Anda di halaman 1dari 17

TUGAS 1

CHAPTER REPORT
(Living Issues in Philosophy, Chapter 11)

Mata Kuliah

: Filsafat Sains

Dosen Pengampu

: Prof. SOEPARMAN KARDI, M.Sc.,Ph.D

NAMA
NIM
KELAS
ANGKATAN

:
:
:
:

SYAHRI
147795087
P2TK-DIKDAS
2014

JURUSAN PENDIDIKAN SAINS


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2014

APA ITU AKAL?


(What is the Mind?)

Interpretasi dan pemahaman mengenai akal merupakan salah satu persoalan sangat penting yang
menjadi perhatian para filsuf saat ini, sekaligus merupakan salah satu teka-teki yang sangat
membingungkan.

KESULITAN MEMPELAJARI AKAL


Terdapat beberapa faktor penghambat dalam mempelajari akal, yaitu :
Pertama, penelitian tentang akal, manusia, dan interaksi sosial kurang mendapat perhatian di
masa lalu, khususnya dalam hal pendanaan, dibandingkan dengan penelitian terhadap obyek-obyek
fisik di sekitar manusia. Pada zaman sekarang, tren penelitian lebih berorientasi kepada eksploitasi
sumber daya alam dan pengembangan teknologi mesin. Kita telah mempelajari lebih banyak tentang
benda mati dan binatang daripada tentang manusia sendiri. Meskipun ada berbagai studi yang
diarahkan terhadap aspek kehidupan manusia, tetapi itu juga yang ada hubungannya dengan benda
mati dan binatang.
Penelitian sosial masih terbilang baru, yakni dimulai sekitar awal abad ke-20. Penelitian
sebelumnya yang lebih banyak diarahkan kepada obyek-obyek fisik selain manusia, secara perlahan
mengarah kepada obyek-obyek sosial yang intens menyelidiki tentang manusia. Penerapan metode
ilmiah dalam penelitian juga semakin meluas, yang pada awalnya hanya diterapkan dalam
matematika dan astronomi, kemudian berkembang dalam bidang fisiologi dan biologi. Selanjutnya,
belakangan ini juga diterapkan dalam bidang sosiologi dan psikologi.
Kedua, ilmu psikologi memiliki banyak aliran yang saling bertentangan. Psikologi sejatinya
merupakan cabang sains yang memungkinkan kita untuk memandang secara lebih obyektif serta
memberikan kita informasi dasar untuk merumuskan penjelasan mengenai apa sesungguhnya itu
akal. Akan tetapi, aliran dalam psikologi sendiri bermacam-macam sehingga belum ada kata sepakat
tentang metode apa yang akan digunakan atau sejauh mana batasan obyek dari psikologi itu sendiri.
Dalam meneliti akal, beberapa metode telah dipergunakan seperti penelitian tentang perilaku
obyektif, pendekatan genetik yang mencakup perkembangan anak atau perkembangan rasa,
penelitian tentang perilaku binatang, perilaku yang abnormal, mekanisme dan proses fisiologis,
introspeksi, persepsi ekstra-sensorik-- masing-masing dari metode tersebut dipakai secara parsial
oleh sebagian/sekelompok ahli psikologi saja.

Berbagai cabang psikologi menekankan studinya pada aspek yang berbeda dari pikiran atau
kebiasaan manusia. Pada awalnya (dikembangkan Sigmund Freud, Alfred Adler, C. G. Jung), cabang
ilmu psikologi yang disebut psikoanalisis diterapkan dalam dunia kedokteran. Akal manusia
dikategorikan kedalam tiga tingkatan, yakni sadar (conscious), prasadar (foreconscious), dan bawah
sadar (unconscious). Hal-hal seperti konflik dan obsesi terjadi di dalam ranah akal tersebut.
Behaviorisme (dikembangkan oleh John B. Watson, K. S. Lashley, Clark L. Hull dan E. C.
Tolman) dikembangkan dari penelitian-penelitian dalam bidang psikologi binatang. Metode dan
prinsip kerjanya kemudian diterapkan untuk meneliti perilaku manusia. Psikologi perilaku
mengarahkan perhatiannya kepada tingkah laku yang dapat diamati sebagai respon dari stimulus
atau perilaku terkondisikan.
Psikologi Gestalt (dikembangkan oleh Marx Wertheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler)
merupakan reaksi penolakan terhadap metode analitik dan atomistik yang diusung oleh aliran-aliran
psikologi sebelumnya; menekankan pandangan bahwa keseluruhan itu lebih besar dari sekadar
jumlah bagian-bagiannya; sering keseluruhan itu memiliki kualitas yang tak terdapat dalam bagianbagiannya.
Menurut psikologi Gestalt, susunan atau pola merupakan hal mendasar, dan kepribadian
adalah suatu keseluruhan yang teroganisir. Dengan demikian, kerangka berpikir atau sudut pandang
seorang pengamat merupakan hal urgen. Penelitian terbaru di bidang parapsikologi mencoba
menguak misteri tentang persepsi ekstra-sensorik (Extrasensory Perception).
Beberapa aliran lain dalam psikologi antara lain disebut hormik (hormic), holistik (holistic),
organismik (organismic), atau personalistik (personalistic). Terdapat pula aliran-aliran lain yang
sekarang tidak lagi ternama, dan terdapat pula psikolog-psikolog yang tidak mau digolongkan ke
dalam suatu aliran tertentu.
Ketiga, sangat sulit untuk bersikap obyektif dalam meneliti akal. Jika kita berusaha bersikap
obyektif, kita telah kehilangan hal yang ingin diteliti. Dalam dunia sains, variabel-variabel yang
bersifat unik, tidak bisa dikontrol, dan tidak bisa diulangi pada penelitian-penelitian selanjutnya,
seperti hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik kemanusiaan akan dihindari untuk
mendapatkan hasil yang lebih obyektif. Kasus penelitian tentang akal ini mirip dengan penelitian
mengenai elektron yang tidak dapat diteliti tanpa mengusiknya, sehingga para ilmuwan tidak dapat
menentukan posisi dan momentumnya secara tepat pada waktu yang sama.
Disinilah letak permasalahan yang sesungguhnya ketika kita mencoba meneliti akal. Dapatkah
akal menjadi subyek sekaligus menjadi obyek penelitian pada waktu yang sama? Jika ada suatu
bidang dari kehidupan manusia yang khusus dan tidak dapat diamati secara umum, dan jika sains itu
suatu pengetahuan yang dapat diperiksa benar tidaknya secara obyektif, maka sains akan

menghadapi problema besar jika berusaha untuk menyelidiki akal. Seorang yang ahli memberi
tafsiran tentang alam, ia akan menemui kesulitan jika ia ingin memberi interpretasi tentang akalnya
sendiri dan akalnya orang lain. Dia tak akan dapat yakin tentang apa yang ia selidiki, bagaimana ia
harus menafsirkan hasilnya, ketepatan dan relevansi pengamatannya dan apakah pengaruh hasilhasil tersebut terhadap teori akal.
Pada akhirnya, sampai sekarang tidak ada kata sepakat tentang kapan dan bagaimana akal itu
muncul dalam proses evolusi yang panjang. Jawabannya bergantung kepada definisi kita tentang
akal dan pandangan kita tentang dunia atau interpretasi kita tentang alam. Jika kita mendefinisikan
akal sebagai perilaku adaptasi (adapting behavior), proses adanya akal mungkin dimulai dari
amuba atau bentuk kehidupan lain yang berkembang secara bertahap dan perlahan dari struktur
sederhana menjadi organisme yang lebih kompleks. Akan tetapi, penjelasan ini belum memberikan
jawaban yang memuaskan. Adanya perbedaan yang sangat besar antara manusia dengan berbagai
spesies lainnya saat ini belum terjawab. Dari sudut pandang lain, jika kita memilih penjelasan bahwa
akal itu adalah pikiran yang abstrak, maka akal itu hanya terdapat pada manusia.

TEORI-TEORI TENTANG AKAL


Dalam sejarah perkembangannya, sejumlah teori mengenai akal telah diusulkan. Tetapi, teoriteori tersebut secara sederhana dapat dibagi menjadi 4 : (1) akal sebagai substansi, (2) akal sebagai
kesatuan organik atau pribadi, (3) akal sebagai kumpulan pengalaman, dan (4) akal sebagai bentuk
perilaku.

A. Akal Sebagai Substansi


Akal dapat ditafsirkan sebagai kesatuan yang non-material, yang tak dapat dibagi dan abadi.
Istilah substansi dipakai dalam filsafat untuk menunjukkan suatu realitas yang bersifat primer atau
yang memiliki kualitas. Marilah kita mengambil dua contoh. Lilin adalah suatu substansi yang
mempunyai beberapa kualitas: seperti warna kuning (keruh kecuali jika dimurnikan), plastik (dapat
diremas jika hangat), melekat, tak dapat ditekan dan lain-lain. Apakah yang tinggal jika anda
menghilangkan kualitas-kualitas tersebut? jawabannya, yang tinggal adalah substansi. Yakni sesuatu
yang mempunyai kualitas. Sekarang kita bicara tentang akal. Akal mempunyai aspek-aspek kualitas
seperti dapat paham, berpikir, ingat dan mengkhayalkan. Apakah yang tertinggal jika anda
mengambil kualitas-kualitas tersebut. jawabannya, yang tertinggal adalah substansi, yakni substansi
yang immaterial.

Pandangan ini dikembangkan sejak zaman Yunani Kuno dimana Plato sebagai tokoh kuncinya.
Perhatian besarnya adalah manusia, terutama tentang akal manusia. Plato membagi watak manusia
ke dalam tiga bagian. Pertama, bagian rasional, terletak di dalam otak. Unsur rasional manusia
adalah esensi suci, atau substansi, dan harus dibedakan dari badan dimana akal itu terpenjara. Yang
kedua adalah bagian yang merasa, tempatnya di dada. Yang ketiga, unsur kehendak atau nafsu,
tempatnya di perut. Unsur ini bersifat tidak teratur. Oleh karena itu, unsur kehendak atau nafsu
harus dikontrol oleh akal.
Akal dan badan mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya, akan tetapi menurut
Plato perbedaan keduanya sangat nyata. Jiwa, yang tak dapat dibagi berasal dari alam ide yang
abadi, yang tempatnya jauh di atas dunia pengalaman yang selalu berubah dan berlalu. Jiwa dapat
tercemar karena berhubungan dengan benda. Suatu ketika jiwa akan meninggalkan badan dan
kembali kepada tempatnya yang abadi.
Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi pikiran Plotinus dan
Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja Masehi. Pandangan Plato banyak dianut
orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang dicetuskan
oleh Descartes, pikiran Plato meresap ke dalam pemikiran modern.
Descartes, seorang filsuf besar pada abad ke-17, menguatkan teori bahwa akal adalah
substansi. Dimulai dari menyangsikan segala bentuk kebenaran dan pengetahuan pada zamannya, ia
kemudian memutuskan untuk mempersoalkan segalanya dan memulai suatu cara untuk
menyangsikan secara sistematik, dan berusaha mendapatkan apa yang akhirnya mustahil untuk
disangsikan lagi.
Dari kondisi ragu secara sistematis, Descartes merumuskan keyakinan yang kuat bahwa aku
itulah yang ada. Pernyataannya yang terkenal adalah cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku
ada. Descartes menemukan bahwa ada setidaknya satu akal, yakni akalnya sendiri, yang tidak dapat
disangsikan. Inilah hal yang tak dapat dipisahkan dariku, aku ada, ini sudah tentu, tetapi berapa
kali? Ya, selama aku berpikir, karena barangkali akan terjadi bahwa aku berhenti berpikir, dan
berbarengan dengan itu aku tidak lagi ada. Dari sini ia meyakinkan adanya akal lain, adanya Tuhan
serta adanya alam materi. Dunia luar menunjukkan adanya, melalui indra, dan ia tidak percaya
bahwa ia dapat ditipu.
Menurut Descartes, terdapat dua substansi, yakni akal dan materi. Ia membuat perbedaan
yang jelas diantara keduanya. Akal itu bersifat immaterial. Akal adalah kesadaran, dan karakter
utamanya adalah berpikir. Oleh karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh
Tuhan yang merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Karakteristik

dari materi adalah ekstensi atau luasan. Tubuh manusia adalah bagian dari alam materi yang tunduk
kepada hukum-hukum fisika dalam kerangka mekanistik.
Penjelasan Descartes tentang akal sebagai substansi yang berdiri sendiri menjadi tonggak
sejarah perkembangan yang panjang dalam filsafat modern dan pemikiran ilmiah yang kadangkadang dinamakan bifurkasi (percabangan dua) alam (bifurcation of nature). Dualisme Descartes
tentang akal dan badan (atau materi) memungkinkan kita untuk menginterpretasikan alam di luar
diri kita secara mekanik dan kuantitatif, serta memungkinkan menempatkan aspek kehidupan yang
lain dalam bidang akal atau jiwa. Dikotomi antara akal dan materi, jiwa dan badan, batin dan raga,
masih tetap dianut oleh beberapa kalangan filsuf hingga saat ini.

B. Akal Sebagai Kesatuan Organik atau Personal


Aristoteles, murid Plato yang terkenal, walaupun pada dasarnya mendukung beberapa aspek
dari teori akal sebagai substansi, memiliki sudut pandang yang baru seperti yang akan kita bicarakan
sekarang. Menurut Plato, ide-ide adalah bentuk-bentuk yang abadi yang wujud sejatinya berada di
alam lain; ide kita tentang dunia ini hanya merupakan salinan dari bermacam-macam derajat
kebenaran, dari ide yang abadi. Menurut Aristoteles, bentuk-bentuk itu berada di dalam benda atau
di alam ini. Form itu yang membentuk, prinsip-prinsip dinamis yang mengatur dan mengarahkan
materi. Dari sudut pandang ini, jiwa (soul) adalah prinsip kehidupan, kumpulan dari proses
kehidupan, prinsip yang aktif untuk mengatur proses-proses ini. Akal atau pikiran adalah kekuatan
atau fungsi tertinggi dari jiwa (soul). Dalam usaha untuk mempersatukan akal dan badan, Aristoteles
menyimpang dari pendirian Plato dan mendekati pendirian bahwa akal itu adalah proses dan fungsi.
Menurut Plato alam ide atau bentuk yang abadi ada diluar dunia indra. Sedangkan menurut
Aristoteles, bentuk (form) itu berada di dalam materi.
Pada akhir abad ke-18, Immanuel Kant mengkritik pandangan tradisional yang mengatakan
bahwa akal itu merupakan substansi; pandangan tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat
menjadikan aku-nya dan akal-nya sebagai obyek langsung untuk diketahui. Menurut Kant, yang
kita ketahui secara pasti adalah pengalaman-pengalaman kita. Akal lah yang mengetahui, yang selalu
menjadi subyek, bukan obyek pengetahuan.
Menurut pandangan Kant, jika ada pengetahuan maka ada juga kesatuan (unity). Jika ada
ingatan, tentu ada sesuatu yang melakukan ingatan (mengingat) tersebut. Pengalaman-pengalaman
yang beragam diorganisasikan mengikuti suatu prinsip penataan. Kant menggunakan istilah
kesatuan apersepsi sintesis (sythetic unity apperception) atau kesatuan apersepsi transendental
(transcendental unity of apperception) yang merupakan kesatuan organik atau pribadi yang bersifat
transenden (di luar kemampuan manusia) atau melampaui bagian-bagian pengalaman. Kesatuan ini

disebut diri (self). Diri atau jiwa kadang-kadang dikatakan sebagai tempat dimana bentuk-bentuk
pengetahuan berada. Terkadang, diri dan akal dianggap sebagai sesuatu yang sama.
Menurut Kant, akal itu aktif. Akal itu membentuk sistem pengetahuan dari berbagai data yang
diperoleh dari indera. Kant beranggapan bahwa ruang dan waktu serta aspek-aspek yang lain
merupakan bentuk-bentuk (forms) pikiran. Akal bukanlah substansi mental yang berdiri sendiri. Akal
adalah penataan dan kesatuan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia.

C. Akal Sebagai Kumpulan Pengalaman


Pada abad ke-18, David Hume merupakan kritikus yang tajam terhadap pandangan tradisional
tentang akal sebagai substansi yang terpisah. Sebelum zamannya Kant, Hume sudah menyerang
dualisme Plato dan Descartes. Tetapi Hume tidak berpendapat bahwa terdapat kesatuan pribadi
atau aku. Hume menggunakan empirisme dalam penarikan kesimpulan dan menyerang ide tentang
substansi dan rasionalisme pada zamannya. Semua pengetahuan datang melalui pengalaman dan
satu-satunya isi dari akal manusia adalah kesan-kesan dan ide-ide. Kesan adalah pengalaman yang
sederhana dan elementer. Kesan-kesan itu jelas dan terang. Ide hanya merupakan salinan dari
berbagai kesan. Jika kita melakukan introspeksi, kita hanya menemukan pengalaman yang berlalu
dan ide-ide yang selalu berubah. Tak ada bukti tentang substansi atau diri (self) yang permanen.
Pada bagian yang berjudul Identitas personal di dalam bukunya The Treatise of Human
Nature, Hume berkata :
Ada beberapa filsuf yang membayangkan bahwa setiap saat kita memiliki kesadaran
mendalam yang kita sebut sebagai diri (SELF); yang kita rasakan eksistensinya dan eksistensi
tersebut ada secara terus-menerus; dan para filsuf itu meyakini, meskipun tanpa bukti yang
bisa diajukan, bahwa konsep diri (self) merupakan hal yang sempurna dan sederhana...
Bagiku, ketika Aku (I) mencoba masuk ke bagian paling dalam dari apa yang disebut diriku
(myself), aku hanya menemukan bagian-bagian dari persepsi tertentu; panas atau dingin,
terang atau gelap, cinta atau benci, rasa sakit atau kesenangan. Aku tidak pernah bisa
mendapati diriku (myself) setiap saat tanpa persepsi, dan tidak pernah dapat mengamati apa
pun selain persepsi. Ketika persepsiku berhenti pada suatu waktu tertentu, karena sedang
tidur nyenyak; begitu lama sampai aku tidak lagi menyadari diriku (myself), dan mungkin
benar-benar dapat dikatakan bahwa diriku (myself) memang tidak ada

Apakah akal itu menurut Hume? Bagi Hume, akal serta sifat-sifat kehidupan mental tidak lain
adalah asosiasi ide-ide dan pengalaman. Akal (mind) hanyalah istilah bagi sekumpulan pengalaman,
ide dan keinginan yang berkesan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan suatu kumpulan
pengalaman atau rasa inderawi.
Bagaimana kita mendapatkan kesan mengenai kesatuan (unity)? Menurut Hume, sekumpulan
sensasi yang kita terima diatur oleh tiga hukum asosiasi, yaitu (1) asosiasi berdasarkan
kesamaan/kemiripan, (2) asosiasi berdasarkan kedekatan ruang dan waktu, dan (3) asosiasi
berdasarkan hubungan sebab-akibat.

Hume adalah seorang filsuf yang berpandangan skeptis; ia adalah seorang empiris sejati.
Hume meragukan setiap pengetahuan selain yang diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Namun,
seperti yang kita temukan dalam kutipan di atas, Hume terus-menerus menggunakan seperti aku (I)
dan diriku (myself) yang menyiratkan adanya kesatuan (unity) dari pribadi yang cukup konstan.
Sebagaimana diketahui bahwa sulit untuk menempatkan diri (self) sebagai subyek dan sekaligus
obyek pada saat bersamaan, apakah tidak dibenarkan untuk menegaskan eksistensi dari diri (self)
sekaligus menolaknya?

D. Akal Sebagai Bentuk Perilaku


Sebagian filsuf dan psikolog berangggapan bahwa akal hanyalah bentuk dari perilaku.
Sebagian dari mereka menyangkal bahwa istilah-istilah seperti akal (mind) dan kesadaran
(consciousness) memiliki isi dan nilai yang sebenarnya. Mereka lebih memilih pembahasan mengenai
aktivitas neuromuskular. Kelompok ini adalah behavioris yang lebih ekstrem, yang akan di bahas di
bagian selanjutnya. Sementara yang lain, seperti instrumentalis, hanya menolak pandangan
mengenai dualisme akal-badan dan menekankan kepada perilaku intelegensi. John Dewey adalah
wakil nomor satu dari aliran instrumentalis. Karena kita akan membicarakan pandangannya secara
detail pada bab terakhir, maka di sini kita hanya menyinggungnya secara ringkas.
Bagi Dewey, akal tidak lagi merupakan kata benda, tetapi merupakan kata sifat yang
menggambarkan berbagai perilaku tertentu. Tidak ada akal (mind) yang terpisah, independen
serta memiliki kemampuan berpikirnya sendiri; seperti konsep tentang pikiran yang disandarkan
pada kekuatan misterius di luar alam dan tidak terjangkau oleh kemampuan kita. Akal (mind) dan
pikiran (thought) menjadi aspek fungsional dari interaksi kejadian-kejadian alam. Akal hanyalah
perilaku cerdas. Berdasarkan sudut pandang ini, kita dapat menyimpulkan bahwa akal merupakan
sebuah bagian dari alam, dari obyek, atau dari organisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari
suatu kesatuan, bukan terdiri dari dua aspek yakni badan dan akal. Dewey menolak semua
pandangan tentang dualisme dan konsep penonton terhadap akal. Alam dalam diri manusia
hanyalah kecerdasan yang terus bertumbuh.
Gilbert Ryle dalam bukunya Concept of Mind menunjukkan sikap yang sama kerasnya
dengan sikap Dewey dalam menyerang pandangan dualisme akal-badan, dan menegaskan bahwa
akal bukanlah sesuatu yang berbeda dan terpisah dari badan dan materi. Akal adalah cara
bagaimana seseorang bertindak. Akal (mind) bukan sebuah alam lain yang sejajar (paralel) atau
berada diluar pada tingkat yang lebih tinggi dari dunia yang kita alami. Ryle berusaha untuk
melepaskan diri dari yang disebutnya dogma tentang hantu dalam mesin dan mengoreksi
kesalahan kategori atau mitos filsuf. Kesalahan atau mitos ini akan terjadi ketika kita

menempatkan fakta-fakta dari kehidupan mental dalam kategori atau tingkatan yang tidak sesuai.
Ryle mengilustrasikan seorang asing yang mengunjungi sebuah kampus universitas. Anggaplah
bahwa setelah melihat ruangan-ruangan fakultas, perpustakaan, asrama para mahasiswa, lapangan
olahraga, kantor administrasi dan aktivitas-aktivitas yang ada sangkut pautnya dengan semua itu, ia
meminta untuk melihat universitas. Ia akan mendapati jawaban bahwa universitas adalah penataan
gedung-gedung tersebut serta kegiatan-kegiatan yang baru saja ia lihat. Menganggap bahwa
universitas merupakan kesatuan dari hal-hal yang telah ia saksikan adalah keliru. Begitu juga
mengatakan bahwa akal (mind) atau kesadaran (consciousness) adalah suatu dunia dibalik atau
diluar aktivitas adalah suatu kesalahan. Makna yang sesungguhnya dari akal (mind) adalah
penjelasan mengenai gambaran bagaimana seseorang berperilaku.

HUBUNGAN AKAL-BADAN
Masalah hubungan akal-badan adalah isu yang tetap hangat yang dihadapi manusia semenjak
berabad-abad. Dari zaman Descartes pada abad ke-17, masalah tersebut sudah menjadi isu utama.
Hal itu dipicu oleh dominasi sains yang terus meningkat, dengan keinginan untuk melukiskan dunia
dalam istilah-istilah kuantitatif dan matematis. Hal tersebut juga dipengaruhi aliran dualisme yang
dipelopori oleh Descartes dengan membedakan secara tegas antara akal dan badan. Dualisme
Descartes mendorong kita kepada kesulitan-kesulitan. Dalam pandangan bahwa akal dan badan itu
merupakan substansi yang terpisah, bagaimana akal dapat menimbulkan perubahan dalam badan
atau sebaliknya? Umpamanya saja tindakan menggerakkan tangan, atau menulis atau berjalan?
Bagaimana sesuatu yang dinamakan akal dapat menimbulkan gerakan-gerakan fisik yang terdapat
dalam perbuatan-perbuatan tersebut? Dan bagaimana sesuatu yang terjadi terhadap badan,
umpamanya terlempar ke arah meja, dapat menimbulkan sesuatu yang bersifat mental, seperti rasa
kesakitan?
Interpretasi masalah akal-badan sangat beragam. Dari pengingkaran akal atau pandangan
materialisme totalitarian, sampai kepada pendirian bahwa akal adalah realitas yang kukuh, sedang
yang kita namakan materi adalah ilusi, produk sampingan dari akal atau kesadaran; namun
kebanyakan penafsiran menjauhi sikap yang ekstrim. Ada anggapan yang secara umum dianut
bahwa akal dan badan itu merupakan kesatuan yang kompleks, akal manusia juga merupakan
kesatuan yang kompleks, walaupun dibuat dari bahan lain yang mempunyai struktur yang berlainan
pula.

