Anda di halaman 1dari 24

DEKONSTRUKSI DAN

PASCASTRUKTUALISME

OLEH:

KELOMPOK II

NUR AZIZAH RAHMAN (171050101019)

MARDATILLAH (171050101021)

PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,

Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam

bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan

sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi yang ingin mendalami filsafat,

khususnya pragmatisme dan hermeneutika.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman

bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini

sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki

sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan

masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1. Latar Belakang ....................................................................................... 1

2. Rumusan Permasalahan ...................................................................... 2

3. Tujuan .................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ............. .......................................................................... 4

A. Hakikat Dekonstruksi .......................................................................... 4

B. Prinsip-prinsip yang Terdapat Pada Teori Dekonstruksi ...................... 8

C. Tujuan Dekonstruksi .......................................................................... 9

D. Tokoh Dekonstruksi .......................................................................... 9

E. Sejarah dan Perkembangan Dekonstruksi .............................................. 10

F. Langkah-langkah Pedekatan Dekonstruksi ............................................ 11

G. Karakteristik Kajian Dekonstruksi......................................................... 12

H. Teori Analisis .......................................................................... 13

I. Kelebihan dan kekuran Teori Dekonstruksi ............................................ 18

BAB III PENUTUP ... ............................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA . ........................................................ 21


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori,

metode, maupun teknik yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai sebuah metode, teori

postrukturalisme terutama dikaitkan dengan teori strukturalisme yang sudah berkembang

selama lebih kurang setengah abad. Dengan tidak melupakan kekuatan sekaligus hasil-hasil

maksimal yang telah dicapai, strukturalisme ternyata memiliki sejumlah kelemahan yang

sangat perlu untuk diperbaiki. Strukturalisme dianggap terlalu kaku karena didasarkan pada

struktur dan sistem tertentu serta memberikan perhatian yang terhadap karya sastra sebagai

kualitas otonom. Banyak teori dan pemikiran yang telah dimunculkan untuk mengkaji dan

menafsirkan teks sastra dari berbagai perspektif lain, di antaranya adalah Dekonstruksi.

Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang

lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode

membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya

selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian

dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, ataupun presmis

yang tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran

modernisme, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang

memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Muzir, dalam kata pengantar buku

Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, 2006: 12). Oleh karena itu, metode

dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan.

Setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material,

baik grafis maupun fonetis.


Dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks secara sangat

cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi landasan teks tersebut

tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-konsepnya dalam teks

secara keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal memenuhi kriterianya sendiri; standar

atau definisi yang dibangun teks digunakan secara reflektif untuk mengguncang dan

menghancurkan pembedaan konseptual awal teks itu (Sarup, 2008: 49).

Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan

strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem

perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan dekonstruktif

hendak menunjukkan ketidaberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari tulisan, yaitu

menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di

balik teks-teks. Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks filosofis yang terdapat

bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan keragaman kekuatan-

keuatan yang pusat referensinya tidak jelas.

Kehadiran dekonstruksi telah memungkin- kan sebuah teks memiliki multi makna. Teks

sastra dipandang sangat kompleks. Itulah sebabnya, prinsip otonomi karya sastra yang

memisahkan dengan yang lain, di tolak oleh paham ini. Karena semakin jauh pemisahan diri

teks sastra dengan unsur diakronis, hanya memperbesar difference. Bagi ilmu yang melatari

penciptaan, teks sastra tidak dapat disebut sebagai pengetahuan menulis, melainkan

gramatologi. Gramatology akan terwujud ke dalam teks dekonstruksi (Endaswara, 2003: 175).

Hal ini sarat dengan pengolahan bentuk oleh pencipta sastra. Oleh karena itu, pemaknaan teks

harus diangkat keluar, dibandingkan dengan logika berpikir maupun kemungkinan tanggapan

pengarang terhadap fenomena yang diolahnya.


Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna,

sehingga makna teks sangat kompleks. Jaringan- jaringan makna dalam teks bisa menjadi rumit

yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melinkan bersifat

plural, makna tidak tetap, tetapi hidup dan berkembang. Oleh sebab itu, dekonstruksi

membiarkan makna bersifat ambigu dan menantang segala kemungkinan makna.

Dekonstruksi memang berpusat pada teks, tetapi paham yang dipegang lebih luas. Teks

tidak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga menolak struktur lama yang telah lazim.

Dekonstruksionis menganggap bahwa bahasa teks bersifat logis dan konsisiten. Misalkan,

sebuah tema besar bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh paham

dekonstruksi tidak selalu dibenarkan. Di era sekarang, sastra boleh saja membalik atau

menggembosi tema besar (narasi besar) itu.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana cara kerja teori dekonstruksi ?

2. Bagaimana langkah-langkah kerja teori dekonstruksi?

3. Bagaimana sejarah terbentuknya teori dekonstruksi?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui definisi-definisi dekonstruksi dari berbagai ahli

2. Dapat mengetahui perkembangan teori dekonstruksi

3. Dapat mengenal tokoh-tokoh teori dekonstruksi

4. Memahami tujuan dari teori dekonstruksi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Dekonstruksi

Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang

lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode

membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada perjalanannya

selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian

dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah, ataupun presmis

yang tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran

modernisme, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang

memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Muzir, dalam kata pengantar buku

Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, 2006: 12). Oleh karena itu, metode

dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan.

Setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material,

baik grafis maupun fonetis.

Bagi para dekonstruksionis, dekonstruksi bukanlah teori biasa yang mudah dipetakan

ke dalam sebuah definisi. Bahkan, dekonstruksi sendiri cenderung menghindari definisi apa

pun sehingga ia sama sekali tidak bisa didefinisikan dan terbuka untuk berbagai penafsiran.

Setiap upaya untuk mendefinisikan dekonstruksi akan terbetur, karena Derrida sendiri menolak

membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu definisi. Dekonstruksi dipandang sebagai

strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu

mempermainkannya dalam parodi-parodi. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dekonstruksi

bersifat antiteori atau bahkan antimetode, karena yang menjadi dasar di dalamnya adalah

permainan (play) dan parodi (Al- Fayydl, 2006: 8).


Sarup (2008: 49) menjelaskan bahwa dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah

metode membaca teks secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis

yang menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan

konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal

memenuhi kriterianya sendiri; standar atau definisi yang dibangun teks digunakan secara

reflektif untuk mengguncang dan menghancurkan pembedaan konseptual awal teks itu.

Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur dan

strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar sistem

perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan dekonstruktif lalu

hendak menunjukkan ketidakberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari tulisan, yaitu

menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di

balik teks-teks. Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks filosofis yang terdapat

bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan keragaman kekuatan-

keuatan yang pusat referensinya tidak jelas.

Tugas dekonstruksi menurut Derrida (Norris, 2006: 56) adalah untuk menghilangkan

ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat yaitu ide yang mengatakan rasio bisa

lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni yang otentik dalam dirinya

sendiri tanpa bantuan yang lain. Sementara itu, Al-Fayydl (2006: 64) mengemukakan bahwa

cara strukturalisme memilah bahasa di mata Derrida telah usang dan tidak memadai. Bahasa

tidak selalu hadir dalam wajah tunggal yang koheren. Dekonstruksi Derrida ingin

memerdekakan kembali kekuatan bahasa dengan memaksimalkan permainan tanda yang

kurang banyak mendapat perhatian dari kaum strukturalis dan bahkan cenderung dihindari.

