabdi kepada kepentingan
penguasa dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti demokrasi, anti nasional, anti
keadilan dan anti HAM. Di rezim Orde Baru itu hukum menjadi alat untuk mendominasi
politik, mengendalikan dan ikut campur dalam lembaga-lembaga negara dan partai politik
agar tidak mengancam kekuasaannya.
Sementara itu, di era Reformasi keadaan menjadi sedikit lebih baik. Kebebasan untuk
berorganisasi dan berpolitik mulai memiliki tempat di masyarakat. Lembaga hukum tidak lagi
dalam kendali penuh pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat pemerintah
pun mulai diadili meskipun akhir untuk penyelesaiannya belum menggembirakan. Di antara
fenomena yang paling menyita perhatian belakangan adalah praktik suap yang dilakukan
pada hakim dan jaksa dalam penanganan perkara yang banyak terjadi. Keterlibatan para
penegak hukum dalam kasus suap dan korupsi menjadi fakta yang tidak lagi bisa ditutupi dan
menunjukkan kebobrokan penegakan hukum di negara kita.
2.3.2 Perkembangan Rule Of Law

The rule of law pertama supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan,
prerogatif, discretionary authority yang luas dari pemerintah. kedua, bersamaan di hadapan
hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of theland
yang dilaksanakan oleh ordinary court. Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di
atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum
yang sama; tidak ada peradilan administrasi; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary
law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi
dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya,
prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian
diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.10 E.C.S.
Wade dan Godfrey Philips dalam bukunya Constitutional and Administrative Law
memberikan catatan atas pemikiran Dicey. Pertama, terhadap yang pertama
dipermasalahkan mengena pengertian regula law and arbitrary power; kedua, terhadap
pengertian equality before the law dipermasalahkan mengenai penggolongan dalam
masyarakat berdasarkan pertimbangan sosial ekonomi ataupun status hukum juga
mengenai peradilan administrasi yang dewasa ini dianggap sama baiknya dengan
perlindungan hukum yang dilakukan oleh ordinary court; dan ketiga, permasalahan
konstitusi sebagai akibat dari ordinary law of the land yang didasarkan atas, keyakinan
bahwa common law memberikan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap
warganegara daripada perlindungan oleh konstitusi tertulis. Terhadap permasalahan ini
Wade dan Godfrey Philips mengemukakan tiga sanggahan, yaitu: pertama common law
tunduk kepada modifikasi oleh parlemen, dengan demikian ada kemungkinan banyak
kebebasan fundamental diganti oleh statute; kedua, common law tidak menjamin
keadilan sosial ekonomi dari warganegara; dan ketiga, meskipun tetap esensial
bahwa legal remedies seyogianya efektif, pengalaman negara-negara Barat
menunjukkan bahwa perlu diletakan batas-batas terhadap kekuasaan legislatif
agar tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan di pihak lain, the European
Convention of Human Rights telah menunjukkan perlunya supra-national remendies.

2.3.3 Sejarah Terbentuknya Rule Of Law

Dalam sejarah perkembangan HAM, memperlihatkan bahwa munculnya konsepsi


HAM tidak terlepas dari reaksi atas kekuasaan absolut yang pada akhirnya memunculkan
sistem konstitusional dan konsep negara hukum baik itu rechtstaat maupun rule of law.
sebagaimana yang dikemukakan oleh Louis XIV dengan ungkapan L etat’est Moi atau
Negara adalah Saya. Kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu tangan menimbulkan
kesewenang-wenangan, demikian diindikasikan oleh Lord Acton: Power tends to corrupt,
Absolute power corrupt absolutely. Menurut philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip Masda
El-Muhtaj13, konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga
sifatnya revolusioner. Sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini
tampak baik dari isi maupun kriteria rechtstaat dan rule of law itu sendiri.

Konsep yang pertama bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental yang biasa
disebut civil law. Sedang konsep yang terakhir bertumpu pada sistem hukum comman law
atau Anglosakson. Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap
kekuasaan, pada dasarnya, dikarenakan politik kekuasaan yang cenderung korup. Hal ini
dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan individu dan
masyarakat. Atas dasar itu, terdapat keinginan yang besar agar dilakukan pembatasan
kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari penguasa yang otoriter. Di sinilah
konstitusi menjadi penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dijadikan sebagai
perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah,
sesuai dengan dalil government by laws, not by men (pemerintahan berdasarkan hukum
bukan berdasarkan manusia)14

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara


lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dengan menggunakan istilah
Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum
dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut
Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup
empat elemen penting, yaitu:15

1. Perlindungan hak asasi manusia.


2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.

