Anda di halaman 1dari 15

DINAMIKA KEAGAMAAN AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL

Diajukan untuk memenuhi mata tugas ‘Antropologi Agama’

Dosen Pengampu:

Akhmad Ali Said, M.Ud

Disusun oleh :

CHAFID SYAHROINI

NIM 2020114370118

PROGAM STUDI AKHLAK TASAWUF (AT)

FAKULTAS USHULUDIN DAN STUDI AGAMA (FUSA)

INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO NGANJUK

(IAI PD) NGANJUK

MEI 2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan Rahmad dan Hidayah-Nya, sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Dinamika Keagamaan Agama Dan Perubahan Sosial”. Dengan tepat waktu.
Makalah ini berisikan tentang dinamika Keagamaan Agama dan Peubahan Sosial.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan dorongan seta bimbingan dari
berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Akhmad Ali Said, M.Ud dosen pengampu mata kuliah Antropologi Agama
2. Teman-teman mahasiswa mahasiswi IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk
3. Semua pihak yang mendukung dan membantu penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan , karenanya saran
dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.

Penulis

2
DAFTAR ISI

Judul………………………………………………………………………………………...1

Kata Pengantar……………………………………………………………………………...2

Daftar Isi……………………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………..…………………………………………………………...4


B. Rumusan Masalah……………………………………………………………..........4
C. Tujuan……………………………………………………………………………....4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama dan Perubahan …………………………………………………5


B. Peran dan Fungsi Agama Dalam Masyaraat………………….…………………….6
C. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial…….....………………………….....9
D. Peran Agama Dalam Perubahan Sosial.....................................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………...14

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini kita rasakan telah terjadi perubahan sosial dimana- mana dan
diberbagai bidang. Terdapat banyak penyebab terjadinya perubahan sosial tersebut,
antara lain: ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, komunikasi dan transportasi,
urbanisasi, dan lain sebagainya. Sebenarnya, perubahan-perubahan yang melanda
masyarakat dunia saat ini merupakan hal yang normal dan wajar, karena perubahan
dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu. Namun dewasa ini,
perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat sehingga
membingungkan manusia yang menghadapinya.
Soekanto mendefinisikan perubahan sosial merupakan segala perubahan
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang
memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola-
pola prilaku di antara kelompok- kelompok dalam masyarakat. Perubahan-
perubahan itu terjadi juga tidak lepas dari adanya faktor-faktor yang
mempengaruhinya, diantaranya: bertambah atau berkurangnya penduduk,
penemuan- penemuan baru, pertentangan (conflict) dalam masyarakat dan
terjadinya pemberontakan atau revolusi. Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana perubahan sosial dalam masyarakat itu dapat terjadi? dan bagaimana
pula peran agama dalam perubahan sosial tersebut?

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam masalah ini akan dipaparkan beberapa rumusan masalah :
1. Apa pengertian agama dan perubahan ?
2. Apa peran dan fungsi agama dalam masyarakat ?
3. Apa faktor yang mempengaruhi perupahan sosial ?
4. Apa peran agama dalam perubahan sosial ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian agama dan perubahan
2. Mengetahui peran dan fungsi agama dalam masyarakat
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi perubahan sosial
4. Mengetahui peran agama dalam perubahan sosial

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama dan Perubahan
Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap
kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang seperti
berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah
sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling
melengkapi ( complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa
juga, “agama” dan “perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya,
“perubahan” dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti
ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun,
Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan
yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan
antara agama dan perubahan sosial.
Makna “perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam,
sebagai keharusan universal – meminjam istilah Islam sunnnahtullah – agar dapat
merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari
berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat
yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-
nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan
apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan
manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan
menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan
ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena
dianggap sudah tidak up to date.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan
“perubahan” di sisi lain sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan sebab
yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai sifat “kecenderungan”,
“titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh
dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan
ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau
kasus bom Bali di Indonesia.