Derrrida selalu melihat bahasa sebagai medan di mana makna dan tanda berebut untuk tampil

ke permukaan teks.
Menurut teori bahasa Derrida, penanda (signifier) tidak berkaitan langsung dengan

petanda (signified). Petanda dan penanda tidak berkorespondesi satu-satu. Menurut pemikiran

Saussure, tanda dilihat sebagai satu kesatuan, tetapi menurut Derrida, pada kenyataannya kata

dan benda atau pemikiran tidak pernah menjadi satu. Derrrida melihat tanda sebagai struktur

perbedaan: sebagian darinya selalu tidak di sana, dan sebagian yang lain selalu bukan yang

itu. Dengan kata lain, Derrida mengatakan ketika membaca suatu penanda, makna tidak serta

merta menjadi jelas. Penanda menunjuk apa yang tidak ada, maka dalam arti tertentu makna

juga tidak ada. Makna terus menerus bergerak di sepanjang mata rantai penanda, dan tidak

dapat dipastikan posisi persisinya, karena makna tidak pernah terikat pada satu tanda

tertentu. Makna tidak pernah identik dengan dirinya sendiri karena muncul pada konteks yang

berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama. makna tidak akan pernah

sama dari satu konteks ke konteks yang lain. Petanda akan selalu diubah oleh berbagai macam

mata rantai yang menjeratnya. (Sarup, 2008: 47). Dengan demikian, tanda akan selalu

mengarah pada tanda lain, satu tanda akan saling menggantikan tanda yang lain sebagai

petanda dan penanda.

Satu hal lagi yang penting dalam dekonstruksi menurut Derrida adalah penolakannya

terhadap pusat. Strukturalisme selalu mengutamakan adanya pusat, artinya pusat menguasai

pusat. Dekonstruksi menolak pemusatan tersebut dengan cara terus-menerus berusaha

melepaskan diri sekaligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Derrida,

dalam usaha menemukan pusat-pusat yang baru sesungguhnya subjek juga akan selalu terlibat

dengan adanya satu pusat.

Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah, di satu sisi pusat itu adalah plural,

bukan tunggal. Di pihak lain, yang dimaksudkan adalah fungsi, bukan realitas. Untuk

menjelaskan maksud ini, Derrida mengemukakan konsep decentering , struktur tanpa pusat dan

tanpa hierarki. Cara yang dilakukannya, misalnya, dengan memahami dan mengkaji sesuatu
yang semula dianggap kurang penting, misalnya tokoh sekunder, tema minor, dan sebagainya,

bahkan pada ruang-ruang kosong sehingga mempengaruhi seluruh isi teks dan semesta sosial

sehingga pusat bergeser terus menerus. Dalam kaitan inilah dekonstruksi membongkar sistem

hierarki, sistem logika yang sudah dianggap baku.

Pembacaan secara dekonstruktif tidak memiliki pengandaian teleologis seperti yang

biasa diharapkan oleh banyak orang. Tidak ada makna yang ingin ditangkap. Setelah sebuah

teks didekonstruksi, yang ada hanyalah permainan dan permainan belaka, yang tidak mengarah

pada kepada satu tujuan atau referens, tetapi menyebar ke segala arah. Dengan kata lain, tidak

ada satu kekuatan pun yang dapat menghentikan menyebarnya penafsiran-penafsiran baru yang

sewaktu-waktu dapat mencuat tanpa disangka- sangka dari sebuah teks. Dalam pembacaan

dekonstruktif, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran (Al-Fayydl, 2006: 82).

Persoalan lain dalam dekonstruksi adalah penggembosan terhadap narasi besar (grand

narative). Sesuatu yang telah berlaku lama, tertata, kemudian muncul sesuatu yang baru yang

menolak atau bahkan sama sekali bertolak belakang dengan apa yang selama ini sudah tertanam

kokoh, baik di bidang sosial, politik, agama, budaya, begitu juga dalam sastra. Hal ini dapat

dilihat dengan munculnya karya-karya sastra yang mendobrak pola-pola baku yang berlaku

dalam penulisan sebuah karya sastra selama ini, baik mengenai tokoh, tema, setting, peristiwa,

logika cerita, dan lain sebagainya. Dari susunan rapi dan tertata itu, dekonstruksi mendobrak

atau merusak konstruksi untuk menghasilakan konstruksi baru. Hal ini perlu dipahami,

karena perkembangan mutakhir juga banyak karya-karya sastra yang lari dari struktur. Tidak

sedikit pula tipografi-tipografi puisi yang sulit dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap,

puisi mini kata, puisi tanpa kata dan sebagainya. Karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu,

Dewi Lestari, Seno Gumira Ajidarma, Danarto dapat dikategorikan dalam kelompok tersebut.
B. Prinsip-Prinsip Yang Terdapat Pada Teori Dekonstruksi

Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:

1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)

2. Membalikan atau mengubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan

Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)

cakibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan

akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah

hukum universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa

dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.

Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-

lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara

terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru.

Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.

Derrida (Spivak, 1976: xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah differEnce dan

differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan

melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus

berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang

berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu

dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan

kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara

to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara

utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna,

maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya,

antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjdai
terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce,

trace, dandencentering.

Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun

1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi

Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dan differance, bahasa kamus baik

bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui

melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan

dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya

hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang

mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.

C. Tujuan Dekonstruksi

Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika

Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada

umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu

pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar

metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual. Sedangkan tujuan metode

dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut,

dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan

ketimpamgan di balik teks-teks.

D. Tokoh Dekonstruksi

Tokoh terpenting didalam teori ini adalah Jacques Derrida (Al-Fayyadl, 2005: 2) adalah

keturuan Yahudi. Ia dilahirkan di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Pada

tahun 1949 ia pindah ke Prancis, tempat ia tinggal sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1952, ia

belajar di Ecole normale suprieure, Prancis, dan pernah juga mangajar di sana sesaat sebelum
kematiannya. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge.

Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004

Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia

mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-

mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota

7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa

karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya

berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan

yang lain, dalam pemikirannya kemudian.

Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre,

Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai

karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19.Sejak tahun 1974 (Bertens,

2001: 327) Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan dosen filsafat yang memperjuangkan

tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah.

Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi.

Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting

lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan

Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan

pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.

E. Sejarah Perkembangan

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh

besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut

Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti

fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,

psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat


problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika

dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di

Amerika, sebagai aliran yale. Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden

White dalam bukunya Tropics of Discourse (1987). Menurut White, sejarah tidak seratus

persen objektif sebab bagaimanapun sejarahwan menyusun cerita kedalam suatu struktur,

menceritakan kembali dalam suatu plot.

Perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai

berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara

menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal.

Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan

adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan

cara pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja yang tersembunyi, sengaja disembunyikan,

seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya. Umar Junus (1996:109-

109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi

justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak

memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa

saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

F. Langkah-langkah Pendekatan Dekonstruksi

Pembacaan karya sastra dengan pendekatan dekonstruksi tidak mencari makna

sebenarnya pada pendekatan lain, tetapi mencari makna kontradiktif dalam karya sastra yang

dibaca. Makna yang logis disangkal dan ditolak, dan untuk langkah-langkah pendekatan

dekonstruksi antara lain: a) membaca karya sastra secara totalitas untuk menegaskan struktur,

keutuhan atau makna yang telah pasti pada karya sastra; b) unsur atau bentuk-bentuk dalam

karya sastra itu dicari dan dipahami justru arti kebalikannya; c) unsur-unsur yang tidak penting
dilacak dan dipentingkan, diberi nama pesan sehingga akan terlihat atau menonjol perannya

dalam karya sastra yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1993: 61).

G. Karekteristik Kajian Dekontruksi

Dekontruksi memang berpusat pada teks. Ia tak lepas dari teks, tetapi paham yang

dipegang lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekontruksi juga menolak struktur

lama yang tak lazim. Bagi dekonstryuksionis menganggap bahwa bahasa teks bersifat logis

dan konsisten. Sebuah teks dalam pandangan dekontruksi akan selalu menghadirkan banyak

makna, sehingga teks tersebut sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa

rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan

bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya,

dekontruksi membiarkan teks itu ambigu dan menentang segala kemungkinan. Junus (1986:36)

menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna teks berawal dari struktur kemudian

menambah kekuatan makna berdasarkan struktur tersebut. Kekuatan yang dimauksud

adalah upaya secara deksontruktif, dengan cara membreidel teks, mengobrak-abrik teks, dan

lari dari struktur yang ada.

Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih

mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa

dapat dikembalikan ke kenyataan. itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba

menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lainya, diharapkan lebih memadai.

Inilah yang dilakukan oleh kaum dekonstrktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman

sastra. Dalam kaitan ini Roland Barthes (1983) memberi tahapan penelitian dekonstruksi

sebagai berikut:

(1) mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur

tersebut pada kedudukan yang sama.


(2) unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk

mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan jaringan, baik jaringan antar semua unsur

(jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dan Y).

Teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain diluar

teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan paradoksal. Maksudnya,

pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu

yang akhirnya mudah dikenal. Dalam kaitannya itu, Roland Barthes (Pradopo, 1991:78)

memandang bahwa teks sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure Of

The Text ia membedakan Pleasure atau kenikmatan menjadi dua arti: yaitu Pleasure

(kenikamatan) dan bliss (kebahagiaan). Yang lebih tajam lagi Foucoult berpendapat bahwa tak

ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam teks sastra. Teks sastra bersifat keduniaan

, karenanya pemaknaannya setring tidak lepas dari otoritas dan kekuasaan. Itulah sebabnya

pemaknaan teks sastra harus dipandang dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan

terus-menerus. Bahkan pada suatu saat perlu memandang dan mendekontruksikan wacana-

wacana yang mungkin kecil dan nonliterer.

Dengan demikian, kehadiran penelitian dekonstruksi merupakan estafet studi sastra

sebelumnya. Paham dekontruksi ini tampaknya memang belum mendapat angin segar dalam

perkembanganya.

H. Teori Analisis

Sebagai langkah awal Derrida memperkenalkan teori penelitian semiotik model

gramatologi. Gramatologi merupakan teori semiotik alternatif.Sasaranya adalah

mempertimbangkan kembali tentang nilai-nilai tradisi seperti tanda, kata, dan tulisan. Dalam

teori deksontruksi sistim tanda yang telah di bangun Saousurre diramu berasa teori lainya untuk

mempertajam teori sebelumnya sampai pada konsekuensi. Dalam konsep Derrida ia

menawarkan konsep jejak. Jejak (trace) bersifat misterius dan tak tertangkap, muncul sebagai
kekuatan dan pembentuk tulisa, menembus dan memberi energi pada aktivitas yang

menyeluruh, bersifat omnipresent tetapi tetap luput dari jangkauan. Hal ini berarti bahwa

makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.

Dalam teori dekonstruksi, Derrida mengarah ke neologisme dalam pemahaman

fenomena. Fenomena sastra dan budaya dipahami melalui konsep difference. Difference

mencakup tiga pengertian, yaitu: todiffer (berbeda), differe (tersebat dan terserak) dan to defer

(menunda) . Differ adalah konsep ruang, maksudnya tanda muncul dari sistem perbedaan yang

mengambil tempat dalam sistem itu. Differ bersifat temporal, maksudnya signifier

memaksakan penundaan kehadiran tanpa kesudahan (Selden, 1985:88). Akan tetapi, perbedaan

istilah itu hanya dapat ditemukan dalam tulisan sebab dalam tuturan difference diucapkan

sebagai difference. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip diferensiasi lebih kuat beroperasi dalam

tulisan.

Pada moment tertentu diffrence muncul pada kita sebagai suatu kekuatan yang cosmic

omniprenen (hadir dimana-mana) kekuatan primodial dari proto differensiasi, menembus

setiap satuan dan konsep dalam semesta. Sesungguhnay kekuatan ini berfungsi secara negatif,

karena ia menyatakan terutama sekali lewat perusakan dan pemecahan terhadap segala sesuatu

secara diam-diam. Difference tidak dapat dianggap sebagai suatu peristiwa, ia tidak berusmber

dari moment awal yang berupa kesatuan atau harmoni yang tidak terganggu. Pembalikan dan

penundaan yang fundamental yang tersirat pada difference akan lenyap tak tertangkap apabila

kita menganggapnya sebagai peristiwa (yang ada atau yang pernah ada). Kualitas pembalikan

dan permainan yang khas dari difference adalah menjauhnya penampilan sebagai sumber asal,

sebagai keberadaan yang hadir, sebagai produksi, sebagai konsep kunci atau kata kunci. Selain

differnce, dalam penelitian dekonstruksi ada hal-hal lain yang patut diperhatikan yaitu titik-

titik aporia. Titik aporia adalah unit-unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna

atau suatu figur yang menimbulkan kesulitan penjabaran. Titik aporia ini akan menimbulkan
alusi, yaitu ditemukan sebuah unit teks-teks lain, atau peristiwa-peristiwa yang senada dengan

yang dihadapi. Caranya dengan mensejajarkan atau mempertentangkan dengan unit wacana

yang dihadapi. Hasil akhir akan ditemukan dua hal, yaitu retrospektif dan prospektif.

Retrospektif adalah cara kerja dekontruksi yang diawali dengan pencarian unit wacana yang

menimbulkan kebuntuan, selanjutnya unit wacana yang buntu itu dipertentangkan atau

disejajarkan dengan unit wacana lain dalam teks yang sama. Sedangkan Propektis tidak terbatas

pada unit wacana dalam teks yang dihadapi saja, tetapi perlu dilacak di luar teks.

Menurut Derrida (Culler, 1981:90) mendekonstruksi suatu opisisi adalah membalikan suatu

hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru tahap peratama. pada tahap berikutnya, pembalikan

harus dilakukan terhadap sistem keseluruhan yang di dalamnya opisisi itu menjadi bagian-

bagiannya. Hanya dengan syarat itulah dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus

lapangan-lapangan oposisi yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan-kekuatan

nondiskursif. Praktek dekonstruksi bekerja dalam batas-batas sistem tertentu tetapi dengan

tujuan menghancurkan atau melakukan subversi.

Dalam kaitan itu, Derrida (Pradopo, 1991:90) mempergunakan istilah suplement

(lampiran). Sejalan dengan Rousseou, tulisan sebanarnya hanya lampiran ujaran saja.

Tulisan sekadar menambahkan sesuatu yang tidak hakiki. Namun, dekonstruksi memandang

tulisaan lebih jauh dari sekadar lampiran, melainkan mengambil tempat ujaran. Kehadiran

tulisan sebagai sistem tanda ada tiga titik catatan, yaitu:

(a) Tanda tertulis adalah sebuah tanda yang dapat diulangi tanpa kehadiran, bukan hanya

ketakberadaan subjek yang mengucapkannya dalam konteks tertentu, tetapi juga kebaradaan

seorang addressee (lawan bicara tertentu).

(b) Tanda tertulis dapat merusak kontek yang nyata dan dapat dibaca dalam konteks yang berada

tanpa memandang apa yang dimaksudkan pengarangnya.

(c) Tanda tertulis tunduk kepada pembuatan jarak.


Relevansi dekonstruksi bagi penelitian sastra ada empat hal, yaitu:

(1) Terdapat keterkaitan dengan serangkaian konsepo kritik, termasuk konsep kesastraan itu

sendiri. Relevansi ini terjalin karena ada hubungan sastra dan filsafat; filsafat dapat dipandang

sebagai perkembangan dari sastra, filsafat adalah sastra yang digeneralisasikan.

(2) Sebagai sumber tema; sebagai contoh adalah tema kehadiran atau ketakhadiran., sentral atau

marginal, tulisan atau tuturan.

(3) sebagai contoh strategi pembacaan, yaitu terletak pada keberanian peneliti sastra untuk

sampai pada tipe-tipe struktur, membangun oposisi simetrik dan hirarkis, memperhatikan term-

term yang mengandung argument bertentangan , membuat tertarik pada sesuatu yang

menantang interpretative otoritatif, mencari gerak teks terdahulu yang akan ditolak oleh teks

yang lahir kemudian, mempehatikan elemen-elemen yang dianggap marginal, yang

dikeluarkan oleh teks itu sendiri maupun interpretasi mengenainya. (4) sebagai gudang

cadangan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan kritik sastra itu sendiri.

Pada dasarnya dekontruksi merupakan pengembangan dari post-strukturalisme.Junus

menyebutkan bahwa deskontruksi sebagai pasca-strukturalisme yang eksterim. Sifat ekstrim

yang dimaksud adalah pemaknaan karya sastra dapat dimulai dari aspek apa saja bahkan dari

aspek yang sangat kecil yang semula tidak bamyak menarik perhatian orang. Dari sini, dapat

disimpulkan bahwa unsur yang semula kurang atau tidak bermakna, sekarang menjadi

bermakna dan berfungsi.

Menurut Derrida unsur yang semula dianggap tak logis kadang justru akan muncul

berulang-ulang unsur tersebut di satu sisi mungkin akan memiliki kekuatan pemaknaan, dan di

sisi lain bisa jadi mengkaburkan makna. Unsur tersebut akan selalu muncul dalam teks yang

disebut dissemination. Selain itu unsur ini diwujudkan dalam impuls lamvang-lambang puitis

dan estetis. Bahkan Barthes menyebut lambang tersebut sebagai jendela atau sinar untuk

melihat objek yang sesungguhnya yang dipikirkan pengarang.


Kehadiran dekontruksi telah memungkinkan sebuah teks memiliki multi-makna dan

dipandang sangat kompleks. Itulah seabnya, prisip otonomi karya sastra yang memisahkan

degan yang lain, ditolak oleh paham ini karena semakin jauh pemisahan diri teks sastra dengan

unsur diakronis, hanya memperbesar difference. Bagi ilmu yang melatari penciptaan teks

sastra tidak dapat disebur sebagai pengetahuan penulis, melainkan grammatology yang akan

terwujud kedalam teks dekonstruksi. Hal ini syarat dengan pengolahan bentuk oleh pencipta

sastra tersebut.

Jika akan diterapkan kedalam penelitian sastra, memang ada beberapa catatan. Pertama

dekonstruksi bukan teori melainkan berkerja dan sekitar kerangkan diskursif yang sudah ada.

Kedua, dekontruksi merupakan filsafat yang menyeluruh mengenai aktifitas interpretasi, bukan

paham khusus mengenai sastra; meskipun didalam sastra memainkan peranan penting karena :

(1) Teori sastra bersifat koprehensif sehingga memungkinkannya melahirkan teori yang luar biasa,

(2) Teori sastra melakukan eksporasi ke batas-batas pemahaman sehingga mengundang dan

memprovokasi diskusi-diskusi teoritik tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling general

mengenai rasionalitas, refleksi diri dan signifikansi.

(3) Para teoritisasi sastra secara khusus reseptif terhadap perkembangan teoritik yang baru dalam

lapangan-lapangan lain karena mereka kurang punya komitmen disipliner yang khusus seperti

yang dimiliki para pekerja di bidang itu.

Paul de Man adalah seorang tokoh dekonstruksi amerika yag terpengaruh eropa. Beliau

konsisten menekankan konsep retorika daripada tata bahasa maupun logika. Menurut beliau,

tata bahasa adalah ilmu yang logis dapat dipolakan berdasarkan generalisasi.

De Man menolak adanya analisis retorika sederhana, tetapi lebih dari itu, yaitu perlu

memperhatikan arti-arti kebalikannya. De Man tidak terperangkan pada kejelasan analisisnya,

karena analisis itu juga tetap berlanjut pada dekosntruksi selanjutnya, dan seterusnya. Kerja De
Man tidak dapat ditangkap sebagai sistem tunggal tetapi kepada konsistensi terhadap aspek

ironinya.

