Anda di halaman 1dari 30

Khairul Umam

TANTANGAN DAN PENGUATAN


KELEMBAGAAN PESANTREN DALAM BINGKAI
STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

Khairul Umam
Dosen FTIK IAIN Jember

This paper examines the challenges that has facing pesantren


and how they reinforcemant the institutions so that they can
survive from various challenges of globalization. This study
aims to discribe the strategy of the defense of pesantren
through the simplification of transcendental structuralism
frames as introduced by Kuntowijyo. This study leads to the
conclusion that the overall characteristic of the pesantren
structure is centered on the strong interconnectedness of kiai
(ulama), santri, mosques, dormitories, classical books,
methods and educational objectives. The forming of the
structure (innate structuring capacity) of institutional
strengthening in the form of the pesantren spirit that is
believed as the key to the success of pesantren. In order to
support institutional strengthening, pesantren also assisted
by values that are oppositional in order to strengthen its
existence and to test the strength of its institutional basic
structure.

Keywords, Pesantren, institutional reinforcement,


transcendental structuralism

A. Pendahuluan
Pada tataran ontologis, dapat dikatakan konsep
mengenai pendidikan Islam itu belum ada kata sepakat.
Namun kita menyadari bahwa pendidikan Islam sarat
dengan nilai-nilai (value-bond) karena keseluruhan ajaran

Volume 11, 1 Maret 2018 | 177


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

agama Islam itu sendiri memuat penanaman nilai-nilai,


yang meliputi ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman.
Agama Islam sendiri selalu berintegrasi dan beradaptasi
dengan lingkungannya, hal ini berimplikasi dalam sistem
pendidikan Islam yang mampu mengadopsi sistem
pendidikan lain tanpa kehilangan jati dirinya. Sayed
Hossein Nasr menyatakan: “...by the power of integration
inherent within Islam, many of these institutions were
muslimized and absorbed into the structure of muslim
society so that they lost their foreign attributes.”235
Dalam sejarah sosial pendidikan Islam, sistem
pendidikan Islam berkembang beriringan dengan
perkembangan zaman, berintegrasi dengan sistem-sistem
pendidikan modern secara dinamis dan fleksibel dengan
sistem dan lembaga pendidikan lainnya tanpa kehilangan
identitas dan karakteristik dasarnya, yang bertumpu pada
prinsip terintegrasi antara teosentrisme (ketuhanan) dan
antrophosentrisme (kemanusiaan).236 Tipikal pendidikan
Islam ini menjadikannya sebagai model pendidikan yang
dianggap ideal. Berbeda dengan pendidikan ala barat
yang hanya berorientasi pada dimensi humanisme
kultural, beraraskan pada pengembangan akal manusia
dan moral hanya atas dasar prinsip budaya lingkungan
dengan nilai-nilai yang melekat di dalamnya. 237
Sungguhpun demikian pendidikan Islam yang
sarat akan nilai ini pada perkembangannya belum
dianggap mampu mengantarkan peradaban umat Islam

235
Sayed Hossein Nashr. Islamic Life and Thought. London; Goeorge
Allan&Uniwin. 1981. h.4
236
Lihat Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma
Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif (Jakarta;
Rajawali Pers. 2011), 219
237
Ibid, 224

178 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

menjadi peradaban yang lebih unggul dari peradaban


manusia lainnya. Padahal pendidikan Islam, khususnya
pesantren, merupakan unsur determinan dalam proses
perubahan, pregeseran, kristalisasi budaya dan menjadi
instrumen utama dalam merekonstruksi relasi kuasa
dalam ketercerabutan sosial kultural mulai zaman
dahulu.238 Lebih ironis lagi bila jargon “al Islamu ya’lu
wa la yu’la alaihi” (Islam unggul dan tidak ada yang
mengunggulinya) belum begitu terefleksi ke dalam
konteks masyarakat pesantren sebagai penyelenggara
pendidikan Islam yang dianggap sukses menjadikan para
santrinya sebagai agent of change. Modernitas dan
kemajuan peradaban manusia justru mampu ditunjukkan
oleh orang-orang Barat yang menjauhkan kehidupan
manusia dari urusan agama dan oleh mereka yang lebih
mengandalkan kemampuan manusia (antrophosentris)
dalam mengatasi problematika hidup sehari-hari.
Jika dibandingkan dengan sekolah umum,
lembaga pendidikan Islam yang berbentuk pesantren
dianggap memiliki kelebihan esensial daripada sistem
maupun lembaga pendidikan lainnya. Imam Suprayogo
menyampaikan:
“...1) Pesantren memiliki kemandirian dan otonomi secara
penuh, 2) Memiliki semangat juang dan berkorban yang
tinggi dari semua yang terlibat di dalamnya. Komersialisasi
pendidikan yang berujung terjadi runtuhnya nilai-nilai
pendidikan tidak terjadi di lingkungan pesantren. Pesantren
dibangun dan dikelola atas dasar keikhlasan dan diniatkan
sebagai ibadah, (3) Pendidikan pesantren dijalankan secara
lebih komprehensif atau utuh, meliputi pendidikan akhlak,
spiritual, ilmu pengetahuan, dan juga ketrampilan; (4)
Pendidikan di pesantren dijalankan tidak saja sebatas

238
Mahmud Arif. Pendidikan Islam Transformatif. (Yogyakarta: LKiS.
2008), x

Volume 11, 1 Maret 2018 | 179


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

mentrasfer ilmu pengetahuan, apalagi hanya sebatas


informasi, lebih dari itu adalah menstranfer kepribadian.
Para Kyai secara langsung memberikan tauladan dan juga
membiasakan hal-hal yang baik, sehingga ditiru oleh para
santrinya; (5) Pendidikan pesantren tidak mengejar simbol-
simbol, seperti sertifikat atau ijazah, melainkan untuk
membangun watak atau akhlak yang mulia, (6) dan lain-
lain.”239
Dengan beragam kelebihan tersebut, pesantren
mampu memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi
keseimbangan sejarah bangsa dengan melahirkan para
tokoh pejuang, tokoh agama maupun tokoh-tokoh lainnya
di berbagai bidang kehidupan yang mampu berkiprah
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saat ini pesantren telah dihadapkan pada problem
globalisasi yang semakin mendeterminasi pola hidup
masyarakat. Globalisasi meniscayakan pendominasian
kultur, eksistensi bahkan tradisi intelektual masyarakat
yang semakin hari terus terobsesi dengan prinsip
efektifitas dan efisiensi. Untuk itu gerak hidup dan
kehidupan masyarakat senantiasa serba cepat, konstan
dan instan. Masyarakat tidak lagi sabar berlama-lama
menuntut ilmu, apalagi ilmu agama. Efek kecanggihan
teknologi sebagai produk dari globalisasi memberikan
momentum atas kenyataan itu sehingga informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi instrumen utama
pencapaian segala hal dalam berbagai bidang kehidupan.
Kecenderungan masyarakat saat ini adalah memilih apa
saja yang memberikan layanan lebih cepat, lebih
239
Imam Suprayogo. Kemandirian Pondok Pesantren dan Tantangannya
di Masa Depan. http://www.uin-
malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1184:
kemandirian-pondok-pesantren-dan-tantangannya-di-masa-
depan&catid=25:artikel-rektor diakses pada tanggal 16 Januari 2017

180 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

berkualitas, dan lebih menguntungkan. Dampaknya


masyarakat di sisi lain kehilangan jati diri, rapuh, rentan
terhadap nilai-nilai yang esensial dalam hidup.
Menghadapi kondisi demikian, pesantren yang
telah lama berkiprah sebagai essential agent of cultural
change tidak bisa lepas tangan karena memiliki
tanggungjawab yang besar dalam melindungi masyarakat
dari ketercerabutan sosial kultural sebagai akibat dari
massifnya perubahan peradaban secara global. Pesantren
harus senantiasa menyadari bahwa masyarakat saat ini
tidak bisa sabar dan berlama-lama dalam memperlajari
agama, bahasa Arab dan instrumen keagamaan lainnya.
Untuk itu pesantren wajib berupaya untuk terus
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya
dengan menjawab tantangan globalisasi melalui upaya-
upaya penguatan kelembagaan dan tranformasi ke arah
yang lebih baik tanpa harus merusak struktur utama di
dalam dirinya. Upaya penguatan kelembagaan di
pesantren dapat dilaksanakan dengan menggunakan
paradigma strukturalisme transendental dengan
pengidentifikasian struktur-struktur dasarnya.
Sebagai lembaga pendidikan yang
mentransmisiskan nilai-nilai spiritual, penulis melihat
upaya yang bersifat struktural-transendental sebagaimana
konsep yang sering diperkenalkan oleh Kuntowijoyo
dalam berbagai tulisannya. Tulisan ini merupakan
simplifikasi dalam mengkaji dan mendeskripsikan
penguatan kelembagaan di pesantren dalam bingkai
paradigma strukturalisme-transendental. Oleh karena itu
diperlukan penelitian lebih lanjut terkait pemahaman
pesantren secara struktural, lebih-lebih dalam perperpektif
transendentalisme.

Volume 11, 1 Maret 2018 | 181


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

B. Realitas Pesantren Dalam Tantangan Globalisasi


Saat ini globalisasi telah mencapai pengaruh yang
besar terhadap sistem dan tatanan sosial masyarakat Islam
Indonesia di berbagai bidangnya.240 Lembaga pendidikan
Islam sebagai salah satu unsur sosial Muslim Indonesia
ikut serta mengalami transformasi berarti dengan itu.
Peter L. Berger melalui teori hukum sosial
menyampaikan bahwa dalam menjalani proses kehidupan
ini masyarakat dengan sistem kelembagaannya terus
berada dalam proses putaran (cyrcle) eksternalisasi
(pembaharuan), objektivikasi (penerimaan) dan
sosialisasi/internalisasi (produksi). Dengan pemaknaan
teori kontruksi sosial semacam itu, pesantren merupakan
organisme yang hidup dan berkembang sekaligus dapat
mati. Sebagai organisme, pesantren selalu mencari hal-hal
baru yang memuaskan dirinya untuk hidup dengan layak.
Ketika hal baru itu ditemukan (eksternalisasi) dan
diterima (objektifikasi) sebagai salah satu instrumen
pencapaian (pemuasan) tujuan maka, terjadilah proses
sosialisasi melalui sistem global yang sedang berjalan.
Dengan makna lain penguatan dan pengembangan
pesantren mau tidak mau dipengaruhi oleh sistem
globalisasi yang bersentuhan langsung dengan kondisi
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Terjadinya era
globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang
menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak
yang menguntungkan adalah membuka peluang adanya

240
”Globalisasi” adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada
”bersatunya” berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Secara
denotatif ”globalisasi ” berarti perubahan-perubahan struktural dalam
seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-
fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia, organisasi-
organisasi sosial, dan pandangan – pandangan dunia.

182 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

kerjasama yang seluas-luasnya antar lembaga pendidikan


di dalam maupun luar negeri. Pada sisi lain, jika lembaga
pendidikan semacam pesantren tidak mampu bersaing,
misalnya karena sumber daya manusia (SDM) yang
lemah, maka konsekuensinya dapat menghancurkan
sistem pendidikan khas yang telah diperjuangkan
pesantren selama berabad-abad.
Realitas globalisasi menguasai berbagam sektor
kehidupan manusia. Teknologi informasi dan
transportasi terkadang diiringi dengan kerusakan nilai-
nilai yang dianut suatu masyarakat.241 Arus informasi
tidak mendidik yang deras dan tidak tersaring dapat
meruntuhkan peradaban agung suatu bangsa. Suatu
bangsa dinyatakan beradab apabila menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi242.
Oleh karena itu, pesantren perlu memiliki
kesadaran akan pentingnya meningkatkan daya saing dan
keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil
maupun moneter, dengan mengandalkan pada
kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa
mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki
oleh pesantren sendiri.
Bila merujuk pada data perundingan Indonesia
dengan World Tread Organization (WTO) mengenai
(General Agreement on Tarrifs and Services) GATS,
maka pesantren bisa menjadi system pendidikan yang
rawan akan tercerabut ke dalam nilai-nilai globalisasi dan

241
Kartasasmita, G.. Peran Pondok Pesantren dalam Membangun
Sumberdaya Manusia Yang Berkualitas, Makalah pada Milad ke 29
Pondok Pesantren Al Falah. 2006
242
Luth, Thohir dkk.. Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya,
(Malang, PPA Universitas Brawijaya. 2010), 17

Volume 11, 1 Maret 2018 | 183


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

liberalisasi yang negatif. Komersialisasi pendidikan


pesantren tidak bisa dihindarkan, dan pencapaian
keunggulan-keunggulan tertentu akan dilaksanakan
semena-mena dan menghalalkan segala secara dengan
maksud agar pendidikan pesantren tidak kalah saing. Jika
demikian bisa jadi pesantren akan kehilangan identitas,
karakter, nilai pendidikan yang sesuai dengan
universalitas ajaran dan nilai Islam. Kesaratan
pendidikannya dengan nilai akan tergantikan oleh
pencapaian-pencapaian pragmatis yang hanya sekedar
antroposentris.
Selain itu pesantren juga perlu membuka mata
terhadap persoalan-persoalan bangsa yang bersinggungan
langsung dengan dunia pesantren hubungannya dengan
perkembangan global. Liberalisasi di berbagai sektor dan
demokrasi dituduh oleh sebagian kelompok sebagai
muara dari segala kerusakan system di tanah air. Korupsi,
nepotisme, saling jegal antar Elite politik dan sebagainya
adalah bagian dari dampak sistemik globalisasi di
Indonesia. Tidak heran bila muncul kelompok-kelompok
anti globalisasi dengan faham-faham radikal yang siap
membunuh dan menghancurkan dengan cara-cara yang
tidak masuk akal.
Muncul pula paham liberalisme yang mewarnai
bidang keagamaan seperti Islam Liberal dan lainnya yang
menghawatirkan para ulama. Tidak pelak dunia pesantren
lagi yang dijadikan kambing hitam bagi tumbuh suburnya
liberalisme keagamaan dan radikalisme di berbagai
bidang kehidupan masyarakat Indonesia.
C. Dinamika Penguatan Kelembagaan Di Pesantren
Kondisi sosial pendidikan Islam di Indonesia
mencatat sejarah panjang intrik-intrik politik dan
penjajahan yang dilakukan negara-negara penjajah

184 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

terhadap system sosial di masyarakat, tidak terkecuali


pada ranah sistem pendidikan. Pesantren merupakan salah
satu sistem pendidikan Islam di Indonesia yang terus
bertahan dan berkembang meskipun telah ada upaya
untuk meruntuhkannya melalui propaganda politik
pendidikan oleh para penjajah. Oleh karenanya pesantren
kemudian diakui sebagai sistem pendidikan Islam yang
justeru memperkokoh karakter kebangsaan melalui nilai-
nilai agama yang tercermin salah satunya dari jargon
‘hubbul wathon minal iman’yakni cinta tanah air adalah
bagian dari iman.
Pesantren sendiri merupakan model pendidikan
yang khas, dibangun oleh masyarakat atas kepercayaan
mereka terhadap figur kiai yang dianggap mumpuni
dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai esensial
terkait hidup dan kehidupan. Oleh karenanya tidak heran
bila pesantren dianggap sebagai saksi sejarah proses
panjang kemerdekaan Republik Indonesia. Pesantren
tidak hanya mendokumentasikan penyebaran agama
Islam (Islamisasi) di bumi nusantara, tetapi juga mencatat
sejarah sosial budaya, politik dan ekonomi di tanah air.
Sebagai lembaga pendidikan, sejak awal pesantren
memiliki akses yang luas terhadap berbagai bidang
kehidupan masyarakat karena figur kiai yang ada
diperccaya sebagai person yang mampu menjawab dan
memecahkan berbagai persoalan masyarakat.
Kepercayaan ini kemudian mengakar kuat di tengah-
tengah masyarakat sehingga pada masa penjajahan
pesantren menjadi lokomotif bagi pergerakan perjuangan
kemederkaan.
Dalam perkembangannya, sebagian pesantren
dapat melakukan transformasi sistem pendidikannya
melalui penguatan yang dilakukan diprakarsai oleh

Volume 11, 1 Maret 2018 | 185


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh political will


dari pemerintah. Tercatat bahwa pada saat Ki Hajar
Dewantoro menjabat sebagai menteri pertama dalam
bidang Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik
Indonesia beliau melontarkan gagasan bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang sesuai dengan
kultur jiwa masyarakat Indonesia dan oleh karenanya
patut dijadikan dasar pengembangan sistem pendidikan
dengan dilakukan pengembangan yang wajar dari segi
kurikulum, sistem manajemen dan relevansinya agar
pesantren mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman yang lebih rasional dan
berkemajuan.243
Terbentuknya panitia penyelidik pengajaran
Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar
Dewantoro merupakan langkah awal penguatan
kelembagaan pesantren dengan menetapkan keputusan
modernisasi pengajaran dan pemberian bantuan
operasional demi kelancaran proses pendidikan dan
pengajaran di pesantren yang dikawal langsung oleh
kementerian agama, sesuai dengan keputusan BPKNIP
pada akhir tahun 1945.244 Gagasan ini disambut baik oleh
Menteri Agama Mukti Ali yang melihat pentingnya
penguatan kelembagaan sistem pendidikan di pondok
pesantren demi mensukseskan tujuan pendidikan secara
nasional, sehingga secara berangsur-angsur sebagian
pesantren mulai mengadopsi sistem pendidikan madrasah
di lingkungan pesantren, yang pada mulanya hanya
menyelenggarakan sistem salaf.

243
Hanun Asrohah. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu.1999),185
244
Ibid, h. 186

186 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

Penguatan kelembagaan di pesantren semakin


mendapatkan momentumnya ketika K.H Wahid Hasyim
menjabat sebagai Menteri Agama. Pada masanya terbit
peraturan menteri Agama (PMA) no.3 tahun 1950 yang
berisi instruksi pada madrasah untuk mengajarkan
pelajaran umum, sementara di sekolah umum juga wajib
mengajarkan pelajaran agama. Hal ini memicu terjadinya
alih mutu akademik di madrasah alih mutu spiritualisme
di sekolah umum. Lebih dari itu pesantren merasa
terdorong untuk segera mengadopsi model madrasah
demi bersaing dengan lembaga-lembaga tersebut.
Terbukti pesantren pertama yang mendirikan sistem
sekolah tingkat SMP dan SMA adalah Pesantren
Tebuireng Jombang. Model Pendidikan demikian
diciptakan demi memenuhi kebutuhan masyarakat agar
santri dapat belajar pengetahuan agama sekaligus
pengetahuan umum. Harapannya para santri dapat
bersaing hingga dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi dengan baik.
Seiring penguatan kelembagaan, pesantren
berkembang pesat dari tahun ke tahun. Bila dilihat dari
data statistik yang disampaikan pemerintah, jumlah
pesantren pada tahun 1977 terdapat 4.195 pesantren
dengan jumlah santri kurang lebih 677.384 santri yang
tersebar di seluruh Indonesia. Data ini bisa saja lebih
sedikit dari jumlah yang sebenarnya, menimbang tidak
semua data pesantren dan santri tercatat dengan baik dan
lengkap. Pada tahun 2010 data jumlah pesantren di
Indonesia mencapai kurang lebih 17.396 pesantren
dengan jumlah santri sebesar 3.269.493 orang.245 Hingga

245
diolah dari data pesantren dalam website
http://pendis.kemenag.go.id/kerangka/pontren.htm. Diakses pada tanggal
15 Juli 2014

Volume 11, 1 Maret 2018 | 187


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

tahun 2016, pangkalan data pesantren menyebutkan


25.938 pesantren yang terdata dengan jumlah santri
sebesar 3.962.700 santri, yang tersebar di seluruh
Indonesia dengan rincian statistik berikut:

PERSENTASE JUMLAH PESANTREN DI INDONESIA


Sumber Data PDPP246

D. Penguatan Kelembagaan Pesantren Dalam Bingkai


Strukturalisme Transendental
Istilah strukturalisme transendental diperkenalkan
oleh seorang Budayawan kondang, almarhum
Kuntowijoyo. Ia terinspirasi dari terma strukturalisme
yang sangat kuat mempengaruhi cara berfikir orang-orang
Eropa dan dunia dari awal abad ke-20 sampai sekarang.247
Dengan pengaruh yang kuat itu, para tokoh di bidang

246
Lihat Pangkalan Data Pondok Pesantren di http://103.7.12.157/pdpp/,
diakses pada tanggal 20 Februari 2018
247
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. (Mizan, Jakarta. 2001), 10

188 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

filsafat, linguistik, antroplogi, fenomenologi terpancing


untuk mengkajinya lebih lanjut. Hasilnya banyak yang
mengkritik paradigma strukturalisme yang dianggap kaku
dalam memahami fenomena sosial dan berbagai
bidangnya.
Strukturalisme merupakan corak pemikiran yang
meyakini bahwa realitas kehidupan terdiri dari unsur-
unsur struktural yang meski tampak tidak beraturan dan
beraneka ragam pada tataran permukaan, dapat
dimengerti melalui pemahaman struktur yang mendasar
dan mendalam. Karakteristiknya adalah memahami
bahwa kehidupan sosial yang terlihat kacau (chaos)
hanyalah permukaannya saja. Sementara di dalam
permukaan terdapat mekanisme general yang dianggap
berlangsung konstan dan dapat menjelaskan yang ada di
permukaan. Mekanisme tersebut tersusun secara
berstruktur dari unsur-unsur general.248
Pada perkembangannya strukturalisme dapat
meliputi banyak bidang, mulai sosiologi, antropologi,
politik hingga lingusitik. Meskipun banyak variannya,
para penganut paham strukturalis memiliki persamaan
dasar (common denominator) terkait gagasan struktur itu
sendiri. Misalnya bahwa struktur memiliki minimal 3
(tiga) ciri pokok, yaitu: 1) wholeness; 2) transformation;
dan 3) self-regulation.249
Wholeness merupakan totalitas atau keseluruhan
struktur yang terbentuk melalui rangkaian unsur-unsur
dan membentuk sistem yang dapat diidentifikasi, dikenali
dan mendasari prinsip-prinisp realitas di permukaan.

248
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (Ed), Teori-teori Kebudayaan,
(Yogyakarta:Kanisius, 2005), 114
249
Baca Jean Piaget, Strukturalisme, Pen. Hermoyo, (Jakarta: Yayasan
Obor, 1995), 8-10

Volume 11, 1 Maret 2018 | 189


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

Unsur-unsur ini tidak berdiri sendiri dan terpisah, namun


ia tunduk pada hukum yang mengatur keseluruhan
struktur. Meskipun demikian diyakini bahwa struktur
tidak statis dalam artian bahwa struktur bisa menambah
unsur-unsur lainnya tanpa merusak struktur yang sudah
ada. Inilah yang dimaksud dari Transformation
(perubahan bentuk). Perubahan bentuk tanpa merusak
struktur yang dapat dimungkinkan karena struktur
memiliki sefl-regulation (pengaturan diri) yang bersifat
otonom.250 Self regulation ini merupakan benteng
pertahanan struktur agar tidak rusak oleh pengaruh-
pengaruh lain di luar struktur itu sendiri.
Paradigma strukturalisme menjadi menarik ketika
dihubungkan dengan terma transendentalisme perspektif
Kuntowijoyo. Secara umum transendental berasal dari
akar kata transenden yang diartikan di luar kesanggupan
manusia terkait dengan hal-hal yang esensial.
Transendental sering dimaknai dan berkaitan dengan
masalah kerohanian, sukar dipahami, gaib dan abstrak.251
Transendentalisme perspektif Kuntowijoyo sendiri
dimaknai paham yang ‘melampaui.’ Strukturalisme
transendental ingin menyampaikan bahwa terdapat
struktur yang berdimensi trensenden, spiritual, rohani
dalam upaya menafsirkan realitas sosial. Dalam konteks
tulisan ini realitas penguatan kelembagaan pesantren
terkait dengan dengan struktur yang transenden ini.
Pemaknaan strukturalisme transendental pada
penguatan kelembagaan pesantren minimal dapat
didasarkan pada realitas kiai, sebagai pengasuh pesantren,
yang diyakini sebagai ulama pewaris Nabi (waratastul

250
Ibid, 9
251
Kepustakaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Phoenix, 2007), 909

190 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

anbiya’) dalam menyebarkan agama Islam. Pesantren


secara umum dipimpin oleh seorang kiai yang dipercaya
masyarakat untuk mengajarkan ajaran Islam bagi generasi
penerus mereka. Dengan posisi kiai yang demikian,
terdapat keyakinan bahwa ulama maupun kiai merupakan
manusia-manusia yang mendapat barokah, karomah, ilmu
yang dilindungi oleh Allah SWT. atas dasar keyakinan
“barang siapa menolong agama Allah maka Allah akan
menolong dirinya.” Faktanya pesantren dapat terus
bertahan, bahkan lebih berkembang meskipun pesantren
telah lama mendapatkan tekanan secara politis mulai era
penjajahan.
Kebertahanan pesantren dari berbagai macam
upaya pelemahannya dalam konteks ini dapat kita
tafsirkan melalui paradigma strukturalisme transendental.
Bila dimulai dari ciri strukturalisme, terdapat 3 (tiga) ciri
dalam menggambarkan struktur bangunan dari entitas
penguatan pesantren itu sendiri, yaitu: 1) keseluruhan
atau totalitas; 2) kekuatan pembentuk struktur; dan 3)
pertentangan antara dua hal.
1. Struktur keseluruhan atau totalitas (wholeness).
Keseluruhan dapat dipahami dengan melihat
unsur-unsur struktur sekaligus keterkaitan (inter-
connecttedness) antar unsur yang ada. Keterkaitan ini
penting dibahas karena hal itulah yang mencerminkan
keseluruhan dengan arti bahwa unsur-unsur yang
dimaksud tidak dapat berdiri sendiri. Unsur-unsur
pesantren seperti yang telah kita ketahui adalah kyai,
santri, masjid, asrama dan pengajaran kitab-kitab klasik.
Jika boleh menambahkan maka dapat kita identifikasi
adanya unsur lain seperti nilai etika atau moral, metode
pebelejaran serta tujuan pendidikan yang bersifat

Volume 11, 1 Maret 2018 | 191


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

transenden seperti beriman sempurna, berilmu luas dan


berakhlaq sejati.
Unsur kiai, santri, masjid, asrama, kitab-kitab,
moralitas, metode dan tujuan pendidikan di pesantren
tidak dapat dipisah. Kiai sebagai figur utama menjadi
teladan moral etis dalam segala aspek kehidupannya bagi
para santri, baik keilmuan, sosial, budaya, moral, dan
lainnya. Sementara kiai digambarkan sebagai ulama yang
secara ikhlas mentransmisikan ilmu-ilmu agama kepada
para santrinya dengan penuh kasih sayang. Realitas ini
mampu menciptakan hubungan emosional yang kuat
antara kyai dan santri. Hubungan emosional ini tercipta
dari suasana pesantren yang didukung oleh sarana masjid,
asrama, dan pengajaran kitab-kita klasik.
Hubungan emosional antara kiai dan santri di
pesantren diwarnai oleh nilai-nilai moral. Menurut al
Farabi implementasi nilai moral dapat dilihat dari
kemampuan menerapkan ilmu yang didapat ke dalam
praktik kehidupan, yaitu ketika kita tahu mengenai sabar
dan syukur kemudian kita mampu mengamalkannya.
Dalam konteks pesantren moral beserta nilai-nilai yang
melingkupinya berfungsi sebagai unsur penguat inter-
connecttedness dalam keseluruhan unsur dari struktur
pesantren yang lebih cenderung bersifat transenden.
Persoalan moral di pesantren adalah persoalan
eksistensi kemanusiaan dalam segala aspeknya, baik
individu, bermasyarakat, hubungannya dengan Tuhan,
dengan sesama manusia dan dirinya, maupun dengan
alam sekitarnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi,
politik, budaya maupun agama.252 Lebih dari itu
pengamalan ilmu dan nilai moral spiritual dijadikan

252
Musa Asy’arie. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berfikir.
(Yogyakarta; LESFI.2008), 93

192 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

entitias yang tidak terpisahkan. Masalah moral tidak bisa


dilepaskan dengan tekad kiai dan santri dalam
menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan dan
mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian
moral.253 Nilai moral bagi pesantren bersifat universal
karena bersumber dari pemaknaan atas wahyu,
sebagaimana esensialisme memandang nilai suatu ide
bersifat permanen. Namun yang berbeda adalah bahwa
nilai menurut esensialisme ataupun perennialisme hanya
terbatas pada aspek rasio, ide, dan kultural tidak
menyentuh wahyu.254
Suksesnya pendidikan di pesantren dalam
melahirkan ulama-ulama bisa jadi terletak pada bukan
hanya caranya di/mempelajari tetapi pada proses
bagaimana mengantarkan seorang santri mengetahui ilmu
(materi) bukan hanya sebatas materi, tetapi juga makna
materi itu sendiri. Aksiologi ilmu modern yang ada hanya
mengantarkan manusia pada pengetahuan kebendaan,
sehingga hal itu tidak mampu menyelesaikan masalah
kemanusian dari dulu hingga sekarang.
Pendidikan Islam di pesantren sarat akan nilai-
nilai moral maupun etis. Nilai etika sangat urgen
kaitannya dalam proses pendidikan dan pembelajaran.
Pendidikan dan pengajaran bukanlah upaya memenuhi
otak anak didik dengan segala macam ilmu, tetapi
sekaligus mendidik akhlak dan jiwa mereka.255 Hal itu
karena tujuan dari pendidikan Islam di pesantren adalah
253
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta;Pustaka Sinar Harapan. 2002), 235
254
Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam..., 224. Bandingkan
dengan Musa Asy’arie. Filsafat Islam....h.95
255
Ibid. h.225. bandingkan dengan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan
Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. (Jakarta; Ciputat Pers.
2002), 34

Volume 11, 1 Maret 2018 | 193


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

menekankan pada tujuan akhir, yakni menghasilkan


manusia yang baik (sholih),256 dan mencapai kebahagiaan
tertinggi, yaitu kebahagiaan yang tidak hanya sebatas
kebahagiaan fisik, mental, logik, moral tetapi juga
kebahagiaan spiritual, 257
Orientasi pendidikan dan upaya memperoleh ilmu
dijadikan bekal kehidupan duniawi dan ukhrawi. Untuk
itu tidak hanya sekedar mengandalkan kapabilitas
rasional yang bernuansa antroposentris, tetapi ilmu
pengetahuan diperoleh juga melalui riyadhah dan
mujahadah258 untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT sebagai Sang Pencipta alam semesta. Model seperti
ini tidak dapat dicapai maupun ditransmisikan lewat
proses pendidikan dan pembelajaran ekplanasi, penalaran
maupun kritisisme intelektual.
Permasalahan mengenai nilai dalam perspektif
pendidikan Islam dan barat sangat berbeda. Jika
pendidikan Islam lebih mementingkan transendensi maka
barat lebih mementingkan sekularismenya. Pendidikan di
pesantren memandang bahwa nilai moral bukan hanya
terbatas pada etika yang bersinggungan dengan manusia
dan kehidupannya, yang hanya berpijak atas nilai-nilai
sosial, kultural, kemanusiaan yang serba antroposentris,
tetapi juga nilai moral yang berhubungan dengan etika
manusia terhadap Tuhannya. Nilai moral dalam
pendidikan pesantren dapat dianggap nilai yang
antroposentris sekaligus teosentris, yaitu nilai yang
256
Syed Muhammad al Naquib al-Attas. Konsep Pendidikan dalam Islam:
Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Haidar
Baqir. (Bandung; Mizan. 1987), 8
257
Lihat Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu. Panorama
Filsafat Islam. (Bandung; Mizan. 2005), 70-75
258
Lihat Mahmud Arif. Pendidikan Islam Transformatif. (Yogyakart;
LkiS. 2008), 262

194 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

bersumber dari nilai kemanusiaan (insaniyah) dan nilai


ketuhanan (Ilahiyah dan ruhiyah). Nilai kemanusiaan
berasal dari potensi dasar manusia yaitu daya cipta, rasa
dan karsa yang bersifat dinamis dan temporal (nilai
relatif), sedangkan nilai ketuhanan bersumber dari wahyu
(kalamullah) dan tanda-tanda ciptaan-Nya (kauni), yaitu
nilai yang kekal (nilai absolute) dan bisa diterapkan di
semua tempat dan waktu (shalih fi kulli zaman wa
makan).
2. Strukturalisme tidak mencari struktur di permukaan
tetapi di bawah atau di balik realitas empiris yaitu
kekuatan pembentuk struktur (innate structuring
capacity).
Kehidupan di pesantren diwarnai oleh suasana-
suasana yang tersimpul dalam apa yang disebut dengan
jiwa-jiwa kepesantrenan. Jiwa-jiwa inilah sebagai
kekuatan pembentuk struktur pesantren yang sulit
ditemukan pada lembaga pendidikan lainnya. Jiwa-jiwa
tersebut ialah :
a.) Keikhlasan. Bersikap ikhlas, yaitu sikap yang tulus
tanpa tendensi dan ditujukan hanya kepada Allah
SWT, jiwa ini merupakan cerminan dari tauhid dan
akidah yang kokoh. Hidup dipandang sebagai
ibadah. Oleh karenanya menjalankan syariat Islam
sebagaimana diajarkan oleh kiai di pesantren harus
dilaksanakan dengan ikhlas. Menurut Nur Salim di
pondok pesantren segala perbuatan dan
tanggungjawab dilakukan sebagai bentuk ibadah
yang murni disyariatkan, baik ibadah kepada Allah
(mahdah) maupun ibadah sebagai amal atau
perbuatan (ghairu mahdah) dengan didasari pada
sikap dan jiwa yang ikhlas tanpa pamrih untuk

Volume 11, 1 Maret 2018 | 195


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

menegakkan nilai agama.259 Keihklasan sendiri


dapat dimaknai menerima segala hal yang telah
ditetapkan Tuhan kepada manusia. Lebih dari itu
ajaran dari ulama atau kiai dijadikan dipegang
secara kokoh tanpa adanya bantahan yang tidak
logis. Justeru terkadang ajaran tersebut dianggap
sebagai bagian dari implementasi ibadah itu
sendiri. Dengan jiwa keikhlasan ini para santri
senantiasa dibiasakan untuk mencintai doktrin
agama Islam, berdedikasi pada masalah-masalah
agama.260 Meski demikian keikhlasan para santri
dan kiai tidak diartikan menerima segala nilai yang
ada, semisal kezaliman. Nilai keikhlasana
dilaksanakan secara proporsional selama tidak
menyalahi ruh dari syariat Islam itu sendiri. Dalam
contoh keseharian, para kiai ikhlas
mentransmisikan ilmunya, sementara santri ikhlas
dalam menerima semua ajaran kiainya tanpa ada
beban.
b.) Kesederhanaan. Hidup sederhana yaitu merupakan
refleksi dari sifat dan sikap zuhud, waro’, dan
qonaah dalam pengertian yang benar dan
proporsional. Sederhana bukan berarti miskin, tapi
situasional, kondusif dan hikmah. Kesederhanaan
para kiai dan santri tercermin dari sikap tidak
berlebihan dalam segala hal. Kesederhaan lebih
dijadikan benteng dalam menahan sikap mubazir
259
Sugeng Haryanto. Persepsi Santri Terhadap Perilaku Kepemimpinan
Kiai Di Pondok Pesantren ( Studi Interaksionisme Simbolik di Pondok
Pesantren Sidogiri – Pasuruan) Disertasi (UIN Malang, 2011), 302
260
Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai
Langgar di Jawa (Jogjakarta: LKiS, 1999), 141. Lihat juga Abdurahman
Wahid, Menggerakan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Jogjakarta: LkiS),
2001

196 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

terkait masalah keduniawian. Bagi pesantren sikap


berlebihan dianggap sama dengan hal yang
memabukkan. Oleh karenanya berlebihan sering
dianggap sebagai hal yang haram.
c.) Berdikari atau berjiwa mandiri. Berdikari
merupakan berarti tidak menggantungkan diri
pada orang lain, tapi memiliki kepribadian utuh
dan ideal serta percaya diri (self convidence).
Berdikari dalam perspektif kiai dan snatri tidak
dimaknai kepercayaan diri yang berlebihan (over
convidence), apalagi terlalu membanggakan diri
atau bahkan sombong dan angkuh. Kemandirian
kiai terlihat dari bagaimana mereka mengorganisir
segala tugas dan kewajibannya sebagai figur,
suami, guru dan tokoh masyarakat. Demikian juga
kemandirian santri terlihat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya selama di pesantren,
mengorganisir kegiatan sehari-hari, belajar mandiri
(otodidak) dan lain sebagainya.
d.) Ukhuwah Islamiah, yang dilandasi dengan iman,
dimotivasi oleh kebersamaan, persatuan dan
kesatuan (togetherness and unity). Pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang mampu
menciptakan persaudaraan yang kuat antar santri
dan kiai karena mereka datang ke pesantren dari
berbagai macam latar belakang hidup dalam rangka
menuntut ilmu agama sebagai implementasi
ibadah. Ilmu agama
e.) Berjiwa bebas, dalam artian merdeka dan bebas
berfikir, bebas menentukan sikap. Tentu atas dasar
iman, ilmu dan akhlaqul karimah, karena di
hutanpun orang tidak akan bebas. Jiwa kebebasan
di pesantren bermakna bahwa kia dan santri harus

Volume 11, 1 Maret 2018 | 197


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

merasa merdeka sebagai manusia dalam


menjalankan kehidupannya sehari-hari. Hal itu
karena diyakini bahwa manusia sejatinya makhluk
yang memiliki kebebasan berkehendak sesuai
dengan fitrah yang Allah tetapkan kepada manusia.
Meski demikian para kiai dan santri memahami
bahwa kebebasan manusia bukanlah kebebasan
total karena kebebasan individu memiliki batas
sesuai dengan nilai-nilai yang dipedomani dalam
hidupnya, baik nilai jasmaniah, spiritualisme dan
nilai intelektualisme. Kebebasan di pesantren
dibatasi oleh nilai-nilai agama, nilai kultural, nilai
bangsa hingga nilai-nilai moral lainnya.
3. Binary Opposition (pertentangan antara dua hal).
Dalam tataran empiris, keterkaitan antar unsur di
dalam struktur bisa berbentuk binary opposition
(pertentangan antara dua hal). Pertentangan di dunia
pesantren dapat dikatakan berasal dari internal dan
eksternal pesantren itu sendiri. Secara internal
pertentangan dalam struktur pesantren dapat diidentifikasi
dari perbedaan pandangan antara kiai dengan kiai lainnya
dalam satu pesantren, antara santri dengan kiainya dalam
pemahaman agama (fiqh). Sementara secara eksternal
dapat dilihat dari perbedaan pendapat antara masyarakat
dengan kiai dalam memahami realitas social maupun hal-
hal bersifat ibadah (fiqh) dan lain-lain, masjid dan gereja,
santri dan bukan santri, kyai dan kyai lainnya dan
sebagainya.
Dari penjelasan di atas, terdapat struktur yang
bersifat transenden i dunia pesantren, yang mampu
memberikannya kekuatan dalam mempertahankan
eksistensinya di tengah arus kehidupan masyarakat
Indonesia dengan permasalah sistem pendidikannya.

198 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

Selebihnya dalam struktur yang transenden tersebut kita


juga dapat mengidentifikasi beberapa agenda pesantren
dalam menghadapi tantangan global, di antaranya yaitu:
1. Kesadaran akanperubahan.
Sebagian pesantren di Indonesia telah mampu
melihat adanya perubahan-perubahan global yang terjadi
di sekitarnya. Dalam menanggapi hal itu, pesantren
berupaya membuka diri terhadap realitas sosial yang ada
dengan melakukan transformasi di bidang sistem
pendidikan. Mereka menyadari bahwa pesantren bukanlah
satu-satunya lembaga pendidikan yang mengajarkan
pendidikan agama (kalau juga mau dikatakan pendidikan
agama plus umum). Di luar sistem pesantren juga sudah
tumbuh subur system pendidikan keagamaan yang tidak
kalah maju dengan diterapkannya basis keilmuan imtaq
dan iptek seperti Madrasah dan Sekolah-sekolah umum
bernafaskan agama.
2. Kesadaran kolektif.
Orang-orang pesantren telah memiliki kesadaran
individu bahwa pesantren tidak bersifat ekslusif dan tidak
terbatas pada kelompok-kelompok tertentu dengan misi-
misi tententu yang tidak mencerminkan ‘ummatan
wahidah’. Meski terdapat kalangan pesantren yang
terpecah-pecah ke dalam kelompok fundamentalis,
moderat, liberal dan bahkan secular, sebagian besar
pesantren memiliki kesadaran atas misi utamanya
menegakkan agama Islam. Kesadaran orang-orang
pesantren bukan hanya sebatas pada pemahamannya atas
ideologi hidupnya, tetapi juga pemahaman kolektif untuk
menerima dan mengasihi dalam berbagai bidang, baik
politik, agama, keyakinan, social, budaya dan ekonomi.
Namun yang menjadi masalah menurut Kuntowijoyo,
banyak orang mengaku Islam (orang dari pesantren)

Volume 11, 1 Maret 2018 | 199


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

tetapi praktek ekonominya adalah kapitalis. Banyak orang


mengaku dari kalangan pesantren tetapi kesadarannya
tidak diikuti oleh prilaku pesantren yang menjunjung
tinggi keikhlasan, ukhuwah islamiyah sehingga muncul
tindak kekerasan terhadap golongan Islam lain.
3. Kesadaran sejarah.
Kesadaran individu orang-orang pesantren terarah
juga pada kesadaran sejarah karena kesadaran mereka
akan masa depan tidak hanya dikaitkan dengan tentang
masa depan individu masing-masing, teteapi juga masa
depan umat apalagi sejarah umat. Kesadaran sejarah
dalam hal ini adalah kesadaran individu pesantren bahwa
pesantren itu adalah masalah kolektifitas umat, yang mau
tidak mau harus ikut andil dalam menghadapi arus
perkembangan sejarah. Hal itu berarti bahwa individu
pesantren telah aktif sebagai subjek yang menentukan
masa depan sejarah pesantren itu sendiri, sejarah ummat,
dan sejarah bangsa. Mereka tidak lagi hanya menunggu
untuk dikendalikan kekuatan sejarah lainnya seperti
sejarah globalisasi sebagai objek.
4. Kesadaran tentang fakta sosial.
Fakta social menunjukkan perubahan tatanan nilai
yang begitu massive. Berubahnya pola komunikasi dan
tata cara belajar manusia di zaman informatif ini telah
memberikan cara pandang baru terhadap nilai dan moral
kehidupan. Saat ini pesantren telah menyadari akan fakto
sosial ini. Orang-orang pesantren tidak lagi terkejut dalam
menghadapi perubahan tatanan nilai yang bersifat
melawan arus nilai essensial. Dengan kesadaran itu
setidaknya pesantren dapat memberikan warna lain dalam
mencounter tatanan nilai yang ada di luar realita
pesantren sendiri.

200 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

5. Kesadaran akan masyarakat abstrak.


Masyarakat pesantren saat ini mulai menyadari
bahwa semakin modern peradaban sebuah masyarakat
maka semakin abstraklah masyarakat tersebut. Faktanya
komunikasi dalam berbagai bidang saat ini telah
bergantung pada sistem yang abstrak dan objektif, tidak
kepada orang yang kongkret dan subjektif. Komunikasi di
tengah-tengah masyarakat berlangsung secara lebih
efektif melalui simbol-simbol yang abstrak seperti
pengetahuan, seni, filsafat. Orang-orang telah benar-benar
melakukan ‘undzur maa qaala wa la tandzur man qaala’
lihatlah perkataannya jangan lihat siapa yang
mengatakannya. Dunia pesantren pun memiliki kesadaran
akan hal itu dan bereaksi dengan merekayasa agama, seni
dan ilmu agar umat (santri) memiliki kemampuan dakwah
yang menguasai symbol-simbol dan sesuai dengan
harapan masyarakat yang semakin mengagung-agungkan
symbol (abstrak).
E. Penutup
Sejak tahun 1994 Indonesia secara resmi telah
menjadi anggota World Trade Organization (WTO)
Sebagai anggota WTO, Indonesia harus bersiap
menghadapi liberalisasi di berbagai bidang, yang tentunya
dapat menyentuh jasa pendidikan di pesantren. Sebab di
antara kebijakan liberalisasi tersebut jasa pendidikan
merupakah salah satu sektor jasa dari 12 sektor yang
menjadi program liberalisasi, sebagaimana tercantum
dalam GATS (General Agreement on Tarrifs and
Services). Dengan kondisi demikian tidak menutup
kemungkinan pesantren juga sedikit banyak akan
dipengaruhi serta diwarnai oleh kondisi sosial masyarakat
di sekitar lembaga pendidikan tersebut berada.

Volume 11, 1 Maret 2018 | 201


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

Menghadapi tantangan yang bersifat global


tersebut pesantren perlu memperkuat sistem
kelembagaannya dengan langkah awal mengidentifikasi
secara jelas struktur dasarnya yang lebih bersifat
transenden. Kesadaran akan struktur ini penting karena
struktur itu sendiri mampu menampilkan unsur-unsur
otonom yang tidak dapat dirusak oleh apapun, kecuali
hanya dapat bertransformasi ke yang lebih baik dan
menguatkan struktur dasar yang sudah ada.
Dalam bingkai strukturalisme transendental, ciri
keseluruhan struktur pesantren berpusat pada keterkaitan
yang mengikat kuat antara unsur kiai (ulama), santri,
masjid, asrama, kitab-kitab klasik, metode dan tujuan
pendidikannya. Keterkaitan antara keseluruhan struktur
yang ada di pesantren diperkuat oleh adanya pembentuk
struktur (innate structuring capacity) yang bersifat di
bawah permukaan struktur, yaitu berupa nilai spirit yang
berada pada ranah kejiwaan yang disebut jiwa-jiwa
kepesantrenan. Jiwa-jiwa tersebut adalah keikhlasan,
kesederhanaan, persaudaraan, kebebasan dan
kemandirian. Untuk mendukung penguatan kelembagaan
pesantren tersebut, pesantren juga dibayangi oleh nilai-
nilai yang bersifat oposisional dalam rangka memperkuat
eksistensinya serta menguji kekuatan struktur dasar
kelembagaannya.
Lebih jauh pesantren memiliki kesadaran kolektif
atas sejarah, realitas sosial, politik, ekonomi, pendidikan,
budaya (seni) hingga kondisi masyarakat yang semakin
abstrak. Hal ini penting mengingat peran pesantren
semakin hari semakin dianggap lemah atas kondisi aksi
sosial politik dan ekonomi dalam memobilitas masyarakat
yang semakin kehilangan jati diri dan moral spiritual.

202 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

Dengan beberapa penjelasan di atas kebertahanan


pesantren apat diidentifikasi dari penguatan kelembagaan
yang mampu menjawab berbagai macam tantangan dari
luar diri hingga dari dalam dirinya. Lebih jauh diharapkan
pesantren mampu untuk bekerja, melayani dan
mengantarkan seluruh stake holder nya secara efektif,
efisien, kreatif dan dinamis, berkualitas serta lebih
menarik.

Volume 11, 1 Maret 2018 | 203


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

DAFTAR PUSTAKA

al-Attas, Syed Muhammad al Naquib, 1987. Konsep


Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Haidar Baqir. Bandung;
Mizan.

Arif, Mahmud, 2008, Pendidikan Islam Transformatif.


Yogyakarta: LKiS

Asrohah, Hanun. 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta


:PT. Logos Wacana Ilmu. Cet ke-1

Assegaf, Abd. Rahman. 2011, Filsafat Pendidikan Islam,


Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif
Interkonektif. Jakarta; Rajawali Pers.

Asy’arie, Musa. 2008, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam


Berfikir. Yogyakarta; LESFI.

Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999, Memelihara Umat: Kiai


Pesantren-Kiai Langgar di Jawa Jogjakarta: LkiS,

Haryanto, Sugeng. 2011, Persepsi Santri Terhadap Perilaku


Kepemimpinan Kiai Di Pondok Pesantren ( Studi
Interaksionisme Simbolik di Pondok Pesantren Sidogiri –
Pasuruan) Disertasi UIN Malang,

Kartanegara, Mulyadhi. 2005, Menembus Batas Waktu.


Panorama Filsafat Islam. Bandung; Mizan.

204 | E d u - I s l a m i k a
Khairul Umam

Kartasasmita, G., 2006, Peran Pondok Pesantren dalam


Membangun Sumberdaya Manusia Yang Berkualitas,
Makalah pada Milad ke 29 Pondok Pesantren Al Falah.

Kuntowijoyo. 2001, Muslim Tanpa Masjid. Mizan, Jakarta.

Luth, Thohir dkk., 2010, Pendidikan Agama Islam di


Universitas Brawijaya, Malang, PPA Universitas
Brawijaya.

Nashr, Sayed Hossein. 1981, Islamic Life and Thought.


London; Goeorge Allan&Uniwin.

Nizar, Samsul. 2002, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan


Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta; Ciputat Pers.

Suriasumantri, Jujun S. 2002, Filsafat Ilmu, Sebuah


Pengantar Populer.Jakarta;Pustaka Sinar Harapan.

Sutrisno Mudji dan Hendar Putranto (Ed), 2005, Teori-teori


Kebudayaan, Yogyakarta:Kanisius,

Suwarno. 1985, Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta;


Aksara Baru.

Wahid, Abdurahman. 2001, Menggerakkan Tradisi: Esai-


esai Pesantren Jogjakarta: LkiS.

Suprayogo, Imam. Kemandirian Pondok Pesantren dan


Tantangannya di Masa Depan. http://www.uin-
malang.ac.id/index.php?option=com_content&view
=article&id=1184:kemandirian-pondok-pesantren-dan-

Volume 11, 1 Maret 2018 | 205


TANTANGAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PESANTREN
DALAM BINGKAI STRUKTURALISME TRANSENDENTAL

tantangannya-di-masa-depan&catid=25:artikel-rektor
diakses pada tanggal 16 Januari 2012

http://pendis.kemenag.go.id/kerangka/pontren.htm. Diakses
pada tanggal 15 Juli 2014

http://103.7.12.157/pdpp/, diakses pada tanggal 20 Februari


2018

http://pendis.kemenag.go.id/kerangka/pontren.htm. Diakses
pada tanggal 15 Juli 2011

206 | E d u - I s l a m i k a

Anda mungkin juga menyukai