Anda di halaman 1dari 21

Model Evaluasi Program

Selasa, 01 Juni 2010 19:41 Diposkan oleh shareit


Label: Evaluasi Program
Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, ada banyak model yang dipergunakan untuk
mengevaluasi keterlaksanaan program. Meskipun antara satu dengan yang lain berbeda tetapi
maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau inIormasi yang berkenaan
dengan objek yang dievaluasi, yang tujuannya menyediakan bahan bagi pengambil keputusan
dalam menentukan tindak lanjut suatu program. Dalam hal ini Stepphen Isaac (1986 dalam
Arikunto, 2004) membedakan adanya empat hal yang dipergunakan untuk membedakan ragam
model evaluasi, yaitu :
a. berorientasi pada tujuan (goal oriented)
b. berorientasi pada keputusan (decision oriented)
c. berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang menanganinya (transactional oriented) dan
d. berorientasi pada pengaruh dan dampak program (research oriented)
Ada beberapa ahli evaluasi program yang dikenal sebagai penemu model evaluasi program,
yaitu StuIIlebeam, MetIessel, Michael Scriven, Tayler, Stake dan Glaser. KauIman dan Thomas
membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu:
1) Goal oriented evaluation model, dikembangkan oleh Tyler
2) Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven.
3) Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven.
4) ountenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
5) Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
6) SE-U Evaluation Model, dikembangkan oleh Alkin.
7) !! Evaluation Model, dikembangkan oleh StuIIlebeam.
8) Discrepancy Model dikembangkan oleh Provus.
Penjelasan dari masing-masing model evaluasi tersebut diatas adalahs ebagai berikut:
1. Goal Oriented Evaluation Model (dikembangkan oleh Tyler)
Model ini merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi obyek pada model
ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai.
Evaluasi ini dilakukan secara berkelanjutan, terus-menerus, men-cek sejauh mana tujuan
tersebut sudah terlaksana dalam proses pelaksanaan program.
Secara umum model evaluasi ini memberikan penekanan terhadap produktivitas dan
akuntability dalam suatu aktiIitas. Model ini juga sering dipergunakan untuk mengukur
pencapaian dan kemajuan peserta didik. Model ini menepikan dimensi proses dalam
pelaksanaan evaluasi. Model ini sering mengutarakan pertanyaan seperti apakah peserta
didik dapat mencapai suatu sasaran dengan baik?, apakah para dosen dapat menjalankan
pekerjaanya dengan baik?
Untuk membentuk ujian pencapaian, Tyler, menggariskan beberapa prosedur yang perlu
diikuti, yaitu:
a) Mengenal pasti sasaran program yang hendak dijalankan.
b) Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk tingkah laku dan isi kandungan.
c) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang hendak digunakan.
d) Menentukan arah untuk mewakili situasi
e) Menentukan arah untuk mendapatkan hasil.
Tyler mendeIinisikan evaluasi sebagai perbandingan antara hasil yang dikehendaki
dengan hasil yang sebenarnya. Pendekatan Tyler memberikan dasar pada pengukuran
tingkah laku dalam suatu tujuan yang dibentuk dan mendasarkan kepada hasil pembelajaran
dari input pengajaran. Tyler telah membuat beberapa perubahan dalam konsepnya mengenai
penilaian. Perubahan ini dikembangkan dalam deIinisi penilaiannya awal yaitu penilaian
dalam program yang dibuat dengan membandingkan konsep program dengan dasar yang
relevan untuk memantapkan perencanaan program. Termasuk didalamnya:
a) Penilaian di tingkat implementasi
b) Penilaian dalam monitoring yang berkelanjutan dalam suatu program.
Menurut Tyler (1951 dalam Azizi, 2008), penilai harus menilai tingkah laku peserta
didik, pada perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam pendidikan. Selain itu evaluasi
mesti dibuat pada akhir program.
Dalam model ini, langkah pertama adalah mengenali tujuan suatu program. Setelah
tujuan program diketahui, indikator-indikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran
diketahui pasti. Hasil kajian akan dibandingkan dengan tujuan program dan keputusan
dibuat level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler, apabila tujuan program tidak
tercapai sepenuhnya, ini membawa implikasi sama bahwa program pembelajaran lemah atau
juga bahwa tujuan yang dipilih tidak sesuai.
. Goal Free Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven).
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael Scriven tahun 1972 ini dapat
dikatakan berlawanan dengan model pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika dalam
model yang dikembangkan oleh Tyler, evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu
sejak awal proses terus melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat dicapai, dalam
model goal free evaluation (evaluasi lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.
Menurut Michael Scriven, dalam melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu
memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program
tersebut adalah bagaimana kerjanya program, dengan jalan mengidentiIikasi penampilan-
penampilan yang terjadi, baik hal-hal yang positiI (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-
hal negatiI (yang sebetulnya memang tidak diharapkan).
Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan
evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus
tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh
mana masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yang diharapkan
oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak manIaatnya.
Dari uraian ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan "evaluasi lepas dari tujuan" dalam
model ini bukannya lepas sama sekali dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan khusus.
Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan
secara rinci per komponen.
3. Formatif Summatif Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven)
Selain model "evaluasi lepas dari tujuan", Michael Scriven juga mengembangan model
lain, yaitu model IormatiI-sumatiI. Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup objek
yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut
evaluasi IormatiI) dan ketika program sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatiI).
Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan, model yang kedua ini ketika
melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi
IormatiI memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatiI. Sehingga, model yang
dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk tentang "apa, kapan, dan tujuan" evaluasi
tersebut dilaksanakan.
Para evaluator pendidikan, termasuk guru-guru yang mempunyai tugas evaluasi, tentu
sudah mengenal dengan baik apa yang dimaksud dengan evaluasi IormatiI dan sumatiI.
Hampir setiap bulan guru-guru melaksanakan evaluasi IormatiI dalam bentuk ulangan
harian. Evaluasi tersebut dilaksanakan untuk mengetahui sampai seberapa tinggi tingkat
keberhasilan atau ketercapaian tujuan untuk masing-masing pokok bahasan. Oleh karena
luas atau sempitnya materi yang tercakup di dalam pokok bahasan setiap mata pelajaran
tidak sama maka tidak dapat ditentukan dengan pasti kapan evaluasi IormatiI dilaksanakan
dan berapa kali untuk masing-masing mata pelajaran.
Evaluasi IormatiI secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika program
masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan permulaan kegiatan. Tujuan
evaluasi IormatiI tersebut adalah mengetahui sejauh mana program yang dirancang dapat
berlangsung, sekaligus mengidentiIikasi hambatan. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-
hal yang menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat
mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.
Evaluasi sumatiI dilakukan setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatiI
adalah untuk mengukur ketercapaian program. Fungsi evaluasi sumatiI dalam evaluasi
program pembelajaran dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau
kedudukan individu di dalam kelompoknya. Mengingat bahwa objek sasaran dan waktu
pelaksanaan berbeda antara evaluasi IormatiI dan sumatiI maka lingkup sasaran yang
dievaluasi juga berbeda.
4. ountenance Evaluation Model (dikembangkan oleh Stake).
Model ini dikembangkan oleh Stake. Menurut ulasan tambahan yang diberikan oleh
Fernandes (1984, dalam Arikunto 2004), model Stake menekankan pada adanya pelaksanaan
dua hal pokok, yaitu (1) deskripsi (description) dan (2) pertimbangan (fudgments), serta
membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu (1) anteseden
(antecedents/context), (2) transaksi (trarisaction/process), dan (3) keluaran (output -
outcomes).
Tiga hal yang dituliskan di antara dua diagram, menunjukkan objek atau sasaran
evaluasi. Dalam setiap program yang dievaluasi, evaluator harus mampu mengidentiIikasi
tiga hal, yaitu (1) anteseden yang diartikan sebagai konteks, (2) transaksi yang diartikan
sebagai proses, dan (3) outcome yang diartikan sebagai hasil. Selanjutnya kedua matriks
yang digambarkan sebagai deskripsi dan pertimbangan, menunjukkan langkah-langkah yang
terjadi selama proses evaluasi.
Matriks pertama, yaitu deskripsi, berkaitan atau menyangkut dua hal yang menunjukkan
posisi sesuatu (yang menjadi sasaran evaluasi), yaitu apa maksud tujuan yang diharapkan
oleh program, dan pengamatan akibat, atau apa yang sesungguhnya terjadi atau apa yang
betul-betul terjadi. Selanjutnya evaluator mengikuti matriks kedua, yang menunjukkan
langkah pertimbangan, yang dalam langkah tersebut mengacu pada standar.
