Anda di halaman 1dari 8

Kata Pengantar

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan artikel ini dengan judul
“Aktualisasi Dan Konsep Kemasyarakatan Ketamansiswaan Tentang Peningkatan Kualitas
Sumber Daya Manusia”.
Sebagai penulis, saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam artikel
ini, baik secara penyusunan dan tata bahasa dalam artikel ini. Oleh karena itu, saya dengan
rendah hati menerima saran dan kritik dari para pembaca agar kedepannya saya dapat
memperbaiki artikel ini. Saya berharap semoga tulisan dalam artikel ini dapat memberikan
manfa’at dan juga inspirasi untuk pembaca.

Yogyakarta, Mei 2023

Penulis
Pendahuluan

Konsep Ketamansiswaan merupakan konsep pendidikan yang di cetuskan oleh bapak


pendidikan nasional yaitu Ki hadjar Dewantara. Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta,
tepatnya di Kadipaten (daerah yang dikuasai oleh adipati, yang lebih rendah kedudukannya
daripada kesultanan) Pakualaman, pada tanggal 2 Mei 1889 silam. Tokoh panutan kita yang
satu ini dikenal sebagai seorang penulis, jurnalis, dan pelopor pendidikan bagi bangsa
Indonesia saat zaman kolonial Belanda. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ki
Hajar Dewantara juga merupakan bagian dari Tiga Serangkai, bersama Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker, yang sempat membuat adanya kegemparan di era
kolonial, era ketika Indonesia masih dikuasai oleh Belanda. Kegemparan itu muncul ketika Ki
Hajar Dewantara menulis esai singkat berjudul Als ik een nederlander was (Seandainya Saya
Seorang Belanda), yang isinya sangat tajam mengkritik perayaan 100 tahun kemerdekaan
Belanda. Kritiknya yang tajam itu membuat Ki Hajar Dewantara sempat diasingkan ke Negeri
Ratu Wilhelmina. Walau begitu, pengasingannya nggak membuat idealisme Ki
Hajar Dewantara runtuh.

Sepulangnya dari pengasingan pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara mulai


mendirikan sekolah Taman Siswa, tepanya pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Taman Siswa
berdiri karena Ki Hajar Dewantara gelisah akan kondisi pendidikan di Hindia Belanda yang
saat itu sangat diskriminatif. Kehadiran sekolah Taman Siswa pun seolah menjadi antitesis (hal
yang berlawanan) terhadap sistem pendidikan era kolonial yang mana cuma memperbolehkan
anak-anak bangsawan saja untuk sekolah, sementara anak-anak rakyat
jelata nggak diperbolehkan, berkat perjuangan Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa
itu, akses pendidikan bagi semua kalangan akhirnya terwujud. Anak-anak rakyat jelata
akhirnya bisa mengenyam pendidikan yang layak melalui Taman Siswa.

Bagi beliau, pendidikan adalah alat pergerakan kemerdekaan pada masa itu.
Kemerdekaan lahir dan batin. Jadi nggak mengherankan kalau dalam waktu delapan tahun saja
(sekitar tahun 1992-1930), jumlah sekolah Taman Siswa sudah mencapai 100 cabang dengan
puluhan ribu murid yang tersebar di seantero Jawa. Konsep pendidikan Taman Siswa memiliki
dasar sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang kekeluargaan. Maksudnya begini
Squad, dalam konsep Taman Siswa, setiap guru atau pendidik akan mengabdikan seluruh
waktunya setiap hari untuk mengajar kepada murid-muridnya, seperti perlakuan orang tua
terhadap anaknya. Dengan sistem Among ini, pelaksanaan pendidikan saat itu lebih didasarkan
pada minat dan potensi apa yang dimiliki dan perlu dikembangkan pada murid-muridnya,
bukan justru sebaliknya: minat dan kemampuan yang dimiliki oleh guru atau pendidik.

