Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KAJIAN ANTROPOLOGIS FILSAFI TERHADAP


HAKIKAT MANUSIA DAN TUJUAN PENDIDIKAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Pedagogik

Oleh :

Gayatri Mayang Handayani (2010207)

Geby Maryono (2010268)

Moh. Fathulloh Afandi (2010294)

ENGLISH EDUCATION PROGRAM

FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE EDUCATION

INDONESIA UNIVERSITY OF EDUCATION

2021
Abstrak

Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk individu dan makhluk sosial yang terikat dengan
norma-norma. Iman dan ilmu juga merupakan hakikat manusia yang membedakannya dari
makhluk lain. Untuk menjawab tantangan zaman, dimana dunia secara cepat semakin
berkembang, manusia perlu kembali kepada hakikatnya, dan pendidikan dapat menjadi salah satu
jawaban. Dalam pendidikan, pendidik dan peserta didik sama-sama memiliki peranan yang
penting dalam mencapai tujuan pendidikan jika dikaji dari landasan filosofi pendidikan
idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme dan Pancasila. Hal ini dikarenakan
aliran-aliran filsafat ini memiliki fokus yang berbeda dalam memaknai hakikat manusia dan
pendidikan. Namun pada akhirnya semuanya sama-sama bermuara pada pembangunan manusia.
Pendahuluan

Harari (2018) dalam bukunya menjelaskan bahwa saat ini, di abad ke 21, teknologi
semakin berkembang, kematian akibat peperangan dan wabah penyakit berkurang, dan
kemudahan-kemudahan lainnya dalam hidup tercapai. Namun segala perkembangan tersebut
tidak selalu diiringi dengan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Harari menjelaskan,
bahwa saat ini manusia mengalami suatu keadaan yang belum pernah ada sebelumnya dan
merupakan keadaan yang lebih buruk dari eksploitasi dan kekerasan fisik, yaitu sebuah
irelevansi. Manusia semakin kehilangan jati dirinya dan merasa tidak dibutuhkan karena
otomatisasi semakin berkembang. Negara-negara kecil seperti Singapura dan Luxemburg sebagai
negara dengan GDP terbesar tidak perlu memiliki banyak populasi untuk mencapai kejayaan
ekonomi. Hal ini semakin membuktikan bahwa manusia semakin kehilangan nilainya. Maka,
tidak jarang pertanyaan yang menjadi pembahasan dan perbincangan mengapa perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan tidak dapat membuat hidup manusia menjadi lebih bahagia?

Berbicara tentang manusia, tentunya pada saat yang sama akan membahas filosofi
antropologi yang mengungkapkan karakteristik dan sifat dasar manusia. Dalam antropologi,
hakikat manusia menjadi salah satu bahasan penting. Leahy dalam Sumantri (2015) menjelaskan
bahwa “hakikat manusia” merupakan seperangkat gagasan manusia dengan karakteristik khas
yang dimilikinya. Mustari & Rahman (2011) menyebutkan 3 hakikat manusia, yaitu: manusia
sebagai makhluk bermoral yang perilakunya terikat dengan norma susila, manusia sebagai
makhluk individu yang akan mengutamakan kepentingan pribadi, dan manusia sebagai makhluk
sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Mutahhari dalam Erliani (2019) menambahkan bahwa salah
satu hakikat yang membedakan manusia dengan hewan adalah kepemilikan iman dan ilmu.

Kembali kepada permasalahan mengenai kebahagiaan manusia, saat ini manusia semakin
jauh dari kebahagiaan walau hidup semakin menjadi lebih mudah. Semakin jauhnya manusia
dari hakikatnya mungkin merupakan salah satu alasan yang dapat menjelaskan keadaan ini.
Liberalisme telah membawa kebebasan yang tidak dapat selalu dipertanggungjawabkan, yang
semakin menjauhkan manusia dari norma susila yang ada. Perkembangan teknologi dan sosial
media pun nyatanya tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas hubungan sesama manusia.
Dan pada akhirnya, walau ilmu semakin berkembang, manusia semakin jauh dari Tuhan dan
iman. Menjauhnya manusia dari hakikatnya inilah yang membuat manusia semakin penuh
dengan kecemasan dan ketidakbahagiaan dalam hidup.

Pendidikan sebagai salah satu aspek universal dalam hidup dapat menjadi jawaban dari
krisis irelevansi yang dialami manusia saat ini. Pada dasarnya, pendidikan memiliki tujuan untuk
mengembangkan potensi yang ada pada manusia. Dalam proses pelaksanaannya, pendidikan
terdiri dari kegiatan mengajar, mendidik dan melatih manusia untuk meningkatkan keterampilan,
ilmu dan pengetahuan. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan nasional Indonesia
memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME., berakhlak mulia, dan menjadi warga
negara demokratis yang bertanggung jawab. Selain itu, tujuan pendidikan nasional juga untuk
membentuk watak peserta didik dalam rangka membangun peradaban bangsa yang bermartabat
dan cerdas. Dari tujuan dan pelaksanaannya, dapat dilihat bahwa pendidikan merupakan jawaban
untuk mengembalikan manusia pada hakikatnya. Sehingga pendidikan, dengan pendidik dan
peserta didik didalamnya, dapat menjadi jawaban untuk kembali memanusiakan manusia.

