Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Evaluasi dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah evaluation. Menurut
Cangelosi dalam Ratna (2007), evaluasi adalah suatu keputusan tentang nilai
berdasarkan hasil pengukuran. Senada dengan hal tersebut, Djaali (2008:1)
mengartikan evaluasi sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan
yang telah ditetapkan, yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas
objek yang dievaluasi.

Stufflebeam dalam Wirawan (2011: 10) mendefinisikan evaluasi sebagai proses


penghapusan, perolehan, pelaporan, dan penerapan informasi deskriptif dan penilaian
tentang kelebihan, nilai, kejujuran, dan signifikansi objek untuk memandu pengambilan
keputusan, mendukung akuntabilitas, menyebarluaskan praktik-praktik efektif, dan
meningkatkan pemahaman tentang fenomena yang terlibat. Selanjutnya The joint
committee on Standars For Educational Evaluation (1994), mendefinisikan bahwa
evaluasi sebagai kegiatan investigasi yang sistematis tentang keberhasilan suatu tujuan.
(Wirawan, 2011:10). Sedangkan evaluasi menurut Wirawan (2011: 9) adalah riset
untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat
mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkan dengan indikator
evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai nilai dan
manfaat objek evaluasi. Dari definisi evaluasi yang dikemukakan beberapa pakar di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah penerapan prosedur ilmiah yang
sistematis untuk menilai rancangan, selanjutnya menyajikan informasi dalam rangka
pengambilan keputusan terhadap implementasi dan efektifitas suatu program.

Para ahli telah mengembangkan sekitar 50 model atau pendekatan evaluasi


Banyaknya model ini juga didasarkan oleh beberapa pendekatan pada evaluasi,
jenis/bentuk evaluasi juga tujuan evaluasi. Salah satu dari klasifikasi evaluasi
beradasrkan objek yang dievaluasi adalah evaluasi program. Evaluasi program
merupakan proses deskripsi , pengumpulan data dan penyampaian informasi kepada

1
pengambil keputusan yang akan dipakai untuk pertimbangan apakah program perlu
diperbaiki, dihentikan atau diteruskan.
Evaluasi program adalah aktivitas investigasi yang sistematis tentang sesuatu
yang berharga dan bernilai dari suatu objek. Pendapat lain (Denzin and Lincoln,
2000:83) mengatakan bahwa evaluasi program berorientasi sekitar perhatian dari
penentu kebijakan dari penyandang dana secara karakteristik memasukkan pertanyaan
penyebab tentang program mana yang telah mencapai tujuan yang diinginkan.
Keputusan-keputusan yang diambil dijadikan sebagai indikator-indikator penilaian
kinerja atau assessment performance pada setiap tahapan evaluasi dalam tiga kategori
yaitu rendah, moderat, dan tinggi. Berangkat dari pengertian di atas maka evaluasi
program merupakan suatu proses. Secara eksplisit evaluasi mengacu pada pencapaian
tujuan sedangkan secara implisit evaluasi harus membandingkan apa yang telah dicapai
dari program dengan apa yang seharusnya dicapai berdasarkan standar yang telah
ditetapkan. Evaluasi dapat digunakan untuk memeriksa tingkat keberhasilan program
berkaitan dengan lingkungan program dengan suatu judgement apakah program
diteruskan, ditunda, ditingkatkan, dikembangkan, diterima, atau ditolak (Muryadi,
Agustanico Dwi, 2017: 3-4).
Pendekatan evaluasi program diklasifikasikan ke dalam empat kategori.
Kategori pertama termasuk pendekatan yang mempromosikan temuan yang tidak valid
atau tidak lengkap (disebut sebagai evaluasi semu), sedangkan tiga lainnya termasuk
pendekatan yang setuju, kurang lebih, dengan definisi (mis., Pertanyaan dan / atau
Metode yang Diorientasikan, Peningkatan/Akuntabilitas, dan Agenda Sosial /
Advokasi). Dari dua puluh dua pendekatan evaluasi program yang dijelaskan, dua
diklasifikasikan sebagai evaluasi semu, tiga belas sebagai pendekatan pertanyaan /
metode, tiga sebagai berorientasi pada peningkatan / akuntabilitas pendekatan, dan
empat sebagai pendekatan agenda / advokasi sosial (Stufflebeam, 2001: 11).
Dalam studi tentang evaluasi, banyak sekali dijumpai model-model evaluasi
dengan format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa model ada
juga yang sama. Ada banyak model evaluasi program yang dikembangkan oleh para
ahli yang dapat dipakai untuk mengevaluasi program. Model-model tersebut di
antaranya:
1. Goal-Based Evaluation Model (Ralph W. Tyler)
2. Discrepancy Model (Provus)
3. CIPP Model (Daniel Stufflebeam’s)
2
4. Responsive Evaluation Model (Robert Stake’s)
5. Formative-Sumatif Evaluation Model (Michael Scriven’s)
6. Measurement Model (Edward L. Thorndike dan Robert L. Ebel)
7. Goal-Free Evaluation Approach (Michael Scriven’s)
Makalah ini akan membahas mengenai Goal-Based Evaluation Model yang
dikembangkan oleh Ralph W. Tyler. Pembahasan mencakup definisi, proses model
evaluasi berbasis tujuan, keunggulan dan kekurangan model.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang diajukan
adalah sebagai beikut:
1. Apakah definsi Goal-Based Evaluation Model?
2. Bagaimana proses Goal-Based Evaluation Model?
3. Apa saja keunggulan dan kekurangan Goal-Based Evaluation Model?
4. Bagaimana kelayakan Goal-Based Evaluation Model?