Pendekatan De Man tersebut, berbeda dengan hermeneutik lainnya. De Man tidak

bnerangkat dari tanda-tanda gramatikal dalam karya yang ditelitinya. De Man tidak

memperhatikan aspek historisnya; ia melihat kekosongan (nihilisme) antara waktu penciptaan

dengan waktu pembacaan, sedangkan Jauss memperhatikan aspek historis, terutama tanggapan

pembaca dari masa ke masa. Catatan penting dari dekonstruksi adalah makna teks sastra

sebenarnya bisa berubah-ubah. Makna sebuah teks bisa bermacam-macam dengan dan tidak

memusat. Pemaknaan secara dekonstruksi boleh kearah futuristik atau avant garde.

I. Kelebihan dan Kelemahan Teori Dekosntruksi

Kelebihan pemikiran Derrida adalah upaya mencari pemikiran nilai alternatif di tengah-

tengah nilai yang sudah ada. Hal ini akan mengacu dinamika, serta merangsang manusia untuk

mencari nilai lain yang lebih baik, lebih benar, lebih mendalam, serta bisa menjawab

problem dasar kemanusiaan. Pengaruh Derrida bagi pemikiran filsafat utamanya bertujuan

untuk menyadarkan dan sebagai juru bicara bagi mereka yang selama ini dipinggirkan,

diasingkan, dan yang menginginkan pluralitas, kebenaran relatif, dan keunikan dalam

mendapatkan tempat bernaung.

Kelemahan yang sering dikritikkan terhadap pemikiran Derrida adalah sifat paradoks,

kontradiksi, inkonsistensi, ambivalensi, dilematik, dan tidak pasti. Pemikiran Derrida juga

bersifat ambigu, artinya jika dia mengkritik suatu model pemikiran, maka dia akan terjebak

menyusun model yang lain. Padahal model yang dikritik seperti inilah yang telah mendominasi

pemikiran pihak lain. Namun, bila dia tidak menawarkan suatu model pemikiran, maka dia

akan terjebak ke dalam suatu nihilisme atau kekosongan. Sehingga kritik yang sangat pedas

terhadap pemikiran Derrida dan pemikir postmodernisme dan poststrukturalisme pada awalnya
merupakan strategi dari dekonstruksi ini yang dimaksudkan untuk mencegah totalitarisme pada

segala sistem, namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativitasme dan nihilisme.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjabaran diatas maka penulis menyimpulkan bahwa Dekonstruksi ialah strategi

pembacaan teks secara filosofis yang menunjuk pada proses yang tak terselesaikan dan bersifat

dinamis. Dekonstruksi tidak melihat kebenaran dalam penafsiran sebagai satu kebenaran.

Dekonstruksi juga bias diartikan merupakan metode pembacaan teks.

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh

besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an.Tokoh terpenting

dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli

filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis

Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.

Prinsip dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna

kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah

dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah

dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi

ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekonstruksi mentut

kita lebih teliti dan kritis terhadap teks sastra.

Tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran

kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak

kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.


DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar:

Yogyakarta.

Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Ar-Ruzz:

Yogyakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diakses pada tanggal 16 September 2017(19.25

wib)

http://rendiasyah.blogspot.com/2013/05/teori-dekonstruksi.html, diakses pada tanggal 16

September 2017

Rachmi Masie, Sitti. Maret 2010, ANALISIS TOKOH PADA NOVEL TAK PUTUS

DIRUNDUNG MALANG KARYA SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA (Melalui

Pendekatan Dekonstruksi) INOVASI, Volume 7, Nomor 1, Maret 2010 ISSN 1693-9034,

http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/download/791/734

Zulfadhli. 2009. Dekonstruksi dalam Cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka KArya

A.A. Navis JURNAL BAHASA DAN SENI Vol 10 No. 2 Tahun 2009 ( 132 - 137),

http://ejournal.fip.unp.ac.id/index.php/bahasaseni/article/view/62/42

Anda mungkin juga menyukai