Tentu metode pengajaran kolonial yang harus diubah, yaitu dari sistem pendidikan
“perintah dan sanksi (hukuman)” ke pendidikan pamong. Pendidikan kolonial didasarkan pada
diskriminasi rasial yang di dalamnya sudah terdapat pemahaman kepada anak-anak bumiputra
yang menderita inferioritas. Kondisi seperti ini harus diubah dari pendidikan model ”perintah
dan sanksi”, meski pemerintah kolonial sendiri menggunakan istilah santun “mengadabkan “
bumiputera, tetapi dalam kenyataannya cara kolonial yang tidak manusiawi tetap
berjalan. Untuk merealisasikan gagasan itu KHD membuat wadah “Nationaal Onderwijs
Taman Siswa”, sebuah pendidikan nasional dengan gagasan yang sudah mencakup seluruh
bangsa Indonesia (nation wide). Menurut KHD pendidikan yang mengena kepada bangsa
Timur adalah pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan. Maka, hal tersebut
mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan.
Pengalaman yang diperoleh dalam mendalami pendidikan yang humanis ini dengan
menggabungkan model sekolah Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India).
Menurut KHD dua sistem pendidikan yang dilakukan dua tokoh pendidik ini sangat cocok
untuk sistem pendidikan bumiputera. Lalu dari mengadaptasi dua sistem pendidikan itu KHD
menemukan istilah yang harus dipatuhi dan menjadi karakter, yaitu Patrap Guru, atau tingkah
laku guru agar menjadi panutan murid dan masyarakat. Hal tersebut berujung menjadi
pegangan utama KHD menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu:

 Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh)


 Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita),
 Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya)

Perilaku guru Taman Siswa ini diterapkan di semua jenjang Pendidikan TS, antara lain:
Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman
Madya (SMA), dan Taman Guru (Sarjana Wiyata). Hal tersebut merupakan upaya manifestasi
resistensi kultural karena berpusat pada sikap yang berlawanan (antitesis) dengan sikap guru
dalam pendidikan kolonial. “Tut wuri handayani” dijadikan motto Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI.

Pengaktualisasian Konsep Kemasyarakatan Ketamansiswaan Dalam


Meningkatkan Mutu SDM

Pendidikan dalam proses pembangunan memberikan kontribusi yang sangat besar


terhadap kemajuan suatu bangsa, karena pendidikan merupakan sarana dalam membangun
watak bangsa. Kebijakan program untuk meningkatkan mutu pendidikan diantaranya adalah
ketenagaan (SDM) yang berkualitas. Implementasi Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti
(mengeta-hui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). bertujuan meningkatkan
pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan
pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk
melaksanakan apa yang dipelajarinya. Konsep Tringo diterapkan dalam meningkatkan
kemajuan SDM.

Dalam upaya meningkatkan kualitas SDM diperlukan sebuah mekanisme yang mampu
mengatur dan mengoptimalkan berbagai komponen dan sumber daya yang ada. Dalam dunia
pendidikan, hal ini disebut manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan dapat diartikan
sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian usaha usaha
personal pendidikan untuk mendayagunakan semua sumber daya dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Komariah dan Cepi (2005 : 4) menjelaskan bahwa input sumber daya
meliputi Sumber Daya Manusia dan sumber daya lainnya. Kalau di Barat ada “Teori Domein”
yang diciptakan oleh Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik
maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa
(memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah
meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk
meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan
untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.

Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran
serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur
bangsa Indonesia yang merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat
diterapkan yakni tringa yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Ki Hadjar mengingatkan,
bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut.

Kulitas sumber daya manusia merupakan modal dasar atau titik sentral yang menjadi
subjek pembagunan, karena keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh kualitas
sumber dasya manusianya bukan oleh melimpah ruahnya kekayaan alam. Terlebih lagi di era
globalisasi ini sebagai era yang penuh dengan persaingan. Upaya pengembangan kualitas
sumber daya manusia dapat dilakukan melalui berbagai jalur diantaranya pendidikan.
Pendidikan ini merupakan jalur peningkatan kualitas sumber daya manusia yang lebih
menekankan pada pembentukan kualitas dasar seperti keimanan, kepribadian, kecerdasan,
kreatifitas dan sebagainya. Dahulu pendidikan lebih merupakan model pembentukan maupun
pewarisan nilai-nilai tradisi masyarakat artinya misi pendidikan dianggap berhasil ketika anak
didik sudah mempunyai sifat positif dalam memelihara tradisi masyarakatnya. Kini paradigm
demikian harus direkontruksi agar setiap individu tidak acuh terhadap persoalan yang terkait
dengan kepentingan pembangunan baik dalam hal ekonomi, ketenaga kerjaan dan persoalan
lainnya. Berbagai konsep pendidikan telah ditawarkan oleh pakar pendidikan sebagai upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia seperti Ki Hajar Dewantara.

Gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara seputar pendidikan merupakan tanggapan


kritisnya terhadap kebutuhan golongan terjajah pada zamannya. Ia berpikir perihal bagaimana
mencerdaskan orang-orang yang senasib dengan dirinya agar mereka sadar akan hak-hak
hidupnya. Dalam rangka itu pula, Ki Hadjar Dewantara sebetulnya telah berupaya membuka
jalan untuk mengatasi persoalan kesenjangan sosial dan pelanggaran hak-hak manusia pada
masanya. Namun, selaras dengan konsep manusia sebagai makhluk dinamis, pemikiran
manusia hingga saat ini juga berkembang dan menjadi kian kompleks. Artinya, setiap
pemikiran manusia yang dipandang cocok untuk masa tertentu di suatu wilayah tertentu, belum
tentu dapat diimplementasikan pada masa dan kondisi yang berbeda, baik di wilayah yang sama
maupun di wilayah yang berbeda. Hal ini berlaku juga bagi pemikiran Ki Hadjar tentang
pendidikan. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara boleh jadi sangat bagus dan sesuai
dengan kebutuhan pada masanya, tapi untuk konteks pendidikan di Indonesia pada jaman
sekarang ia tidak luput dari tantangan-tantangan. Oleh karena itu, ia perlu diinterpretasi untuk
menjawab tantangan-tantangan implementasinya dalam konteks zaman yang berbeda.

Sepak terjang pendiri Perguruan Taman Siswa ini, kiranya tidaklah berlebihan kalau kita
memberinya gelar sebagai “humanis dan pendidik sejati”. Dia memfokuskan perjuanganya
untuk “memerdekakan bangsanya secara lahir dan batin”. Idealisme Ki Hadjar Dewantara
dalam dunia pendidikan begitu mengakar dan mempengaruhi masyarakat pada masanya.
Namun, patut disayangkan bahwa idealisme pendidikannya (konsep, semboyan dan metode)
dewasa ini semakin terpinggirkan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Maka dalam
praksisnya, ideal pendidikan dikorbankan demi mengejar target angka tinggi, bahkan hal itu
dilakukan dengan berbagai cara yang kurang terpuji sebab mengabaikan proses dan kualitas.
Di sisi lain, ada kecenderungan bahwa institusi-institusi pendidikan kini beralih kiblat dari visi
ideal kemanusiaan ke lembaga ekonomi yang menjual pengetahuan sebagai komoditas.
Sebagai demikian, ia mereduksi diri menjadi sekadar balai latihan “pertukangan” yang
memang melahirkan orang yang ahli dalam bidangnya, tetapi tanpa visi, terampil tetapi tanpa
ruh dan isi.
Sesungguhnya pendidikan merupakan usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia
keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia
(humanis). Di dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk negara
kesatuan Republik Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas
adalah bangsa yang dapat Survive didalam menghadapi segala permasalahan. Sedangkan
Menurut pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tujuan pendidikan nasional yaitu untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Meha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mendiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Merujuk pada pengertian dan
tujuan dari pada pendidikan di atas. Maka sesunguhnya melihat potret pendidikan Indonesia
sangat-sangatlah buruk sekali atau tidak relavan dengan amat UUD 1945, dengan realitas
pendidikan yang terjadi di saat ini. Sebut saja, bila ada banyak anak miskin, terlantar, dan tidak
mampu bersekolah karena pertimbangan finesnsial. Wacana ini, telah menjadi penjajah
kesadaran kritis. Tidak hanya itu, yang lebih parah lagi telah menjadi pemutus harapan bagi
kelas termarginalkan.