5
Identifikasi di atas tidak hanya di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress
(arah kemajuan) semata, tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk
dijadikan contoh. Memang tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak
terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit
perubahan yang mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa
tertentu — yakni seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan
Kristen) atau konflik-konflik yang mengatasnamakan agama.
Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress) peradaban
manusia, posisi agama pun memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama,
manusia dapat menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis
dalam menatap masa depan, menciptakan alat-alat teknologi untuk peningkatan
kesejahteraan, menegakkan keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah.
Tanpa itu, dapat dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan zaman, agama akan
ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya “gulung tikar” seperti yang di alami
oleh agama–agama Mesir kuno. Meskipun acap kali tidak mudah untuk
mensosialisasikan agama sebagai bagian dari spirit proses perubahan sosial.

B. Peran dan Fungsi Agama dalam Masyarakat

Beberapa contoh kasus di Indonesia yakni, perubahan sosial yang dilandasi oleh
semangat keagamaan seringkali menghadirkan pro-kontra di kalangan masyarakat.
Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa agama semestinya banyak mengambil
peran dalam berbagai aspek, terutama dalam rangka pengandalian masyarakat (social
control). Mereka berdalih, bahwa agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
berbagai aktivitas kehidupan sosial di Indonesia. Kenapa? Sebab mayoritas rakyat
Indonesia adalah beragama. Kemudian masalah berkembang, yakni agama mana yang
layak menjadi dominan mempengaruhi pola prilaku masyarakat? Pernyataan terakhir
ini, dapat didiskusikan dalam konteks logika kekuasaan dengan lebih intens.

Sementara bagi sebagian masyarakat yang tidak menghendaki agama hadir di


berbagai moment, beranggapan, agama adalah urusan privat dan sangat personal.
Urusan yang berkaitan dengan persoalan seperti, politik, ekonomi, budaya, dan semua
yang ada kaitannya dengan publik, maka tidak menjadi kemestian agama dilibatkan,
apalagi agama tertentu. Semisal, kasus RUU APP, poligami dan lain sebagianya,
merupakan potret fenomena komunitas yang berpaham perlunya pemisahan antara

6
urusan agama pada satu sisi, dan urusan sosial di sisi lain. Komunitas ini berpendapat,
untuk menjaga keutuhan bangsa tidak diperlukan kehadiran agama apapun dalam
konstelasi pembangunan bangsa. Apalagi Indonesia menurut mereka, tidak mengenal
paham teokrasi ( negara agama).

Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah keberadaan agama cukup kita
hadirkan hanya dalam urusan yang sifatnya privat/personal dan domestik. Dengan
begitu, jargon keutuhan bangsa adalah harga mati dan mutlak harus dikedepankan
ketimbang menjadikan agama tertentu sebagai pedoman atau norma pergaulan sosial.
Ataukah dengan menghadirkan agama sebagai landasan norma bernegara dan
berkebangsaan dapat menjamin akan adanya ketertiban masyarakat pada umumnya.
Untuk memastikan survival-nya di antara kedua paham ini, sebetulnya lebih
ditentukan oleh “seleksi alam”, artinya, paham mana yang dapat menjamin ketertiban
dan kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan paham mana yang hanya
sebatas psedo-ideologi semata.

Dalam konteks pergolakan politik di Indonesia, belakangan ini banyak mengalami


perubahan yang sangat signifikan. Semenjak pasca Orba, keberadaan partai politik
yang bernuansa agama bermunculan seperti jamur di musim hujan. Kebanyakan
mereka berpandangan bahwa, “idealisme-religiusitas” akan bisa digulirkan apabila
memaksimalkan partisipasi politik secara langsung. Bagi mereka, pelajaran paling
berharga adalah marginalisasi aspirasi politik partai bernuansa agama di era Orba.
Oleh karena itu, peluang di era reformasi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk mewujudkan “obsesi” berpolitik dengan melibatkan agama secara eksplisit.
Terlepas dari apakah adanya partai politik aliran ini, hanya sekedar menarik minat
partisipasi masyarakat beragama untuk kepentingan kekuasaan kelompok tertentu atau
murni untuk mewujudkan sebuah refleksi semangat religiusitas. Maksud dari asumsi
terakhir ini adalah, mendirikan partai politik agama dalam rangka merubah
keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai agama sebagai sumber utama untuk
kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang jelas, semenjak partisipasi politik
keagamaan dilembagakan, memberikan warna tersendiri dalam percaturan politik di
Indonesia. Paling tidak, dalam konteks demokrasi modern, fenomena yang demikian
ini menjadi “batu uji” sebuah makna sejati dari demokrasi.

7
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya untuk didiskusikan adalah, Indonesia
yang dikenal mayoritas beragama, belum nampak terrefleksikan dalam prilaku sehari-
hari. Agama mungkin hanya sebatas identitas formalistis semata (melengkapi
administrasi KTP). Pernyataan ini sepertinya “sumir” dan “sinisme” untuk masyarakat
beragama pada umumnya. Tetapi ditilik dari realitas yang berkembang, banyak
indikasi yang mendukung pernyataan ini, semisal merebaknya kasus KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme) di seantero Nusantara. Padahal “oknum” yang melakukan
praktek KKN notabene beragama, bahkan mungkin lebih terdidik. Hal ini
menandakan bahwa “nafsu sahwat” materialisme lebih dominan ketimbang semangat
keberagamaan. Dari konteks yang demikian ini, ternyata keberadaan agama di
Indonesia belum dapat mengejawentah dalam proses perubahan sosial ke arah yang
lebih progres atau lebih baik.
Atas dasar demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari tanggung
jawab seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama. Dalam konteks
sosiologis (fungsional-struktural), merubah masyarakat ke arah yang lebih baik dan
produktif, merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain,
umat beragama dengan semangat ajarannya, bukan saja memikul tanggung jawab
untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual sebagai landasan pembangunan,
tetapi juga dituntut untuk memerankan fungsi inspiratif, korektif, kreatif dan
integratif agama ke dalam proses keharmonisan sosial. Berhubungan dengan itu, tugas
merubah kondisi sosial ke arah yang lebih baik, bukan sekedar sebagai tugas
kemanusiaan, akan tetapi sekaligus merupakan pengamalan sejati ajaran
setiap agamanya.

Teori keagamaan Emile Durkheim menurut Djuretna menyatakan


fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah sebuah
kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam
masyarakat. Setiap individu, sebaliknya, merepresentasikan masyarakat dalam agama,
yaitu melalui ketaantan kepada aturan-aturan keagamaan, misalnya dengan
menjalankan ritual-ritual keagamaan. Agama, dengan demikian, menjadi tempat
bersatunya individu-individu, bahkan ketika terjadi banyak perbedaan antara individu
karena agama sebagai kekuatan kolektif masyarakat bersifat mengatasi kekuatan-
kekuatan individual. Selain itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan
kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu. Dalam agama, individu merasa

8
dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi, dan kemalangan. Melalui upacara
keagamaan, individu dapat membangun hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi.
Ritus-ritus itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-
nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya itu, agama juga berfungsi untuk
menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide kolektif yang
menjadi ciri persatuan masyarakat. Dengan demikian menjadi jelas
bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakat, bahkan jika
terjadi banyak perbedaan antar individu atau golongan, apalagi jika terdapat artikulasi
kepentingan-kepentingan yang membuahkan ideologi bersama. Dalam hal
menyatukan masyarakat ritual-ritual keagamaan mempunyai tempat yang vital.
Melalui ritual-ritual keagamaan individu-individu dalam masyarakat disatukan oleh
kekuatan moral dan sentimen moral maupun sosial.

C. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial

Faktor Penyebab Perubahan

Sosial Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Setidaknya, terdapat dua
faktor pemicu munculnya perubahan sosial, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Berikut ini penjelasan mengenai dua faktor penyebab perubahan sosial, sebagaimana
dikutip dari Kemdikbud.

1. Faktor Internal Penyebab Perubahan Sosial

Perubahan sosial terjadi karena faktor-faktor berkembang dalam masyarakat


itu sendiri (internal). Interaksi sesama anggota kelompok melahirkan perubahan
karena pertambahan populasi penduduk, inovasi baru, konflik internal masyarakat,
hingga pemberontakan.