A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari “The Rule Of Law” pertama, supremasi
absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power
13
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 23.
14
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 57.
15
Jimly Assiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, trial::http://www. docudesk.com, diakses pada tanggal 28 Maret 2020, pukul
13:37 Wib.
dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif, discretionary authority yang luas dari
pemerintah; kedua, bersamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court.
Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun
warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang sama; tidak ada peradilan
administrasi; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui
tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan
pejabat-pejabatnya.16
E.C.S. Wade dan Godfrey Philips dalam bukunya Constitutional and Administrative
Law memberikan catatan atas pemikiran Dicey. Pertama, terhadap yang pertama
dipermasalahkan mengenai pengertian regular law and arbitrary power; kedua, terhadap
pengertian equality before the law dipermasalahkan mengenai penggolongan dalam
masyarakat berdasarkan pertimbangan sosial ekonomi ataupun status hukum, juga mengenai
peradilan administrasi yang dewasa ini dianggap sama baiknya dengan perlindungan hukum
yang dilakukan oleh ordinary court; DAN ketiga, permasalahan konstitusi sebagai akibat dari
ordinary law of the land yang didasarkan atas, keyakinan bahwa common law memberikan
perlindungan hukum yang lebih baik terhadap warganegara daripada perlindungan oleh
konstitusi tertulis.
Terhadap permasalahan ini Wade dan Godfrey Philips mengemukakan tiga
sanggahan, yaitu: pertama, common law tunduk kepada modifikasi oleh parlemen, dengan
demikian ada kemungkinan banyak kebebasan fundamental diganti oleh statute; kedua,
common law tidak menjamin keadilan sosial ekonomi dari warganegara; dan ketiga,
meskipun tetap esensial bahwa legal remedies seyogianya efektif, pengalaman negara-negara
Barat menunjukkan bahwa perlu diletakan batas-batas terhadap kekuasaan legislatif agar
tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan di pihak lain, the European Convention of
Human Rights telah menunjukkan perlunya supra-national remendies.

2.3.4 Latar Belakang Kelahiran Rule Of Law

a). Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan
Negara.

16
E.C.S. Wade dan G. Philips, Constitutional and Administrative Law, A.V.Dicey, op.cit., halaman 202-203.
b). Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional.
c). Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum. Rule of
law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring dengan negara konstitusi
dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law.17
Paham rule of law di Inggris diletakan pada hubungan antara hukum dan keadilan, di
Amerika di letakan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari
paham kedaulatan Negara, melalui paham kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan
tugas kekuatan pemerintah. Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya
keadilan bagi seluruh masyarakatnya, khususnya keadilan sosial.

 Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut


rule of law adalah
a. Adanya perlindungan konstitusional.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
c. Pemilihan umum yang bebas.
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.

2.4 Penegakan HAM di Indonesia

Penegakan hukum merupakan isu yang menarik untuk diteliti karena berkaitan dengan
implementasi peraturan perundang-undangan yang berlaku, penegakan hukum sangat
berkaitan dengan semua aspek kehidupan manusia. Definisi penegakan hukum menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan
represif, cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahannya turut aktif dalam
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.

Penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk


mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.18 Keinginan-keinginan
hukum yang dimaksud di sini yaitu pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang
dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu
dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak
pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini,
dengan nada ekstrem dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para

17
https://www.coursehero.com/file/p12jaqal/24-Sejarah-Berdirinya-Rule-Of-Law-1-Latar-belakang-kelahiran-rule-of-law-a/ diakses pada
tanggal 28 Maret 2020, pukul 14:05 Wib.

18
Soetjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 24 Jurnal
Unifikasi, ISSN 2354-5976 Vol.03 Nomor 01 Januari 2016
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan
hukum yang harus dijalankan itu dibuat.19

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi


oleh 5 (lima) faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua,
faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas.
Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi
dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.20

Sementara itu, Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam
proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak
jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo
membedakan 3 (tiga) unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum 21 Pertama,
unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum
seperti polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga
negara dan sosial.

Selain itu juga, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan


hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum
dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen , yakni komponen struktur hukum
(legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya
hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka,
bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-
norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para
pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture)
merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan- harapan dan
pendapat tentang hukum.22 Istilah penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita
kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan paksaan sehingga ada yang
berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.
Penegakan hukum memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif, cocok
dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

19
Ibid, hal, 25
20
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Bina cipta, hal. 15
21
Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum ,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24.
22
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it
affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, hal 16.
Menurut Soerjono Soekanto secara umum ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum yaitu :23

1. Faktor hukum itu sendiri


2. Faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan
hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan esensi dari
penegakan hukum serta merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.

Menurut Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Gatot. P. Soemartono Penegakan hukum


mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus dilaksanakan, sehingga dalam penegakan
hukum tersebut harus diperhatikan unsur-unsur 1. kepastian hukum, 2. kemanfaatan, 3.
keadilan.

A. Kepastian hukum menghendaki bagaimana hukumnya dilaksanakan, tanpa peduli


bagaimana pahitnya meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Hal ini
dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat. Misalnya “Barang siapa
mencemarkan lingkungan maka ia harus dihukum,” ketentuan ini menghendaki agar siapa
pun (tidak peduli jabatannya) apabila melakukan perbuatan pencemaran lingkungan maka ia
harus dihukum.