Makalah ini akan membahas hakikat manusia, hakikat tujuan pendidikan, hakikat isi
pendidikan lebih mendalam dilihat dari beberapa pandangan filosofis. Selain itu, makalah ini
juga akan membahas implikasi berbagai pandangan filosofis tersebut dalam mencapai tujuan
pendidikan. Pembahasan filosofis ini menjadi sebuah hal yang penting sebagai dasar dari
implikasi dan pelaksanaan nyata pendidikan dalam kehidupan manusia untuk kembali membawa
manusia kepada hakikatnya.

Pandangan Filsafat Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan


Sudut pandang dan pengalaman yang berbeda tentang dunia dan kehidupan telah
menimbulkan berbagai aliran filsafat. Perbedaan pandangan beberapa aliran filsafat ini juga
berkaitan dengan memahami apa hakikat manusia dan makna pendidikan baginya. Hal ini perlu
dikaji untuk lebih memahami landasan filosofis dalam pendidikan. Dalam hal ini makalah ini
akan membahas hakikat manusia dan pendidikan dari beberapa pandangan filsafat (idealisme,
realisme, pragmatisme, eksistensialisme dan pancasila).
Menurut pandangan filsafat idealisme, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Manusia
dipimpin dan dipengaruhi oleh jiwanya karena jiwa adalah aktor utama penggerak semua
aktivitas dan perilaku manusia. Plato sebagai tokoh terkemuka dari filsafat idealisme
memandang bahwa pengembangan manusia haruslah dengan mengutamakan jiwanya dengan
pengetahuan (Peursen, 1982). Selain itu filsafat idealisme menekankan pada ide-gagasan,
pemikiran dan akal dan juga spiritual (Knight, 2007). Filsafat ini juga memandang pendidikan
sebagai upaya meningkatkan daya pikir dan bakat siswa sehingga menjadi pribadi ideal. Untuk
itu, aliran filsafat ini menilai guru seharusnya adalah sosok terpenting sebagai sosok teladan ideal
bagi siswa.
Berbeda dengan filsafat idealisme, dalam pandangan realisme realitas dan diri manusia
terbagi menjadi dua yaitu dunia fisik dan juga rohani (Knight, 2007). Realisme memandang
bahwa manusia harus membuktikan ide intelektual dan kebenaran dalam akal-pikirnya melalui
objek yang bisa diukur dan diuji. Oleh sebab itu pendidikan perlu fokus pada pengembangan
kemampuan intelektual dan pencarian kebenaran melalui uji coba/eksperimen dan pengalaman
langsung terhadap dunia fisik dan masyarakat. Realisme memandang penting pengalaman
indrawi untuk mendukung dan meningkatkan kemampuan akal manusia.
Berangkat dari pemikiran realisme, Heraclitos kemudian berpandangan bahwa sifat
utama dari realitas kehidupan adalah perubahan (Kuswana, 2003). Dengan meyakini perubahan
sebagai suatu yang konstan, maka lahirlah sebuah filsafat pragmatisme yang memandang bahwa
lebih baik untuk fokus pada konsekuensi-konsekuensi dan fakta-fakta baru sebagai hasil dari
perubahan tersebut (James dalam Knight, 2007). Dalam kaitannya dengan pendidikan,
pragmatisme memandang penting interaksi manusia dengan lingkungannya. Selain itu, manusia
juga dipandang harus ikut bertanggung-jawab terhadap perubahan alam dan sosial. Oleh sebab
itu pendidikan perlu mengajarkan usaha-usaha praktis untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan manusia dan keberlangsungan hidupnya di alam dan masyarakat.
Berbeda dengan pragmatisme yang mendasarkan relativisme dan humanisme pada
otoritas diluar diri dan pada masyarakat, filsafat eksistensialisme lebih menekankan pada peran
individu. Hal ini karena eksistensialisme memandang bahwa manusia lebih dulu ada (eksistensi)
dan baru kemudian membentuk esensi (Kuswana, 2003). Eksistensialisme mendambakan
manusia agar memiliki kepribadian yang paling tinggi, paling bebas, dan paling asli dirinya
(Gutek, 1974). Oleh sebab itu, pendidikan dipandang perlu menghargai keunikan setiap individu
dan mengembangkan potensi individu semaksimal mungkin.
Berbicara landasan filsafat pendidikan di Indonesia tentu harus membahas Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara. Dari kelima sila yang ada, dapat dilihat bahwa kesemuanya
merupakan suatu falsafah yang tidak berdiri sendiri melainkan sebagai satu kesatuan pemikiran
dan manusia sebagai subjek utamanya (Kaelan, 2008). Filsafat Pancasila memandang manusia
sebagai makhluk religius yang juga makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh sebab itu nilai
dan kandungan filsafat setiap sila dalam Pancasila adalah dasar aksiologis yang menjadi panduan
bagi bangsa Indonesia dalam bersikap, termasuk dalam menyelenggarakan pendidikan (Sadulloh,
2012). Filsafat Pancasila terkait pendidikan juga dapat dilihat dari pemaknaan pendidikan dalam
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari berbagai pandang filsafat diatas bisa dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan
fokus pandangan dalam pendidikan dan tujuannya. Namun dapat dilihat juga bahwa semuanya
berfokus pada pengembangan manusia dan kebaikan bagi dirinya.

