Anda di halaman 1dari 16

PARADIGMA HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM : TELAAH

ANTROPOSENTRIS DALAM STUDI NDP HMI

Jurnal

Diajukan Sebagai Syarat Mengikuti

Latihan Kader II HMI Cabang Sidrap Tahun 2020

Disusun oleh :

MUSFIRA

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)

CABANG GOWA RAYA

1441 H/ 2020 M
ABSTRAK

Makalah ini bertujuan menjelaskan konsep humanisme dalam konteks pendidikan


Islam. Pendidikan adalah salah satu kunci dalam hidup manusia, dengan pendidikan
manusia mampu menemukan eksistensinya secara menyeluruh. Pendidikan sebagai
proses humanisasi berasal dari ide humanisme, sejalan dengan makna dasar
humanisme sebagai pendidikan manusia. Pendidikan diadakan untuk mengelola serta
mengembangkan diri manusia agar bisa menjadi manusia utuh sesuai kodratnya.
Humanisme yang mengusung gagasan manusia sebagai sentral segala kehidupan
tidak dapat dipandang sebagai sebuah ide yang sederhana. Dalam humanisme
antroposentris, manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat dan bertindak, tuhan
tidak menciptakan perbuatan makhluknya terutama manusia. Ilmu tauhid sebagai
alat untuk menjelaskan eksistensi Tuhan harus sesuai dengan perkembangan
intelektualis manusia supaya saling ada dinamika dalam memahami tauhid. Pada
perkembangannya ilmu tauhid harus dikaji tidak hanya menggunakan teosentris, tapi
juga antroposentris. Konsep tauhid harus terealisasi dalam kehidupan, karena
pemahaman tauhid bukan hanya berbicara tentang ketuhanan, pemahaman teologi
bukan hanya akhirat atau melangit tapi harus membumi, artinya teologi bukan hanya
sekedar dipahami secara ketuhanan saja tapi juga dilihat dari sisi kemanusiaan.
Dengan terealisasinya konsep tauhid secara antroposentris, ilmu tauhid dapat dikaji
sehingga adanya pemahaman bahwa bertuhan merupakan fitrah manusia,
pemahaman bahwa semua manusia harus bertuhan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagaimana yang terdapat dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan Himpunan
Mahasiswa Islam (NDP HMI).

Kata kunci : humanisme, antroposentris, Pendidikan Islam, NDP HMI.


A. PENDAHULUAN
Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu
proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan
dan mendewasakan peserta didik tersebut. Islam memandang peserta didik
sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah
fil ardh, dan terbaik diantara makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan
hanya sekedar berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia memiliki
kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki
potensinya masing-masing yang sangat mendukung proses aktualisasi diri pada
posisinya sebagai makhluk mulia. Dengan potensi fisik dan psikis, atau dengan
kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah yang terbaik.1
Secara terminologis, menurut Mohammad Labib An-Najihi (dalam Susanto,
2015), pemikiran pendidikan Islam adalah aktifitas pikiran yang teratur dengan
mempergunakan metode filsafat, pendekatan tersebut dipergunakan untuk
mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan dalam sebuah
sistem yang integral.
Dengan berpijak pada definisi diatas, yang dimaksud dengan pemikiran
pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan
secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam
pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan
yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik
secara paripurna. Melalui upaya ini diharapkan agar pendidikan yang ditawarkan
mampu berapresiasi terhadap dinamika peradaban modern secara adaptik dan
proposional, tanpa harus melepaskan nilai-nilai Ilahiyah sebagai nilai warna dan
nilai kontrol. Melalui pendekatan ini dimungkinkan akan menjadikan pendidikan

1
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2015,hlm.1
Islam sebagai sarana efektif dalam mengantarkan peserta didik sebagai insan
intelektual dan insan moral secara kaffah.2
Menurut Wedra Aprison, pengaruh konservatisme, liberalisme dan anarkisme
dalam pendidikan Islam saat ini berada dalam suatu „loncatan‟. Nilai-nilai
transendental dan universal yang saat ini ditawarkan oleh sebagaian ideologi
pendidikan Islam lebih bersifat reaksioner daripada paradigmatik. Para filsuf
pendidikan Islam mengkritisi kegitga aliran diatas dalam konteks oposisi
sekulerisme semata-mata, bahkan cenderung menempatkan mereka dalam
kerangka ateisme yang dangkal. Padahal secara historis, persinggungan pemikiran
filosofis itu telah terjadi berabad-abad yang lalu saat filsafat Islam yang
menginspirasi renaisans Eropa. Tentu, hal ini bukan semata hendak bernostalgia
belaka, tetapi sekurang-kurangnya dapat mengurangi menguatkan kecenderung
pengakuan yang dangkal pada beberapa pemikiran pendidikan Islam yang
menganggap dirinya sebagai resep terakhir dalam memecahkan masalah
pendidikan dewasa ini. Mungkin lebih bijak, ketika gagasan humanisme religius
Islam sebagai melintas kembali ke dasar ( cross back to th basic) filsafat
pendidikan Islam. 3
Jaquet Maritain (dalam Mochammad Abdul Kholiq, 2018), membagi
humanisme ke dalam dua kelompok, yaitu humanisme teosentris dan humanisme
antroposentris.4 Humanisme antroposentris menurut Sharif tidak bisa dilepaskan
dari kondisi sosial-politik pemikiran Barat pada saat itu, saat kecenderungan
rasionalisme pada tokoh barat yang melahirkan Renaisans. Renaisans sendiri
merupakan gerakan terhadap kesadaran diri atas keterkungkungan mitologi dan
dogma. 5 Kebanyakan humanis Barat atau antroposentris menganggap manusia
seharusnya memiliki satu kehidupan yang diisi dengan kreatifitas dan

2
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2015,hlm.3-4
3
Wedra Aprison, Humanisme Progresif Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Vol XVII No.3 2012/1433,
sumatera barat, hlm.407
4
Mochammad Abdul Kholiq, Humanisme Dalam al-Qur’an : Studi Penafsiran Murtada Mutahhari,
Jakarta : 2018, hlm.42
5
Mochammad Abdul Kholiq, Humanisme Dalam al-Qur’an : Studi Penafsiran Murtada Mutahhari,
Jakarta : 2018, hlm.42-43
kebahagiaan, yang tidak membutuhkan persetujuan ataupun dukungan dari entitas
supnatural manapun, dimana entitas supnatural sama sekali tidak ada. Manusia
dengan kecerdasan dan saling kerja sama, dapat membangun sebuah kedamaian
dan keindahan di muka bumi. Humanisme teosentris sendiri tidak menyangkal
bahwa manusia memiliki tugas untuk membangun kembali gambaran ilmiah dari
realitas obyektif. Terlebih untuk campur tangan didalamnya dan menciptakan
suatu tatanan moral yang berdasarkan pengetahuan ilmiah. Aktivitas ini
membangun gambaran ilmiah dari realitas obyektif tidak bisa berlangsung tanpa
struktur ilmiah.
Konsep tauhid harus terealisasi dalam kehidupan, karena pemahaman tauhid
bukan hanya berbicara tentang ketuhanan, pemahaman teologi bukan hanya
akhirat atau melangit tapi harus membumi, artinya teologi bukan hanya sekedar
dipahami secara ketuhanan saja tapi juga dilihat dari sisi kemanusiaan.
Menurut Badruzman (dalam Amaliatul, 2018), Pandangan Islam bahwa tauhid
adalah sesuatu yang membumi. Artinya, Islam harus sanggup menjawab
tantangan, dinamika dan problematika kehidupan manusia seluruhnya, seperti
ketika keadaan umat masih meliputi penjajahan, ketakutan, kemiskinan,
ketimpangan, intimidasi, konservatisme, weternisasi (perambatan), kebodohan,
kehilangan rasa percaya diri dan kreativitas, perpecahan dan masalah lainnya.
Ketika umat berada pada kondisi seperti ini, maka kita dituntut untuk menjadikan
masalah-masalah tersebut sebagai tema ilmu Ushuluddin. Sikap tersebut dengan
sendirinya mengharuskan adanya rekontruksi ilmi tauhid pola lama menjadi
tauhid modern yang berhadapan langsung dengan realitas umat.6
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam
usaha yang sungguh-sungguh secara esensial menyangkut kepentingan manusia
secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Kesadaran dan rasa
tanggungjawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan perjuangan, berjuang
itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong

6
Ita Amaliatul Fajriah, Corak Teosentrisme dalam Pemahaman Tauhid di Pondok Pesantren
Attauhidiyyah Cikura Bojong Kabupaten Tegal, Semarang : 2018, hlm.28-29
atas dasar menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran
dan pengorbanan.
Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana,yaitu
beriman, berilmui dan beramal.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan studi pustaka. Studi pustaka yang dimaksudkan
untuk mendapatkan informasi yang banyak tentang objek penelitian, baik buku-
buku ataupun beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi
langsung maupun tidak langsung.
C. PEMBAHASAN
1. Paradigma Humanisme Dalam Pendidikan Islam
Isi pendidikan islam meliputi belajar membaca al-Qur‟an, praktik shalat,
pelajaran ketuhanan atau ketauhidan, fiqh, dan ushul fiqh. Fungsi pendidikan
Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai Ilahi dan insani
sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab ulama terdahulu. Fungsi tersebut
melekat pada setiap komponen aktivitas pendidikan Islam. Hakikat tujuan
pendidikan Islam adalah terwujudnya penguasaan ilmu Agama Islam
sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab produk ulama
terdahulu serta tertanamnya perasaan beragama yang mendalam dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.7
Menurut Al-Maududi (dalam Susanto, 2015), manusia adalah hamba
Allah yang diciptakan dengan dibekali berbagai potensi, kemampuan atau
sifat dasar,yaitu As-Sam‟u (pendengaran), Al-Bashar (penglihatan), dan Al-
Fuad (akal pikiran). Lebih rinci, al-Maududi menjelaskan ketiga istilah
tersebut sebagai berikut ; As-Sam‟u berarti memelihara penegtahuan yang
telah diperoleh dari orang lain. Al-Bashar, berari mengembangkan ilmu
pengetahuan yang dikaitkan dengan hasil penelitian dan pengkajian. Adapun
Al-Fuad bermakna membersihkan dari segala keraguan dan memurnikannya.

7
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2015,hlm.13
Menurut Al-Maududi, sekiranya manusia dapat mengaktuktualisasikan
dan memfungsikan ketiga potensi tersebut secara maksimal, manusia tersebut
akan mencapai derajat yang tinggi, mampu menciptakan bermacam-macam
ilmu pengetahuan sehingga layak untuk menjadi pemimpin, sebagai khalifah
di muka bumi ini. Oleh karena itu, baik buruknya kehidupan didunia,
tergantung pada manusia itu sendiri, Tuhan telah menyediakan segala sesuatu,
kemampuan dan pelyang yang diperlukan oleh manusia untuk memilih dan
mengembangkan medel kehidupannya. Namun demikian, untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, manusia
membutuhkan bimbingan dan bantuan dari orang lain yang lebih mampu, atau
bahkan bimbingan dari Tuhannya. Bimbingan dan bantuan semacam inilah
yang disebut dengan pendidikan.8
Ilmu dan pendidikan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Murtadha Mutahhari menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Kenabian
Terakhir, bahwasannya Nabi Muhammad Saw. bersabda , “ Menuntut Ilmu itu
wajin atas semua muslim.” Setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu.
Ada sebuah permasalahan yang ada di tengah ulama, dan ia melihat bahwa
yang paling luas dalam memberikan jawaban atas permasalahan itu adalah al-
Ghazali dan jawaban itu dicantumkan dalam buku-nya Ihya’ al-‘ulum ad-Din
dan almarhum Faidh al-Kasyani juga menulis dalam kitabnya al-Mahajjah al-
Baidha’ yang dia juga menukil dari al-Ghazali.9
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menyeluruh, penuh
keseimbangan materi dan spiritual untuk mencapi kebahagiaan dunia dan
akhirat. Pendidikan Islam dewasa ini cenderung mementingkan
„ulumuddunya‟ atau „ulumuddin‟saja. Namun sebagaimana mestinya, terbukti
dalam proses pendidikan masih ada kekerasan terhadap anak,
mengesampingkan potensi peserta didik, pendidikan konsentrasi pada urusan
keduniawian saja serta sistem pendidikan yang jauh dari fitrahnya.

8
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2015,hlm.76-77
9
Murtadha Muthahhari, Kenabian Terakhir, Jakarta :Lantera, 2001, hklm.180
Abdurrahman Mas‟ud (dalam Nurjannah, 2018) menawarkan humanisme
religius dalam paradigma pendidikan Islam. Kunci dari humanisme religius
yakni konsep pendidikan yang memanusiakan manusia, juga mengembangkan
kemampuan yang dimiliki baik intelektual maupun religius tanpa
meninggalkan nilai-nilai agama yang mendasarinya.10
Menurut Ahmad Tafsir (dalam Ida Nurjannah, 2018) Karunia Allah yang
diberikan kepada manusia berupa kesempurnaan bentuk dan kelebihan akal
yang membedakannya dari makhluk lainnya, sebagai konsekuensinya manusia
dijadikan khalifah di muka bumi ini. Dengan akal manusia memiliki potensi
untuk berkembang melalui bimbingan dan tuntunan yang teratur, dan
berkesinambungan. Bimbingan itu melalui proses pendidikan, sebagai upaya
membantu manusia memperoleh kehidupan bermakna untuk suatu
kebahagiaan hidup, secara individu maupun kelompok.11
Dalam konsep pendidikan yang humanis, peserta didik bukan dijadikan
sebagai objek pendidikan namun sebagai subjek dalam proses belajar
mengajar. Dengan konsep yang demokratis dan humanis mampu memberikan
kebebasan ruang gerak bagi peserta didik untuk mengembangkan segala
potensi yang ada. Hal tersebut bermakna bahwa adanya pendidikan Islam
tersebut untuk membentuk insan kamil. Oleh karena itu, untuk menjadikan
makhluk yang insan kamil diperlukan pembahasan secara menyeluruh
tentang konsep humanisme religius. Humanisme religius adalah konsep
keagamaan yang menempatkan manusia serta upaya humanisasi ilmu-ilmu
dengan tetap memerhatikan tanggungjawab hablum minallah dan hablum
minannas. Humanisme dalam Islam terumuskan dalam konsep khalifatulloah
dalam Islam. 12

10
Ida Nurjannah, Paradigma Humanisme Religius Pendidikan Islam, Nomor 01, Juni 2018, hlm.155
11
Ida Nurjannah, Paradigma Humanisme Religius Pendidikan Islam, Nomor 01, Juni 2018, hlm.156
12
Ida Nurjannah, Paradigma Humanisme Religius Pendidikan Islam, Nomor 01, Juni 2018, hlm.157
Menyeimbangkan antara ilmu agama dan ilmu umum dan mengembalikan
fitrah manusia sebagai ‘abdullah sekaligus khalifatullah di dunia ini dengan
menjadikan humanisme religius sebagai paradigma pendidikan Islam.
Humanisme adalah aliran kefilsafatan yang menempatkan manusia
sebagai subjek yang penting dengan memberikan kebebasan untuk bisa
mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki, mengingatkan
kembali akan eksistensinya, kedudukan serta tanggungjawab dalam
kehidupannya. Dalam proses inilah keberadaan agama menjadi penting untuk
direflesikan, sebab umumnya diyakini bahwa agama pu menyimpan cita-cita
serupa. Menurut Hendrikus Endar (dalam Ida Nurjannah, 2018) untuk
mereflesikan proses humanisasi merupakan perkara yang tidak sederhana.
Dikatakan tidak sederhana karena di satu sisi agama diklaim sebagai jalan dan
penjamin keselamatan, cinta dan perdamaian, jalan ke arah hidup yang lebih
manusiawi sekaligus Ilahi. Dilain pihak, tidak bisa menutup mata bahwa
dalam sejarah, agama justru kerap tampil sebagai sumber, penyebab, dan
akibat bagi rusaknya kemanusiaan. Konon, agama merupakan benteng hati
nurani dan jalan ke arah kewarasan jiwa. Kenyataannya, institusi-institusi
keagamaan sangat rentang untuk jatuh menjadi kubangan korupsi dan
nepotisme yang berkelanjutan.13
Jika humanisme religius dan dunia pendidikan dikaitkan, maka pendidikan
akan merujuk pada unsur “memanusiakan manusia” sekaligus menjiwainya
dengan nilai-nilai luhur dari agama. Maka aktivitas pendidikan akan semangat
dalam mengembangkan seluruh potensi manusia agar menjadi manusia yang
sempurna dan dijiwai oleh nilai-nilai agama.
Dari persepsi-persepsi tersebut, maka pendidikan harus dilaksanakan
berdasarkan pada pengembangan potensi manusia. Selaras degan pandangan
Islam, yang menganggap manusia adalah makhluk berakal yang terdidik.
Pendidikan Islam akhirnya bermuara pada pembentukan manusia-manusia
sesuai dengan kodratnya yang mencakup dua dimensi, yaitu dimensi imanensi
13
Ida Nurjannah, Paradigma Humanisme Religius Pendidikan Islam, Nomor 01, Juni 2018, hlm.159
dan transdensi,atau horizontal dan vertikal yang hubungan dan
pertanggungjawabannya kepada Sang Maha Pencipta.
2. Antroposentris Dalam Studi NDP HMI
Menurut Lorens Bagus (dalam Amaliatul,2018), anthropocentric. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani anthropikos, dari anthropos (manusia) dan kentron
(pusat). Istilah ini mengacu kepada pandangan mana pun yang
mempertahankan bahwa manusia merupakan pusat dan tujuan yang
mempertahankan bahwa manusia merupakan pusat dan tujuan akhir dari alam
semesta. Mengacu kepada pandangan bahwa nilai-nilai manusia merupakan
pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang dan
secara tahap demi tahap mendukung nilai-nilai itu.14
Kehendak Tuhan dan kehendak manusia yang disebut dengan teosentris
dan antroposentris sering dipahami dengan istilah takdir. Seseorang yang
mempunyai pemikiran luas dengan berbagai macam pendekatan dan prinsip
yang dipahami mengatakan bahwa antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Setiap orang harus mempunyai usaha untuk memperoleh sesuatu, tidak boleh
mempasrahkan segala sesuatunya dengan Tuhan. Tuhan yang menentukan
tetapi manusia sendirilah yang harus berusaha mendapatkan.
Kebebasan didalam Islam telah dijadikan sebagai doktrin kepercayaan
yang beriman pada ke-Esaan Tuhan, dan kepada keyakinan yang kokoh atas
kekuasaan-Nya terhadap alam semesta. Semakin dalam keimanan ini
terhunjam didalam hati seorang muslim, dan semakin terpusat pandangan
tauhidnya kepada Allah Swt, maka semakin meningkat juga jiwanya dan
semakin dalamlah perasannya akan martabat dan kebebasannya, dan semakin
keraslah kemauannya untuk berdiri kokoh menghadapi tirani, kerusakan, dan
perbudakan oleh hal-hal lain.
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mera diperlakukan dengan zalim
mereka membela diri.”(QS. Al-Syuura [42]:39)

14
Ita Amaliatul Fajriah, Corak Teosentrisme dalam Pemahaman Tauhid di Pondok Pesantren
Attauhidiyyah Cikura Bojong Kabupaten Tegal, Semarang : 2018, hlm.24
Peradaban Barat modern telah berupaya keras untuk memperoleh porsi
kebebasan yang sebesar mungkin bagi setiap orang dan tindak tanduk
pribadinya, porsi kebebasan yang tidak merugikan kebebasan orang lain.
Setelah memberikan kebebasan ini kepada seluruh individu, maka selanjutnya
tidaklah penting bagaimana reaksi-reaksi psikologis dan intelektual yang
dimunculkan olehnya selagi setiap individu bebas dalam tindak tanduk dan
perangainya, dan sanggup untuk menunaikan keinginannya sendiri dalam
masalah-masalah pribadinya. Kemanusiaa telah diracuni dengan tembang
“kebebasan” ini dan tidur bersamanya untuk beberapa lama, merasakan untuk
pertama kalinya bahwa ia telah merusakkan seluruh belenggu, dan bahwa
raksasa kebebasan ini, yang telah tertekan selama ribuan tahun, telah terlepas
untuk pertama kalinya dan telah diizinkan untuk mengerjakan apa saja yang
diinginkannya secara terang-terangan, tanpa takut dan khawatir.
Kemanusiaan mulai bangkit secara perlahan-lahan untuk menyadari secara
berangsur-angsur bahwa tidurnya telah terusik, bahwa kebebasannya telah
membelenggunya dengan rantai-rantai yang amat besar, memporak-
porandakan harapan-harapannya akan kondisi yang bebas dan manusiawi,
lantaran sekarang ia merasakan dirinya telah didorong masuk ke dalam sebuah
kereta yang berlari pada jalan yang sudah dirancang sebelumnya, tanpa ada
kekuatan untuk mengubah ataupun memperbaiki jalan itu. Satu-satunya
penghibur baginya, ketika ia melihat nasibnya pada jalan yang telah dirancang
itu adalah ucapan seseorang yang mengatakan kepadanya bahwa kereta itu
merupakan kereta kebebasan, kendatipun belenggu dan rantai mengelilingi
tangannya itu.
Islam mengawali operasinya untuk memerdekakan manusia dari batin
manusia itu sendiri, karena Islam menyaksikan bahwa memberikan kebebasan
atau kemerdekaan kepada manusia bukanlah dengan mengatakan kepadanya :
“Inilah jalan kami. Kami telah membukanya untuk anda, maka jalanlah Anda
dengan damai”. Alih-alih, manusia menjadi bebas dengan sebenarnya, ketika
ia mampu mengendalikan jalannya sendiri dan menjaga serta
mempertahankan kemanusiawiannya, hak untuk menetapkan jalannya sendiri
dan menggariskan karakteristik-karakteristiknya berikut arahnya. Hal ini di
atas segalanya, bergantung pada pembebasan manusia dari perbudakan nafsu-
nafsunya bisa berubah menjadi sarana yang manarik manusia kepada apa yang
diinginkan manusia itu, bukan sebagai kekuatan pendorong yang melelahkan
kehendak manusia tanpa bisa menggunakan kehendak tersebut untuk suatu
potensi atau kapasitas apa pun yang dipunyainya. Pasalnya, sekiranya
manusia hanya digerakkan oleh hawa nafsunya saja, maka berarti ia telah
kehilangan kebebasannya. Akan sama saja kenyataannya, seandainya
tangannya bebas, tetapi pikiran dan segenap konsep kemanusiawiannya, yang
membedakan manusia dari dunia binatang, terbelenggu dan beku.15
Kebebasan manusia menurut fitrahnya. Manusia dilajirkan merdeka. Dia
datang dari dalam perut ibunya tidak mengenal perbedaan. Sebab itu
hendaklah dalam hidupnya dia tetap merdeka, tidak diikat oleh belenggu
perbudakan dan tawanan. Merdeka menyatakan perasaan, merdeka lenggang
dirinya, pulang dan perginya. Merdeka dalam segala anugerah yang diberikan
Allah sejak dia lahir tanpa mengganggu kemerdekaan orang lain atau
ketentraman masyarakat ramai. Maka tidaklah akan bersih dan jernih hidup
manusia kalau kemerdekaan itu terbatas atau dibatasi.16
Kuntowijiyo menagatakan (dalam ), filsafat rasionalisme yang muncul
pada abad ke 15/16 menolak teosentrisme abad tengah. Rasio (pikiran)
manusia diagungkan dan wahyu tuhan dinistakan. Sumber kebenaran adalah
pikiran, bukan wahyu Tuhan. Tuhan masih diakui keberadaannya tetapi Tuhan
yang lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum-
hukum.Antroposentrisme dalam rasionalisme manusia menempati kedudukan
yangtinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan
pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-

15
Muhammad Baqir Ash-shadr, problematika Sosial Dunia Modern, Yogyakarta :RausyanFikr, 2011,
hlm. 95-97
16
Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta : Republik Penerbit, 2015, hlm.318
produk manusia sendiri. Teosentrisme dan antroposentrisme adalah hal yang
saling berkaitan satu sama lain. Keduanya memiliki keterkaitan yang sangat
kuat.17
Pandangan antroposentrisme atau humanisme, beranggapan bahwa
kehidupan tidak berpusat pada Tuhan, tetapi pada manusia. Manusialah
penguasa realitas, oleh karena itu manusialah yang menentukan nasibnya
sendiri, bukan tuhan. Manusia bahkan dianggap sebagai penentu kebenaran.
Itu sebabnya dewa-dewa dan kitab suci tidak diperlukan lagi.
Di antara nilai-nilai humanisme yang ditampilkan dalam hadis tersebut
adalah di samping sebagai bentuk penyembahan kepada Allah (shalat), juga
diorientasikan nilai membebaskan manusia dari berbagai kegalauan bakal
terjadi perselisihan antar suku dan antar peradaban, penindasan dan
pemberantasan kemiskinan.18
Ajaran tauhid bukan hanya seputar penolakan terhadap kemusyrikan yang
berbentuk berhala atau kepercayaan-kepercayaan yang mengingkari ke-Esaan
Tuhan, melainkan tauhid juga bermakna bersatunya umat manusia yang
bernaung dibawah keadilan. Karena hanya denga keadilanlah maka nilai-nilai
ketuhanan dapat terealisir. Tauhid dalam Islam adalah tauhid yang membumi.
Artinya, Islam harus sanggup menjawab tantangan, dinamika dan
problematika kehidupan manusia seluruhnya, seperti ketika keadaan umat
masih diliputi penjajahan, ketakutan, kemiskinan, ketimpangan, intimidasi,
konservatisme, westernisasi (perambatan), kebodohan, kehilangan rasa
percaya diri dan kreativitas, perpecahan dan masalah lainnya.19
Kedewasaan beragama merupakan usaha utama untuk mewujudkan
kerukunan untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama. HMI yang

17
Ita Amaliatul Fajriah, Corak Teosentrisme dalam Pemahaman Tauhid di Pondok Pesantren
Attauhidiyyah Cikura Bojong Kabupaten Tegal, Semarang : 2018, hlm.26
18
Nasir Budiman, Paradigma Humanisme Theosentris Dalam Pendidikan Islam, Banda Aceh : Ar-Rainy
Press, 2012
19
Ita Amaliatul Fajriah, Corak Teosentrisme dalam Pemahaman Tauhid di Pondok Pesantren
Attauhidiyyah Cikura Bojong Kabupaten Tegal, Semarang : 2018, hlm.28-29
ada sejak 5 Februari 1947 dan merumuskan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan
merupakan titik awal dalam mengembangkan, menyebarluaskan dan
mengimplementasikan kedewasaan beragama tersebut. Setidaknya, dalam
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI terdapat tiga aspek untuk mewujudkan
kerukunan hidup umat beragama khususnya di Indonesia, yaitu : aspek
Ketauhidan (Ketuhanan yang maha Esa), aspek kemanusiaan dan aspek
kemasyarakatan. Ketiga aspek ini akan membawa hubungan antar agama
lebih terbuka, toleran dan harmonis. Umat beragama menyadari secara utuh
bahwa semua manusia bertuhan pada Tuhan yang sama, Tuhan Yang Maha
Esa, semua umat beragama diberi kebebasan untuk memahami, menghayati,
dan mengamalkan agamanya secara penuh dengan keyakinan mendalam.
Umat beragama juga meyakini bahwa pada dasarnya semua manusia adalah
baik sehingga yang dikedepankan adalah sikap positif dan optimis menilai
umat agama lain bukan malah bersikap tertutup dan menaruh curiga satu sama
lain. Lebih jauh lagi, hubungan antara umat beragama beragenda sama untuk
melawan musuh bersama, musuh dari kemanusiaan yaitu ketidakadilan sosial,
kemiskinan, kebodohan, pelanggaran hak asasi manusia dan kepatuhan
kepada tirani yang jauh dari kesadaran akan keutuhan Yang Maha Esa. Semua
agama punya tanggung jawab terhadap kerja nyata ini supaya dapat terwujud
secara maksimal.20
Tidak salah lagi kalau ilmu harus lebih dahulu dari amal. Yaitu bekas
yang terlukis di otak orang yang berilmu itu di dalam perkara yang telah
diketahuinya. Tetapi iman atau kepercayaan lebih tua pula dari ilmu. Iman
menjadi dasar dari ilmu. Itulah sebabnya maka nabi-nabi lebih dahulu
menanamkan iman daripada menyiarkan ilmu. Setelah sempurna iman,
mereka disuruh membernarkan, setelah itu dikemukakan segala macam alasan
dan dalil, disuruh pula mengiaskan perkara-perkara yang lain.21

20
Dwi Wahyuni, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI : Suatu Ikhtiar Mewujudkan Kerukunan Hidup Umat
Beragama di Indonesia, Bandung : Desember 2016/Th. 17/Nomor2, hlm.157
21
Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta : Republik Penerbit, 2015, hlm.66
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Pendidikan adalah salah satu kunci dalam hidup manusia, dengan
pendidikan manusia mampu menemukan eksistensinya secara menyeluruh.
Pendidikan diadakan untuk mengelola serta mengembangkan diri manusia
agar bisa menjadi manusia utuh sesuai kodratnya. Humanisme yang
mengusung gagasan manusia sebagai sentral segala kehidupan tidak dapat
dipandang sebagai sebuah ide yang sederhana. pemikiran pendidikan Islam
adalah aktifitas pikiran yang teratur dengan mempergunakan metode filsafat.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menyeluruh, penuh keseimbangan
materi dan spiritual untuk mencapi kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam
konsep pendidikan yang humanis, peserta didik bukan dijadikan sebagai objek
pendidikan namun sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Teologi
antroposentris bukan mengubah doktrin sentral tentang ketauhidan
(ketuhanan), tetapi suatu upaya revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman
keagamaan, abik secara individualmaupun kolektif dalam kenyataan-
kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan.
2. Saran
Sesuai dengan tema pembicaraan, adapun saran dalam makalah ini yaitu ;
setiap orang harus mempunyai usaha untuk memperoleh sesuatu, tidak boleh
mempasrahkan segala sesuatunya dengan Tuhan. Tuhan menentukan tetapi
manusia sendirilah yang harus berusaha mendapatkan; serta perlu adanya
penjelasan lebih lanjut akan teori-teori humanisme yang dipandang dalam
pendidikan Islam sebagai implementasi dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai