PASCASTRUKTUALISME
OLEH:
KELOMPOK II
MARDATILLAH (171050101021)
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi yang ingin mendalami filsafat,
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
3. Tujuan .................................................................................................. 3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
metode, maupun teknik yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai sebuah metode, teori
selama lebih kurang setengah abad. Dengan tidak melupakan kekuatan sekaligus hasil-hasil
maksimal yang telah dicapai, strukturalisme ternyata memiliki sejumlah kelemahan yang
sangat perlu untuk diperbaiki. Strukturalisme dianggap terlalu kaku karena didasarkan pada
struktur dan sistem tertentu serta memberikan perhatian yang terhadap karya sastra sebagai
kualitas otonom. Banyak teori dan pemikiran yang telah dimunculkan untuk mengkaji dan
menafsirkan teks sastra dari berbagai perspektif lain, di antaranya adalah Dekonstruksi.
Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang
lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode
membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya
selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian
dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, ataupun presmis
yang tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran
modernisme, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang
memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Muzir, dalam kata pengantar buku
Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, 2006: 12). Oleh karena itu, metode
dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan.
Setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material,
cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi landasan teks tersebut
tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-konsepnya dalam teks
secara keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal memenuhi kriterianya sendiri; standar
atau definisi yang dibangun teks digunakan secara reflektif untuk mengguncang dan
Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan
strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem
hendak menunjukkan ketidaberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari tulisan, yaitu
balik teks-teks. Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks filosofis yang terdapat
bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan keragaman kekuatan-
Kehadiran dekonstruksi telah memungkin- kan sebuah teks memiliki multi makna. Teks
sastra dipandang sangat kompleks. Itulah sebabnya, prinsip otonomi karya sastra yang
memisahkan dengan yang lain, di tolak oleh paham ini. Karena semakin jauh pemisahan diri
teks sastra dengan unsur diakronis, hanya memperbesar difference. Bagi ilmu yang melatari
penciptaan, teks sastra tidak dapat disebut sebagai pengetahuan menulis, melainkan
gramatologi. Gramatology akan terwujud ke dalam teks dekonstruksi (Endaswara, 2003: 175).
Hal ini sarat dengan pengolahan bentuk oleh pencipta sastra. Oleh karena itu, pemaknaan teks
harus diangkat keluar, dibandingkan dengan logika berpikir maupun kemungkinan tanggapan
sehingga makna teks sangat kompleks. Jaringan- jaringan makna dalam teks bisa menjadi rumit
yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melinkan bersifat
plural, makna tidak tetap, tetapi hidup dan berkembang. Oleh sebab itu, dekonstruksi
Dekonstruksi memang berpusat pada teks, tetapi paham yang dipegang lebih luas. Teks
tidak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga menolak struktur lama yang telah lazim.
Dekonstruksionis menganggap bahwa bahasa teks bersifat logis dan konsisiten. Misalkan,
sebuah tema besar bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh paham
dekonstruksi tidak selalu dibenarkan. Di era sekarang, sastra boleh saja membalik atau
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Hakikat Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang
lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode
membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya
selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian
dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, ataupun presmis
yang tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran
modernisme, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang
memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Muzir, dalam kata pengantar buku
Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, 2006: 12). Oleh karena itu, metode
dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan.
Setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material,
Bagi para dekonstruksionis, dekonstruksi bukanlah teori biasa yang mudah dipetakan
ke dalam sebuah definisi. Bahkan, dekonstruksi sendiri cenderung menghindari definisi apa
pun sehingga ia sama sekali tidak bisa didefinisikan dan terbuka untuk berbagai penafsiran.
Setiap upaya untuk mendefinisikan dekonstruksi akan terbetur, karena Derrida sendiri menolak
strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu
bersifat antiteori atau bahkan antimetode, karena yang menjadi dasar di dalamnya adalah
metode membaca teks secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis
yang menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan
konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal
memenuhi kriterianya sendiri; standar atau definisi yang dibangun teks digunakan secara
reflektif untuk mengguncang dan menghancurkan pembedaan konseptual awal teks itu.
Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan
strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem
hendak menunjukkan ketidakberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari tulisan, yaitu
balik teks-teks. Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks filosofis yang terdapat
bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan keragaman kekuatan-
Tugas dekonstruksi menurut Derrida (Norris, 2006: 56) adalah untuk menghilangkan
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat yaitu ide yang mengatakan rasio bisa
lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni yang otentik dalam dirinya
sendiri tanpa bantuan yang lain. Sementara itu, Al-Fayydl (2006: 64) mengemukakan bahwa
cara strukturalisme memilah bahasa di mata Derrida telah usang dan tidak memadai. Bahasa
tidak selalu hadir dalam wajah tunggal yang koheren. Dekonstruksi Derrida ingin
kurang banyak mendapat perhatian dari kaum strukturalis dan bahkan cenderung dihindari.
Derrrida selalu melihat bahasa sebagai medan di mana makna dan tanda berebut untuk tampil
ke permukaan teks.
Menurut teori bahasa Derrida, penanda (signifier) tidak berkaitan langsung dengan
petanda (signified). Petanda dan penanda tidak berkorespondesi satu-satu. Menurut pemikiran
Saussure, tanda dilihat sebagai satu kesatuan, tetapi menurut Derrida, pada kenyataannya kata
dan benda atau pemikiran tidak pernah menjadi satu. Derrrida melihat tanda sebagai struktur
perbedaan: sebagian darinya selalu tidak di sana, dan sebagian yang lain selalu bukan yang
itu. Dengan kata lain, Derrida mengatakan ketika membaca suatu penanda, makna tidak serta
merta menjadi jelas. Penanda menunjuk apa yang tidak ada, maka dalam arti tertentu makna
juga tidak ada. Makna terus menerus bergerak di sepanjang mata rantai penanda, dan tidak
dapat dipastikan posisi persisinya, karena makna tidak pernah terikat pada satu tanda
tertentu. Makna tidak pernah identik dengan dirinya sendiri karena muncul pada konteks yang
berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama. makna tidak akan pernah
sama dari satu konteks ke konteks yang lain. Petanda akan selalu diubah oleh berbagai macam
mata rantai yang menjeratnya. (Sarup, 2008: 47). Dengan demikian, tanda akan selalu
mengarah pada tanda lain, satu tanda akan saling menggantikan tanda yang lain sebagai
Satu hal lagi yang penting dalam dekonstruksi menurut Derrida adalah penolakannya
terhadap pusat. Strukturalisme selalu mengutamakan adanya pusat, artinya pusat menguasai
melepaskan diri sekaligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Derrida,
dalam usaha menemukan pusat-pusat yang baru sesungguhnya subjek juga akan selalu terlibat
Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah, di satu sisi pusat itu adalah plural,
bukan tunggal. Di pihak lain, yang dimaksudkan adalah fungsi, bukan realitas. Untuk
menjelaskan maksud ini, Derrida mengemukakan konsep decentering , struktur tanpa pusat dan
tanpa hierarki. Cara yang dilakukannya, misalnya, dengan memahami dan mengkaji sesuatu
yang semula dianggap kurang penting, misalnya tokoh sekunder, tema minor, dan sebagainya,
bahkan pada ruang-ruang kosong sehingga mempengaruhi seluruh isi teks dan semesta sosial
sehingga pusat bergeser terus menerus. Dalam kaitan inilah dekonstruksi membongkar sistem
biasa diharapkan oleh banyak orang. Tidak ada makna yang ingin ditangkap. Setelah sebuah
teks didekonstruksi, yang ada hanyalah permainan dan permainan belaka, yang tidak mengarah
pada kepada satu tujuan atau referens, tetapi menyebar ke segala arah. Dengan kata lain, tidak
ada satu kekuatan pun yang dapat menghentikan menyebarnya penafsiran-penafsiran baru yang
sewaktu-waktu dapat mencuat tanpa disangka- sangka dari sebuah teks. Dalam pembacaan
dekonstruktif, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran (Al-Fayydl, 2006: 82).