C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui:
1. Definsi Goal-Based Evaluation Model
2. Proses Goal-Based Evaluation Model
3. Keunggulan dan kekurangan Goal-Based Evaluation Model
4. Kelayakan Goal-Based Evaluation Model

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Istilah lain dari Behavioral Objective Approach adalah Goal Based Evaluation
Model atau Objective Oriented Evaluation atau Objective-Referenced Evaluation
Model atau Objective Oriented Approach atau dalam Bahasa Indonesia disebut Model
Evaluasi Berbasis Tujuan merupakan model evaluasi tertua yang dikembangkan oleh
Ralph W. Tyler (Wirawan, 2016: 123). Hal ini tercermin dari definisi evaluasi yang
dikemukakannya, yaitu proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan benar-benar
direalisasikan. Fokus dari evaluasi ini terletak pada sejauh mana tujuan suatu program,
produk, atau proses telah tercapai. Itu pertanyaan utama yang memandu evaluasi
semacam ini adalah, “Apakah program, produk, atau proses mencapai tujuannya?
(Preskill, 2005:101)

Studi berbasis tujuan adalah contoh klasik dari pendekatan evaluasi yang
berorientasi pada pertanyaan. Madaus dan Stufflebeam (1988) memberikan pandangan
komprehensif pada pendekatan ini oleh menerbitkan volume tulisan-tulisan klasik
Ralph W. Tyler yang diedit. Di pendekatan ini, beberapa pernyataan tujuan
menyediakan advance organizer. Tujuan dapat diamanatkan oleh klien, dirumuskan
oleh evaluator, atau ditentukan oleh penyedia layanan. Biasanya, evaluasi yang
berorientasi pada tujuan adalah studi internal yang dilakukan oleh pengembang
kurikulum atau pemimpin program lainnya. Tujuan umum dari studi berbasis tujuan
adalah untuk menentukan apakah tujuan program telah tercapai. Khalayak biasa adalah
pengembang program, sponsor, dan manajer yang ingin mengetahui sejauh mana
dimana setiap tujuan yang dinyatakan tercapai (Stufflebeam, 2001: 17).

Metode yang digunakan dalam studi berbasis tujuan pada dasarnya melibatkan
menentukan tujuan operasional dan mengumpulkan dan menganalisis informasi terkait
untuk menentukan seberapa baik setiap tujuan tercapai. Tyler menekankan bahwa
berbagai prosedur penilaian objektif dan kinerja biasanya harus digunakan. Ini
membedakan pendekatannya dari studi yang berorientasi pada metode yang berfokus
pada metode tertentu, seperti eksperimen desain atau tes standar tertentu. Tes yang

4
direferensikan kriteria dan sampel kerja siswa sangat relevan dengan pendekatan
evaluasi ini.

Ralph Tyler umumnya diakui sebagai pelopor dalam jenis studi berbasis tujuan,
meskipun Percy Bridgman dan E. L. Thorndike juga harus dikreditkan (Travers, 1977).
Beberapa orang telah meningkatkan kontribusi pemikiran Tyler dengan
mengembangkan variasi model evaluasinya. Mereka termasuk Bloom et al. (1956),
Hammond (1972), Metfessel dan Michael (1967), Popham (1969), Provus (1971), dan
Steinmetz (1983) (Stufflebeam, 2001: 17).

Pendekatan berbasis tujuan terutama dapat diterapkan dalam menilai proyek


dengan fokus ketat yang memiliki tujuan yang jelas dan dapat didukung. Bahkan
kemudian, studi tersebut dapat diperkuat dengan menilai tujuan proyek terhadap
penerima manfaat yang diharapkan menilai kebutuhan, mencari efek samping, dan
mempelajari proses serta hasilnya.

B. Proses Model Evaluasi Berbasis Tujuan


Model Evaluasi Berbasis Tujuan secara umum mengukur apakah tujuan yang
ditetapkan oleh kebijakan, program atau proyek dapat dicapai atau tidak. Model
evaluasi ini memfokuskan pada mengumpulkan informasi yang bertujuan mengukur
pencapaian tujuan kebijakan, program dan proyek untuk pertanggungjawaban dan
pengambilan keputusan. Tujuan merupakan tujuan yang akan diccapai, pengaruh atau
akhir dari yang akan dicapai program (Wirawan, 2011: 124).
Model Evaluasi Berbasis Tujuan dirancang dan dilaksanakan dengan proses sebagai
berikut
1. Mengidentifikasi tujuan
Mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan atau objek intervensi, layanan dari
program yang tercantum dalam rencana program. Objek program kemudian
dirumuskan dalam indikator-indikator kuantitas dan kualitas yang dapat diukur.
2. Merumuskan tujuan menjadi indikator-indikator
Evaluator merumuskan tujuan program menjadi indikator-indikator kuantitatif dan
kualitatif yang dapat diukur. Indikator-indikator ini dirumuskan dalam pertanyaan
evaluasi yang harus diukur dalam evaluasi.
3. Mengembangkan metode dan insrumen untuk menjaring data
5
Evaluator mennetukan apakah akan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif
atau campuran. Mengembangkan instrument untuk menjaring data. Jenis instrument
tergantung pada metode yang dipergunakan.
4. Memastikan program telah berkahir dalam mencapai tujuan
Layanan, intervensi dari program telah dilaksanakan dan ada indikator mencapai
tujuan, pengaruh atau perubahan yang diharapkan.
5. Menjaring dan menganalisis data/informasi mengenai indikator-indikator program.
Menjaring dan menganalisis data mengenai semua indikator program dalam proses
nomor 2.
6. Kesimpulan
Mengukur hasil pencapaian program atau pengaruh intervensi atau perubahan yang
diharapkan dari pelaksanaan program dan membandingkan dengan objektif yang
direncanakan dalam rencana program untuk menentukan apakah terjadi
ketimpangan. Hasilnya dapat salah satu dari berikut:
a) Program dapat mencapai tujuan objektif sepenuhnya
b) Program dapat mencapai sebagian dari objektifnya antara 505-99%
c) Program mencapai objektifnya di bawah 50%
d) Program gagal mencapai objetifnya
7. Mengammbil keputusan mengenai program
Keptusan dapat berupa:
a) Program dapat dilanjutkan atau dilaksanakan di daerah lain jika program dapat
mencapai tujuan sepenuhnya
b) Jika program berhasil sepenuhnya dan masyarakat yang dilayani tidak
memerlukan lagi layanan program maka program dihentikan.
c) Jika program ternyata gagal akan tetapi masih diperlukan layanannya oleh
sebagian besar masyarakat, maka program dianalisis penyebab kegagalan dan
kemudain dikembangkan atau dimodifikasi.

6
Gambar 1. Proses Model Evaluasi Berbasis Tujuan

(https://www.google.com/search?safe=strict&sxsrf=ACYBGNRJQkAu8kvwlep8WyE66eE67UVkdg:15
70035380218&q=gambar+proses+model+evaluasi+berbasis+tujuan&tbm=isch&source=univ&sa=X&
ved=2ahUKEwifoP3Ihf7kAhWjmOYKHZJ6CwMQsAR6BAgJEAE&biw=1289&bih=697#imgrc=NtBJutV6x
J1vjM:)

C. Keunggulan dan Kelemahan


Studi berbasis tujuan telah menjadi pendekatan yang paling umum dalam
evaluasi program. Ini memiliki daya tarik yang masuk akal; administrator program
miliki memiliki banyak pengalaman dengannya; dan itu menggunakan teknologi tujuan
perilaku, baik pengujian yang direferensikan norma maupun kriteria yang
direferensikan, dan penilaian kinerja. Kritik umum adalah bahwa studi tersebut
memimpin ke informasi terminal yang tidak tepat waktu atau berkaitan dengan
peningkatan proses program; bahwa informasi seringkali terlalu sempit untuk menjadi
dasar yang cukup untuk menilai nilai dan nilai objek; yang dilakukan penelitian tidak
mengungkap efek samping positif dan negatif; dan bahwa mereka dapat memuji tujuan
yang tidak layak (Stufflebeam, 2001:18).

7
Model Evaluasi Berbasis Tujuan mempunyai keunggulan dan kelemahan jika
dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Keunggulan dan kelemahan evaluasi ini
dinyatakan oleh Wirawan (2011: 126-127). Keunggulan tersebut antara lain:

1. Demoratis
Tujuan, layanan atau intervensi program merupakan hasil keputusan formal dari
Lembaga negara yang dipilih secara demokratis. Program tersebut disusun dan
dilaksanakan sering merupakan perintah dari undang-undang atau keputusan
pemerintah. Objektif, layanan dan intervensi program ditujuan untuk anggota
masyarakat bukan untuk pengambil keputusan sendiri atau evaluator.
2. Imparsial
Evaluasi merupakan bagian dari riset sosial yang bersifat imparsial tidak memihak.
Tugas evaluator adalah mengumpulkan data dan informasi secara objektif
mengenai pencapaian tujuan apakah tujuan telah tercapai, apakah layanan dan
intevensi program memuaskan mereka yang seharusnya mendapatkan layanan atau
pemangku kepentingan lainnya.
3. Sederhana
Proses merancang dan melaksanakan Model Evaluasi Berbasis Tujuan mudah ,
biayanya murah dan waktunya singkat.

Kelemahan Model Evaluasi Berbasis Tujuan antara lain:


1. Tujuan tidak mudah dipahami
Sering tujuan program tidak mudah dipahami (terdiri dari sejumlah tujuan yang
terpisah atau dapat bertentangan satu sama lain, tujuan ambigius, atau tujuan
program tidak tegas). Dalam situasi seperti ini evaluator harus jeli, teliti, dan hati-
hati dalam mengidentifikasi dan merumusakn tujuan program. Kekeliruan
evaluastor dalam mengidentifikasi dan menganalisis tujuan akan menyebabkan
kekeliruan keseluruhan evaluasi.
2. Suatu tujuan berkaitan dengan ketidakpastian masa depan
Suatu tujuan disusun tidak untuk saat tujuan disusun akan tetapi untuk kurun waktu
tertentu di masa yang akan datang yang tidak pasti dan sulit dipediksi sebelumnya.
Ketika program dilaksanakan, keadaan sudah berubah, tujuan sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat, terutama program yang

8
waktunya Panjang. Dalam kaitan ini, evaluator juga harus menilai apakah tujuan
program masih relevan atau perlu dilakukan perubahan.
3. Efek sampingan dari tujuan
Ketika aktivitas program dilaksanakn untuk merealisasi tujuan dapat terjadi
pengaruh, akibat atau hasil yang di luar tujuan atau yang melampaui tujuan program
yang ditetapkan. Program dapat menimbulkan efek sampingan yang negative atau
efek sekunder lain yang positif. Jika evaluator hanya mengukur tujuan program
maka efek sampingan tidak akan terdeteksi.
4. Tujuan tersembunyi dari pengambil kebijakan
Sering pengambil keutusan mempunyai tujuan tersembunyi ketika menyusun suatu
program. Dengan kata lain, tujuan program merupakan tujuan antara dari pengambil
kebijakan.

D. Kelayakan Model
Memfokuskan evaluasi pada sasaran dan sasaran program jelas tidak bisa secara
langsung, karena pengambilan keputusan di dunia nyata adalah tidak murni rasional
dan logis. Ini adalah paradoks tujuan. Tujuan adalah abstraksi rasional dalam sistem
nonrasional. Pernyataan tujuan muncul di permukaan antara cita-cita rasionalitas
manusia dan kenyataan nilai-nilai kemanusiaan yang beragam dan cara berpikir. Di
situlah letak kekuatan dan kelemahan tujuan. Tujuan memberikan arahan untuk
tindakan dan evaluasi, tetapi hanya untuk mereka yang berbagi dalam nilai-nilai yang
diungkapkan oleh tujuan tersebut. Salah satu jalan keluar dari paradoks adalah fokus
mengevaluasi tanpa menjadikan pencapaian tujuan sebagai isu sentral.

Patton (2005:178) menggambarkan bahwa program dengan jelas, spesifik, dan


tujuan yang terukur sudah seperti kuda terlatih untuk berkuda. Program dengan banyak,
tujuan yang bertentangan, dan masih berkembang atau selalu berubah dapat terasa liar
dan berisiko bagi seorang evaluator yang hanya memiliki pengalaman kuda
berpengalaman dan terlatih. Sama seperti ada lebih dari satu cara untuk mengelola kuda
liar, ada lebih dari satu cara untuk mengelola evaluasi program yang tampaknya kacau.

Alternatif untuk evaluasi berbasis tujuan telah muncul karena masalah evaluator
secara rutin mencoba untuk fokus pada tujuan. Selain tujuan yang tidak jelas dan
konflik atas tujuan, mengukur pencapaian tujuan dapat terlalu mempolitisasi tujuan.
9
Dalam hal ini, Lee J. Cronbach dan associates (1980) di Konsorsium Evaluasi Stanford
telah memperingatkan tentang distorsi yang terjadi ketika staf program membayar
terlalu banyak perhatian pada apa yang seorang evaluator ukur, pada dasarnya memberi
evaluator kekuatan untuk menentukan apa kegiatan menjadi hal utama dalam suatu
program.

Kritik lain terhadap tujuan adalah bahwa tujuan itu seringkali tidak nyata.
Karena evaluasi didasarkan pada pengujian realitas, penting bagi kita untuk memeriksa
realitas tujuan. Patton memperkenalkan istilash Reify (Patton, 2011: 179). Reifikasi
berarti memperlakukan abstraksi seolah-olah itu nyata. Tujuan telah menjadi target
khusus ilmuwan sosial yang peduli dengan konsep reifikasi. Misalnya, Cyert dan March
(1963: 28) telah menegaskan bahwa individu memiliki tujuan sedangkan kolektivitas
orang tidak. Mereka juga menegaskan bahwa hanya individu yang dapat bertindak;
organisasi atau program, dengan demikian, tidak dapat dikatakan untuk mengambil
tindakan. Itu keadaan masa depan yang diinginkan oleh suatu organisasi tujuan) tidak
lain adalah fungsi dari "aspirasi" individu.

Azumi dan Hage (1972) mengulas debat tentang apakah organisasi memiliki
tujuan dan menyimpulkan, "Sosiolog organisasi telah menemukan berguna untuk
menganggap itu organisasi bersifat purposive. Namun, jauh lebih sulit sebenarnya
mengukur tujuan suatu organisasi. Peneliti menemukan gambar purposive bermanfaat
tapi entah bagaimana sulit dipahami. " Singkatnya, ilmuwan sosial yang mempelajari
tujuan tidak yakin apa yang mereka pelajari. Analisis tujuan sebagai bidang studi adalah
kompleks, kacau, kontroversial, dan membingungkan. Pada akhirnya, sebagian besar
peneliti mengikuti logika pragmatis sosiolog organisasi Charles Perrow (1970):

Untuk tujuan kami, kami akan menggunakan konsep tujuan organisasi seolah-olah
tidak ada pertanyaan tentang legitimasinya, bahkan meskipun kami mengakui bahwa
ada yang keberatan untuk melakukannya. Keadaan kami saat ini pengembangan
konseptual, praktik linguistik, dan ontologi (mengetahui apakah sesuatu ada atau tidak)
tidak memberi kita alternatif.

Seperti Perrow, evaluator cenderung turun di sisi kepraktisan. Bahasa tujuan


akan terus berlanjut mendominasi evaluasi. Dengan memperkenalkan masalah reifikasi

10
tujuan, Patton berharap hanya untuk mendorong sedikit kehati-hatian pada evaluator
yang sebelumnya memaksakan latihan klarifikasi tujuan pada staf program (Patton,
2011: 180). Mengingat cara sosiolog organisasi mendapatkan diri mereka sendiri
terjerat dalam pertanyaan apakah tujuan tingkat program sebenarnya ada, hanya saja
kemungkinan kesulitan dalam klarifikasi tujuan program mungkin karena masalah
yang melekat dalam gagasan tujuan daripada staf tidak kompeten, keras kepala, atau
menentang evaluasi. Kegagalan untuk menghargai kesulitan-kesulitan ini dan
melanjutkan kepekaan dan kesabaran dapat menciptakan staf resistensi yang merugikan
keseluruhan proses evaluasi. Patton (2011: 180) meninjau masalah konseptual dan
operasional dengan tujuan akan menjelaskan mengapa evaluasi yang terfokus pada
pemanfaatan tidak bergantung tujuan yang jelas, spesifik, dan terukur sebagai sine qua
non dari penelitian evaluasi. Klarifikasi tujuan juga tidak perlu sesuai dalam setiap
evaluasi
Sejauh mana evaluator harus mencari kejelasan tentang tujuan akan tergantung,
di antaranya hal-hal lain, tentang status perkembangan dan lingkungan program.
Sosiolog organisasi telah menemukan bahwa kejelasan dan stabilitas tujuan bersifat
kontinjensi pada lingkungan organisasi. Organisasi yang efektif dalam lingkungan yang
bergejolak menyesuaikan tujuan mereka dengan perubahan tuntutan dan kondisi
(Patton, 2011: 180). Secara praktis, ini berarti bahwa semakin tidak stabil dan bergolak
lingkungan suatu program, semakin sedikit kemungkinannya evaluator akan dapat
menghasilkan tujuan yang konkret dan stabil. Kejelasan, kekhususan, dan terukurnya
tujuan akan bervariasi di seluruh program, tergantung pada lingkungan turbulensi yang
dihadapi oleh proyek tertentu dan sub bagian program. Implikasinya adalah bahwa
tidak akan efisien atau berguna untuk memaksa mengembangkan dan mengadaptasi
program menjadi model tujuan yang statis dan kaku. Evaluasi perkembangan, adalah
salah satu cara menjadi bentuk evaluasi yang berguna dalam pengaturan inovatif di
mana tujuan berada muncul dan berubah daripada telah ditentukan dan diperbaiki.
Alternatif lain adalah evaluasi tanpa sasaran atau Goal free Evaluation Model (Patton,
179-181).

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah lain dari Behavioral Objective Approach adalah Goal Based Evaluation
Model atau Objective Oriented Evaluation atau Objective-Referenced Evaluation
Model atau Objective Oriented Approach atau dalam Bahasa Indonesia disebut Model
Evaluasi Berbasis Tujuan. Pendekatan berorientasi tujuan pertama kali dikenalkan oleh
Ralph Tyler tahun 40-50 an sebagai standar baru bagi evaluasi pendidikan. Studi
berbasis tujuan adalah contoh klasik dari pendekatan evaluasi yang berorientasi pada
pertanyaan. Pendekatan berbasis tujuan terutama dapat diterapkan dalam menilai
proyek dengan fokus ketat yang memiliki tujuan yang jelas dan dapat didukung. Bahkan
kemudian, studi tersebut dapat diperkuat dengan menilai tujuan proyek terhadap
penerima manfaat yang diharapkan menilai kebutuhan, mencari efek samping, dan
mempelajari proses serta hasilnya.
Model evaluasi berbasis tujuan dirancang dan dilaksanakan dengan proses
mengidentikasi tujuan, merusmuskan tujuan menjadi indikator-indikator,
mengembangkan metode untuk menjaring data, memastikan program telah berakhir
dalam mencapai tujuan, menjaring dan menganalisis data mengenai indikator-indikator
program, dan menarik kesimpulan untuk kemudian keputusan mengenai program
diambil.

B. Saran
Model evaluasi berbasis tujuan memiliki keunggulan dan kelemahan, seperti
model evaluasi lainnya. Evaluator sebaiknya mempelajarai tujuan dari suatu program
secara menyeluruh. Sejauh mana evaluator harus mencari kejelasan tentang tujuan akan
tergantung, di antaranya hal-hal lain, tentang status perkembangan dan lingkungan
program. Evaluasi perkembangan, adalah salah satu cara menjadi bentuk evaluasi yang
berguna dalam pengaturan inovatif di mana tujuan berada muncul dan berubah daripada
telah ditentukan dan diperbaiki. Alternatif lain adalah evaluasi tanpa sasaran atau Goal
free Evaluation Model.

12
DAFTAR PUSTAKA

Djaali dan Pudji Muljono. (2008). Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Muryadi, Agustanico Dwi. (2017). Model Evaluasi Program Dalam Penelitian Evaluasi. Jurnal
Ilmiah Penjas. Vol. 3 No. 1. http://ejournal.utp.ac.id/index.php/JIP/article/view/538.

Patton, Michael Quinn. (1997). Utilization-Focused Evaluation: The New Century Text.
Thousand Oaks: Sage Publication.

Preskill, Hallie & Darlene Russ-Eft. (2005). Building Evaluation Capacity: 72 Activities for
Teaching and Training. Thousand Oaks: Sage Publication, www.sagepub.com

Stufflebeam, Daniel L. (2001). Evaluation Model: New Directions For Evaluation. Jurnal
Spring 2001 (89), 7-98. DOI: https://doi.org/10.1002/ev.3

Wirawan. (2016). Evaluasi: Teori. Model, Metodologi, Standar, Aplikasi, dan Profesi. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.

13

Anda mungkin juga menyukai