Pada bagian ini akan disajikan beberapa beberapa pandangan baik dari para filsuf terdahulu
maupun para filsuf terkini untuk menjawab persoalan tersebut. Di dalam diagram-diagram berikut,
lingkaran berwarna putih mewakili mental atau akal; lingkaran berwarna hitam mewakili aspek fisik
atau badan; tanda X mewakili hal yang tidak diketahui; dan garis lurus mewakili hubungan sebabakibat.

A. INTERAKSIONISME
Kita memulai dengan apa yang dinamakan pandangan orang awam (common-sense view) yang
diterima secara luas. Sandangan tersebut telah dikenal luas dalam diskusi-diskusi filsafat semenjak
zaman Descartes. Dalam membicarakan tentang pandangan bahwa akal itu merupakan substansi,
kita telah melihat bahwa Descartes membuat pemisahan yang tegas antara akal dan materi. Akal
bersifat non materi atau substansi ruhaniah yang berpikir, sedangkan materi adalah suatu substansi
yang sifat pokoknya adalah keluasan (extension). Penyajian Descartes ini adalah ekspresi dari
pandangan orang awam. Tanpa perlu mempelajari pandangan filsafat Descartes, atau ajarannya
mengenai hubungan akal-badan, kita dapat menerima pandangan interaksionisme.
Menurut interaksionisme, di samping hubungan sebab-akibat fisik, dan hubungan sebabakibat psikis, akal juga dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada badan, dan sebaliknya
perubahan badan dapat menimbulkan efek mental. Diagram berikut mengilustrasikan hubungan
tersebut :

Banyak orang yang merasa terkesan dengan gagasan hubungan sebab-akibat atau hubungan
timbal-balik antara proses mental dan badan. Sebagai contoh, kondisi fisik kita mempengaruhi
keadaan mental kita; perubahan-perubahan badan mempengaruhi pandangan mental kita. Penyakit
dalam otak mempengaruhi kehidupan mental dan pikiran kita. Suatu pukulan di kepala kita atau uap
chloroform mungkin menyebabkan kita kehilangan kesadaran. Pengaruh mental dari obat bius,
alkohol dan kopi telah diakui hampir oleh seluruh dunia. Jika pencernaan atau pembuangan kotoran
badan terganggu, seseorang bisa mengalami depresi atau pengaruh lainnya. Biasanya kita tidak
dapat berpikir secara jernih atau berkonsentasi kecuali jika proses badan kita berjalan lancar. Lebih
dari itu, jika otak dan sistem syaraf kita berkembang baik, kekuatan akal kita juga bertambah.

Pengalaman mental juga mempengaruhi proses badan kita. Sebuah ide yang menarik akan
membuat kita lebih bersemangat bahkan dalam melakukan aktivitas yang berat. Keresahan jiwa
dapat mengganggu kesehatan. Ketakutan menyebabkan jantung dan anggota badan lainnya
bereaksi. Marah atau tenaga mental yang biasa dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. Keyakinan
kita akan hubungan sebab-akibat ini akan semakin bertambah jika kita melihat fakta-fakta dalam
ilmu pengobatan, khususnya dalam dunia kedokteran, bahwa kondisi mental dapat menyebabkan
penyakit organik atau fungsional, dan bahwa daya tahan terhadap penyakit dapat dipengaruhi oleh
keadaan mental. Fakta menunjukkan bahwa gigi dapat mengalami kerusakan lebih cepat jika
seseorang selalu mengalami emosi. Dahulu hipnotis dipakai untuk pembiusan (anesthesia), sebagai
terapi bagi pecandu alkohol dan untuk mengontrol proses dan gerak-gerik. Seorang pasien yang
telah dihipnotis akan mengatakan kulitnya melepuh akibat logam yang menyentuhnya, karena dia
diberi sugesti bahwa ia sedang terbakar; padahal logam yang menyentuh kulitnya itu dingin, tidak
panas.
Meskipun sudah banyak buktinya serta mendapat dukungan yang luas, teori interaksionisme
tetap saja mendapat kritikan yang tajam. Interaksionisme masih menyisakan beberapa pertanyaan:
bagaimana mungkin dua substansi atau entitas yang hakikatnya sangat berlainan dapat
berinteraksi?. Adanya hubungan sebab-akibat antara perubahan dalam otak atau sistem syaraf dan
gerak otot dapat dimengerti. Tetapi, hubungan sebab-akibat antara suatu ide dan gerak fisik sulit
dipahami. Dua aspek ini nampak masing-masing berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri (self-sufficient).
keberatan kedua yang diajukan terhadap pandangan interaksionisme didasarkan pada hukum
konservasi energi atau yang lebih populer dengan istilah hukum kekekalan energi. Hukum kekekalan
energi menyatakan bahwa jumlah energi di alam semesta adalah konstan atau tetap. Energi dapat
berubah bentuk, tetapi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Akan tetapi, teori interaksi
menyiratkan bahwa energi mental dapat memasuki bidang fisik manusia, demikian pula energi fisik
dapat diserap dalam aktivitas-aktivitas mental.
Menanggapi kritikan seperti itu, para interaksionis akan berdalih bahwa kenyataan adanya
interaksi akal-badan adalah fakta yang tidak dapat disangkal, dan teori-teori seperti halnya teori
kekekalan energi yang tidak sejalan dengan hal tersebut perlu direvisi atau dibatasi ruang lingkup
pengaplikasiannya.

B. PARALELISME
Untuk menjawab kritik terhadap interaksionisme, muncullah aliran paralelisme. Menurut
aliran tersebut, tidak ada interaksi atau hubungan sebab-akibat antara kedua aspek (akal-badan).

Proses mental dan proses fisik, masing-masing keduanya nyata tetapi tidak ada hubungan sebabakibat di antara keduanya; masing-masing berjalan secara paralel dan independen.

Menurut teori paralelisme, hubungan sebab-akibat itu tetap terjadi hanya saja dalam
ranahnya masing-masing. Suatu kejadian mental dapat menyebabkan kejadian mental lain, dan
suatu kejadian fisik dapat berhubungan dengan kejadian fisik lainnya. Untuk menjelaskan hal
tersebut, dianalogikan seperti dua kereta api yang masing-masing berjalan di atas relnya secara
sejajar. Walaupun kedua kereta api itu paralel dan nampak bergerak bersama, pada hakikatnya,
keduanya berjalan menurut kerangka sistemnya masing-masing dan tidak terdapat hubungan sebabakibat di antara keduanya.
Contoh klasik tentang pandangan ini adalah sikap filosof dari Leibniz (1646-1716).
Menurutnya, terdapat suatu keserasian yang sudah diciptakan sebelumnya (preestablished
harmony) dalam akal Tuhan dan penciptaan. Dua jam mungkin berjalan bersama-sama, dan
menunjukkan waktu yang tepat, oleh karena telah diciptakan begitu rupa, sehingga mereka dapat
berjalan dalam keserasian. Leibniz percaya bahwa dunia telah diciptakan dan diatur agar akal dan
materi selalu dapat bekerja dalam harmoni. Jalannya alam ditentukan oleh kekuatan yang terdapat
dalam masing-masing unsur.
Paralelisme tidak pernah mendapat dukungan luas seperti aliran interaksionisme dan
beberapa teori lain. Paralelisme tampak seolah-olah telah membelah dunia menjadi dua bagian,
mengingkari adanya masalah, dan bukan mencari penjelasan. Banyak fenomena kejadian yang sulit
dipahami dengan kacamata paralelisme. Sebagai contoh, jika bel pintu berbunyi, kita dengan
spontan mengerti bahwa ada seorang di muka pintu. Bagaimana itu bisa terjadi? Jika kita sedang
asyik bermain-main dengan pikiran, kita akan merasa jengkel saat ada kejadian yang mengusik.
Selain itu, interpretasi paralelisme menjadikan akal itu tidak ada gunanya dalam evolusi dan
perjuangan manusia secara fisik. Padahal, kebanyakan manusia mempercayai bahwa kemampuankemampuan akal kitalah yang membuat kehidupan menjadi lebih efektif dan efisien, dimana
kemampaun berpikir manusia telah membawa dampak sangat besar bagi perubahan-perubahan
dunia secara fisik. Atas dasar pertimbangan itu, penjelasan paralelisme mengenai hubungan antara
akal dan badan kurang dapat diterima

C. TEORI ASPEK GANDA ATAU IDENTITAS


Menurut teori aspek ganda, baik akal maupun badan bukanlah entitas yang terpisah dan
berdiri sendiri. Keduanya merupakan representasi dari aspek yang lebih mendasar. Jika kita
melihatnya dari dalam (secara subyektif), maka yang tampak adalah akal. Sedangkan jika kita
mencoba menyasikannya dari luar (obyektif) maka yang tampak adalah badan atau materi. Akal dan
badan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang identik. Keduanya merupakan dua sisi yang berbeda dari
sesuatu yang sama (sesuatu yang tidak diketahui, X). Sebagai individu, kita mengetahui bahwa
kehidupan internal kita yang paling mendalam, atau sisi pertama, kita menyebutnya sebagai mental.
Sedangkan dunia yang kita kenal hanya lewat sisi kedua, atau melalui kesan yang ditangkap oleh
organ-organ indera, kita menyebut bagian ini sebagai dunia fisik.

Baik Spinoza maupun Immanuel Kant menganggap bahwa akal dan badan merupakan dua
aspek dari realitas tunggal. Menurut Spinoza yang seorang penganut panteisme, hanya ada satu
realitas, yakni Tuhan. Menurut Kant, realitas adalah sesuatu yang tertutup, tidak diketahui. Kedua
aspek, yakni aspek fisik dan psikis tampaknya terhubung secara kausalitas.
Para pendukung teori ini mengklaim bahwa teori aspek ganda atau identitas mampu
menjawab semua keberatan yang diajukan terhadap dua teori sebelumnya. Terdapat satu dunia
yang terintegrasi secara spasio-temporal dan berjalan secara kontinu. Mereka juga mengklaim
bahwa teori ini tidak melanggar prinsip hukum kekekalan energi. Dengan demikian, tidak ada lagi
misteri mengenai separasi aspek mental dan materi, keduanya berjalan secara terintegrasi.
Orang-orang yang mengkritik pandangan ini berpendapat bahwa terlalu banyak perbedaan
yang harus dijelaskan mengenai aktivitas mental dan fisik jika kita menggunakan pendekatan ini.
Bagaimanapun, akal tidak menempati ruang, dan sampai batas tertentu, ia membentuk kejadian di
masa depan. Sementara aktivitas-aktivitas fisik sendiri berlangsung di dalam ruang dan tunduk
terhadap hukum-hukum mekanik. Selain itu, pendekatan menggunakan sesuatu yang tidak diketahui
(X) masih sulit dijelaskan. Teori ini masih menyisakan masalah dualisme yang belum terpecahkan.

D. EPIFENOMENALISME DAN PENGINGKARAN TERHADAP AKAL


Teori mengenai akal yang lebih populer di kalangan saintis adalah epifenomenalisme.
Menurut pandangan teori ini, kesadaran atau akal adalah dampak pengiring atau fenomena
sekunder dari aktivitas fisik. Aktivitas mental disebabkan oleh aktivitas-aktivitas fisik. Materi adalah

bagian primer, substansi yang nyata. Kesadaran pada prinsipnya merupakan konsekuensi dari
perubahan aktivitas neuron (saraf). Apa yang kita sebut sebagai akal adalah cerminan atau bayangan
dari beberapa proses fisik tertentu. Sejumlah proses terjadi di otak, kemudian sistem syaraf
menghasilkan sensasi, perasaan, emosi, imajinasi, pikiran, atau jenis-jenis kesadaran yang kita alami.
Teori ini menganggap bahwa hukum-hukum fisika dan kimia berlaku secara umum.

Istilah epifenomenalisme digunakan pertama kali oleh Thomas Huxley. Hingga saat ini telah
bermunculan berbagai aliran pemikiran materialisme. Beberapa penelitian di bidang psikologi
kontemporer menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran terhadap eksistensi (keberadaan)
akal. Masa depan dari teori ini sangat bergantung kepada sejauh mana teori-teori materialistis dan
mekanistis yang menjadi dasarnya tetap bisa diterima.

E. MONISME PSIKIS DAN PENGINGKARAN TERHADAP MATERI


Kita telah melihat bagaimana epifenomenalisme serta berbagai aliran materialistik lainnya
menyingkirkan anggapan bahwa akal merupakan aspek yang fundamental. Dengan argumen yang
sama, berbagai bentuk mentalisme, spiritualisme, akan mengeliminasi materi dan menegaskan
bahwa akal adalah unsur primer. Monisme psikis berpandangan bahwa kausalitas hanya terbatas
pada aspek mental saja dan apa yang kita sebut materi hanyalah bayangan yang dibentuk oleh
pemikiran. Materi pada dasarnya merupakan suatu manifestasi. Badan adalah wujud eksternal dari
akal

Semua idealis bersikeras dengan pemahaman bahwa akal sebagai realitas dan peranannya
yang demikian penting. Tidak semua penganut aliran idealisme mengklaim bahwa badan (tubuh)
atau unsur fisik merupakan manifestasi (perwujudan) belaka, kecuali aliran monisme psikis dalam
berbagai bentuknya yang didukung oleh Lotze, Fechner, Eduard von Hartmann, W.K. Clifford,
Friedrich Paulsen, dan C.A. Strong.

Monisme psikis mungkin akan ditolak oleh semuanya kecuali aliran-aliran mistis dan beberapa
kelompok idealis tertentu. Jika pikiran adalah segalanya, maka berarti pikiran mencakup semua
kualitas termasuk apa yang kita sebut materi. Di sisi lain, jika hanya materilah eksistensi sejati, maka
ada sebuah kesulitan baru dalam hal pemahaman kita tentang materi dan bahwa konsep kita
tentang materi harus diubah. Barangkali salah satu cara menghilangkan masalah adalah dengan
mengambil titik tengah dari pemahaman kedua teori (epifenomenalisme dan monisme psikis)
tersebut. Tapi solusi ini mungkin sulit diterima. Pengingkaran terhadap akal atau pengingkaran
terhadap materi, cenderung memberikan pengertian bahwa pikiran dan materi adalah sama saja,
dan teori-teori ini masih belum berhasil menerangkan perbedaan keduanya secara gamblang.

F. AKAL MENURUT TEORI EMERGENT EVOLUTION ATAU TEORI TINGKATAN (LEVEL)


Penafsiran mengenai akal berdasarkan teori emergent evolution cukup populer. Teori ini
tidak lagi berkutat dengan masalah dualisme akal-badan. Tidak ada dualisme, tidak ada interaksi,
tidak ada penolakan yang ekstrim. Materi adalah realitas, kehidupan adalah realitas, dan akal juga
adalah realitas. Realiatas akal berada pada wilayah realitas yang berbeda tetapi setingkat dengan
realitas lainnya. Dalam hal ini, akal memiliki suatu kualitas atau karakteristiknya sendiri yang tidak
bisa dijelaskan dengan menggunakan standar pemahaman pada level sebelumnya.
Para pendukung pandangan emergence atau teori tingkatan meyakini bahwa teori ini bisa
dijadikan solusi untuk mengurai berbagai persoalan yang membingungkan para peneliti sebelumnya.
Salah satu gagasan yang keliru dari abad ke-19 adalah bahwa realitas di dunia ini terpecah ke dalam
beberapa unsur. Temuan-temuan di abad ke-20 menunjukkan bahwa realitas merupakan sesuatu
yang utuh. Kita harus menginterpretasikan akal sebagai pengaturan dan aktivitas. Sama seperti para
ahli fisika yang menggunakan istilah fisik (physical) untuk menggambarkan aktivitas dalam domain
disiplin ilmu mereka, para ahli biologi menggunakan istilah hayati (vital) untuk merujuk kepada
makhluk hidup, kita juga bisa menggunakan istilah mental (mental) untuk menunjukkan aspek-aspek
kualitatif dan aktivitas yang kita alami pada tingkat individu (personal).
Secara filosofis, akal digambarkan sebagai hasil sintesis yang kreatif. Proton, neutron, dan
elektron bergabung membentuk atom, atom-atom saling mengikat membentuk molekul, dan
selanjutnya membentuk sel-sel yang hidup, yang pada akhirnya dari sana muncullah kesadaran dan
kecerdasan. Pada setiap tingkatan dimana sintesis kreatif berlangsung, dihasilkan serangkaian
kualitas baru. Dengan hadirnya manusia, maka muncullah realitas baru dan kekuatan baru yang luar
biasa, termasuk di dalamnya ingatan, imajinasi, pikiran, dan penalaran, sehingga dunia menjadi
berbeda. semua tingkatan ini sama-sama nyata. Materi itu nyata, akal itu nyata, moral juga nyata.
Sains, seni, filsafat, agama, dan moral pada dasarnya merupakan wujud dari akal. Aku (self) adalah

individu yang hidup dengan berbagai kebutuhan, kepentingan dan kapasitasnya untuk merasa,
berpikir serta menghasilkan imajinasi kreatif. Aku (self) bukanlah akal. Aku (self) adalah makhluk
hidup yang di dalamnya berlangsung proses mental ini.

KESIMPULAN
Tentu saja, ada banyak metode psikologis dan penjelasan mengenai akal. Setiap penjelasan
psikologis menggunakan metode dan simbol yang berbeda. Mereka menggunakan istilah-istilah yang
berbeda, bahkan hampir menggunakan bahasa yang berbeda, ketika mereka memberikan
penjelasan mengenai akal.
Meskipun beberapa orang menyatakan bahwa subyek materi psikologi terlalu kompleks dan
sulit dipahami sehingga mustahil untuk diuji secara akurat melalui riset ilmiah, namun beberapa
kemajuan telah dicapai. Ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan dan telah diterima secara umum.
Misalnya, sebagian besar psikolog mengakui bahwa pendekatan sistem tradisional belum cukup,
bahwa fungsi dan aktivitas manusia sebenarnya sangatlah penting. Gagasan tradisional mengenai
manusia sebagai "hewan yang berpikir" harus dimodifikasi atas dasar dorongan kesadaran bahwa
banyak hal yang tidak bisa dinafikan pada diri manusia seperti pentingnya dorongan dan emosi,
kebiasaan dan adat istiadat, serta penjelasan mengenai perilaku. Selama ini, penelitian yang
dilakukan hanya tertuju dan menekankan pada aspek-aspek tertentu saja pada manusia sehingga
cenderung mengabaikan aspek-aspek lain yang sangat kompleks.
Setiap penjelasan psikologis telah memberi kita berbagai pengetahuan berharga mengenai
kemampuan akal dan fungsinya. Behaviorisme telah memberikan kontribusi penting dalam konsep
pengkondisian. Psikoanalisis memberi kita informasi berharga mengenai konflik dan tekanan mental.
Psikologi Gestalt telah membuka mata kita mengenai cara berpikir mengenai keseluruhan (holistik)
dan dan bagaimana kesulitan-kesulitan akan muncul jika kita berbicara mengenai bagian-bagian.
Namun demikian, keseluruhan interpretasi ini belum cukup. Dibutuhkan kombinasi dari berbagai
metode dan sikap mau menerima terhadap pengetahuan yang diperoleh selama pendekatan itu
rasional, tidak seperti para psikolog yang berbeda pendapat mengenai teori akal dan hubungan akaltubuh yang masing-masing merasa telah menawarkan penjelasan paling memuaskan.
Mungkinkah akal merupakan suatu bentuk kehidupan sendiri? Untuk menjawabnya, kita harus
memahami dan mengetahui apa itu kehidupan, meskipun sejauh ini penggambaran dan definisi kita
belum memuaskan. Kehidupan bukanlah sesuatu yang dapat diletakkan di bawah mikroskop,
diperbesar sampai skala tertentu kemudian diamati. Kehidupan adalah prinsip kesatuan atau
pengaturan. Kita dapat mengatakan bahwa seseorang itu hidup, meskipun tampaknya satu-satunya
sumber pengetahuan kita tentang hidup hanya berasal dari apa yang kita ketahui mengenai diri kita

sendiri. Akal memiliki prinsip kerja yang sama. Berpikir, merasa, menghargai, dan norma-norma
merupakan bagian pokok dari individu atau pribadi. Kesemuanya memberikan kesan dan makna bagi
usaha manusia dan alam semesta itu sendiri, meskipun tidak dapat dihitung, diukur, disentuh, atau
dilihat. keberadaan sains dan filsafat tergantung pada kemampuan orang untuk menghargai nilainilai dan untuk membedakan setiap nilai tersebut.
Dalam sejarah perkembangan umat manusia, sebuah langkah maju yang luar biasa telah
dicapai ketika makhluk hidup memperoleh kemampuan untuk melihat obyek yang lebih jauh.
Kemajuan tersebut dapat dibandingkan dengan ketika organisme mulai mampu untuk mendengar
dan menafsirkan suara. Kemampuan baru ini mengefisienkan waktu, tenaga, dan kehidupan. Ketika
memori, imajinasi, dan kesadaran diri terus berkembang, maka dihasilkan pencapaian yang lebih
besar. Seseorang bisa melihat dan mendengar apa yang telah berlalu. Manusia bisa meninjau masa
lalu dan merencanakan masa depan. Ketika mereka telah memperoleh kemampuan ini dan bisa
membuat pilihan cerdas, pikiran benar-benar telah teraktualiasi (hadir). Terlepas dari istilah yang
ingin kita gunakan, apakah kita adalah mutasi atau sintesis kreatif atau tindakan kreatif,
kemampuan baru yang hadir adalah hal yang penting. Istilah atau simbol apapun yang digunakan
untuk memberikan penjelasan mengenai kemampuan ini menjadi tidak terlalu penting lagi. Dari
proses kreatif evolusi kosmik, menuju harapan hidup yang lebih besar; berkembang dari bentuk
paling sederhana menuju kehidupan yang lebih kompleks, yang dibarengi oleh perkembangan
berbagai kemampuan mental yang mengarah kepada kesadaran diri dan kepribadian manusia,
mungkin kesemuanya itu merupakan proses yang terus berlanjut. Pikiran, kecerdasan, dan
kesadaran diri individu mungkin menjadi tujuan dari proses kreatif ini.
Akal dan kesadaran tidaklah identik, meskipun kadang-kadang sejalan. Kita mungkin sadar
atau mungkin juga tidak sadar dengan proses mental kita. Ketika kita menyaksikan perilaku cerdas
atau adaptasi pada orang lain, kita menyebutnya proses mental. Ketika kita melihat fenomena
mental dari sudut pandang pengalaman batin kita sendiri, secara subyektif atau introspektif, kita
menyebutnya sebagai kesadaran. Kesadaran adalah pengalaman hidup diri yang kita jalani atau
dialami oleh orang yang berpikir dan merasakan. Kesadaran berhubungan dengan pengamatan
seseorang, subyek atau yang mengetahui, dan obyek yang diamati. Ketika kita menyadari bahwa kita
sedang sadar, itu disebut kesadaran diri.
Dualisme tanpa kompromi Plato tampaknya membuat pemisahan terlalu kaku antara akal
sebagai substansi dan dunia dimana akal itu berada. Di sisi lain, sensasionalisme ekstrim dari Hume
dan interpretasi pikiran sebagai aktivitas neuromuskuler juga belum memuaskan. Menurut pendapat
penulis, kita harus berpegang pada kesatuan individu atau identitas yang berlangsung melalui
berbagai pengalaman hidup dan yang melampaui pengalaman-pengalaman yang terpisah.

Anda mungkin juga menyukai