Anda di halaman 1dari 23

TUGAS FILSAFAT

APA ITU JIWA

OLEH :
1.FIRMAN MANGARA TUA SIALLAGAN

2. SONDANG PURBA

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU KSEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2023
MENJAWAB PERTANYAAN APA ITU JIWA

PENDAHULUAN

Salah satu kesulitan utama yang dialami para sarjana psikologi sejak dulu hingga seka
rang adalah kesulitan mendefinisikan pengertian jiwa. Kesulitan tersebut semakin rum
it ketika psikologi telah berdiri sendiri dan berhadapan dengan persyaratan dan tuntuta
n pembuktian ilmiah. Persoalan tersebut adalah pembuktian tentang apa itu jiwa, apak
ah jiwa itu berwujud dan masalah obyektivitas pengukuran ilmiah. Fakta historis men
unjukkan bahwa pada saat itu psikologi sedang dilanda kesulitan untuk memikirkan p
endefinisian lain mengenai jiwa.

Keadaan ini sungguh disadari para sarjana psikologi pada waktu itu sehingga mereka t
erus berusaha untuk mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang tingkah laku. Psik
ologi diakui sebagai sebuah ilmu perilaku sudah lebih maju, jelas dan punya obyek sa
saran yang nyata. Cara pendefinisian seperti itu diakui telah sesuai dengan persyaratan
ilmiah daripada masa sebelumnya.

Sekalipun demikian, penjelasan tentang jiwa dirasakan kurang memuaskan. Jiwa tetap
dipandang sebagai konstruksi teoretis yang bersifat abstrak karena wujudnya sulit diu
kur dan lemah untuk dibuktikan. Padahal psikologi telah mampu mengembangkan jen
is pengukuran yang lebih valid dan reliabel. Namun pengukuran melalui psikotes me
miliki hasil yang jauh dari memuaskan.

Disadari, jiwa itu abstrak dan sulit ditangkap oleh alat indra manusia. Namun,
pandangan bahwa jiwa itu ada dan manusia adalah makluk berjiwa sulit dibantah
kebenarannya karena keberadaan jiwa manusia dapat dimanifestasikan dalam bentuk
perilaku dan aktivitas nyata. Karena itu, psikologi tetap meyakini bahwa jiwa itu ada
dan jiwa bisa dipelajari.

Pandangan tersebut bukan bersifat final karena tidak tertutup kemungkinan


adanya cara pandang lain mengenai psikologi sebagai disiplin yang terus berkembang.
Itu sebabnya tulisan ini percaya bahwa manusia adalah makluk yang menyukai
perubahan. Manusia memiliki sifat keterbukaan dan selalu berusaha membuka diri
terhadap pandangan lain yang lebih maju mengenai kebenaran dan terbuka terhadap
perspektif lain.

Kita meyakini bahwa manusia merupakan makluk berjiwa dan bertubuh. Tanpa
jiwa, tubuh tidak berguna dan manusia pun tidak ada. Tubuh berguna karena ada jiwa.
Tubuh adalah prasyarat dan lokus bagi Jiwa. Akibatnya, manusia dapat bertumbuh
dan bergerak serta mampu mewujudkan kebutuhannya karena digerakkan dan diberi
cahaya oleh Jiwa.

Mata bisa melihat karena jiwa itu hidup dan bercahaya. Akal manusia bisa
bernalar karena jiwa itu hidup dan bercahaya bagi penalaran supaya mampu
memahami alam semesta. Emosi dan spirit dapat diekspresikan karena jiwa itu hidup
dan emosi memperoleh cahayanya. Jadi, pertumbuhan, pergerakan, dan reproduksi
manusia bukan merupakan kehendak dari tubuh melainkan kehendak jiwa yang
bercahaya bagi manusia dan dunia.

Dalam psikologi, pencarian kebenaran tentang jiwa menurut pandangan


konvensional mengutamakan perilaku nyata yang didasarkan pada pengetahuan
persepsional. Bukti empirik merupakan rujukan bagi upaya pencapaian kebenaran dan
berguna untuk memecahkan problem eksistensial kemanusiaan. Tetapi faktanya, ilmu
tidak sanggup menjawab persoalan manusia secara tuntas. Banyak persoalan tidak
tampak yang jarang diberi perhatian oleh psikologi. Ilham, insight, inspirasi, intuisi
dan lainnya tidak diberi perhatian karena cara berpikir kita bersifat diadik dan telah
terpola oleh egoisme dan tertutup untuk menolak hal-hal lain yang bersifat abstrak
dan tidak didukung pembuktian.

Padahal sesungguhnya dimensi jiwa lainnya perlu dipelajari karena daripadanya


manusia memperoleh cahaya bagi upaya pemecahan secara holistik. Perlu tersedia
ruang lebih proporsoinal bagi pembelajaran dan upaya membangun relasi yang
bersifat triadik. Akibatnya, manusia lebih mampu menjawab problem kemanusiaan
baik yang tampak maupun yang tidak tersingkap.
JIWA MENURUT PANDANGAN KONVENSIONAL

Psikologi berasal dua kata dalam bahasa Yunani yaitu psyche dan logos. Kata
logos berarti nalar, logika, atau ilmu pengetahuan. Mengenai psyche (psu-khe)
terdapat bermacam-macam pendapat yang berbeda. Dalam Bahasa Inggris misalnya,
psyche memiliki beberapa arti yaitu mind, soul, dan spirit. Kata Yunani psu-khe
berarti hidup, jiwa. Kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia dapat dicakup dalam
satu kata yaitu Jiwa. Karena itu, pada umumnya orang cenderung mengartikan kata
psikologi sebagai ilmu jiwa. Kecenderungan ini, juga terjadi pada Bahasa Belanda
dan Jerman. Kata psikologi diartikan sebagai zielkunde untuk Bahasa Belanda, dan
seelenkunde untuk bahasa Jerman. Kata yang sama dalam Bahasa Arab berarti
ilmunnafsi. Semua kata tersebut berarti ilmu jiwa (Boeree, 2005; Sarlito, 2002).

Carl Gustav Jung, salah seorang tokoh Psikoanalisa, pernah melakukan


penyelidikan arti kata psikologi ditinjau dari segi harafiahnya. Ia menganalisis arti
kata psyche dan kata lainnya yang mirip dan berdekatan artinya. Kemudian ia
menghubung-hubungkan arti masing-masingnya. Misalnya, kata anemos dan psycho
dalam bahasa Yunani berarti angin dan meniup. Sementara animus dan anima dalam
Bahasa Latin, masing-masingnya berarti jiwa dan nyawa. Dalam bahasa Arab,
terdapat kata ruh dan rih yang berarti jiwa atau nyawa dan angin. Karena itu, Jung
menduga ada hubungan antara apa yang berjiwa dengan apa yang bernyawa dan yang
bernapas (angin). Akibat hubungan tersebut, ia menyatakan bahwa psikologi adalah
ilmu tentang sesuatu yang berjiwa dan bernyawa serta bernapas (Sarlito, 2002).