1) Pertambahan Populasi
Penduduk Ketika suatu wilayah bertambah penduduknya dengan pesat,
terjadi penyesuaian-penyesuaian tertentu sehingga melahirkan perubahan
sosial. Misalnya, populasi penduduk yang bertambah, namun tidak diiringi
dengan meningkatnya lowongan pekerjaan, maka akan memunculkan
banyak pengangguran. Alternatif lainnya, penduduk kemudian melakukan

9
urbanisasi ke kota, perpindahan besar-besaran melalui transmigrasi, dan
sebagainya.
2) Inovasi Baru
Inovasi baru memicu hadirnya perubahan sosial di kalangan
masyarakat. Contohnya adalah penemuan traktor yang menggantikan
hewan sebagai tenaga pembajak sawah di atas. Dalam kehidupan sehari-
hari, terdapat banyak sekali inovasi baru yang menggeser cara hidup lama.
Misalnya, orang dahulu berkirim surat untuk menyampaikan pesan, kini
masyarakat menggunakan ponsel atau gawai pintar untuk berkomunikasi
jarak jauh.
3) Konflik Internal
Masyarakat Konflik internal dalam suatu masyarakat melahirkan
perubahan sosial. Misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura pada
akhir 2000 hingga Februari 2001 yang terjadi di Sampit. Akibat konflik
itu, jatuh banyak korban jiwa yang menelan korban 500 orang Madura,
serta lebih dari 100.000 dari mereka mengungsi keluar Sampit. Komunitas
masyarakat yang awalnya damai dan tentram di Sampit, namun akibat
konflik itu menjadikan orang-orang Madura harus pindah besar-besaran
atau mengungsi dari Sampit.
2. Faktor Eksternal Penyebab Perubahan Sosial
Faktor-faktor eksternal berasal dari luar masyarakat sehingga menyebabkan
perubahan sosial. Di antara faktor-faktor eksternal itu adalah perubahan
lingkungan alam, wabah penyakit, hingga pengaruh kebudayaan dari masyarakat
lain.
1) Perubahan Lingkungan Alam Lingkungan alam yang berubah karena
bencana gempa bumi, gunung meletus, tsunami, hingga banjir menjadikan
kondisi masyarakat berubah. Contohnya, tsunami yang terjadi di Aceh dan
Sumut menelan korban hingga lebih dari 166 ribu orang. Kemudian, banjir
Jakarta pada 2008 menjadikan ribuan warga harus mengungsi ke daerah
yang lebih aman.
2) Wabah Penyakit Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia
memicu perubahan sosial besar-besaran. Sebelum pandemi, orang-orang
beraktivitas normal seperti biasanya. Akibat pandemi, banyak hal harus
mengalami penyesuaian. Di masa pandemi, sekolah yang awalnya tatap

10
muka beralih ke belajar daring. Para karyawan bekerja dari rumah atau
work from home (WFH). Ratusan ribu karyawan yang bernasib buruk
dipecat dan kehilangan pekerjaan mereka karena perusahaan tidak bisa
bertahan di masa pandemi.
3) Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain Derasnya arus informasi dari
media massa membawa pengaruh masif bagi masyarakat luas. Misalnya, di
masa lalu, pemusik tanah air tidak mengenal jenis musik rap. Namun,
berkat interaksi langsung atau tidak langsung dengan budaya bangsa lain,
terutama terkait musik rap, banyak musisi Indonesia yang mengadopsi
jenis musik ini. Mereka juga melakukan penyesuaian sehingga muncul
rapper asli Indonesia hingga musik rap berbahasa daerah.

D. Peran Agama Dalam Perubahan Sosial

Peran Agama dalam Perubahan Sosial Pembangunan masyarakat sebagai sebuah


perubahan sosial yang direncanakan banyak melibatkan unsur-unsur sosial termasuk para
pemeluk agama baik sebagai subyek maupun obyek. Keterlibatan para pemeluk agama
tersebut bisa dalam proses perencanaan, pelaksanaan ataupun pemanfaatan hasil-hasil
pembangunan baik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga masyarakat dan
pemerintah maupun oleh kalangan masyarakat itu sendiri. Banyak penelitian-penelitian
yang telah dilakukan berkenaan dengan ajaran agama dalam rnemberikan dorongan
kepada pemeluknya untuk turut berpartisipasi dalam suatu proses perubahan dan memberi
kan motivasi terhadap proses aktif dalam pembangunan masyarakat. Pendiri agama, tokoh
agama, pengikut dan penganut agama sering datang dari berbagai latar belakang sosial
yang berbeda, dari kondisi sosial berbeda inilah yang menjadikan sebab muncul dan
menyebarnya ide dan nilai yang pada akhirnya nanti dapat mempengaruhi tindakan
manusia dalam hidup bermasyarakat. Selain itu masyarakat bukan hanya sekedar bagian
sebuah struktur sosial, tapi juga merupakan suatu proses sosial yang komplek, sehingga
hubungan nilai dan tujuan masyarakat hanya relatif stabil pada setiap moment tertentu
saja. Sehingga hal ini menyebabkan dalam diri masyarakat selalu perubahan yang
bergerak lambat namun komulatif, sedangkan beberapa perubahan lain mungkin
berlangsung lebih cepat, begitu cepatnya sehingga mungkin saja mengganggu struktur
yang sudah ada dan matang. Hancurnya bentuk-bentuk sosial dan kultural yang telah

11
mapan secara otomatis akan berakibat tampilnya bentukbentuk baru yang merupakan
suatu proses yang berkesinambungan.

Dengan demikian jelas akan beragam kelompok yang ada di masyarakat yang
terpengaruh dengan adanya perubahan sosial tersebut. Sehingga dalam konteks tertentu,
disatu sisi agama dapat beradaptasi dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai
alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya.

Pembahasan tentang peran agama disini juga bisa kita lihat akan dua hal, yaitu
agama sebagai faktor integratif dan disintegratif bagi masyarakat.

Peran agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam
menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat
maupun dalam kewajibankewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal
ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat.

Peran agama sebagai faktor disintegratif adalah, meskipun agama memiliki


peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi
suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai
kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi
suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam
mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabai kan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Jadi sebenar nya disintegrasi tersebut terjadi
karena faktor manusianya atau penganut agamanya, apabila kita merujuk pada Al-Qur’an
menurut Kahmad (2002:146) menjelaskan, faktor konflik sesungguhnya berawal dari
manusia, misalnya dalam surat Yusuf ayat 5 dijelaskan tentang adanya kekuatan pada diri
manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan
norma Ilahi.

Dalam konteks Perubahan sosial yang dikehendaki ajaran agama adalah


perubahan yang memiliki dan mengutamakan nilai-nilai, yaitu perubahan dari suatu yang
kurang baik menjadi baik atau yang baik menjadi lebih baik. Secara sosiologis munculnya
semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial
yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi

12
pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagian sosiolog sependapat, bahwa
perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-
tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak
ringan. Ajaran agama memiliki pengaruh yang besar dalam penyatuan persepsi kehidupan
masyarakat. Kehadiran agama secara fungsional sebagai “perekat sosial”, memupuk
solidaritas sosial, menciptakan perdamaian, membawa masyarakat menuju keselamatan,
mengubah kehidupan seseorang menjadi kehidupan yang lebih baik, memotivasi dalam
bekerja dan seperangkat peranan yang kesemuanya adalah dalam rangka memelihara
kestabilan sosial.

13
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Agama dalam kehidupan berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-
norma. Norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku
agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Dalam konteks perubahan sosial
agama berperan dalam perubahan sosial dengan memberikan ide dan membentuk nilai-nilai
yang mempengaruhi tindakan manusia serta memotivasi terhadap proses aktif dalam
pembangunan masyarakat.

Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress), posisi agama pun
memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebarkan
perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan,
menegakkan keadilan, kemudian teknologi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab
seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama. Dalam perspektif sosiologis merubah
masyarakat ke arah yang lebih baik merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari.
Dengan kata lain, umat beragama dengan semangat ajarannya, memikul tanggung jawab
untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual sebagai landasan pembangunan, untuk
menuju kehidupan yang harmonis.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://tirto.id/definisi-dan-faktor-penyebab-perubahan-sosial-serta-contohnya-glmN

elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisan-
lapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –

Ahmad,Beni,Sosiologi Agama,hlm.2

http://id.shvoong.com/

http://www.indonesiaindonesia.com

Rodney Wilson, Economics, Ethics and Religion, Macmillan, 1997. h. 211

erlan-abuhanifa.blogspot.com/…/ekonomi-dan-agama

file:///C:/Users/ASUS/Downloads/776-Article%20Text-1672-1-10-20160926.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai