Anda di halaman 1dari 47

Pertemuan ke 8

SOCIAL COGNITIVE THEORY

A. Latar Belakang
Dalam perspektif teori kognitif sosial, individu dipandang
berkemampuan proaktif dan mengatur diri daripada sebatas mampu
berperilaku reaktif dan dikontrol oleh kekuatan biologis atau lingkungan
(Mukhid, 2009). Begitupun dalam proses pembelajaran, siswa dipandang
sebagai individu yang mampu mengontrol pikiran, perasaan, dan
tindakannya sendiri serta mengatur dirinya sendiri untuk mencapai tujuan
pendidikan. Teori kognitif sosial memandang bahwa faktor sosial,
kognitif, dan perilaku memainkan peranan penting dalam pembelajaran
(Santrock, 2011, hlm. 285). Ketiganya saling mempengaruhi satu sama
lain. Faktor kognitif berupa ekspektasi murid untuk meraih keberhasilan
sedangkan faktor sosial mencakup pengamatan murid terhadap perilaku
orang-orang di lingkungannya (Santrock, 2011).
Dalam teori kognitif sosial, salah satu faktor kognitif yang
ditekankan adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa
menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif (Santrock, 2011,
hlm. 286). Secara lebih spesifik, Bandura (1997) mengemukakan bahwa
self-efficacy merupakan keyakinan (beliefs) tentang kemampuan
seseorang untuk mengorganisasikan dan melaksanakan tindakan untuk
pencapaian hasil. Dengan kata lain self-efficacymerupakan keyakinan
seseorang atas kesuksesannya dalam melaksanakan suatu tugas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud teori kognitif sosial ?
2. Apa saja faktor – faktor dalam belajar melalui observasi ?
3. Bagaimana dampak belajar ?
4. Bagaimana pengaruh efikasi diri terhadap perilaku manusia?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu teori kognitif sosial
2. Mengetahui faktor – faktor dalam belajar melalui observasi
3. Mengetahui dampak belajar
4. Mengetahui pengaruh efikasi diri terhadap perilaku manusia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Kognitif Sosial


Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan
penamaan baru dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Albert Bandura lahir di kanada pada
tahun 1925. Ia memperoleh gelar doktornya dalam bidang psikologi klinis
dari University of lowa di mana arah pemikirannya di pengaruhi oleh
tulisan Miller dan Dollard (1941) yang berjudul Social Learning And
Imitation. Penamaan baru dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan
pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari pemikiran Bandura juga
merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar
meniru (imitative learning). Pada beberapa publikasinya, Bandura telah
mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan
behavioral yang memengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial.
Teori kognitif sosial adalah teori yang menonjolkan gagasan bahwa
sebagian besar pembelajaran manusia terjadi dalam sebuah lingkungan
sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia memperoleh pengetahuan,
aturan-aturan, keterampilan-keterampilan, strategi-strategi, keyakinan-
keyakinan, dan sikap-sikap. Individu-individu juga melihat model-model
atau contoh-contoh untuk mempelajari kegunaan dan kesesuaian prilaku-
prilaku akibat dari prilaku yang di modelkan, kemudian mereka bertindak
sesuai dengan keyakinan tentang kemampuan mereka dan hasil yang
diharapkan dari tindakan mereka.
Bandura mengembangkan teorinya untuk mebahas cara-cara orang
memiliki kendali atas peristiwa dalam hidup mereka melalui pengaturan
diri atas pikiran-pikiran dan tindakan mereka. Proses dasarnya meliputi
menentukan tujuan, menilai kemungkinan hasil dari tindakan-tindakan,
mengevaluasi kemajuan pencapaian tujuan, dan pengaturan diri atas
pikiran, emosi, dan tindakan. Bandura menjelaskan bahwa karakteristik
khas lainnya dari teori kognitif sosial adalah peran utama yang di
berikannya pada fungsi-fungsi pengaturan diri. Orang berprilaku bukan
sekedar untuk menyesuaikan diri denagn kecendrungan-kecendrungan
orang lain. Kebanyakan perilaku mereka dimotivasi dan diatur oleh
standard internal dan reaksi-reaksi terhadap tindakan meraka sendiri yang
terkait dengan penilaian diri.
B. Teori Bandura Tentang Belajar
Bandura menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku, lingkungan dan
kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi
dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh
(interlocking), Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah
laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga
mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku mengaktifkan kontingensi
lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan
atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda. Pengakuan
sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi
yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas. Tingkah laku
dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan
oleh model) Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh
pembelajar). Pemrosesan kode-kode simbolik. Skema hubungan segitiga
antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku, (Bandura,
1976).
Selain itu proses perhatian (atention) sangat penting dalam
pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan
diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting
agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal
dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini
rehearsal (ulangan) memegang peranan penting. Proses motivasi yang
penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan
Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi). Karena melibatkan
atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori
Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya
perilaku agresi dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi
perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang
digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan
pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses
perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri
yakni “sense of self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self
efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai
pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku. Self regulatory
adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi
tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan,
mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam
pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self
evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi
belajar yang tinggi dan sebaliknya. Menurut Bandura agar pembelajar
sukses instruktur/guru/dosen harus dapat menghadirkan model yang
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan
“self of mastery”, self efficacy5, dan reinforcement bagi pembelajar.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori belajar sosial
adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
1) Mementingkan pengaruh lingkungan.

2) Mementingkan bagian-bagian.

3) Mementingkan peranan reaksi.

4) Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui


prosedur stimulus respon.

5) Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk


sebelumnya.
6) Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan
pengulangan.

7) Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang


diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan
paradigma behaviorisme (teori belajar sosial) akan menyusun bahan
pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak
banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-
contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai
dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi
pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera
diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan
teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang
kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian
didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik (teori belajar sosial) adalah
pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan
hanya berorientasi pada hasil yang dapat Metode behavioristik ini sangat
cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi
pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang
sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan
apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi
dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh
behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa.
Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen
yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon
baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa
ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga
tidak mendapat reinforsemen dari tingkah lakunya. Belajar melalui
observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman
langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak
terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan atau
penguatan.
Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau
meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena
modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan
orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan

C. Motivasi Belajar dan Teori Perilaku (Bandura)


Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa
perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih
memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak
memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment).
Dalam kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar,
penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah
belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan
hasil yang diinginkan.
Mengapa sejumlah siswa tetap bertahan dalam menghadapi
kegagalan sedang yang lain menyerah? Mengapa ada sejumlah siswa yang
bekerja untuk menyenangkan guru, yang lain berupaya mendapatkan nilai
yang baik, dan sementara itu ada yang tidak berminat terhadap bahan
pelajaran yang seharusnya mereka pelajari? Mengapa ada sejumlah siswa
mencapai hasil belajar jauh lebih baik dari yang diperkirakan berdasarkan
kemampuan mereka dan sementara itu ada sejumlah siswa mencapai hasil
belajar jauh lebih jelek jika dilihat potensi kemampuan mereka? Mengkaji
penguatan yang telah diterima dan kapan penguatan itu diperoleh dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, namun pada umumnya akan
lebih mudah meninjaunya dari sudut motivasi untuk memenuhi berbagai
kebutuhan.
1) Faktor Personal Self-Regulated Learning
Menurut Bandura dalam Ainiyah (2017: 95) yang dimaksud faktor
person oleh Bandura antara lain terutama pembawaan, kepribadian,
dan temperamen. Faktor person memiliki peran yang sangat penting.
Dimana Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat
mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku
dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif
dan mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri (Suwartini:
2016: 40). Karena self-regulated learning menjadi karakteristik yang
termasuk dalam kepribadian peserta didik dan menjadi pedoman
dalam mencapai suatu tujuan pendidikan, maka peneliti ini
mengkhususkan self-regulated learning dalam variable personal di
bidang akademik. Karena, sebagaimana yang dikemukakan oleh Filho
dalam Alfina (2014: 231) Bandura mendefinisikan self-regulated
learning sebagai suatu keadaan dimana individu yang belajar sebagai
pengendali aktivitas belajarnya sendiri, memonitor motivasi dan
tujuan akademik, mengelola sumber daya manusia dan benda, serta
menjadi perilaku dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan dalam proses belajar. Diperkuat oleh Bandura bahwa
seseorang berusaha untuk meregulasi diri (self regulated), maka
hasilnya berupa perilaku yang akan berdampak terhadap perubahan
lingkungan dan demikian seterusnya.
2) Faktor Lingkungan (Environment) Tingkat Penyesuaian Diri
Bandura menjelaskan dalam memahami perilaku seseorang diperlukan
untuk memahami interaksi seseorang tersebut dengan lingkungannya
seperti lingkungan keluarga, teman sebayanya atau lingkungan
masyarakat lain. Sehingga diperlukan tingkat penyesuaian diri untuk
bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat individu berada.
Maka, peneliti ini menggunakan tingkat penyesuaian diri dalam
bidang akademik sebagai faktor lingkungan yang bersumber dari
teman sebayanya. Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-
lingkungan yang dihadapkan terhadap orang lain secara kebetulan,
lingkungan itu dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya
sendiri. Sehingga dibutuhkannya tingkat penyesuaian diri yang
selaras, karena apabila siswa yang memiliki tingkat penyesuaian diri
dilingkungan sekolahnya yang selaras, maka akan mencapai suatu
perilaku yang dihasilkan berupa prestasi belajar yang akan diraihnya
sesuai dengan tujuannya.
3) Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi
timbal balik yang dilakukan secara terus menerus antara personal,
environment dan behavior.
Perilaku seseorang akan terbentuk dengan cara meniru perilaku di
lingkungan sebagai model dan belajar merupakan proses peniruan
yang bisa terjadi sesuai dengan situasi dan tujuannya. Menurut Harinie
dkk (2017: 3)
Bandura juga menyatakan bahwa hampir semua fenomena belajar
dihasilkan dari pengalaman langsung terjadi melalui pengamatan
perilaku orang lain (model perilaku). Jadi dapat disimpulkan bahwa
menurut Bandura hasil belajar itu bukan hanya dilihat dari kognitifnya
saja, melainkan dapat dilihat dari perubahan perilaku yang akan
berdampak terhadap lingkungan tempat individu berada. Sehingga,
peneliti menggunakan prestasi belajar sebagai hasil dari sebuah
perilaku pembelajaran (behavior).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa prinsip teori sosial kognitif Bandura
ada tiga variabel yaitu personal, lingkungan dan perilaku. Personal
dalam penelitian ini berkaitan dengan self-regulated learning,
lingkungan (environment) dalam penelitian ini berkaitan dengan
tingkat penyesuaian diri dan perilaku (behavior) dalam penelitian ini
berkaitan dengan prestasi belajar. Ketiga variabel tersebut satu sama
lain saling berkaitan dan saling berhubungan secara terus menerus
posisi ini disebut reciprocal determinism (determinisme resiprokal)
D. Faktor-faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi
Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti
berakibat belajar, karena belajar melalui observasi memerlukan beberapa
factor atau prakondisi. Menurut Bandura, ada empat proses yang penting
agar belajar melalui obsevasi dapat terjadi, yakni:
1) Perhatian (attention process): Sebelum meniru orang lain, perhatian
harus dicurahkan ke orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi
pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting
tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.
2) Representasi (representation process): Tingkah laku yang akan ditiru,
harus disimbolisasikan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal
maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi. Representasi verbal
memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku yang
diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan
dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat
dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran, tanpa benar – benar
melakukannya secara fisik.
3) Peniruan tingkah laku model (behavior production process): sesudah
mengamati dengan penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam
ingatan, orang lalu bertingkah laku. Mengubah dari gambaran pikiran
menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuhan evaluasi; “Bagaimana
melakukannya?” “Apa yang harus dikerjakan?” “Apakah sudah
benar?” Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi
tidak dinilai berdasarkan kemiripan respons dengan tingkah laku yang
ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari pembelajaran.
4) Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process):
Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pembelajaran
memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah laku
modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai
tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak
bakal terjadi proses daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap
terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat
model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup
yang berhasil, sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.
Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik
pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri-ciri model
seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan, pening
dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model
sesusilanya daripada model dewasa.10 Anak juga cenderung meniru
model yang standar prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model
yang standarnya di luar jangkauannya. Anak yang sangat dependen
cenderung melimitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi
juga dipengaruhi oleh interaksi antara ciri model dengan observernya.
Anak cenderung melimitasi orang tuanya yang hangat dan open (jw),
gadis lebih melimitasi ibunya.
E. Dampak Belajar
Setiap kali respons dibuat, akan diikuti dengan berbagai
konsekuensi; ada yang konsekuensinya menyenangkan, ada yang tidak
menyenangkan, ada yang tidak masuk kekesadaran sehingga dampaknya
sangat kecil. Penguatan baik positif maupun negatif nampaknya tidak
otomatis sejalan dengan konsekuensi respons. Konsekuensi dari suatu
respons mempunyai tiga fungsi:
1) Pemberi informasi: memberi informasi mengenai dampak dari tingkah
laku informasi ini dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkah
laku pada masa yang akan datang.
2) Memotivasi tingkah laku yang akan datang: Menyajikan data sehingga
orang dapat membayangkan secara simbolik hasil tingkah laku yang
akan dilakukannya, dan bertingkah laku sesuai dengan peramalan-
peramalan yang dilakukannya. Dengan
3) kata lain, tingkah laku ditentukan atau dimotivasi oleh masa yang
akan datang, di mana pemahaman mengenai apa yang akan terjadi
pada masa yang akan datang itu diperoleh dari pemahaman mengenai
konsekuensi suatu tingkah laku.
4) Penguat tingkah laku: Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga
tingkah laku menjadi diulangi, sebaliknya kegagalan akan membuat
tingkah laku cenderung tidak diulang.
F. Efikasi Diri
Bandura yakin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai
salah satu determinan tingkah laku, tidak dapat dihilangkan. Dengan kata
lain, self diakui sebagai unsur struktur kepribadian. Sistem self bukan
merupakan unsur psikis yang mengontrol tingkah laku, tetapi mengacu ke
struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme dan seperangkat
fungs-fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkah laku. Pengaruh
self tidak terjadi secara otomatis atau mengatur tingkah laku secara
otonom, tetapi self menjadi bagian dari interaksi resiprokal.
Proses Psikologis dalam Efikasi Diri Bandura (1986, 1989, 2009)
menguraikan bahwa ada 4 proses psikologis yang terjadi ketika efikasi diri
mempengaruhi fungsi manusia dan dilakukan untuk mewujudkan tujuan
yang dianggap individu bernilai. Keempat proses tersebut adalah :
a. Proses kognitif
Dampak efikasi diri pada proses kognitif terjadi pada beberapa
bentuk. Banyak perilaku manusia yang diatur oleh pemikiran untuk
mewujudkan tujuan-tujuan yang bernilai. Penetapan tujuan seseorang
dipengaruhi oleh pemikiran diri mengenai kapasitas dan komitmennya
terhadap tujuan tersebut. Seseorang yang memiliki efikasi diri yang
kuat akan lebih senang menetapkan tujuan yang bersifat menantang
dan mengokohkan komitmennya terhadap tujuan tersebut. Mereka
akan tetap mengerahkan orientasi pemikirannya terhadap tugas ketika
menghadapi situasi yang menekan, kegagalan, maupun umpan balik
yang ada karena mereka senantiasa membayangkan skenario
keberhasilan yang dapat mendukung penampilannya. Sebaliknya,
seseorang yang memiliki efikasi yang rendah tidak akan menyukai
tujuan yang menantang. Mereka akan membayangkan skenario
kegagalan dan serba salah sehingga orientasi dan analisa
pemikirannya menjadi tidak jelas.
b. Proses Motivasional
Efikasi diri memainkan peran utama dalam pengaturan motivasi.
Sebagian besar motivasi manusia dihasilkan oleh proses kognitif.
Seseorang memotivasi dirinya sendiri dan mengarahkan antisipasi-
antisipasi tindakannya melalui pemikiran. Mereka membentuk
keyakinan tentang apa yang dapat mereka lakukan. Mereka
mengantisipasi halhal yang mungkin terjadi dari tindakan-tindakan
yang prospektif. Mereka menetapkan tujuan bagi diri mereka sendiri
dan merencanakan serangkaian rencana tindakan untuk menggapai
masa depan yang bernilai. Efikasi memberi sumbangan terhadap
motivasi melalui beberapa cara yaitu dengan menetapkan tujuan-
tujuan bagi mereka sendiri dan menentukan besar usaha yang akan
diberikan, menetapkan kegigihan dalam menghadapi kesulitan dan
kegagalan yang akhirnya mempengaruhi pula prestasi mereka
c. Proses Efektif
Efikasi diri berperan dalam proses afektif terutama terhadap
kapasitas dalam mengatasi permasalahan yang selanjutnya
berpengaruh terhadap tingkat stres dan depresi yang dialami seseorang
ketika menghadapi situasi yang sulit dan mengancam. Efikasi diri
untuk mengatasi stresor memainkan peran utama dalam menentukan
tingkat kecemasan. Seseorang yang yakin akan dapat mengatasi
ancaman tidak akan mengalami gangguan pola berpikir dan berani
menghadapi tekanan dan ancaman. Sebaliknya, seseorang yang tidak
yakin akan dapat mengatasi ancaman-ancaman akan mengalami
tingkat kecemasan yang tinggi. Mereka menganggap bahwa berbagai
aspek dalam lingkungan penuh bahaya, bahkan selanjutnya mereka
juga membesar-besarkan ancaman tersebut serta mengkhawatirkan
halhal yang pada kenyataannya jarang terjadi. Cara berpikir yang tidak
memiliki efikasi diri tersebut menyebabkan mereka stres berat dan
menghambat fungsi-fungsi diri yang dimiliki
d. Proses Seleksi
Jenis aktivitas dan lingkungan yang dipilih seseorang
dipengaruhi efikasi dirinya. Seseorang yang efikasi dirinya rendah
akan cenderung menghindari berbagai kegiatan dan situasi yang
mereka pandang melampaui kapasitas untuk mengatasinya.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan siap
melakukan kegiatankegiatan dalam situasi menantang yang mereka
tentukan berdasar keyakinan akan kapasitas mereka untuk mengatasi
situasi tersebut. Pilihan perilaku atau kegiatan tersebut akan membawa
pada pilihan lingkungan sosial tertentu yang dapat mempengaruhi
perkembangan pribadi. Lebih lanjut lingkungan sosial tersebut secara
terus menerus akan mempengaruhi kompetensikompetensi, nilai-nilai,
dan minatminat tersebut sehingga menentukan efikasi diri selanjutnya.
G. Pengaruh Efikasi Diri Terhadap Perilaku Manusia
a. Efikasi diri akan mempengaruhi pilihan tindakan yang akan
dilakukan. Individu akan terlibat dalam situasi tugas apabila ia merasa
mampu dan akan menghindari suatu perilaku apabila ia merasa
mampu dan akan menghindari suatu perilaku apabila ia merasa tidak
mampu.
b. Efikasi diri akan menentukan berapa banyak usaha yang akan
dikeluarkan dan kegigihannya dalam menghadapi tugas. Efikasi diri
yang tinggi membuat seseorang lebih kuat dan lebih gigih dalam
melakukan suatu tugas.
c. Efikasi diri akan mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosi. Jika
efikasi diri rendah, seseorang akan merasa bahwa suatu tugas akan
lebih sulit dibandingkan keadaan sebenarnya, dapat menimbulkan
stres, dan mempunyai pandangan yang lebih sempit mengenai
bagaimana cara yang terbaik untuk keluar dari masalah. Sebaliknya,
efikasi diri yang tinggi membuat seseorang lebih percaya dan lebih
yakin menghadapi tugas-tugas yang sulit.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan mendampingi perhatian pada aspek lingkungan, personal,
dan behavior,Teori Sosial Kognitif memberika kerangka untuk
perancangan dan mengimplementasian program perubahan perilaku yang
komprehensif.   Teori Sosial Kognitif menarik untuk program pendidikan
kesehatan dan promosi kesehatan karena tidak hanya menjelaskan
dinamika perilaku individu tapi juga memberikan petunjuk untung
merancang strategi intervensi yang berpengaruh terhadap perubahan
perilaku. Perhatian yang besar sekarang ini ditujukan pada kepentingan
multikomponen pada intervensi dalam rangka mengembangkan program
promosi kesehatan. Belakangan ini, intervensi tidak hanya ditujukan pada
perubahan perilaku dalam tingkat individu tetapi juga perubahan dalam
lingkungan yang mendukung perubahan perilaku (Simon-Morton, dil,
1991). Teori Sosial Kognitif diaplikasikan pada strategi perubahan
multilevel karena teori ini memasukkan konsep lingkungan, personal, dan
juga behavioral.
 Teori Sosial Kognitif merupakan teori yang kuat yang dapat
diaplikasikan pada kegiatan pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan.
Akan tetapi, terkadang ketidak tepatan aplikasinya dikarenakan metode
intervensi yang terlalu sederhana atau mengambil dari konsep tunggal,
tidak mengaplikasikan teori secara utuh. Untuk mencegah kesalahan
semacam itu, pembuat intervensi harus menentukan dengan jelas
behavioral outcome yang dinginkan dan kemudian
mengidentifikasi  variabel Teori Sosial Kognitif yang paling banyak
mempengaruhi tiap-tiap perilaku. Metode intervensi Teori Sosial Kognitif
dapat dipasangkan dengan variabel taget Teori Sosial Kognitif.    
Evaluasi program berdasarkan Tori Sosial Kognitif harus
menggunakan pengukuran yang relevan terhadap konsep teori tersebut
untuk meyakinkan bahwa intervensi telah mendapatkan efek yang
dinginkan dan agar pembuat rencana dapat mengetahui komponen apa saja
yang dapat mereka perbaiki.
B. Saran
Setiap teori pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga
dengan Social Cognitive Theory ini. Kami menyarankan untuk
menggunakan beberapa teori dalam analisis perilaku, hal ini dimaksudkan
agar jika dalam satu teori tidak dapat menjelaskan perilaku tersebut dapat
digunakan tori yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sri Muliati. Social Cognitive Theory: A Bandura Thought Review


published in 1982-2012. Journal Psikodimensia Volume 18, No. 1, Januari-
Juni 2019. Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Nuqul, Fathul Lubabin (2018). Teori Kognitif. Psikologi Sosial dan Komunikasi,
Fakultas Psikologi. Repositori Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang.

https://core.ac.uk/download/pdf/290081213.pdf diakses pada 29 Maret 2023,


pukul 10.03 WIB

http://repositori.unsil.ac.id/2918/5/11%20BAB%20II%20done.pdf diakses pada


29 Maret 2023, pukul 10.12 WIB

https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0,5&qsp=3&q=konsep+teori+kognitif+sosial&qst=bb#d=gs_
qabs&t=1680059770015&u=%23p%3DzPwHdueEXiUJ diakses pada 29
Maret 2023, pukul 10.16 WIB
SOSIAL LEARNING THEORY

A. Latar Belakang
Perkembangan anak dilandasi oleh beberapa teori perkembangan
dari para tokoh pencetus serta pelopor dalam dunia pendidikan. Teori-teori
tersebut bermunculan seiring dengan perkembangan dan permasalahan
yang dialami anak. Satu per satu teori perkembangan diperkenalkan
kepada dunia, dengan tujuan dapat membantu menyelesaikan problematika
proses perkembangan anak. Selain itu, teori-teori tersebut juga merupakan
sederet inovasi yang difungsikan sebagai katrol pengangkat kualitas anak.
Albert Bandura, satu dari sekian tokoh pencetus teori
perkembangan, yakni teori pembelajaran sosial (social learning theory).
Menurut Bandura , orang belajar melalui pengalaman langsung atau
pengamatan (mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia baca,
dengar, dan lihat di media, serta dari orang lain dan lingkungannnya.
Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan
peranan penting.
Faktor person (kognitif) yang dimaksud saat ini adalah self-
efficasy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan
efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga
berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan
efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya
dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang
sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu
yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki
kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini
menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu
bangkit dari kegagalan yang ia alami.
Permasalahan sosial anak, bahkan seluruh kalangan mungkin dapat
diatasi dengan menerapkan teori Bandura ini. Oleh karena itu, makalah ini
menjelaskan dengan lebih terperinci tentang teori pembelajaran sosial ini.
Teori ini juga dapat dijadikan salah satu pedoman untuk meningkatkan
kualitas perkembangan anak, khususnya para pendidik.
B. Tujuan
1. Mengetahui tokoh pencetus teori pembelajaran sosial
2. Mengetahui apakah yang dimaksud dengan teori pembelajaran sosial
3. Mengetahui permodelan Albert Bandura
4. Mengetahui prinsip-prinsip belajar melalui permodelan
5. Menggali lebih dalam tentang Teori Sosial Learning
C. Rumusan Masalah
1. Siapakah tokoh teori pembelajaran sosial ?
2. Apa yang dimaksud dengan teori pembelajaran sosial ?
3. Bagaimana teori permodelan Albert Bandura ?
4. Bagaimaa prinsip-prinsip belajar melalui permodelan ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Pembelajaran Sosial


Teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory) merupakan
sebuah perluasan dari teori perilaku yang tradisional. Pada awalnya teori
pembelajaran sosial ini, dinamakan sebagai “teori sosial kognitif” oleh
Albert Bandura . Kemudian dikembangkan lagi menjadi “teori
pembelajaran sosial”. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-
prinsip teori-teori belajar berperilaku. Tetapi lebih memberikan penekanan
pada efek-efek dan isyarat-isyarat pada perilaku serta proses-proses mental
internal.
Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa faktor-faktor sosial,
kognitif, dan tingkah laku, mempunyai peranan penting dalam
pembelajaran. Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan peserta didik
tentang pemahaman dan pola pikir akan segala fenomena yang ada di alam
semesta, sementara faktor sosial termasuk perhatian dan kepedulian
peserta didik terhadap tingkah laku orang tua, keluarga, serta
lingkungannnya akan mempengaruhi tindakan dan tingkah laku peserta
didik tersebut. Dalam pandangan sosial manusia tidak didorong oleh
kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipaksakan oleh kekuatan-
kekuatan dari luar.
Teori pembelajaran sosial menganggap manusia sebagai makhluk
yang aktif, yang berupaya membuat pilihan, menentukan keputusan, dan
menggunakan proses-proses perkembangan yang ada untuk menyimpulkan
kejadian serta komunikasi yang baik dengan orang lain. Perilaku manusia,
khusunya peserta didik tidak ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan
sejarah perkembangan seseorang. Dalam hal ini, manusia cenderung
bersifat selektif dan bukan entity yang pasif serta mudah dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan
Teori Bandura menjelaskan perilaku individu dalam konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku,
dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat
berpengaruh dalam teori perkembangan belajar ini. Contohnya, seorang
peserta didik yang hidupnya di lingkungan keras yang masyarakatnya
cenderung tidak taat pada agama dan selalu meminum minuman keras,
maka dia cenderung juga akan bertingkah laku yang sama, yakni tidak taat
pada agama dan meminum minuman keras. Namun tak menutup
kemungkinan bila seorang peserta didik tersebut akan menganggap bahwa
tidak taat pada agama dan meminum minuman keras itu tidak baik.
Teori belajar ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana
seseorang belajar dalam keadaan atau lingkungan yang sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa tingkah laku (B=behavior),
lingkungan (E=Environment), dan kejadian-kejadian internal pada peserta
didik yang mempengaruhi presepsi dan aksi (P=Perception) merupakan
hubungan yang saling berpengaruh atau berkaitan (interlocking). Menurut
Albert Bandura, tingkah laku sering dievaluasi, yaitu bebas dari timbal
balik sehingga boleh mengubah kesan-kesan personal seseorang.
Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi dari individu.
Teori belajar sosial memiliki konsep yang menekankan pada
komponen kognitif dan pikiran serta pemahaman dan evaluasi. Menurut
Bandura, seseorang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan
(mencontoh madel). Orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat
di media, dari orang lain dan lingkungannya.
Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar
banyak tentang perilaku melalui peniruan / modeling, bahkan tanpa adanya
penguat (reinforcement) sekalipun yang diterimanya. Proses belajar
semacam ini disebut “observational learning” atau pembelajarn melalui
pengamatan. Bandura juga megemukakan bahwa teori pembelajaran sosial
membahas tentang bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan
melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, cara pandang
dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, begitu pula sebaliknya,
bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan
penguat (reinforcement) dan observational opportunity.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai
proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah
seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati dengan cara sistematis
imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Dalam
observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses
pengamatan atau modeling.
Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain:
a) Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian
terhadap model dengan cermat.
b) Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang
ditampilkan oleh model yang diamati, maka seseorang perlu memiliki
ingatan yang bagus terhadap perilaku model.
c) Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan
perhatian untuk mengamati dengan cermat dan mengingat kembali
perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya, maka berikutnya
adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang
dilakukan oleh model.
d) Motivational, pada tahapan ini seseorang harus memiliki motivasi
untuk belajar dari model.
Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan
yang dihadapkan pada individu tidak terjadi secara kebetulan.
Lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu
melalui perilakunya sendiri. Menurut Albert Bandura, sebagaimana yang
dikutip oleh (Kardi, S., 1997:14), bahwa “sebagian besar manusia belajar
melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang
lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling),
dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam
pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational learning),
yaitu:
1. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondidsi yang
dialami orang lain atau vicarious conditioning. Misalnya seorang siswa
melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya karena
perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain
yang tujuannya sama yaitu ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini
merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang
lain atau vicarious reinforcement.
2. Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model
meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada
saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan
sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan
mendapat pujian dan penguatan apabila menguasai secara tuntas apa
yang dipelajari itu. Model tidak harus visualisasi tiruan sebagai model
(Nur, M. 1998:4).
B. Prosedur-prosedur Social Learning
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan
sosial dan moral ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan
merespons) dan imitation (peniruan), dimana keduanya merupakan
prosedur-prosedur social learning. Berikut ini penjelasan mengenai
prosedur-prosedur social learning.
1. Conditioning
Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral
pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan
perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan reward (hadiah) dan
punishment (hukuman). Dasar pemikirannya yaitu sekali seseorang
mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan
ganjaran (reward) dengan perilaku-perilaku yang menagkibatkan
hukuman (punishment), sehingga dia bisa memutuskan sendiri
perilaku mana yang akan dia perbuat.
2. Immitation
Dalam hal ini, orang tua dan guru diharapkan memainkan peran
penting sebagai seorang model / tokoh yang dijadikan contoh
berperilaku sosial dan moral. Berkaitan dengan pengajaran di kelas,
guru hendaknya menempatkan dirinya sebagai tokoh perilaku bagi
peserta didik. Proses kognitif peserta didik hendaknya mendapat
perhatian dan dukungan dari guru maupun lingkungan sekitarnya.
Perhatian yang dimaksud adalah perhatian terhadap perbedaan
individual, kesediaan, motivasi, dan proses kognitif masing-masing
peserta didik. Selain itu, hal lain yang harus diperhatikan ialah
kecakapan peserta didik dalam pembelajaran untuk belajar, termasuk
dalam penyelesaian masalah dalam pembelajaran.
Kualitas kemampuan peserta didik dalam melakukan perilaku
sosial hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain
bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan
hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia
tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga
bergantung pada persepsi peserta didik tentang “siapa” yang menjadi
model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model,
semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku sosial dan moral peserta
didik tersebut. Jadi dalam Social Learning, anak belajar karena contoh
lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan
menimbulkan pengalaman baru bagi anak tersebut.
C. Unsur-unsur Pembelajaran Social Learning
Proses pembelajarn social learning menurut teori Bandura, terjadi
dalam tiga komponen, yaitu:
1. Perilaku Model
Individu melakukan pelajaran dengan proses mengnal perilaku
model (perilaku yang akan ditiru), kemudian mempertimbangkan dan
memutuskan untuk meniru sehingga menjadi perilakunya sendiri.
Perilaku model adalah berbagai perilaku yang dikenal di
lingkungannya. Apabila bersesuaian dengan keadaan dirinya (minat,
pengalaman, cita-cita, tujuan dan sebagainya), maka perilaku itu akan
ditiru.
2. Pengaruh Perilaku Model
Untuk memahami penagruh perilaku model, maka perlu diketahui
fungsi model itu sendiri, yaitu:
a) Untuk memindahkan informasi ke dalam diri individu.
b) Memperkuat atau memperlemah perilaku yang telah ada.
c) Memindahkan pola-pola perilaku yang baru.
3. Proses Internal Pelajar
Model-model yang ada di lingkungan senantiasa memberikan
rangsangan kepada individu yang membuat individu memberikan
tindak balas apabila terjadi hubung kait antara rangsangan dengan
dirinya. Macam-macam model boleh berasal dari ibu, bapak, orang tua,
orang dewasa, guru, pemimpin, teman sebaya, anggota keluarga,
anggota masyarakat, tokoh-tokoh yang berprestis seperti penyanyi,
pahlawan, bintang film, dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan pembelajaran, ada tiga macam model, yaitu:
1. Live Model: model yang berasal dari kehidupan nyata, misalnya
perilaku orang tua di rumah, perilaku guru, teman sebaya, atau
perilaku yang dilihat sehari-hari di lingkungan.
2. Simbolic Model: model yang berasal dari suatu perumpmaan,
misalnya dari cerita buku, radio, TV, film atau dari berbagai
peristiwa lainnya.
3. Verbal Description Model: model yang dinyatakan dalam suatu
uraian verbal (kata-kata), misalnya petunjuk atau arahan untuk
melakukan sesuatu seperti resep yang memberikan arahan
bagaimana membuat suatu masakan.
Proses peniruan model ini akan dipengaruhi oleh factor model itu
sendiri dan kualitas individu.
Model-model yang akan ditiru ditentukan oleh tiga factor:
1) Ciri-Ciri model
Yaitu model yang memiliki ciri-ciri yang bersesuaian dengan
individu akan lebih mungkin ditiru disbanding dengan model yang
kurang bersesuaian.
2) Nilai Prestise daripada Model
Ialah model yang memberikan prestise. Misalnya para
penyanyi. Bintang film, pemimpin, orang terkenal, pahlawan, pakar,
para juara, adalah contoh tokoh yang memiliki pretise tinggi,
sehingga akan lebih mungkin dijadikan sebagai model untuk ditiru.
3) Peringkat Ganjaran Intrinsik
Artinya kualitas rasa kepuasan yang diperoleh dengan meniru
suatu model. Dalam kaitan dengan pengajaran di dalam kelas, guru
hendaknya merupakan tokoh perilaku bagi siswa-siswanya. Proses
kognitif siswa hendaknya mendapat perhatian dari guru, kemudian
lingkungan hendaknya memberikan dukungan bagi proses
pembelajaran, dan guru membantu siswa dalam mengembangkan
perilaku pembelajaran. Guru hendaknya memperhatikan
karakteristik siswa, terutama yang berkenaan dengan perbedaan
individual, kesediaan, motivasi, dan proses kognitifnya. Hal lain
yang harus diperhatikan ialah kecakapan siswa dalam pembelajaran
untuk belajar, dan penyelesaian masalah dalam pengajaran. Proses
pembelajaran hendaknya tidak terpisah dari lingkungan social,
artinya apa yang dilakukan dalam pembelajaran dan pengajaran
hendaknya memiliki keterkaitan dan padanan dengan kehidupan
social yang nyata.
Dalam mengembangkan proses pengajaran yang efektif, teori ini
menyarankan strategi sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan model-model perilaku yang akan
digunakan dalam kelas
2. Mengembangkan perilaku yang memberikan nilai-nilai secara
fungsional, dan memilih perilaku-perilaku model
3. Mengembangkan urutan atau peringkat proses pengajaran
4. Menerapkan aktifitas pengajaran dan membimbing aktifitas
pembelajaran siswa dalam membentuk proses kognitif dan
motorik.
D. Alokasi Gambaran Bagan

Tingkah laku manusia merupakan interaksi diantara 3 variabel yang


juga  mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran sosial,
yaitu lingkungan (environment), individu (personal/cognitive), dan
perilaku (behavior).

a. PERSON
Karakteristik seseorang dan faktor-faktor kognitif (ingatan,
perencanaan, penilaian). Dalam perannya sebagai individu, manusia
berperan sebagai subjek atau pelaku dalam proses pembelajaran
sosial. Setiap individu itu unik karena berbagai perbedaan yang ada
di dalam diri mereka antara satu dengan yang lain. Dalam proses
pembelajaran sosial faktor-faktor personal yang berasal dari diri
individu tersebut memiliki pengaruh yang sangat penting, faktor
tersebut adalah:

1. Pengetahuan
Pengetahuan antara satu individu dengan individu lain
berbeda, baik pengetahuan yang bersifat sosial yang berasal dari
pengalaman, maupun pengetahuan yang bersifat edukatif atau
didapatkan melalui pendidikan formal.
2. Sikap
Sikap seseorang dalam memandang suatu hal atau
permasalahan yang ada untuk masing-masing individu juga
berbeda. Ada yang menyikapi suatu permasalahan secara serius,
ada pula yang menyikapinya secara santai. 
3. 3. Pengharapan
4. Setiap individu senantiasa memiliki harapan maupun sesuatu yang mereka
cita-citakan dalam kehidupan mereka. Hal ini yang membuat
pandangan mereka mengenai suatu hal juga berbeda-beda sesuai
pengharapan atau ekspetasi mereka.
5.
b. ENVIRONMENT
Lingkungan : segala bentuk, susunan, komponen, fungsi interaktif
yang berada di bumi baik biotik maupun abiotik. Dalam proses
pembelajaran sosial, lingkungan tersebut meliputi lingkungan sosial
budaya atau lingkungan antar manusia dimana terdapat:
1) pola-pola hubungan sosial serta kaidah pendukungnya
2) berlaku dalam suatu lingkungan spasial (ruang)
3) ruang lingkupnya ditentukan oleh keberlakuan pola-pola
hubungan sosial (termasuk perilaku manusia di dalamnya)
4) dipengaruhi oleh tingkat rasa integrasi mereka yang berada di
dalamnya
Lingkungan ini berubah mengikuti mengikuti keberadaan manusia di
muka bumi. Artinya, lingkungan sosial budaya mengalami
perubahan sejalan dengan peningkatan kemampuan adaptasi kultural
manusia terhadap lingkungannya, dan begitu pula sebaliknya.
Faktor yang berasal dari lingkungan yang dapat menjadi proses
pembelajaran sosial antara lain:
1) norma-norma sosial yang berlaku
2) akses masyarakat (pola interaksi)
3) pengaruh satu sama lain (kemampuan untuk mengubah
lingkungan sendiri)
c. BEHAVIOR
Perilaku : tindakan atau aksi yang dapat mengubah hubungan
individu dan lingkungannya. Faktor perilaku atau behavior yang
mempengaruhi proses pembelajaran sosial yaitu:
 Keterampilan/kemampuan (skills)
 Latihan
 Efektivitas diri
Ketiga variable tidak harus memiliki kekuatan atau memberikan
kontribusi yang sama. Biasanya yang paling berpengaruh adalah
aspek kognitif.
E. Eskperimen dalam Teori Albert Bandura
Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll
yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari orang
dewasa disekitarnya. Albert Bandura seorang tokoh teori belajar social ini
menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih
berkesan dengan menggunakan pendekatan “permodelan “. Beliau
menjelaskan lagi bahwa aspek perhatian pelajar terhadap apa yang
disampaikan atau dilakukan oleh guru dan aspek peniruan oleh pelajar
akan dapat memberikan kesan yang optimum kepada pemahaman pelajar.
Eksperimen Pemodelan Bandura :
1. Kelompok A
Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa memukul,
menumbuk, menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo.
Hasil = Meniru apa yang dilakukan orang dewasa dan justru lebih
agresif
2. Kelompok B
Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa bermesra dengan
patung besar Bobo
Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif seperti kelompok
A
Rumusan : Tingkah laku anak – anak dipelajari melalui peniruan /
permodelan adalah hasil dari penguatan.
Hasil Keseluruhan Eksperimen :
Kelompok A menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif dari orang
dewasa.
Kelompok B tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif.
F. Kelebihan dan Kelemahan Teori Albert Bandura
1. Kelemahan Teori Albert Bandura
Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika
diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik
pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku
dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan
dalam mendalami sesuatu yang ditiru.
Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah
lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti
terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini
juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan
yang tidak diterima dalam masyarakat.
2. Kelebihan Teori Albert Bandura
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar
sebelumnya, karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku
seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata
reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang
timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu
sendiri.
Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya
conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ).
Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya
penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak.
Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan
anak – anak, faktor social dan kognitif.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory) merupakan
sebuah perluasan dari teori perilaku yang tradisional. Pada awalnya teori
pembelajaran sosial ini, dinamakan sebagai “teori sosial kognitif” oleh
Albert Bandura. Kemudian dikembangkan lagi menjadi “teori
pembelajaran sosial”. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-
prinsip teori-teori belajar berperilaku. Tetapi lebih memberikan penekanan
pada efek-efek dan isyarat-isyarat pada perilaku serta proses-proses mental
internal. Inti dari teori pembelajaran sosial (social learning theory) adalah
pemodelan (modeling) dan peniruan (immitation).
Teori pembelajaran sosial menganggap manusia sebagai makhluk
yang aktif, yang berupaya membuat pilihan, menentukan keputusan, dan
menggunakan proses-proses perkembangan yang ada untuk menyimpulkan
kejadian serta komunikasi yang baik dengan orang lain.
Antara individu, lingkungan, serta perilaku saling berinteraksi dan
mempengaruhi proses pembelajaran sosial. Dimana perilaku seseorang
tercipta dari hasil interaksi antara faktor yang ada dalam diri individu
tersebut dengan kondisi lingkungan tempat individu tinggal. Proses
pembelajaran sosial ini menekankan pada komponen kognitif dari fikiran
individu terhadap suatu hal yang akhirnya menghasilkan sebuah
pemahaman dan evaluasi mengenai hal tersebut. Ketika suatu individu
berinteraksi dengan lingkungannya terjadi interaksi pula terhadap faktor-
faktor yang terdapat dalam diri individu dengan faktor-faktor dalam
lingkungan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

 Santrock,John. Psikologi Pendidikan. 2009. penerbit: Salemba Humanika.


Jakarta.
 Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. 2003. penerbit:Gafindo. Jakarta
 Surya. Psikologi Pembelajaran dan pengajaran. 2003. penerbit : Pustaka
bani
 Latief, Mutmainnah. 2012. Teori Belajar Sosial.

 http://mutmainnahlatief.wordpress.com/2012/01/17/teori-belajar-sosial/
diakses pada tanggal 18/10/2012

 Bagus, Sihnu. 2002. Definisi Teori Belajar Sosial.

 http://all-about-theory.blogspot.com/2010/03/definisi-teori-belajar-
sosial.html diakses pada tanggal 18/10/2012

 Sandra, Luciana. 2010. Teori Belajar Sosial.

 http://www.scribd.com/doc/45186694/TEORI-BELAJAR-SOSIAL
diakses pada tanggal 18/10/2012
 http://mabjip.blogspot.com/2009/10/teori-pembelajaran-sosial-
bandura.htm/
 http://lenterakecil.com/teori-belajar-sosial-menurut-bandura/
 http://mutmainnahlatief.wordpress.com/2012/01/17/teori-belajar-sosial/
Pertemuan ke 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah sumber daya manusia masih menjadi sorotan dan tumpuan
bagi perusahaan atau organisasi untuk tetap dapat hidup di Era abad 21.
Sumber daya manusia atau human capital merupakan modal yang sangat
penting dan strategis pada sebuah kehidupan organisasi perusahaan.
Investasi yang dilakukan untuk peningkatan sumber daya manusia ini
tidaklah kecil jumlahnya, namun hasilnya sulit untuk dirasakan dalam
jangka pendek. Perlu waktu lama dan kesabaran serta metode yang tepat
untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang diinginkan. Salah satu
modal yang melekat pada manusia adalah modal sosial atau social
capital.
Social capital merupakan filter yang harus dilewati dimana aliran
sumber daya manusia dan modal keuangan dari orang tua dan masyarakat
kepada anak, yang menghasilkan tingkat pendidikan lebih baik. Jika
modal sosial rendah akan membawa pada konflik nilai-nilai dan
rendahnya kepercayaan.
Artinya pentingnya peningkatan partisipasi hubungan sosial di
negara atau daerah transisi untuk menghasilkan sumber daya manusia
untuk mencapai pembangunan lebih baik. Paper ini menjelaskan
pemahaman tentang profil sosial kapital yang harus dimiliki oleh
manusia untuk mengembangkan potensi yang dimilkinya dalam
berinteraksi dengan masyarakat, lingkungan dan perusahaan.
D. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud sosial kapotal teori ?
2. Apa saja bentuk sosial kapotal teori?
3. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Human Kapital Dengan Sosial?
4. Bagaimana Social Capital dalam Menciptakan Human Kapital?
5. Apa saja Contoh penerapan sosial kapilat?
E. Tujuan
1. Mengetahui apa itu teori kognitif sosial.
2. Mengetahui bentuk sosial kapotal teori.
3. Mengetahui Persamaan dan Perbedaan Human Kapital Dengan Sosial.
4. Mengatahui Social Capital dalam Menciptakan Human Kapital.
5. Mengetahui Contoh penerapan sosial kapilat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosial Kapital


Teori social capital pertama kali didiskusikan pada tahun 1916
(Lin, 2001). Social capital yang komtemporer ditawarkan pertama kali
oleh Bourdie (1986) yang mengatakan social capital merupakan
keseluruhan sumber konsep aktual atau potensial, yang dihubungkan
dengan kepemilikan dari suatu jaringan yang tahan lama atau lebih kurang
hubungan timbal balik antar institusi yang dikenalnya. Dari berbagai poin
bisnis yang penting, social capital sama dengan, sumber informasi.
Gagasan, kesempatan bisnis, modal keuangan, power,dukungan
emosional, kepercayaan dan kerjasama yang disediakan oleh individu dan
jaringan kerja bisnis (Baker, 2000). Cohen dan Prusak (2001)
mendefinisikan bahwa social capital meupakan suatu kesedian melakukan
hubungan aktif antara sesorang meliputi: kepercayaan, kerjasama yang
saling menguntungkan, berbagi nilai dan perilaku yang mengikat setiap
anggota jaringan dan kemasyarakatan juga kemungkinan membuat
kerjasama.
Beberapa literatur mengidentifikasikan definisi yang mendekati
suatu pendekatan dari social capital. Porter, (1998). Mendefinisikan social
capital merupakan kemampuan seorang untuk memperoleh manfaat
dengan kebaikan dari keanggotaan di dalam jaringan sosial atau struktur
sosial lainnya. Baker (2000) mengatakan sosial capital adalah sumber daya
yang tersedia dalam pribadi seseorang dan jaringan kerja yang dimiliki.
Sedangkan, Coleman (1999) mendefinisikan social capital sebagai
semua aspek yang mengarah dan diciptakan untuk memudahkan tindakan
individu dalam struktur sosial. Struktur sosial melahirkan dorongan sosial
menjadi lebih berkuasa atas perilaku individu. Dorongan sosial tersebut
yang disesuaikan dengan norma norma sosial meliputi; kultur yang
dominan, pengaruh kekuatan sosial lain lain atas perilaku lebih umum.
Sedangkan World Bank (2003) mengartikan social capital sebagai
lembaga, hubungan sosial, network, kejujuran, pembentukan norma yang
berkualitas dan kuantitas interaksi sosial dengan masyarakat. Selanjutnya
konsep social capital digunakan berbeda oleh para ahli sosiologi, politisi,
dan ahli ekonomi. Putnam (1993) yang menganalisis fokus jaringan kerja
social horizontal yang dihubungkan dengan pengaruh pada kinerja
ekonomi. Coleman (1988) mendefinisikan social capital lebih luas dengan
konsep vertikal, institusi hirarki terhadap kemungkinan dampak terhadap
kinerja negatif dan positif bagi perusahaan. North (1990) dan Olson (1982)
mendefinisikan yang mencakup perspektif, peran formal dalam institusi,
seperti sistem pengadilan, peraturan hukum dan kebebasan berpolitik dan
pembentukan pengembangan lingkungan sosial politik.
Akdere (2005 membagikan social capital mikro level dan makro
level. Pada tingkat social capital mikro level, sosial kapital sipil berkaitan
dengan nilai-nilai, kepercayaan, atitud, perilaku dari norma-norma (Part,
2003). Saat ini sosial kapital sipil dibagi dalam tiga (3) dimensi dasar,
yaitu; ikatan (bonds), jembatan (bridges), dan hubungan (lingkages).
Ikatan (Bonds) yang mengambarkan hubungan kekerabatan keluarga
dekat, teman dekat, dan kolega profesional yang membantunya. Jembatan
(bridges) menggambarkan hubungan yang agak jauh agar mengapainya.
Sedangkan hubungan (lingkages) digambarkan sebagai dimensi
vertikal sosial kapital dimana adanya pihak yang tidak termasuk dalam
kekuasaan. Pada tingkat makro level sosial kapital pemerintah melekat
pada rule of law, penegakan kontrak, dan bebas koropsi serta transparansi
dalam mengambil keputusan, sistem administrasi yang efisien, sistem
hukum yang dapt diandalkan. Singkatnya negara lebih mampu dan
kredibel (Meier, 2002). Jadi masalah sosial kapital sangat multi
dimensional.
Pemahaman tentang social capital ini diharapkan akan
meningkatkan kinerja suatu organisasi dan pendapatan lebih baik. Di sisi
bisnis melalui sosial capital akan membangun dan mendorong karyawan
lebih menarik berbisnis, dan dapat mengeksplorasi kesempatan dan
kemungkinan terbaik didapatkan jarinngan kerja melalui social capital.
Menurut World Bank (2002) dari perspektif pengembangan dan keuangan,
mendefinisikan social capital sebagai institusi adalah hubungan baik,
kuantitas dan kualitas dari norma dari interaksi yang memungkinkan
seseorang mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Putnam (1995) mengatakan para sosiolog mendefinisikan social
capital sebagai fitur dari organisasi sosial seperti jaringan kerja,
kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk
mendapatkan benefit. Sedangkan Coleman (1990) menyebutkan Social
capital dihasilkan sebagai produk sampingan dari hasil hubungan yang
telah ada, atau sebagai produk dari hasil hubungan interaksi sosial yang
diciptakan dengan pertemuan tujuan-tujuan khusus.
B. Bentuk-Bentuk Sosial
Kapital Menurut Akdere, 2005 membuat dalam tiga bentuk social capital,
yaitu macro level, meso level dan micro level. Berikut Gambaran model
representatif interaksi dan hubungan social capital.
1. Social Capital Macro
Level Social capital pada makro level merupakan langkah
dimana social capital dimanfaatkan pada cakupan yang lebih luas.
Pada tingkatan ini penggunaan social capital meliputi, seperti
pemerintah, penegakan kepastian hukum sipil, kebebasan
berpolitik, berdampak pada pencapaian ekonomi suatu negara,
penentuan suatu fungsi pemerintah, dan tipe pengembangan
ekonomi sektor publik. Berkaitan dengan sektor publik keterlibatan
pemerintah yang bersifat membangun pembangunan dibawah
ketidakseimbangan antara ikatan social capital ekternal dan
keterpaduan internal sangat diperlukan. Pada tingkatan makro
level, sosial capital dihadapkan pada efektifitas pemerintah,
akuntabilitas, dan kemampuan untuk menyelenggarakan penegakan
hukum secara adil, pertumbuhan ekonomi dalam kaitan untuk
memungkinkan pengembangan atau melumpuhkan produk pasar
domestik, serta memberi harapan atau menakut-nakuti investasi
asing (Fukuyama, 1999). Dalam organisasi, tingkatan makro social
capital berhadapan dengan keseluruhan stabilitas lingkungan dan
kesuksesan yang dicapai terkait dengan pertumbuhan ekonomi.
2. Social Capital Meso Level
Social capital pada meso level digambarkan sebagai suatu
perspektif struktural dimana jaringan social capital terstruktur dan
sumber daya mengalir sepanjang jaringan kerja. Analisa social
capital ini adalah pada proses pengembangan struktur jaringan dan
distribusi. Di samping itu pada bagian keikutsertaan dan identitas
sosial, organisasi, penarikan dan pengeluaran orang-orang dari luar
lingkaran organisasi, seperti asosiasi lokal yang merupakan dari
penjelmaan dari social capital meso level ini. Sebuah organisasi,
tingkat meso level ini melibatkan sifat alami dari team work
apakah homogen atau heterogen dan jangka waktu team work.
Secara keseluruhan social capital meso level berhubungan dengan
pengembangan dan pertumbuhan organisasi lokal atau dalam
organisasi itu sendiri.
3. Social Capital Micro
Level Pada tingkatan social capital micro level ini
menekankan kemampuan individu untuk mengerahkan sumber
daya melalui institusi jaringan lokal seperti organisasi sosial
kemasyarakatan yang didasarkan pada kekeluargaan.Banyak ahli
menekankan mikro level pada sebuah organisasi berhubungan
dengan pengenalan, kooperasi dan kerjasama, kesetiakawanan,
kesetian, reputasi dan akses informasi yang informatif. Di samping
itu social capital mikro level ini mempunyai kaitan dengan fitur
demografi karyawan, lamanya pekerjaan, dan human capital.
Secara keseluruhan social capital mikro level berhubungan ego
dengan orang lain, pengembangan individu dan pertumbuhan
pribadi. Sedangkan (Lin, 2001) mengembangkan konsep model
social capital dan elemen-elemen kunci interdependence (Gambar
2). Gambar 2 di bawah menjelaskan bahwa sosial capital akan
dipengaruhi oleh posisi seseorang (structural position), lokasi
jaringan (net work), tindakan untuk mencapai tujuan (purpose of
action). Hasil akhir model tersebut dapat disimpulkan jika modal
social yang baik akhirnya akan mendapatkan kemakmuran dan
reputasi kekuasaan.
C. Persamaan dan Perbedaan Human Kapital Dengan Sosial
Kapital Meskipun kebanyakan penulis masih blur mendefinisikan
perbedaan antara human dan sosial kapital. Part (2003) mengemukakan
bahwa perbedaan yang krusial antara human dan sosial kapital terletak
pada tingkat pendidikan dan kesehatan individu dengan orang lainnya.
Sosial kapital dengan kata lain dapat didefinisikan permintaan dan
keinginan sebuah grup dari orang-orang untuk bekerjasama (Grootaert,
1998). Sosial kapital dan human kapital berkaitan erat. Ada dua faktor
saling berlawanan dan saling melengkapi (Saraceno, 2002). Menurut
argumen pertama human kapital sebagai dasar pencapaian prestasi dan
persaingan merupakan kunci sukses sosial. Sosial kapital hanya bagian
penting bagi target grup. Argumen ke dua human dan sosial kapital sama
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dukungan dan pengawasan sosial,
kesehatan pemerintahan yang baik. Prestasi individu-individu akan tinggi
jika individu tersebut berkompetisi dan bekerjasama dengan jaringan dan
sistem nilai umum lainnya. Hal tersebut akad didapat dengan pendidikan.
Pendidikan yang layak bagi masyarakat merupakan hal penting untuk
keberhasilan pembangunan. Misalnya, jaringan kerja yang kuat dari
hubungan sipil dan perangkat pemerintah yang baik akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi.

D. Social Capital dalam Menciptakan Human Kapital


Banyak peneliti yang mengkaji hubungan antara human kapital dan
sosial kapital, serta pengaruh sosial kapital dari akumulasi human capital.
Human kapital berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan yang baik
dipengaruhi oleh sosial kapital horizontal. Menurut Part (2003)
mengatakan ada tiga arah penelitian dari penelitian bidang kapital ini,
yaitu; sosial kapital dan prestasi anak, (ketidakmerataaan atau ketidak
stabilan) dan educational attainment (Hasil yang dicapai), educational
credentials (surat kepercayaan atau Mandat) dan labour.
E. Contoh penerapan sosial kapilat
1. Sosial Kapital dan Prestasi Pendidikan Anak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa social capital
merupakan faktor penting bagi prestasi pendidikan seorang anak.
Dalam dunia kerja, menurut Coleman (1988) generasi human
capital sangat tergantung pada modal finansial, human capital dan
sosial kapital para orang tua, hubungan antara orang tua dan anak
akan memberikan akses human kapital dan sosial kapital dari orang
tua. Komunitas human kapital juga akan membantu menghasilkan
human kapital dengan menyediakan sumber daya dasar anak
dimana masyarakat mendorong prestasi pendidikan bagi anak-
anak. Israel dan Beaulieu (1995) yang melakukan penelitian
tentang peran sosial kapital untuk mempromosikan prestasi
pendidikan anak Sekolah Menengah Atas di Amerika menemukan
bahwa hubungan keluarga, human kapital dan modal finansial
semuanya berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan drop out
siswa. Menurut Part (2003) hal tersebut terjadi karena hubungan
positif tersebut memberikan informasi pekerjaan dan sekolah
kepada orang tua dan anak. Pengaruh positif lain adalah anak-anak
dapat mengembangkan keterampilan lebih baik dari yang diterima
dari orang tua mereka. Pengaruh negatif dapat terjadi jika orang tua
kurang menyediakan waktu untuk sosialisasi bagi anak. Jadi,
kurangnya perhatian sosial kapital orang tua akan mengurangi
kinerja pendidikan anak.
2. Pendidikan dan Pasar Tenaga Kerja
Banyak perdebatan tentang mandat atau kepercayaan pendidikan
berkontribusi terhadap andil setiap individu. Lee dan Brinton
(1996) yang meneliti pada mahasiswa di Korea Selatan pengaruh
universitas terhadap kesuksesan pasar tenaga kerja. Lee dan
Brinton mengindentifikasikan bahwa instutusi pendidikan
menyediakan sosial kapital lembaga dimana yang berbeda dengan
sektor sosial kapital privat yang dibagi melalui jaringan keluarga
dan teman. Peran dari dua tipe sosial capital dapat menilai dan
praktek rekrutmen dalam perusahaan. Hasil penelitian mereka
menyarankan bahwa mahasiswa dan mahasiswi yang direkrut
melalui saluran informal akan bekerja keras terhadap sosial kapital
privat. Sedangkan mahasiswa yang dilatih melalui universitas akan
menghadapi sosial kapital kelembagaan. Sedangkan Montgomery
(1992) yang menganalisis ukuran dan komposisi jaringan sosial
berpengaruh terhadap proses pencarian kerja. Montgomery
menemukan bahwa individu-individu dengan jaringan kerja yang
besar dan ikatan lemah lebih suka menerima banyak pekerjaan
dengan menerima gaji yang banyak. Maka karena itu ukuran
jaringan kerja berpengaruh positif gaji para pencari kerja. Banyak
studi empiris yang mengatakan bahwa ada hubungan antara human
capital dan social capital yang saling mempengaruhi. Berdasarkan
studi yang telah dilakukan sebelumnya dilapangan ditemukan
dalam rangka melihat social capital dalam penciptaan human
capital. Pertama, Social capital dan prestasi pendidikan anak-anak.
Hal ini jelas bahwa social capital merupakan menentukan
pendidikan.

3. Social Capital Sebagai Faktor Pembangunan Ekonomi


Teori pertumbuhan ekonomi neo klasik secara khusus
menyatakan bahwa modal fisik, buruh dan teknologi merupakan
faktor utama dalam perkembangan ekonomi. Model tersebut jika
ditambahkan human bapital akan menjadi model pertumbuhan
endogen atau disebut faktor produksi (Lucas, 1988) Ada dua
pendekatan yang berhubungan human capital terhadap
pertumbuhan ekonomi. Alasan pertama nilai pertumbuhan
ekonomi yang dihubungkan dengan akumulasi angka human
capital (Lucas, 1988). Kedua, angka pertumbuhan didasarkan pada
jumlah human kapital (Aghion,1998). Perkembangan terbaru
dalam teori pertumbuhan ekonomi yaitu human kapital
menciptakan ekternalitas positif, seperti; modal finansial tidak
membuat arus finansial terhadap negara miskin dengan tingkat
pendidikan rendah. Sebab pendidikanlah seorang individu akan
lebih produktif yang akhirnya akan menambah tenaga kerja yang
diharapkan akan meningkatkan pendapatan nasional.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan sumber daya
manusia atau human capital merupakan modal yang sangat penting dan strategis
pada sebuah kehidupan organisasi perusahaan. Sejak social capital pertama kali
didiskusikan pada tahun 1916, maka Social capital yang komtemporer ditawarkan
pertama kali tahun 1986 (Lin, 2001; Bourdie,1986). Sosial capital kontemporer
menurut Bordie 1986 mengatakan social capital merupakan keseluruhan sumber
konsep aktual atau potensial, yang dihubungkan dengan kepemilikan dari suatu
jaringan yang tahan lama atau lebih kurang hubungan timbal balik antar institusi
yang dikenalnya. Dalam kontek bisnis social capital sama dengan, sumber
informasi. Gagasan, kesempatan bisnis, modal keuangan, power, dukungan
emosional, goodwill, kepercayaan dan kerjasama yang disediakan oleh individu
dan jaringan kerja bisnis (Baker, 2000). Ada tiga dimensi dari social capital yaitu
ikatan (Bonds), jembatan (bridges), dan hubungan (lingkages), ikatan (Bonds)
yang mengambarkan hubungan kekerabatan keluarga dekat, teman dekat, dan
kolega profesional yang membantunya. Jembatan (bridges) menggambarkan
hubungan yang agak jauh agar mengapainya. Sedangkan hubungan (lingkages)
digambarkan sebagai dimensi vertikal sosial kapital dimana adanya pihak yang
tidak termasuk dalam kekuasaan.
Pada tingkat makro level sosial kapital pemerintah melekat pada rule of
law, penegakan kontrak, dan bebas koropsi serta transparansi dalam mengambil
keputusan, sistem administrasi yang efisien, sistem hukum yang dapt diandalkan.
Singkatnya negara lebih mampu dan kredibel (Meier, 2002). Social capital terdiri
dari tiga level yaitu membagikan social capital mikro level, meso level dan makro
level Akdere (2005). Social capital pada makro level merupakan langkah dimana
social capital dimanfaatkan pada cakupan yang lebih luas. Pada tingkatan ini
penggunaan social capital meliputi, seperti pemerintah, penegakan kepastian
hukum sipil, kebebasan berpolitik, berdampak pada pencapaian ekonomi suatu
negara, penentuan suatu fungsi pemerintah, dan tipe pengembangan ekonomi
sektor publik. Social capital meso level digambarkan sebagai suatu perspektif
struktural dimana jaringan social capital terstruktur dan sumber daya mengalir
sepanjang jaringan kerja. Secara keseluruhan social capital meso level
berhubungan dengan pengembangan dan pertumbuhan organisasi lokal atau
dalam organisasi itu sendiri. Selanjutnya, social capital mikro level berhubungan
ego dengan orang lain, pengembangan individu dan pertumbuhan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/24279-ID-profil-social-capital-
suatu-kajian-literatur.pdf

Anda mungkin juga menyukai