Implikasi Pandangan Antropologi Filsafi terhadap Peranan Pendidik dan Peserta Didik
dalam Mencapai Tujuan Pendidikan

Peranan pendidik dan peserta didik akan dianalisis kedalam beberapa landasan filosofis
pendidikan, diantaranya adalah idealisme dan realisme, nasional (Pancasila), pragmatisme, dan
eksistensialisme.

1. Landasan Filosofis Pendidikan Idealisme


Peranan pendidik dan peserta didik. Para filsuf Idealisme mempunyai harapan yang tinggi
dari para guru. Guru harus unggul (excellent) agar menjadi teladan bagi para siswanya,
baik secara moral maupun intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di
dalam sistem sekolah selain guru. Guru harus unggul dalam pengetahuan dan memahami
kebutuhan-kebutuhan serta kemampuan-kemampuan para siswa; dan harus
mendemonstrasikan keunggulan moral dalam keyakinan dan tingkah lakunya. Guru harus
juga melatih berpikir kreatif dalam mengembangkan kesempatan bagi pikiran siswa
untuk menemukan, menganalisis, memadukan, mensintesis, dan menciptakan aplikasi-
aplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat (Callahan and Clark, 1983). Karena itu
guru hendaknya bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para siswa.
Adapun siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya (Power
E. J., 1982).

2. Landasan Filosofis Pendidikan Realisme


Peranan pendidik dan peserta didik. Guru adalah pengelola kegiatan belajar-mengajar di
dalam kelas (classroom is teacher-centered); guru adalah penentu materi pelajaran; guru
harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat
mata pelajaran sebagai sesuatu yang konkrit untuk dialami siswa. Para siswa memperoleh
disiplin melalui ganjaran dan prestasi, mengendalikan perhatian para siswa, dan membuat
siswa aktif (Callahan and Clark, 1983). Dengan demikian guru harus berperan sebagai
penguasa pengetahuan; menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar; dengan
kewenangan membentuk prestasi siswa. Adapun siswa berperan untuk “menguasai
pengetahuan yang diandalkan; siswa harus taat pada aturan dan berdisiplin, sebab aturan
yang baik sangat diperlukan untuk belajar, disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk
berbagai tingkatan keutamaan” (Power E. J., 1982).

3. Landasan Filosofis Pendidikan Nasional (Pancasila)


Peranan pendidik dan peserta didik. Ada berbagai peranan pendidik dan peserta didik
yang harus dilaksanakan, namun pada dasarnya berbagai peranan tersebut tersurat dan
tersirat dalam semboyan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara: “ing ngarso sung tulodo”
artinya pendidik harus memberikan atau menjadi teladan bagi peserta didiknya; “ing
madya mangun karso”, artinya pendidik harus mampu membangun karsa pada diri
peserta didiknya; dan” tut wuri handayani” artinya bahwa sepanjang tidak berbahaya
pendidik harus memberi kebebasan atau kesempatan kepada peserta didik untuk belajar
mandiri.

4. Landasan Filsafat Pragmatisme


Peranan pendidik dan peserta didik. Dalam Pragmatisme, belajar selalu dipertimbangkan
untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peranan guru bukan menuangkan
pengetahuannya kepada siswa, sebab upaya tersebut merupakan upaya tak berbuah.
Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-
minat dan masalah pribadinya. Dengan kata lain isi pengetahuan tidak bertujuan dalam
dirinya sendiri, melainkan bermakna untuk suatu tujuan. Sedangkan siswa memiliki
peranan untuk mengolah setiap pengalaman yang didapatkannya untuk mengetahui
kebenaran yang ada di masyarakatnya. Dalam hal ini, siswa akan mampu merekonstruksi
setiap pengalaman yang ia dapatkan secara kronologis selama ia hidup bermasyarakat
serta berinteraksi dengan manusia dan alam di sekitarnya. Setiap pengalaman yang
didapatkan nantinya akan menjadi suatu pertimbangan bagi siswa tersebut dalam
menyelesaikan suatu masalah baik yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.

5. Landasan Filsafat Eksistensialisme


Peranan pendidik dan peserta didik. Seorang pendidik harus mampu dan berperan untuk
melindungi dan memelihara kebebasan akademik. Hal ini penting karena kebebasan akan
memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi objek.
Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya
adalah tanggung jawab saya sendiri. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia
dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu
yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri (Dagun, 1990). Manusia (peserta didik)
adalah makhluk rasional dengan pilihan yang bebas dan bertanggungjawab atas
pilihannya. Kebebasan yang dimiliki dan diberikan kepada seseorang dapat memberikan
jalan kepada setiap individu untuk mendapatkan pendidikan secara otentik yang artinya
setiap manusia mempunyai tanggung jawab dan kesadaran diri untuk mereka sendiri
(Hamdani, 1987). Eksistensialisme menghendaki adanya keberagaman sistem
pendidikan, baik keberagaman materi dan metode dalam melaksanakan pengajaran.
Melalui keberagaman inilah proses pembelajaran akan dapat menampakkan secara nyata
eksistensi setiap individu. Atas dasar ini pula maka dasar dan tujuan pendidikan tidak
dapat ditetapkan dengan konkret karena jika ditetapkan secara nyata, maka hal itu
cenderung membuat kekangan bagi setiap pendidik dan peserta didik sehingga tidak
dapat memberikan kebebasan.

Kesimpulan

Pendidikan memiliki tujuan untuk kembali membawa manusia kepada hakikatnya.


Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan nasional Indonesia memiliki tujuan untuk
mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
bertakwa kepada Tuhan YME., berakhlak mulia, dan menjadi warga negara demokratis yang
bertanggung jawab. Ditinjau dari berbagai pandangan filosofi, pendidik dan peserta sama-sama
memiliki peranan yang penting untuk mencapai tujuan tersebut.
Setiap pandangan filsafat memiliki fokus yang berbeda satu dengan lainya. Idealisme
menekankan pada pengembangan jiwa, karakter dan daya intelektual manusia. Realisme yang
memandang adanya dualitas realitas, menekankan pada kebenaran pengetahuan dan ide
pemikiran melalui objek yang bisa diuji dan diukur. Pragmatisme menekankan pada pengalaman
hidup dan adaptasi manusia terhadap perubahan demi peningkatan kualitas dan pemenuhan
kebutuhan kesejahteraan manusia dan masyarakatnya. Eksistensialisme menekankan pada
pengembangan potensi dan eksistensi individu manusia. Pancasila mendambakan manusia yang
berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, bermusyawarah, dan adil, sesuai sila-sila di dalamnya.
Kesemua filsafat ini pada akhirnya memiliki kesamaan dalam tujuan mengembangkan manusia
melalui pendidikan.
Terdapat lima landasan filsafat yang membentuk peran pendidik dan peserta didik sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional. Kelimanya sama-sama fokus pada kebutuhan peserta didik.
Sehingga, siswa dapat merasakan kemerdekaan dalam pendidikan dan dapat dengan mudah
merekonstruksi setiap pengalaman yang didapatkan dalam setiap pembelajaran.
Daftar Pustaka

Callahan J. F. & Clark, L.H. (1983). Foundation of education. New York: Macmillan Publishing
Co. Inc.

Dagun, S. M. (1990). Filsafat eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdiknas. (2003). Undang-undang RI No.20 tahun 2003: Tentang sistem pendidikan nasional.
Jakarta: Depdiknas

Erliani, S. (2019). Hakikat isi/materi pendidikan Islam. Lentera, 14(2), 136–146.


https://doi.org/10.22201/fq.18708404e.2004.3.66178

Gutek, G. L. (1974). Philosophical Alternatives in Education. Columbus Ohio: Charles E.


Merrill Publishing Company.

Hamdani, A. (1987). Filsafat pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.

Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st century. New York: Spiegel & Grau.

Knight, G. R. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media.

Kuswana, W. S. (2013). Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan. Alfabeta:


Bandung.

Mustari, M., & Rahman, T. (2011). Nilai karakter: Refleksi untuk pendidikan karakter.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2011.

Peursen, Van. (1982). Tubuh-Jiwa-Roh. Jakarta: BPK Gunung.

Power, E. J. (1982). Philosophy of education: Studies in philosophies, schooling, and


educational policies. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Sadulloh, Uyoh. (2012). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sumantri, M. (2015). Pengantar pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka

Anda mungkin juga menyukai