B. Pelaksanaan penegakan hukum harus memberi manfaat kepada masyarakat. Artinya


peraturan tersebut dibuat adalah untuk kepentingan masyarakat, sehingga jangan sampai
terjadi bahwa karena dilaksanakannya peraturan tersebut, masyarakat justru menjadi resah.
Contoh sebuah pabrik konveksi yang mempekerjakan ribuan orang ditutup karena perusahaan
tersebut telah mencemarkan lingkungan, hal ini tentu akan menimbulkan keresahan baik
masyarakat dunia usaha maupun para pekerjanya. Mengapa tidak dicari jalan keluarnya,
misalnya menyeret pengelola perusahaan tersebut ke Pengadilan, mewajibkan membayar
pemulihan lingkungan, tetapi kegiatan pabrik tetap berjalan dengan pengawasan ketat disertai
pengurangan produksi. Inilah yang disebut dengan kemanfaatan dalam penegakan hukum
lingkungan.

C. Unsur ketiga adalah keadilan. Dalam penegakan hukum keadilan harus diperhatikan,
namun demikian hukum tidak identik dengan keadilan, karena hukum sifatnya umum,
mengikat setiap orang, dan menyamaratakan ; bunyi hukum: Barang siap mencemarkan
lingkungan hidup harus dihukum”, artinya setiap orang yang mencemarkan lingkungan harus
dihukum tanpa membeda-bedakan kedudukan atau jabatan siapa yang mencemarkan. Tetapi
sebaliknya, keadilan bersifat subjektif, individualistis dan menyamaratakan, artinya adil bagi

23
9Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Press. 1983. Jakarta.
hal. 4-5.
si A belum tentu adil bagi si B, pencemar yang dimenangkan akan mengatakan bahwa
keputusan tersebut adil, tetapi hal itu tentu dirasakan tidak adil bagi si korban.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa tanpa kepastian orang tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi apabila kita terlalu mengejar
kepastian hukum, terlalu ketat dalam menaati peraturan hukum akibatnya akan menjadi kaku
dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Kalau dalam penegakan hukum hanya memperhatikan
kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya akan dikorbankan. Demikian pula kalau yang
diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan,
demikian seterusnya. Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur
tersebut, yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya
harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang dalam penanganannya, meskipun
dalam praktik tidak selalu mudah melakukannya.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup mengatur sanksi kepada pihak yang terbukti melanggar yaitu penegakan
hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu : 1).
Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha
Negara, 2). Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata, 3).
Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana. Pada Pasal 69 ayat
(1) huruf H Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup memuat tentang larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar yaitu : (1) Setiap orang dilarang: h. melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar; Pasal 108 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat tentang sanksi bagi yang melanggar yaitu : Setiap
orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Penegakan hukum lingkungan di
Indonesia di lakukan oleh pemerintah dengan tegas yaitu terbukti Kejagung Terima 126 Surat
Penyidikan Kasus Kebakaran Hutan, Kejaksaan Agung sampai sekarang sudah menerima 126
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus kebakaran hutan dan lahan di
seluruh Indonesia dari kepolisian, ini menandakan bahwa kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan harus tercapai sebagai tujuan dari hukum itu sendiri.

Penegakan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak dapat di tegakkan selama
pola pemikirannya hanya bersandar pada nilai-nilai Hak Asasi Manusia suatu negara. Sebab
penegakan terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam setiap wilayah negara akan
berbeda-beda karena dipengaruhi oleh kultur budaya, sosial dan religius suatu bangsa, jika
Indonesia ingin penegakan Hak Asasi Manusia berdiri di negara ini serta harus sesuai dengan
nilai kaidah yang ada di dalam jiwa bangsa Indonesia, selama itu belum dipahami nilai
penegakan Hak Asasi Manusia hanya sebagai platform belaka24

24
Wawancara, Abdurrahman Wahid, kongko-kongko bersama Gus Dur, radio 68 H, Utan Kayu, sabtu, jam
10.00-11.00 WIB, 2006.
2.5 Pelanggaran HAM

Banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang sampai detik ini tidak
kunjung jelas penyelesaiannya. Padahal dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia terutama dalam kategori “berat” tidak berlaku surut atau tidak ada kadaluwarsa.
Sehingga meskipun aturan normatif tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia baru secara
tegas diatur pada tahun 2000, akan tetapi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di
masa lalu diharapkan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Sampai detik ini penegakan
hukum terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia masih merupakan suatu cita-cita. Karena
faktanya penerapannya belum seindah sebagaimana peraturan yang sudah melekat terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia merupakan salah satu
tindak pidana yang dapat bersifat pelanggaran berat maupun pelanggaran ringan. Yang
banyak menyita perhatian dunia adalah terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat

Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila sebagai
dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat, baik yang menyangkut mengenai
hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia dengan
manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang terdapat
pada Pancasila. Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur
mengenai Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini tentu saja harus disesuaikan
dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Sedangkan di dalam Undang- Undang Dasar
1945 (yang telah diamendemen), masalah mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara
khusus dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan hasil amandemen
kedua tahun 2000.9 Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan amanah yang telah
diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, di bentuklah Undang- Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang-
undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur beberapa hal penting
yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi Manusia.

