Anda di halaman 1dari 19

TEORI KOGNITIF SOSIAL DAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK

A. Teori Kognitif Sosial dan Teori Konstruktivistik


Para perintis teori belajar, biasanya mengembangkan konsep melalui
pengeksperimentasian hewan di tataran fisik: mengamati hewan melewati jalan yang
berliku-liku atau menekan tuas untuk memperoleh makanan. Hasil eksperimen
tersebut kemudian diterapkan dalam proses pembelajaran dengan prinsip-prinsip yang
sama. Namun demikian, eksperimen tersebut tidak bersifat sosial karena tidak ada
hewan lain yang hadir (Crain, 2007:301). Sedangkan pembelajaran melibatkan
interaksi antara peserta didik dengan sumber belajar dan interaksi antar peserta didik.
Albert Bandura mengembangkan suatu teori yang berbasis pada teori
behavioristik yaitu reinforcement (penguatan) dan punishment (hukuman) dengan
menambahkan belajar dengan cara mengamati orang lain. Hal ini kemudian melahirkan
pendekatan neo behavioristik yang disebut teori kognitif sosial. (Woolfolk, 2007:229).
Pendekatan konstruktivis menekankan bahwa individu akan belajar dengan
baik apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Fokus
utama konstruktivisme adalah bagaimana individu menggunakan keahlian pemrosesan
informasi untuk pembelajaran dan berpikir secara konstruktivis (Santrock, 2007: 389).
Dan pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari
pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama.
Hal itu dapat dilakukan dengan cara mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman
bersama saat bertemu dengan pemikiran orang lain sehingga pengalaman dalam
konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran.
(Bearison & Dorval; Gauvin; Johnson & Johnson dalam Santrock, 2007: 390).
Dalam makalah ini akan dibahas teori kognitif sosial, teori konstruktivistik,
dan penerapannya dalam pembelajaran.

B. Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory)


Teori kognitif sosial menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif, dan juga
faktor perilaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor sosial mungkin
mencakup pengamatan terhadap perilaku orang tua (Santrock, 2007: 285). Faktor
kognitif dapat berupa kepercayaan, persepsidiri, dan harapan (Woolfolk, 2007:330).
Woolfolk (2007:330) menjelaskan bahwa teori Bandura menekankan pada
pengamatan, pemodelan, dan vicarious reinforcement (penguatan level pengamatan
1
yang empatik, merasa seolah-olah diri sendiri yang melakukannya). Bandura
menyatakan bahwa dalam situasi-situasi sosial, manusia sering kali belajar lebih cepat
hanya dengan mengamati tingkah laku orang lain, misalnya saat anak-anak belajar
lagu baru dengan meniru orang tua atau orang terdekat di sekitarnya (Crain, 2007:302).
Pengamatan juga mengajarkan sejumlah konsekuensi yang memungkinkan dari
sebuah tingkah laku baru: memerhatikan apa yang akan terjadi saat orang lain
mencobanya.
Faktor internal dan eksternal memainkan peran yang penting pada teori kognitif
sosial. Kegiatan lingkungan, faktor personal, dan tingkah laku saling berinteraksi dalam
proses belajar. Bandura menyebutnya reciprocal determinism.
Reciprocal determinismyang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku,
person/kognitif, dan lingkungan. Faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk
mempengaruhi pembelajaran: faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku
mempengaruhi lingkungan, faktor person (kognitif) mempengaruhi perilaku, dan
sebagainya. (Woolfolk (2007:230). Perbandingan hubungan antara tingkah laku (T),
pribadi (P), dan lingkungan (L) menurut Pavlov, Skinner, Lewin dan Bandura
ditunjukan pada gambar 1.

Gambar 1. Hubungan antara tingkah laku (T) – Pribadi (P) – Lingkungan (L)
menurut Pavlov, Skinner, Lewin dan Bandura (Sumber: http://m-
belajar.blogspot.com/2014/06/sosial-kognitif-albert-bandura-
dan.html)
Albert Bandura dalam Santrock (2004: 286) menyatakan bahwa ketika murid
belajar, mereka dapat merepresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka
secara kognitif. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif)

2
memainkan peran penting. Faktorperson (kognitif) yang ditekankan Bandura pada masa
belakangan ini adalah self-efficacy yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai
situasi dan menghasilkan hasil positif. Hal ini berpengaruh besar terhadap perilaku.
Misalnya, seorang murid yang self-efficacy nya rendah mungkin tidak mau berusaha
belajar untuk ujian karena tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya
mengerjakan soal.

C. Penerapan Teori Kognitif Sosial


. Untuk menempuh model pembelajaran tersebut, Bandura (1986) menyebutkan
empat proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran, yaitu:
1 Atensi (Perhatian), proses secara sadar atas sebongkah kecil informasi dari
keseluruhan informasi yang tersedia, dari penginderaan maupun proses kognitif
lainnya.
2 Retensi (Ingatan), proses di mana informasi yang diperoleh dari observasi dapat
digunakan atau bisa bermanfaat di saat ia membutuhkan informasi tersebut.
Bandura berpendapat bahwa terjadi retentional process, dimana informasi
disimpan melalui dua cara yaitu secara imajinasi atau secara verbal
3 Produksi, proses menerjemahkan citraan atau deskripsi model ke dalam bentuk
perilaku nyata. Pada tahap ini kita dituntut untuk berimprovisasi dari hasil Atensi
dan Retensi tadi sehingga menghasilkan suatu perilaku yang mungkin baik atau
berdampak buruk bagi kita
4 Motivasi, proses penguat tindakan yang muncuk dari dalam diri individu
berdasarkan pada apa yang dikatakan atau dilakukan oleh model

Selain itu, penerapan teori sosial kognitif dalam hal pembelajaran dan pengajaran
di bidang pendidikan melibatkan dua elemen penting, yaitu Self-Efficacy dan Self-
Regulated Learning.

1. Pengaturan Diri (Self-regulation)


Pengapilkasian pengetahuan siswa terhadap pemahaman dlaam pembelajaan
dapat dilakukan melalui satu metode yang dinamakan Self-Regulated Learning.
Barry Zimmerman (2002) dalam Woolfolk (2009: 130) menyatakan pengertian self-
regulation sebagai proses dalam pembelajaran yang digunakan untuk mengaktifkan
dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi individu dalm menggapai tujuan
3
tertentu. Di lain pihak, pemahaman tentang self-regulated learning terfokus kepada
pemunculan dan pemonitoran sendiri terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku siswa
dalam meraih suatu tujuan (Santrock, 2008: 296). Tentu saja tujuan yang dimaksud
dari definisi di atas menyangkut hal kognitif yang bersifat akademik dalam
meningkatkan kompetensi siswa tersebut dan berkenaan dengan pengendalian
emosi dalam bersosialisasi dengan sesama siswa lain. Dalam praktiknya, kriteria
pembelajaran menggunakan metode tersebut lebih mengarah kepada menuntut
siswa untuk lebih mengorganisir keterampilan belajarnya secara mandiri dan teratur
sehingga mereka bisa tetap terus belajar secara mandiri sepanjang hidupnya.
Keterampilan belajar ini memadukan kemampuan akademik dan pengendalian diri
dalam membuat proses pembelajaran terasa lebih mudah. Kebanyakan siswa yang
berprestasi tinggi memiliki kemampuan mengontrol proses belajar mereka sendiri
dengan menyiasati dan memonitor proses belajar lebih menjanjikan dalam
menghasilakan kompetensi yang unggul.

Faktor- faktor yang mempengaruhi regulasi diri:


Dibalik tujuan siswa menetapkan standar kompetensi mereka selalu ada yang
mempengaruhi keputusannya mengaplikasikan metode belajar ini. Woolfolk (2009:
131) merincikan tiga faktor yang mempengaruhi siswa dalam menerapkan regulasi-
diri (self-regulation), diantaranya: (1) faktor pengetahuan, (2) faktor motivasi, (3)
faktor disiplin-diri atau volition (kemauan-diri). Faktor pengetahuan dalam
menciptakan individu self-regulated mendalami peran diri sendiri mengenali seluk-
beluk pribadi akan ketertarikannya kepada konteks pembelajaran. Faktor motivasi
dapat menggerakkan siswa untuk lebih belajar giat melalui cara menghargai
pelajarn yang mereka sukai dan mendapatkan manfaat dari ilmu yang disukainya
tersebut sehingga siswa mampu memahami alasan tersendiri mengapa ia harus
belajar karena itu pilihannya sendiri. Faktor disiplin-diri berasal dari kekuatan
kemauan yang mana pada akhirnya menentukan komitmen siswa dalam
membentengi diri dari berbagai gangguan demi terwujudnya tujuan yang telah
ditetapkan.
Menurut Zimmerman dan Pons (Dalam Ghufron, 2012) ada tiga faktor yang
mempengaruhi regulasi dri. Berikut adalah faktor-faktirnya:
a. Individu (diri)
Faktor individu meliputi hal-hal di bawah ini:
4
1 Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam pengetahuan yang
dimiliki individu akan semakin membantu individu dalam melakukan
pengelolaan diri.
2 Tingkat kemampuan metakognisi yang dimiliki individu yang semakin tinggi
akan membantu pelaksanaan pengelolaan diri dalam diri individu
3 Tujuan yang ingin di capai, semain banyak akan kompleks tujuan yang ingin
di raih, semakin besar kemungkinan individu melakukan pengelolaan diri.
b. Perilaku
Perilaku mengacu kepada upaya individu menggunakan kemempuan yang
dimilki. Semakin besar dan optimal upaya yang dikerahkan individu dalam
mengatur dan mengorganisasi suatu aktivitas akan meningkatkan regulation
pada diri individu.
c. Lingkungan
Teori sosial kognitif mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh sosial dan
pengalaman pada fungsi manusia. Hal ini bergantung pada bagaimana
lingkungan itu mendukung atau tidak mendukung.

Menurut Woolfolk (2009: 132), model pengembangan kompetensi siswa


menggunakan pembelajaran self-regulated mengarahkan kapabilitas siswa menata
berbagai kemampuan belajar, motivasi, dan emosi dalam meraih tujuan. Ia
mengklasifikasikan fase-fase pada pembelajar self-regulated ke dalam empat tahap:
(1) menganalisis tugas, (2) menetapkan tujuan, (3) merancang rencana, (4)
menerapkan taktik dan strategi, (5) meregulasi pembelajaran. Proses pembelajaran
dengan menerapkan self-regulated mampu membuat daya kognitif siswa menjadi
lebih berkembang terhadap penyesuaian diri kondisi lingkungan di sekitarnya.
Di lain pihak, Santrock (2008: 296) menjelaskan bahwa setiap siswa bisa
meregulasi diri sendiri cara belajar dan berpikir mereka demi menetapkan atau
merengkuh tujuan utama siswa meraih prestasi yang tinggi dengan melakukan hal-
hal berikut ini:
1. Mengevaluasi dan memonitor diri sendiri
2. Menentukan tujuan dan perencanaan strategis
3. Melaksanakan rencana dan memonitornya
4. Memonitor hasil dan memperbaiki strategi

5
Strategi Pengaturan Diri dalam Belajar
Pebelajar, secara umum, dikatakan memiliki regulasi diri saat mereka belajar
secara metakognitif, termotivasi, dan berprilaku aktif dalam proses belajar. Hal ini
mengasumsikan pentingnya tigaelemen: strategi belajar mandiri siswa, persepsi
self-efficacy, dan keterampilan kinerjayang ditentukan untuk mencapai tujuan
akademik berdasarkan persepsi self-efficacy ((Zimmerman dalam Zimmerman,
1989).
Strategi pengaturan diri dalam belajar adalah himpunan rencana yang dapat
digunakan pebelajar agar mencapaitujuan. Rencana-rencana aksi ini berdasar pada
fase-fase, proses-proses, dan sub proses pebelajar pengaturan diri. Penggunaan
strategipengaturan diri dalam belajarmengurangi kecemasan dan meningkatkan
self-efficacy, yangsecara langsung berhubungan dengan pencapaian tujuandan
prestasi akademik.
Strategi pengaturan diri dalam belajardiklasifikasikan menjadi duakategori,
yaitu strategi kognitif dan strategi metakognitif. Strategikognitif adalah strategi
yang memfokuskan pada proses informasiseperti latihan/ulangan (reherseal),
perluasan (elaboration), danorganisasi. Strategi metakognisi membicarakan
perilaku yangdiperlihatkan pebelajar selama situasi belajar.Beberapa taktik
inimembantu pebelajar dalam mengontrol perhatian,kecemasan, danafek.
Metakognisi adalah kesadaran, pengetahuan, dan kontrolterhadap kognisi.
Zimmerman dan Martinez-pons dalam Zimmerman (1989) mengidentifikasi
strategi-strategi dalam pengaturan diri dalam belajaryang diperoleh dari teori
kognitif sosial, didalamnya melibatkan unsur-unsur metakognitif, lingkungan dan
motivasi. Setiap strategi tersebut bertujuan meningkatkan regulasi diri siswa pada
fungsi personal, behavioral, dan environmental.
Strategi untuk optimalisasi fungsi personal (personal function), meliputi:
1) Organizing and transforming (pengorganisasian dan transformasi). Siswa
menelaah kembali materi-materi pembelajaran untuk meningkatkan
pembelajaran. Misalnya, siswa mempelajari materi pembelajaran dari awal
sampai akhir.
2) Goal setting and planning (penetapan tujuan dan perencanaan). Siswa
menetapkan tujuan belajar serta merencanakan urutan, waktu, dan penyelesaian
aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan tujuan. Misalnya siswa
menentukan jadwal belajar.
6
3) Rehearsing and Memorizing (melatih dan menghapal). Siswa berusaha Untuk
berlatih dan menghapalkan materi. Contohnya siswa mengerjakan soal-soal
latihan dan siswa membaca ulang materi pelajaran agar dapat
menghapalkannya.

Strategi untuk optimalisasi fungsi tingkah laku (behavioral function), meliputi:


1) Self-evaluating (evaluasi diri). Siswa melakukan evaluasi terhadap kualitas atau
kemajuan dari pekerjaannya. Contohnya siswa meneliti ulang tugas-tugas untuk
memastikan sudah dikerjakan dengan baik atau belum, siswa mengevaluasi
hasil ujian agar dapat menilai kemampuan belajarnya.
2) Self-consequenting (konsekuensi diri). Siswa membayangkan reward atau
punishment yang didapat jika memperoleh kesuksesan atau kegagalan.
Contohnya siswa merasa malu apabila mendapatkan hasil ujian buruk, siswa
menganggap keberhasilan sebagai motivasi untuk dapat mempertahankan
keberhasilannya.
Strategi untuk optimalisasi fungsi lingkungan (environmental function),
meliputi :
1) Seeking information (pencarian informasi). Siswa berusaha untuk mencari
informasi lebih lengkap dari sumber-sumber nonsosial. Contohnya siswa
berusaha melengkapi materi pelajaran dari sumber lain atau literature
perpustakaan.
2) Keeping records and self monitoring (pembuatan catatan dan mengamati diri).
Siswa berusaha untuk mencatat berbagai kejadian atau hasil yang diperoleh
dalam proses belajar. Contohnya siswa mencatat hal-hal penting untuk
dipelajari, siswa mencatat hal-hal yang tidak dipahami untuk dipelajari ulang.
3) Enviromental structuring (penyusunan lingkungan). Siswa berusaha untuk
memilih atau mengatur lingkungan fisik sehingga proses belajar menjadi lebih
mudah. Contohnya siswa mematikantelevisi saat belajar untuk membantu
konsentrasi.
4) Seeking social assistance (pencarian bantuan sosial). Siswa berusaha mencari
bantuan dari teman sebaya, guru, orang dewasa lainnya yang dianggap bisa
membantu. Contohnya siswa bertanya. kepada guru saat kesulitan mengerjakan
tugas atau memahami pelajaran

7
5) Reviewing Records (melihat kembali catatan). Siswa berusaha melihat kembali
catatan untuk menghadapi ujian. Contohnya siswa membaca ulang catatan dan
melihat referensi tugas sebelumnya.

2. Self-efficacy
Fungsi utama daripada menerapkan teori sosial kognitif yaitu untuk mengenali
dan mengidentifikasi kemampuan seorang siswa yang bisa dikontribusikan dalam
menyelesaikan suatu persoalan yang dilakukan secara strategis dan logis. Maka
muncul pertanyaan dari dalam faktor kognisi tentang keyakinan seorang siswa
apakah hasil prediksi dari tindakan strategis tadi akan mampu atau tidak dalam
menyelesaikan pokok persoalan yang dihadapi dengan baik. Prediksi akan hal
tersebut dapat memengaruhi motivasi individu. Bentuk kasus yang menyinggung
permasalahan mengenai keyakinan tadi dibahas dalam pengertian yang
dinamakan self-efficacy(efikasi diri). Menurut Woolfolk (2009: 127), istilah ini
didefinisikan sebagai keyakinan individu tentang kompetensi atau efektivitas
pribadi di bidang tertentu. Bandura (dalam Woolfolk, 2009) memaknai efikasi-diri
sebagai “keyakinan seseorang akan kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan
melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
pencapaian tertentu.” Pada prinsipnya, efikasi diri ini lebih melihat kepada
pengetahuan dan perasaan seseorang akan kemampuannya sendiri dalam
menuntaskan persoalan tersebut tanpa membandingkan dari kemampuan orang lain.
Oleh karena itu, dari pendeskripsian istilah efikasi diri dapat disimpulkan bahwa
dalam menyeleseaikan suatu persoalan, masing-masing individu memiliki
keyakinannya tersendiri menghadapi situasi tersebut dan menghasilkan hasil
positif.
Woolfolk (2009: 128) mengemukakan bahwa sumber pemicu timbulnya
keyakinan yang kuat pada diri individu berasal dari empat hal, yaitu:
1. Mastery Experience (pengalaman tentang penguasaan), yaitu sumber keyakian
yang berasal dari pengalaman langsung individu dalam proses memperoleh
pengetahuan.
2. Physiological and Emotional Arousal, yaitu pengaruh reaksi fisik dan emosi
terhadap hasil penginterpretasian sesuatu yang menyebabkan seseorang
merasa siaga, bergairah, atau tegang.

8
3. Vicarious Experience, yaitu proses pencapaian pengetahuan dengan cara
melihat pengalaman orang lain sebagai model penyelesaian persoalan.
4. Social Persuasion, yaitu kemampuan yang dikerahkan sebagai bentuk upaya
memperoleh timbal balik atas hasil kinerja individu demi mencapai
kesuksesan.

Kelebihan Teori Kognitif Sosial


Kelebihan teori kognitif sosial ini (Crain, 2007: 328-332) adalah sebagai
berikut:
1. Teori belajar sosial memberikan pandangan baru tentang proses belajar, dalam
pembelajaran perilaku akan bervariasi dari situasi ke situasi lainnya,
tergantung pada model dan motif yang memperkuat (reinforcement) ditemukan
dalam setiap situasi.
2. Individu, perilaku dan konteks sosial berpengaruh dalam proses
perkembangan. Teori belajar social juga mampu untuk mengidentifikasi bahwa
pengalaman dapat membuat seorang anak memahami konsep yang lebih besar.
3. Lingkungan merupakan faktor yang sangat penting dan berpengaruh, hal ini
juga memberikan kontribusi baru dalam teori perkembangan mengenai teori
sosial kognitif.

Kekurangan Teori Kognitif Sosial


Kekurangan teori kognitif sosial ini (Crain, 2007: 328-332) adalah sebagai
berikut:
1. Beberapa teoretisi kognitif melihat bahwa pendekatan tersebut masih terlalu
fokus pada perilaku dan faktor eksternal dan kurang menjelaskan secara detail
bagaimana berlangsungnya proses kognitif seperti pikiran, memori, pemecahan
masalah dan sebagainya.
2. Beberapa kaum developmentalis mengkritik pendekatan ini karena dipandang
bersifat non-developmental, dalam pengertian bahwa pendekatan ini tidak
menyebutkan urutan perubahan pembelajaran berdasarkan usia.
3. Kaum teoritis humanis mengkritik pendekatan ini karena tidak memberi cukup
perhatian pada rasa penghargaan diri dan hubungan yang penuh perhatian dan
suportif.

9
D. Teori Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivistik bermula dari gagasan Piaget dan Vigotsky, Piaget
dan Vigotsky berpendapat bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-
konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Keduanya
menekankan adanya hakekat sosial dari belajar. Pembelajaran kooperatif, berbasis
kegiatan dan penemuan merupakan pilihan yang sesuai untuk pembelajaran.
Menurut Wina Sanjaya (2008: 264) bahwa “konstruktivistik adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Guru bukanlah pemberi informasi, dan jawaban atas semua
masalah yang terjadi di kelas”.
Selanjutnya Aunurrahman (2009: 28) bahwa: “konstruktivistik memberikan
arah yang jelas bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif dalam upaya
menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, bukan sekedar merupakan kegiatan
mekanistik untuk mengumpulkan informasi atau fakta saja”

Hakekat dari teori konstruktivistik adalah bahwa siswa harus secara individu
menemukan dan menerapkan informasi-informasi kompleks ke dalam situasi lain
apabila mereka harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri.Santrock (2017:390)
sedangkan menurut Slavin (2011:3-4) Inti teori konstruktivis ialah gagasan bahwa
masing-masing pelajar harus menemukan dan mengubah informasi yang rumit jika
mereka ingin menjadikannya milik sendiri.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi
ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan
sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan
bagaimana guru mengajar.Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap
kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran
adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan
siswa serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa. Oleh
karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin
kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat
menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan
melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan konstruktivisme,
10
akibatnya orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke
pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction).

Tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:


1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
mendapatkan jawaban Anda sendiri.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan wawasan dan pemahaman konsep secara
penuh.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang independen.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana untuk mempelajarinya Makmud
Khairani (2017: 100)

Ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivistik yaitu:


4. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah
ada sebelumnya.
5. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
6. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman.
7. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negoisasi) makna melalui
berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau
bekerja sama dengan orang lain.
8. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus
terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.
(Yulaelawati, 2004: 54)

Menurut Makmun dalam buku Psikologi Belajar, Secara garis besar, prinsip-prinsip
konstruktivistik yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar

11
3) Murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah
4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
berjalan lancar.
5) Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
6) Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7) Mencari dan menilai pendapat siswa
8) Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa. Khairani (2017:
100)
Kelebihan Metode Konstruktivisme
 Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan
bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa
memberikan penjelasan tentang gagasannya.
 pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan
disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan
mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai
fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan
gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
 pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir
tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif,
mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-
gagasanpada saat yang tepat.
 pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh
kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah
dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan
berbagai strategi belajar.
 pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan
siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.

12
 pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif
yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan
menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

Kekurangan Metode Konstruktivisme


 Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi
siswa tidak cocok dengan pembangunan ilmuwan yang menyebabkan
kesalahpahaman.
 Konstruktivisme pengetahuan kita menanamkan bahwa siswa membangun
sendiri, hal ini pasti memakan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan
penanganan yang berbeda.
 Situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama, karena tidak semua
sekolah memiliki infrastruktur yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas
siswa.Makmun ( 2017:107-108)
Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka
sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga
itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

E. PenerapanTeori Konstruktivistik
Pendekatan konstruktivis sosial menekankan konteks pembelajaran sosial dan
mengatakan bahwa pengetahuan saling dibangun dan dikonstruk. Keterlibatan dengan
orang lain menciptakan peluang bagi siswa untuk mengevaluasi dan memperbaiki
pemahaman mereka ketika mereka mengetahui pemikiran orang lain dan ketika mereka
berpartisipasi dalam menciptakan suatu pemahaman. Menurut Santrock (2017 :332-
338) ada 4 hal yang dapat mewujudkan penerapan konstruktivis dalam pembelajaran
yaitu scaffolding, cognitive apprenticeship, tutoring dan cooperative learning.
1. Scaffolding
Scaffolding adalah suatu teknik untuk merubah tingkat dukungan selama proses
pembelajaran berlangsung.Dalam proses pembelajaran, seorang guru
menyesuaikan bimbingannya kepada peserta didik. Guru akan membimbing lebih

13
banyak di awal pembelajaran dan seiring meningkatnya kompetensi siswa, maka
bimbingan yang dilakukan dalam pembelajaran semakin dikurangi. Dalam
menggunakan teknik ini, jangan memberikan suatu bantuan yang dapat dilakukan
sendiri oleh siswa tetapi memonitor apa yang mereka lakukan dalam proses belajar
dan hanya memberikan bantuan yang memang dibutuhkan oleh siswa. Jadi dalam
menerapkan scaffolding ini, siswa akan semakin dituntut untuk belajar lebih
mandiri dalam membangun pengetahuannya.

2. Cognitive Apprenticeship
Cognitive Apprenticeship merupakan suatu teknik dimana seorang ahli memperluas
dan mendukung pemahaman serta ketrampilan sorang pemula. Istilah ini
menggarisbawahi pentingnya pembelajaran aktif dan keadaan pembelajaran yang
alami. Dalam teknik ini, guru atau teman sebaya yang lebih trampil mendukung
upaya siswa dalam mengerjakan suatu tugas yang pada akhirnya mendorong siswa
untuk melanjutkan tugasnya secara mandiri. Hasil penelitian mengatakan bahwa
teknik ini membantu siswa dalam belajar dan dalam teknik ini membuat hubungan
guru dengan siswa menjadi lebih baik.

3. Tutoring
Pada dasarnya tutoting ini adalah cognitive apprenticeship dimana tutoring dapat
berlangsung antara anak yang terampil dengan yang kurang terampil. Startegi ini
menguntungkan banyak siswa terutama mereka yang tidak berhasil dalam suatu
mata pelajaran. Ada beberapa jenis tutoring yaitu :
a. Peer Tutors
Teman sebaya dapat menjadi tutor yang efektif. Dalam tutor sebaya, seorang
siswa membimbing siswa yang lain. Tutor sebaya lintas usia biasanya berfungsi
lebih baik daripada tutor dengan usia yang sama karena dibimbing teman
sekelas dengan usia yang sama cenderung membuat siswa merasa malu dan
akan menimbulkan perbandingan sosial yang negatif.
Tutor sebaya melibatkan siswa dalam pembelajaran aktif dan memungkinkan
guru kelas untuk membimbing dan memantau pembelajaran siswa saat dia
bergerak di sekitar kelas. Para peneliti telah menemukan bahwa tutor sebaya
membantu meningkatkan prestasi siswa.
b. Peer-Assisted Learning Strategies
14
Program tutor sebaya yang digunakan dalam sebuah penelitian baru disebut
Peer-Assisted Learning Strategies (PALS). Pada PALS ini, guru
mengidentifikasi anak-anak mana yang memerlukan bantuan keterampilan
khusus dan siapa anak yang paling tepat untuk membantu anak-anak lain dalam
mempelajari keterampilan itu. Dengan menggunakan informasi ini, guru
memasangkan anak-anak di kelas sehingga dapat bekerjasama secara simultan
dan produktif pada berbagai kegiatan untuk mengatasi masalah yang mereka
alami. Pasangan diubah secara teratur sehingga saat siswa mengerjakan
berbagai keterampilan, semua siswa memiliki peluang untuk menjadi "coach"
dan "player."
c. Online Peer Tutors
Tutor onlinesebaya saat ini semakin banyak digunakan di sekolah dasar, sekolah
menengah, dan perguruan tinggi. Tutor onlinesebaya biasanya dimulai dengan
guru melibatkan siswa, kemudian, ketika siswa mendapatkan lebih banyak
pengalaman dalam bekerja bersama online, beberapa kegiatan bimbingan online
dilakukan oleh siswa yang terlatih dan lebih berpengalaman. Seperti halnya
bimbingan belajar tatap muka, siswa akan membutuhkan pelatihan dan
bimbingan untuk menjadi kolaborator dan tutor sebaya yang sukses.

4. Cooperative Learning
Pembelajaran kooperatif terjadi ketika siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk
saling membantu belajar. Jumlah siswa dalam kelompok belajar kooperatif sangat
bervariasi, meskipun biasanya jumlah siswa dalam satu kelompok adalah empat.
Dalam beberapa kasus, pembelajaran kooperatif dilakukan dengan dua siswa.
Ketika siswa ditugaskan untuk bekerja dalam kelompok kooperatif, biasanya
kelompok tersebut tetap bersama selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan,.
Dalam kelompok pembelajaran kooperatif, setiap siswa biasanya belajar per sub
bab materi dan kemudian mengajarkan bagian itu kepada kelompok. Ketika siswa
mengajarkan sesuatu kepada orang lain, mereka cenderung mempelajarinya lebih
dalam. Adapun manfaat kooperatif learning adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan prestasi belajar siswa
b. Meningkatkan motivasi belajar
c. Meningkatkan hubungan kerjasama antar siswa
d. Menciptakan lingkungan belajar yang efektif
15
Konstruktivisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif siswa
dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, bukan merupakan
kegiatan mekanistik untuk mengumpulkan informasi atau fakta. Dalam proses
pembelajaran siswa bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya sendiri. Menurut
Ormrod (2008 : 78), implikasi konstruktivisme dalam proses pembelajaran adalah
sebagai berikut :
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa
berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual
mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian
menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab
terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah.
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk merespon pertanyaan
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-
gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara
siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun
keberhasilan dalam melakukan suatu analisa.
3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para
siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual
yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum
konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan
gagasan-gagasan atau pemikirannya.
4. Mendorong siswa untuk melakukan diskusi
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat
intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan
gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa
yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka
mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas
pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk
mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di
kelas.
5. Mendorong siswa menemukan pengetahuannya sendiri

16
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan
para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata.
Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau
pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-
sama.Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali
siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang
menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang mereka buat, terutama melalui
diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut
konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif dimana pesrta didik membina sendiri
pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses
menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan
dimilikinya.

DAFTAR ISTILAH

Cognitive Apprenticeship merupakan suatu teknik dimana seorang ahli memperluas


dan mendukung pemahaman serta ketrampilan sorang
pemula
Reciprocal determinism hubungan saling menyebabkan antara tiga faktor, yaitu:
perilaku (B), faktor kognitif dan personal (P), dan pengaruh
lingkungan (E), yang masing-masing beroperasi secara
mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya.
Pengaruh-pengaruh tersebut bervariasi dalam kekuatannya
dan tidak terjadi secara berbarengan
Self-regulation kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri
dengan internal standard dan penilaian untuk dirinya
Self-efficacy Keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan
Menghasilkan hasil positif
Scaffolding suatu teknik untuk merubah tingkat dukungan selama proses
pembelajaran berlangsung

17
Vicarious reinforcement penguatan level pengamatan yang empatik, merasa seolah-
olah diri sendiri yang melakukannya

DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfa Beta.

Crain, William. (2007). Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi. Edisi Ketiga,
terjemahanYudiSantoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kkairani Makmun (2017) Psikologi Belajar. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Mukid, Abd. (2008). Strategi Self-Regulated Learning (Perspektif Teoritik) dalam Tadris:
Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 3, No. 2.

http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/239.
(diakses 25 April 2019).

Ormrod, Jeanne Ellis. (2008). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang. Jakarta : Erlangga.

Pintrich, Paul R. & Elizabeth V. De Groot. (1990). Motivational and Self-regulated learning
Component of Classroom Acedemic Performance, dalam Journal of Educational
Psychology. Vol. 82, No. 1. http://rhartshorne.com/fall-2012/eme6507-

18
rh/cdisturco/eme6507-
eportfolio/documents/pintrich%20and%20degroodt%201990.pdf (diakses 25 April
2019).

Santrock, John W. (2015). Psikologi Pendidikan, terjemahan Tri Wibowo BS. Jakarta:
Penerbit Kencana.

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Prenada Media Group.

Yulaelawati, E. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi.

Jakarta: Pakar Raya.

Woolfolk, Anita. (2007). Educational Psychology. 10th Ed. Boston: Pearson Education, Inc

Zimmerman, Barry J. (1989). A Social Cognitive View of Self-Regulated Academic


Learning dalam Journal of Educational Psychology. Vol. 81. Issue 3.
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.215.2089&rep=rep1&typ
e=pdf (diakses 26 April 2019)

19

Anda mungkin juga menyukai