Problematika yang terjadi dalam dunia pendidikan ini tidak terlepas dari kebijakan-
kebijakan pemerintah sebagai pemandu pendidikan yang tidak melihat bagiamana terobosan-
terobosan yang seharusnya dilakukan, demi menciptakan sebuah pendidikan yang mampu
membangun manusia indonesia yang baik, sehingga nantinya akan melahirkan pendidikan
yang baik, demi menyantarkan manusia indonesia yang berkarakter. Hal ini, bila dicermati
dengan cerdik, permasalahn yang timbul dalam dunia pendidikan kita, ialah pendidikan yang
hanya menekan pada pembentukan tingkat intelektual seorang peserta didik semata. Bukan
pendidikan yang mampu membentuk karakter baik manusia Indonesia. Sebenarnya pendidikan
yang harus berasakan budaya dan kearifan lokal orang indonesia. Dan hal pendidikan itu,
sebenarnya telah dikonsepkan oleh Bapak pendidikan indonseia yaitu Ki Hajar Dewantara.

Gagasan pemikiran pendidikan Ki Hajar harus dimunculkan kembali, karena yang


diharapkan mampu memberi jawaban yang selama ini, cukup meresahkan martabat
kemanusiaan. Berbagai problem di atas adalah kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan
pendidikan yang berkualitas. Sejarahwan dari Universitas Gadjah Mada, Sutaryo pun tak
menampik bila pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada barat. Ia mengatakan bahwa
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara perlu dimunculkan untuk mencapai pendidikan ideal
sesuai karakter bangsa. Ki Hajar Dewantara merupakan pemikir dan juga tokoh pendidikan di
indonesia yang selalu menyuarakan konsep pendidikan kritis terhadap pendidikan. Ia adalah
salah satu toko pendidikan nasional, sekaligus bapak pendidikan indonesia dan pejuang
kemerdekaan, yang secara intens mengkritik praktik pendidikan dan memberikan kontribusi
pemikiran pendidikan nasional yang selama ini ada di Indonesia. Ki Hajar, selalu mencoba
menawarkan solusi ilmiah dan rasional guna perbaikan pendidikan yang mengarah pada
pendidikan yang memanusiakan manusia.

Ki Hajar Dewantara juga berpendapat bahwa mendidik artinya proses memanusiakan


manusia, yang berarti mengangkat manusia ke taraf insani. Beliau mengungkapkannnya dalam
semboyan trilogi pendidikan yaitu : Tut Wuri Handayani yang berarti guru harus selalu
memberikan dorongan dari belakang. Sebagai contoh apabila anak memiliki hobi bernyanyi,
maka sebagai pendidik harus mengikuti hobinya itu. Sehingga ketika siswa tersebut tamat dari
sekolahnya, maka mereka secara otomatis memiliki skill yang sesuai dengan kemampuannya.
Karena orang yang pandai harus memiliki dorongan dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain.
Peran seorang pendidik dalam Tut Wuri Handayani ini mampu mengembangkan bakat peserta
didik terlebih dahulu lalu di ikuti dengan dorongan-dorongan atau motivasi. Ing Madya
Mangun Karsa yang berarti diantara siswanya guru harus selalu memberikan prakarsa serta ide.
Maka, Ing Madya Mangun Karsa merupakan seseorang yang mampu membangkitkan dan
menciptakan semangat kepada peserta didiknya. Implementasi pada seorang pendidik terlihat
ketika pendidik berada ditangah siswa dengan tujuan memberikan motivasi sehingga semua
siswa bisa dipersatukan guna mencapai tujuan bersama. Peran pendidik dalam semboyan ini
adalah pendidik memberikan motivasi untuk pembangun para peserta didiknya. Caranya bisa
dengan memberikan motivasi belajar, memberikan apresiasi kepada siswa, serta pendidik
bersikap sabar dan kekeluargaan. Dan yang terakhir, Ing Ngarsa Sung Tulada, yang memiliki
arti guru harus memiliki contoh teladan dan tindakan yang baik didepan murid-muridnya.
Sehingga yang menjadi tugas pendidik bukanlah semata-mata sebatas memberikan ilmunya
kepada peserta didiknya. Namun, guru harus selalu dapat kreatif dalam memberikan pengajaran
kepada siswanya. Hal ini bisa membuat siswa belajar dengan suasana yang menyenangkan
serta siswa tidak takut untuk mengemukakan pendapatnya didepan guru secara terbuka. Peran
guru menurut Ki Hajar Dewantara bukan hanya menjadi fasilitator dalam pembelajaran saja,
tetapi juga menjadi mitra belajar bagi peserta didik.

Pemikiran pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu mengarahkan pendidikan


dalam empat dimensi, yaitu tujuan jasmani, akal, rohani, dan sosial. Ki Hajar Dewantara juga
menyebutkan bahwa peran pendidik merupakan sebagai fasilitator dan motivator. Dalam
mencapai tujuannya pendidikan, Ki Hajar Dewantara membuat sebuah kebijakan yang
dinamakan trilogi pendidikan yaitu : Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, dan Ing
Ngarsa Sung Tulada kemudian dijawantahkan dalam sistem among, momong, ngemong dalam
proses pembelajaran.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mempengaruhi penerapan merdeka belajar di Taman


Siswa. Kesuksesan yang dihasilkan dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini, menginspirasi
menteri pendidikan Nadiem Makarim, dalam menerapkan sistem pendidikan di Indonesia saat
ini. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi heuristik, verifikasi eksternal
dan internal, interpretasi dengan pendekatan sejarah untuk melihat penerapan pemikiran Ki
Hadjar Dewantara tentang Merdeka Belajar di Taman Siswa 1922-1932. Hasil penelitian
menunjukkan jika merdeka belajar di Taman Siswa merupakan hasil penerapan dari pemikiran
Ki Hadjar Dewantara. Keberhasilan dalam menerapkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara di
Taman Siswa 1922-1932 dibuktikan dengan adanya beberapa pemikiran seperti penerapan
sistem among, dimana Pamong atau Guru memandang pendidikan sebagai sebuah tuntunan,
bukan sebagai perintah dan paksaan terhadap murid. Perintah dan paksaan yang kala itu
dilakukan dalam pendidikan kolonial, dianggap Ki Hadjar Dewantara dapat merusak budi
pekerti murid dan dalam jangka panjang, akan mematikan kemerdekaan murid sehingga murid
akan tertekan dan tidak memiliki kreatifitas. Hal ini lantaran murid akan bekerja jika mendapat
perintah saja. Untuk itu Ki Hadjar Dewantara melalui sistem among dan Trilogi Pendidikan,
merubah pendidikan dan mampu menciptakan merdeka belajar saat itu, yang akhirnya saat ini
menginspirasi dunia pendidikan di Indonesia.
Referensi

Asa, A. I. (2019). Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara Dan Driyarkara. Jurnal
Pendidikan Karakter, 9(2), 245–258. https://doi.org/10.21831/jpk.v9i2.25361

Devi Utami, R. (2020). Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Sistem Among di Perguruan
Taman Siswa Yogyakarta (1922-1945). PERIODE: Jurnal Sejarah Dan Pendidikan
Sejarah, 2(2), 87–99. Dewantara, K. H. (1961). KI HADJAR DEWANTARA (cet-2).
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Febriyanti, N. (2021). Implementasi Konsep Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Jurnal


Pendidikan Tambusai, 5(1), 1631–1638.

Pangestu, D. A., & Rochmat, S. (2021). Filosofi Merdeka Belajar Berdasarkan Perspektif
Pendiri Bangsa. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 6(1), 78–92.
https://doi.org/10.24832/jpnk.v6i1.1823

Samho, B., & yasunari, O. (2013). Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
TantanganTantangan Implementasinya Di Indonesia Dewasa ini. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Suwardi, I. (2009). Metode Penelitian Sosial. In Bandung: PT. Refika Aditama (Issue October
2019).https://www.google.co.id/books/edition/METODOLOGI_PENELITIAN_SOSIA
L/tretDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=PENGERTIAN+DASAR+KAJIAN+PENELI
TIAN &printsec=frontcover

Zuriatin, Nurhasanah, & Nurlaila. (2021). Pandangan Dan Perjuangan Ki Hadjar Dewantara
Dalam Memajukan Pendidikan Nasional. Jurnal Pendidikan Ips, 11(1), 48–56.
https://doi.org/10.37630/jpi.v11i1.442

Anda mungkin juga menyukai