1. Definisi pelanggaran Hak Asasi Manusia dideskripsikan sebagai setiap perbuatan


seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang- Undang ini, dan tidak mendapatkan atau di khawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku (pasal 1 ayat 6).
2. Hak untuk hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat di
kecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan
ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
3. Undang-undang dalam Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk
menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran hak asasi manusia yang di jamin oleh hukum Indonesia oleh negara
Republik Indonesia menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional.
4. Undang-undang dalam Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
sebagai berikut : Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di
bentuk pengadilan dalam ayat (1) di bentuk dengan Undang- Undang dalam jangka
waktu paling lama 4 tahun sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai
mana dimaksudkan dalam ayat (2) di adili oleh pengadilan yang berwenang.

Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa yang berwenang mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat adalah pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tanggal 8 Oktober 1999
ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1tahun 1999
tentang pengadilan Hak Asasi Manusia yang bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat. Namun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No. 1 Tahun 1999 tentang pengadilan hak asasi manusia yang dinilai tidak memadai,
sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi
Undang-undang dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
tersebut di cabut.

Pada tanggal 23 November 2000 di tetapkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999. Pengadilan
Hak Asasi Manusia bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat dalam hal ini adalah kejahatan genosida yaitu penghancuran atau pemusnahan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok. Mengakibatkan penderitaan fisik
dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok. Menciptakan kondisi
kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah. Memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mengenai kelahiran dalam kelompok tersebut.
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perbuatan yang dilaksanakan sebagai bagian


dari serangan yang meluas ataupun sistematik yang diketahuinya bahwa akibat serangan
itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan, pemusnahan,
pembudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan
kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, sterilisasi paksa, atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin maupun alasan lain yang telah diakui secara Universal
sebagai hal yang dilarang oleh hukum internasional, penghilangan orang secara paksa
kejahatan apartheid. Dari berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang
terjadi tersebut telah mendorong munculnya suatu usulan untuk membantu pengadilan
Hak Asasi Manusia ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di
Aceh. Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usulan kepada Presiden
Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc telah
disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. “Ketika pelanggaran atau
kejahatan hak asasi manusia amat luas, pengabaian memang seharusnya bukan
merupakan pilihan, sekalipun upaya menyelesaikan masa lalu tidaklah sederhana. Dalam
sebuah dunia yang sejak perang dunia ke-II disibukkan dengan penyebaran isu
demokratisasi dan penghormatan terhadap martabat manusia, di lama antara proses
penegakan keadilan dan kepentingan politik antara masa transisi, melahirkan apa yang
oleh Tina Rosenberg disebut sebagai dimana besar moral, politik dan filosofis abad ini”

Sungguhpun Begitu, prospek penegakan Hak Asasi Manusia kedepan tentu akan lebih
baik dan cerah, mengingat pada satu sisi proses institusional Hak Asasi Manusia, antara
lain melalui pembaruan serta pembentukan hukum terus menunjukkan kemajuan yang
berarti, maupun pada sisi lain terbangunnya ruang publik yang lebih terbuka bagi
perjuangan Hak Asasi Manusia dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini.

Antonius Sujata mensinyalir banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
hilang dan masyarakat menganggap kasus-kasus Hak Asasi Manusia itu tidak ada
penyelesaiannya. Peradilan HAM hanya mencakup pelanggaran HAM berat dimaksudkan
untuk meminimalisir hilangnya kasus-kasus pelanggaran HAM sebagaimana selama ini
dirasakan oleh masyarakat. Dalam satu telaah mengenai keruntuhan Orde Baru yang
dikaitkan dengan pelanggaran HAM, dimulai ketika penguasa Orde Baru melakukan
pelanggaran HAM maka pada saat itulah ia mulai menanamkan bibit keruntuhan
kekuasaan. Pelanggaran HAM merupakan salah satu sebab kegagalan Orde Baru.25

2.5.1 Hambatan Dalam Pelanggaran HAM

Pelanggaran Hak Asai Manusia yang terjadi di Indonesia terutama di daerah- daerah
telah sangat menyesakkan sanubari bangsa Indonesia selaku bangsa yang menjunjung tinggi
nilai dan harkat serta martabat seorang manusia di muka bumi ibu pertiwi. Peristiwa-
peristiwa dari waktu ke waktu masih saja terus berlangsung walau intens terjadinya
mengalami suatu saat pasang surut adakalanya kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia
rendah dan di lain waktu meningkat. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi bangsa
Indonesia yang berbudi luhur berdasar kan nilai- nilai yang terkandung pada Pancasila yang
di jabarkan dengan 5 butir kalimah syahdu. Negara Indonesia dalam hal ini pemerintah yang
mempunyai amanah dari rakyat, yang mana amanah itu untuk meninggikan kesejahteraan dan
kedamaian antar sesama masyarakat sudah seyogyanya berikhtiar untuk mencari cara
penyelesaian yang mengedepankan sisi- sisi kemanusiaan yang beradab dan berkepribadian
25
Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Jambata, Jakarta, hlm. 55
luhur. Memang dalam rangka untuk mengurangi sampai menghapuskan bentuk-bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia bukan suatu pekerjaan yang mudah dan asal-asalan
melainkan dibutuhkan suatu kinerja dari segala elemen bangsa Indonesia untuk menciptakan
suasana yang kondusif bagi penegakan Hak Asasi Manusia tentu dengan penyelesaian yang
demokratis, komprehensif dan menyentuh hati nurani masyarakat itu sendiri. Permasalahan di
wilayah NKRI yang berkenaan dengan kasus- kasus kekerasan yang mengakibatkan
bermuara pelanggaran Hak Asasi Manusia harus dapat menguraikan variabel-variabel
mengapa terjadi pelanggaran tersebut, dalam hal untuk mencari akar permasalahan tentu
harus di identifikasi terlebih dahulu dengan menelusuri data- data yang ada di dalam
masyarakat, sebab di sana sesungguhnya endapan dilema- dilema yang harus di aktualisasi
guna terselesaikan.

Permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia di wilayah Indonesia memang sudah


menjadi topik aktual yang selalu di bicarakan untuk dicarikan upaya- upaya
penyelesaiannya namun hingga saat ini, dari masa reformasi hingga masa pasca tsunami
masih saja dan belum terselesaikan, ini haruslah dicermati dan dipahami dengan seksama
oleh semua pihak. Dari zaman Kepresidenan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, hingga sekarang pada masa pemerintahan Joko Widodo memimpin bukan
tidak pernah di selesaikan melalui kebijakan-kebijakan pusat yang mencoba untuk untuk
mengakomodir semua kepentingan dan hasrat masyarakat lokal, masih saja belum cukup
dalam rangka untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Ada beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah dalam hal ini sebagai
pembuat kebijakan eksekutif dan sebagai aparatur negara yang bertugas sebagai abdi
masyarakat harus menerapkan asas “good geverment”, masyarakat sebagai “public
actor” di lapangan, aparat keamanan sebagai petugas keamanan di wilayah dan lapisan
masyarakat lainnya yang dapat menjadi faktor kendala- kendala terhadap penegakan Hak
Asasi Manusia disana yang disebabkan oleh diantaranya:

1. Pemerintah selaku “policy obligation”

2. TNI POLRI sebagai petugas keamanan

3. Masyarakat selaku “civil actor”

4. Kelompok dalam masyarakat

Pemerintah adalah salah satu penyebab dapat terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia oleh karena itu memunculkan kendala- kendala yang mengakibatkan tidak dapat
terselesaikannya permasalahan di Indonesia seperti dalam hal pengambilan kebijakan-
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak mengenai dan menyentuh dasar
permasalahan “basic problem” yang ada di wilayah daerah rawan terjadinya pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Dalam rangka penegakan hukumnya pemerintah hanya sekedar
menyelesaikan masalah pada lapisan kulitnya saja “liptsic spare” seperti sidang
pengadilan Hak Asasi Manusia yang terkesan sandiwara politik, diadili prajurit yang
berpangkat rendah sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam hal untuk
mengusut pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para “actor eksekutif” terkesan bertele-
tele dan lamban sehingga memunculkan “stereothipe” masyarakat terhadap proses
penegakan hukum ”law suprimacy” tidak adil ataupun setengah hati “a half heart”.
Pemerintah juga terkesan dalam melakukan diplomasi perdamaian “diplomacy of peace”
terkesan tidak serius yaitu menggunakan jalur diplomasi pada tataran eksekutif tetapi
ditataran akar rumput “grass root” yang menggunakan langkah- langkah militer.

Sehingga berakibat pada pelayanan aparatur daerah seperti pegawai pemerintah


daerah dari kabupaten hingga ke desa banyak yang pergi maupun pindah. Sehingga
berimbas pada pelayan dan pengabdian aparatur negara tidak memadai dan maksimal di
wilayah-wilayah pelanggaran HAM karena rentan terhadap tindak kekerasan yang di
lakukan oleh pihak- pihak yang bertikai di sana. Semua itu adalah hal- hal yang krusial
yang harus coba dicermati dan di selesaikan dalam hal untuk menyelesaikan dan
melenyapkan pelanggaran Hak Asasi Manusia di NKRI dan untuk pihak- pihak yang
bersitegang harus lebih arif dan bijaksana dalam menangani semua permasalahan yang
ada di lapisan “akar rumput” supaya dapat mengurangi pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Dalam penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat maka sarana
penyelesaiannya di dalam pengadilan Hak Asasi Manusia. Jika tidak terbukti terjadi
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat maka perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia dilakukan di pengadilan umum dimana terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia itu terjadi. Di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Sarana
penyelesaian terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah sebagai berikut

Pasal 4

Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Yang dimaksud dengan memeriksa
dan memutuskan dalam ketentuan ini adalah termasuk penyelesaian perkara yang
menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan per undang-
undangan. Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat terdiri dari kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
sesuai dengan “Roma Stalute of the International Criminal Count” kejahatan genosida
adalah setiap pembuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, etnis, kelompok
Agama dengan cara :

a. Pembunuhan anggota kelompok.


b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok.
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
di dalam kelompok.
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu
kelompok yang lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a) Pembunuhan.
b) Pemusnahan.
c) Perbudakan.
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara wewenang dan yang melanggar asas-asas ketentuan
pokok hukum internasional.
f) Penyiksaan.
g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang di dasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan
lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional.
i) Penghilangan orang secara paksa.
j) Kejahatan apartheid.

Pasal 43

1) Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum di undangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputuskan pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.

2) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa
tertentu dengan keputusan Presiden.

3) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada dilingkungan peradilan umum.

Dapat dijabarkan bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum
adanya Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
dapat diperiksa dan diputuskan dalam pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc.

Dalam hal Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan di bentuk


pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat mendasarkan pada
dugaan telah terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dibatasi pada locus
dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum di undangkannya Undang-undang ini.
Serta pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc ini berada di lingkungan peradilan umum.

Pasal 45
1. Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai mana dimaksud dalam pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya,
Medan dan Makassar.

2. Daerah hukum pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada pada pengadilan negeri di:

a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah daerah khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa
Barat, Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah.

b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur.

c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi


Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya.

d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatra Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi,
dan Sumatra Barat.

Pasal 47

1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.

2. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang.

Terlepas dari siapa yang mulai membuat situasi yang disorganisasi dalam masyarakat
yang terjadi pelanggaran HAM, haruslah disadari sarana penyelesaian dengan kekerasan atau
senjata sudah tidak efektif dalam menyelesaikan segala permasalahan. Sarana penyelesaian
yang dapat di terima oleh semua pihak lapisan masyarakat tentunya penyelesaian yang
mengedepankan nilai-nilai manusia tentu dengan menggunakan cara-cara yang lebih manusia
yaitu dengan cara mediasi dialog damai antara kelompok-kelompok yang bertikai. Karena
sarana penyelesaian dengan damai lebih menguntungkan segala pihak-pihak yang bertikai
dan dapat mengurangi dampak kerugian akibat terjadinya peperangan. Sarana penyelesaian
melalui perundingan, dialog lebih arif dan bijaksana dari pada penyelesaian masalah dengan
senjata. Manusia dimanapun ketika dihargai dan dihormati nilai-nilai dasar sebagai manusia,
tidak akan merendahkan Hak Asasi Manusia lainnya namun sebaliknya, itulah mengapa para
pengamat para tokoh-tokoh negarawan lebih mengedepan penyelesaian permasalahan
pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan cara damai dan lebih bermartabat.

Maka dari itu seyogyanya pelaksanaan segala kebijakan republik terhadap masyarakat yang
terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM tentunya berkiblat kepada nilai-nilai budaya, sosial,
agama dan ekonomi masyarakat itu sendiri. Dalam rangka untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang timbul dengan damai dan bermartabat diperlukan suatu
cara yang terus menerus dan tuntas hingga ke akar segala permasalahan di provinsi itu. Mulai
dari segi ekonomi hingga pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri bukan muncul
karena tidak bersebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran di karena kan terjadinya benturan-
benturan kepentingan antara daerah dengan pusat, ketidakadilan yang telah lama dirasakan
oleh masyarakat di sana karena dianggap sebagai sapi perahan kebijakan pusat yang tanpa
peduli untuk membangun daerah yang telah memberikan pendapatan bagi anggaran pendapat
belanja negara.

Upaya penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi pada masa
lalu memang telah diberi tempat di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dalam
kasus Tanjung Priok maupun kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur diakui
belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pengadilan-pengadilan yang dilaksanakan
nampan hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat Internasional dan memenuhi amanat
undang-undang saja.

Putusan-putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc itu dirasa belum
memenuhi rasa keadilan terutama bagi korban pelanggaran HAM berat itu. Adanya peluang
penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat melalui pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus dipandang sebagai alternatif lain
yang lebih memberikan keadilan kepada masyarakat khususnya para korban dan pelaku
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat itu sendiri. Konstitusi Republik Indonesia Undang-
undang Dasar 1945 menjamin Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28A-28J.
Dalam konstitusi tersebut dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia sangat dijunjung tinggi bagi
setiap orang baik. Adapun pengaturan lebih lanjut terkait Hak Asasi Manusia akan diatur
dalam perundang-undangan yang ada. Akan tetapi pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia sudah terjadi bahkan sejak Indonesia dijajah dan berlanjut setelah Indonesia
merdeka. Penyelesaian terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi belum
mendapatkan penyelesaian yang seadil-adilnya. Padahal Hak Asasi Manusia sebagaimana
yang dijamin dalam konstitusi merupakan hak yang paling hakiki dan harus dijamin
keberadaannya. Selain itu, negara wajib untuk melindungi warga negaranya dari pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Dalam kenyataannya selama lebih dari lima puluh tahun usia Republik
Indonesia, pelaksanaan penghormatan perlindungan atau penegakan Hak Asasi Manusia
masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian penangkapan penahanan
yang tidak sah, penculikan aktivis-aktivis keagamaan, penganiayaan, perkosaan,
penghancuran rumah ibadah dan sebagainya. Disamping itu terjadi pula penyalahgunaan
kekuasaan oleh aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum pemelihara
keamanan dan perlindungan masyarakat tetapi justru mengintimidasi, menganiaya sampai
penghilangan nyawa manusia dan tanpa proses hukum. Pertanggungjawaban dan
penghukuman pidana, tidak saja untuk memberikan penjeraan (detterence) bagi pelaku tetapi
sekaligus juga untuk melakukan perlindungan bagi masyarakat (social defence) untuk
memastikan adanya perlindungan bagi masyarakat dari ancaman kejahatan yang langsung
maupun tidak langsung (direct maupun indirect). Untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang terjadi di masa lampau perlu adanya penegakan hukum secara tegas.
Semua aparat penegak hukum memiliki kapabilitas serta tanggung jawab yang sama untuk
menegakkan hukum dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sayangnya, selama ini
penyelesaian tindak pidana Hak Asasi Manusia terutama dalam kategori berat terkenal oleh
tertutupnya pemerintah yang cenderung tidak bertindak serius. Diakui atau tidak sejumlah
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Indonesia lebih banyak melibatkan
aparat penegak hukum dan juga pemerintah.

