Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini membahas mengenai humanisme teosentris dalam konteks
pendidikan Islam. Humanisme sendiri pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
dijelaskan sebagai : aliran yang memiliki tujuan untuk menghidupkan rasa
kemanusiaan dan bercita cita menciptakan pergaulan hidup yang lebih baik;
paham yang memiliki anggapan bahwa manusia adalah objek studi terpenting;
aliran zaman Renaissance yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar seluruh
peradaban manusia; kemanusiaan.1 Sehingga humanisme bisa diartikan sebagai
salah satu paham dari aliran filsafat yang bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai
dan martabat manusia, dan menjadikan manusia sebagai tolok ukur dari penilaian,
kejadian, serta gejala gejala di bumi.
Adapun teosentris merupakan sebuah paham bahwa Tuhan adalah segala
dari ada. Tiada ada kecuali Tuhan. Tuhan menjadi poros modus berfikir, dari
tuhan dan untuk Tuhan.2 Sehingga, Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak
bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa teosentris adalah
menempatkan Tuhan sebagai tingkat tertinggi dalam segala hal karena Dia lah
merupakan pusat dari alam semesta. Saat humanisme dan teosentris
dikolaborasikan menjadi satu maka akan menjadi suatu hal yang seimbang. Sebab
humanisme pada dasarnya merupakan cara berpikir yang berfokus dan bertujuan
pada konsep peri kemanusiaan.3
Adapun teosentris berkebalikan dari humanisme. Penganut paham teosentris
seringkali bersifat statis sebab terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada Tuhan.
Sikap kepasrahan tersebut membuatnya tidak punya pilihan sebab segala
perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan.4 Oleh karena itu,
humanisme dan teosentris perlu dihimpun menjadi satu untuk menyeimbangkan

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
(Jakarta:Gramedia, 2008), 533.
2
Rohmani, Satu Anak Satu Kurikulum (Indramayu: CV. Adanu Abimata, 2022), 18.
3
M. Hadi Purnomo, Pendidikan Islam: Integrasi Nilai Nilai Humanis, Liberasi, dan
Transendensi (Yogyakarta: Absolute Media, 2016), 22.
4
Mubaedi Sulaeman, Teologi Islam (Malang: CV Prabu Dua Satu, 2020) ,75.
dan saling melengkapi serta saling memberi batas satu sama lain. Humanisme
yang menjunjung tinggi aspek kemanusiaan dikolaborasikan dengan teosentris
yang terlalu berpasrah kepada Tuhan hingga tidak menyadari adanya kuasa
manusia terhadap dirinya sendiri, sehingga muncullah konsep humanisme
teosentris. Humanisme teosentris merupakan sebuah ajaran yang menjunjung
tinggi nilai nilai kemanusiaan, namun tetap tidak melanggar batas ajaran ajaran
Tuhan yang telah ditetapkan.
Humanisme teosentris sendiri telah terkandung di dalam ajaran Islam. Sebab
pada hakekatnya, ajaran Islam memang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
manusia, bukan untuk kebutuhan Tuhan. Sehingga Islam merupakan agama
fitrah.5 Islam yang merupakan agama fitrah itu sesuai dengan firman Allah di
dalam Al Qur‟an pada surat Ar Rum ayat 30, yakni:
        
          
     
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui6.” (Q.S. Ar-Ruum [30]: 30)

Sesuai dengan makna pada surat Ar Rum ayat 30 tersebut, meskipun ajaran
Islam diperuntukkan manusia bukan berarti manusia tidak butuh untuk mendekati
Tuhan, malah sebaliknya. Manusia tetap butuh mendekati Tuhan karena harkat,
martabat, serta kemuliaan manusia akan semakin tinggi apabila ia mampu
mendekati Tuhan Yang Maha Tinggi. Termasuk melibatkan nilai nilai ketuhanan
atau ilahiyah dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam aspek pendidikan,
terutama pendidikan Islam.
Pendidikan dalam Islam sesungguhnya memiliki makna sentral yang berarti
proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai kebahagian dunia dan
akhirat atau keseimbangan antara materi dan religius-spiritual. Demikian

5
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 11.
6
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah
wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
pendidikan diharapkan dapat menciptakan iklim pendidikan yang demokratis dan
humanis.7
Namun demikian, umat Islam saat ini memiliki kecenderungan untuk
menekankan pada status quo atau kemapanan dan menolak perubahan perubahan
yang dapat menimbulkan perbedaan. Sifat keberagaman menjadi begitu kaku.
Ajaran halal dan haram, pahala dan dosa, surga dan neraka begitu mendominasi
dan mengakibatkan segala hal terlihat hitam dan putih. Alhasil pendidikan Islam
cenderung bersifat normatif, deduktif, dan tekstual hingga sisi kedemokratisan
dan kehumanisan menjadi semakin tersingkirkan Pendidikan Islam memiliki
kesan di mata publik sebagai sesuatu hal yang identik dengan kejumudan,
kemandekan, dan kemunduran.8 Kesan tersebut didasarkan pada kenyataan
mayoritas umat Islam hidup di negara negara dunia ketiga dalam keterbelakangan
ekonomi dan pendidikan.9
Menurut Shofan yang dikutip oleh Fiska Ilyasir, kemandekan dan
kejumudan tersebut merupakan imbas kemunduran di bidang politik dan budaya.
Pada saat itu, umat Islam terperosok pada romantisme masa lalu. Mereka
cenderung melihat kejayaan mereka pada abad pertengahan. Sehingga para
sarjana Barat mengatakan bahwa romantisme masa lalu itu membuat para sarjana
muslim tidak menganggapi tantangan baru yang nyata.10
Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan cara berpikir yang serba
dikotomis seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat, ilmu agama versus
ilmu non agama dan bentuk bentuk dikotomi lainnya. Paradigma ini dipengaruhi
bahwa sains dan teknologi sebagai lambang peradaban dewasa ini berkembang di
dunia Barat yang notabene negara non muslim. Akibatnya, pemahaman
penjajahan Barat atas Timur semakin menguat dan dominasinya telah
menyisihkan umat Islam yang semakin terbelakang.11
7
Ida Nurjanah, “Paradigma Humanisme Religius Pendidikan (Telaah Pemikiran
Abdurrahman Mas’ud) -Ida Nurjanah” 03 (2018): 155–70.
8
Nurjanah.
9
Purnomo, Pendidikan Islam, 28.
10
Fiska Ilyasir, “Pengembangan Pendidikan Islam Integratif Di Indonesia; Kajian Filosofis
Dan Metode Implementasi,” LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan) 8, no. 1 (2017): 36,
https://doi.org/10.21927/literasi.2017.8(1).36-47.
11
Purnomo, Pendidikan Islam, 29.
Problematika tersebut membuat pendidikan Islam kurang seimbang dalam
tanggung jawab hablun minallah dan hablun minannas. Hal ini tentu berimbas
pula terhadap peserta didik. Potensi peserta didik belum dikembangkan secara
proporsional dan belum berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia
pula. Kemandirian dan tanggung jawab peserta didik juga masih jauh dari capaian.
Padahal peserta didik diharapkan menjadi manusia yang berilmu dan berakhlak
mulia, Pendidikan juga diharapkan dapat memberikan hasil yang dapat bertahan
lama dan merupakan investasi jangka panjang untuk membentuk sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas.
Agar dapat menghasilkan SDM yang berkualitas, baik material maupun
spiritual diperlukan sistem pendidikan yang integral dan berorientasi pada aspek
teo-antroposentris secara dinamis, dan berorientasi pada pengembangan seluruh
potensi dan dimensi peserta didik secara proporsional. 12 Hal tersebut senada
dengan tujuan pendidikan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Tujuan nasional diselenggarakannya pendidikan adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.13
Demikian humanisme teosentris ini dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif dalam menyelesaikan problem atau masalah yang sedang dihadapi di
dalam dunia pendidikan Islam. Adanya humanisme teosentris dapat
menyeimbangkan kembali antara ilmu agama dan ilmu umum dengan tetap
memerhatikan tanggung jawab hablun minallah dan hablun minannas serta
mengembalikan fitrah manusia sebagai „abdullah sekaligus khalifatullah. Konsep
humanisme teosentris ini perlu diterima dengan tangan terbuka sebab pemikiran
tersebut pada intinya mengarah ke upaya untuk memajukan pendidikan.
Pendidikan Islam yang baik adalah yang bersifat integratif serta berupaya

12
Agus Retnanto, “Integrasi Keilmuan Dalam Pendidikan Islam,” Elementary 5, no. 2
(2017): 233–48, https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/elementary/article/download/2988/pdf.
13
Sekretariat Negara RI, Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
memadukan dan mengharmoniskan kembali relasi antar tuhan-alam dan wahyu-
akal.14
Pada penelitian ini lebih fokus pada analisa secara filosofis kajian
humanisme teosentris. Analisa secara filosofis dilakukan untuk bertujuan
mendalami secara kritis dan radikal mengenai humanisme teosentris pada
pendidikan Islam dengan landasan epistemologis, ontologis, dan aksiologis.
Selain itu, penelitian ini memiliki titik fokus yang tidak hanya sekadar membahas
konsep humanisme teosentris dalam konteks pendidikan Islam saja, namun
mengambil point of view bagaimana implementasi humanisme teosentris, seperti
pada aspek metode, pendidik, peserta didik, evaluasi, dan sebagainya.
Berdasarkan dari pemikiran tersebut, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan sebuah penelitian kualitatif berbasis library research dengan
menggunakan pendekatan filosofis untuk melihat, mengamati, mendeskripsikan,
serta menganalisis lebih jauh mengenai humanisme teosentris dalam konteks
Pendidikan Islam.
B. Identifikasi dan Fokus Kajian
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian diidentifikasi
sebagai berikut:
umat Islam saat ini memiliki kecenderungan untuk menekankan pada status quo

Sifat keberagaman menjadi begitu kaku. Ajaran halal dan haram, pahala dan dosa,
surga dan neraka begitu mendominasi dan mengakibatkan segala hal terlihat hitam
dan putih.

pendidikan Islam cenderung bersifat normatif, deduktif, dan tekstual

Pendidikan Islam memiliki kesan di mata publik sebagai sesuatu hal yang identik
dengan kejumudan, kemandekan, dan kemunduran

cara berpikir yang serba dikotomis seperti Islam versus non Islam, Timur versus
Barat, ilmu agama versus ilmu non agama dan bentuk bentuk dikotomi lainnya

Perumusan masalah pada penelitian pustaka disebut dengan istilah fokus


kajian. Pada bagian tersebut merupakan pengembangan dari uraian latar belakang

14
Ahmad Muthohar, “Konsep Pendidikan Islam Integratif,” Pendidikan Islam Integratif,
2021, 1–9.
masalah yang mencantumkan semua masalah yang akan ditelaah memang belum
terjawab atau belum dipecahkan secara memuaskan.15 Berdasarkan latar belakang
masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka fokus kajian yang akan dibahas
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
2. Bagaimana konsep humanisme teosentris dalam konteks pendidikan Islam?
3. Bagaimana implementasi humanisme teosentris dalam konteks pendidikan
Islam?
4. Bagaimana kritik terhadap konsep humanisme teosentris?

Anda mungkin juga menyukai