Menurut Stake, ketika evaluator tengah mempertimbangkan program pendidikan,
mereka mau tidak mau harus melakukan dua perbandingan, yaitu (1) membandingkan
kondisi hasil evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di program lain, dengan objek
sasaran yang sama; (2) membandingkan kondisi hasil pelaksanaan program dengan standar
program yang bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang akan dicapai.
Analisis proses evaluasi yang dikemukakan Stake (1967, dalam Tayibnapis, 2000)
membawa dampak yang cukup besar dalam bidang ini dan meletakkan dasar sederhana
namun merupakan konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam
bidang evaluasi.
Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini ialah bahwa evaluator
yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake mengatakan bahwa
description di satu pihak berbeda dengan fudgement atau menilai. Dalam model ini,
antecedents (masukan), transaction (proses), dan outcomes (hasil) data dibandingkan tidak
hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya,
tetapi juga dibandingkan dengan standar yang absolut, untuk menilai manIaat program.
Stake mengatakan bahwa tak ada penelitian dapat diandalkan apabila tidak dinilai.
5. Responsive Evaluation Model (dikembangkan oleh Stake).
Dalam model evaluasi ini Stake mendeIinisikan evaluasi sebagai suatu nilai pengamatan
dibandingkan dengan keahlian. Stakes (1967 dalam Azizi, 2008), telah menggariskan
beberapa ciri pendekatan model evaluasi responsiI, yaitu:
1) Lebih ke arah aktivitas program (proses) daripada tujuan program.
2) Mempunyai hubungan dengan banyak kalangan untuk mendapatkan hasil evaluasi.
3) Perbedaan nilai perspektiI dari banyak individu menjadi ukuran dalam melaporkan
kegagalan dan keberhasilan suatu program.
Pendekatan ini adalah sistem yang mengorbankan beberapa Iakta dalam evaluasi dengan
harapan dapat meningkatkan penggunaan hasil evaluasi kepada individu atau program itu
sendiri. Kebanyakan evaluator lebih menekankan pada kenyataan, penggunaan ujian
obyektiI, menentukan standar program dan laporan penyelidikan. Evaluasi ini kurang
memberikan pengaruh dalam komunikasi Iormal dibandingkan dengan komunikasi biasa.
Model ini berdasarkan pada apa yang biasa individu lakukan untuk menilai suatu
perkara. Mereka akan memperhatikan dan kemudian akan bertindak. Untuk melaksanakan
evaluasi ini, evaluator dipaksa bekerja lebih keras untuk memastikan individu yang dipilih
memahami apa yang perlu dilakukan. Evaluator juga perlu membuat prosedur yang baku
dan mencari serta mengatur tim untuk memperhatikan pelaksanaan program tersebut.
Dengan bantuan tim, evaluator akan menyediakan catatan, deskripsi, hasil tujuan serta
membuat graIik. Evaluator juga menilai kualitas dan record orang yang membantu evaluasi.
Terdapat empat tahap dalam model ini:
1. Pada awal pelaksanaan evaluasi, evaluator dan klien (stakeholder) membuat perundingan
tentang kontrak mengenai tujuan penilaian, validitas dan jaminan kerahasiaan.
Stakeholder disini adalah individu yang terlibat dalam evaluasi tersebut dan memiliki
hak untuk memberikan ijin dan isu-isu yang berkaitan dengan proses evaluasi.
2. Mengenal pasti concern (perhatian), isu dan nilai-nilai dari stakeholder. Fakta-Iakta
diperoleh melalui temu duga dan soal selidik.
3. Tahap ketiga mengumpulkan inIormasi yang memiliki hubungan dengan tujuan, isu, nilai
yang dikenal pasti oleh stakeholder. Evaluator juga bisa mendasarkan data dan
inIormasi secara deskriptiI tentang perkara yang dievaluasi dan standar yang digunakan
untuk membuat pertimbangan.
4. Penyediaan laporan mengenai keputusan atau alternatiI. Format kajian kasus sering
digunakan untuk membuat laporan ini. Laporan ini mengandung beberapa isu-isu dan
perhatian yang dikenal betul oleh stakeholder.
Tahun 1960-an dan awal 1970, model yang digunakan oleh Stake (1967) dan StuIIlebeam
(1968-1971) telah banyak mempengaruhi bidang evaluasi. Pengikut Stake, memIokuskan
evaluasi pada hasil, dimana evaluasi tidak lagi mempertimbangkan siIat pendidikan yang
kompleks dan dinamik.
6. SE-U Evaluation Model (dikembangkan oleh Alkin).
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. Yang pertama, yaitu CSE,
merupakan singkatan dari enter for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan
singkatan dari University oI CaliIornia in Los Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah
adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan,
implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes (1984, dalam Arikunto 2004) memberikan
penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi empat tahap, yaitu (1) needs assessment, (2)
program planning, (3) Iormative evaluation, dan (4) summative evaluation.
Keterangan:
1) CSE Model: Needs ssessment
Dalam tahap ini evaluator memusatkan perhatian pada penentuan masalah. Pertanyaan
yang diajukan:
a. Hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keberadaan
program?
b. Kebutuhan apakah yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan program
ini?
c. Tujuan jangka panjang apakah yang dapat dicapai melalui program ini?
2) CSE Model: !rogram !lanning
Dalam tahap kedua dari CSE model ini evaluator mengumpulkan data yang terkait
langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah
diidentiIikasi pada tahap kesatu. Dalam tahap perencanaan ini program PBM dievaluasi
dengan cermat untuk mengetahui apakah rencana pembelajaran telah disusun
berdasarkan hasil analisis kebutuhan. Evaluasi tahap ini tidak lepas dari tujuan yang
telah dirumuskan.
3) CSE Model: Formative Evaluation
Dalam tahap ketiga ini evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaan program.
Dengan demikian, evaluator diharapkan betul-betul terlibat dalam program karena harus
mengumpulkan data dan berbagai inIormasi dari pengembang program.
4) CSE Model: Summative Evaluation
Dalam tahap keempat, yaitu evaluasi sumatiI, para evaluator diharapkan dapat
mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak dari program. Melalui evaluasi
sumatiI ini, diharapkan dapat diketahui apakah tujuan yang dirumuskan untuk program
sudah tercapai, dan jika belum, dicari bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.
7. !! Evaluation Model (dikembangkan oleh StuIIlebeam).
Model ini bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan
dipengaruhi oleh berbagai Iaktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan
program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu
sendiri.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program
dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment
mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi.
StuIIlebeam melihat tujuan evaluasi sebagai:
1. Penetapan dan penyediaan inIormasi yang bermanIaat untuk menilai keputusan alternatiI;
2. Membantu audience untuk menilai dan mengembangkan manIaat program pendidikan
atau obyek;
3. Membantu pengembangan kebijakan dan program.
Model evaluasi ini merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh
para evaluator. Model CIPP ini dikembangkan oleh StuIIlebeam dan kawan-kawan (1967) di
Ohio State University. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruI awal empat buah
kata, yaitu
ontext evaluation : evaluasi terhadap konteks
nput evaluation : evaluasi terhadap masukan
!rocess evaluation : evaluasi terhadap proses
!roduct evaluation : evaluasi terhadap hasil
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran
evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan. Dengan
kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi
sebagai sebuah sistem.










Model Evaluasi CIPP
Aspect of
evaluation
1ype of decision Kind of question answered
ontext
evaluation
!lanning decisions What should we do?
nput evaluation Structuring decisions How should we do it?
!rocess mplementing decisions re we doing it as planned?
evaluation nd if not, why not?
!roduct
evaluation
Recycling decisions Did it work?
Sumber : The CIPP approach to evaluation (Bernadette Robinson, 2002)
Empat aspek Model Evaluasi CIPP (context, input, process and output) membantu
pengambil keputusan untuk menjawab empat pertanyaan dasar mengenai;
1. Apa yang harus dilakukan (What should we do?); mengumpulkan dan menganalisa needs
assessment data untuk menentukan tujuan, prioritas dan sasaran.
2. Bagaimana kita melaksanakannya (How should we do it?); sumber daya dan langkah-
langkah yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dan mungkin meliputi
identiIikasi program eksternal dan material dalam mengumpulkan inIormasi
3. Apakah dikerjakan sesuai rencana (re we doing it as planned?); Ini menyediakan
pengambil-keputusan inIormasi tentang seberapa baik program diterapkan. Dengan
secara terus-menerus monitoring program, pengambil-keputusan mempelajari seberapa
baik pelaksanaan telah sesuai petunjuk dan rencana, konIlik yang timbul, dukungan staII
dan moral, kekuatan dan kelemahan material, dan permasalahan penganggaran.
4. Apakah berhasil (Did it work?); Dengan mengukur outcome dan membandingkannya pada
hasil yang diharapkan, pengambil-keputusan menjadi lebih mampu memutuskan jika
program harus dilanjutkan, dimodiIikasi, atau dihentikan sama sekali.
Penjelasan atas masing-masing aspek dalam model evaluasi CIPP adalah sebagai berikut:
1) Evaluasi Konteks
Konteks disini diartikan yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis
tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang
bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran
yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang
dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
Evaluasi Konteks menilai kebutuhan, permasalahan, aset, dan peluang untuk membantu
pembuat keputusan menetapkan tujuan dan prioritas serta membantu stakeholder
menilai tujuan, prioritas, dan hasil.
Menurut Sarah McCann dalam Arikunto (2004) evaluasi konteks meliputi
penggambaran latar belakang program yang dievaluasi, memberikan tujuan program
dan analisis kebutuhan dari suatu sistem, menentukan sasaran program, dan menentukan
sejauhmana tawaran ini cukup responsiI terhadap kebutuhan yang sudah diidentiIikasi.
Penilaian konteks dilakukan untuk menjawab pertanyaan 'Apakah tujuan yang ingin
dicapai, yang telah dirumuskan dalam program benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat?
Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang
akan dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan program.
Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan,
kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
2) Evaluasi Masukan (nput)
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi masukan. Tujuan utama evaluasi ini
adalah untuk mengaitkan tujuan, konteks, input, proses dengan hasil program. Evaluasi
ini juga untuk menentukan kesesuaian lingkungan dalam membantu pencapaian tujuan
dan objectiI program. Disamping itu, evaluasi ini dibuat untuk memperbaiki program
bukan untuk membuktikan suatu kebenaran (%he purpose of evaluation is not to prove
but to mprove, StuIIlebeam, 1997 dalam Arikunto 2004).
Model evaluasi CIPP digunakan untuk mengukur, menterjemahkan dan mengesahkan
perjalanan suatu program, dimana kekuatan dan kelemahan program dikenali. Kekuatan
dan kelemahan program ini meliputi institusi, program itu sendiri, sasaran populasi/
individu. Model evaluasi ini meliputi kegiatan pendeskripsian masukan dan sumberdaya
program, perkiraan untung rugi, dan melihat alternatiI prosedur dan strategi apa yang
perlu disarankan dan dipertimbangkan (Guba & StuIIlebeam, 1970). Singkatnya, input
merupakan model yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan
sumberdaya yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan inIormasi
tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Aspek input juga
membantu menentukan prosedur dan desain untuk mengimplementasikan program
Evaluasi ini menolong mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada,
alternatiI apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan,
bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
Menurut StuIIlebeam pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengaral pada
"pemecahan masalah" yang mendorong diselenggarakannya progran yang bersangkutan.
Misalnya pada evaluasi kurikulum, pertanyaan yang diajukan antara lain :
a. Apakah proses metode belajar mengajar yang diberikan memberikan dampak jelas
pada perkembangan peserta didik?
b. Bagaimana reaksi peserta didik terhadap metode pembelajaran yang diberikan?
3) Evaluasi Proses
Evaluasi proses dalam model CIPP diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses dalam model
CIPP menunjuk pada "apa" (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, "siapa"
(who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, "kapan" (when)
kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh
kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana.
Oleh StuIIlebeam (dalam Arikunto, 2004), mengusulkan pertanyaan untuk proses antara
lain sebagai berikut:
a. Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal.
b. Apakah yang terlibat dalam pelaksanaan program akan sanggup menangani kegiatan
selama program berlangsung ?
c. Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanIaatkan secara maksimal?
d. Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program?
4) Evaluasi pada produk atau hasil
Evaluasi produk diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi
pada masukan mentah. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan antara lain:
a. Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?
b. Apakah kebutuhan peserta didik sudah dapat dipenuhi selama proses belajar
mengajar?
1. Discrepancy Model (dikembangkan oleh Malcom Provus).
Provus mendeIinisikan evaluasi sebagai alat untuk membuat pertimbangan (judgement) atas
kekurangan dan kelebihan suatu objek berdasarkan diantara standar dan kinerja. Model ini
juga dianggap menggunakan pendekatan IormatiI dan berorientasi pada analisis system.
Standar dapat diukur dengan menjawab pertanyaan bagaimana program berjalan. Sementara
pencapaiannya ada;ah lebih kepada apakah yang sebenarnya terjadi. Evaluator hanya boleh
membantu dengan membentuk dan menjelaskan peranan standar dan pencapaian.
Dalam model evaluasi ini, kebanyakan inIormasi yang diperoleh berbeda dan dikumpulkan
dengan beberapa cara, yaitu (Azizi, 2008):
1) Merencanakan bentuk penilaian, menentukan kemantapan suatu program.
2) Penilaian input, bertujuan membantu pihak pengurus dengan memastikan sumber yang
diperlukan mencukupi.
3) Proses penilaian, memastikan aktivitas yang dirancang berjalan dengan lancer dan
memiliki mutu seperti yang diharapkan.
4) Penilaian hasil, judgement di tahap pencapaian suatu hasil yang direncanakan.
Menurut Provus evaluasi adalah untuk membangun dan aIIirmatiI, tidak untuk
menghakimi. Model Evaluasi Discrepancy/ Pertentangan ( Provus, 1971) adalah suatu
model evaluasi program yang menekankan pentingnya pemahaman sistem sebelum evaluasi.
Kapan saja kita sedang mencoba untuk mengevaluasi sesuatu, ditekankan bahwa kita harus
mempunyai pemahaman tepat dan jelas atas hal yang dievaluasi, untuk menetapkan standar.
Model ini merupakan suatu prosedur problem-solving untuk mengidentiIikasi
kelemahan (termasuk dalam pemilihan standar) dan untuk mengambil tindakan korektiI. Di
dalam kasus suatu sistem yang kompleks seperti suatu proyek, obyek evaluasi bisa belum
jelas dan sukar untuk dipahami. KlariIikasi obyek evaluasi obyek adalah sangat perlu untuk
membuat evaluasi terlaksana.
Dengan model ini, proses evaluasi pada langkah-langkah dan isi kategori sebagai cara
memIasilitasi perbandingan capaian program dengan standar, sementara pada waktu yang
sama mengidentiIikasi standar untuk digunakan untuk perbandingan di masa depan.
Argumentasi Provus, bahwa semua program memiliki daur hidup (life cycle). Karena
program terdiri atas langkah-langkah pengembangan, aktivitas evaluasi banyak diartikan
adanya integrasi pada masing-masing komponennya.
1. Dalam definition stage (tahap deIinisi), staI program mengorganisir a) gambaran tujuan,
proses, atau aktivitas dan kemudian b) menggambarkan sumber daya yang
diperlukankan. Harapan atau standar ini adalah dasar dimana evaluasi berkelanjutan
tergantung.
2. Dalam installation stage (langkah instalasi), desain/ deIinisi program menjadi standar
baku untuk diperbandingkan dengan penilaian operasi awal program. Gagasannya
adalah untuk menentukan sama dan sebangun, sudah atau tidaknya program telah
diterapkan sebagaimana desainnya.
3. Dalam product stage (tahap proses), evaluasi ditandai dengan pengumpulan data untuk
menjaga keterlaksanaan program. Gagasannya adalah untuk memperhatikan kemajuan
kemudian menentukan dampak awal, pengaruh, atau eIek.
4. Dalam product stage (tahap produk), pengumpulan data dan analisa yang membantu ke
arah penentuan tingkat capaian sasaran dari outcome. Dalam tahap 4 ini pertanyaannya
adalah 'Apakah sasaran program telah dicapai?" Harapannya adalah untuk
merencanakan follow up jangka panjang pemahaman atas dampak.
5. (optional) tahap cost-benefit menunjukkan peluang untuk membandingkan hasil dengan
yang dicapai oleh pendekatan lain yang serupa.
Pada masing-masing empat tahap perbandingan standard dengan capaian program untuk
menentukan bila ada pertentangan. Penggunaan inIormasi pertentangan selalu mengarah
pada satu dari empat pilihan:
1. Dilanjutkan ke tahap berikutnya bila tidak ada pertentangan.
2. Jika terdapat pertentangan, kembali mengulang tahap yang ada setelah merubah standar
program.
3. Jika tahap 2 tidak bisa terpenuhi, kemudian mendaur ulang kembali ke langkah 1 tahap
deIinisi program, untuk menggambarkan kembali program tersebut, kemudian memulai
evaluasi pertentangan lagi pada tahap 1.
4. Jika tahap 3 tidak bisa terpenuhi pilihannya adalah mengakhiri program.

0 komentar
Response to "Model Evaluasi Program"
1.
Poskan Komentar

Anda mungkin juga menyukai