Simpulan Jung ada benarnya. Kalau dikaitkan simpulan tersebut dengan salah satu
ungkapan dalam bahasa Indonesia misalnya, Siegfred sudah putus nafas. Arti
ungkapan tersebut menjelaskan, Siegfred sudah tidak ada nafasnya. Siegfred sudah
mati, ia tidak hidup lagi. Jadi, jiwa ada hubungannya dengan nafas dan hidup.

Akan tetapi secara semantik, penjelasan seperti itu segera menghadapi kesulitan
karena istilah ilmu jiwa dipertahankan sebagai terjemahan dari kata psikologi. Istilah
ilmu jiwa dalam Bahasa Indonesia mempunyai banyak kata lain dan berkonotasi
berbeda. Akibatnya, kata jiwa sukar dibedakan dengan tegas dari kata nyawa, arwah,
roh, sukma, atma, dan lainya.

Padahal, jiwa sesungguhnya bukan berarti nyawa, arwah, dan roh. Jiwa juga
bukan pikiran. Istilah-istilah tersebut sering dipergunakan secara bergantian dan
tumpang tindih. Bahkan bagi orang awam, jiwa disamakan artinya dengan nyawa,
arwah, roh cahyati, dan lainnya. Nyawa adalah zat hidup dari benda hidup. Arwah,
merupakan zat hidup yang berasal dari jasad orang mati dan jasad yang tidak
mengalami pertumbuhan. Jadi, jiwa itu berbeda dan tidak bisa disamakan artinya
dengan istilah lainnya yang bisa diartikan sebagai sifat-sifat dan sebabnya hidup
(Bimo Walgito,1990). Bahkan kalau dilihat dari sumber asalnya maka jiwa berasal
dari Allah sementara nyawa, arwah dan zat hidup lainnya berasal dari bumi.

Diakui bahwa penjelasan mengenai pengertian jiwa tetap kabur dan tidak
memuaskan. Kesulitan ini semakin diperumit ketika para psikolog dan sarjana
kedokteran dan biologi berhasil menjadikan psikologi sebagai ilmu yang berdiri
sendiri dari ilmu induknya. Mereka mengalami kesulitan dalam mendefinisikan
psikologi karena arti jiwa itu masih kabur dan abstrak. Kesulitan semakin bertambah,
ketika psikologi berhadapan dengan tuntutan dan persyaratan ilmiah yakni hal-hal
yang dipelajari oleh psikologi, secara empiris harus dapat dibuktikan.

Dengan demikian, bagaimana pembuktian tentang apa itu jiwa? Seperti apakah
jiwa itu berwujud? Dan masih ada beberapa pertanyaan sejenis lainnya. Hal ini
memang sulit dibuktikan karena tidak ada seorangpun yang tahu persis tentang jiwa.
Belum lagi polemik mengenai masalah pengukuran jiwa secara obyektif. Fakta
historis menunjukkan bahwa psikologi pada saat itu sedang dilanda kesulitan yang
berat dan ditantang untuk mulai memikirkan pendefinisian lain mengenai psikologi
dan pengertian jiwa itu sendiri.

Bertolak dari pengertian tentang jiwa sebagai kekuatan internal yang berfungsi
untuk menggerakkan perilaku manusia, maka jiwa diyakini bertempat di dalam tubuh
dan berfungsi sebagai daya penggerak tubuh. Jiwa menumbuhkan sikap dan sifat-sifat
untuk memunculkan perilaku, maka cara kerja jiwa dapat diamati melalui tingkah
laku nyata. Jadi, fungsi-fungsi jiwa dan cara kerja jiwa serta proses-proses kejiwaan
lainya menjelma ke dalam bentuk perilaku nyata yang bisa diobservasi, diukur secara
obyektif, dan bahkan bisa dipelajari. Dengan kata lain, jiwa merupakan sebuah
fenomena nyata yang bisa didefinisikan.

Psikologi diakui memiliki obyek yang nyata, oleh karenanya para sarjana
mengartikannya sama dengan karakterologi dan tipologi. Karakterologi adalah ilmu
tentang karakter dan sifat-sifat kepribadian, sementara tipologi adalah ilmu tentang
berbagai tipe manusia menurut karakternya. Cara pendefinisian psikologi seperti ini
dipandang sempit ruang lingkupnya. Karena itu, psikologi bukan hanya terbatas pada
karakterologi dan tipologi, melainkan jauh lebih luas ruang lingkupnya. Juga, ada titik
tolak lain dalam cara pendefinisian psikologi yang didasari oleh anggapan bahwa jiwa
selalu diekspresikan melalui badan. Melalui ekspresi yang tampak pada tubuh
individu maka kita dapat mengetahui keadaan jiwanya. Itu sebabnya, psikologi sering
diartikan sebagai ilmu ekspresi.

Cara pendefinisian tersebut juga masuk akal karena pada dasarnya jiwa bisa
dipelajari melalui ekspresi-ekspresinya. Akan tetapi muncul kesulitan karena
pengalaman praktis menunjukkan bahwa tidak semua keadaan jiwa bisa
diekspresikan. Belum lagi, diketahui bahwa ekspresi jiwa tidak selalu diungkapkan
secara langsung dalam setiap waktu dan situasi. Kesulitan ini sungguh disadari oleh
para sarjana psikologi pada waktu itu. Oleh karenanya, mereka terdorong untuk
mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang tingkah laku. Mereka percaya bahwa
psikologi sebagai sebuah ilmu perilaku sudah lebih maju, jelas, dan lebih nyata. Cara
pendefinisian mengenai obyek psikologi seperti ini dipandang dan diakui lebih valid
dan sesuai dengan persyaratan ilmiah daripada masa-masa sebelum psikologi diakui
sebagai sebuah disiplin ilmu.

Dalam perkembangan lebih lanjut yakni pada jaman renaisance misalnya, Rene
Descartes mendefinisikan jiwa sebagai ilmu tentang kesadaran. Menurutnya, tidak ada
sesuatupun di muka bumi ini yang dapat dipastikan, kecuali pikiran itu sendiri.
Pandangan yang lebih mengutamakan fungsi kesadaran tidak diterima begitu saja
karena kesadaran hanya bisa berfungsi dan penting artinya kalau ada pengindraan.
Pintu masuk segala sesuatu ke rasio dimulai dari penginderaan. Itu berarti rasio hanya
mengikuti apa yang telah diterima oleh penginderaan. Karena itu, psikologi adalah
ilmu tentang penginderaan dan bukan ilmu tentang kesadaran.

Di era yang sama, berkembang pula pandangan dari para sarjana ilmu faal.
Mereka berpandangan bahwa jiwa erat sekali hubungannya dengan susunan syaraf
dan refleks-refleks. Hal ini terbukti dengan temuan Carles Bell dan Magendie tentang
syaraf sensorik dan motorik. Akibatnya, jiwa didefinisikan sebagai tingkah laku dan
erat kaitannya dengan refleks. Karena itu, para sarjana ilmu faal menyatakan bahwa
psikologi tidak berbeda dari ilmu faal. Karena itu, psikologi didefinisikan sebagai
ilmu tentang susunan syaraf dan refleks-refleks.

Sementara pada era psikoanalisa, Freud memperkenalkan teori tentang alam


ketidaksadaran. Menurutnya, ketidaksadaran jauh lebih penting daripada kesadaran.
Bagi Freud, ketidaksadaran berisi dorongan-dorongan yang ditekan pada masa kanak-
kanak karena dilarang oleh norma masyarakat sehingga tidak muncul dalam
kesadaran. Karena itu, Freud menegaskan pandangannya bahwa un-consciousness
lebih penting daripada consciousness.

Setelah era psikoanalisa, muncul psikologi humanisme dari Abraham Maslow dan
Carl Rogers. Kedua pemikir utama era tersebut menolak cara pendekatan yang
memandang manusia hanya dari satu aspek. Misalnya, aspek susunan syaraf dan
refleks-refleks dari aliran Behaviorisme, aspek penginderaan dari aliran Gestalt, dan
aspek kesadaran dari aliran Cognitive serta aspek ketidaksadaran dari psikoanalisa.

Psikologi Humanistik meyakini pandangan bahwa manusia harus dipandang


sebagai totalitas unik yang terdiri atas aspek internal dan aspek eksternal. Mereka
menyatakan bahwa manusia selalu berupaya untuk menjadi dirinya sendiri
‘actualization’. Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa tugas utama psikologi
adalah mendorong aktualisasi diri individu.

Uraian dan pembahasan yang telah dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa sejak
dulu hingga sekarang, psikologi terlibat dalam perdebatan yang terus berlanjut dan sul
it untuk menemukan kata sepakat mengenai pengertian psikologi. Salah satu alasan ya
ng menjadi sumber penyebab tidak ada kesepakatan adalah jiwa yang diartikan secara
tidak jelas dan tidak tampak jelas. Karena itu, semua orang bebas mengartikan jiwa
sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang.

Bukti pustaka menunjukkan bahwa jiwa didefinisikan secara berbeda antara satu
aliran dengan aliran lainnya. Akibatnya adalah tidak ada satu pun definisi yang bisa
disepakati dan berlaku umum. Sebagian dari para sarjana psikologi ingin
mendefinisikan jiwa secara lebih konkret daripada mental, spirit dan lainnya sehingga
psikologi pun didefinisikan sebagai aktivitas jiwa atau mental. Sementara para
psikolog lainnya beranggapan bahwa aktivitas mental atau aktivitas jiwa dianggap
terlalu luas lingkupnya sehingga mereka menawarkan definisi lain yang lebih terfokus
seperti elemen introspeksi – mawas diri, refleks, dan perilaku. Namun, cara
pendefinisian jiwa dari sudut pandang seperti itu pun dianggap ‘telah “melanggar janji
awal” psikologi yang secara etimologis berarti ilmu Jiwa.

Terlihat bahwa dalam definisi-definisi yang lebih obyektif dan terukur, pendefinisi
justru melupakan esensi dari psikologi seperti mind, soul, spirit, dan kognisi serta
unconsciousness. Kita tidak mungkin mengerti tentang jiwa jika kita tidak
mempelajari esensinya. Karena itu, psikologi diharapkan mampu memberi penjelasan
secara lebih memuaskan tentang hal-hal seperti imajinasi, naluri, intuisi, inspirasi,
ilham, tanggung jawab, orang yang mudah lupa dan gampang berbohong, dan hal-hal
lainnya yang sehari-hari melekat dalam diri manusia. Tanpa semua itu, psikologi tidak
banyak manfaatnya bagi manusia.

Sejarah perkembangan psikologi sejak abad Plato hingga abad psikologi modern
memberikan fakta bahwa cara pendefinisian jiwa manusia berbeda antara satu
pandangan dengan pandangan lainnya. Perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh
perbedaan fokus, metode pendekatan, dan aspek kepentingan praktis dan pragmatis
dari psikologi. Pada abad Socrates, Plato, dan Aristoteles misalnya, pandangan
mengenai jiwa lebih difokuskan pada pemahaman jiwa sebagai bagian materi dari
tubuh manusia. Akibatnya, jiwa cenderung diartikan sebagai bagian-bagian yang
terpisah antara satu dengan lainnya dan jiwa berfungsi sebagai instrumen yang
terpisah dari tujuan. Sementara itu, dalam pandangan psikologi modern, arti jiwa telah
mulai bergeser dari fungsi yang bersifat instrumen ke fungsi jiwa dalam kehidupan
praktis prakmatis. Akibatnya, pendefinisian jiwa lebih menekankan pada aspek
perilaku dan ekspresi nyata. Cara pendefinisian jiwa seperti itu, lebih terfokus kepada
potensi-potensi dan kekuatan penggerak yang ada dalam diri manusia yang bisa
dikembangkan.

Dalam hal metode pendekatan untuk mempelajari jiwa, fakta historis mencatat
bahwa pada abad Socrates-Plato-Aristoteles, digunakan metode-metode yang bersifat
introspektif dan restrospektif serta pengamatan pada diri sendiri. Mereka mempelajari
jiwa berdasarkan pengalaman-pengalaman langsung yang dialami dan pengalaman
yang diperoleh dari orang lain. Sementara pada abad psikologi modern, pendekatan
dalam mempelajari jiwa dilakukan secara tidak langsung. Pendekatan eksperimen dan
observasi dilakukan oleh para sarjana psikologi melalui binatang percobaan seperti
tikus, lalat, anjing, kucing, dan simpanse, serta orang percobaan. Selain itu, juga
digunakan teknik lainnya seperti observasi alamiah, sejarah kehidupan, wawancara,
angket, dan tes-tes psikologis. Tujuan dari pendekatan eksperimental dan non-
eksperimental adalah untuk memperoleh informasi dan data yang obyektif yang dapat
didukung oleh pembuktian empirik. Dengan cara seperti itu, upaya untuk memenuhi
tuntutan dan persyaratan ilmu pengetahuan ilmiah bisa dipenuhi. Akibatnya, studi
mengenai jiwa harus difokuskan sasarannya pada perilaku nyata yang diperoleh
melalui pengukuran yang obyektif, empiris, rasional dan ilmiah. Hasil yang diperoleh
dari pengukuran yang bersifat obyektif sekalipun diakui jauh dari memuaskan.
Dengan demikian, perlu diakui bahwa bukan hasil akhir dari sebuah pengukuran akan
tetapi proses pengukuran yang diperlukan supaya psikologi dapat memperoleh
pengakuan keilmiahan yang setara dengan disiplin ilmu lainnya.

Dari segi tujuan yang ingin dicapai, bukti historis menyatakan bahwa pada abad
Yunani klasik, jiwa dipelajari dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran tentang
manusia. Sementara pada abad psikologi modern, selain diarahkan untuk memenuhi
tuntutan dan persyaratan ilmiah serta kebenaran ilmiah, tujuan mempelajari jiwa juga
untuk mengetahui potensi-potensi dan kekuatan penggerak jiwa manusia. Usaha-
usaha tersebut dilakukan dengan tujuan pengembangan potensi dan kekuatan jiwa
untuk menjawab kebutuhan praktis dan pragmatis dalam kehidupan.

Dalam pandangan psikologi, jiwa didefinisikan sebagai kekuatan penggerak dari


dalam diri manusia untuk bertindak, bersikap dan beremosi, bernalar, serta
berkehendak. Misalnya, manusia bekerja untuk mencari makanan karena ada
kekuatan penggerak dari dalam yakni terpenuhinya kebutuhan akan makanan secara
memuaskan sekaligus menghilangkan rasa lapar. Alasan tersebut menjadi dasar untuk
memutuskan disertai tindakan konkret mencari makanan untuk dikonsumsi. Jenis
makanan seperti apa, jumlah dan banyaknya, kapan, di mana dan bagaimana cara
mendapatkannya mempunyai kekuatan penggerak yang bersumber dari emosi, motif,
dan nalar manusia. Akibatnya, jiwa cenderung disamakan artinya dengan motif-motif
dan kebutuhan-kebutuhan, dan penilaian emosi serta akal. Dengan demikian, jiwa
diartikan sama dengan mind, soul, spirit, kesadaran dan kemauan serta kehendak.

Sekalipun demikian, penjelasan tentang jiwa dengan cara seperti ini dirasakan
kurang memuaskan. Akibatnya adalah perdebatan mengenai apa itu jiwa tetap
diwariskan dari waktu ke waktu dan tetap berlanjut hingga sekarang. Jiwa tetap
dipandang sebagai konstruksi teoretis yang sulit dijelaskan karena wujud jiwa itu
sendiri sulit diukur secara obyektif dan pembuktian empirisnya sulit diperoleh.
Padahal diketahui bahwa psikologi telah mampu mengembangkan bentuk dan jenis-
jenis pengukuran yang lebih ilmiah terhadap jiwa melalui penggunaan tes-tes
psikologi yang valid dan reliabel. Hasil pengembangan terhadap berbagai alat ukur
psikologi masih jauh dari objektivitas. Dan tujuan pengukuran serta akurasi prediksi
keilmiahannya masih jauh dari memuaskan.

Sekalipun jiwa itu sulit ditangkap oleh alat indra manusia, namun pandangan
bahwa jiwa itu ada dan manusia adalah makluk berjiwa sungguh diyakini. Kenyataan
ini sulit dibantah kebenarannya karena keberadaan jiwa manusia dapat
dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan aktivitas manusia seperti yang diyakini
selama ini. Sebagai misal, orang yang sedang mengomel menandakan bahwa orang
tersebut sedang tidak senang atau tidak setuju terhadap sesuatu. Perilaku mengomel
juga menjadi pertanda dari ekspresi dan manifestasi situasi kejiwaan yang sedang
dialami. Karena itu, psikologi tetap percaya dan meyakini pandangan bahwa jiwa itu
ada. Sekalipun jiwa bersifat abstrak dan konvensional serta jiwa bisa dipelajari secara
obyektif melalui ekspresi dan perilaku nyata namun tidak tertutup kemungkinan
adanya cara pandang lain mengenai psikologi sebagai sebuah disiplin yang terus
berkembang.

JIWA MENURUT PANDANGAN LAIN

Beratus tahun lamanya kita meyakini pandangan bahwa jiwa mempunyai


potensi dan kekuatan-kekuatan penggerak di dalam diri manusia. Keyakinan akan
kebenaran pandangan mengenai jiwa (bisa dibaca psikologi) begitu kuat tertanam
dalam diri manusia sehingga boleh jadi kebenarannya pun teguh dan bersifat final.
Akibatnya, ada kecenderungan yang sangat kuat untuk mengagungkan kebenaran
tersebut dan berusaha menolak dan menutup diri dari pandangan lain tentang jiwa dan
aktivitas-aktivitasnya.Namun tulisan ini percaya bahwa salah satu ciri manusia adalah
sebagai makluk yang terbuka dan menyukai perubahan. Manusia memiliki sifat
keterbukaan dan selalu berusaha membuka diri terhadap pandangan-pandangan lain
yang lebih maju. Akibatnya, akan lebih maju dan lebih kaya serta lebih selektif untuk
meyakini sebuah kebenaran yang diperoleh dari keterbukaannya terhadap pandangan
dari perspektif lain dan berbeda.

Dalam pandangan lain, jiwa sudah tentu berbeda artinya dari mind, soul, dan
spirit. Juga, jiwa bukan berarti kesadaran, bukan motif, dan bukan juga akal dan
kesadaran serta ketidaksadaran. Bahkan, motif dan kebutuhan, serta akal dan kognisi
pun tidak bisa menggantikan pengertian tentang jiwa. Jiwa merupakan sumber
penggerak dan pendorong bagi tubuh dan aktivitas fungsionalnya.

Persoalan yang muncul adalah bagaimana hubungan fungsional antara jiwa dan
tubuh? Agustinus menulis bahwa tubuh manusia dilengkapi dengan bagian-bagian
yang sangat fungsional bagi kehidupan jiwa. Tubuh berfungsi untuk memberi kondisi
bagi pertumbuhan jiwa. Sementara jiwa berfungsi untuk menggerakkan tubuh dalam
melakukan tindakan-tindakannya. Aktivitas-aktivitas jiwa pada tubuh adalah berupa
penggunaan fungsi-fungsi kejiwaan. Ia lebih lanjut menegaskan bahwa ada tiga
aktivitas jiwa yakni aktivitas mengetahui, merasakan, dan menghendaki atau
kemauan.

Diyakini bahwa antara jiwa dan tubuh terdapat hubungan fungsional yang
bersifat timbal balik dan saling melestarikan dalam satu keutuhan. Jiwa dan tubuh
memiliki jarak hubungan fungsional yang sangat dekat meskipun diketahui bahwa
kedua unsur itu berbeda dalam prinsip pembentukannya. Tubuh dibentuk menurut
prinsip biologis sementara jiwa dibentuk berdasarkan prinsip inmateria. Jiwa
bersumber dari Allah sementara tubuh bersumber dari bumi yakni dari makanan yang
berasal dari dalam tanah.

Memahami hubungan fungsional antara jiwa dan tubuh secara sederhana dapat
diilustrasikan melalui pemahaman manusia mengenai fungsi energi aliran listrik bagi
manusia. Listrik dapat dikatakan berguna jika listrik dapat memberikan cahayanya.
Energi listrik masuk melalui kabel-kabel dan bola lampu menghasilkan terang. Aliran
listrik yang sama masuk ke ruang lemari es dan ruang ber-AC sehingga akan
menghasilkan dingin. Demikian juga, aliran listrik yang sama masuk ke dalam besi
strika dan akan menghasilkan panas. Jika ia masuk ke mobil maka akan menghasilkan
panas dan gerak. Juga, listrik masuk ke TV dan tape recorder sehingga akan
menghasilkan gambar, suara dan gerak. Dengan kata lain, energi listrik yang dialirkan
merupakan kekuatan di mana kabel dan alat-alat elektronik lainnya menjadi medan
bagi energi listrik sehingga fungsional bagi kebutuhan manusia. Tanpa aliran energi
listrik tidak ada kebutuhan akan perangkat-perangkat teknologi bahkan perangkat
teknologi modern yang ada sekarang pun disfungsional dan tidak akan ada gunanya
bagi manusia.

Demikian juga kebutuhan manusia akan jiwa. Jiwa itu hidup (dari kata psu-khe),
karenanya menjadi dasar yang memberi hidup kepada tubuh dan atau kekuatan
penggerak bagi tubuh. Tanpa jiwa, tubuh tidak ada bedanya dengan benda mati lainny
a; tanpa jiwa tubuh sama dengan jenazah. Bagian-bagian tubuh tidak bisa melakukan
aktivitas-aktivitas masing-masing jika tidak dihidupkan dan digerakkan oleh jiwa.
Jadi, tubuh merupakan instrumen dan lokus bagi jiwa untuk menghidupkan tubuh
yang pada gilirannya membuat tubuh beraktivitas.

Ketika jiwa kembali ke sumber hidup maka tubuh pun tidak berguna karena
yang memberi hidup kepada tubuh adalah jiwa. Karena jiwa itu hidup maka tubuh pun
hidup. Jiwa yang berarti hidup dicirikan oleh adanya gerak dan fungsi, suara,
bertumbuh dan berkembang, serta reproduksi. Dengan begitu, tubuh hidup dan
berfungsi sebagai instrumen bagi tindakan-tindakan fungsional termasuk perbaikan
dan perubahan sesuai pesan dan perintah dari jiwa.

Kita meyakini pandangan bahwa manusia merupakan makluk ciptaan Allah yan
g memiliki jiwa dan tubuh. Tanpa jiwa, tubuh tidak berguna dan manusia pun tidak
ada. Tubuh manusia bisa berguna karena ada jiwa. Tubuh adalah prasyarat dan lokus
bagi Jiwa. Dengan demikian, manusia dapat bertumbuh dan bergerak serta mampu
mewujudkan kebutuhan-kebutuhannya karena dihidupkan, digerakkan dan diberi
cahaya oleh Jiwa. Dengan kata lain, pertumbuhan dan perkembangan, pergerakan, dan
reproduksi manusia bukan merupakan kehendak tubuh melainkan kehendak jiwa.

Jiwa itu sendiri bersifat netral dan terbuka untuk dipengaruhi oleh dua kekuatan
supranatural sehingga tubuh bergerak dan melaksanakan aktivitas-aktivitasnya, baik
yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Tindakan tubuh ke arah positif dan
konstruktif bersumber dari ALLAH dan yang negatif dan destrukstif berasal dari
SETAN. Setan diberi kuasa oleh Allah untuk mengganggu dan menggoda jiwa
meskipun setan tidak akan pernah mematikan jiwa manusia. Walaupun tindakan tubuh
dipengaruhi oleh dua kekuatan supranatural akan tetapi Allah memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memilih tindakan-tindakannya. Hasil dari tindakan-tindakan
tubuh apakah berorientasi kepada kebaikan atau kepada kenikmatan akan
berkonsekuensi kepada jiwa dan tubuh. Tubuh hancur dan kembali menjadi tanah
karena ia berasal dari bumi sementara jiwa abadi dan kembali ke sumber asalnya
yakni Allah sebagai pemiliknya.

Artinya, jiwa diberi kebebasan untuk memilih kebaikan dan kebahagian karena
tubuh konsisten melaksanakan aktivitas dan perbuatan jiwa. Akibatnya, tubuh sehat
jiwa pun sehat. Kalau yang terjadi adalah yang sebaliknya, jiwa merana maka tubuh
pun menderita dan melarat. Allah sengaja memberikan penderitaan kepada manusia
untuk menyadarkan manusia supaya kembali kepada-NYA. Prinsip punishment dan
reinforcement dalam psikologi tepat menjelaskan munculnya sebuah perilaku. Sebuah
perilaku yang bersifat positif cenderung diulang karena tersedia inforcement dan
sebaliknya cenderung dihindari perilaku yang negatif dan jahat karena akan diberi
punishment.

Manusia itu berjiwa karena itu ia hidup dan bercahaya. Mata bisa melihat
karena jiwa itu hidup dan bercahaya. Akal manusia bisa berpikir dan bernalar
mengenai alam semesta karena jiwa itu hidup dan bercahaya bagi penalaran sehingga
manusia mampu memahami alam semesta secara lengkap dan utuh. Emosi dan spirit
manusia dapat diekspresikan karena jiwa itu hidup dan emosi memperoleh cahaya
dari jiwa itu sendiri. Karena itu, manusia diyakini sebagai organisma yang
mempunyai hubungan antara apa yang bernyawa, dan apa yang bernafas dan
bercahaya. Kehidupan merupakan unsur pokok dari jiwa dan cahaya jiwa yang bersu
mber dari Allah menuntun dan menerangi alat indra manusia untuk memahami tentan
g rahasia hidup dan alam semesta. Dengan cara seperti itu maka hidup manusia menja
di bermakna dan berguna untuk menghidupkan orang lain dan dunia.

Jiwa memiliki wujud yang diekspresikannya melalui tindakan-tindakan manusia


yang bersifat altruis seperti tindakan memberi, menghormati dan menghargai orang
lain, menghargai hak hidup organisme, serta menolong dan memaafkan. Kita dapat
memahami jiwa melalui wujud-wujud yang diekspresikan dalam bentuk verbal,
grafik, dan motorik. Pemahaman mengenai wujud-wujud jiwa yang diekspresikan
sama halnya dengan kita memahami demokrasi. Kita belajar memahami demokrasi
melalui indikator-indikator demokrasi seperti proses pengambilan keputusan, proses
melibatkan hak setiap warga negara dalam pemilu, pemilukada dan kegiatan-kegiatan
politik lainnya. Demikian juga, wujud jiwa yang diekspresikan melalui pesan-pesan
jiwa terhadap manusia dan lingkungan membantu kita belajar untuk mengenalnya.

Wujud jiwa yang diekspresikan melalui tindakan-tindakan manusia meliputi


menerima, mengenal, menampung, kemudian mengolah dan mengekspresikan dan me
manifestasikannya dalam bentuk emosi dan harapan-harapan manusia. Aktivitas
mengolah merupakan tugas pokok dari berpikir seperti mengategori dan
mengelompokkan stimulus-stimulus yang diterima dari luar diri. Misalnya, kita dapat
mengetahui makanan untuk tubuh melalui aktivitas mengenal dan persepsi. Hasil dari
aktivitas mengenal disebut motivasi dan kebutuhan yang diekspresikan melalui emosi
suka-tidak suka. Kita tidak suka akan coklat merupakan sebuah contoh hasil dari
proses mengenal karena ada pengalaman. Orang yang pernah makan duren,
ekspresinya berupa rasa enak karena ia akan menyukai duren. Sebaliknya, ia tidak
menyukai dan menghindari makan duren karena ia pernah mengalami bahwa rasa
duren tidak disukai bahkan menimbulkan pengalaman fisik yang tidak menyenang
kan.

Allah menciptakan duren sebagai makanan tetapi tidak untuk semua orang
karena tubuh setiap orang berbeda. Ketika duren dimakan dan masuk ke dalam tubuh
seseorang, selalu ada pesan-pesan tubuh karena duren yang sedang atau telah dimakan
bisa saja cocok atau pun tidak cocok untuknya. Bila tidak cocok, maka racun yang ada
dalam duren dapat mengakibatkan keadaan sakit parah yang berimplikasi pada
penderitaan dan bahkan meninggal dunia. Itu berarti duren tersebut tidak cocok bagi
tubuhnya karena itu sebaiknya tidak dimakan. Namun karena ketidaksanggupan kita
untuk mengenal dengan baik pesan tubuh yang berimplikasi pada penghirauan
pesannya, maka dapat menyebabkan sakit dan penderitaan akibat racun yang
dikandung oleh jenis makanan tertentu. Di sini kita memahami bahwa tubuh kita
menjadi medan untuk jiwa karena jiwa merupakan medium antara tubuh dan Allah.
Jiwa dipakai Allah sebagai medium untuk mengeskpresikan pesan-pesannya melalui
tubuh. Tubuh merupakan medan untuk menggambarkan jiwa. Allah menciptakan
materi bagi tubuh kemudian DIA juga yang memberi jiwa bagi tubuh.

Jiwa itu sendiri memiliki esensi yang pro life. Aktivitas jiwa tampak dan
diwujudkan melalui aktivitas-aktivitas tubuh yang meliputi aktivitas menerima
(reseptif), aktivitas memproses kemudian menyalurkannya ke seluruh organ tubuh
yang membutuhkan. Meskipun jiwa bersifat netral dalam arti jiwa pro life akan tetapi
dalam kehidupan nyata, manusia cenderung menampilkan perilaku kejahatan dan
ketidakberesan karena jiwa bersifat netral.

Freud dalam teorinya mengenai naluri kehidupan dan naluri kematian


menegaskan bahwa naluri kehidupan selain diarahkan untuk mempertahankan ego
juga untuk keberlangsungan hidup spesies. Tujuan dari naluri kehidupan adalah
pengikatan kesatuan yang semakin erat dan semakin mantap. Sementara naluri-naluri
kematian bertujuan untuk menghancurkan dan memisahkan apa yang telah bersatu,
dan dengan demikian tujuan akhir dari setiap makluk hidup adalah kembali ke
keadaan inorganis. Dengan dasar pandangan seperti itu, tampak jelas bahwa Freud
ingin menegaskan sifat konservatif dari naluri-naluri kehidupan maupun naluri-naluri
kematian. Karena tujuan dari kedua jenis naluri tersebut adalah berusaha
mempertahankan suatu keadaan yang telah ada sebelumnya. Naluri kehidupan
berusaha mempertahankan kehidupan yang sudah ‘constructive’ sementara naluri
kematian berusaha untuk mempertahankan keadaan inorganis ‘destructive’.

Di sini perlu dipahami bahwa teori naluri dari Freud tidak dimaksudkan untuk
menjelaskan tindakan-tindakan kejahatan dan ketidakberesan perilaku manusia yang
berasal dari naluri kematian. Akan tetapi, baik naluri kehidupan maupun naluri
kematian juga bersifat netral yaitu kedua-duanya tidak jahat dan juga tidak baik.
Naluri kematian dan naluri kehidupan diperlukan supaya orang dapat hidup. Perilaku
kejahatan dan ketidakberesan psikis disebabkan oleh adanya konflik di antara kedua
jenis naluri tersebut sehingga keadaan menjadi tidak seimbang lagi. Yang perlu
diketahui adalah bahwa tidak ada satu pun perbuatan yang murni berasal dari satu
naluri saja sehingga perilaku yang destruktif bukan bersumber dari naluri kematian.
Yang ada adalah tingkah laku yang konkret selalu merupakan campuran dari kedua
jenis naluri tersebut.

Selanjutnya muncul persoalan yaitu apakah jiwa setiap orang berbeda sehingga
antara satu individu dengan individu lainnya pun berbeda? Sesungguhnya, jiwa
manusia diciptakan sama dan unik untuk setiap orang. Padahal, manusia diketahui
berbeda antara satu dengan yang lainnya karena kebutuhan setiap orang berbeda.
Perbedaan-perbedaan yang ada pada manusia juga bersifat unik yaitu setiap orang
berbeda dalam hal kelebihan dan kekurangannya. Karena jiwa setiap orang sama dan
unik maka manusia harus terbuka untuk orang lain sehingga setiap orang diharapkan
untuk saling membutuhkan. Dalam perbedaan kebutuhan, ada sifat-sifat yang tidak
sama untuk setiap orang (unik berasal dari kata bahasa Latin unus=satu) yaitu sifat ter
tentu yang hanya ada pada orang tertentu dan tidak ada pada orang lain sehingga dihar
apkan untuk saling mendukung dan saling membutuhkan. Karena itu, keunikan setiap
orang harus dipelihara dan dapat dipergunakan untuk membantu orang lain. Dengan
kata lain, keunikan pada manusia ditunjukkan oleh adanya sifat altruis karena setiap
manusia memiliki keunikan dan keunikan yang sama ada juga pada diri orang lain ‘eg
o alter ego’.

Sesungguhnya, jiwa itu Hidup. Karena ada jiwa maka tubuh pun menjadi hidup.
Tubuh bisa melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya karena
adanya jiwa. Semua kebutuhan itu ada karena diperlukan oleh hidup (baca: jiwa).
Misalnya, kebutuhan akan makanan dan kebutuhan seksual serta kebutuhan lainnya
tumbuh dan berkembang karena diperlukan oleh hidup. Dengan demikian, kalau tidak
ada jiwa maka kebutuhan-kebutuhan pun tidak pernah ada dan manusia pun tidak ada.

Sebagai misal, manusia dapat berpikir dan mengerti serta melakukan analisis
mengenai suatu gejala sosial adalah bukan karena ditumbuhkan oleh kebutuhan tubuh
melainkan karena kebutuhan jiwa manusia. Kekuatan akal digerakkan dan diberi
cahaya untuk bernalar, kekuatan emosi untuk menilai, kekuatan kemauan dan
kehendak untuk memilih serta kekuatan kognisi untuk memutuskan dan memilih
dalam bertindak. Demikian juga, makan dan minum bukan merupakan kebutuhan
tubuh melainkan kebutuhan jiwa. Untuk mewujudkan kebutuhan jiwa akan makanan
dan minuman, tubuh dipakai sebagai alat untuk menerima makanan dan minuman.
Bagian-bagian tubuh akan berfungsi dalam mendistribusikannya sehingga tindakan
jiwa dapat disalurkan sesuai dengan kehendak jiwa itu sendiri. Karena itu, fungsi
tubuh di sini menjadi prasyarat supaya jiwa itu dibumikan untuk memberi cahaya
pada aktivitas-aktivitasnya.

Jiwa menjadi dasar dan meresap ke seluruh organ-organ tubuh. Tubuh adalah
instrumen atau lokus terjadinya aktivitas jiwa yang terdistribusikan ke bagian-bagian
tubuh lainya. Hidup diberi oleh sumber hidup yaitu Allah sendiri. Tubuh hanya dapat
beraktivitas karena ada jiwa yang diberi oleh sumber pemilik jiwa kepada tubuh
supaya manusia dapat hidup. Jiwalah yang menggerakkan tubuh untuk melakukan
aktivitas dan membagikan tugas kepada masing-masing organ tubuh. Sebagai misal,
otak ditugaskan untuk berpikir, mata untuk melihat, dan lain-lainnya.

Supaya tubuh dapat bergerak dan melaksanakan tugas-tugasnya, maka pertama-


tama jiwa harus selalu menerima pesan-pesan dari sumber pemilik jiwa itu sendiri
berupa ilham atau dalam istilah psikologi sering dikenal dengan inspirasi. Pesan-
pesan yang diterima oleh jiwa dari sumber pemilik inspirasi disebut pengetahuan
ilahi. Karena pengetahuan-pengetahuan itu diterima jiwa dari Allah maka kita
meyakininya sebagai pengetahuan ilahi. Supaya pengetahuan ilahi itu bisa diperoleh
maka jiwa harus membangun relasi dengan Allah sehingga terang-Nya dapat
diperoleh. Selanjutnya, jiwa memberi cahaya kepada tubuh untuk melaksanakan
aktivitasnya. Semakin terang dan bercahaya maka semakin jelas kita mengetahui
tentang dunia dan hidup itu sendiri.

Selain memperoleh pengetahuan ilahi, jiwa juga memperoleh pengetahuan


indrawi dari dunia. Disebut pengetahuan indrawi karena pengetahuan itu diterima
jiwa dari dunia melalui alat indra manusia. Pengetahuan indrawi dalam psikologi
sering disebut pengetahuan persepsional karena dasarnya adalah pengalaman.
Pengetahuan jenis tersebut diakui cenderung kabur dan menyesatkan karena
keterbatasan indrawi manusia, dan oleh karena itu diperlukan cahaya dari jiwa
sehingga aktivitas tubuh untuk mendapatkan pengetahuan indrawi tidak hanya
terbatas pada hal-hal yang tampak akan tetapi juga hal-hal yang tidak tampak dan
tidak terungkap bahkan tidak tersingkap.

Pengetahuan persepsional yang diterima oleh jiwa melalui cahaya dari Allah
sudah pasti tidak hanya berupa apa yang tampak, akan tetapi juga hal-hal yang tidak
tersingkap, dan hal-hal yang tidak bisa ditangkap indra dapat diungkapkan oleh akal
manusia. Jadi, hasil berpikir yang diungkapkan dalam bentuk sebuah produk berpikir
sesungguhnya bukanlah murni merupakan kerja otak akan tetapi juga dicahayai oleh
jiwa.

Katakanlah salah satu hasil berpikir manusia adalah rancangan pesawat terbang.
Rancangan pesawat terbang akan berhasil dirancang sesuai dengan kebutuhan karena
ada pengetahuan ilahi (bisa dibaca ILHAM). Pengetahuan tersebut diterima jiwa dari
Allah kemudian diproses bersama pengetahuan persepsional dari dunia oleh akal. Hal
ini dapat terjadi karena disainer memperoleh inspirasi dari Allah sehingga ia mampu
menangkap rancangan pesawat terbang yang tampak jelas di dalam alat berpikirnya.
Kemudian, supaya pesawat terbang dapat berfungsi secara lebih optimal dan sesuai
dengan kebutuhan maka pengetahuan yang bersifat inspirasional harus dipadukan
dengan pengetahuan persepsional. Pengetahuan jenis ini mencoba memahami seperti
apakah kebutuhan dan harapan-harapan dari dunia terhadap pesawat terbang yang
akan dirancang. Untuk itu, jiwa perlu membangun hubungan yang baik yang bersifat
diadik maupun yang bersifat triadik. Manusia perlu membangun hubungan antara jiwa
dengan sumber jiwa dan dunia sehingga bagian-bagian tubuh mampu membaca
kebutuhan-kebutuhan dunia dengan lebih jelas dan konkret. Interaksi antara
pengetahuan inspirasional dan pengetahuan persepsional (pengalaman) akan
menghasilkan gambaran yang jelas dan konkret mengenai rancangan pesawat terbang
yang diharapkan.

Melalui ilustrasi sederhana mengenai proses mendisain pesawat terbang tersebut


diperoleh gambaran bahwa rancangan pesawat terbang berhasil dibuat secara
proporsional sesuai dengan yang diharapkan karena selain jiwa membangun relasi
dengan dunia melalui pengetahuan persepsional, jiwa juga selalu membangun relasi
dengan Allah melalui pengetahuan inspiratif. Di sini jiwa membangun hubungan yang
bersifat triadik yakni jiwa membangun relasi dengan tubuh melalui pengetahuan
persepsional dan relasi jiwa dengan pencipta jiwa melalui pengetahuan ilahi. Tanpa
adanya usaha jiwa untuk membangun relasi dengan pemilik pengetahuan ilahi maka
tubuh menjadi gelap dan buta sehingga yang akan dicapai oleh manusia hanyalah
berupa hal-hal yang tampak karena jiwa hanya berhubungan secara diadik. Akibatnya,
sebuah produk berpikir dihasilkan dari kegelapan dan hubungan yang bersifat diadik
hidup manusia lebih banyak menuai kecemasan, kekhawatiran, kebingungan, putus
asa dan ketakutan serta perasaan lainya yang bersifat negatif.

Muncul pertanyaan lanjutan, apakah ilham atau inspirasi yang diterima setiap
orang sama atau berbeda-beda? Jawaban yang perlu diberikan adalah ilham yang
diterima masing-masing orang berbeda-beda dan bergantung kepada terang dari
sumber pemilik terang itu sendiri. Ilham atau inspirasi yang diterima seseorang
didasarkan pada hubungan berpikir jalur pendek karena tanpa mengikuti proses
berpikir yang sistematis dan ilmiah sifatnya. Semakin baik relasi diri dengan sumber
hidup melalui hubungan jalur pendek akan semakin mampu seseorang mengolah alam
dan memecahkan masalah-masalah hidup. Semua ini bisa terjadi karena jiwa selalu
aktif berelasi dengan Allah sehingga Ia selalu mencayahayai aktivitas-aktivitas jiwa
yang dilakukan oleh tubuh. Aktivitas jiwa yang pokok meliputi aktivitas reseptif,
aktivitas memproses, dan memproduksi. Karena jiwa itu aktif dan selalu berelasi
dengan sumber hidup maka ia menerima pengetahuan inspiratif kemudian diproses
secara baik dan benar yang hasilnya dirasakan memuaskan dan sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena aktvitas berpikir dan seluruh proses berpikir
selalu dicahayai pengetahuan ilahi. Proses seperti itu, dalam psikologi dikenal sebagai
proses berpikir kreatif dan inovatif.
RANGKUMAN

Ordo dunia semesta terdiri atas apa yang kelihatan dan apa yang tidak kelihatan.
Ilmu pengetahuan dalam proses pencaharian kebenaran cenderung mencarinya lewat
pembuktian empiris yaitu pada apa yang kelihatan, apa yang dialami (pengetahuan
persepsional=pengalaman). Dalam psikologi, pencarian kebenaran tentang jiwa
menurut pandangan konvensional cenderung berkonsentrasi pada perilaku-perilaku fis
ik dan nyata sehingga orientasinya lebih pada pengetahuan persepsional. Bukti-bukti
empirik merupakan rujukan bagi upaya pencapaian kebenaran dan berfungsi untuk
memecahkan persoalan-persoalan eksistensial kemanusiaan.

Dalam kenyataannya, ilmu tidak sanggup menjawab semua persoalan manusia.


Banyak persoalan mengenai psikologi seperti Ilham, insight, inspirasi, intuisi yang
merupakan dimensi-dimensi kejiwaan yang diakui tidak mampu diterangkan menurut
metode penalaran ilmiah. Usaha-usaha penelaahan menjadi tidak menarik karena met
ode dan pendekatan ilmu pengetahuan berbasis pada pemikiran dan bukan pada penge
tahuan ilahi. Cara berpikir manusia menggunakan basis institusi rasio dan bersifat
diadik karena dengan cara seperti itu nalar manusia dibentuk untuk menolak dan men
utup diri untuk menghindari hal-hal yang tidak didukung oleh bukti empirik. Akibatny
a, rasio manusia harus tunduk pada tuntutan keilmuan yang bersifat rasional, prosedur
al dan validasi ilmiah hanya untuk memperoleh kebenaran konvensional dan bukan be
nar untuk alasan dan tujuan kebenaran itu sendiri. Kebenaran ilahi tidak ditemukan di
dalam pemikiran yang terbatas karena kebenaran itu begitu besar dan tidak bisa ditam
pung oleh pemikiran manusia yang begitu kecil dan amat terbatas.

Seharusnya, dimensi-dimensi jiwa tersebut perlu dipelajari dan diberi perhatian


karena daripadanya manusia memperoleh terang bagi upaya pemecahan persoalan
kemanusiaan secara holistik. Melalui dimensi jiwa yang telah disebutkan, manusia
perlu membuka ruang yang lebih proporsoinal bagi upaya pencarian kebenaran. Kalau
kebenaran itu merupakan aktivitas pencarian maka setiap orang diberi ruang untuk me
mperoleh pengalaman pembelajaran menuju kepada kebenaran sebagai proses ilmiah
dan bukan tujuan kebenaran ilmiah diperoleh melalui kerja rasio. Kebenaran harus dili
hat sebagai proses dan pengalaman belajar karena itu kita percaya bahwa Allah sebaga
i pemilik kebenaran itu sendirilah yang menuntun kita untuk mengerti dan memahami
kebenaran itu sendiri sebagai benar dan bukannya kebenaran itu ada karena hasil kerja
rasio semata-mata. Kebenaran rasio adalah hasil rasionalisasi yang didasarkan pada pa
ndangan cogito ergo sum dari Rene Decartes. Padahal kebenaran itu sesungguhnya mi
lik Allah dan melampaui pemikiran. Maka yang benar adalah bukannya cogito ergo su
m melainkan respondeo ergo sum ‘saya menjawab maka saya ada’. Dengan
demikian, Inteligeo ut credam, ‘saya ada karena saya percaya kepada Allah’. Saya su
ngguh percaya bahwa Allah yang membantu dan menuntun saya untuk memahami seg
ala sesuatu melalui relasi diri dengan Allah, dengan dunia sosial dan lingkungan alam.
Oleh karena itu, relasi ini bersifat triadik. Dengan demikian, manusia bekerja bersam
a Allah dan mengandalkan peran Allah untuk menjawab persoalan kemanusiaan baik
yang tampak maupun yang tidak tersingkap. Jadi, yang benar untuk kebenaran itu sen
diri adalah Kebajikan!
DAFTAR BACAAN

Baldwin, James Mark, (2007). History of Psychology, A Sketch and an Interpretation,


Jogyakarta, Penerbit Primasophie.

Bertens, K., (1983), Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud, Jakarta, Penerbit


PT. Gramedia.

Boeree, C. George, (2005), Sejarah Psikologi, Dari Masa Kelahiran sampai Masa
Modern, Jogyakarta, Penerbit Prismasophie.

Brower, M.A.W, ( 1983), Psikologi Fenomenologis, Jakarta, Penerbit PT Gramedia.

Sarlito, Sarwono Wirawan, (2009), Pengantar Psikologi Umum, Jakarta,


PT.RajaGrafindo Persada.

-------------------- (2002), Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh


Psikologi, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang.

-------------------- (2002), Psikologi Sosial, Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial,


Jakarta,Penerbit Balai Pustaka.

Sarlito, Wirawan Sarwono dan Eko A. Meinarno, (2009), Psikologi Sosial, Jakarta,
Penerbit Salemba Humanika.

Sebatu, Alfons, (1994), Psikologi Jung, Aspek Wanita dalam Kepribadian Manusia,
Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Soemanto, Wasty, (1988), Pengantar Psikologi, Jakarta, Penerbit PT. Bina Aksara.

Walgito, Bimo, (1999), Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Yogyakarta, Penerbit Andi.

Wilcox, Lynn (2013). Psikologi Kepribadian. Analisis Seluk-Beluk Kepribadian Manu


sia, Jogjakarta. Penerbit IRCisoD.

Zaviera, Ferdinand, (2007), Teori Kepribadian Sigmund Freud, Jogyakarta,


Prismasophie.

Anda mungkin juga menyukai