Persoalan lain dalam dekonstruksi adalah penggembosan terhadap narasi besar (grand
narative). Sesuatu yang telah berlaku lama, tertata, kemudian muncul sesuatu yang baru yang
menolak atau bahkan sama sekali bertolak belakang dengan apa yang selama ini sudah tertanam
kokoh, baik di bidang sosial, politik, agama, budaya, begitu juga dalam sastra. Hal ini dapat
dilihat dengan munculnya karya-karya sastra yang mendobrak pola-pola baku yang berlaku
dalam penulisan sebuah karya sastra selama ini, baik mengenai tokoh, tema, setting, peristiwa,
logika cerita, dan lain sebagainya. Dari susunan rapi dan tertata itu, dekonstruksi mendobrak
atau merusak konstruksi untuk menghasilakan konstruksi baru. Hal ini perlu dipahami,
karena perkembangan mutakhir juga banyak karya-karya sastra yang lari dari struktur. Tidak
sedikit pula tipografi-tipografi puisi yang sulit dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap,
puisi mini kata, puisi tanpa kata dan sebagainya. Karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu,
Dewi Lestari, Seno Gumira Ajidarma, Danarto dapat dikategorikan dalam kelompok tersebut.
B. Prinsip-Prinsip Yang Terdapat Pada Teori Dekonstruksi
1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)
akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah
hukum universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa
dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara
terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru.
Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
Derrida (Spivak, 1976: xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah differEnce dan
differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan
melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus
berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang
berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu
dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan
kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara
to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara
utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna,
maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya,
antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjdai
terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce,
trace, dandencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun
1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi
Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dan differance, bahasa kamus baik
bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui
melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan
dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya
hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang
C. Tujuan Dekonstruksi
dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
D. Tokoh Dekonstruksi
Tokoh terpenting didalam teori ini adalah Jacques Derrida (Al-Fayyadl, 2005: 2) adalah
keturuan Yahudi. Ia dilahirkan di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Pada
tahun 1949 ia pindah ke Prancis, tempat ia tinggal sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1952, ia
belajar di Ecole normale suprieure, Prancis, dan pernah juga mangajar di sana sesaat sebelum
kematiannya. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge.
mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-
mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota
7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa
karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya
berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan
Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre,
Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai
karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19.Sejak tahun 1974 (Bertens,
2001: 327) Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan dosen filsafat yang memperjuangkan
Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi.
Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting
lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan
Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan
E. Sejarah Perkembangan
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
Amerika, sebagai aliran yale. Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden
White dalam bukunya Tropics of Discourse (1987). Menurut White, sejarah tidak seratus
persen objektif sebab bagaimanapun sejarahwan menyusun cerita kedalam suatu struktur,
Perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara
menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal.
Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan
adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan
seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya. Umar Junus (1996:109-
109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi
justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak
saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.
sebenarnya pada pendekatan lain, tetapi mencari makna kontradiktif dalam karya sastra yang
dibaca. Makna yang logis disangkal dan ditolak, dan untuk langkah-langkah pendekatan
dekonstruksi antara lain: a) membaca karya sastra secara totalitas untuk menegaskan struktur,
keutuhan atau makna yang telah pasti pada karya sastra; b) unsur atau bentuk-bentuk dalam
karya sastra itu dicari dan dipahami justru arti kebalikannya; c) unsur-unsur yang tidak penting
dilacak dan dipentingkan, diberi nama pesan sehingga akan terlihat atau menonjol perannya
Dekontruksi memang berpusat pada teks. Ia tak lepas dari teks, tetapi paham yang
dipegang lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekontruksi juga menolak struktur
lama yang tak lazim. Bagi dekonstryuksionis menganggap bahwa bahasa teks bersifat logis
dan konsisten. Sebuah teks dalam pandangan dekontruksi akan selalu menghadirkan banyak
makna, sehingga teks tersebut sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa
rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan
bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya,
dekontruksi membiarkan teks itu ambigu dan menentang segala kemungkinan. Junus (1986:36)
menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna teks berawal dari struktur kemudian
adalah upaya secara deksontruktif, dengan cara membreidel teks, mengobrak-abrik teks, dan
Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih
mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa
dapat dikembalikan ke kenyataan. itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba
menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lainya, diharapkan lebih memadai.
Inilah yang dilakukan oleh kaum dekonstrktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman
sastra. Dalam kaitan ini Roland Barthes (1983) memberi tahapan penelitian dekonstruksi
sebagai berikut:
(1) mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur
mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan jaringan, baik jaringan antar semua unsur
(jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dan Y).
Teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain diluar
teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan paradoksal. Maksudnya,
pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu
yang akhirnya mudah dikenal. Dalam kaitannya itu, Roland Barthes (Pradopo, 1991:78)
memandang bahwa teks sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure Of
The Text ia membedakan Pleasure atau kenikmatan menjadi dua arti: yaitu Pleasure
(kenikamatan) dan bliss (kebahagiaan). Yang lebih tajam lagi Foucoult berpendapat bahwa tak
ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam teks sastra. Teks sastra bersifat keduniaan
, karenanya pemaknaannya setring tidak lepas dari otoritas dan kekuasaan. Itulah sebabnya
pemaknaan teks sastra harus dipandang dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan
terus-menerus. Bahkan pada suatu saat perlu memandang dan mendekontruksikan wacana-
sebelumnya. Paham dekontruksi ini tampaknya memang belum mendapat angin segar dalam
perkembanganya.
H. Teori Analisis
mempertimbangkan kembali tentang nilai-nilai tradisi seperti tanda, kata, dan tulisan. Dalam
teori deksontruksi sistim tanda yang telah di bangun Saousurre diramu berasa teori lainya untuk
menawarkan konsep jejak. Jejak (trace) bersifat misterius dan tak tertangkap, muncul sebagai
kekuatan dan pembentuk tulisa, menembus dan memberi energi pada aktivitas yang
menyeluruh, bersifat omnipresent tetapi tetap luput dari jangkauan. Hal ini berarti bahwa
fenomena. Fenomena sastra dan budaya dipahami melalui konsep difference. Difference
mencakup tiga pengertian, yaitu: todiffer (berbeda), differe (tersebat dan terserak) dan to defer
(menunda) . Differ adalah konsep ruang, maksudnya tanda muncul dari sistem perbedaan yang
mengambil tempat dalam sistem itu. Differ bersifat temporal, maksudnya signifier
memaksakan penundaan kehadiran tanpa kesudahan (Selden, 1985:88). Akan tetapi, perbedaan
istilah itu hanya dapat ditemukan dalam tulisan sebab dalam tuturan difference diucapkan
sebagai difference. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip diferensiasi lebih kuat beroperasi dalam
tulisan.
Pada moment tertentu diffrence muncul pada kita sebagai suatu kekuatan yang cosmic
setiap satuan dan konsep dalam semesta. Sesungguhnay kekuatan ini berfungsi secara negatif,
karena ia menyatakan terutama sekali lewat perusakan dan pemecahan terhadap segala sesuatu
secara diam-diam. Difference tidak dapat dianggap sebagai suatu peristiwa, ia tidak berusmber
dari moment awal yang berupa kesatuan atau harmoni yang tidak terganggu. Pembalikan dan
penundaan yang fundamental yang tersirat pada difference akan lenyap tak tertangkap apabila
kita menganggapnya sebagai peristiwa (yang ada atau yang pernah ada). Kualitas pembalikan
dan permainan yang khas dari difference adalah menjauhnya penampilan sebagai sumber asal,
sebagai keberadaan yang hadir, sebagai produksi, sebagai konsep kunci atau kata kunci. Selain
differnce, dalam penelitian dekonstruksi ada hal-hal lain yang patut diperhatikan yaitu titik-
titik aporia. Titik aporia adalah unit-unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna
atau suatu figur yang menimbulkan kesulitan penjabaran. Titik aporia ini akan menimbulkan
alusi, yaitu ditemukan sebuah unit teks-teks lain, atau peristiwa-peristiwa yang senada dengan
yang dihadapi. Caranya dengan mensejajarkan atau mempertentangkan dengan unit wacana
yang dihadapi. Hasil akhir akan ditemukan dua hal, yaitu retrospektif dan prospektif.
Retrospektif adalah cara kerja dekontruksi yang diawali dengan pencarian unit wacana yang
menimbulkan kebuntuan, selanjutnya unit wacana yang buntu itu dipertentangkan atau
disejajarkan dengan unit wacana lain dalam teks yang sama. Sedangkan Propektis tidak terbatas
pada unit wacana dalam teks yang dihadapi saja, tetapi perlu dilacak di luar teks.
Menurut Derrida (Culler, 1981:90) mendekonstruksi suatu opisisi adalah membalikan suatu
hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru tahap peratama. pada tahap berikutnya, pembalikan
harus dilakukan terhadap sistem keseluruhan yang di dalamnya opisisi itu menjadi bagian-
bagiannya. Hanya dengan syarat itulah dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus
nondiskursif. Praktek dekonstruksi bekerja dalam batas-batas sistem tertentu tetapi dengan
(lampiran). Sejalan dengan Rousseou, tulisan sebanarnya hanya lampiran ujaran saja.
Tulisan sekadar menambahkan sesuatu yang tidak hakiki. Namun, dekonstruksi memandang
tulisaan lebih jauh dari sekadar lampiran, melainkan mengambil tempat ujaran. Kehadiran
(a) Tanda tertulis adalah sebuah tanda yang dapat diulangi tanpa kehadiran, bukan hanya
ketakberadaan subjek yang mengucapkannya dalam konteks tertentu, tetapi juga kebaradaan
(b) Tanda tertulis dapat merusak kontek yang nyata dan dapat dibaca dalam konteks yang berada
(1) Terdapat keterkaitan dengan serangkaian konsepo kritik, termasuk konsep kesastraan itu
sendiri. Relevansi ini terjalin karena ada hubungan sastra dan filsafat; filsafat dapat dipandang
(2) Sebagai sumber tema; sebagai contoh adalah tema kehadiran atau ketakhadiran., sentral atau
(3) sebagai contoh strategi pembacaan, yaitu terletak pada keberanian peneliti sastra untuk
sampai pada tipe-tipe struktur, membangun oposisi simetrik dan hirarkis, memperhatikan term-
term yang mengandung argument bertentangan , membuat tertarik pada sesuatu yang
menantang interpretative otoritatif, mencari gerak teks terdahulu yang akan ditolak oleh teks
dikeluarkan oleh teks itu sendiri maupun interpretasi mengenainya. (4) sebagai gudang
cadangan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan kritik sastra itu sendiri.
yang dimaksud adalah pemaknaan karya sastra dapat dimulai dari aspek apa saja bahkan dari
aspek yang sangat kecil yang semula tidak bamyak menarik perhatian orang. Dari sini, dapat
disimpulkan bahwa unsur yang semula kurang atau tidak bermakna, sekarang menjadi
Menurut Derrida unsur yang semula dianggap tak logis kadang justru akan muncul
berulang-ulang unsur tersebut di satu sisi mungkin akan memiliki kekuatan pemaknaan, dan di
sisi lain bisa jadi mengkaburkan makna. Unsur tersebut akan selalu muncul dalam teks yang
disebut dissemination. Selain itu unsur ini diwujudkan dalam impuls lamvang-lambang puitis
dan estetis. Bahkan Barthes menyebut lambang tersebut sebagai jendela atau sinar untuk
dipandang sangat kompleks. Itulah seabnya, prisip otonomi karya sastra yang memisahkan
degan yang lain, ditolak oleh paham ini karena semakin jauh pemisahan diri teks sastra dengan
unsur diakronis, hanya memperbesar difference. Bagi ilmu yang melatari penciptaan teks
sastra tidak dapat disebur sebagai pengetahuan penulis, melainkan grammatology yang akan
terwujud kedalam teks dekonstruksi. Hal ini syarat dengan pengolahan bentuk oleh pencipta
sastra tersebut.
Jika akan diterapkan kedalam penelitian sastra, memang ada beberapa catatan. Pertama
dekonstruksi bukan teori melainkan berkerja dan sekitar kerangkan diskursif yang sudah ada.
Kedua, dekontruksi merupakan filsafat yang menyeluruh mengenai aktifitas interpretasi, bukan
paham khusus mengenai sastra; meskipun didalam sastra memainkan peranan penting karena :
(1) Teori sastra bersifat koprehensif sehingga memungkinkannya melahirkan teori yang luar biasa,
(2) Teori sastra melakukan eksporasi ke batas-batas pemahaman sehingga mengundang dan
(3) Para teoritisasi sastra secara khusus reseptif terhadap perkembangan teoritik yang baru dalam
lapangan-lapangan lain karena mereka kurang punya komitmen disipliner yang khusus seperti
Paul de Man adalah seorang tokoh dekonstruksi amerika yag terpengaruh eropa. Beliau
konsisten menekankan konsep retorika daripada tata bahasa maupun logika. Menurut beliau,
tata bahasa adalah ilmu yang logis dapat dipolakan berdasarkan generalisasi.
De Man menolak adanya analisis retorika sederhana, tetapi lebih dari itu, yaitu perlu
karena analisis itu juga tetap berlanjut pada dekosntruksi selanjutnya, dan seterusnya. Kerja De
Man tidak dapat ditangkap sebagai sistem tunggal tetapi kepada konsistensi terhadap aspek
ironinya.
bnerangkat dari tanda-tanda gramatikal dalam karya yang ditelitinya. De Man tidak
dengan waktu pembacaan, sedangkan Jauss memperhatikan aspek historis, terutama tanggapan
pembaca dari masa ke masa. Catatan penting dari dekonstruksi adalah makna teks sastra
sebenarnya bisa berubah-ubah. Makna sebuah teks bisa bermacam-macam dengan dan tidak
memusat. Pemaknaan secara dekonstruksi boleh kearah futuristik atau avant garde.
Kelebihan pemikiran Derrida adalah upaya mencari pemikiran nilai alternatif di tengah-
tengah nilai yang sudah ada. Hal ini akan mengacu dinamika, serta merangsang manusia untuk
mencari nilai lain yang lebih baik, lebih benar, lebih mendalam, serta bisa menjawab
problem dasar kemanusiaan. Pengaruh Derrida bagi pemikiran filsafat utamanya bertujuan
untuk menyadarkan dan sebagai juru bicara bagi mereka yang selama ini dipinggirkan,
diasingkan, dan yang menginginkan pluralitas, kebenaran relatif, dan keunikan dalam
Kelemahan yang sering dikritikkan terhadap pemikiran Derrida adalah sifat paradoks,
kontradiksi, inkonsistensi, ambivalensi, dilematik, dan tidak pasti. Pemikiran Derrida juga
bersifat ambigu, artinya jika dia mengkritik suatu model pemikiran, maka dia akan terjebak
menyusun model yang lain. Padahal model yang dikritik seperti inilah yang telah mendominasi
pemikiran pihak lain. Namun, bila dia tidak menawarkan suatu model pemikiran, maka dia
akan terjebak ke dalam suatu nihilisme atau kekosongan. Sehingga kritik yang sangat pedas
terhadap pemikiran Derrida dan pemikir postmodernisme dan poststrukturalisme pada awalnya
merupakan strategi dari dekonstruksi ini yang dimaksudkan untuk mencegah totalitarisme pada
segala sistem, namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativitasme dan nihilisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjabaran diatas maka penulis menyimpulkan bahwa Dekonstruksi ialah strategi
pembacaan teks secara filosofis yang menunjuk pada proses yang tak terselesaikan dan bersifat
dinamis. Dekonstruksi tidak melihat kebenaran dalam penafsiran sebagai satu kebenaran.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an.Tokoh terpenting
dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli
filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis
kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah
dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah
dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi
ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekonstruksi mentut
kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Yogyakarta.
Yogyakarta.
wib)
September 2017
Rachmi Masie, Sitti. Maret 2010, ANALISIS TOKOH PADA NOVEL TAK PUTUS
http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/download/791/734
Zulfadhli. 2009. Dekonstruksi dalam Cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka KArya
A.A. Navis JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 2 Tahun 2009 ( 132 - 137),
http://ejournal.fip.unp.ac.id/index.php/bahasaseni/article/view/62/42