2.5.2 Keterkaitan antara Rule of Law dengan HAM

Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia sejak dia lahir. Hak
ini harus dihormati dan tidak dapat diambil darinya. Namun dalam kenyataannya, banyak
sekali pelanggaran terhadap hak ini. Sehingga, untuk melindungi hak asasi ini diperlukan rule
of law, yaitu aturan hukum yang kuat dan dapat melindungi setiap orang secara adil di depan
hukum. Dalam Undang-undang Dasar 1945 kesetaraan dimata hukum ini dijamin pada pasal
27 ayat 1 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya". Dengan demikian, misalnya, setiap orang apa pun agamanya akan mendapat
perlindungan yang sama di depan hukum untuk memeluk agama yang diyakininya dan untuk
beribadah sesuai dengan ajaran agamanya. Kebebasan ini dijamin oleh hukum, dan sesuai
dengan prinsip rule of law, kebebasan ini dijamin secara merata sama di mata hukum, tanpa
memandang apa agama yang dianut. Bila kemudian ada seorang warga negara yang hak
beribadahnya diganggu, maka hukum harus melindunginya dan menghukum orang yang
melanggar hak asasi tersebut.

A. HAM
Hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang-undang No.39 tahun 1999
pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara
kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati,
dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kecerdasan serta keadilan. “Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar
yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.Ini
berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat
dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh
suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika halitu terjadi maka manusia
kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Hak asasi mencangkup
hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Ditinjau dari berbagai
bidang, HAM meliputi :

a. Hak asasi pribadi (Personal Rights)


Misalnya : hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat, hak memeluk agama.
b. Hak asasi politik (Political Rights) yaitu hak untuk diakui sebagai warga negara
Misalnya : memilih dan dipilih, hak berserikat dan hak berkumpul.
c. Hak asasi ekonomi (Property Rights)
Misalnya : hak memiliki sesuatu, hak mengarahkan perjanjian, hak bekerja dan
mendapatkan hidup yang layak.
d. Hak asasi sosial dan kebudayaan (Sosial & Cultural Rights).
Misalnya : mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan santunan, hak pensiun, hak
mengembangkan kebudayaan dan hak berekspresi.
e. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan Pemerintah(Rights
Of Legal Equality).
f. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum.

B. Rule of Law
Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Berdasarkan pengertian
tersebut maka setiap negara yang legal senantiasa menegakkan Rule of Law. Rule of Law
berdasarkan substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan
mendasarkan pada Rule of Law dalam kehidupan kenegaraannya, meskipun negara tersebut
adalah negara otoriter.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam Buku Pendidikan Kewarganegaraan misalnya bahwa


Negara hukum yang menurut istilah bahasa Belanda rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme, yaitu dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang untuk
mewujudkan Negara yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. ( Buku
Pendidikan Kewarganegaraan) Dalam Undang-undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah
negara hukum bukan negara kekuasaan. Di dalamnya terkandung pengertian adanya
pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan
dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD, adanya
prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga
negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh setiap penguasa. Oleh karena itu, Indonesia menganut
prinsip “Rule of Law,and not of Man”.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan
dengan pengertian Negara hukum. Negara yang menganut sistem Rule of Law harus
memiliki prinsip-prinsip yang jelas.

 Prinsip-prinsip Rule of Law


Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki erat kaitannya dengan (penyelenggaraan menyangkut
ketentuan-ketentuan hukum) “the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan
pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of
law. Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian, menunjukkan keberhasilan
“the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian nasional setiap bangsa
(Sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi
sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang
khas pula. Karena bersifat legalisme maka mengandung gagasan bahwa keadilan dapat
dilayani dengan pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak
memihak, tidak personal dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang
terkait rule of law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum
mencapai hasil yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of
law belum dirasakan di masyarakat.

a. Negara yang menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas,
terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu sendiri.
b. Menurut Albert Venn Dicey dalam Introduction to the Law of The Constitution,
memperkenal istilah the Rule of Law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu
keteraturan hukum.
c. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu:
 Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang,
dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum.
 Kedudukan yang sama di muka hukum.
 Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-keputusan
pengadilan.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Berpegangan pada batasan-batasan sederhana yang ada di dunia, dapat dikatakan


bahwa HAM ada sejak manusia ada, karena syarat untuk memiliki HAM itu sendiri hanya
ada satu, yaitu ia adalah manusia. Persoalannya kemudian yaitu bagaimana cara hukum
mengatur HAM sebagai suatu aturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa. Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-
hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa
sejak lahir.Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi
tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat
dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi
maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Hak
asasi mencangkup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu.
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak terlepas dari hukum, mulai dari norma, nilai,
aturan dan tata krama, hingga hukum perundang-undangan dalam peradilan dan terkait
tentang hak asasi manusia ,maka sangat penting sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus
saling menjaga dan menghormati hak masing-masing individu. Hak asasi manusia
memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu
Komnas HAM.

“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak
sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari
tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan
kekuatan-kekuatan sosial lainnya.

“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada
kesehatan.

“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara
berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang


termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak didapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Pelanggaran
HAM dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu pelanggaran HAM berat dan
pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh pihak Negara dan
bukan Negara.

Rule Of Law merupakan suatu doktrin yang mulai muncul pada abad ke-19,
bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi dimana konsepnya tentang
Common Law yaitu segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh
kelembagaannya menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip
keadilan dan egalitarian. Suatu negara memiliki Rule Of Law jika rakyatnya telah benar-
benar mendapatkan keadilan dalam kehidupan. Dimana secara kuantitatif, peraturan
perundang-undangan yang terkait rule of law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi
implementasinya belum mencapai hasil yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai
perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan di masyarakat

3.2 SARAN

Hukum di negara Indonesia ini masih sangat kurang dalam proses penegakannya,
terutama penegakan hukum di kalangan pejabat-pejabat tinggi dibandingkan dengan
penegakan hukum di kalangan menengah sampai kalangan bawah. Hal ini terjadi karena
di negara Indonesia hukum dapat dibeli dengan uang. Siapa pun yang memiliki
kekuasaan, dia yang akan memenangkan peradilan dengan kenyataan seperti itu,
pembenahan peradilan di negara kita khususnya Indonesia dapat dimulai dari diri sendiri
dengan mempelajar norma atau hukum sekaligus memahami dan menegakkannya dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dengan keadilan yang benar.

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan


memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa
menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan diinjak-injak oleh
orang lain, jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi
antara HAM kita dengan HAM orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Supriyanto, Bambang Heri. "Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Hukum Positif di Indonesia." Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial 2.3
(2016): 151-168.

Bawono, Bambang Tri, dan Anis Mashdurohatun. "Penegakan Hukum Pidana Di Bidang
Illegal Logging Bagi Kelestarian Lingkungan Hidup Dan Upaya
Penanggulangannya." Jurnal Hukum 26.2 (2020): 590-611.

Akhmaddhian, Suwari. "Penegakan Hukum Lingkungan dan Pengaruhnya Terhadap


Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (Studi Kebakaran Hutan Tahun 2015)." UNIFIKASI:
Jurnal Ilmu Hukum 3.1 (2016).

Julia, S. (2006). Pelanggaran HAM dan Peranan Polri Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia.

Astuti, L. (2017). Penegakan Hukum Pidana Indonesia dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Kosmik Hukum, 16(2).

Kuntjoro Purbopranoto, HAM dan Pancasila, Pradya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 16.

Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru

Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta

Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An invalueable guide to the many faces of the
law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company

Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan


Nasional, Bandung: Binacipta

Gatot. P. Soemartono. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Press.


Jakarta,1983.

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, Jakarta: Penabur Ilmu,2003

Karlina Leksono dan Supelli, Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal Demokrasi
dan HAM, Jakarta : ID H-THC, 2001

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2001

Mansur Fagih, Panduan Pendidikan Polik Rakyat, Yoqyakarta:Insist, 1999

Satya Arinanto, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial Budaya,


Astuti, L. (2017). Penegakan Hukum Pidana Indonesia dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Kosmik Hukum, 
Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Jambata, Jakarta

E.C.S. Wade dan G. Philips, Constitutional and Administrative Law, A.V.Dicey, op.cit.

Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 57.

Besar. (2016). DAN DEMOKRASI DI INDONESIA Permasalahan. Jurnal Ham, (9), 201–
213.

Nur Choerun Nisa, E. S. (n.d.). Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi ( Hots ) Tentang
Lingkungan Berdasarkan Latar Belakang Akademik Siswa, XIX September 2018

Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations New York, 1948

Universal Declaration of Human Eights, U.N. Doc. A/811, Dec. 16, 1948; Department of
State Publication No. 3381 (International Organization and Conference Series I I I , 20).

Kertha Widya, “Sejarah Perkembangan Konsep Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum, Vol. 2
No. 1, Agustus 2014, 115
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
2005.

Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983.

Anda mungkin juga menyukai